1.1 Latar Belakang
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat ternyata ikut pula meningkatkan taraf pendidikan masyarakat yang pada gilirannya ikut meningkatkan kesadaran dalam hidup sehat. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap perilaku dan preferensi masyarakat tersebut. Salah satu dampak yang tampak adalah terjadinya pergeseran pada permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi ke arah komoditi yang bermutu lebih tinggi, spesifik dan resiko pada kesehatan yang lebih kecil, meskipun dengan demikian harus diganti dengan harga yang lebih tinggi. Pergeseran tersebut juga tampak pada permintaan komoditi perikanan di pasar internasional maupun domestik yang bergeser dari bentuk beku ke bentuk segar, kemudian ke bentuk hidup. Dalam bentuk hidup, jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, misalnya kerapu harganya mencapai 3-4 kali lipat dari harga ketika mati (Nitibaskara et al. 2006). Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa merupakan pasar yang potensial untuk jenis ikan hidup
Salah satu komoditas perikanan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan
telah dibudidayakan secara intensif adalah ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum). Kelebihan ikan bawal ini antara lain dapat mencapai
ukuran yang cukup besar, memiliki daging yang gurih, tidak banyak duri, dan rasanya tidak kalah lezat dibandingkan dengan ikan bawal air laut. Prospek pemasaran ikan bawal air tawar hidup cukup cerah, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Kendala yang umum dihadapi dalam pemasaran ikan hidup terutama adalah jarak tempuh yang cukup jauh untuk mentransportasikan ikan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempertahankan agar akan tetap dalam keadaan hidup sampai di tempat tujuan.
Selain pasar di Jakarta, juga dikirimkan ke Pasar Turi (Surabaya), Pasar Kobong (Semarang), Lahat (Sumsel), Bandung, Lampung, Bogor dan Cirebon. Permintaan ikan bawal air tawar sudah merambah ke mancanegara, diantaranya diekspor ke Johor Baru (Malaysia). Menurut data statistik produksi perikanan budidaya jaring apung, Indonesia memproduksi ikan bawal sebesar 4.152 ton pada tahun 2009 dan meningkat hingga 17.683 ton pada tahun 2010 (SIDATIK Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011).
Peluang pasar yang masih terbuka tersebut perlu mendapat dukungan berupa teknologi penanganan transportasi biota perairan yang ekonomis, praktis dan aman. Transportasi hidup sistem kering untuk pengangkutan bawal air tawar hidup jarak jauh dalam waktu lama merupakan cara yang praktis dan aman meskipun beresiko tinggi. Transportasi biota perairan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan yang tepat apabila kondisi optimalnya diketahui sehingga kelulusan biota tetap tinggi hingga di tempat tujuan.
Ikan bawal air tawar harus dipingsankan dahulu sebelum ditransportasikan. Hasil penelitian Soedibya dan Taufik (2006) pada bawal air tawar menunjukkan bahwa pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap telah diketahui titik-titik kritis suhu imotil untuk ikan bawal yaitu pada kisaran suhu 23-13 °C. Adapun aspek-aspek lainnya dalam penanganan dan transportasi ikan bawal air tawar hidup belum diketahui. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan teknologi transportasi bawal air tawar sistem kering yang ekonomis, praktis, danaman serta menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi dengan waktu transportasi yang lama.
1.2 Tujuan penelitian
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Colossoma macropomum merupakan spesies ikan air tawar yang termasuk dalam Famili Characidae. Ikan ini berasal dari Brazil. Pada mulanya ikan bawal diperdagangkan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya cepat, dagingnya enak dan dapat mencapai ukuran besar, maka masyarakat menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi. Sebutan lain ikan bawal adalah gamitama
(Peru), cachama (Venezuela), red belly pacu (Amerika Serikat dan Inggris). Sedangkan di negara asalnya disebut tambaqui (Kordi 2011). Bentuk ikan bawal air tawar dicantumkan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (Sumber: Anonim 2012)
Klasifikasi bawal air tawar (Colossoma macropomum) menurut Cuvier (1818) adalah
Filum : Chordata, Kelas : Actinopterygii, Ordo :Characiformes, Famili : Characidae, Genus : Colossoma,
Habitat hidup bawal air tawar adalah sungai, banyak ditemukan di Sungai Amazon, Brazil dan Sungai Orinoco, Venezuela. Hidupnya bergerombol di daerah yang aliran sungainya deras, namun dapat ditemukan pula di daerah yang airnya tenang, terutama saat berupa benih. Ikan ini dapat hidup dengan baik pada ketinggian 100-800 meter di atas permukaan laut dengan suhu air 25-30 °C (Kordi 2011).
Ikan bawal air tawar memiliki morfologi tubuh dari samping tampak membulat dengan perbandingan antara panjang dan tinggi 2:1. Bila dipotong secara vertikal ikan bawal air tawar memiliki bentuk tubuh pipih dengan perbandingan antara tinggi dan lebar 4:1. Sisik ikan bawal air tawar berbentuk ctenoid, dimana ditengah bagian sisik belakang menutupi sisik bagian depan. Tubuh bagian vertikal dan sekitar sirip dada ikan bawal air tawar muda berwarna merah. Warna merah ini akan memudar seiring dengan pertambahan umur dan perkembangan fisik. Warna merah ini merupakan ciri khusus ikan bawal air tawar (Arie 2000).
2.2 Budidaya Bawal Air tawar
Bawal air tawar adalah salah satu ikan air tawar penting di Indonesia. Ikan ini merupakan ikan introduksi yang awalnya didatangkan sebagai ikan hias, namun kini menjadi ikan konsumsi dan banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Sebagai ikan budidaya, bawal memiliki beberapa keunggulan yaitu pertumbuhan yang relatif cepat, kebutuhan protein dalam pakannya relatif rendah, dapat bertahan hidup pada perairan dengan kandungan oksigen yang minimum sehingga mudah dibudidayakan di berbagai lingkungan dan wadah budidaya, tahan terhadap serangan penyakit, dan dapat diproduksi sebagai ikan hias, ikan konsumsi, dan ikan kolam pemancingan. Karena keunggulan tersebut, bawal diprediksi akan menjadi salah satu ikan yang prospektif. Bawal air tawar dapat menjadi substitusi bawal laut (Stromateus niger, dan S.cinereus) yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenisikan ekonomis penting yang dihidangkan sebagai makanan hasil laut (sea food). Sebagai ikan alternatif, posisi bawal cukup strategis karena produksi bawal laut mengalami penurunan tajam pada musim barat, sehingga bawal dapat menjadi pilihan pengganti (Kordi 2012)
Selain sumber dan kuantitas harus memadai, air yang digunakan untuk pemeliharaan bawal juga harus memenuhi kebutuhan optimal ikan. Dengan kata lain, air yang digunakan dalam pemeliharaan bawal air tawar harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa parameter yang dapat dijadikan indikator dalam menilai kualitas suatu perairan, sebagaimana tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1 Parameter kualitas air untuk budidaya bawal air tawar.
Parameter Nilai
Kecerahan 20-40 cm oleh plankton
Warna Hijau Kecoklatan
DMA 2-4,5
H2S Maks 0,1 ppm
Kesadahan 3-8 dGH
2.3 Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering
Transportasi biota perairan hidup sistem kering menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi lingkungan yang minimum organisme tersebut mampu bertahan (Junianto 2003). Transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Oleh karena itu, pada sistem ini ikan dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Cara tersebut diantaranya adalah menggunakan bahan antimetabolik atau anestesi (Wibowo 1993).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering, perlu dilakukan proses penenangan terlebih dahulu. Kondisi Ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan meningkatkan kapasitas angkut. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi sehingga pemilihan metode imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006).
Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006). 2.4 Imotilisasi
akuatik. Pengaruh suhu rendah pada biota perairan yaitu kemampuannya dalam mengambil oksigen (hypoxia). Menurunnya kemampuan ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung dan terganggunya osmoregulasi ikan. Suhu yang diturunkan secara mendadak dapat mengakibatkan degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi terganggu, perubahan suhu yang melebihi 3-4 °C dapat mengakibatkan kejutan suhu dan kematian ikan (Boyd 1990).
Imotilisasi berprinsip hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2008). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan suhu rendah (Ikasari et al.2008). Suhu air yang rendah dapat menurunkan aktivitas dan tingkat konsumsi oksigen (Coyle et al. 2004). Pada imotilisasi udang dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kondisi udang dengan aktivitas yang minimal namun tetap hidup dan sehat setelah mengalami pembugaran kembali (Wibowo dan Soekarto 1993).
Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang efektif, ekonomis, dan aman dalam transportasi sistem kering. Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relatif murah, mudah didapat, dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang membahayakan bagi manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan cara merendam es batu yang telah dipersiapkan dalam sebuah kantong plastik pada air dalam bak pemingsanan. (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan kunci dalam transportasi hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan maupun krustase dapat diangkut dengan waktu lama dan tingkat kelulusan hidupnya tinggi (Berka 1986).
Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap yaitu ikan dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan menurunkan suhu air secara bertahap hingga suhu tertentu. Pada suhu yang dikehendaki, ikan dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan metabolismenya hingga titik imotil yang diperlukan (Nitibaskara et al. 2006). Selain itu pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Suryaningrum et al 2004).
Menurut Soedibya dan Taufik (2006), aktivitas ikan bawal pada berbagai suhu secara umum memberikan respon yang terdiri dari beberapa fase sebagaimana tercantum dalam Tabel 2. Pada suhu sampai 28 °C aktivitas ikan terlihat masih normal. Pada suhu 23 °C-18 °C ikan mulai memasuki fase kedua yaitu fase tenang. Pada suhu 18 °C-13 °C ikan telah memasuki fase aktivasi yang telah menjadi fase awal kegelisahan. Fase berikutnya adalah fase panik dan pingsan dimana ikan mulai mengalami kepanikan, kehilangan keseimbangan dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh.
Tabel 2 Pola aktivitas ikan bawal pada berbagai suhu (penurunan suhu 5°C/jam)
No SUHU AKTIVITAS KRITERIA
1. 28 °C Ikan tenang di dasar, sesekali berenang perlahan, tubuh tegak, gerakan katup insang perlahan dan teratur, responsif terhadap gerakan di luar akuarium, sangat responsif terhadap sentuhan perlahan
Normal (Normal)
2. 23 °C Aktifitas ikan mulai berkurang dan cenderung dan cenderung diam di dasar. Respon terhadap gerakan di luar mulai berkurang, ikan mulai mudah dipegang
Mulai tenang (Calm) 3. 18 °C Aktifitas ikan tidak banyak berubah, tubuh
mulai miring saat berenang dan sirip punggung mulai meregang. Respon
terhadap gerakan di luar melemah dan lebih tenang saat dipegang
Fase awal kegelisahan (uncontrolable) 4. 13 °C Gerakan ikan mengarah kegelisahan, tubuh
ikan mulai kaku, berlendir, tidak ada
Dari hasil tersebut di atas tampak bahwa terdapat titik-titik krusial yaitu pada suhu sekitar 23 °C, 18 °C dan 13 °C yang muncul pada respon ikan bawal akibat turunnya suhu lingkungan. Pada titik-titik krusial ini terjadi perubahan aktivitas dan respon ikan bawal yang nyata, yang diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya.
Hasil pengamatan karakteristik aktivitas ikan bawal menunjukkan bahwa suhu imotil dalam transportasi ikan hidup adalah 23 °C-13 °C. Di atas atau dibawah suhu tersebut resiko kematian selama transportasi dikhawatirkan masih cukup tinggi. Makin rendah suhu suatu media dari suhu lingkungan tentu membutuhkan penarikan panas yang cukup besar baik untuk mencapai maupun untuk mempertahankan suhu tersebut dan yang berarti juga membutuhkan biaya besar. Sementara itu, untuk transportasi ikan hidup dengan sistem basah menggunakan media air dapat menggunakan suhu lebih tinggi, karena transportasi sistem basah dapat dilakukan pada saat ikan berada pada fase tenang. Hal ini lebih menguntungkan jika dilihat dari segi teknis dan ekonomisnya.
2.5 Pengemasan
Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana penyimpan dan transportasi serta alat persaingan dalam pemasaran (Hambali et al. 1990). Pengemasan berperan penting untuk mencegah atau mengurangi kerusakan bahan yang dikemas serta untuk mempermudah penyimpanan, pengangkutan dan distribusi hasil pertanian (Herodian et al. 2004).
Jumlah es yang digunakan dalam media kemasan harus tepat. Apabila jumlah es yang ditambahkan terlalu banyak maka suhu dalam kemasan akan turun menjadi lebih rendah dari suhu pembiusan (Suryaningrum et al. 2007). Pengemasan untuk tujuan ekspor biasanya menggunakan kotak stirofoam sebagai kemasan primer dan kotak karton sebagai kemasan sekunder. Kotak stirofoam berfungsi sebagai isolator panas untuk mencegah penetrasi panas yang masuk ke dalam kemasan. Kotak karton yang digunakan sebaiknya memiliki dinding ganda yang dilapisi dengan lapisan lilin. Tujuan penggunaan karton adalah untuk menekan goncangan yang terjadi selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan dan estetika kemasan. Lapisan lilin dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak kardus karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003; Herodian et al. 2004).
Media pengemas dalam kemasan stirofoam yang dibantu dengan penggunaan es tidak mampu dipertahankan suhunya tetap stabil selama penyimpanan pada suhu kamar. Suhu kemasan yang digunakan akan terus mengalami peningkatan sehingga mempengaruhi kelulusan hidup biota yang ditransportasikan (Herodian et al. 2004). Peningkatan suhu terjadi karena penetrasi udara luar yang lebih tinggi ke dalam kemasan sehingga dapat meningkatkan suhu media serbuk gergaji. Suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar yang terlalu tinggi akan menyebabkan kenaikan suhu kemasan lebih cepat terjadi (Nitibaskara et al. 2006).
2.6 Media Pengisi Kemasan
Serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan kayu. Serbuk gergaji juga memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonominya relatif rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001).
Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi kemasan juga memiliki beberapa kelemahan. Serbuk gergaji merupakan media pengisi kemasan yang memiliki rongga udara yang lebih kecil dibandingkan dengan serutan kayu, rumput laut Gracilaria sp. maupun sekam padi sehingga tidak voluminuous dan jika digunakan media pengisi menjadi lebih berat serta kapasitas angkut menjadi lebih kecil (Prasetyo 1993; Sufianto 2008). Penggunaan serbuk gergaji juga menjadi kurang ekonomis karena dibutuhkan serbuk gergaji yang relatif banyak, yaitu sebesar 3-5 kg dibandingkan dengan penggunaan sekam padi sebesar 1-2,5 kg ataupun serutan kayu sebesar <1 kg (Muslih 1996).
Serbuk gergaji sebelum digunakan harus dicuci terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan bau/tar, kotoran serta bahan berbahaya lainnya yang terdapat pada kayu. Serbuk gergaji kemudian ditiriskan dan dijemur hingga kering. Serbuk gergaji selanjutnya dilembabkan kembali dengan air sebanyak 50-75% dari berat serbuk gergaji hingga kadar air mencapai 50-60% dan didinginkan hingga suhunya sekitar 14 oC. Pendinginan media dapat dilakukan dengan memasukan serbuk gergaji ke dalam lemari es atau menggunakan es balok yang dibungkus plastik (Suryaningrum et al. 2005).
gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm pada dasar kemasan dimaksudkan agar kontak langsung antara ikan dan es dapat dihindari (Suryaningrum et al. 2005).
Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994) menyatakan bahwa penggunaan serbuk gergaji sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan karung goni. Bahan-bahan tersebut didinginkan menggunakan
freezer terlebih dahulu sebelum digunakan. Suhu kemasan dijaga tetap rendah dengan menambahkan es batu pada bagian dasar kemasan. Pada lapisan dasar kemudian ditebarkan serbuk gergaji ±0,5 cm dan di atasnya ditempatkan lapisan jerami atau potongan karung goni.
Sekam padi merupakan media pengisi yang memiliki tekstur yang baik dan seragam. Bentuknya menyerupai kantong yang dapat berfungsi menyimpan air (Muslih 1996). Sekam padi merupakan salah satu media pengisi yang paling efektif selain serbuk gergaji, akan tetapi penggunaan sekam padi memiliki resiko yang tinggi terhadap adanya residu pestisida. Sebelum digunakan, sekam padi harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangkan residu pestisida tersebut yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003).
Serutan kayu adalah bahan pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih besar dibandingkan serbuk gergaji maupun sekam padi, akan tetapi serutan kayu masih kurang efektif jika digunakan untuk transportasi lobster ataupun udang hidup. Hal ini karena serutan kayu dapat menyebabkan kerusakan fisik pada biota yang ditransportasikan. Serutan kayu tidak dapat mempertahankan suhu rendah dalam waktu yang relatif lama sehingga suhu kemasan transportasi menjadi cepat meningkat. Bahan pengisi ini juga memiliki tekstur yang kasar dan tidak seragam (Prasetyo 1993).
Rumput laut juga dipercaya mengandung daya awet alami yang dapat berpengaruh positif terhadap lobster atau udang (Junianto 2003; Sufianto 2008).
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2012. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bawal air tawar (Colosoma macropomum) yang berasal dari Lebak Bulang, Bogor, Jawa Barat. Ikan yang digunakan dipilih yang dalam kondisi sehat, tidak cacat dan berukuran sekitar 6 ekor per kilogram (bobot rata-rata 150 g/ekor).
Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian yaitu air, es batu, plastik, lakban, kertas koran, serbuk gergaji dengan ukuran 0,1-0,3 cm dari campuran jenis kayu jati (Tectona grandis), jeungjing (Albizia falcata) dan mindi (Melia azedarach) yang diperoleh dari pengrajin kayu di Dramaga-Bogor serta bahan-bahan kimia untuk pengukuran kualitas air.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari alat pengadaptasian, pemingsanan dan pengemasan. Alat yang digunakan dalam proses adaptasi ikan bawal yaitu akuarium berukuran 50x30x30 cm3, aerator, ember plastik serta alat untuk mengukur kualitas air seperti DO-meter, pH meter, termometer, dan pipet.
Alat yang digunakan dalam proses pemingsanan yaitu akuarium berukuran 50x30x20 cm3, alat pengukur waktu (timer), termometer, penggaris dan timbangan. Alat yang digunakan dalam proses pengemasan yaitu kotak styrofoam
berukuran 30x30x40 cm3, gunting dan penggaris. 3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Persiapan penelitian
Persiapan penelitian yang dilakukan meliputi persiapan media air, media pengisi dan bawal yang akan digunakan pada penelitian pendahuluan dan utama.
a) Media air
Media air terdiri dari air kolam budidaya ikan bawal dan air dari laboratorium yang telah didiamkan selama dua hari dan diuji kualitas serta kelayakannya untuk media adaptasi dan pemeliharaan bawal. Tujuan pendiaman air selama dua hari adalah untuk mengendapkan kotoran. Air dari laboratorium disaring dengan karbon aktif terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengujian dilakukan secara fisika dan kimia meliputi parameter kualitas air yaitu suhu, oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO2), derajat keasaman (pH), alkalinitas,
Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan nitrit (NO2-). Metode pengukuran kualitas
media air tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3 Metode pengukuran kualitas media air
No Parameter Alat Cara Peneraan
1 Suhu Termometer Pembacaan Skala
2 DO DO-meter Pembacaan Skala
3 CO2 Alat Gelas Titrasi
4 pH pH meter Pembacaan Skala
5 Alkalinitas Alat Gelas Titrasi 6 TAN Spektrofotometer Pembacaan Skala Sumber: Boyd (1982)
b) Media serbuk gergaji
gergaji hingga kadar air mencapai 50-60%. Sebelum digunakan sebagai media pengisi, serbuk gergaji didinginkan sehingga suhunya 9-7 °C (suhu pembiusan) dalam lemari es.
c) Ikan bawal air tawar uji
Bawal air tawar uji yang berasal dari kolam budidaya dipindahkan ke dalam akuarium adaptasi. Bawal uji yang digunakan adalah bawal yang sehat, bugar, tidak cacat fisik, dan ikan bawal betina tidak sedang bertelur. Ikan bawal terlebih dahulu diadaptasi selama 1-2 hari, selanjutnya diberi pakan selama pemeliharaan dalam akuarium dan diberi suplai oksigen melalui aerator.Ikan bawal dipuasakan 24 jam sebelum dipingsankan.
3.3.2 Penelitian pendahuluan
a) Respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui pengaruh penurunan suhu rendah secara bertahap terhadap perubahan aktivitas bawal air tawar. Hasil penelitian ini akan digunakan untuk menentukan suhu pembiusan bawal air tawar. Imotilisasi dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotil. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam media bawal dengan perbandingan air dan es batu (2:3) secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai (Wijaya 2008). Setelah suhu imotilnya tercapai, bawal dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas bawal diam (Ikasari et al. 2008). Pengamatan dilakukan terhadap respon bawal air tawar pada berbagai suhu selama proses pembiusan.
b) Penentuan suhu pembiusan bawal air tawar secara bertahap
Gambar 2 Diagram alir prosedur kerja penentuan suhu pembiusan terbaik Bawal imotil
Pengemasan (Media serbuk gergaji)
Penyimpanan 3 jam
Pembongkaran
Pembugaran
Perhitungan survival rate (%) Pengadaptasian selama 1-2 hari
Pemuasaan 24 jam
Penimbangan
Pemingsanan secara bertahap
Suhu pembiusan 20-18 oC Suhu pembiusan
17-15 oC Suhu pembiusan
14-12 oC
Waktu pembiusan 30 menit
Bawal Hidup
Waktu pembiusan 30 menit
Pengemasan dengan serbuk gergaji
Pembongkaran
Penimbangan
Pembugaran
Pemingsanan secara bertahap Penimbangan
Pemuasaan 24 jam Pengadaptasian 1-2 hari
Penghitungan survival rate
Suhu pembiusan terbaik 3.3.3 Penelitian utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu imotilisasi terbaik pada uji transportasi sistem kering secara statis terhadap tingkat kelulusan hidup bawal air tawar. Diagram alir prosedur kerja penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir prosedur kerja uji penyimpanan Penyimpanan
Proses pembiusan pada rangkaian percobaan di atas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: bawal ditempatkan pada bak pembiusan, kemudian suhu air diturunkan secara bertahap sampai tercapai suhu yang diinginkan. Imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap dilakukan dengan cara menurunkan suhu media air dari suhu air normal (suhu kamar) ke suhu imotilisasi terpilih hasil penelitian pendahuluan. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu yang dibungkus plastik ke dalam media bawal secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu imotil tercapai bawal dibiarkan selama ±30 menit hingga aktivitas bawal diam. Bawal dikatakan imotil bila diangkat diam, sirip diam dan mudah dikemas. Sebelumnya telah disiapkan serbuk gergaji dingin dan spons busa dengan suhu yang telah ditetapkan (suhu pembiusan) dan kotak stirofoam untuk pengemasan bawal.
Bawal yang telah terbius (pingsan) masing-masing dimasukkan ke dalam kemasan yang telah diberi serbuk gergaji dingin dan spons busa serta ditutup dengan menggunakan lakban. Pengemasan bawal air tawar menggunakan serbuk gergaji dingin dilakukan dengan meletakkan es batu dalam plastik (±0,5 kg) yang ditutupi kertas koran dan disusun secara diagonal pada bagian dasar kotak stirofoam untuk mencegah rembesan air. Bagian atas kotak stirofoam ditaburi serbuk gergaji dengan ketebalan 5-10 cm agar kontak langsung antara es dan bawal dapat dihindari. Bawal yang telah imotil disusun dengan sistem curah (sejajar) di atas media dan di atasnya ditaburi serbuk gergaji hingga kemasan penuh. Setiap kotak styrofoam berisi 5 ekor bawal. Kemasan kemudian ditutup rapat dan direkatkan dengan lakban.
Pengamatan pada setiap rangkaian percobaan di atas dilakukan terhadap aktivitas bawal selama proses pembiusan, pengemasan, pembongkaran dan pembugaran serta tingkat kelulusan hidup bawal air tawar setelah ditransportasikan. Selain itu diamati pula perubahan suhu media kemasan (serbuk gergaji dan spons busa) dan penyusutan bobot bawal selama transportasi. Pengukuran penyusutan bobot bawal dan perubahan suhu media kemasan dilakukan sebelum bawal diimotilisasi dan sesudah dilakukan uji penyimpanan.
ini bertujuan agar gas amonia dan H2S menguap. Selanjutnya bawal baru
dimasukkan ke dalam air tanpa aerasi, dengan ketinggian air tidak sampai merendam badan bawal selama 1 jam (Frose 1997). Kelulusan hidup bawal dihitung setelah bawal dibugarkan dalam air selama 1 jam, untuk melihat kemampuan bawal beradaptasi kembali dalam lingkungan yang sebenarnya (Suryaningrum et al. 2008). Setelah dibugarkan selama 1 jam, bawal dimasukkan ke dalam akuarium dengan ketinggian air 10-20 cm.
Tingkat kelulusan hidup bawal dihitung berdasarkan persentase bawal yang hidup setelah dilakukan pembugaran selama 1 jam. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup bawal air tawar adalah sebagai berikut:
SR = _Ut_ x 100% Uo
Keterangan:
SR = Tingkat kelulusan hidup bawal air tawar (%) Uo = Jumlah bawal hidup yang dikemas
Ut = Jumlah bawal yang hidup setelah penyimpanan 3.3.4 Rancangan percobaan
4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar
Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil analisis kualitas air media pemeliharaan bawal air tawar Parameter Kolam budidaya Laboratorium Standar Satuan
Suhu 26 27 25-30* oC
Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam budidaya dan kolam laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama yaitu 26 hingga 27 oC. Suhu tersebut baik untuk kehidupan ikan bawal berdasarkan standar yang didapat. Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan senyawa dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, dan
Faktor penting yang menunjang kehidupan ikan adalah oksigen yang terlarut dalam air. Dissolve oxygen (DO) yang terkandung dalam air kolam budidaya dan air laboratorium memiliki kisaran antara 5,37 dan 6,31. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen yang terlarut dalam kedua air tersebut memiliki nilai yang cukup baik untuk kehidupan ikan bawal. Tanpa oksigen terlarut yang cukup, maka kehidupan ikan akan terganggu. Hal yang mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air salah satunya adalah kenaikan suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen akan berkurang. Peningkatan suhu senilai 1 °C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10% (Effendi 2003).
Kadar CO2 yang terkandung dalam air kolam budidaya dan kolam
laboratorium senilai 1,85 dan 3,96 ppm. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan bawal karena menurut Kordi (2011), kadar CO2 yang terkandung dalam air tidak
boleh melebihi batas 25 ppm. Sedangkan untuk kadar alkalinitas dan amonia yang masing-masing bernilai 94-154 dan 0,03-0,05 ppm juga masih dalam batas yang normal.
Hasil yang diperoleh dari pengamatan parameter kualitas air kolam budidaya dan air laboratorium yang diendapkan menunjukkan bahwa keduanya masih memiliki standar yang baik bagi kelangsungan hidup ikan bawal air tawar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air tidak mempengaruhi kondisi kesehatan dan proses pemeliharaan, pengadaptasian serta perlakuan baik dalam proses pembiusan maupun pembugaran.
4.2 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui respon penurunan suhu rendah terhadap aktivitas bawal air tawar dan menentukan suhu pembiusan bawal air tawar secara bertahap. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan pada penelitian utama.
Tabel 5 Respon aktivitas bawal air tawar pada berbagai penurunan suhu Suhu
(oC)
Waktu (menit)
Aktivitas Ikan Bawal Air Tawar Kriteria
27 0-4
Ketika dimasukkan ikan meronta, gerak tutup insang cepat, ikan aktif, lincah. Gerakan sirip normal, merespon terhadap sentuhan.
Normal
24 5-10
Aktivitas bawal mulai berkurang, lebih tenang, cenderung berenang di
dasar, gerak tutup insang normal. Adaptasi
23-21 10-15
Bawal cenderung diam, gerakan tutup insang dan sirip semakin lambat dan tenang, ketika disentuh respon masih ada.
Tenang
20-18 15-20
Bawal mulai limbung, gerakan dan respon terhadap rangsangan masih ada, posisi badan miring, mulai meregangkan sirip, mulai mudah dipegang.
Fase panik
17-15 20-25
Bawal limbung, gerakan sirip dan tutup insang lambat, rangsang terhadap sentuhan lambat dan lebih tenang saat dipegang.
Pingsan ringan
14-12 25-30
Bawal tergeletak, posisi tubuh roboh, hampir tidak ada gerakan, sirip tidak bergerak dan tutup insang bergerak sangat lambat , ketika diangkat tubuh bawal melayang, respon tidak ada.
Pingsan berat
Aktivitas bawal ketika memasuki suhu 24 oC terlihat semakin lambat dan tenang, cenderung berenang di dasar dan gerakan tutup insang yang normal. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian bawal mulai beradaptasi dan telah merespon kondisi perubahan suhu lingkungan yang semakin rendah. Kondisi ini terus berlangsung selama ±5 menit hingga suhu pembiusan mencapai 21 oC.
Bawal memasuki fase tenang pada suhu 23-21 oC, bawal cenderung diam, gerakan tutup insang dan sirip semakin lambat dan tenang pada lama pembiusan 10-15 menit. Ketika diberikan rangsangan sentuhan bawal masih memberikan respon. sirip dan tutup insang terlihat diam akan tetapi seluruh bawal masih dalam kondisi tegak.
Bawal mulai kehilangan orientasi dan memasuki fase panik pada kisaran suhu 20-18 oC. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi bawal yang mulai limbung ketika memasuki suhu 20 oC, sebagian besar bawal masih dapat berenang tegak kembali ketika posisi tubuhnya dibalik. Respon terhadap rangsangan masih ada namun bawal mulai mudah dipegang. Gerakan dan respon terhadap rangsangan bawal mulai melemah ketika suhu pembiusan mulai mencapai 18 oC, meskipun seluruh bawal yang dibius belum menunjukkan tanda-tanda pingsan.
Bawal mulai memasuki fase pingsan ringan pada kisaran suhu 17-15 oC. Hal ini ditunjukkan oleh hilangnya keseimbangan pada ikan bawal serta lemahnya respon terhadap rangsangan sentuhan yang diberikan. Sirip dan tutup insang bergerak lambat tetapi masih menunjukkan adanya gerakan. Ketika posisi tubuh dibalik seluruh bawal tidak dapat tegak kembali dan lebih tenang ketika dipegang.
Bawal menunjukkan tanda-tanda pingsan ketika suhu media memasuki kisaran suhu 14-12 oC. Sebagian bawal telah roboh kemudian pingsan, gerakan tutup insang dan sirip. Kisaran suhu 14-12 oC yang dipertahankan selama 30 menit mengakibatkan seluruh bawal telah pingsan. Bawal telah tergeletak di dasar media dalam keadaan roboh, hampir tidak ada gerakan, tutup insang dan sirip bergerak sangat lambat. Ketika bawal diangkat, tubuh bawal melayang dan tidak ada respon terhadap rangsangan. Bawal yang telah pingsan tidak memberikan perlawanan ketika dikemas.
dengan penurunan suhu yang diberikan. Proses aklimatisasi dari metode penurunan suhu secara bertahap pada dasarnya juga dipengaruhi oleh bobot dan ukuran bawal air tawar yang digunakan. Semakin besar bobot dan ukuran bawal yang digunakan maka semakin besar nilai toleransi terhadap perubahan suhu (Wibowo et al. 1994).
Hasil pengamatan aktivitas bawal pada berbagai suhu di atas menunjukkan bahwa bawal yang dipingsankan dengan penurunan suhu secara bertahap akan mengalami gangguan keseimbangan. Terganggunya keseimbangan pada bawal disebabkan oleh kurangnya oksigen dalam darah. Laju konsumsi oksigen pada hewan air akan menurun seiring dengan menurunnya suhu media (Berka 1986). Penurunan konsumsi oksigen pada bawal akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologi dan bawal menjadi tenang (Suryaningrum et al. 2008; Ikasari et al. 2008). Kekurangan oksigen yang lebih lanjut menyebabkan bawal menjadi pingsan dan akhirnya roboh. Hasil penelitian aktivitas bawal air tawar pada berbagai suhu menunjukkan kisaran suhu kritis bagi bawal air tawar, yaitu suhu 20-18 oC (fase panik), 17-15 oC (pingsan ringan) dan 14-12 oC (pingsan berat). 4.2.2 Penentuan suhu pembiusan terbaik
Penentuan suhu pembiusan terbaik untuk bawal air tawar dilakukan dengan cara mengetahui pengaruh suhu pembiusan yang menyebabkan fase kritis terhadap tingkat kelulusan hidup dan kondisi saat pembugaran. Suhu pembiusan tersebut adalah 20-18 oC (fase panik), 17-15 oC (pingsan ringan) dan 14-12 oC (pingsan berat).
Hasil pengamatan pada penentuan suhu pembiusan terbaik menunjukkan bahwa perlakuan suhu pembiusan menghasilkan kondisi yang berbeda terhadap bawal yang diimotilisasi. Pembiusan secara bertahap dengan suhu 20-18 oC selama 30 menit dapat membuat kondisi ikan bawal cukup tenang.
Pembiusan pada suhu 14-12 oC menghasilkan kondisi bawal yang berbeda dibandingkan dengan bawal yang diimotilisasi pada suhu 17-15 oC. Ketika bawaldibius secara bertahap pada media air hingga suhu 14-12 oC menyebabkan sebagian bawal roboh. Bawal dalam keadaan diam ketika diangkat serta tidak ada respon terhadap rangsangan yang diberikan sehingga memudahkan penanganan bawaluntuk dikemas. Untuk mengamati kedalaman fase pingsan bawal yang sudah dibius diletakkan dalam kotak stirofoam sebagaimana diagram Gambar 4.
Gambar 4 Penyusunan ikan bawal dalam stirofoam
Berikut adalah hasil pengamatan kelulusan hidup dan kondisi bawal setelah uji penyimpanan 3 jam dalam kemasan kering ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil penelitian pendahuluan penentuan suhu pembiusan terbaik Suhu
pembiusan (oC)
Kondisi bawal setelah penyimpanan selama 3 jam Survivalrate
(%) Posisi Kondisi Respon Waktu
Diangkat penyimpanan selama 3 jam mendapatkan nilai survival rate tertinggi sebesar 100%. Ketika dilakukan pembongkaran bawal tidak bergeser posisinya, berada dalam kondisi pingsan dan ketika diangkat tidak meronta. Bawal yang dibius pada
Es sebanyak 0,5 kg yang dilapisi kantung plastik dan koran Serbuk gergaji 5cm
suhu 17-15 oC mendapatkan survival rate senilai 80 %. Kondisi ikan sadar lemah dan meronta lemah ketika diangkat. Sedangkan bawal yang dibius pada suhu 20-18 oC memiliki nilai survival rate terendah yaitu 60 %. Kondisi bawal pada suhu pemingsanan 20-18 oC ketika dilakukan pembongkaran sudah berada dalam kondisi sadar, ketika diangkat meronta dan merespon terhadap rangsangan.
Hasil penelitian pendahuluan membuktikan bahwa suhu 14-12 oC memiliki nilai kelulusan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan suhu 20-18
o
C dan 17-15 oC. Menurut Soedibya dan Taufik (2006), suhu krusial dalam pembiusan bawal berkisar antara 18-13 oC. Pada titik-titik krusial ini terjadi perubahan aktivitas dan respon ikan bawal yang nyata,yang diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Karena pada dasarnya, dalam kondisi krusial makhluk hidup cenderung menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Suhu optimal untuk pembiusan bawal berkisar antara 18-13 oC. Suhu diatas maupun dibawah kisaran tersebut masih beresiko menimbulkan mortalitas yang tinggi. Selain itu suhu yang digunakan untuk imotilisasi ikan cenderung pada fase pingsan berat dan pingsan ringan agar dapat menekan resiko kematian ketika transportasi.
4.3Penelitian Utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui tingkat kelulusan hidup bawal air tawar. Pembiusan bawal air tawar pada penelitian utama menggunakan metode pembiusan secara bertahap dengan suhu pembiusan terbaik yang didapat dari hasil penelitian pendahuluan yaitu 14-12 oC.
4.3.1 Kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan
Gambar 5 Kelulusan hidup bawal air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bawal air tawar yang dikemas menggunakan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 100% pada penyimpanan jam ke-0. Selanjutnya tingkat kelulusan hidup bawal turun menjadi 73% pada jam ke-3, dan 60% pada jam ke-6. Pada akhir penyimpanan jam ke-9, tingkat kelulusan hidup bawal sebesar 40%. Dapat terlihat bahwa masing-masing perlakuan lama penyimpanan memberikan hasil yang berbeda sangat nyata berdasarkan uji statistik yang dilakukan. Perlakuan lama penyimpanan pada media serbuk gergaji terlihat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup ikan bawal air tawar selama transportasi dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelulusan hidup (survival rate) bawal air tawar menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan. Menurut penelitian Suryaningrum et al. (2005) yang menggunakan bawal sebagai biota ujinya, penurunan nilai kelulusan hidup tersebut karena sebagian biota yang dibius telah tersadar pada saat disimpan sehingga aktivitas maupun metabolismenya meningkat. Hal ini juga dapat berlaku bagi bawal air tawar karena aktivitas dan metabolisme bawal yang semakin tinggi menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi pula, sedangkan ketersediaan oksigen dalam media kemasan sangat terbatas
sehingga bawal dapat mengalami kekurangan oksigen yang berakibat pada kematian.
Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada jam ke-9 diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali selama berada dalam kemasan. Pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung sedikit air sehingga oksigen dapat diserap walaupun dalam jumlah yang sedikit (Utomo 2001). Tingkat kematian yang cukup tinggi pada jam penyimpanan ke-9 diduga akibat rendahnya cadangan oksigen pada katup insang sehingga mempercepat proses kematian ikan selama transportasi.
4.3.2 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan
Suhu media kemasan mengalami perubahan sejak awal hingga akhir uji penyimpanan bawal air tawar. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi selama uji penyimpanan ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan
Pada penyimpanan selama 9 jam terlihat bahwa media kemasan dengan bahan pengisi serbuk gergaji mengalami perubahan suhu yang cukup berarti. Peningkatan suhu menjadi 15,7 oC terjadi ketika penyimpanan mencapai lama
penyimpanan 3 jam dan mencapai 18 oC pada penyimpanan selama 6 jam. Suhu media serbuk gergaji mengalami peningkatan menjadi 18,7 oC pada penyimpanan jam ke-9. Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan bawal terbukti dapat mempertahankan suhu kemasan tetap rendah (≤ 21 oC) hingga 9 jam penyimpanan. Serbuk gergaji terus mengalami peningkatan suhu seiring semakin lamanya durasi penyimpanan. Hal ini terjadi akibat menurunnya kemampuan es sebagai media pendingin dan adanya penetrasi panas dari suhu lingkungan (Junianto 2003). Suhu media serbuk gergaji dapat dipertahankan rendah oleh beberapa faktor, yaitu penambahan es dan penggunaan stirofoam sebagai wadah pengemas.
Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu pembiusan ikan bawal. Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999) dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi ikan sistem kering berkisar atau sama dengan suhu pembiusannya. Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam transportasi ikan sistem kering dan berpengaruh terhadap kelulusan hidup ikan yang ditransportasikan. Suhu dalam kemasan harus dipertahankan sebaik mungkin dan idealnya pada akhir transportasi suhu tidak lebih dari 20 oC (Suryaningrum et al. 1994).
Sampai saat ini, serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada transportasi biota perairan hidup sistem kering. Serbuk gergaji mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada sekam padi atau serutan kayu, memiliki tekstur yang baik dan seragam serta nilai ekonomisnya relatif rendah. Serbuk gergaji yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis kayu yang sedikit mengandung getah atau resin, kurang beraroma terpenten, tidak beracun, tidak berbau tajam dan bersih (Junianto 2003). Jenis kayu yang umum digunakan antara lain kayu mindi (Melia azedarach), jeungjing (Albizia falcata) dan jati (Tectona grandis) (Karnila dan Edison 2001).
diphosphat (ADP), adenosin monophosphat (AMP) dan inosin monophosphat untuk menghasilkan energi sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan unuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah. Kadar oksigen dalam darah bawal pada akhirnya tidak turun secara drastis, sehingga bawal mampu hidup lebih lama selama proses transportasi (Karnila dan Edison 2001).
Suhu kemasan memegang peran penting dalam menentukan kelulusan hidup bawal. Suhu kemasan yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menyebabkan mortalitas yang tinggi selama proses transportasi. Media yang digunakan untuk transportasi bawal air tawar sistem kering harus bersifat lembab, dengan suhu di dalam kemasan dipertahankan pada 12,9-25,4 oC. Dalam kondisi ini, transportasi Bawal air tawar akan lebih lama dan kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007). Semakin lama bahan pengisi mampu menyimpan dingin maka semakin panjang waktu dan jarak tempuh transportasi yang bisa dilakukan (Hastarini et al. 2006).
Suhu media kemasan selama penyimpanan ikut menentukan ketahanan hidup ikan bawal air tawar dalam transportasi hidup sistem kering. Perubahan suhu yang cukup besar sejak awal hingga akhir transportasi akan menyebabkan bawal tersadar dari kondisi imotil sehingga aktivitas dan metabolismenya meningkat. Aktivitas dan metabolisme yang semakin tinggi akan menuntut ketersediaan oksigen yang siap dikonsumsi, akan tetapi ketersediaan oksigen di dalam media kering terbatas. Biota yang dikemas akan mengalami kekurangan oksigen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Karnila dan Edison 2001).
Peningkatan suhu yang lebih cepat akan membuat ikan lebih cepat sadar sehingga metabolismenya meningkat, Hal ini berpengaruh pula terhadap nilai
dilihat pada Gambar 7. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit untuk memantau suhu dan kelembaban. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi dan kelembaban serbuk gergaji selama uji penyimpanan ditampilkan pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 7 Posisi thermo-hygrometer pada percobaan
Gambar 8 Perubahan suhu serbuk gergaji selama penyimpanan dengan menggunakan thermo-hygrometer.
Pengamatan suhu serbuk gergaji dengan menggunakan thermo-hygrometer
digital, memperlihatkan rata-rata suhu naik dari pengamatan ke-0 hingga pengamatan ke-7 (0 hingga 3 jam 30 menit) dari suhu 13 ºC hingga 16,27 ºC.
-2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Su
hu
(
ºC)
Pada pengamatan ke-8 hingga pengamatan ke-18 (4-9 jam) terjadi kenaikan sedikit (relatif stabil) yaitu dari suhu 16,3 ºC menjadi 17,1 ºC.
Gambar 9 Perubahan RH serbuk gergaji selama penyimpanan menggunakan
thermo-hygrometer.
Pengamatan kelembaban menghasilkan rata-rata 73,3 % hingga 99 % pada pengamatan ke-0 sampai dengan ke-7 (0 jam hingga 3 jam 30 menit). Kemudian terlihat stabil pada kelembaban 99 % pada pengamatan ke-8 sampai ke-18 (4-9 jam). Terlihat bahwa kenaikan suhu maupun kelembaban terjadi pada pengamatan ke-0 hingga ke-7.
Kelembaban relatif (relative humidity) didefinisikan sebagai rasio dari tekanan parsial uap air dalam campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada temperatur (Perry dan Green 1997). Kenaikan kelembaban yang terjadi selama transportasi ikan bawal disebabkan oleh menguapnya cadangan es yang digunakan selama transportasi. Es yang menguap sebagian berubah menjadi uap air dan meningkatkan kelembaban udara yang ada pada kemasan.
5.1 Kesimpulan
Pembiusan bawal air tawar dengan penurunan suhu secara bertahap menyebabkan perubahan aktivitas bawal yang semula aktif pada suhu normal secara perlahan-lahan direduksi menjadi tenang seiring dengan penurunan suhu yang diberikan. Suhu pembiusanterbaik bawal air tawar secara bertahap adalah 14-12 oC dengan waktu pembiusan 30 menit.
Lama penyimpanan terbukti memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup bawal selama proses tranportasi. Bawal air tawar yang dikemas dengan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup sebesar 73,33% pada 3 jam penyimpanan, 60% pada 6 jam, dan 40% pada penyimpanan 9 jam.
Perubahan suhu pada media pengisi juga dapat memberikan pengaruh pada kelulusan hidup bawal air tawar. Pada jam ke-3 suhu serbuk gergaji meningkat ke suhu 15,7 oC, pada jam ke-6 sebesar 18 oC, dan pada akhir penyimpanan suhu media serbuk gergaji 18,7 oC.
5.2Saran
BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING
AURISMARDIKA NOVESA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan AGOES MARDIONO JACOEB
Permintaan bawal air tawar hidup di dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Penyimpanan bawal hidup tanpa media air merupakan suatu simulasi transportasi sebelum dilakukan uji transportasi. Transportasi sistem kering adalah pengangkutan ikan yang diberi perlakuan imotilisasi dengan metode tertentu kemudian dikemas dan disimpan pada media non-air. Keunggulan sistem transportasi ini yaitu meningkatkan kepadatan biota perairan yang akan diangkut sehingga menekan biaya transportasi. Faktor suhu pembiusan ini memiliki peranan penting karena dengan pemilihan suhu pembiusan yang tepat akan menjamin tingkat kelulusan hidup bawal air tawar selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembiusan secara bertahap dan perubahan suhu dalam kemasan terhadap kelangsungan hidup bawal air tawar (Colossoma macropomum) selama transportasi hidup sistem kering.
Penelitian ini melalui beberapa tahap diantaranya tahap persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. Persiapan penelitian meliputi persiapan air yang akan digunakan dan persiapan media kemasan (serbuk gergaji) serta persiapan bawal air tawar yang akan diberi perlakuan. Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi pengamatan aktivitas fisiologi bawal pada berbagai suhu dan penetuan suhu pemingsanan terbaik. Perlakuan pada penelitian utama meliputi pembiusan bawal dengan penurunan suhu secara bertahap dan uji penyimpanan. Analisis data penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu faktor lama penyimpanan dengan taraf 0, 3, 6, dan 9 jam sebanyak tiga kali ulangan dan faktor perubahan suhu media kemasan selama penyimpanan.
BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING
AURISMARDIKA NOVESA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Nama : Aurismardika Novesa NRP : C34070097
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Dr.Ir.Agoes M. Jacoeb,Dipl.Biol. NIP.19580511 198503 1 002 NIP.19591127 198601 1 005
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP.19580511 198503 1 002
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Pembiusan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) dengan Suhu Rendah Secara Bertahap dalam Transportasi Sistem Kering”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah diberikan kepada penulis
2. Dr.Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.Biol., atas segala bantuan dan bimbingannya yang diberikan pada penulis dalam penyusunan skripsi. 3. Ir. Dadi R. Sukarsa, atas segala bantuan dan bimbingannya pada penulis. 4. Ayah dan Ibu, Adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan
motivasi kepada penulis.
5. Teman-teman THP 44 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2012
Aurismardika Novesa
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayah bernama Ir. Aurino R.A Djamaris MM dan ibu bernama Nani Sumarni.
Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari SDN Percobaan Malang pada tahun 1995 hingga tahun 2001.Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 9 Bogor. Penulis lulus SMP pada tahun 2004. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 10 Bogor pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
DAFTAR ISI ... viii 2.1 Deskripsi dan klasifikasi bawal air tawar ... 3 2.2 Budidaya bawal air tawar ... 4 2.3 Transportasi ikan hidup sistem kering ... 5 2.4 Imotilisasi ... 6 3.3.1 Persiapan penelitian ... 14 3.3.2 Penelitian pendahuluan ... 15 3.3.3 Penelitian utama ... 17 3.3.3 Rancangan percobaan ... 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20 4.1 Parameter air sebagai tempat hidup ikan bawal air tawar ... 20 4.2 Penelitian pendahuluan ... 21
4.2.1 Respon penurunan suhu rendah
1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) ... 3 2 Diagram alir prosedur kerja penentuan suhu pembiusan terbaik ... 16 3 Diagram alir prosedur kerja uji penyimpanan ... 17 4 Penyusunan ikan bawal dalam stirofoam ... 25 5 Kelulusan hidup bawal air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan ... 27 6 Perubahan suhu media keemasan selama penyimpanan ... 28 7 Posisi thermo-hygrometer pada percobaan ... 31 8 Perubahan selama penyimpanan dengan metode tertutup ... 31 9 Perubahan RH serbuk gergaji selama penyimpanan dengan
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat ternyata ikut pula meningkatkan taraf pendidikan masyarakat yang pada gilirannya ikut meningkatkan kesadaran dalam hidup sehat. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap perilaku dan preferensi masyarakat tersebut. Salah satu dampak yang tampak adalah terjadinya pergeseran pada permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi ke arah komoditi yang bermutu lebih tinggi, spesifik dan resiko pada kesehatan yang lebih kecil, meskipun dengan demikian harus diganti dengan harga yang lebih tinggi. Pergeseran tersebut juga tampak pada permintaan komoditi perikanan di pasar internasional maupun domestik yang bergeser dari bentuk beku ke bentuk segar, kemudian ke bentuk hidup. Dalam bentuk hidup, jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, misalnya kerapu harganya mencapai 3-4 kali lipat dari harga ketika mati (Nitibaskara et al. 2006). Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa merupakan pasar yang potensial untuk jenis ikan hidup
Salah satu komoditas perikanan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan
telah dibudidayakan secara intensif adalah ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum). Kelebihan ikan bawal ini antara lain dapat mencapai
ukuran yang cukup besar, memiliki daging yang gurih, tidak banyak duri, dan rasanya tidak kalah lezat dibandingkan dengan ikan bawal air laut. Prospek pemasaran ikan bawal air tawar hidup cukup cerah, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor. Kendala yang umum dihadapi dalam pemasaran ikan hidup terutama adalah jarak tempuh yang cukup jauh untuk mentransportasikan ikan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mempertahankan agar akan tetap dalam keadaan hidup sampai di tempat tujuan.
Selain pasar di Jakarta, juga dikirimkan ke Pasar Turi (Surabaya), Pasar Kobong (Semarang), Lahat (Sumsel), Bandung, Lampung, Bogor dan Cirebon. Permintaan ikan bawal air tawar sudah merambah ke mancanegara, diantaranya diekspor ke Johor Baru (Malaysia). Menurut data statistik produksi perikanan budidaya jaring apung, Indonesia memproduksi ikan bawal sebesar 4.152 ton pada tahun 2009 dan meningkat hingga 17.683 ton pada tahun 2010 (SIDATIK Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011).
Peluang pasar yang masih terbuka tersebut perlu mendapat dukungan berupa teknologi penanganan transportasi biota perairan yang ekonomis, praktis dan aman. Transportasi hidup sistem kering untuk pengangkutan bawal air tawar hidup jarak jauh dalam waktu lama merupakan cara yang praktis dan aman meskipun beresiko tinggi. Transportasi biota perairan hidup sistem kering dapat menjadi pilihan yang tepat apabila kondisi optimalnya diketahui sehingga kelulusan biota tetap tinggi hingga di tempat tujuan.
Ikan bawal air tawar harus dipingsankan dahulu sebelum ditransportasikan. Hasil penelitian Soedibya dan Taufik (2006) pada bawal air tawar menunjukkan bahwa pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap telah diketahui titik-titik kritis suhu imotil untuk ikan bawal yaitu pada kisaran suhu 23-13 °C. Adapun aspek-aspek lainnya dalam penanganan dan transportasi ikan bawal air tawar hidup belum diketahui. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan teknologi transportasi bawal air tawar sistem kering yang ekonomis, praktis, danaman serta menghasilkan kelulusan hidup yang tinggi dengan waktu transportasi yang lama.
1.2 Tujuan penelitian
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum)
Colossoma macropomum merupakan spesies ikan air tawar yang termasuk dalam Famili Characidae. Ikan ini berasal dari Brazil. Pada mulanya ikan bawal diperdagangkan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya cepat, dagingnya enak dan dapat mencapai ukuran besar, maka masyarakat menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi. Sebutan lain ikan bawal adalah gamitama
(Peru), cachama (Venezuela), red belly pacu (Amerika Serikat dan Inggris). Sedangkan di negara asalnya disebut tambaqui (Kordi 2011). Bentuk ikan bawal air tawar dicantumkan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) (Sumber: Anonim 2012)
Klasifikasi bawal air tawar (Colossoma macropomum) menurut Cuvier (1818) adalah
Filum : Chordata, Kelas : Actinopterygii, Ordo :Characiformes, Famili : Characidae, Genus : Colossoma,
Habitat hidup bawal air tawar adalah sungai, banyak ditemukan di Sungai Amazon, Brazil dan Sungai Orinoco, Venezuela. Hidupnya bergerombol di daerah yang aliran sungainya deras, namun dapat ditemukan pula di daerah yang airnya tenang, terutama saat berupa benih. Ikan ini dapat hidup dengan baik pada ketinggian 100-800 meter di atas permukaan laut dengan suhu air 25-30 °C (Kordi 2011).
Ikan bawal air tawar memiliki morfologi tubuh dari samping tampak membulat dengan perbandingan antara panjang dan tinggi 2:1. Bila dipotong secara vertikal ikan bawal air tawar memiliki bentuk tubuh pipih dengan perbandingan antara tinggi dan lebar 4:1. Sisik ikan bawal air tawar berbentuk ctenoid, dimana ditengah bagian sisik belakang menutupi sisik bagian depan. Tubuh bagian vertikal dan sekitar sirip dada ikan bawal air tawar muda berwarna merah. Warna merah ini akan memudar seiring dengan pertambahan umur dan perkembangan fisik. Warna merah ini merupakan ciri khusus ikan bawal air tawar (Arie 2000).
2.2 Budidaya Bawal Air tawar
Bawal air tawar adalah salah satu ikan air tawar penting di Indonesia. Ikan ini merupakan ikan introduksi yang awalnya didatangkan sebagai ikan hias, namun kini menjadi ikan konsumsi dan banyak dibudidayakan oleh petani ikan. Sebagai ikan budidaya, bawal memiliki beberapa keunggulan yaitu pertumbuhan yang relatif cepat, kebutuhan protein dalam pakannya relatif rendah, dapat bertahan hidup pada perairan dengan kandungan oksigen yang minimum sehingga mudah dibudidayakan di berbagai lingkungan dan wadah budidaya, tahan terhadap serangan penyakit, dan dapat diproduksi sebagai ikan hias, ikan konsumsi, dan ikan kolam pemancingan. Karena keunggulan tersebut, bawal diprediksi akan menjadi salah satu ikan yang prospektif. Bawal air tawar dapat menjadi substitusi bawal laut (Stromateus niger, dan S.cinereus) yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenisikan ekonomis penting yang dihidangkan sebagai makanan hasil laut (sea food). Sebagai ikan alternatif, posisi bawal cukup strategis karena produksi bawal laut mengalami penurunan tajam pada musim barat, sehingga bawal dapat menjadi pilihan pengganti (Kordi 2012)
Selain sumber dan kuantitas harus memadai, air yang digunakan untuk pemeliharaan bawal juga harus memenuhi kebutuhan optimal ikan. Dengan kata lain, air yang digunakan dalam pemeliharaan bawal air tawar harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa parameter yang dapat dijadikan indikator dalam menilai kualitas suatu perairan, sebagaimana tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1 Parameter kualitas air untuk budidaya bawal air tawar.
Parameter Nilai
Kecerahan 20-40 cm oleh plankton
Warna Hijau Kecoklatan
DMA 2-4,5
H2S Maks 0,1 ppm
Kesadahan 3-8 dGH
2.3 Transportasi Ikan Hidup Sistem Kering
Transportasi biota perairan hidup sistem kering menggunakan prinsip hibernasi. Hibernasi merupakan usaha untuk menekan metabolisme suatu organisme sehingga dalam kondisi lingkungan yang minimum organisme tersebut mampu bertahan (Junianto 2003). Transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Oleh karena itu, pada sistem ini ikan dibuat dalam kondisi tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Cara tersebut diantaranya adalah menggunakan bahan antimetabolik atau anestesi (Wibowo 1993).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering, perlu dilakukan proses penenangan terlebih dahulu. Kondisi Ikan yang tenang akan mengurangi stress, mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak transportasi dapat lebih jauh dan meningkatkan kapasitas angkut. Metode penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi sehingga pemilihan metode imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006).
Transportasi hidup sistem kering memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat mengurangi stres pada organisme yang ditransportasikan, menurunkan kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen, mengurangi mortalitas akibat perlakuan fisik (getaran, kebisingan, cahaya), tidak mengeluarkan hasil metabolisme (feses) serta tidak perlu media air sehingga daya angkut lebih besar. Stabilitas suhu dalam kemasan memegang peranan yang penting karena fluktuasi suhu yang tajam dapat menyebabkan kematian biota yang ditransportasikan (Nitibaskara et al. 2006). 2.4 Imotilisasi
akuatik. Pengaruh suhu rendah pada biota perairan yaitu kemampuannya dalam mengambil oksigen (hypoxia). Menurunnya kemampuan ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung dan terganggunya osmoregulasi ikan. Suhu yang diturunkan secara mendadak dapat mengakibatkan degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi terganggu, perubahan suhu yang melebihi 3-4 °C dapat mengakibatkan kejutan suhu dan kematian ikan (Boyd 1990).
Imotilisasi berprinsip hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2008). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya dengan suhu rendah (Ikasari et al.2008). Suhu air yang rendah dapat menurunkan aktivitas dan tingkat konsumsi oksigen (Coyle et al. 2004). Pada imotilisasi udang dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kondisi udang dengan aktivitas yang minimal namun tetap hidup dan sehat setelah mengalami pembugaran kembali (Wibowo dan Soekarto 1993).
Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang efektif, ekonomis, dan aman dalam transportasi sistem kering. Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relatif murah, mudah didapat, dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang membahayakan bagi manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan cara merendam es batu yang telah dipersiapkan dalam sebuah kantong plastik pada air dalam bak pemingsanan. (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan kunci dalam transportasi hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan maupun krustase dapat diangkut dengan waktu lama dan tingkat kelulusan hidupnya tinggi (Berka 1986).