III. KERANGKA PEMIKIRAN
4. Faktor strategi, struktur dan persaingan perusahaan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pola manajemen dan karakteristik persaingan usaha
3.1.2. Ukuran Daya Saing
Pengertian dan definisi daya saing mengarah pada langkah-langkah yang digunakan sebagai indikator daya saing. Banyak langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing bila dilihat dari definisinya.
Berdasarkan sejarahnya, teori pertama menggambarkan spesialisasi (SPECs) suatu negara sebagai sektor yang relevan terhadap daya daing (COMPs). Teori tersebut dapat dituangkan dalam bentuk persamaan:
COMPs = f(SPECs)
Teori daya saing sebagai spesialisai berkembang dari kebutuhan untuk membangun dan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dihasilkan dari perbedaan teknologi dari teori Richardo, faktor endowment atau increasing return to scale. Richardo dalam teorinya menyatakan bahwa dengan berpindahnya sumber daya dari suatu sektor ke sektor lain, opportunity cost dari masing-masing unit tambahan akan meningkat. Biaya yang meningkat seperti ini muncul karena faktor produksi bervariasi dalam hal kualitas dan dalam kesesuaiannya untuk memproduksi komoditas yang berbeda. Dalam keadaan inilah teori Richardo dapat memperkirakan bahwa suatu negara akan melakukan spesialisasi hingga pada titik dimana perolehan dari spesialisasi menjadi sama dengan biaya spesialisasi meningkat.
Teori faktor endowments yang dikembangkan oleh Heckscher-Olin menyatakan bahwa setiap negara yang berbeda akan memilih metode produksi yang berbeda tergatung pada harga faktor di negara tersebut. H-O menyimpulkan bahwa pola produksi dan perdagangan dijelaskan dengan faktor endowmen atau harga faktor produksi yang berbeda. Pada dasarnya model H-O mengansumsikan constant return to scale yang menggambarkan jika produsen menggunakan dua kali lipat input, maka output yang dihasilkan harus dua kali lipat juga.
Apabila penggunaan input dua kali lipat dapat menghasilkan output lebih dari dua kali lipat, maka terdapat skala ekonomi (increasing return). Keberadaan skala ekonomi dapat menjelaskan bahwa suatu negara akan mendapatkan manfaat jika melakukan spesialisasi dalam produksi suatu jangkauan produk yang terbatas. Mengacu pada teori spesialisasi dari H-O, Krugaman dan Helpman secara terpisah mengembangkan model-model perdagangan dalam produk terdeferensiasi.
Pada prakteknya, akan sulit untuk menemukan tingkat optimum dari spesialisasi, disamping nilai pangkat yang terlalu tinggi dari spesialisasi akan memberikan konsekuensi negatif. Konsekuensi negatif tersebut dapat berupa resiko ekonomi akan meningkat karena spesialisasi berimplikasi terhadap
diferesifikasi. Salah satu contoh pendekatan yang menggunakan teori spesialisai adalah RCA (RevealedComparativeAdvantage).
Menurut Oginsky, Stiefelmeyer, dan Al Mussell (2011), gagasan dibalik RCA adalah bahwa daerah menunjukkan kemampuan yang lebih untuk mengkhususkan diri dalam memproduksi produk dengan biaya oportunitas yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Hal ini dilakukan dengan dengan membandingkan pangsa pasar ekspor produk tertentu dari suatu wilayah dengan pangsa pasar pesaingnya, atau dunia. Pendekatan ini berasal dari gagasan keunggulan komparatif perdagangan; dalam artian bahwa wilayah yang memiliki spesialisasi produk tersebut, akan lebih memiliki daya saing. Kelemahan dari pendekatan ini adalah kurangnya penggunaan faktor-faktor utama yang dibutuhkan, selain itu juga dapat membuat suatu daerah terlihat lebih kompetitif dibandingkan daerah lainnya karena luasan ekonomi yang kecil atau nondifersifikasi, dan perbedaan format data dapat memberikan hasil yang sangat berbeda. Sehingga secara teknis indikasi RCA tidak dapat disamakan pada ukuran negara yang berbeda, karena nilai produksi, ekspor, dan impor tiap negara akan berbeda.
Secara konseptual, keunggulan komparatif tidak sama dengan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif dari perekonomian mendeskripsikan posisi dari aktivitas ekonomi yang berbeda dalam hal biaya oportunitas yang relatif terhadap yang lainnya. Singkatnya, suatu negara dikatakan memiliki keunggulan komparatif pada suatu industri jika biaya produksi salah dari satu sektor tersebut lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Negara tesebut kemudian harus melakukan spesialisasi terhadap produk yang memiliki keunggulan komparatif tersebut, dan menukar produk ekspor yang tidak memiliki keunggulan komparatif dengan produk spesialisasi tersebut. Kenyataannya, terdapat kemungkinan banyak negara memiliki keunggulan komparatif yang sama pada produk yang sama.
Pendekatan berikutnya dalam menganalisis daya saing suatu sektor adalah dengan menggunakan indikator efisiensi (EFF) dan pertumbuhan (GRO). Pendekatan ini dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut;
COMPs = f(EFFs, GROs)
Efisiensi ekonomi didefinisikan sebagai tingkat output yang dapat dihasilkan dari penggunaan input dalam suatu sistem. Efisiensi sering digunakan sebagai ukuran perfomance atau daya guna dari suatu sistem. Beberapa argumen mengatakan bahwa daya saing lebih dari sekedar efisiensi atau produktivitas (sebagai indikator yang dihitung).
Pada skala yang luas, produktivitas hampir memiliki persamaan dengan daya saing. World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing sebagai
“suatu kumpulan institusi, peraturan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat
produktivitas dari suatu negara”. Produktivitas secara esensial merefleksikan
kemampuan suatu wilayah mengubah capital dan tenaga kerja menjadi suatu produk dan jasa yang nilainya ditambah dengan menggunakan faktor-faktor sepertu pendidikan, inovasi, dan partisipasi tenaga kerja. Meskipun produktivitas merupakan faktor penting dalam menentukan daya saing, akan sulit menjadi kompetitif jika hanya memiliki tingkat produktivitas tinggi namun tidak efisien. Hal itu mengarah pada penjelasan bahwa menjadi negara yang produktif dalam menghasilkan suatu produk tidak menjamin negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif.
Pendekatan untuk menentukan produktivitas sangat banyak, namun umumnya relatif mengunakan input tetap seperti tenaga kerja atau modal. Langkah-langkah ini mengikuti pendekatan keunggulan absolut, yang akan menemukan bahwa daerah yang lebih produktif dalam memproduksi suatu produk dapat mengkhususkan diri dapat memproduksi produk tersebut, dan pasar melayani perdagangan produk tersebut (Oginskyy, Stiefelmeyer, dan Al Mussell, 2011).
Angka pertumbuhan atau growth rates sangat penting karena mampu memperlihatkan pertumbuhan dinamik dari aspek kunci daya saing. Hubungan ini diperjelas dengan pernyataan Scherer dan Ross (1990) yang menyebutkan bahwa peneliti menggunakan angka pertumbuhan industri, konsentrasi, dan hambatan masuk dalam menjelaskan daya saing dinamik. Berkenaan dengan teori, untuk memprediksi hubungan antara struktur industri, aksi dan reaksi daya saing, digunakan paradigma structure-conduct-performance.
Pertumbuhan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pertumbuhan dari output suatu sistem digunakan untuk menilai pertumbuhan kapasitas produksi yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan tenaga kerja dan modal di wilayah tersebut. Pertumbuhan output per tenaga kerja sering digunakan sebagai indikator adanya perubahan daya saing wilayah tersebut (Bhinadi, 2003).
Literatur lain menggambarkan profitabilitas (PROs) dan market shares (MSs) sebagai indikator pembentuk daya saing. Fungsi dari kedua indikator ini dapat dituliskan dalam bentuk;
COMPs = f(PROs, MSs)
Pendekatan profitabilitas mengacu kepada teori keunggulan komparatif dimana keunggulan bersaing akan didapatkan apabila perusahaan atau industri dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan jumlah dan jenis input yang sama pada produk yang sama. Oginskyy, Stiefelmeyer, dan Al Mussell (2011) yang menggambarkan ukuran alternatif daya saing sebagai profitabilitas produksi disuatu wilayah dengan wilayah lainnya, menyatakan bahwa pendekatan tersebut berasal dari gagasan absolute advantage dan pertumbuhan perdagangan. Dimana pendekatan ini memungkinkan profit mengarah pada spesialisasi dalam produksi, dan pasar untuk mengalokasikan produk.
Orbán dan Dékán (2009) mengatakan bahwa profitabilitas tidak dapat dipertimbangkan hanya dengan menggunakan definisi tunggal, karena berbagai pendekatan menegaskan profitabilitas sebagai inti dari pendapatan dengan cara yang berbeda. Profitabilitas dapat diinterpretasikan sebagai rasio yang mencerminkan angka dari jumah profit yang ditandai sebagai persentase ( persen ). Rasio dari nilai profitabilitas ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan finansial dalam suatu bisnis. Rasio profitabilitas menurut Bringham dan Western (1990) adalah rasio yang mengukur tingkat efektivitas manajemen seperti ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan dari pendapatan investasi.
Profitabilitas didefinisikan juga sebagai accounting profit atau economic profit. Accounting profit merupakan perbedaan antara pendapatan (revenues) dan
biaya (expenses) dari suatu perusahaan dalam suatu periode waktu. Nilai tersebut dapat menjelaskan kemampuan hidup dari suatu bisnis. Konsep economic profit atau keuntungan ekonomi berdasarkan pada konsep dimana disamping dipengaruhi oleh biaya produksi, biaya opportunity atau biaya kesempatan juga mempengaruhi. Biaya oportunitas berhubungan dengan nilai uang atau investasi, tenaga kerja, dan kemampuan manajemen. Keuntungan ekonomi ini dapat menunjukkan perspektif bisnis jangka panjang (Orbán dan Dékán, 2009). Kesulitan dari pendekatan profit ekonomi adalah dalam menentukan ukuran biaya oportunitas riil. Untuk itu, profitabilitas sering mengandalkan definisi accounting profit.
Nilai tambah atau value added menurut definisi Eurostats tahun 2004 merupakan proksi dari accounting profit pada level industri. Nilai tambah yang dimaksudkan adalah pendapatan kotor dari kegiatan produksi yang dihitung sebagai nilai produksi dikurangi pengeluaran untuk pembelian barang dan jasa. Terpisah dari profit aktual, nilai tambah terdiri dari biaya tenaga kerja dan capital yang tersedia untuk investasi yang dibutuhkan. Hal ini membuat nilai tambah menjadi tidak tepat untuk pengukuran profit antar negara, antar industri dengan dua alasan utama. Alasan pertama adalah bahwa biaya tenaga kerja sangat berbeda di negara yang berbeda. Kedua, industri yang berbeda kebanyakan memiliki insentif modal yang berbeda, tergantung pada kebutuhan investasi yang berbeda-beda (Fisher dan Schornberg, 2007).
Nilai tambah sebagai persentase dari omset merupakan jenis marjin keuntungan, sedangkan nilai tambah per tenaga kerja unit akan menggambarkan lebih baik dibandingkan dengan menggunakan produktivitas. Rasio nilai tambah per perusahaan dapat merefleksikan lebih banyak perbedaan pada ukuran usaha rata-rata dibandingkan dengan menggunakan profitabilitas. Meskipun masalah-masalah diatas sering terlibat, profitabilitas dipercaya sebagai variabel kunci untuk menaksir daya saing sektor.
Pangsa pasar (Market Share) dapat diartikan sebagai bagian pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan, atau prosentasi penjualan suatu perusahaan terhadap total penjualan para pesaing terbesarnya pada waktu dan tempat tertentu. Besarnya pangsa pasar setiap saat akan berubah sesuai dengan perubahan selera
konsumen, atau berpindahnya minat konsumen dari suatu produk ke produk lain (Charles, Joseph, dan Carl; 2001).
Market share menurut Kotler (1997), merupakan pengukuran kinerja pemasaran atau kinerja operasional yang dapat membedakan antara yang menang dan yang kalah. Volume penjualan perusahaan tidak mengungkapkan sebaik apa kinerja perusahaan dibanding pesaingnya. Jika market share perusahaan meningkat berarti perusahaan dapat mengungguli pesaingnya, jika maket share perusahaan menurun, dapat dikatakan perusahaan kalah dari pesaingnya.
Menurut UU Nomor 5 tahun 1999, pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun tertentu. Market share (absolut maupun relatif) merupakan indikator perusahaan yang mampu menjelaskan tentang:
1. Kemampuan perusahaan menguasai pasar
Kemampuan penguasaan pasar dapat dipandang sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu perusahaan mencapai tujuan perusahaan. 2. Kedudukan atau posisi perusahaan di pasar persaingan
Berdasarkan tingkat market share, kedudukan masing-masing perusahaan dilakukan dengan urutan di pasar persaingan. Secara berturut-turut, perusahaan dapat dibedakan menjadi; Market Leader, Market Challenger, Follower, dan Market Niecer (Kotler, 1997).
Masalah utama yang harus dihadapi dengan menganalisis pangsa pasar adalah bagaimana cara menormalkan pangsa pasar agar perbandingan tersebut dapat bermakna. Pangsa pasar agregat tidak hanya mencerminkan performa, tetapi secara umum juga merupakan fungsi dari ukuran agregat. Masalah lain dengan menggunakan analisis pangsa pasar adalah tidak dapat mencerminkan daya saing dalam jangka pendek, karena pangsa pasar sangat terpengaruh terhadap perubahan harga. Secara umum, indikator pangsa pasar dapat bermanfaat untuk menganalisis daya saing pada level perusahaan, namun untuk menganalisis daya saing secara agregat akan menjadi sebuah problematik.
Pendekatan terakhir yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing adalah dengan menggunakan biaya produksi (COSTs). Secara umum, pendekatan ini dapat dituliskan dengan persamaa sebagai berikut;
COMPs = f(COSTs)
Biaya produksi relatif merupakan ukuran paling mendasar dari daya saing. Pendekatan dengan menggunakan variabel ini menurut Oginskyy, Stiefelmeyer, dan Al Mussell (2011) berasal dari pandangan merkantilis yang menerangkan bahwa negara dengan biaya produksi terendah dalam menghasilkan produk dapat berhasil bersaing dengan impor dan memiliki harga yang kompetitif di pasar ekspor, sehingga produk tersebut memaksimalkan surplus perdagangan nasional.
Secara umum, pendekatan biaya sumber daya domestik untuk menaksir tingkat daya saing termasuk dalam kategori ini. Kelemahan utama dari pendekatan ini adalah biaya dapat menjadi indikator daya saing yang berguna hanya jika kualitas produk dapat dikontrol. Kualitas produk yang tinggi akan membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi tetapi disisi lain juga membuat harga menjadi lebih mahal. Sehingga pendekatan menggunakan indikator biaya hanya dapat dilakukan pada pasar dengan kualitas yang telah memiliki standar.
Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa pendekatan daya saing yang dapat digunakan adalah daya saing sebagai fungsi dari profitabilitas dan produktivitas. Kedua pendekatan tersebut dapat menjelaskan kemampuan perusahaan/ industri dalam menghasilkan produk untuk konsumen (produktivitas) yang juga menjelaskan efisiensi perusahaan/ industri tersebut, serta kemampuan perusahaan/ industri dalam menghasilkan keuntungan (profitabilitas). Kondisi dinamik dari daya saing perusahaan/ industri dapat dianalisis dengan menggunakan indikator pertumbuhan output.