PUTRI INDAH NUGROHO WANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia adalah karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2013
ABSTRACT
PUTRI INDAH NW. The Competitiveness Analysis of the Feedlot Industries of Local Beef Cattle in Indonesia. Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI and JUNIAR ATMAKUSUMA.
The competitiveness of the local cattle industry is analyzed to determine the direction and development of supporting factors to achieve meat self-sufficiency program in 20 priority areas of local beef cattle. Methode used is the Industrial Competitiveness Index (ICI) which aims to combine multidimensional economic performance including profitability, productivity, and output growth, using 1999-2010 data series. The results show that the profitability and productivity of local cattle feedlot industry is not efficient and effective way to cultivate despite an upward trend. This caused the low competitiveness of feedlot industries of local beef cattle. Condition of low competitiveness is empirically illustrate that the local cattle feedlot industry is still not capable to achieve self-sufficiency of meat in the short term.
RINGKASAN
PUTRI INDAH NW. Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia. Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI dan JUNIAR ATMAKUSUMA.
Industri sapi potong berperan penting dalam perekonomian nasional. Tingginya nilai impor produk sapi potong menjadikan Indonesia sebagai net importer bagi subsektor peternakan. Permintaan yang terus meningkat dan ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor menjadikan perkembangan sumber daya lokal berupa sapi potong lokal melemah. Mengatasi masalah tersebut, Pemerintah mengeluarkan kebijakan swasembada daging yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal. Terwujudnya swasembada daging tidak terlepas dari kemampuan bersaing sapi potong lokal. Optimalisasi pengembangan sumber daya lokal akan memberikan keuntungan bagi industri sapi potong lokal yang menjadi landasan swasembada daging. Pengembangan sumber daya lokal dapat diketahui dengan mengetahui terlebih dahulu kondisi empirik daya saing dari industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia. Dengan demikian pengembangan sumber daya lokal dapat terfokus dalam upaya pencapaian swasembada daging.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (i) Menganalisis perkembangan profitabilitas, efisiensi, dan pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal secara empirik di Indonesia dan (ii) Menganalisis perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia untuk dapat dioptimalkan dalam mewujudkan program swasembada daging. Metode yang digunakan adalah model analisis Industrial Competitiveness Index dengan pendekatan menggunakan indikator produktivitas, profitabilitas, dan pertumbuhan output. Model ini dikembangkan oleh Fischer dan Schornberg (2007) sebagai pendekatan analisis daya saing suatu industri pada satu negara.
Hasil analisis menunjukkan bahwa industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia hanya memiliki nilai profitabilitas yang tinggi dibeberapa daerah, sedangkan sebagian besar daerah pengusahaan penggemukan sapi potong lokal memiliki nilai profitabilitas rendah. Kondisi ini dalam jangka panjang akan berdampak pada penurunan jumlah peternak yang memelihara sapi potong lokal, sehingga daya saing akan menurun. Produktivitas industri penggemukan sapi potong lokal rendah dan dapat dikatakan tidak efisien dalam menghasilkan output sapi potong. Perkembangan dinamis dari output industri sapi potong menunjukkan peningkatan dengan laju yang menurun.
Indeks daya saing yang meningkat terdapat di daerah prioritas IB meskipun tidak semua daerah dapat dikembangkan untuk pencapaian swasembada daging 2014 sehingga secara nasional, swasembada akan sulit untuk dapat dilaksanakan. Daerah-daerah yang memiliki potensi daya saing antara lain NTT, NTB, Bali, Sulsel, Lampung, Aceh, Sumsel, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGGEMUKAN
SAPI POTONG LOKAL DI INDONESIA
PUTRI INDAH NUGROHO WANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
Judul : Analisis Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Indonesia
Nama : Putri Indah Nugroho Wanti NIM : H451100381
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi Ketua
Ir. Juniar Atmakusuma, MS Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi/Mayor Agribisnis
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah,M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tersis ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program
Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
banyak memberikan bantuan, terutama kepada :
1. Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi, dan Ir. Juniar Atmakusuma, MS, Ketua Komisi
Pembimbing dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu
serta memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis.
2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA, Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium
proposal penelitian dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS, Penguji Luar Komisi pada
ujian tesis, serta Dr. Ir. Dwi Rachmini, M.Si, Penguji Wakil Komisi
Pendidikan yang telah memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat
kepada penulis.
3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, Ketua Program Studi Agribisnis, beserta
seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.
4. Kepala Bagian Direktorat Harga Perdagangan Besar, Badan Pusat Statistik,
beserta seluruh staf, yang telah membantu penulis dalam perolehan data yang
penulis butuhkan.
5. Ayahanda Drs. Sri Hariyanto, M.Pd, Ibunda Dra. Egi Sandiana, M.Pd, serta
Kakak Tresna Giharto, S.Pt dan Adik Nur Rahmi Puji Rahayu tercinta yang
telah memberi kepercayaan pada penulis untuk menyelesaikan studi, dan
memberikan dukungan moril, materil, dan doa.
6. Para sahabat MSA Angkatan 1, Alumni Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran Bandung, dan seluruh rekan-rekan Mega-kost yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang penulis banggakan atas kebersamaan,
kekompakan, dan canda tawanya, serta Effyanto Agung Darmawan yang telah
Semoga segala bantuan serta motivasi yang telah diberikan mendapatkan
balasan yang berlimpah dari Allah SWT, Amin. Akhir kata, semoga tesis ini dapat
berguna bagi berbagai pihak, khususnya bagi penulis sendiri.
Bogor, Februari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 18 Maret 1989
dari Ayah Sri Hariyanto, dan Ibu Egi Sandiana. Penulis merupakan anak kedua
dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal tingkat SMA diselesaikan pada tahun 2006 dari
Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Padang. Pada tahun yang sama, penulis lulus
SPMB di Universitas Padjadjaran pada Fakultas Ilmu Peternakan dan lulus pada
bulan Mei tahun 2010 dari jurusan Sosial Ekonomi Peternakan. Selanjutnya
penulis meneruskan studi di Program Studi Agribisnis Sekolah Pascasarjana,
DAFTAR ISI
2.2.Hubungan Antara Profitabilitas dan Daya Saing ... 2.3. Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing ... 2.4. Hubungan Antara Pertumbuhan Output dan Daya Saing ... 2.5. Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia ...11
4.1. Objek dan Waktu Penelitian ... 4.2. Jenis dan Sumber Data ...
5 GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENGGEMUKAN SAPI
POTONG LOKAL DI INDONESIA ... 47
6 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
6.1. Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 6.2. Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 6.3. Pertumbuhan Output Industri Penggemukan Sapi Potong
Lokal ... 6.4. Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ...
7.2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87
LAMPIRAN ...
.
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penyediaan dan Komsumsi Daging Sapi (2005-2009) ... 4
2. Jenis dan Sumber Data ... 40
3. Data Impor Semen Sapi di Indonesia Tahun 2004-2008 ... 48
4. Impor Sapi Murni di Indonesia Tahun 2004-2008 ... 49
5. Pertumbuhan Indeks Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 58
6. Pertumbuhan Indeks Efisiensi Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 62
7. Pertumbuhan indeks Growth Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 65
8. Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 66
9. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Barat ... 68
10. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Bali ... 70
11. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Tengah ... 71
12. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Timur ... 72
13. Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di DI Yogyakarta ... 75
14. Pertumbuhan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha DI Yogyakarta (%). 75 15. Pertumbuhan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Lokal di Daerah Prioritas IB dan Kawin Alam ... 80
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Populasi Sapi Potong Tahun 2005-2009 ... 3
2. Populasi Sapi Potong Menurut Pulau Tahun 2011 ... 6
3. Perbedaan Harga Daging Impor dan Daging Dalam Negeri ... 7
4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 38
5. Diagram Alur Kalkulasi Industrial Competitiveness Index (ICI) ... 45
6. Pertumbuhan Impor Bakalan Sapi Potong di Indonesia (Kg) ... 50
7. Indeks Rata-Rata Profitabilitas Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal ... 58
8. ICI Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal Daerah Prioritas IB ... 67
9 Proporsi Impor Sapi Potong Impor Tahun 1999-2010 ... 68
10. Pengeluaran Ternak Sapi Lokal di Jawa Tengah ... 71
11. Perbandingan Populasi Sapi Potong Lokal Nasional dan Jawa Timur, dan Pengeluaran Ternak Lokal di Jawa Timur ... 73
12. Perkembangan Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Daerah Prioritas Campuran ... 77
13. Pergerakan Harga Bakalan Sapi Lokal di Daerah Lampung dan Sumatera Selatan ... 79
14. Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Lokal di Daerah Prioritas Kawin Alam ... 81
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Pertumbuhan Harga Jual Sapi Potong Lokal di Indonesia ... 96 2. Perkembangan Nilai Rata-Rata Pertumbuhan Output dari Industri
I.1. Latar Belakang
Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi
pembangunan perekonomian suatu bangsa. Selain memberikan kontribusi dalam
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat, dan perolehan devisa, pertanian juga
dipandang sebagai sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam memadukan
pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity). Keberhasilan sektor ini sangat
bergantung pada pembangunan yang dapat menjadi landasan pertumbuhan
ekonomi. Banyak bukti empirik menyatakan bahwa sektor pertanian mempunyai
peranan yang sangat penting dan strategis dalam perekonomian dunia. Kontribusi
sektor pertanian dalam pembentukan devisa negara dapat dilihat dari kontribusi
sektor tersebut dalam perdagangan internasional yang ditunjukkan oleh posisi
beberapa komoditas di pasar dunia. Volume ekspor produk pertanian hingga tahun
2008 terbagi dalam empat subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan, holtikultura,
perkebunan, dan peternakan (Daryanto, 2010).
Subsektor peternakan secara konsisten sejak tahun 2006 hingga tahun
2008 menyandang status “net importer” yang merupakan kondisi ketika nilai
impor suatu negara lebih besar dari nilai ekspor pada komoditas atau produk yang
sama. Dilihat dari perkembangannya, Indonesia mengimpor susu (70 persen ),
daging sapi (30 ribu ton), dan sapi hidup (450 ribu ekor) per tahunnya (Daryanto,
2010). Dari angka-angka tersebut dapat dikatakan bahwa sapi potong merupakan
salah satu subsektor peternakan yang mempengaruhi perkonomian nasional.
Berdasarkan sejarahnya, subsektor peternakan sapi potong pada awalnya
merupakan usaha rakyat yang tidak dikomersialkan. Pada tahun 1970an investor
mulai tertarik dengan industri ini. Industri sapi potong mulai bangkit pada tahun
1980-an dengan menggunakan bibit sapi muda jantan lokal dan inovasi baru untuk
penggemukan sapi potong yang berskala besar, intensif, dan waktu penggemukan
yang singkat (2-3 bulan). Program tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan
usaha ternak yang sebelumnya merupakan backyard farming menjadi suatu
berjalan dengan baik karena sulitnya memperoleh bakalan sapi potong lokal
karena sebagian besar usaha peternakan sapi potong yang menghasilkan bakalan
diusahakan oleh peternak kecil yang memiliki skala usaha kecil dan kurang
efisien. Kondisi ini membuat peternak mulai menggunakan sapi bakalan dari
Australia yang mudah didapatkan dalam jumlah besar dan harga yang tidak jauh
berbeda dibandingkan sapi bakalan lokal. Hal ini menyebabkan pasar daging di
dalam negeri yang pada awalnya dipasok dari daging sapi potong lokal bergeser
menjadi daging sapi asal bakalan impor dan daging sapi impor. Impor terus
berkembang hingga mencapai 40 persen dari produksi nasional, sehingga
dikhawatirkan akan mengganggu kedaulatan dan ketahanan pangan (Boediyana,
2012)1.
Salah satu upaya yang diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan
ini adalah dengan melalui program swasembada daging. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan swasembada daging pertama pada tahun 2000 dengan
pencapaian pada tahun 2004. Program ini tidak berhasil terlaksana pada tahun
yang ditentukan, karena masih tidak terpenuhinya kebutuhan daging nasional
dengan sumber daya lokal, sehingga jumlah impor masih tergolong tinggi.
Program ini kemudian kembali direvisi untuk pencapaian tahun 2014.
Menurut naskah kebijakan program swasembada daging tahun 2010,
kebijakan izin impor sapi bakalan dan daging sapi yang dikeluarkan pemerintah
pada tahun 1980an pada awalnya hanya untuk menyediakan daging murah,
sehingga konsumsi daging masyarakat meningkat. Saat ini program swasembada
daging bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional dengan
menggunakan sumber daya lokal dan impor maksimal 10 persen dari total
produksi nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa industri sapi potong lokal
sangat mempengaruhi terwujudnya program swasembada daging tersebut.
Populasi sapi potong nasional mengalami peningkatan selama periode
2005 hingga 2009 (Gambar 1). Pada tahun 2005 populasi sapi sebesar 10,6 juta
ekor dan pada tahun 2006 menjadi 10,9 juta ekor atau meningkat 2,8 persen .
Kenaikan populasi sapi meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yakni
masing-masing 5,5 persen dan 6,9 persen. Kenaikan populasi sapi ini kemudian melambat
2,4 persen pada tahun 2009 (Ditjennak, 2010). Saat ini populasi sapi potong
1
nasional berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau
(PSPK) tahun 2011 mencapai 14,8 juta ekor yang terdiri atas sapi potong lokal,
hasil penggemukan bakalan impor, dan hasil persilangan impor dan atau
domestikasi sapi impor.
Gambar 1 Populasi Sapi Potong Tahun 2005-2009 (Sumber: Direktorat Jendral Peternakan, 2010)
Berdasarkan data yang ada, laju pertumbuhan penyediaan produksi daging
dari produksi lokal pada periode 2007 hingga 2009 lebih rendah dibandingkan
konsumsi (Tabel 1). Pada tahun 2010, kebutuhan daging sapi nasional mencapai
2,5 juta ekor. Untuk mencukupi kebutuhan daging nasional hingga saat ini,
Indonesia masih sangat tergantung pada daging impor dan sapi bakalan impor
yang berkisar ± 40 persen dari total konsumsi daging sapi nasional.
Perkembangan impor sapi potong dan daging sapi di Indonesia terus mengalami
fluktuasi, namun cenderung terus meningkat.
Hingga tahun 2004, impor daging sapi masih didominasi oleh negara
Australia dan New Zeland. Namun sejak tahun 2007 secara berturut turut dibuka
impor dari USA (2007), Kanada (2008), Brasil (2009), dan Irlandia (2009).
Khusus impor sapi hidup untuk pembibitan, Indonesia masih tergantung dari 2
(dua) negara, Australia dan New Zealand. Sedangkan untuk kebutuhan sapi
Tabel 1 Penyediaan dan Konsumsi Daging Sapi (2005-2009) Konsumsi daging sapi 314,0 313,3 325,9 Selisih prod. Lokal dan
kebutuhan daging dalam negeri. Tingginya ketergantungan impor ini akan
meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain, mengancam
kedaulatan pangan sumber protein hewani sebagai salah satu komponen pencerdas
bangsa, mengancam eksistensi industri sapi potong lokal di Indonesia dan
melemahnya kemandirian pangan nasional.
I.2. Perumusan Masalah
Sapi potong lokal di Indonesia merupakan sumber daya yang memiliki
peluang untuk dikembangkan. Peternakan sapi potong masih memiliki peluang
karena selain kemampuan untuk menghasilkan input produksi lokal, juga tersedia
tenaga kerja, lahan, dan konsumsi yang terus meningkat. Untuk itu, Pemerintah
bersama masyarakat (peternak skala kecil) dan swasta bersama-sama melakukan
program pengembangan peternakan sapi potong.
Pemerintah berperan dalam penetapan aturan, fasilitas, dan pengendalian
mutu, sedangkan peternak dan swasta berperan dalam memenuhi kebutuhan
produk melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi
produk sapi potong. Kerjasama berbagai pihak yang saling terkait ini oleh
pemerintah diwujudkan dalam suatu strategi pengembangan yaitu swasembada
Dalam rangka mewujudkan swasembada daging yang telah diprogramkan
pemerintah, terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi oleh peternak.
Permasalahan peternak sapi potong lokal di Indonesia dalam memanfaatkan
sumberdaya diantaranya adalah; Pertama, skala usaha dan tujuan usaha
peternakan. Menurut data yang ada, 60-80 persen peternakan sapi potong di
Indonesia masih merupakan usaha rakyat yang tujuan pemeliharaan ternak oleh
sebagian besar peternak tesebut tidak diarahkan untuk tujuan pasar (Yusdja dan
Winarso, 2009). Usaha ternak sapi potong rakyat tidak memiliki tujuan ekonomi
dalam pemeliharaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peternakan dijalankan
tanpa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi dari usaha tersebut.
Pada tahun 1990, pemerintah Indonesia mencanangkan program usaha
ternak sapi potong pola rakyat yang tujuannya adalah pertambahan jumlah sapi
potong dalam waktu yang panjang. Usaha pemerintah ini tidak dapat dikatakan
berhasil karena peternak sapi potong rakyat tidak memperhitungkan biaya input
pada pemeliharaannya. Selain itu, peternak tidak akan menjual sapi potongnya
atau anakan sapi potongnya apabila belum membutuhkan uang. Sehingga program
tersebut, tidak dapat dikatakan berhasil untuk dilaksanakan berkelanjutan di
beberapa daerah.
Ciri khas dari petermakan rakyat adalah skala usaha relatif kecil,
merupakan usaha rumah tangga, cara pemeliharaan yang masih tradisional, dan
ternak sering digunakan sebagi tenaga kerja (Yusdja dan Ilham, 2004). Artinya,
peternak tidak menganggap penting usaha peternakan mereka dan tidak
mengharapkan ternak sebagai penghasil daging. Hal ini membuat kualitas daging
yang dihasilkan kurang baik karena sistem pemeliharaannya yang tidak sesuai
dengan standar yang seharusnya. Karena itu, usaha rakyat menjadi salah satu
masalah yang harus dihadapi industri peternakan sapi potong lokal di Indonesia.
Keadaaan ini berkaitan dengan profitabilitas dari usaha pertenakan sapi potong
lokal karena peternak rakyat sebagian besar tidak memperhitungkan usaha sapi
potong yang mereka jalankan secara ekonomi.
Masalah Kedua adalah kontribusi yang kecil dari sentra usaha sapi potong.
Pulau Jawa merupakan sentra industri sapi potong di Indonesia, namun menurut
Angka tersebut dianggap kecil bila dibandingkan dengan populasi sapi potong
lokal yang mencapai 70 persen berada di pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena
ternak dipelihara masih secara tradisional di pedesaan, ternak hanya diberi pakan
hijau perkarangan dan limbah pertanian (teknologi budidaya rendah), serta
budidaya sapi potong dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi
pasar masih rendah. Selain itu, sentra produksi sapi di Kawasan Timur Indonesia
hanya mampu menghasilkan 16 persen dari produksi nasional, padahal kawasan
ini memiliki padang penggembalaan yang masih sangat luas (Subagyo, 2009).
Secara regional sebagian besar populasi terdapat di pulau Jawa sebanyak
7,5 juta ekor atau 50,74 persen dari total populasi sapi potong di Indonesia pulau
Sumatera sebanyak 2,7 juta ekor atau 18,40 persen; Bali dan Nusa Tenggara 2,1
juta ekor atau 14,19 persen; Sulawesi 1,8 juta ekor atau 11,97 persen, sedangkan
sisanya berada di Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi
masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor (Gambar 2). Populasi sapi potong
tersebut terdiri atas sapi potong lokal dan sapi ex-import yang telah digemukkan
di feedlot-feedlot di Indonesia.
Gambar 2 Populasi Sapi Potong Menurut Pulau Tahun 2011 (Sumber: Kementrian Pertanian – Badan Pusat Statistik, 2011)
Masalah Ketiga berada pada tingkat produktivitas ternak sapi potong lokal
yang rendah. Industri sapi potong di Indonesia yang banyak dikembangkan
dalam skala kecil oleh peternak rakyat akan mempengaruhi produktivitasnya.
Produktivitas pada sapi potong merupakan sifat gabungan dari produksi dan
reproduksi. Sifat produksi dan reproduksi sapi potong pada suatu populasi dapat
perkembangan populasi atau total bobot sapi yang dikeluarkan dari suatu populasi
per tahunnya. Kuantitas dan kualitas produktivitas sapi potong juga ditentukan
oleh faktor genetik dan lingkungan. Peternakan sapi potong rakyat akan kesulitan
dalam menjaga genetik dan lingkungannya sehingga besar kemungkinan
produktivitas sapi potong akan rendah. Rendahnya produktivitas genetik ternak
mengakibatkan sulitnya dalam penyediaan bakalan yang merupakan input utama
dalam industri sapi potong lokal selain pakan.
Ketiga permasalahan diatas membuat industri peternakan sapi potong lokal
di Indonesia terus mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan daging.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan
dalam penyediaan daging sapi konsumsi adalah dengan melakukan impor. Pada
tahun 1994, impor daging sapi Indonesia adalah 4700 ton atau sekitar 1,3 persen
dari total produksi daging sapi domestik. Angka impor ini memang relatif kecil,
namun sangat mengganggu peternak sapi lokal karena mutu daging impor lebih
baik dengan harga bersaing. Selain itu, pada tahun 1990 impor daging mencapai
59,4 persen per tahun (Yusdja dan Ilham, 2004). Sedangkan pada tahun 2010,
kebutuhan daging sapi di Indonesia terpenuhi oleh daging sapi lokal 70 persen dan
daging sapi impor 30 persen (Ditjennak, 2010).
Keadaan impor menjadi semakin sulit bagi peternak sapi lokal karena
harga daging impor, yang memiliki kualitas daging yang lebih baik, lebih rendah
dibandingkan dengan daging sapi potong lokal (Gambar 3). Artinya, peternakan
sapi potong lokal harus bersaing dengan sapi potong impor yang memiliki
keunggulan harga yang merupakan poin penting dalam persaingan pasar.
Peningkatan selera konsumen ikut serta dalam memperkuat masuknya daging sapi
impor, dan dengan ini, pangsa pasar daging sapi impor semakin meluas.
Rendahnya harga daging sapi lokal disebabkan oleh adanya inefisiensi sistem
usaha peternakan sapi lokal berupa tingginya biaya produksi dan pemasaran.
Permasalahan inefisiensi ini akan berakibat pada terhambatnya perkembangan
usaha peternakan sapi lokal baik dibidang feedlot maupun peternak rakyat.
Selain daging, Indonesia juga mengimpor sapi bakalan untuk digemukkan
di Indonesia. Sapi impor banyak digemukkan di Indonesia karena memiliki
kualitas karkas dan daging yang baik, pertumbuhan harian yang tinggi, dan harga
per kg bobot hidup lebih murah (Hafid, 1998). Sebagian besar sapi bakalan ini
dibeli dan digemukkan oleh peternak feedlot skala besar. Hal ini tentunya akan
menjadi salah satu ancaman tersendiri bagi para peternak sapi lokal yang rata-rata
dikembangkan oleh peternak kecil dan rumah tangga. Besarnya dorongan impor
sapi bakalan dan deregulasi oleh pemerintah yang membebaskan tarif impor sapi
bakalan, akan melemahkan usaha peternakan rakyat secara perlahan (Yusdja dan
Ilham, 2004).
Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun
daging akan terus terjadi. Perbedaan karakteristik antara sapi potong lokal dan
impor tentunya akan mempengaruhi daya saing dari kedua jenis sapi tersebut.
Menurut Daryanto (2010), daya saing peternakan mencerminkan upaya negara
dan bangsa untuk tetap memanfaatkan secara maksimal kompetensi sumber daya
peternakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan sumber
daya peternakan sapi potong lokal secara optimum akan meningkatkan daya saing
industri peternakan sapi potong di Indonesia.
Tingginya ketergantungan impor terhadap ketersediaan daging sapi di
Indonesia akan mempengaruhi produksi daging sapi lokal karena melemahnya
lokal sangat diperlukan untuk membuat sapi lokal mencapai performa sebenarnya.
Penyebaran sapi potong lokal yang tidak merata menyebabkan daya saing dari
industri sapi potong lokal dari masing-masing daerah akan berbeda. Dengan
mengetahui secara empirik perkembangan daya saing dari industri peternakan sapi
potong lokal khususnya industri penggemukan sapi potong lokal pada
masing-masing daerah, akan dapat ditentukan kondisi daya saing terbaik yang dapat
ditingkatkan untuk meningkatkan daya saing industri penggemukan sapi potong
lokal secara agregat. Kondisi ini diharapkan akan dapat mengetahui apakah
swasembada daging di Indonesia dapat tercapai pada waktu yang telah ditentukan.
Penelitian ini juga akan memudahkan pengambil keputusan untuk merancang dan
menetapkan suatu peraturan yang sesuai dan dibutuhkan oleh industri sapi potong
lokal di Indonesia.
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah;
1. Bagaimana kondisi perkembangan profitabilitas, produktivitas, dan
pertumbuhan output dari industri penggemukan sapi potong lokal di
Indonesia?
2. Bagaimana kondisi daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di
Indonesia dalam mewujudkan swasembada daging?
I.3. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis perkembangan profitabilitas, efisiensi, dan pertumbuhan
output dari industri penggemukan sapi potong lokal secara empirik di
Indonesia
2. Menganalisis perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong
lokal di Indonesia untuk dapat dioptimalkan dalam mewujudkan program
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kemampuan atau daya saing sapi lokal di pasar domestik. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi mengenai
perkembangan daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia.
Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil
keputusan dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat yang berkaitan dengan
perdagangan dan pengembangan populasi sapi potong lokal di Indonesia dalam
rangka mensukseskan program swasembada daging 2014.
I.5. Ruang Lingkup Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian
ini memiliki ruang lingkup;
1. Indikator daya saing yang akan diteliti yaitu indeks profitabilitas, efisiensi,
dan pertumbuhan output dari industri penggemukan peternakan sapi
potong lokal di Indonesia.
2. Industri penggemukan sapi potong merupakan suatu kegiatan atau usaha
pengolahan input berupa sapi bakalan menjadi output yang memiliki nilai
guna dan nilai tambah berupa sapi potong yang siap untuk dipasarkan.
3. Sapi potong lokal terdiri dari sapi Bali, sapi Madura, sapi Peranakan
Ongol, Sapi Aceh, dan sapi persilangan yang telah didomestikasi di
Indonesia.
4. Industri sapi potong yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah
industri penggemukan sapi potong lokal yang terdapat di Indonesia.
5. Daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di Indonesia
merupakan analisis daya saing dari industri penggemukan sapi potong
lokal dari masing-masing daerah dan diagregasikan kepada daya saing
nasional berdasarkan daerah pengembangan sapi lokal.
6. Daerah pengembangan sapi potong lokal merupakan daerah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah untuk dikembangkan industri sapi potong lokal
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daya Saing
Daya saing merupakan kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan
untuk bersaing dengan sukses mencapai suatu pertumbuhan yang berkelanjutan di
dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan
sumber daya yang digunakan (Daryanto, 2009). Menurut World Economic Forum
(WEF) tahun 2009, Indonesia menghadapi persoalan-persoalan yang sangat
penting untuk ditangani dalam rangka peningkatan daya saing nasional. Persoalan
tersebut antara lain adalah (a) kualitas birokrasi yang tidak efisien, (b)
ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai, (c) kebijakan pemerintah yang
tidak konsisten, (d) tingginya tingkat korupsi, dan (e) kesulitan dalam akses
permodalan atau pembiayaan.
Definisi lain diungkapkan oleh Van Duren et aldalam Aguiar dan Andrea
(2002), yaitu sebagai kemampuan pertambahan keuntungan dan menjaga pangsa
pasar pada pasar domestik atau internasional, dan berdasarkan kepada tiga
pendekatan studi competitiveness. Ketiga pendekatan tersebut antara lain adalah
ekonomi neoklasik yang menyimpulkan daya saing sebagai perubahan pangsa
pasar, pendekatan organisasi industrial yang menggambarkan peningkatan daya
saing melalui persaingan sedangkan penurunan daya saing melalui penggunaan
koperasi, dan pendekatan manajemen strategi yang menggunakan faktor yang
menggerakkan atau mengganggu daya saing dari industri dalam arti dinamik.
Perbedaan dalam mendefinisikan daya saing dapat mempengaruhi cara pandang
sehingga mempengaruhi penggunaan indikator dalam menganalisis daya saing itu
sendiri.
Pengukuran daya saing harus menggunakan patokan yang jelas, karena
merupakan konsep yang relatif, baik untuk mengukur daya saing internasional
maupun domestik. Laturffe (2010) mengatakan bahwa banyak penelitian yang
menganalisis daya saing hanya dengan menggunakan satu ukuran (seperti indeks
ekspor, biaya produksi, atau pertumbuhan produktivitas saja) meskipun telah
terdapat bukti bahwa daya saing dapat berbeda sesuai dengan komponen yang
Daya saing secara internasional dapat diukur dalam bentuk komparasi
daya saing antar produk-produk ekspor seperti yang digunakan dalam penelitian
Hadi dan Mardianto (2004). Penelitian tersebut mengukur daya saing dengan
menggunakan pertumbuhan standar, efek komposisi produk, efek distribusi pasar,
dan efek daya saing. Parameter pertumbuhan standar menurut penelitian tersebut
mengindikasikan pertumbuhan ekspor produk negara-negara dunia ke kawasan
ASEAN. Parameter ini mencerminkan kinerja ekspor dari negara atau kelompok
negara pesaing terhadap Indonesia atau negara ASEAN lainnya. Efek distribusi
pasar digunakan untuk menggambarkan perhatian yang akan diberikan suatu
negara terhadap eksportir terbesar, sedangkan efek daya saing digunakan untuk
mengetahui kenaikan atau penurunan pangsa pasar ekspor Indonesia secara relatif
terhadap standar setelah diperhitungkan perubahan komposisi produk dan
distribusi pasar.
Hadi dan Mardianto (2004) mengasumsikan bahwa efek daya saing hanya
dapat terjadi selama periode analisis sebagai respon terhadap perubahan harga
relatif pada pasar ASEAN. Efek distribusi pasar menurut penelitian tersebut hanya
cocok untuk melihat penjualan pasar. Penggunaan parameter pertumbuhan output
standar akan memberikan gambaran mengenai aktifitas operasional termasuk
didalamnya perubahan stok atau ketersediaan produk, produksi modal, dan
gambaran output riil dalam suatu periode tertentu.
Daya saing internasional juga dapat diketahui dengan menggunakan
permintaan suatu produk dengan menganalisis faktor yang mempengaruhinya baik
faktor internal maupun faktor eksternal. Penelitian dengan menggunakan
pendekatan ini salah satunya dilakukan oleh Kagochi (2007) yang menyatakan
bahwa indikator utama yang sangat mempengaruhi permintaan dari produk
gandum US menurut penelitian tersebut adalah harga dan kualitas, sedangkan
faktor peningkatan investasi yang berkelanjutan pada sisi produksi akan
memberikan dampak meningkatnya daya saing karena menurunkan biaya
produksi dan strategi pemasaran yang tepat. Harga yang lebih rendah dan
peningkatan kualitas membuat produk gandum US lebih kompetitif dibandingkan
produk lainnya. Permintaan juga mempengaruhi daya saing kakao asal Indonesia
Indonesia yang rendah mengakibatkan permintaan dunia akan kakao asal
Indonesia menjadi rendah, sahingga daya saing industri untuk kakao asal
Indonesia akan rendah di mata internasional (Widodo, 2000).
Berkaitan dengan permintaan konsumen, daya saing dapat diketahui
dengan melihat perkembangan permintaan produk di pasar oleh konsumen.
Seperti yang dilakukan oleh Sudiyarto dan Hanani (2005), ketika konsumen lebih
memilih atau berminat terhadap suatu produk dibandingkan dengan produk
lainnya, maka ini dapat menggambarkan daya saing produk tersebut di pasar.
Jika permintaan suatu produk tinggi, maka dikatakan bahwa produk
tersebut memiliki keunggulan bersaing terhadap produk sejenis lainnya. Menurut
penelitian ini, daya saing tidak dapat dinyatakan tinggi hanya ketika suatu produk
memiliki harga yang tinggi ataupun memiliki keunggulan ekonomi. Hal ini
disebabkan karena ketika produk sampai dipasar, permintaan konsumen atau
pemilihan dalam pembelian produk akan menunjukkan apakah produk tersebut
berdaya saing tinggi, sehingga harga yang mahal dapat dikatakan berdaya saing
ketika konsumen memberikan sikap positif dalam mengkonsumsi produk tersebut,
begitu juga sebaliknya.
Daya saing dapat digunakan untuk melihat apakah suatu produk yang
dihasilkan dan dipasarkan oleh suatu perusahaan/industri baik secara nasional
maupun internasional memiliki peluang untuk bertahan terhadap persaingan
terhadap produk lain, baik produk yang sama yang berasal dari perusahaan atau
negara lain, maupun produk substitusi dan komplementer dari produk tersebut.
Indikator lain yang menjelaskan daya saing adalah indikator performance.
Indikator performance dapat diukur dengan menggunakan beberpa variabel,
diantaranya yang banyak digunakan untuk menjelaskan daya saing adalah
produktivitas, profitabilitas, dan growth (Perdana, 2003; Malian, Banny, dan
Adimesra, 2004; Fischer dan Schornberg , 2007; Laturffe, 2010). Kelebihan
pendekatan daya saing dengan indikator performa adalah kemungkinan untuk
mempertimbangkan dua strategi bisnis, yaitu; (1) strategi pemasaran dengan
produktivitas tinggi namun memiliki profitabilitas per unit yang rendah, dan (2)
strategi “kualitas tinggi” dengan margin profit per unit yang tinggi dengan hasil
2.2. Hubungan Antara Daya Saing dan Profitabilitas
Profitabilitas merupakan salah satu indikator untuk menilai efektifitas dari
suatu industri atau produk yang menunjukkan tujuan utama atau objektif yang
akan dicapai. Untuk menentukan daya saing dari suatu perusahaan/ industri/
negara dapat digunakan profitabilitas sebagai indikator untuk menggambarkan
efektifitas. Menurut Purnama dan Setiawan (2003), profitabilitas dapat
menggambarkan kinerja dari suatu perusahaan atau industri yang berkorelasi
dengan kompetensi pemasarannya. Ketika kinerja perusahaan tinggi, maka
profitabilitas perusahaan akan ikut meningkat sehingga tingkat kompetensi
perusahaan pada pasar juga ikut meningkat.
Desianti (2002) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa profitabilitas
merupakan variabel penting dalam mengetahui daya saing suatu komoditas.
Seperti pada komoditas kopi robusta, dimana profitabilitas mempengaruhi tingkat
daya saing komoditas tersebut di pasar. Nilai profitabilitas yang tinggi menurut
Desianti (2002) menandakan bahwa kopi robusta dapat membiayai dan
memproduksi biji kopi secara efisien dan secara finansial memiliki daya saing di
pasar domestik dan internasional.
Berdasarkan Fischer dan Schornberg (2007) serta Notta dan Vlachvei
(2011), profitabilitas merupakan variabel kunci untuk mengetahui daya saing
sektor yang akan menggambarkan kinerja komparatif dari industri. Pangsa pasar
atau market share merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan daya
saing. Pangsa pasar dapat didefinisikan sebagai proporsi (persentase) dari total
pasar output yang tersedia (atau segmen) atau output atau penjualan yang
dihasilkan atau dijual oleh suatu perusahaan/ industri. Fischer dan Schornberg
(2007) serta Notta dan Vlachvei (2011) dalam penelitiannya menggunakan margin
profit operasional bruto, yaitu perbandingan antara profit operasional bruto untuk
menentukan profitabilitas. Menurut penelitian tersebut, nilai profitabilitas yang
2.3. Hubungan Antara Produktivitas dan Daya Saing
Produktivitas merupakan komponen yang turut menentukan dan menjadi
syarat utama dalam keberhasilan suatu perusahaan. Produktivitas menunjukkan
tingkat kualitas perusahaan dalam menghadapi era persaingan sehingga
perusahaan dapat mencapai tujuan yang ditentukan. Porter dalam Ketels (2006)
menyatakan bahwa produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing baik
pada level individu, perusahaan, industri, maupun nasional. Produktivitas
merupakan standar hidup dan sumber pendapatan individual maupun per kapita,
sedangkan daya saing pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menciptakan
suatu tingkat kemakmuran. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan yang sejalan antara tingkat produktivitas dengan tingkat daya
saing. Penjelasan ini didukung oleh Laturffe (2010) yang menyatakan bahwa
produktivitas yang menunjukkan tingkat efisiensi dapat dijadikan salah satu
ukuran utama untuk daya saing. Efisiensi juga dapat mengungkapkan potensi
kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan atau industri di masa yang akan datang.
Kurniawan (2008) dalam penelitiannya mendukung pernyataan di atas
dengan menyatakan bahwa nilai efisiensi berbanding lurus dengan tingkat daya
saing. Dalam penelitiannya, Kurniawan (2008) menjelaskan bahwa ketika suatu
komoditas (dalam hal ini adalah jagung) mengalami kenaikan nilai efisiensi maka
daya saing komoditas tersebut akan ikut meningkat. Dari keterangan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa produktivitas memiliki dampak yang positif terhadap
daya saing.
Secara definisi, produktivitas merupakan ukuran output yang dapat
dihasilkan dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Dalam beberapa
penelitian, nilai produktivitas dihitung dengan menggunakan persentase
pertumbuhan tahunan dari populasi, pemotongan, dan produksi daging secara time
series (Haeruddin, 2004; Rouf, 2010) sedangkan pada penelitian lain nilai
produktivitas dapat diketahui dengan membandingkan nilai tambah per tenaga
kerja. Nilai tambah dapat ditentukan dengan mengetahui nilai pembelian dan
penjualan dari perusahaan. Untuk mengetahui nilai tambah dari industri,
digunakan rasio penjualan dan pembelian dari perusahaan-perusahaan sejenis
2.4. Hubungan Antara Pertumbuhan Output dan Daya Saing
Pertumbuhan merupakan aspek dinamis dari daya saing yang digunakan
oleh Fischer dan Schornberg (2007). Pertumbuhan output menjelaskan proses
daya saing dari perusahaan/ industri. Untuk mengukur nilai tambah, penelitian
Fischer dan Schornberg (2007) menggunakan pertumbuhan nilai produksi, dengan
alasan bahwa nilai produksi terdiri dari total aktivitas operasional termasuk
perubahan stok dan produksi yang akan merefleksikan output riil per periode.
Pertumbuhan produksi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
(2012) sangat menentukan daya saing. Pertumbuhan produksi industri yang
rendah disamping ketatnya persaingan pasar nasional maupun internasional, tidak
mampu memberikan hasil produksi yang memiliki daya saing yang tinggi di pasar
yang akan berdampak pada sulitnya pengusaha industri baik industri kecil maupun
industri menengah untuk dapat berkembang.
2.5. Industri Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Industri peternakan sapi potong dapat diartikan sebagai kegiatan bisnis
yang rantai kegiatannya tidak terbatas pada kegiatan budidaya saja, namun sampai
kegiatan industri berikut beserta kegiatan pendukungnya.
Perkembangan Kebijakan Peternakan Sapi Potong
Usaha pengembangan terhadap sapi potong di Indonesia menurut Arifin
(2010) telah dimulai sejak tahun 1970-an meskipun hasil yang diperoleh tidak
begitu menggembirakan. Sebelum tahun 1974, pemerintah pernah meluncurkan
program Bantuan Presiden (Banpres) sapi potong, Crash Program Sapi Potong
Impor, maupun Proyek Kredit Pedesaan yang tujuannya adalah untuk
meningkatkan produksi ternak potong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada tahun 1974/1975 hingga 1980/1981, pemerintah Indonesia mengeluarkan
kebijakan pengembangan sapi potong dalam bentuk program Panca Usaha Ternak
(PUTP). Berbeda dengan pernyataan Arifin (2010), Rahmanto (2004) menyatakan
bahwa pemerintah Indonesia melakukan kebijakan pengembangan ternak sapi
potong sejak awal periode 1990-an untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang
pengusahaan yang dilakukan oleh peternakan rakyat, dan pola pengusahaan yang
melibatkan perusahaan-perusahaan besar swasta (feedlot).
Pada tahun anggaran 2002 pemerintah telah merencanakan upaya
pengembangan ternak sapi potong melalui kegiatan Program Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan, dan kegiatan tersebut diaplikasikan
pada berbagai bentuk kegiatan pengembangan ternak potong. Pengembangan
Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan pada dasarnya merupakan suatu model
atau pola pengembangan wilayah atau daerah yang diarahkan pada keterpaduan
usaha tani antara peternak dan tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan
(kawasan peternakan terpadu) dan kawasan peternakan khusus yang memiliki
kegiatan utama usaha peternakan sapi seperti lahan umum, ranch, dan kawasan
khusus peternak (KUNAK). Pengembangan dan pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan sehingga mengarah kepada wilayah atau daerah
yang berkembang mandiri dan memiliki nilai ekonomis (Ditjennak, 2002).
Dalam rangka upaya pengembangan ternak sapi potong, pada tahun 2003
upaya pengembangan ternak tersebut menyebar di 29 provinsi. Pada awalnya
upaya ini dilakukan melalui proyek pengembangan sapi potong sistem “Sumba
Kontrak”. Program tersebut cukup berhasil dalam memicu kinerja peternak rakyat.
Program tersebut kemudian diikuti oleh program-program susulan seperti Proyek
Panca Usaha Ternak Potong (PUTP) dan terakhir adalah Program Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) yang meliputi Program Peningkatan Rakyat
Terpadu (P2RT).
Program lainnya yang bertujuan untuk pengembangan ternak potong
adalah Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Peternakan yang didalamnya
terdapat Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT). Kebijakan terakhir yang
dikeluarkan pemerintah untuk peternakan sapi potong adalah kebijakan
swasembada daging oleh pemerintah yang konsep dasarnya adalah optimalisasi
penggunaan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam
Usaha Peternakan Sapi Potong
Peternakan sapi potong di Indonesia terdiri dari peternak besar dan
peternak rakyat. Peternak besar atau peternak komersial (yang memelihara >1.000
ekor/peternak per tahun) terdiri atas peternak penggemukan (feeder) dan peternak
pembibitan (breeder). Para peternak penggemukan umumnya mendapatkan ternak
sapi bakalan melalui impor berupa sapi jantan/betina Brahman cross dan hanya
sedikit peternak komersial tersebut yang menggunakan sapi bakalan dalam negeri,
terutama karena alasan nilai ekonomis yang rendah. Dari pengalaman pada
peternakan penggemukan inilah, akhirnya berkembang peternakan sumber bibit
atau bakalan (Talib, Inounu, dan Bamualim, 2007).
Indonesia masih belum memiliki peternakan breeder murni. Di Indonesia,
peternak komersial yang memanfaatkan sapi-sapi betina produktif ex-impor untuk
menghasilkan keturunan. Sapi-sapi betina tersebut diseleksi dengan seksama akan
sifat-sifat reproduksinya, kemudian diinseminasi dan dijual sebagai ternak betina
bunting. Sapi-sapi betina tersebut diminati oleh banyak pemerintah daerah untuk
dikembangkan dan digunakan untuk menambah populasi sapi potong di
wilayahnya masing-masing. Pasar kedua produk tersebut, baik sapi penggemukan
maupun sapi bunting adalah pasar yang sangat prospektif (Talib, Inounu, dan
Bamualim, 2007).
Peternak rakyat atau peternak tradisional menurut Talib, Inounu, dan
Bamualim (2007) juga mempunyai peran yang hampir sama, tetapi dalam skala
usaha yang sangat berbeda. Peternak penggemukan lebih dikenal sebagai peternak
sapi kereman karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong cukup
lama yaitu lebih dari 6 bulan. Sementara itu peternak penghasil sapi bakalan lebih
tepat disebut sebagai peternak budidaya karena praktek seleksi untuk peningkatan
produktivitas belum ada dan memang tidak tepat untuk dilaksanakan karena skala
pemilikan yang kecil (1–5 ekor/peternak). Menurut Yusdja dan Ilham (2006),
sebagian besar ternak sapi lokal di Indonesia dipelihara secara tradisional dalam
Pembibitan dan Pakan Ternak Sapi Potong
Pembibitan sapi potong dapat dilakukan secara alami maupun dengan
menggunakan teknologi atau buatan. Menurut Rahmanto (2004), pembibitan yang
dilakukan oleh peternak-peternak kecil umumnya bertujuan untuk tabungan.
Teknik kawin suntik (inseminasi buatan-IB) yang dilakukan biasanya berhasil
dengan frekuensi 2-4 kali penyuntikan dengan biaya persuntik adalah Rp 30.000.
Sapi bakalan jantan biasanya dipelihara selama 1,5 hingga 2 tahun untuk siap
dijual. Sebagian besar bibit sapi potong lokal betina dijual dari umur 4 bulan
hingga 2 tahun, bergantng kepada kebutuhan peternak. Di daerah Magetan, ternak
diberikan pakan hijauan berupa jerami padi, jerami jagung, dan rumput serta
pakan konsentrat seperti katul, ubi kayu, dan garam. Selama masa pemeliharaan
(720 hari), sapi bakalan menghabiskan 1800 Kg pakan dengan harga rata-rata
untuk daerah tersebut adalah Rp 1500/kg.
Berikutnya dijelaskan oleh Rahmanto (2004), usaha penggemukan sapi
potong di wilayah Magetan umumnya dilakukan dengan memelihara 1-2 ekor sapi
bakalan. Pemeliharaan dalam sistem penggemukan ini lebih bersifat komersil
dibandingkan dengan sapi bakalan atau bibit. Dalam 1 periode penggemukan atau
sekitar 6 bulan, satu ekor sapi dapat menghabiskan 73 Kg hijauan dan 800 kg
pakan konsentrat.
Apabila dibandingkan dengan sapi impor atau jenis sapi limousin (di
daerah yang sama dan peternakan yang sama) satu ekor sapi dapat menghabiskan
220 Kg pakan hijauan dan 2384 kg pakan konsentrat selama 12 bulan, atau setara
dengan 110Kg pakan hijauan dan 1192kg pakan konsentrat selama 6 bulan.
Menurut Yusdja et al (2001), untuk daerah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur,
dan Sumatera Utara, akan menunjukkan bahwa usaha sapi kreman akan
mengalami kerugian jika seluruh biaya usaha tani diperhitungkan dalam analisis,
kecuali untuk daerah Jawa Timur pada skala usaha 6 ekor/ peternak.
Peternakan semi intensif yang banyak dikembangkan di daerah Garut,
menurut Permana (2002) kebanyakan menggunakan jerami padi dan ampas tahu
sebagai pakan utama. Pakan tersebut banyak digunakan dengan alasan merupakan
sumber daya lokal atau potensi daerah setempat. Sebagian besar peternak di
pakan ternak, dan hanya 3,57 persen yang menggunakan konsentrat secara rutin.
Perbedaan dalam pemberian pakan selain akan mempengaruhi kualitas sapi
potong yang dihasilkan, juga akan mempengaruhi tingkat harga jual dan
pendapatan peternak.
Produksi Sapi Potong di Indonesia
Produksi sapi potong menurut Kariyasa (2004), dipengaruhi oleh harga
daging sapi dalam negeri, suku bunga, populasi ternak sapi, harga ternak sapi, dan
harga pakan. Menurut penelitian tersebut, hanya peubah teknologi dan tingkat
upah yang tidak mempengaruhi produksi daging sapi. Nilai produksi daging
sangat responsif terhadap perubahan harga daging sapi dalam negeri dan harga
ternak sapi. Sesuai dengan hukum permintaan yang menyebutkan bahwa ketika
harga tinggi, maka suplai barang akan meningkat, maka ketika harga daging sapi
tinggi, maka nilai produksi akan ikut meningkat, begitu juga sebaliknya yakni
ketika harga daging sapi mengalami penurunan, maka produksi daging akan ikut
turun.
Harga sapi akan mempengaruhi jumlah sapi yang dapat atau akan dipotong.
Ketika harga sapi tinggi maka pembelian sapi potong akan cenderung rendah,
sehingga jumlah pemotongan akan berkurang, yang akibatnya jumlah produksi
daging sapi akan berkurang, begitu sebaliknya (Kariyasa, 2004). Menurut Taufik
(2010), produksi dari peternakan sapi potong dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti penggunaan hijauan, lama pemeliharaan, dan jumlah ternak. Sebaliknya,
faktor yang tidak berpengaruh nyata menurut penelitian ini adalah konsentrat,
tenaga kerja, umur ternak, dan bobot awal ternak.
Kondisi Pasar Sapi Potong di Indonesia
Saat ini ketergantungan peternak terhadap jasa pengumpul dalam
memasarkan ternaknya masih cukup tinggi meskipun telah tersedia pasar ternak
dengan fasilitas yang cukup memadai. Beberapa faktor penyebabnya menurut
Rahmanto (2004) serta Yusdja dan Ilham (2006) diantaranya adalah; pertama,
tingkat skala usaha peternak yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya
dibandingkan dengan menjualnya pada pedagang pengumpul yang pembelian dan
pembayarannya dilakukan di kandang.
Kedua, peternak tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
kondisi pasar. Kurangnya informasi pasar dapat menyebabkan peternak
mengalami kerugian dari sisi harga maupun penipuan. Ketiga, transaksi
didasarkan pada taksiran pembeli. Tidak adanya ketentuan dalam penetapan harga
seperti bobot ternak maupun kondisi-kondisi lainnya akan melemahkan posisi
tawar dari peternak, sehingga peternak akan mengalami kerugian apabila
penjualan dilakukan atas dasar kebutuhan, bukan pada sistem bahwa ternak sapi
tersebut telah mencapai umur jual. Keempat, banyaknya makelar yang berada di
pasar yang berpotensi mengurangi penerimaan dari peternak.
Usaha peternakan sapi potong, baik secara langsung maupun tidak
langsung berkompetisi dengan perusahaan besar yang melakukan kegiatan impor.
Di Jawa Timur, menurut penelitian yang dilakukan Rahmanto (2004), impor sapi
hidup berpengaruh positif terhadap pengeluaran ternak di daerah tersebut. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar ternak impor sapi terdiri dari sapi bibit dan sapi
bakalan yang menyumbang terhadap jumlah populasi ternak. Perbandigannya
adalah bahwa setiap 1 ton berat hidup sapi impor (setara dengan 3-4 ekor sapi
hidup) akan menyumbang peningkatan pengeluaran ternak dari Jawa Timur
sebesar 0,976 ekor. Sebaliknya impor daging berpengaruh negatif terhadap
pengeluaran ternak di Jawa Timur. Perbandingan pengaruh ini adalah tiap impor
daging sapi sebesar 1 ton akan menurunkan jumlah pengeluaran ternak sebesar 3,7
ekor.
Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi pasar di daerah DKI Jakarta
dan Jawa Barat yang merupakan daerah pemasaran utama ternak sapi potong.
Pangsa pemasukan ternak sapi potong dikedua provinsi tersebut adalah pangsa
terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 31 persen dan 42 persen (Ilham et al, 2001).
Menurut Yusdja et al (2001) 43 persen dari pengadaan daging sapi untuk kedua
daerah tersebut berasal dari impor, sedangkan 57 persen lainnya berasal dari
peternak domestik.
Pertukaran atau definisi pasar akan terjadi dengan adanya harga. Kondisi
(2004), harga penjualan sapi potong di Jawa Timur, khususnya Magetan,
didasarkan pada volume bobot karkas setelah pemotongan, atau bukan
berdasarkan pada berat hidup. Harga sapi potong di pasar internasional,
dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang suatu negara. Sebagai contoh, melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap US$ menyebabkan harga paritas impor menjadi lebih
mahal.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Daya Saing
Berdasarkan sejarahnya, konsep daya saing dalam perdagangan suatu
komoditas atau produk antar negara telah berkembang pesat. Konsep pertama
dimulai dari konsep keunggulan absolut dari Adam Smith yang menyatakan
bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan apabila karena
faktor-faktor alamiah masing-masing negara dapat mengadakan suatu produk
yang lebih murah dibandingkan dengan memproduksinya sendiri. Menurut konsep
ini, setiap negara sebaiknya mengkhususkan diri untuk memproduksi produk yang
paling efisien yaitu produk yang biaya produksinya paling rendah (Asheghian dan
Ebrahimi, 1990) .
Perkembangan konsep berikutnya merupakan konsep keunggulan
komparatif yang berasal dari David Richardo. Dalam konsep ini disebutkan
bahwa apabila suatu negara dapat memproduksi masing-masing dari dua produk
dengan lebih efisien dibandingkan negara lainnya, dan dapat memproduksi satu
dari dua produk tersebut dengan lebih efisien, maka sebaiknya negara tersebut
mengkhususkan diri dan mengekspor produk yang secara komparatif lebih efisien,
yaitu produk yang memiliki nilai absolut tertinggi. Sebaliknya, negara yang
memiliki efisiensi yang lebih rendah sebaiknya mengkhususkan diri dan
mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah inefisiensinya, yaitu
komoditas yang paling rendah ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi,
1990). Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun suatu negara tidak
memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara tersebut maupun
negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan
internasional.
Teori penting mengenai daya saing berikutnya dikembangkan oleh
Heckscher-Ohlin (HO) yang berpendapat bahwa faktor penentu utama keunggulan
komparatif bagi masing-masing negara yang merupakan landasan dalam
melakukan perdagangan adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan
(Salvatore, 1997). Atas dasar alasan ini maka model H-O disebut juga sebagai
Teori Kepemilikan Faktor (Factor Endowment theory) atau Teori Proporsi Faktor
(Factor Proportion Theory).
Teori Heckscher-Ohlin menyatakan bahwa negara akan mengekspor
komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif
melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut
akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang
relatif langka dan mahal di negara tersebut (Salvatore, 1997). Teori ini
menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harga faktor tersebut secara relatif
merupakan penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi
dasar terjadinya perdagangan.
Konsep selanjutnya merupakan penyempurnaan dari konsep keunggulan
komparatif, yaitu konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif
yang dirancang oleh Porter pada tahun 1990 ini menyatakan bahwa daya saing
suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan empat
atribut yang dimilikinya. Konsep ini dikenal sebagai The Diamond of Porter,
dimana artibut yang dimaksudkan terdiri dari (1) faktor kondisi; (2) kondisi
permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; dan (4) strategi, struktur, dan
persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama akan
mempengaruhi kemampuan bersaing suatu industri pada suatu negara apabila
ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang kondusif yang dapat mempercepat
keunggulan dan koordinasi antar atribut tersebut. Menurut konsep teori diamond
lokasi pusat kegiatan (national home base) suatu perusahaan akan menentukan
daya saing perusahaan tersebut dalam kompetisi internasional. Secara rinci
dijelaskan, dimana;
1. Faktor kondisi, adalah hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor
produksi yang dimiliki oleh suatu negara, antara lain: sumber daya alam
(SDA), knowledge, modal, dan infrastruktur. Kekuatan sumber daya yang
dimiliki suatu bangsa tidak seluruhnya merupakan anugerah alam
(endowment), namun dapat diciptakan, dibangun atau dikembangkan.
Insiatif politik, kemajuan teknologi dan perubahan sosial merupakan
2. Faktor Permintaan domestik, adalah hal-hal yang berkaitan dengan
permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Suatu
negara dapat memiliki keunggulan daya saing di pasar atau industri
tertentu apabila permintaan domestiknya jelas. Permintaan domestik itu
sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: komposisi keinginan dan
kebutuhan konsumen; jangkauan dan tingkat pertumbuhan pasar; dan
mekanisme yang menyalurkan kebutuhan dan keinginan konsumen
domestik ke pasar internasional.
3. Faktor-Faktor industri pendukung, yaitu ada tidaknya industri-industri
pemasok bahan baku dan industri pendukung yang kompetitif dalam
persaingan internasional. Industri pemasok yang kompetitif akan berperan
penting terhadap pengembangan industri utama terutama untuk
memperkuat inovasi dan upaya internasionalisasi. Industri pendukung
merupakan industri yang secara bersama-sama dengan industri utama
melaksanakan kegiatan bisnis tertentu.
4. Faktor strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan pola manajemen dan karakteristik persaingan usaha
di suatu negara. Faktor-faktor tersebut akan berbeda-beda kondisi dan
penerapannya di masing-masing negara. Hal ini akan menjadi keunggulan
daya saing dan sebaliknya akan menjadi faktor kelemahan terhadap suatu
perusahaan atau negara.
Wolff, Schmitt, dan Hochfeld (2007) mendefinisikan daya saing pada tiga
tingkatan, yaitu pada level perusahaan, industri, dan level nasional/ negara. Pada
level perusahaan, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan barang dan jasa lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan
perusahaan lain (pesaing) yang sejenis. Daya saing ini juga mencakup kepada
keberhasilan perusahaan untuk sukses dan berhasil di pasar internasional dengan
sedikit pengaruh (intervensi) pemerintah, ataupun subsidi. Suatu perusahaan
dianggap mempunyai daya saing jika mampu mempertahankan keuntungan serta
dapat dipandang sebagai pesaing yang kuat jika perusahaan tersebut mampu
meningkatkan pangsa pasar dan keuntungannya. Keunggulan kompetitif atau daya
domestik untuk menjual produk-produknya dalam pasar global berdasarkan daya
tarik relatif dari harga dan mutunya dibandingkan dengan pesaing asingnya.
Daya saing pada level industri merupakan kemampuan
perusahaan-perusahaan nasional untuk berhasil atau sukses secara berkesinambungan
dibanding dengan perusahaan-perusahaan dari luar (pesaing), tanpa adanya
proteksi dan subsidi dari pemerintah. Mengukur daya saing pada tingkat industri
mencakup profitabilitas dari keseluruhan perusahaan-perusahaan nasional yang
ada dalam sektor industri yang bersangkutan, keseimbangan perdagangan industri,
juga keseimbangan antara masuk dan keluar pada investasi asing langsung, serta
ukuran langsung dari biaya dan kualitas yang dihasilkan pada level industri.
Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi daya saing diantaranya adalah
teknologi yang digunakan dalam penggunaan input, diferensiasi produk, ekonomi
produksi, dan faktor eksternal (Harrison dan Lynn, 1997; Kagochi, 2007). Di sisi
lain, Russel dan Taylor (2005) menyatakan bahwa faktor terpenting dalam daya
saing adalah produktivitas. Peningkatan produktivitas akan diikuti oleh
peningkatan upah tanpa memproduksi inflasi, yang akan meningkatkan standar
hidup. Peningkatan produktivitas juga memperlihatkan seberapa cepat ekonomi
dapat memperluas kapasitas suplai barang.
Daya saing dari sisi industri atau perusahaan lebih intens ketika
perusahaan secara relatif seimbang dalam ukuran-ukuran; sumber daya, produk,
dan jasa yang telah distandarisasikan; perkembangan industri cenderung pelan
(yang menyebabkan perusahaan mendapatkan keunggulan dengan mengorbankan
perusahaan lain); atau eksponensial. Daya saing pada level industri atau
perusahaan dapat diukur berdasarkan jumlah pemain utama dalam industri
tersebut dan market shared dari industri yang memimpin. Industri yang memiliki
daya saing tinggi merupakan industri yang memiliki hambatan pasar paling sedikit.
Dalam suatu pasar global, hambatan pasar yang harus dihadapi oleh perusahaan
merupakan orientasi operasional, seperti;
1. Economic of scale
Ketika volume produksi meningkat, biaya yang dikeluarkan menurun.