• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Prioritas Inseminasi Buatan (IB)

Daerah prioritas Inseminasi Buatan (IB) dalam penelitian ini mencakup pada daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Berdasarkan hasil analisis, kondisi daya saing dari daerah sentra produksi terus mengalami peningkatan dari tiga periode pengamatan. Pada periode pertama yakni pada tahun 1999 hingga 2002, indeks daya saing daerah sentra sapi potong dengan prioritas IB tersebut adalah 26,99 persen, diikuti dengan 29,89 persen pada periode 2003 hingga 2006, dan 32,06 persen pada periode 2007 hingga 2010 (Gambar 8).

Gambar 8 ICI Industri Penggemukan Sapi Lokal Daerah Prioritas IB

Hingga saat ini IB dilakukan untuk tujuan peningkatan populasi. Keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik ternak (produktivitas) masih belum ada laporannya. Beberapa jenis sapi potong hasil persilangan yang saat ini menjadi referensi pilihan peternakan skala manengah hingga skala besar adalah sapi SIMPO yaitu sapi hasil persilangan antara Simmental dan Ongol, serta sapi LIMPO yakni hasil persilangan dari Limousin dan Ongol.

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. Jawa Barat

Daya saing yang meningkat ditunjukkan oleh penggemukan sapi potong lokal di daerah Jawa Barat (Tabel 9). Pada tahun 2007 hingga 2010, provinsi

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 99-02 03-06 07-10

Jawa Barat dapat menduduki peringkat daya saing ke 2 setelah peringkat ke 16 dari 20 provinsi pada tahun 1999 hingga 2002.

Tabel 9 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Barat

No Periode Indeks Daya Saing Ranking

1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 24,56 29,46 38,26 16 9 2 Rata - rata 30,76

Jawa Barat memiliki keunggulan dalam efisiensi atau produktivitasnya dalam menghasilkan ternak yang dapat dikonsumsi atau dijual dari populasi ternak total di daerah tersebut. Selama 12 tahun terakhir, Jawa Barat merupakan salah satu daerah dengan nilai konsumsi daging sapi yang tinggi di Indonesia. Selain itu, ternak sapi potong di daerah ini juga disalurkan ke daerah lain seperti DKI Jakarta untuk dikonsumsi. Dengan kata lain, output ternak hidup yang dihasilkan dari wilayah ini cukup tinggi sehingga dapat di ekspor ke beberapa daerah seperti DKI Jakarta. Disamping itu, bila dilihat proporsi impor sapi bakalan dari tahun 1999 hingga 2010, Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai importir terbesar di Indonesia (Gambar 9).

Gambar 9 Proporsi Impor Sapi Potong Impor 1999-2010 Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian (1999-2010)

Sebagian besar penggemukan sapi potong dengan skala mengah hingga skala besar di Jawa Barat yang menggemukkan sapi ex-bakalan impor juga menggemukkan sapi potong lokal dalam jumlah yang relatif lebih kecil. Masih diusahakannya ternak lokal pada peternakan skala besar membantu produksi dari sapi potong lokal itu sendiri. Hal ini karena industri penggemukan sapi potong ex-impor memiliki ketersediaan pakan yang cukup dan managemen yang baik, sehingga jumlah sapi lokal yang dapat diproduksi seiring dengan jumlah produksi sapi ex-impor. Kondisi ini memperbesar produksi sapi lokal dalam satu tahun yang berpengaruh pada meningkatnya pengeluaran atau produksi industri penggemukan sapi lokal secara menyeluruh di Jawa Barat.

Kondisi alam Jawa Barat yang sebagian besar merupakan lembah dan dataran rendah yang mencapai 60 persen wilayah Jawa Barat bukan merupakan lahan yang baik untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi potong lokal. Hal ini karena kurangnya lahan yang tersedia akibat lahan yang terbatas. Dataran rendah bak digunakan untuk usaha pembibitan sapi potong. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan Ilham (2002). Kurangnya ketersediaan pakan menjadi salah satu alasan banyaknya pembibitan diusahakan di dataran rendah. Berdasarkan kebutuhan pakannya, usaha penggemukan cenderung membutuhkan lebih banyak pakan karena berdasarkan tujuannya menghasilkan daging, lain halnya dengan usaha pembibitan yang tujuanya adalah menghasilkan pedet (Hadi dan Ilham, 2002).

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. Bali

Provinsi Bali sebagai salah satu sentral sapi potong lokal memiliki peringkat daya saing yang kecil. Pada tahun 1999-2002, kondisi daya saing provinsi Bali berada pada peringkat 9 dari 20 provinsi, kemudian menuruh pada tahun 2003-2006 menjadi peringkat ke 13 dan menjadi peringkat 8 pada tahun 2007 hingga 2010 (Tabel 10). Kondisi daya saing pada provinsi ini menunjukkan peningkatan pada tahun 2007 hingga 2010 namun tidak cukup baik sebagai salah satu sentral ternak lokal di Indonesia. Pada tahun 2008, wilayah Bali mengeluarkan ternak lokal sebesar 75 ribu ekor untuk memenuhi konsumsi wilayah Jakarta dan sekitarnya dan tahun 2011, jumlah ekspor sapi dari balik ke

daerah hanya mencapai 72 ribu ekor dari batas kuota yang ditetapkan pemerintah provinsi sebesar 64.573 ekor. Pada tahun yang sama, jumlah pemotongan ternak di provinsi ini pun meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 36.122 ekor.

Tabel 10 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Bali

No Periode Indeks Daya Saing Ranking

1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 29,47 29,19 29,78 9 13 8 Rata - rata 29,48

Bali merupakan daerah sumber ternak sapi lokal yaitu jenis sapi bali namun populasi sapi bali di daerah ini hingga tahun 2010 terus mengalami penurunan. Penurunan populasi dari sapi potong lokal di wilayah ini tidak mempengaruhi konsumsi daging sapi pada penduduk lokal, sebaliknya yang terkena dampak adalah daerah-daerah tujuan pasar sapi Bali seperti Jakarta dan Kalimantan. Kebutuhan daging sapi dalam negeri sebagian besar dipengaruhi oleh industri pariwisata karena Bali merupakan daerah tujuan pariwisata di Indonesia. Hingga tahun 2010 Bali tertutup pada impor dalam bentuk sapi hidup, sebaliknya terbuka pada impor dalam bentuk daging sapi. Daging impor tersebut ditujukan pada pasar tertentu seperti hotel berbintang, restoran dan industri pengolahan daging. Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di daerah Bali.

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. Jawa Tengah Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan indeks daya saing penggemukan sapi potong di Jawa Tengah menunjukkan tren yang menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999-2002, peringkat daya saing industri penggemukan sapi potong lokal di daerah ini menduduki peringkat ke 4 dari 20 provinsi. Posisi tersebut terus menurun hingga pada tahun 2007-2010, penggemukan sapi potong lokal di Jawa Tengah menduduki peringkat ke 12 dari 20 provinsi.

Tabel 11 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Tengah

No Periode Indeks Daya Saing Ranking

1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 29,69 29,38 29,45 4 11 12 Rata - rata 29,51

Masalah yang menarik daya saing menjadi lebih rendah dari tahun ke tahun di daerah ini adalah nilai efisieinsi yang rendah. Populasi sapi potong lokal di daerah ini terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 2,1 persen per tahun. Kondisi inefisiensi yang dialami di Jawa Tengah terlihat dari total sapi lokal yang dapat dihasilkan dari provinsi ini. Meskipun menunjukkan tren yang meningkat, namun jumlah ternak yang dapat dihasilkan di provinsi Jawa Tengah cenderung kecil dan menurun pada tahun 2010.

Gambar 10 Pengeluaran Ternak Sapi Potong Lokal di Jawa Tengah Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Peternakan (Diolah)

Populasi sapi potong lokal di Jawa Tengah menurut Aryogi dan Romjali (2009) didominasi oleh jenis sapi Jabres dan Sapi Mandras. Pada tahun 2006, populasi sapi lokal Jabres adalah 1200 ekor dan sapi Mandras 3000-4000 ekor. Penyebaran kedua jenis sapi tersebut berada pada Kabupaten Brebes dan Kebumen, sedangkan wilayah lain di Jawa Tengah terdiri jenis sapi lokal lainnya. Penyebaran yang tidak merata ini mengakibatkan potensi daerah tidak seimbang.

-50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. Jawa Timur Kondisi daya saing penggemukan sapi potong di Jawa Timur selama tahun pengamatan yaitu 1999 hingga 2010 memperlihatkan penurunan. Pada periode ke 2 yakni tahun 2003 hingga 2006, daya saing penggemukan sapi potong di Jawa timur meningkat dari 29,51 pada tahun 1999-2002 menjadi 29, 66. Peningkatan ini sangat kecil mengingat Jawa Timur merupakan pemasok bagi provinsi-provinsi lain disekitarnya. Kondisi ini menjadi lebih buruk pada periode berikutnya yaitu 2007 hingga 2010 yang menurun menjadi 29,53. Berdasarkan peringkatnya, Jawa Timur menduduki posisi ke 8 pada tahun 1999 hingga 2002 dan meningkat menjadi peringkat 4 pada periode berikutnya. Kondisi tersebut tidak dapat dipertahankkan hingga berakibat menurunnya peringkat pada tahun 2007-2010 menjadi posisi ke 10 (Tabel 12).

Tabel 12 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Jawa Timur

No Periode Indeks Daya Saing Ranking

1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 29,51 29,66 29,53 8 4 10 Rata - rata 29,57

Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah populasi sapi potong lokal yang tinggi (gambar 11). Hampir sepertiga populasi sapi potong lokal berada di provinsi ini sehingga pergeseran jumlah populasi di wilayah ini sangat mempengaruhi populasi sapi potong nasional. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2002, selama kurun waktu 1990 hingga 2002, ternak dari Jawa Timur yang dikirim keluar wilayah mengalami penurunan rata-rata 14,2 persen per tahun. Sementara pemotongan ternak sapi potong yang dilakukan diwilayah Jawa Timur selama 1992 hingga 2002 juga mengalami penurunan dengan rata-rata 1,02 persen per tahun.

Gambar 11 Perbandingan Populasi Sapi Lokal Nasional dan Jawa Timur, dan Pengeluaran ternak lokal di Jawa Timur

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Peternakan(diolah)

Jawa Timur merupakan daerah penyangga ternak sapi potong terbesar nasional, sehingga wilayah ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negerinya, sehingga mampu mensuplai kebutuhan ternak hidup dan daging ke beberapa wilayah lain di Indonesia. Penurunan populasi sapi potong lokal di Jawa Timur pada tahun 2002 dapat diakibatkan oleh penyusutan lahan pada tahun 2001 dimana total lahan pertanian beririgasi menyusut sebesar 0,35 persen dari tahun 1990. Penyusutan tersebut terjadi pada kelas lahan beririgasi setengah teknis, lahan beririgasi sederhana, dan lahan tadah hujan. Alih fungsi lahan di Jawa Timur secara rata-rata mencapai 8.800 Ha per tahun yang diakibatkan oleh konversi lahan pola pemukiman, pola industri, sarana, dan prasarana serta pola-pola lainnya. Kondisi ini selainmengancam populasi ternak potong lokal di Jawa Timur, juga memunculkan migrasi tenaga kerja dari peternak sapi potong menjadi profesi lain diluar peternakan, bahkan diluar pertanian.

Pada tahun 2002, terjadi masa Otonomi daerah yang berakibat pada meningkatnya biaya angkut antar daerah dan wilayah karena adanya biaya retribusi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Pada tahun tersebut, populasi ternak di Jawa Timur menurun hingga 24,85 persen. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh:

1. Pada masa otonomi daerah, pemerintah masih terkonsentrasi pada struktur organisasi sehingga kinerja pemerintah daerah dalam upaya

-2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

penumbuhan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong mengalami penurunan.

2. Masuknya kompetitor sapi potong dari daerah lain ke daerah tujuan pasar dari Jawa Timur, seperti Lampung yang mana sebagian besar ternaknya menggunakan bibit impor.

3. Terjadi ketidakseimbangan peningkatan harga masukan dengan peningkatan harga sapi potong dan daging sapi.

Kondisi otonomi daerah pada tahun 2002 yang mempengaruhi populasi sapi potong lokal di Jawa Timur terus membaik pada tahun-tahun berikutnya, namun tidak menjadikan daya saing pengemukan sapi potong lokal di Provinsi ini menjadi lebih baik. Pada periode 2007-2010, terlihat pada gambar 12 bahwa populasi ternak lokal di Jawa Timur cenderung meningkat namun memiliki peringkat indeks daya saing yang menurun dibanding periode sebelumnya. Apabila ditelusuri, pada tahun 2007 hingga 2010 jumlah ternak yang dapat dihasilkan terus menurun dengan rata-rata penurunan 11,54 persen per tahunnya. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam usaha penggemukan sapi potong lokal di Jawa Timur yang berdampak pada rendahnya daya saing industri sapi potong lokal di Jawa Timur terhadap daerah lainnya.

Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di Prov. DI Yogyakarta Peringkat indeks daya saing terkecil pada tahun 1999 hingga 2002 adalah DI Yogyakarta dengan indeks 21,70. Pada periode tersebut, wilayah DI Yogyakarta mengalami kondisi pertumbuhan produksi yang negatif dari industri penggemukan sapi potong lokal. Jumlah ternak lokal yang dapat dipotong untuk memenuhi konsumsi daerah cenderung negatif. Kondisi ini membaik pada periode berikutnya dimana DI Yogyakarta memiliki daya saing tertinggi pada tahun 2003 hingga 2006 dengan indeks 31,62. Selanjutnya pada tahun 2007 hingga 2010, penggemukan sapi potong lokal di DI Yogyakarta berada pada peringkat ke tiga setelah JawaBarat dengan indeks 33,27 (Tabel 13). Nilai indeks yang meningkat diiringi dengan rangking yang menurun menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya saing pada indusri penggemukan sapi potong lokal secara nasional.

Tabel 13 Indeks dan Ranking Indeks Daya Saing Industri Penggemukan Sapi Potong Lokal di DI Yogyakarta

No Periode Indeks Daya Saing Ranking

1 2 3 1999 – 2002 2003 – 2006 2007 – 2010 21,70 31,62 33,27 17 1 3 Rata - rata 28,86

Bedasarkan analisis yang dikakukan, provinsi ini mengalami masa yang paling buruk pada tahun 1999 hingga 2002. Pada tahun 1999 dimana ekonomi Indonesia secara umum sedang mengalami masa pasca krisis, banyak sektor yang mengalami masa keterpurukan. Di provinsi Yogyakarta, sektor peternakan yang tercakup dalam sektor petanian mengalami pertumbuhan kontribusi PDRB yang terus menurun. Pada tahun 2003, perekonomian daerah ini mengalami peningkatan dan sektor pertanian meningkat positif (Tabel 13).

Tabel 14 Pertumbuhan Pendapatan Daerah Regional Bruto(PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (%)

Lapangan Usaha 1999 2000 2001 2002 2003

Pertanian -5,82 9,27 -1,62 -2,45 4,63 Pertambangan dan Penggalian 0,37 0,13 0,59 0,17 0,93 Industri Pengolahan 3,32 -2,76 1,97 3,82 2,32 Bangunan 3,11 4,39 2,79 9,38 9,35 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 2,42 3,87 6,95 2,32 5,42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa

Perusahaan 0,67 -1,24 3,49 10,00 4,74 Jasa-Jasa 2,26 2,60 1,52 4,04 1,40 Sumber: Badan Pusat Statistik DI Yogyakarta (2003)

Berdasarkan pengamatan, industri penggemukan sapi potong lokal di DI Yogyakarta selama tahun 2003 hingga 2006 meningkat dari sisi penyediaan ternak yang siap konsumsi. Sebaliknya produktivitas industri penggemukan di provinsi ini cenderung menurun dari periode sebelumnya yakni tahun 1999 hingga 2002. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi pengurasan populasi sapi lokal pada tahun 2003 hingga 2006 dengan pertumbuhan populasi yang tidak seimbang. Pada tahun

tahun tersebut, terjadi penurunan impor daging di DI yogyakarta sebagai bentuk ketahanan pangan dari program swasembada daging yang dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 2007 hingga 2010, produktivitas kembali meningkat dengan populasi yang bertambah, diiringi dengan peningkatan nilai pertumbuhan output dari daerah ini. Apabila swasembada diartikan dengan kecukupan kebutuhan akan daging di daerah, DI Yogyakarta dapat dikatakan dapat mencapai swasembada dalam jangka dekat, namun apabila tidak diiringi dengan peningkatan populasi maka dalam jangka panjang akan terjadi penurunan populasi sapi potong lokal. dampak dari kondisi jangka panjang tersebut adalah kurangnya pasokan daging lokal utnuk memenuhi kebutuhan, yang artinya swasembada tidak dapat dipertahankan.

Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta kelembagaan yang ada, usaha penggemukan sapi potong dapat dikembangkan melalui sentuhan teknologi untuk lebih mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan menerapkan teknologi budidaya pakan, peningkatan sanitasi kandang, penanganan hama penyakit, pengolahan limbah kotoran sapi untuk pupuk, peningkatan kemampuan kelembagaan, dan peningkatan akses kelembagaan. Dengan demikian, program swasembada dapat terlaksana sesuai dengan tujuannya.

Dokumen terkait