• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Competitiveness and the Factors that affect Milk Production in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Competitiveness and the Factors that affect Milk Production in Indonesia"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

RIA ASMARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya saing dan Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

Production in Indonesia. Under the supervision of SRI MULATSIH and ALLA ASMARA.

The aims of this study are (1) to analyze the development of milk industry in Indonesia, (2) to analyze the competitiveness of Indonesian milk, and (3) to analyze the factors that affect milk production in Indonesia. Data was from the Central Statistics Agency (BPS), the Directorate General of Animal Husbandry, Joint Cooperative Milk Indonesia (GKSI), International Financial Statistics (IFS) and Commodity Trade Statistics Database (Comtrade). This study used time series yearly data 2002 to 2010 of volume of milk production, domestic milk prices, corn prices and the number of cows. The method to analyze the competitiveness of Indonesian milk is Porter's Diamond approaches. Porter's Diamond analysis indicates a fundamental weakness of domestic milk competitiveness lies in the condition factor, supporting and related industries, government intervention, strategy structure and rivalry. Conversely, factors thought to contribute greatly to the condition competitiveness is demand conditions. The method to determine the factors that affect milk production in Indonesia is the panel data regression. The result that milk production is significantly affected by number of cows and not significantly affected by price of domestic milk and price of corn.

(6)
(7)

Produksi Susu di Indonesia. Dibawah bimbingan SRI MULATSIH and ALLA ASMARA.

Subsektor peternakan merupakan salah satu sub sektor yang berkontribusi besar terhadap sektor pertanian. Pada tahun 2009, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp 36.743.60 Milyar (12.39 persen) dari jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional. Hal tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan protein hewani, jumlah penduduk yang selalu bertambah dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang mendorong peningkatan kebutuhan produk ternak. Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Konsumsi rata-rata susu di Indonesia pada tahun 2009 hanya sekitar 10.47 liter per kapita per tahun, sedangkan Philipina 20 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, Thailand 20-25 kg/kapita/tahun, dan Singapura 32 kg/kapita/tahun liter per kapita per tahun, sehingga masih ada potensi permintaan susu di Indonesia akan tumbuh. Meskipun konsumsi susu masih sangat rendah, namun produksi susu dalam negeri belum mampu memenuhi konsumsi yang rendah ini, sehingga untuk memenuhi konsumsi susu dalam negeri dilakukan dengan mengimpor susu dari luar negeri lebih kurang sebesar 70 persen dari kebutuhan.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perkembangan industri persusuan di Indonesia, (2) Menganalisis bagaimana daya saing produksi susu Indonesia, (3) Menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi susu di empat sentra utama produksi susu Indonesia (Jawa Timur, Jawa Tengah Jawa Barat dan Yogyakarta). Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan analisis Porter’s Diamond untuk mengetahui daya saing susu domestik. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi susu di Indonesia menggunakan panel data.

Analisis Porter’s Diamond menunjukkan kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha perseorangan, rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai dengan empat ekor dan teknologi yang bersifat konvensional. Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi dan IPS (Industri Pengolahan Susu) dimana ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining position koperasi susu (KPS) sebagai representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan harga susu domestik. Intervensi pemerintah melalui penghapusan kebijakan rasio impor memperburuk kondisi persusuan nasional. Sedangkan untuk Kondisi strategi, struktur dan persaingan antara susu domestik dan susu impor belum kondusif. Hal ini dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul

(8)

bahwa variable jumlah sapi perah (COW) berpengaruh signifikan pada taraf

nyata (α) 1 persen. Untuk variable harga susu sapi domestik (PRICEDOM) dan variable harga jagung (PCORN) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi susu. Nilai Adjusted R square pada model sebesar 0.9935 yang artinya variasi variabel jumlah produksi susu sapi (PROD) dijelaskan 99.35 persen oleh faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pr

oduksi susu sapi domestik (PROD) di Indonesia, dan sebesar 0.65 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

RIA ASMARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Ria Asmara

NRP : H151080181

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr

Ketua

Dr. Alla Asmara, S.Pt,M.Si Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

Segala puji hanya untuk Allah SWT, pencipta dan pemelihara alam semesta beserta isinya. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun tesis ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rosulullah SAW, yang telah mengajarkan Islam sebagai jalan hidup sehingga membawa keselamatan bagi manusia sejagad raya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada: Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Alla Asmara S.Pt., M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si. selaku wakil program studi dan Ibu Dr. Ir. Ratna Winandi, M.S. selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi. Kepada para dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan pengajarannya. Kepada seluruh staf di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala bantuannya. Kepada seluruh rekan-rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi atas semangat dan kebersamaannya.

Ucapan terimakasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada kedua orang tua, suami dan anak-anak serta seluruh keluarga atas do’a dan pengorbanannya yang telah memberikan kekuatan yang luar biasa kepada penulis.

Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, Agustus 2012

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Lampung, pada tanggal 19 Oktober 1977, dari pasangan

Bapak Subroto dan Ibu Srilukito Wardani. Penulis merupakan putri pertama dari dua

bersaudara.

Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri-I Metro pada tahun

1996. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Unila (Universitas

Lampung) melalui jalur UMPTN pada Program Studi Ilmu Ekonomi Studi

Pembangunan, Fakultas Ekonomi Unila. Penulis menyelesaikan kuliah sarjana pada

tahun 2001.

Tahun 2002 menikah dengan Darmayulis Putra, dan dikaruniai tiga putra:

Izzah Aisyah Yulis (2003), Muhammad Jundi Khilafah Yulis (2005), dan Najmah

Mujahidah Yulis (2007). Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk

(18)
(19)

DAFTAR ISI

2.2.3. Fungsi Penawaran Susu Sapi ... 10

2.3. Struktur Pasar Susu Segar di Indonesia ... 12

2.4. Konsep Daya Saing ... 13

2.5. Teori Keunggulan Kompetitif ... 14

2.6. Panel Data ... 17

2.7. Penelitian Terdahulu ... 24

2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 28

2.9. Hipotesis Penelitian ... 30

III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 31

3.2. Metode Analisis ... 31

3.2.1. Porter’s Diamond... 32

3.2.2. Model Panel Data ... 32

3.3. Uji Asumsi ... 33

3.3.1. Uji Homoskedastisitas ... 33

3.3.2. Uji Autokorelasi ... 33

3.4.3. Uji Multikolinearitas ... 34

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL ... 35

4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia ... 35

4.2. Produksi Susu Nasional ... 39

4.3. Produksi Susu Sapi di Pulau Jawa ... 43

4.4. Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia ... 45

4.5. Perkembangan Impor Susu di Indonesia ... 46

4.6. Harga Susu ... 49

4.7. Industri Pengolahan Susu ... 52

(20)

5.1. Analisi Daya saing Susu Domestik (Pendekatan Porter’s Diamond) ... 57

5.1.1. Kondisi Faktor ... 57

5.1.1.1. Sumberdaya Alam ... 57

5.1.1.2. Sumberdaya Manusia ... 59

5.1.1.3. Sumberdaya Modal ... 60

5.1.2. Kondisi Permintaan ... 60

5.1.3. Industri Terkait dan Pendukung ... 60

5.1.4. Setrategi, Struktur dan Persaingan ... 61

5.1.5. Pemerintah ... 62

5.1.6. Kesempatan ... 62

5.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Indonesia ... 64

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1. Kesimpulan ... 67

6.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(21)

1. Kontribusi Subsektor Pertanian Terhadap PDB Tahun 2006-2010 ... 1

2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010 ... 3

3. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 34

4. Sebaran Populasi Sapi Perah di Indonesia Tahun 2006-2010... 38

5. Produksi Susu Berdasarkan Jenis Sapi ... 41

6. Standarisasi Bahan Baku Susu Menurut Total Kandungan Bakteri (TPC) Pada Industri Pengolahan Susu ... 42

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu di Indonesia ... 64

(22)
(23)

1. Produksi dan Konsumsi Susu Indonesia Tahun 2005-2009 ... 2 2. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marjinal ... 9 3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif Nasional Porter’s Diamond .... 14 4. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel ... 18 5. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 30 6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010 ... 36 7. Perkembangan Produksi Susu Nasional Tahun 1991-2010 ... 40 8. Produksi Susu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ... 43 9. Populasi sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogja ... 44 10.Perkembangan Impor Susu Indonesia Tahun 1989-2010 ... 48 11. Trade Balance Komoditas Susu ... 48 12. Harga Susu Internasional (Oceania Area) ... 49 13. Harga Susu Olahan Dalam Negeri ... 49 14. Harga Susu Peternak, IPS dan Disparitas Harga... 50 15. Saluran Pemasaran Susu ... 51 16. Pola Agribisnis Peternakan Sapi Perah ... 53 17. Pohon Industri Susu ... 54 18. Jumlah Sapi Perah dan Produksi Susu Tahun 2007 - 2010 ... 57 19. Ringkasan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya saing

Susu Domestik dengan Pendekatan Porter’s Diamond ... 63

(24)
(25)

1. Kompilasi Data Penduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Indonesia Periode 2002-2010 (dalam Bentuk Logaritma Natural) ... 75 2. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu

(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Subsektor peternakan merupakan salah satu sub sektor yang berkontribusi besar terhadap sektor pertanian. Tabel 1 menujukkan bahwa pada tahun 2010, subsektor peternakan menyumbang Rp 38,135.2 Milyar (16.11 persen) dari jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional. Kontribusi subsektor peternakan pada periode 2006-2010 menunjukkan trend

yang terus meningkat. Hal tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan protein hewani, jumlah penduduk yang selalu bertambah dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang mendorong peningkatan kebutuhan produk ternak.

Tabel 1. Kontribusi Subsektor Pertanian Terhadap PDB Tahun 2006 - 2010

Subsektor Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

Bahan Makanan

129,548.6 133,888.5 142,000.4 149,057.8 151,749.5

Perkebunan 41,318.0 43,199.2 44,783.9 45,608.3 46,750.9

Peternakan 33,430.2 34,220.7 35,425.3 36,648.9 38,135.2

Kehutanan 16,686.9 16,548.1 16,543.3 1 6,843.6 1 7,192.5 Perikanan 41,419.1 43,652.8 45,866.2 47,775.1 50,578.1 Jumlah

Pertanian

262,402.8 211,308.4 222,209.6 231,315.0 236,635.6

PDB Nasional

1,847,126.7 1,964,327.3 2,082,456.1 2,177,741.7 2,310,689.8

Sumber: Statistik Peternakan, Ditjennak 2011

Catatan: Kontibusi setiap subsektor pertanian dinyatakan dalam satuan Milyar Rupiah berdasarkan harga kostan tahun 2010

(27)

konsumsi susu di Indonesia masih rendah namun produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi konsumsi susu yang rendah ini.

Sumber: Kementrian pertanian, 2010

Gambar 1. Produksi dan konsumsi Susu Indonesia Tahun 2005-2009

Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi gap yang sangat luas antara produksi dan konsumsi susu di Indonesia. Dimana, trend produksi sebesar 3,67 persen dan trend konsumsi sebesar 4,21 persen. Besaran trend tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan konsumsi lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produksi.

Untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, Indonesia mengimpor susu dari beberapa negara mitra dagang seperti New Zealand, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Singapura, Denmark, Jerman, Kanada dan Belgia. Di satu sisi Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang memiliki potensi besar sebagai negara penghasil pangan termasuk susu, tetapi di sisi lain Indonesia justru menjadi negara pengimpor untuk pemenuhan kebutuhan susu. Tahun 2012 produksi susu dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 30 persen dari permintaan nasional, sisanya 70 persen berasal dari impor.

Tabel 2 menunjukkan bahwa volume impor susu Indonesia berfluktuasi dari tahun ketahun dan memiliki trend yang cenderung meningkat. Meningkatnya impor dari tahun ketahun akibat dari semakin luasnya gap antara produksi susu dengan konsumsi susu, dimana peningkatan produksi lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi.

(28)

Tabel 2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010

Keterangan: Hanya jenis milk powder, fat < 1,5 persen Sumber: COMTRADE (2010)

Pengembangan sapi perah merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi susu domestik, dimana hal ini diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Hanya saja, pengembangan usaha sapi perah di sentra populasi sapi perah banyak mengalami kendala dan hambatan.

Adanya era perdagangan bebas menyebabkan produk susu segar impor dapat memasuki pasaran Indonesia dengan mudah. Disatu sisi, hal ini dapat memberikan

kesempatan pada konsumen untuk memilih produk susu yang mereka inginkan sesuai

dengan kualitas dan harga yang dapat mereka jangkau. Tapi di sisi lain, hal ini dapat

menyebabkan keterpurukan para peternak sapi perah karena tidak mampu untuk

bersaing dalam hal harga dan kualitas. Kondisi ini dikwatirkan akan menyebabkan

para peternak sapi perah tidak bergairah untuk meneruskan usaha peternakan sapi

perahnya.

1.2. Perumusan Masalah

(29)

masih ada kekurangan susu sekitar 500 ton lebih per hari. Begitu juga dengan provinsi yang lain, stok susu masih sangat kurang. Sehingga untuk memenuhi konsumsi susu, lebih kurang 70 persennya diimpor dari luar negeri.

Besarnya jumlah impor susu nasional menjadikan Indonesia menjadi net importir dan juga menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi impor. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan maka terdapat kerugian yang diperoleh Indonesia akibat dilakukannya impor susu.

Bentuk kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persususan, dan hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik (Daryanto, 2007).

Hal tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya peran pemerintah melalui kebijakan yang digulirkan. Namun instrument kebijakan yang diharapkan bisa mendorong produksi susu dalam negeri justru dikurangi. Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara pemerintah RI dengan International Monetery Fund (IMF) pada Januari 1998 tentang penghapuasan tataniaga SSDN (Susu Segar Dalam Negeri), sistem rasio BUSEP (Bukti Serap) telah dihapus. Ketentuan tersebut menjadikan komoditas susu telah memasuki era pasar bebas meskipun seharusnya kesepakatan pasar bebas baru dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.

Demikian juga dengan kebijakan bea masuk susu impor yang relatif rendah. Pada November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya

(30)

kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor masuk dari lima persen menjadi nol persen berdasarkan permenkeu No. 19/PMK.011/2009.

Kebijakan-kebijakan tersebut semakin menguatkan IPS dalam menekan harga beli susu kepada peternak, dan memperburuk kondisi peternak sapi perah, karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah. Rendahnya harga ini tentunya tidak akan memicu peternak sapi perah domestik untuk mengembangkan usaha ternaknya. Kondisi ini akan semakin memperburuk kondisi persusuan nasional, karena Indonesia akan semakin tergantung dengan susu impor.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, usaha ternak sapi perah banyak menghadapi tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut, menjadi penyebab rendahnya produksi susu dalam negeri sehingga IPS harus mengimpor susu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Oleh karena itu, untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri yang meningkat maka perlu dilakukan kajian tentang kondisi agribisnis persusuan di Indonesia. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah, Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan agar Indonesia tidak menjadi net importir untuk produk susu.

Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan industri persusuan di Indonesia?

2. Bagaimana kondisi daya saing produksi susu di Indonesia?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi susu di empat sentra utama produksi susu Indonesia (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta)?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka yang menjadi tujuan penelitian adalah:

(31)

3. Menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi susu di empat senta utama produksi susu Indonesia ( Jawa Timur, Jawa Tengah Jawa Barat dan Yogyakarta).

1.4. Manfaat Penelitian

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Ternak Sapi Perah

Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.

Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), usaha ternak sapi perah di Indonesia berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi: (1) usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha ternak sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebesar 30 sampai dengan 70 persen; dan (3) usahaternak sebagai usaha pokok dimana tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak.

Usaha sapi perah memerlukan persyaratan tertentu sehingga tidak semua daerah di Indonesia dapat diusahakan. Faktor biologis sapi perah memerlukan kondisi lingkungan tertentu dan dukungan sarana dan prasarana yang ada terutama Industri Pengolahan Susu (IPS) serta adanya pasar konsumen yang cukup mendukung (Simatupang et al., 1993).

2.2. Produksi Susu

(33)

dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.

Produksi susu adalah hasil produksi ternak betina berupa susu segar dalam waktu tertentu dan wilayah tertentu termasuk diberikan kepada anaknya, rusak, diperdagangkan, dikonsumsi dan diberikan kepada orang lain (Ditjennak 2010). Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun akan menghasilkan susu 92 persen sampai 98 persen (Schmidt et al., 1998)

2.2.1. Teori Produksi

Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan diantara tingkat produksi suatu barang dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi tersebut. Dalam analisis tersebut dimisalkan bahwa faktor-faktor produksi lainnya adalah tetap jumlahnya, yaitu modal dan tanah jumlahnya dianggap tidak mengalami perubahan. Satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah adalah tenaga kerja (Sukirno, 2004).

(34)

(i) Kurva Produk Total

(ii) Kurva Produk Rata-rata dan Kurva Produk Marjinal

Sumber: Lipsey et al. (1995)

Gambar 2. Kurva Produk Total, Produk rata-rata dan Poduk Marjinal

Gambar 2 menggambarkan kurva produk rata-rata dan produk marjinal. Meskipun produk total, produk rata-rata dan produk marjinal digambarkan menjadi tiga kurva yang berlainan, tetapi semuanya merupakan aspek hubungan tunggal yang sama, yang diuraikan oleh fungsi produksi. Dengan perubahan tenaga kerja pada kapital yang tetap, menyebabkan perubahan output.

(35)

2.2.2. Fungsi Produksi

Fungsi produksi adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat persamaan input-input. Setiap produsen dalam teori dianggap mempunyai satu fungsi produksi, yaitu:

Q = f (x1, x2, x3,...Xn) (2.1) X1,x2,x3,...Xn = beberapa input yang digunakan (2.2)

Fungsi produksi menggambarkan kombinasi persamaan input dan teknologi yang dipakai oleh suatu perusahaan. Pada keadaan teknologi tertentu, hubungan antara input dan output tercermin pada fungsi produksinya. Suatu fungsi produksi menggambarkan kombinasi input yang dipakai dalam proses produksi, yang menghasilkan output tertentu dalam jumlah yang sama dapat digambarkan dengan kurva isokuan (isoquant), yaitu kurva yang menggambarkan berbagai kombinasi faktor produksi yang menghasilkan produksi yang sama (Joestan dan Fathoorozi 2003)

Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan jumlah produksi selalu juga disebut output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dalam bentuk rumus, seperti berikut:

Q = f(K,T,M,L) (2.3)

dimana K adalah jumlah stok modal, L jumlah tenaga kerja dan ini meliputi berbagai jenis tenaga kerja dan keahlian keusahawanan, M adalah kekayaan alam, dan T adalah tingkat teknologi yang digunakan. Sedangkan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan oleh berbagai jenis faktor-faktor produksi tersebut, yaitu secara bersama digunakan untuk memproduksi barang yang sedang dianalisis sifat produksinya (Sukirno 2004).

2.2.3. Fungsi Penawaran Susu Sapi

Fungsi penawaran dapat diturunkan dengan memaksimumkan fungsi keuntungan (Henderson and Quandt 1980). Dengan menggunakan teknologi tertentu, fungsi produksi susu sapi dapat di formulasikan sebagai berikut:

(36)

dimana:

Dari persamaan (2.4) dan (2.5) dapat dirumuskan fungsi keuntungan: π = PQ

Artinya saat keuntungan maksimum, nilai produk marginal masing-masing faktor produksi sama dengan harga faktor produksi itu sendiri. Dari persamaan (2.7), (2.8), dan (2.9) diketahui bahwa S, P, dan O merupakan peubah endogen, sedangkan PQ, PS, PP, dan PO peubah eksogen. Oleh karena itu fungsi permintaan faktor produksi diformulasikan sebagi berikut:

SD = f (PQ, PS, PP, PO) (2.10) PD = f (PQ, PP, PS, PO) (2.11) OD= f (PQ, PO, PS, PP) (2.12) dimana SD, PDdan ODmasing-masing merupakan permintaan terhadap sapi perah, pakan ternak dan faktor produksi lain.

Dengan mensubtitusi persamaan (2.10), (2.11) dan (2.12) ke dalam persamaan(2.4), maka di dapatkan fungsi penawaran susu sapi sebagai berikut:

(37)

Selain harga pokok dan harga faktor produksi, penawaran juga dipengaruhi oleh teknologi (Koutsoyiannis, 1979). Namun karena keterbatasan data, teknologi tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel dalam penelitian ini.

2.3. Struktur Pasar Susu Segar di Indonesia

Saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi (Daryanto, 2009). Permasalahan yang dihadapi oleh usaha ternak sapi perah, tidak hanya akibat ketidakmampuan usaha ternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Setidaknya menurut Ilham dan Swatika (2001) konsumsi susu segar masyarakat masih sangat terbatas sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS.

(38)

2.4. Konsep Daya saing

Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentikkan dengan produktivitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (total factor productivity).

National Competitiveness Council mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan untuk menerima keberhasilan sebagai pemimpin pasar untuk memberikan standar kehidupan yang lebih baik untuk setiap orang. Definisi ini kemudian diterangkan melalui sebelas kriteria yang harus dipenuhi dalam membangun daya saing, yaitu performa ekonomi (economic performance), internasionalisasi (internationalization), modal (capital), pendidikan (education), produktivitas, kompensasi tenaga kerja, dan biaya tenaga kerja per unit (productivity, labour compensation, and unit labour cost), perpajakan (taxation), ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology), informasi kemasyarakatan (information Society), infrastruktur transportasi (transport

infrastructure), serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup

(environmental protection and management). Kesebelas kriteria tersebut kemudian dilengkapi dengan dua kriteria krusial lainnya yaitu kondisi regulasi dalam suatu negara (regulatory environment), dan kualitas kehidupan (quality of life).

Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara yang memproduksi menjual dan menyediakan barang-barang kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing bisa juga bisa diterapkan pada suatu komoditi, sektoral atau bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992)

(39)

2.5. Teori Keunggulan Kompetitif

Porter (1990) menyatakan empat atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor (factor condisions), kondisi permintaan (demand conditions), industri terkait dan pendukung (related and supporting industries), serta setrategi, struktur, dan persaingan (firm strategy, structure, and rivalry). Sementara itu atribut determinan eksternal dikategorikan menjadi pemerintah (government) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Komprehensivitas determinan baik secara internal maupun eksternal ini secara sistemik dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengidentifikasian daya saing (competitiveness) nasional.

Sumber: Porter (1990)

Gambar 3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif National Porter’s Diamond

Penjelasan lebih spesifik mengenai determinan keunggulan kompetitif national Porter’s Diamond dijelaskan sebagai berikut:

a. Kondisi Faktor (factor conditions)

(40)

Porter (1990) mengklasifikasikan kondisi faktor produksi tersebut berdasarkan teori ekonomi klasik menjadi lima kelompok meliputi tenaga kerja, tanah, sumberdaya alam, kapital, dan infrastruktur. Tingkat signifikansi faktor produksi terhadap keunggulan kompetitif didasarkan pada kemampuan faktor produksi untuk menghasilkan manfaat yang spesifik dan berkesinambungan.

b. Kondisi Permintaan (Demand Conditions)

Kondisi permintaan domestik sangatlah mempengaruhi penentuan daya saing nasional. Suatu Negara dikatakan memperoleh benefit dari kondisi permintaan ketika permintaan domestik mampu memberikan gambaran yang representative mengenai preferensi konsumen. Konsumen lokal dapat membantu perusahaan nasional dengan cara memberikan sinyal “early warning system

sehingga perusahaan dapat melakukan tindakan antisipatif untuk bersaing di pasar domestik maupun global. Secara umum, konsumen dapat menekan perusahaan untuk melakukan inovasi dan membangun daya saing terhadap produk asing. Besarnya permintaan domestik menurut Porter (1990) mempunyai pengaruh yang kurang siknifikan dibandingkan dengan karakter dari permintaan domestik itu sendiri.

c. Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industries)

Eksistensi industri terkait dan pendukung sebagai sebuah sistem akan mempengaruhi daya saing secara global. Struktur industri hulu dan hilir yang kuat akan memberikan kemudahan bagi upaya pencapaian peningkatan daya saing. Diantaranya adalah: (1) aliran informasi dan perubahan teknologi akan meningkatkan tingkat inovasi dan improvisasi. (2) keterkaitan industri akan menghasilkan banyak keahlian baru dan menyedikan potensi bagi perusahaan lain untuk masuk kedalam industri untuk meningkatkan persaingan.

d. Strategi, struktur, dan Persaingan (Firm Strategy, Structure and Rivalry)

(41)

dengan diversifikasi motif yang mendasari persaingan itu sendiri. Persaingan dalam memperebutkan market share dan teknologi.

e. Pemerintah (government)

Pemerintah berperan sebagai katalisator untuk mendorong perusahaan untuk mengarahkan kinerjanya pada taraf yang lebih baik. Pemerintah tidak dapat secara langsung meningkatkan daya saing perusahaan, melalui instrument kebijakan yang kondusif perusahaan dapat menerima efek positif dari tindakan fasilitas pemerintah tersebut.

Permasalahan yang terjadi dalam penetapan kebijakan pemerintah adalah seringkali kebijakan-kebijakan tersebut secara orientatif ditujukan untuk jangka pendek. Deregulasi terhadap kebijakan yang menghambat inovasi dan faktor dinamis lainnya, seperti halnya proteksi diperlukan untuk menciptakan manfaat yang berkesinambungan.

Prinsip dasar yang perlu dikembangkan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan suportif diantaranya dengan sikap pro perubahan, mendukung persaingan domestik, dan menstimulasi inovasi. Pendekatan kebijakan pemerintah dengan prinsip tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing nasional secara keseluruhan (Porter, 1990).

f. Kesempatan (Chance Events)

Kesempatan, seperti halnya pemerintah berada diluar perusahaan dalam menentukan daya saing. Beberapa hal yang dianggap sebagai suatu keberuntungan merupakan suatu bentuk dari kesempatan. Sebagai ilustrasi, pergerakan nilai tukar (exchange rate) merupakan determinan penting dalam kegiatan ekspor-impor di pasar internasional. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik dapat dianggap sebagai suatu indikator yang membuka kesempatan lebih luas kepada para negara importir untuk mengurangi kegiatan impor dan menyerap produk domestik.

Faktor non ekonomi seperti stabilitas politik disinyalir mempunyai pengaruh yang besar terhadap perekonomian suatu negara. Lingkungan yang kondusif memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha untuk membangun daya saing.

(42)

2.6. Panel Data

Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan data dari time series dan cross section. Dalam teori ekonometrika, bentuk panel data dapat mengatasi masalah pengestimasian yang kurang baik akibat sedikitnya jumlah observasi jika hanya menggunakan data time series atau cross section saja.

Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, antara lain:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section, data panel

dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antarpeubah, meningkatkan derajat kebebasan dan lebih efisien.

3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.

Kendati demikian, analisis data panel data juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah:

1. Masalah dalam disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors

umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.

3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:

a. Self-selectivity. Permasalahan ini muncul karena data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.

(43)

c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada survey lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi.

4. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unitanalisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan kesimpulan yang tidak tepat (misleading inference).

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Namun demikian, ada pendapat yang mengatakan bahwa penggunaan pendekatan Pooled Least Square dirasakan kurang sesuai dengan tujuan digunakannya data panel.

Gambar 4. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel FIXED

EFFECT

RANDOM EFFECT

POOLED LEAST SQUARE

Hausman Test

(44)

Penjelasan Gambar 4:

1. Chow Test

Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F Statistics adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau

Fixed Effect. Terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit

cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0: Model PLS (Restricted)

H1: Model Fixed Effect (Unrestricted).

Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:

(2.14)

Dimana:

RRSS = Restricted Residual Sum Square

URSS = Unrestricted Residual Sum Square

N = Jumlah data cross section

T = Jumlah data time series

K = Jumlah variabel penjelas,

Chow Test ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1, NT-N-K. Jika nilai CHOW

Statistics (F-Stat) hasil pengujian lebih besar dari F Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter (stability test).

2. Hausman Test

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan

(45)

metode random effect pun harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.

Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0: Random Effects Model

H1: Fixed Effects Model.

Sebagai dasar penolakan Hipotesa nol maka digunakan statistik hausman dan membandingkannya dengan chi square.

Statistik hausman dirumuskan dengan:

Dimana adalah vektor untuk statistik variabel fix effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M0) adalah matriks kovarians untuk dugaan FEM dan

)

(M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan REM.

3. LM Test

LM Test atau lengkapnya The Breusch – Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect versus Pooled Least Square.

H0: PLS

H1: Random Effect.

Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi Squre .

Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model pooled.

Strategi Pengujian

Secara umum, dalam pengujian estimasi model-model data panel diperlukan sebuah strategi. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menguji:

a) RE vs FE (Hausman Test), b) PLS vs FE (Chow Test).

Kerangka pengambilan keputusan dalam memilih sebuah model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Jika (b) tidak signifikan maka kita menggunakan Pooled Least Square.

(46)

Jika (b) signifikan namun (a) tidak signifikan maka kita menggunakan

Random Effect Model .

Jika keduanya signifikan, maka kita menggunakan Fixed Effect Model.

Penggunaan data panel memberikan banyak manfaat bagi dunia statistik dan perkembangan ilmu ekonomi. Beberapa manfaat penggunaan panel data:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Panel data memberi peluang perlakuan bahwa unit-unit ekonomi yang dianalisis seperti individu, rumah tangga, perusahaan hingga negara adalah heterogen.

2. Memberi informasi yang lebih banyak, lebih beragam, mengurangi kolinearitas (collinearity), meningkatkan derajat bebas (degree of freedom) dan lebih efisien. Data time series memiliki kecenderungan tingkat kolinearitas yang tinggi. Variabel seperti harga dan pendapatan dalam model permintaan rokok memiliki tingkat kolineritas yang tinggi. Dengan menggunakan panel data, penambahan dimensi cross-section dapat memperkaya keragaman dan informasi pada dua variabel tersebut (harga dan pendapatan), sehingga akan menghasilkan estimasi yang lebih akurat.

3. Panel data lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Salah satu kekurangan apabila menggunakan pendekatan cross section adalah tidak dapat menggambarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Penelitian tentang kondisi perekonomian seperti pengangguran, mobilitas pendapatan, dan kemiskinan lebih baik jika menggunakan panel. Apabila data-data yang berkaitan dengan isu tersebut diatas tersedia dalam rentang waktu yang relatif panjang, akan dapat diperoleh informasi yang berhubungan dengan kecepatan penyesuaian terhadap perubahan kebijakan ekonomi. Dengan panel data, dapat diketahui apakah kondisi seperti pengangguran dan kemiskinan merupakan kondisi yang temporer atau permanen.

4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh pure cross section atau pure time series.

(47)

diberlakukan dalam panel (distributed lag model) dibandingkan purely time series.

6. Micro panel data merupakan pengukuran yang lebih akurat dibanding variabel yang sama yang diukur pada tingkat makro. Dengan metode panel. bias yang berasal dari agregasi data-data invidu maupun perusahaan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.

7. Macro panel data mempunyai deret waktu (time series) yang lebih panjang dan tidak seperti masalah nonstandard distribution dari unit root test dalam metode time series. Panel unit root test memiliki standard asymptotic distribution.

Model regresi data panel yang umum digunakan diantaranya: a. Common Effect Model

Model ini mengasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu.

Persamaan regresinya dapat ditulis sebagai berikut:

Yit = α + βXit+εit (2.16)

Untuk i = 1,….., N t = 1……..T

dimana N adalah jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode waktunya. Implikasinya akan diperoleh sebanyak T persamaan deret lintang (cross section) yang sama. Selain itu diperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N x T observasi.

b. Fixed Effect Model (FEM)

FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intercept.

Untuk one way komponen eror:

yit= αi + i+Xitβ+u it (2.17)

Sedangkan untuk two way komponen eror :

(48)

Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy varibel (LSDV), dan two way error component fixed effect model.

c. Random Effect Model (REM)

REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen eror dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam eror.

Untuk one way komponen eror

yit= αi +Xitβ+u it+ i (2.19)

Untuk two way komponen eror

yit= αi +Xitβ+u it+ i+ t (2.20)

Asumsi yang digunakan dalam REM adalah:

E = 0

E =

E = 0 untuk semua i dan t E = untuk semua i dan t

Dimana untuk one way eror component: = E = 0 untuk semua i, t dan j

E = 0 untuk i ≠ j dan t ≠ s E = 0 untuk i ≠ j

Dari semua asusmi di atas, yang paling penting adalah E = 0. Pengujian asumsi ini menggunakan hausmant test. Uji hipotesis yang digunakan adalah

Ho : = 0 tidak ada korelasi antara komponen eror dengan peubah bebas

H1 : ≠ 0 ada korelasi antara komponen eror dengan peubah bebas

H = ( ) ( )-1 ( ) x2 (k)

(49)

Jika H > maka komponen eror mempunyai korelasi dengan peubah bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah REM

Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan between estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS)

2.7. Penelitian Terdahulu

Wang et. al. (2010) mengkaji pertumbuhan dan kesenjangan regional dari pasar susu China sejak tahun 1980, meneliti permintaan konsumen perkotaan untuk tiga produk susu utama (susu cair, yogurt, dan susu bubuk), menganalisis pola impor produk susu utama China sejak tahun 1995, dan mendiskusikan potensi peran China di pasar susu dunia dan implikasinya untuk perdagangan. Penelitian ini menggunakan data time-series dan cross-sectional untuk menganalisis trend, perbedaan produksi susu China dan konsumsi produk susu melalui analisa grafis dan regresi. Sedangkan untuk menganalisis kecendrungan dan pola produk susu China impor menggunakan data tahun 1995-2008. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pasar susu China telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir tetapi ada kesenjangan yang signifikan antar daerah dan kelompok pendapatan. Hasil estimasi elastisitas penghasilan menunjukkan bahwa pendapatan per kapita terus meningkat, permintaan produk susu, terutama yoghurt dan susu cair, diharapkan tumbuh pada tingkat yang signifikan. Kecenderungan impor dan analisis pola menunjukkan bahwa impor susu China kemungkinan akan terus tumbuh dan memberikan kesempatan untuk eksportir produk susu besar seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia.

(50)

produksi untuk menurunkan biaya pakan dan memilih sapi dengan seliksi yang unggul.

Buxton (1985) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu di Amerika Serikat selama 4 tahun pada 48 negara bagian. Penelitian ini menguji elastisitas supply susu (yaitu, persentase perubahan jumlah susu yang dihasilkan karena perubahan faktor utama produksi susu). Faktor-faktor utama yang mempengaruhi produksi susu adalah: (1) Harga susu, peningkatan 1 persen harga susu yang diterima peternak, meningkatkan produksi susu nasional sekitar setengah persen selama 4 tahun. Dampak terbesar terjadi pada tahun pertama (0.175) dan tahun kedua (0.182) setelah harga berubah. Dampak pada tahun perubahan harga relatif kecil (0.036). (2) Biaya input. Dimana biaya input diwakili oleh harga pakan (jerami alfalfa dan jagung). Peningkatan 1 persen harga jerami alfalfa per ton menurunkan produksi susu nasional sebesar 0.164 persen selama periode 4 tahun, dan peningkatan harga jagung per bushel (gantang) menurunkan produksi susu sebesar 0.075 persen. Harga jerami alfalfa berpengaruh signifikan di 28 negara bagian. Harga jagung berpengaruh signifikan terhadap supply susu di 14 negara bagian, terutama di bagian utara. (3) Laba dalam suatu perusahaan pertanian alternatif. Faktor ini diukur oleh harga daging sapi. Penurunan 1 persen pada perubahan harga daging sapi meningkatkan produksi susu nasional sebesar 0.056 persen selama periode 4 tahun. (4) Kondisi ekonomi umum. Kondisi ini diukur dengan tingkat pengangguran. Pengangguran mempengaruhi produksi susu nasional sebesar 0.085 persen. Dampak dari tingkat penganguran pada produksi susu signifikan pada 16 negara bagian.

(51)

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik melalui pendekatan Porter’s Diamond menghasilkan implikasi penelitian bahwa kelemahan mendasar daya saing susu domestik terletak pada kondisi faktor. Skala usaha yang tidak ekonomis dengan bentuk usaha perseorangan dan rata-rata kepemilikan sapi perah sebanyak tiga sampai empat ekor, komposisi ketenagakerjaan yang didominasi pekerja harian dengan tingkat pendidikan rendah, dan teknologi yang bersifat konvensional berkontribusi terhadap rendahnya kapasitas produksi susu domestik. Sebaliknya, faktor yang diduga berkontribusi besar terhadap kondisi daya saing adalah kondisi permintaan. Permintaan akan susu domestik sebagai permintaan turunan atas produk susu olahan distimulasi oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, peningkatan populasi dari urbanisasi, peningkatan awareness akan manfaat susu, dan peningkatan persaingan antar IPS untuk menghasilkan produk susu olahan yang terdiferensiasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.

Industri pendukung dan terkait melibatkan peranan koperasi primer peternak dihadapkan pada permasalahan mismanajemen dan pemborosan akibat diversifikasi usaha yang tidak relevan dan menjadi biaya yang besar bagi koperasi. Kondisi strategi, struktur, dan persaingan antar susu domestik dan impor belum kondusif untuk meningkatkan daya saing susu domestik. Hal ini dikarenakan harga susu impor lebih kompetitif dengan spesifikasi kualitas yang lebih unggul. Ketergantungan pemasaran susu kepada IPS membuat bargaining position GKSI sebagai representasi peternak sapi perah menjadi lemah dalam menetapkan harga susu domestik.

Intervensi pemerintah melalui penghapusan kebijakan rasio impor memberikan pengaruh yang beragam bagi setiap determinan. Implikaasi yang menarik dalam penelitian ini adalah peningkatan persaingan menyebabkan keluarnya usaha yang tidak mampu bersaing meningkatkan efisiensi agregat usaha peternakan sapi perah. Determinan kesempatan dengan indikator pergerakan nilai tukar riil rupiah mempengaruhi daya saing susu domestik.

(52)

domestik, nilai tukar riil rupiah, dan pendapatan perkapita. Produksi susu domestik tidak mempengaruhi impor susu pada jangka panjang. Hal ini diduga karena terdapat variabel antara yang tidak mampu dijelaskan oleh model persamaan yang dibangun. Impor susu dalam jangka pendek dipengaruhi secara signifikan oleh produksi susu domestik, harga riil susu impor lag pertama, pendapatan perkapita saat ini dan lag ketiga, nilai tukar riil rupiah pada lag kedua serta dummy penghapusan kebijakan rasio impor. Penghapusan kebijakan rasio diterapkan pada waktu yang relatif bersamaan dengan krisis ekonomi 1997, oleh karena itu efek netto peningkatan impor susu yang terjadi relatif kecil dalam jangka pendek. Harga riil susu domestik tidak berpengaruh terhadap impor susu karena bargaining position GKSI masih lemah dalam negosiasi penetapan harga dengan IPS.

Feryanto (2010) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu sapi lokal di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usaha ternak yang memproduksi susu sapi segar di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (2) menganalisis dam mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra sapi perah Jawa Barat, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga output dan input terhadap daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra sapi perah Jawa Barat. Harga bayangan susu impor didasarkan pada harga satu kilogram full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan susu segar dalam negeri berdasarkan harga bordernya (cif) di pelabuhan impor (Tanjung Priuk). Sedangkan, harga susu privat disesuaikan dengan harga aktual yang riil diterima peternak. Berdasarkan analisis PAM secara keseluruhan, peternak di ketiga lokasi penelitian (Kecamatan Lembang, Kecamatan Pengalengan dan Kecamatan Cikajang) memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan keuntungan privat dan ekonomi yang lebih besar dari nol untuk ketiga lokasi. Berdasarkan nilai private cost ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost Ratio

(53)

kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai DRC<1. Indikator DRC ini menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat daripada harus mengimpornya.

Analisis dampak kebijakan dalam tabel PAM ditunjukkan oleh hasil pengusahaan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian yakni nilai trasfer output (OT) bernilai negatif atau mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan harga domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya, yang mengidikasikan adanya desintensif terhadap output susu. Hasil trasfer input (IT) usahaternak sapi perah menunjukkan nilai yang positif, dan nilai koefisien proteksi input nominal (NPCI) untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari satu, hal ini mengkondisikan bahwa peternak yang menggunakan input tersebut mengalami kerugian, karena menanggung biaya input yang lebih mahal. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan nilai trasfer bersih (TB), yang negatif untuk ketiga lokasi penelitian yang berbeda. Indikator ini memberikan informasi kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan kerugian bagi pengusahaan susu sapi perah. Sedangkan dilihat dari nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0,80 (Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pengalengan), dan sebesar 0,74 (Kecamatan Cikajang) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan insentif kepada peternak sapi perah, karena nilai tambah keuntungan peternak menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.

(54)

2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan dilatarbelakangi oleh realitas yang terjadi dimana konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Meskipun konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah, namun produksi susu domestik belum mampu memenuhi konsumsi, untuk memenuhi konsumsi susu domestik adalah dengan impor susu.

Impor susu yang masuk ke Indonesia sangat besar yaitu lebih kurang 70 persen dari total konsumsi, artinya produksi susu di Indonesia hanya mampu memenuhi lebih kurang 30 persen dari konsumsi susu. Mengingat kondisi geografis, ekologi dan sumberdaya alam Indonesia yang sangat mendukung untuk pengembangan persusuan nasional, maka banyak sekali kerugian Indonesia dengan dilakukannya impor susu ini. Sehingga perlu adanya upaya untuk pengembangan agribisnis persususan di Indonesia.

Upaya pengembangan agribisnis persusuan nasional banyak mengalami kendala dan hambatan, diantaranya dengan adanya liberalisasi perdagangan. Adopsi liberalisasi perdagangan pada komoditas susu telah menyebabkan pergerakan harga susu domestik relatif lebih tinggi dibandingkan dengan susu impor yang faktanya unggul dari segi kualitas. Hal ini memberikan tantangan yang lebih besar bagi produsen untuk mengembangkan produksi susu nasional karena secara implikatif telah meningkatkan preferensi konsumen susu untuk melakukan impor susu.

(55)

Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian

2.9. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori-teori yang ada dalam penelitian terdahulu yaitu bahwa produksi susu diopengaruhi oleh harga susu domestik (berhubungan positif), harga jagung sebagia proksi harga pakan, (berhubungan negatif), jumlah sapi (berhubungan positif).

Analisis Daya saing

Rekomendasi kebijakan Domestik Impor

Faktor-faktor yang mempengaruhi produsi susu

Produksi susu domestik rendah

70 % konsumsi susu dari

Porter’s diamond Metode panel

(56)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Adapun data primer digunakan untuk menjawab analisis Porter’s Diamond yaitu berupa data tentang kondisi sosial peternak sapi perah rakyat dengan mengambil sampel dua lokasi peternakan sapi perah rakyat yang terletak di Jawa Barat yaitu wilayah Kebon Pedes Bogor dan Pengalengan Bandung. Pengambilan sampel pada dua wilayah ini diharapkan dapat mewakili kondisi peternak sapi perah rakyat pada wilayah dataran tinggi dan dataran rendah. Data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara langsung dengan peternak.

Sedangkan data sekunder digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu di Indonesia. Adapun data yang digunakan adalah data tahun 2002-2010, berupa data volume produksi susu, harga susu domestik, harga jagung dan jumlah sapi perah pada empat provinsi di Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengan, Jawa Timur dan Yogyakarta. Pemilihan keempat provinsi sentra tersebut berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan, yang menyatakan bahwa Pulau Jawa merupakan sentra utama produksi susu. Namun karena adanya keterbatasan data maka, dari lima provinsi yang ada di Pulau Jawa, hanya empat provinsi yang digunakan dalam penelitian ini.

Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral Peternakan, GKSI (Gabungan Komperasi Susu Indonesia), International Financial Statistics (IFS) dan COMTRADE (Commodity Trade Statistics Database).

3.2. Metode Analisis

(57)

3.2.1. Porter’s Diamond

Analisis deskriptif faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi daya saing susu domestik dilakukan dengan menggunakan pendekatan Porter’s Diamond berdasarkan referensi terkait dan data-data publikasi statistik sebagai pendukung. Kondisi faktor secara fokus menganalisis kondisi produksi susu domestik, komposisi ketenagakerjaan (sumberdaya manusia), pemodalan, dan infrastruktur pada subsistem usaha peternakan sapi perah. Kondisi permintaan menyoroti konsumsi produk susu olahan yang digerakkan diantaranya oleh peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan populasi. Koperasi dan industri pakan dijadikan sebagai objek penganalisisan determinan industri terkait dan pendukung. Sementara strategi, struktur, dan persaingan lebih dalam menganalisis kondisi persaingan antara susu domestik dan impor sebagai input IPS.

Pemerintah sebagai faktor eksternal melakukan intervensi melalui penghapusan kebijakan rasio impor yang memiliki dampak beragam terhadap determinan kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta setrategi, struktur, dan persaingan. Determinan kesempatan dipresentasikan oleh pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

3.2.2. Model Panel Data

Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu di Indonesia dalam penelitian ini adalah:

PROD = f (PDOM, PCORN, COW)

Persamaan diatas menunjukkan produksi susu Indonesia merupakan fungsi dari PDOM , PCORN, COW dengan:

PDOM = Harga Susu Domestik (Rupiah)/kg PCORN = Harga Jagung (Rupiah)/kg

COW = Jumlah Sapi (Ekor)

Fungsi tersebut secara ekonometrika dapat dituliskan dalam bentuk fungsi persamaan regresi yaitu:

(58)

dimana: α0 = intersep

α1 = nilai dugaan besaran parameter (n = 1,2,3,...) ε1 = unsur sisa (galat)

3.3. Uji Asumsi

3.3.1. Uji Homoskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama dengan (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-rubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross Section weights) yaitu dengan membandingkan sum square resid pada weighted statistics dengan sum square resid unweighted statistics. Jika sum square resid pada weighted statistic

lebih kecil dari sum square resid unweighted statistics maka terjadi heteroskedastisitas.

3.3.2. Uji Autokorelasi

(59)

Tabel 3. Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

4-DL<DW<4 terdapat korelasi serial negatif 4-DU<DW<4-DL hasil tidak dapat ditentukan

2<DW<4-DU tidak ada korelasi serial DU < DW < 2 tidak ada korelasi serial DL < DW < DU hasil tidak dapat ditentukan

0 < DW < DL terdapat korelasi serial positif Sumber: Gujarati (2006)

3.4.3. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier yang sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Untuk regresi k variabel, meliputi variabel yang menjelaskan X1, X2,…………Xk (dimana X1=1 untuk semua pengamatan yang memungkinkan unsur intersep). Suatu hubungan linier yang sempurna dikatakan ada apabila kondisi berikut ini dipenuhi:

+ +………. =0………(12)

(60)

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERSUSUAN NASIONAL

4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia

Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan mengimpor sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi Fries-Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono, 1999). Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor) dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah (Erwidodo,1993).

Yusdja (2005) memaparkan bahwa usaha sapi perah telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha – usaha swasta dalam usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi perah dikembangkan melalui koperasi/KUD sapi perah dan pemasaran susu diatur oleh koperasi dan Industri Pengolahan Susu.

(61)

peternakan sapi perah sekarang adalah US, UM, UK dan UR masing-masing 1, 5, 7, 90 persen. Selanjutnya kelompok US, UM, UK disebut sebagai pihak swasta atau US.

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia ditunjukkan dari perkembangan populasi sapi yang terus meningkat. Gambar 6 menunjukkan bahwa sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2010, populasi sapi perah meningkat dari sekitar 52,000 ekor menjadi 488,448 ekor.

Gambar 6 juga menunjukkan bahwa peningkatan populasi yang terjadi pada tahun 1997 diikuti dengan penurunan pada tahun 1998. Hal ini tidak terlepas dari sifat komoditi ternak yang sangat liquid. Pada saat peternak membutuhkan uang, maka dengan mudahnya ternak dijual. Apalagi pada saat krisis ekonomi, harga daging sapi sangat menggairahkan. Namun sejak tahun 1999 usaha ternak sapi perah ini sudah kembali meningkat mendekati jumlah pada tahun 1997 (Pradana, 2010)

Peningkatan jumlah populasi sapi perah ini tidak terlepas dari campur tangan pemerintah dengan disediakannya paket kredit sapi perah yang disalurkan lewat koperasi sapi perah maupun KUD yang mempunyai unit usaha sapi perah. Namun program kredit sapi perah cenderung mengutamakan aspek pemerataan dan kurang sekali mempertimbangkan efisiensi dan kesesuaian wilayah. Akibatnya usaha sapi perah yang dirintis menghadapi banyak masalah dan pada ahirnya terjadi kemacetan dalam pelunasan kredit (Erwidodo, 1993 dan Taryoto et al., 1993).

Sumber: Statistik Peternakan, Ditjenak 1998 - 2011

Gambar 6. Perkembangan Populasi Sapi Tahun 1998 - 2010 0

Gambar

Tabel 2. Volume Impor Susu Indonesia Tahun 2005-2010
Gambar 2. Kurva Produk Total, Produk rata-rata dan Poduk Marjinal
Gambar 3. Model Determinan Keunggulan Kompetitif National Porter’s
Gambar 4. Pengujian Pemilihan Model Dalam Pengolahan Data Panel
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEMENTERIAN PANRB PENYELENGGARAAN KEARSIPAN 2 PERUBAHAN PARADIGMA Arsip dianggap tidak penting/ bukan dikelola oleh arsiparis Arsip ditumpuk/ dibiarkan berserakan Arsip tidak

Based on the correlation analysis between the distance and THg, and the correlation between height and THg, some factors that affect the distribution of mercury in tree barks

Yusuf (2003:95) menyatakan, pendekatan multisensori mendasarkan pada asumsi bahwa anak akan dapat belajar dengan baik apabila materi pengajaran disajikan

Sedangkan pada skenario ke-3, simulasi yang dilakukan pada dasarnya serupa dengan skenario ke-2 hanya saja pada skenario ke-3 ini digunakan hidrograf banjir kawasan

Untuk memeriksa atau menganalisa kembali system traffic light pada persimpangan jalan tritura yang meliputi : kapasitas persimpangan, derajat kejenuhan, tundaan, panjang antrian

bahwa: 1) Aktivitas belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif Tipe TTW disertai LKS berbasis multirepresentasi termasuk dalam kategori sangat

Studi ini dimaksudkan untuk menganalisa faktor-faktor yang mampu memengaruhi ketepatan waktu pelaporan laporan keuangan tahunan yang terdaftar dalam Index Saham

An exemplary &#34;Color Checker&#34; test object was used, among others, for optical SSI experiments. This was created on the iPad screen mounted on the optical bench in