• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characterizations of Walur Flour (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) and Its Application in Noodle and Cookies.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characterizations of Walur Flour (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) and Its Application in Noodle and Cookies."

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASINYA PADA MIE DAN COOKIES

NANDI SUKRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) dan Aplikasinya pada Mie dan Cookies adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(4)
(5)

NANDI SUKRI. Characterizations of Walur Flour (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) and Its Application in Noodle and Cookies. Supervised by FERI KUSNANDAR, EKO HARI PURNOMO dan RISFAHERI.

Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvestris) is a source of carbohydrate that is available locally and potentially to be developed as a food source. Walur is a type of tuber containing high oxalate content causing itchiness and irritation on lips. The objective of this research was to produce walur flour with low oxalic content and to apply it as flour-subtitute in noodles and cookies. Walur root had moisture content of 74,46%, ash 4,89%, fat 14,41%, protein 6,42%, and carbohydrate 74,28% in dry basis. Oxalic content of walur was reduced by boiling at 40 oC for 3 hours, soaking in HCl 0,2 N solution for 30 minutes, 1% sodium bicarbonate solution for 5 minutes, washing and soaking in sodium metabisulfite 1000 ppm solution for 5 minutes before dried. This treatment reduced 95% of oxalic content and obtained whiteness value of 69%. RVA profile showed that walur flour had A type gelatinization pattern. Noodles product with 30% walur flour substitution and cookies product with 50% walur flour substitution were most acceptable sensoricaly.

(6)
(7)

NANDI SUKRI. Karakterisasi Tepung Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) dan Aplikasinya pada Mie dan Cookies. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR, EKO HARI PURNOMO dan RISFAHERI.

Ketergantungan terhadap tepung terigu impor merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi negara Indonesia untuk mendukung program kemandirian pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk menyikapi permasalahan ini dalam memperjuangkan kemandirian pangan serta menjaga stabilitas ketahanan pangan. Kelompok umbi-umbian memiliki potensi yang besar sebagai bahan pangan alternatif untuk dikembangkan sebagai pengganti tepung terigu. Salah satu kelompok umbi-umbian yang memiliki keunggulan secara komparatif adalah walur (Amorphophallus campanularus var. sylvetris). Walur tidak memiliki nilai ekonomi karena mengandung kadar kalsium oksalat yang sangat tinggi sehingga menimbulkan rasa gatal ketika dikonsumsi dan dianggap sebagai tanaman liar dan gulma oleh petani iles-iles.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu paket teknologi agar dapat menghasilkan produk olahan umbi walur yang bermutu, berdaya saing dan memiliki nilai tambah yang tinggi. Salah satunya adalah dalam bentuk tepung walur yang bebas kalsium oksalat sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif. Penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap (1) karakterisasi sifat fisikokimia umbi walur dan reduksi kalsium oksalat, tahap (2) produksi tepung dari umbi walur dan karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional tepung walur, tahap (3) aplikasi tepung walur pada pengolahan produk pangan (mie dan cookies).

Berdasarkan hasil analisis kimia, didapatkan bahwa umbi walur memiliki kandungan karbohidrat dan pati yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif. Oksalat dalam umbi walur dapat direduksi melalui perendaman dalam air hangat (45oC) selama 3 jam dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan HCl 0,2 N selama 30 menit lalu perendaman dalam natrium bikarbonat 1 % selama 5 menit serta diikuti dengan pencucian. Metode ini dapat menurunkan kandungan oksalat sebesar 95% dengan sisa oksalat sebesar 1261 ppm. Perendaman irisan umbi walur dalam Na-metabisulfit pada konsentrai 1000 ppm memberikan nilai derajat putih tepung walur sebesar 69% dengan residu sulfit sebesar 70,61 ppm.

Dari hasil analisis sifat fisikokimia tepung walur didapatkan rendemen tepung walur sebesar 14,35%, kadar karbohidrat 88,35%, total pati 59,70%, kandungan amilosa 23,40% dan kadar serat kasar 4,56%, kemudian dari hasil analisis sifat fungsional tepung walur diperoleh kekuatan gel 119,85 gf, viskositas maksimum 3213 RVU, viskositas breakdown 1271 RVU dan viskositas setback 720 RVU. Analisis RVA menunjukkan bahwa tipe profil gelatinisasi (pasting properties) dari tepung walur adalah tipe A.

(8)

Selanjutnya, berdasarkan hasil uji organoleptik didapatkan bahwa substitusi tepung walur sebesar 30% dalam tepung terigu pada pembuatan mie masih dapat diterima dan substitusi tepung walur dalam tepung terigu pada pembuatan cookies dapat diterima sampai 50%.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

APLIKASINYA PADA MIE DAN COOKIES

NANDI SUKRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

NIM : F251090231

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. Ketua

Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr.

(14)
(15)

“Maka makanlah yang halal lagi baik (sehat) dari rizqi

yang telah diberikan Allah SWT kepadamu; dan

syukurilah nikmat Allah SWT, jika kamu hanya

menyembah kepada-

Nya” (QS. An

-Nahl : 114)

“Semua yang ada di langit dan di bumi memohonkan

ampunan bagi para pencari ilmu, daun-daun di ranting

hingga ikan-ikan yang ada di lautan semuanya

memintakan ampun baginya (HR. Ahmad)

Kupersembahkan tulisanku ini kepada orang yang kucintai

dan mencintaiku:

(16)
(17)

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Penguasa alam semesta yang hanya dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis yang berjudul ”Karakterisasi Tepung Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) dan Aplikasinya pada Mie dan Cookies” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Istriku tercinta Embun Kumala Sari, A.Md dan anakku tersayang Nekira Absyar Anandi yang senantiasa memberikan senyum, doa, semangat, kasih sayang, cinta, perhatian, dukungan dan kepercayaan penuh kepada penulis serta bantuannya untuk kesuksesan penulis.

2. Ibunda Hj. Harlenis (Almarhumah), ayahanda H. Umar Munaf, mertuaku H. Emrizal dan Hj. Dalnis Mawarni, Odang Siai dan uda-uda serta uni-uniku yang senantiasa memberikan doa, bimbingan, semangat, kasih sayang, perhatian, dukungan dan kepercayaan penuh serta bantuannya untuk kesuksesan penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Bapak Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, motivasi, kepercayaan dan bantuan yang sangat berarti untuk kesuksesan penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

6. Ibu Dr. Elvira Syamsir, STP, M.Si selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

(18)

bimbingan, kepercayaan dan bantuan yang sangat berarti untuk kesuksesan penulis.

8. Bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc sebagai dosen yang selalu memberikan motivasi, arahan dan bimbingan yang sangat berarti untuk kesuksesan penulis.

9. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan beserta seluruh staf pengajar yang telah mendidik dan memberikan arahan selama studi.

10. Uda Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si sebagai dosen sekaligus kakak yang selalu memberikan motivasi, arahan, bimbingan, kepercayaan dan bantuan yang sangat berarti untuk kesuksesan penulis di lingkungan kampus maupun diluar kampus.

11. Bapak Asep Wawan Permana STP, M.Si dan seluruh staf laboratorium kimia dan pengolahan Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian di Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

12. Rekan-rekanku di Pascasarjana Ilmu Pangan 2009 atas bantuan, motivasi, semangat, pendapat, serta kebersamaan dan kenyamanan yang telah diberikan kepada penulis selama kuliah dan penelitian.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk penyelesaian tesis ini. Penulis berharap penelitian ini memberikan kontribusi untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Penulis menyadari masih ada banyak kekurangan dalam tulisan ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, April 2012

(19)

Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 20 September 1984. Penulis merupakan anak kelima (anak bungsu) dari pasangan Bapak H. Umar Munaf dan Ibu Hj. Harlenis (Almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Selama menjalankan pendidikan Sarjana, penulis turut aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan di IPB, diantaranya Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN), UKM Bulu Tangkis, OMDA Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum dan asisten dosen untuk beberapa mata kuliah, yaitu Biologi Perikanan, Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan, Teknologi Poses Termal Hasil Perikanan, Teknologi Industri Tumbuhan Laut, Rekayasa Industri Hasil Perikanan, Pengeringan Hasil Perikanan dan Ekologi Perairan.

Setelah mendapatkan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi), penulis diterima bekerja sebagai QA/QC Analyst di PT URC Indonesia. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB. Selama mejalani pendidikan S2, penulis aktif melakukan penelitian dalam bidang pangan.

Judul dari penelitian yang penulis lakukan tersebut adalah “Karakterisasi dan Produksi Tepung dari Umbi Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvetris) sebagai Sumber Pangan Alternatif Pensubstitusi Terigu sampai 30%” dan “Analisi Teknoekonomi dan Modifikasi Pati dari umbi Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvetris) dengan Teknologi Heat Moisture Treatment (HMT) untuk Mendukung Pengembangan Umbi Walur sebagai Sumber Pangan

Alternatif”.

Penulis dinyatakan lulus S2 pada tahun 2012, dengan tesis yang berjudul

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) ... 5

2.2 Penurunan Kadar Oksalat ... 6

2.3 Tepung ... 7

2.4 Pati ... 8

2.5 Pasting Properties ... 9

3 BAHAN DAN METODOLOGI ... 11

3.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 11

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 11

3.4 Uji Taksonomi ... 14

3.5 Karakterisasi Sifat Fisikokimia Umbi Walur ... 14

3.6 Reduksi Oksalat ... 14

3.7 Produksi Tepung Walur ... 15

3.8 Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Walur ... 17

3.9 Mie Kering ... 17

3.10 Cookies ... 18

3.11 Prosedur Analisis ... 20

3.11.1 Analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung walur ... 20

3.11.2 Analisis kelayakan industri tepung walur ... 28

3.11.3 Karakterisasi produk mie dan cookies ... 29

3.12 Rancangan Percobaan dan Analisa Data ... 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Sifat Fisikokimia Umbi Walur ... 33

(22)

4.1.2 Bentuk, ukuran dan sifat birefrigence granula pati umbi

walur ... 34 4.2 Reduksi Oksalat ... 35

4.2.1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan

oksalat ... 35 4.2.2 Pengaruh lama perendaman terhadap kandungan oksalat

umbi walur ... 38 4.3 Produksi dan Karakteristik fisikokimiaTepung Walur ... 40 4.3.1 Produksi Tepung Walur ... 40 4.3.2 Derajat putih dan residu sulfit tepung walur ... 42 4.3.3 Karakterisik kimia tepung walur ... 44 4.3.4 Total pati dan kandungan amilosa ... 45 4.3.5 Sifat fisik tepung walur ... 46 4.3.6 Sifat fungsional tepung walur ... 47 4.3.7 Pasting properties tepung walur ... 49 4.4 Analisis Kelayakan Pendirian Industri Tepung Walur ... 51 4.4.1 Sumber dana dan struktur pembiayaan ... 52 4.4.2 Biaya investasi ... 52 4.4.3 Biaya produksi ... 54 4.4.4 Proyeksi pendapatan ... 54 4.4.5 Proyeksi laba rugi ... 55 4.4.6 Titik impas (Break Even Point) ... 55 4.4.7 Analisis kelayakan investasi ... 56 4.5 Aplikasi Tepung Walur dalam Produk Pangan ... 57

4.5.1 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis

organoleptik mie ... 57 4.5.2 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap karakteristik

pemasakan mie ... 61 4.5.3 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis tekstur

mie... 63 4.5.4 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis

organoleptik cookies ... 66 4.5.5 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap kekerasan

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Hasil analisis proksimat dari umbi walur dan data proksimat dari

umbi suweg ... 33 2. Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan

perlakuan pemanasan pada suhu 50 oC selama 3 jam dan

perendaman pada berbagai jenis pelarut selam 30 menit terhadap

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvetris)

dari Madiun Jawa Timur ... 5 2. Diagram alir tahapan penelitian ... 13 3. Tahapan reduksi oksalat ... 16 4. Proses produksi tepung walur ... 17 5. Proses pembuatan mie walur kering ... 19 6. Proses pembuatan cookies walur. ... 20 7. Bentuk granula pati umbi walur (a) Mikroskop polarisasi;

(b) Scanning Electron Microscop... 34 8. Histogram pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam

beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat (ppm). ... 37 9. Histogram pengaruh lama perendaman HCl 0,2 N terhadap kandungan

oksalat umbi walur ... 38 10.Struktur kristal asam oksalat menggunakan mikroskop

polarisasi, A. Walur segar; B. Walur yang direndam dalam HCl ... 40 11.Chips kering dari umbi walur setelah pengeringan dengan perlakuan

Konsentrasi Na-metabisulfit ... 41 12.Histogram rendemen tepung yang dihasilkan dari umbu walur

segar pada setiap perlakuan ... 42 13.Grafik nilai derajat putih berbanding dengan residu sulfit tepung

walur pada setiap perlakuan ... 43 14.Perbandingan kurva pasting properties tepung walur (a) dan tepung

terigu (b) yang dianalisis dengan menggunakan alat RVA ... 50 15.Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai

kesukaan mie ... 58 16.Foto produk mie substitusi tepung walur ... 59 17.Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai KPAP mie .... 61 18.Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap waktu

optimum pemasakan mie... 63 19.Histogram nilai kekerasanproduk mie pada setiap perlakuan ... 64 20.Histogram nilai gaya tarik produk mie pada setiap perlakuan ... 65 21.Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari jenis pelarut pada proses reduksi oksalat... 81 2. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari lama perendaman pada proses reduksi oksalat ... 82 3. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari rendemen tepung pada produksi tepung walur ... 83 4. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari derajat putih tepung walur. ... 84 5. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari residu sulfit tepung walur ... 85 6. Biaya investasi pabrik tepung walur ... 86 7. Asumsi biaya opreasional pabrik tepung walur ... 88 8. Biaya operasional pabrik tepung walur ... 90 9. Laporan laba rugi pabrik tepung walur ... 91 10. Cashflow pabrik tepung walur ... 92 11. Perhitungan NPV, IRR, Net B/C, dan PBP pabrik tepung walur ... 93 12.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari nilai KPAP mie ... 94 13.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari waktu optimum pemasakan mie ... 95 14.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari kekerasan mie ... 96 15.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari gaya tarik mie ... 97 16.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari uji organoleptik mie ... 98 17.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

Duncan dari kekerasan cookies ... 101 18.Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda

(28)
(29)

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar bahan pangan yang dikomsumsi di Indonesia berbahan dasar tepung terigu. Produk olahan tepung terigu seperti mie, cookies, roti dan biskuit telah menjadi menu harian pada sebagian orang. Konsumsi produk olahan berbasis tepung terigu yang sangat tinggi menjadikan tepung terigu sebagai bahan pangan pokok setara beras. Namun, sebagian besar pemenuhan kebutuhan tepung terigu dalam negeri berasal dari tepung terigu impor. Ketergantungan terhadap tepung terigu impor merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi negara Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk menyikapi permasalahan ini dalam memperjuangkan kemandirian pangan serta menjaga stabilitas ketahanan pangan.

Diversifikasi bahan pangan pokok berbasis bahan pangan lokal adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu impor. Kelompok umbi-umbian memiliki potensi yang besar sebagai bahan pangan alternatif untuk dikembangkan sebagai pengganti tepung terigu. Salah satu kelompok umbi-umbian yang potensial untuk dikembangkan adalah walur. Walur termasuk kedalam family Araceae, genus Amorphophallus, dan spesies Amorphophallus campanulatus var. sylvetris. Menurut Ohtsuki (1968), Amorphophallus campanulatus mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77 %.

(30)

Melihat potensi umbi walur yang cukup besar untuk dikembangkan, perlu dilakukan suatu pengkajian terhadap umbi walur sehingga dapat menghasilkan produk olahan umbi walur yang bermutu, berdaya saing dan memiliki nilai tambah yang tinggi. Salah satunya adalah dalam bentuk tepung walur yang bebas kalsium oksalat sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif untuk mengatasi ketergantungan pada terigu impor.

1.2 Tujuan Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari produksi dan karakteristik tepung dari umbi walur sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif.

Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik fisikokimia dari umbi walur.

2. Melakukan reduksi kalsium oksalat dalam produksi tepung dari umbi walur. 3. Mempelajari karakteristik fisikokimia dan fungsional dari tepung walur serta

aplikasinya pada pengolahan produk pangan (mie dan cookies). 4. Melakukan analisis kelayakan pendirian industri tepung walur.

1.3 Hipotesis

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis sebagai berikut:

1. Kombinasi waktu pemanasan air hangat dan perendaman dalam larutan asam kuat dapat mereduksi kandungan oksalat pada umbi walur sehingga umbi walur dapat dikonsumsi dan menjadi salah satu sumber pangan alternatif. 2. Perendaman dalam Natrium metabisulfit pada proses produksi tepung walur

dapat memberikan mutu derajat putih tepung yang lebih baik.

3. Tepung walur dapat diaplikasikan sebagai pensubstitusi tepung terigu dalam pengolahan produk mie dan cookies.

(31)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi tentang sifat fisiko kimia umbi walur dan tahapan

proses dalam melakukan reduksi kandungan oksalat pada umbi walur serta tahapan proses dalam produksi tepung dari umbi walur.

2. Memberikan informasi tentang sifat fisikokimia dan fungsional dari tepung walur serta informasi mengenai aplikasi tepung walur pada pengolahan produk pangan seperti mie dan cookies.

(32)
(33)

2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris)

Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Menururut Kriswidarti (1980) yang dikutip dalam Faridah (2005), selain mempunyai tangkai daun yang kasar dan berwarna agak gelap, walur memiliki umbi yang sangat gatal jika dikonsumsi. Umbi walur termasuk kedalam famili Araceae, genus Amorphophallus, dan spesies Amorphophallus campanulatus.

[image:33.595.104.494.132.717.2] [image:33.595.123.475.439.691.2]

Menurut Ohtsuki (1968), di Jawa banyak berkembang dua varietas Amorphophallus campanulatus, yaitu varietas sylvetris (walur) dan varietas hortensis (suweg). Perbedaan kedua varietas ini adalah walur memiliki tangkai daun yang kasar sedangkan suweg memiliki tangkai daun yang halus. Di Madiun Jawa Timur, umbi walur dapat di temukan di perkebunan iles-iles. Gambar umbi walur dan umbi iles-iles yang berasal dari Madiun Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvetris) dan umbi iles-iles dari Madiun Jawa Timur.

Umbi Walur

(34)

Umbi yang termasuk ke dalam famili Araceae mengandung bahan aktif yang dapat menyebabkan gatal dan iritasi pada bibir, mulut serta kerongkongan. Penyebab rasa gatal pada rongga mulut dan kulit tersebut disebabkan oleh senyawa yang terdapat pada permukaan kristal kalsium oksalat jenis raphide. Kristal raphide ini hanya berfungsi sebagai pembawa sedangkan senyawa yang menyebabkan iritasi tersebut adalah jenis protein dengan bobot molekul 26 Kda (Paul et al. 1999).

2.2 Penurunan Kadar Oksalat

Oksalat biasanya berada dalam bentuk larut air (asam oksalat) dan tidak larut air (kalsium oksalat atau garam oksalat). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dengan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schum 1978). Menurut Nakata (2003) kandungan oksalat dalam tanaman sekitar 5-80% (w/w) dan 90% dari kandungan tersebut berada dalam bentuk garam oksalat seperti kalsium oksalat.

Kristal kalsium oksalat dalam tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai pengatur kalsium dalam jaringan, perlindungan dari hewan herbivora dan sebagai detoksifikasi logam (Nakata 2003). Bahan pangan yang mengandung kalsium oksalat dapat menimbulkan rasa gatal dan iritasi pada bibir, mulut dan kerongkongan. Menurut Bradbury dan Nixon (1998), rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun dari kalsium oksalat yang disebut raphide.

(35)

Metode fisik yang paling sering digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan pemanasan. Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemasakan (Lee 1999), perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Klau 1994) dan pengeringan (Nur 1986). Pemanasan menyebabkan ikatan ion antar karbon ion kalsium oksalat terputus dan bagian organik terdekomposisi sebelum titik leleh tercapai (Schumm 1978). Kemudian, perlakuan tertentu yang didasarkan kepada sifat kimiawi kalsium oksalat juga dapat menjadi alternatif untuk menghilangkan kalsium oksalat, yaitu melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat (Schumm 1978).

Menurut Kurdi (2002), salah satu asam kuat yang dapat melarutkan kalsium okasalat adalah asam klorida. Reaksi antara asam klorida dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan kalsium klorida dan asam oksalat. Selain itu, perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk mengurangi rasa gatal pada talas. Di dalam air, NaCl akan terionisasi menjadi ion Na+ dan Cl -yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat -yang larut dalam air dan endapan kalsium diklorida.

2.3 Tepung

Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan dan penyaringan dengan ukuran partikel tertentu serta memiliki kadar air yang rendah. Kadar air yang rendah berperan penting dalam menjaga keawetan suatu bahan pangan. Jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis bahan, perlakuan yang telah dialami bahan pangan, kelembaban udara tempat penyimpanan dan jenis pengemasan.

(36)

2.4 Pati

Pati memiliki karakteristik yang khas dari bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi dan kekristalan granulanya (Belitz dan Grasch 1999). Pati merupakan bagian makanan utama yang terdapat dalam tanaman dan menyediakan 70-80% kalori yang dikonsumsi oleh manusia. Dalam granula pati, campuran molekul yang berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut dengan helium. Penampakan helium pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Campbell et al. 1999).

Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop akan terlihat warna biru dan orange. Sifat ini disebut sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefringence ini akan hilang atau dikenal juga dengan awal proses gelatinisasi. Tiap jenis pati memiliki sifat yang berbeda-beda bergantung pada panjang rantai karbonnya. Selain itu, perbandingan antara molekul amilosa dan amilopektin serta kandungan protein dan lemak juga menjadi faktor yang mempengaruhi sifat dari suatu jenis pati.

Amilosa merupakan polimer linier dengan ikatan α-1,4-D-glukosa sedangkan amilopektin memiliki percabangan pada α-1,6-D-glukosa dan memiliki ukuran yang lebih besar dari amilosa. Amilopektin dan amilosa dapat dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Fenema (1996) menjelaskan bahwa amilopektin merupakan komponen terbesar dalam pati, menyusun sekitar 70-75% dari keseluruhan pati dan amilosa sekitar 20-25%.

(37)

menyebabkan molekul pati menjadi tidak larut dalam air yang bersifat dapat balik karena terjadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat.

Scoch dan Maywald (1968) mengelompokkan pati ke dalam empat tipe (A, B, C dan D) pola gelatinisasi berdasarkan kemampuan pengembangan granula pati dan ketahanannya terhadap panas serta pengadukan. Tipe A adalah jenis pati yang memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi. Kurva viskositas tipe ini menghasilkan puncak viskositas yang tinggi diikuti dengan pengenceran secara cepat selama pemasakan. Granula pati tipe ini mengembang dengan mudah ketika dipanaskan dalam air dan ikatan internalnya menjadi lemah sehingga menjadi tidak tahan terhadap pengadukan. Jenis pati yang tergolong ke dalam tipe ini adalah pati kentang, tapioka, dan sereal jenis wax.

Jenis pati tipe B adalah pati yang mengalami pengembangan yang moderat. Hal ini disebabkan oleh granula pati tidak mengembang secara sempurna sehingga menyebabkannya menjadi tidak mudah pecah, maka pati jenis ini menunjukkan puncak viskositas yang lebih rendah dan mengalami sedikit pengenceran selama pemasakan. Kelompok pati yang tergolong ke dalam tipe ini adalah pati sereal. Pati tipe C merupakan jenis pati yang mengalami pembengkakan terbatas. Kurva viskositasnya tidak menunjukkan adanya puncak viskositas tapi memiliki viskositas yang sangat tinggi dan meningkat selama pemasakan berlangsung. Tipe D merupakan pati yang memiliki pengembangan yang sangat terbatas. Biasanya, pati yang memiliki pola viskositas ini adalah pati yang mengandung amilosa yang sangat tinggi. Hal ini karena kekakuan ikatan internal akibat interaksi molekul-molekul linier sehingga menyebabkan granula pati tidak memberikan pembengkakan yang cukup untuk meningkatkan viskositas selama pemasakan.

2.5 Pasting Properties

(38)

merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain oleh ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan (Herawati 2010). Pengukuran profil gelatinisasi meliputi pengukuran suhu gelatinisasi, laju peningkatan viskositas pemanasan, suhu granula pecah, viskositas maksimum, viskositas breakdown, setback (retrogradasi), ketahanan terhadap pengadukan dan viskositas akhir.

(39)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah umbi walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) yang diperoleh dari petani di wilayah Madiun Jawa Timur. Bahan pendukung yang digunakan antara lain HCl, NaCl, NaOH, Na-bikarbonat, Na-metabisulfit dan bahan-bahan kimia untuk analisa.

Peralatan yang digunakan antara lain alat slicer (pengiris), oven, alat penepung dan ayakan, autoclave, Rapid Visco Analyzer (RVA), texture analyzer, viscometer, HPLC, Mikroskop polarisasi, SEM, noodle processing machine, oven baking, varimixer dan peralatan gelas untuk analisa.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan yaitu dari bulan Juli 2010 – Juni 2011. Tempat penelitian ini dilakukan adalah di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian di Bogor, laboratorium dan Pilot Plant Seafast Center (Bangsal) dan laboratorium kimia serta laboratorium rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

3.3 Metode Penelitian

(40)

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

Reduksi Ca-oksalat

 Pemanasan dan perendaman (larutan asam, larutan garam, larutan alkalin)

 Analisa kualitatif (mikroskop polarisasi) dan kuantitatif (HPLC)

Penepungan (ayakan 100 mesh)

Tepung Walur

Pengeringan suhu 60 oC selama 14-16 jam Pengirisan 3 mm

Pengupasan dan pencucian

Karakterisasi sifat fisikokimia  Analisa sifat fisik: mikrostruktur

 Analisa sifat kimia: proksimat (air, protein, lemak, abu, karbohidrat by different), kadar pati total, kadar amilosa dan kadar oksalat.

Uji Taksonomi Umbi Walur

Karakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional  Analisa sifat fisik: rendemen, tekstur, derajat putih,

mikrostruktur, densitas kamba, sudut tumpukan

 Analisa sifat kimia: proksimat (air, protein, lemak, abu, karbohidrat by different), kadar pati total, kadar amilosa, kadar oksalat, residu sulfit

 Analisa sifat fungsional: RVA, swelling volume dan kelarutan dan kekuatan gel.

Penambahan Natrium metabisulfit

Aplikasi tepung walur pada pengolahan produk pangan (Mie kering dan Cookies)

(41)
[image:41.595.124.519.64.324.2]

Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian Mie

Cookies

 Analisis organoleptik mie :

Warna, kekenyalan, kelengketan, rasa dan keseluruhan

 Analisis karakteristik pemasakan mie :

Kehilangan padatan selama pemasakan dan waktu optimum pemasakan

 Analisis terkstur mie : Kekerasan dan gaya tarik

 Analisis organoleptik cookies :

Warna, aroma, kerenyahan dan keseluruhan

(42)

3.4 Uji Taksonomi

Uji taksonomi dilakukan untuk memastikan bahwa bahan yang diteliti pada penelitian ini adalah umbi walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris). Uji taksonomi ini dilakukan di LIPI-Cibinong.

3.5 Karakterisasi Sifat Fisikokimia Umbi Walur

Studi dan literatur karakteristik sifat fisikokimia umbi walur masih terbatas dan belum banyak dipelajari. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat fisikokimia umbi walur dari Madiun Jawa Timur yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam perlakuan selanjutnya.

Karakterisasi sifat fisik meliputi: analisa molekul dengan Mikroskop Polarisasi pada pembesaran 200X dan 400X, dan Scanning Electron Microscope (SEM) JSM 5410LV. Karakterisasi sifat kimia meliputi: analisa kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat by different serta kadar oksalat.

3.6 Reduksi Oksalat

Reduksi oksalat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Perendaman dalam air panas

Dalam tahapan ini, dilakukan perlakuan perendaman air panas untuk menurunkan kadar oksalat dalam bahan. Menurut Mayasari (2010), untuk oksalat yang terlarut dapat diekstrak menggunakan air panas, sedangkan oksalat yang berbentuk garam oksalat dapat diekstrak menggunakan larutan asam. Umbi walur setelah dibersihkan dari kulit luarnya kemudian diiris menjadi ukuran 3-5 mm lalu direndam dalam air panas (45 °C) selama 3 jam (Mayasari 2010).

2. Pemilihan jenis larutan

(43)

3. Pengaruh waktu perendaman

Pengaruh waktu perendaman dilihat untuk mendapatkan waktu perendaman terbaik dalam mereduksi oksalat dengan menggunakan larutan terpilih yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Waktu perendaman dari larutan terpilih dilakukan sebanyak 4 taraf yaitu 0, 30, 60 dan 90 menit.

Analisa kandungan oksalat dilakukan secara kualitatif dengan mikroskop (polarisasi dan SEM) dan secara kuantitatif dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Tahapan optimasi reduksi kalsium oksalat dapat dilihat pada Gambar 3.

3.7 Produksi Tepung Walur

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memproduksi tepung walur dalam bentuk tepung walur tanpa modifikasi (native). Produk terpilih didasarkan pada mutu fisik, kimia dan fungsionalnya, terutama pada syarat sebagai pangan alternatif (kaya karbohidrat/pati dan daya cerna tinggi) dan substitusi terigu.

(44)
[image:44.595.54.511.69.768.2]

Gambar 3. Tahapan reduksi oksalat

Pengirisan 3 mm Pengupasan dan pencucian

Umbi Walur

Perendaman dalam air panas (45 oC selama 3 jam)

Pemilihan jenis larutan (Perendaman dalam larutan HCl 0,2 N, NaCl 1,7 N, NaOH 0,2 N dan Air

selama 30 menit)

Pengaruh waktu perendaman larutan terpilih (waktu perendaman 0, 30, 60 dan 90 menit)

Analisis kadar oksalat (HPLC)

(45)
[image:45.595.130.454.91.491.2]

Gambar 4. Proses produksi tepung walur.

3.8 Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Walur

Karakterisasi sifat fisik meliputi: analisa molekul dengan Mikroskop Polarisasi pada pembesaran 200X dan 400X, dan Scanning Electron Microscope (SEM) JSM 5410LV. Karakterisasi sifat kimia meliputi: analisa kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, kadar oksalat, residu sulfit, derajat putih, analisa kadar serat, kadar pati dan kadar amilosa. Kemudian sifat fungsional dari tepung walur dilihat dengan pengukuran profil gelatinisasi dengan Rapid Visco Analyzer (RVA), swelling volume,kelarutan dan kekuatan gel.

3.9 Mie Kering

Proses pembuatan mie walur kering dilakukan dengan cara substitusi tepung walur pada tepung terigu dengan 4 perlakuan formulasi (0, 10, 20 dan 30%).

Penepungan (ayakan 100 mesh)

Tepung Walur

Pengirisan 3-5 mm atau penyawutan

Reduksi Oksalat

Pengeringan dengan oven (T= 60 oC selama 14-16 jam) Pengupasan dan pencucian

Umbi Walur

Perlakuan Perendaman dalam Natrium Metabisulfit

(46)

Proses pembuatan mie kering walur diawali dengan membuat adonan melalui pencampuran tepung (formulasi tertentu) dengan 50 % air yang mengandung garam 1 % dari berat keseluruhan tepung dan 1 % guar gum. Pencampuran dilakukan dengan hand mixer kecepatan sedang (skala 2) selama 5 menit. Setelah itu dilakukan penekanan adonan menggunakan grinder dengan ukuran diameter 0,3 cm sebanyak 2 kali yang dilanjutkan dengan pembentukan lembaran secara bertahap dengan menggunakan sheeting. Pembentukan lembaran dilakukan dari skala 1,8 hingga 0,2 (penurunan per 0,2 skala). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan alat cutting mie. Mie mentah dikukus (T = 90 oC selama t = 20 menit), dan dikeringkan dengan oven (T = 60 oC selama t = 70 menit).

Analisis yang dilakukan terhadap mie walur substitusi terdiri dari analisis organoleptik (warna, kekenyalan, kelengketan, rasa dan keseluruhan), waktu optimum pemasakan, kehilangan padatan selama pemasakan dan analisis tekstur (kekerasan, kelengketan dan gaya tarik) menggunakan Texture Analyzer Brookfield Engineering TC3. Penentuan formulasi terbaik dalam aplikasi tepung walur pada produk mie adalah berdasarkan hasil analisis organoleptik tersebut. Tahapan proses pembuatan mie kering walur dapat dilihat pada Gambar 5.

3.10 Cookies

(47)

tepung walur pada cookies adalah berdasarkan hasil analisis organoleptik tersebut. Tahapan proses pembuatan cookies walur dapat dilihat pada Gambar 6.

Pencampuran tepung dengan persentase tepung walur 0, 10, 20 dan 30 %

Penekanan adonan menggunakan grinder

Pengeringan dengan oven (T = 60 oC selama t = 70 menit

Mi walur kering Pencampuran (mixer)

Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (sheeting, slitting, cutting)

Pengukusan mi mentah (T = 90 oC selama t = 20 menit)

Tepung walur Tepung terigu

[image:47.595.102.511.120.689.2]

Guar gum 1 % Air 40 % + garam 1 %

(48)
[image:48.595.51.483.71.806.2]

Gambar 6.Proses pembuatan cookies walur

3.11 Prosedur Analisis

3.11.1 Analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung walur

1. Bentuk, ukuran dan sifat birefrigence granula pati dengan mikroskop polarisasi cahaya dan Scanning Electron Microscope (SEM)

Suspensi tepung dalam air diamati dibawah mikroskop polarisasi cahaya dan SEM. Bentuk dan sifat birefringence granula pati dapat langsung dilihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 x (mikroskop polarisasi cahaya) dan 1000 x (SEM). Ukuran granula pati ditentukan berdasarkan rata-rata dan kisaran dari granula pati yang didokumentasikan dengan kamera.

Gula halus, margarin, susu skim, kuning telur

Pencampuran 1 (10 menit)

Pencampuran 1 (10 menit) Tepung dengan

formula substitusi tepung walur : 0%, 25%, 50%, 75% dan 100%

Garam dan soda kue

Pencetakan

Pemanggangan pada suhu 150 oC (selama 10 – 15 menit)

(49)

2. Analisis proksimat

a. Kadar Air (AOAC 2005)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100 oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C).

Perhitungan :

Kadar Air (% bb) = ( ) x100%

B A C B

  

  

b. Kadar abu (AOAC 2005)

Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C).

Perhitungan :

Kadar Abu (% bb) = x100%

B A C

c. Kadar protein metode mikro kjeldahl (Fardiaz et al. 1989)

(50)

NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko.

Perhitungan :

Jumlah N (%) =

A

x x

mlblankoxN

mlHClHCl 14.007 100

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor koreksi (5.83)

d. Kadar lemak (AOAC 2005)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Perhitungan :

Kadar Lemak (%) = x100%

B A C

e. Kadar karbohidrat (by different)

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan :

Dimana : P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)

(51)

2. Kadar oksalat (Modifikasi Savage et al. 2000)

Sebanyak 5 g sampel umbi yang telah dihaluskan atau 10 g sampel tepung ditimbang lalu dilarutkan dalam 50 mL HCl 2 M. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam water bath 80 oC selama 15 menit. Ekstrak yang diperoleh kemudian didinginkan lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan volumenya ditepatkan dengan menggunakan HCl 2 M. Setiap sampel dilakukan tiga kali ekstraksi. Oksalat larut air diekstraksi dengan metode yang sama dengan menggunakan 50 mL air deionisasi.

Larutan kemudian disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan bagian filtratnya dikumpulkan kemudian disaring dengan menggunakan membran selulosa asetat 0,45 μm. Sebanyak 5 μL sampel kemudian diinjeksikan ke dalam sistem HPLC dengan detektor uv/vis yang diset pada 210 nm. Pemisahan dilakukan dengan metode RP-HPLC menggunakan isokratik elution pada 0,5 mL/menit dengan 0,0125 M asam sulfat sebagai fase geraknya. Kandungan asam oksalat dalam setiap sampel dianalisis dengan menggunakan kurva standar asam okasalat (0-500 ppm). Semua sampel diekstrakasi dan dianalisis secara triplo.

3. Derajat putih tepung

Pengukuran derajat putih tepung dilakukan dengan menggunakan alat Kett Whitteness Meter. Sampel dimasukkan ke dalam alat pada tempat yang sudah disediakan. Sebelum pengukuran, dilakukan dulu kalibrasi dengan standar barium sulfit yang memiliki derajat putih 86,1 %. Nilai derajat putih dapat dilihat pada monitor dan derajat putih sampel semakin tinggi dengan semakin besarnya nilai.

� � � ℎ % =derajat putih sampel

86,1 x100%

4. Analisis total pati (BSN 1992)

(52)

ditera dengan menggunakan akuades. Sebanyak 10 mL dari latutan tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer basah dan ditambahkan 25 mL pereaksi luff schrool lalu dipanaskan kembali menggunakan pendingin tegak selama 10 menit dimulai dari gelembung pertama.

Setelah mencapai suhu ruang, ke dalam larutan tersebut ditambahkan 25 mL asam sulfat 25% dan diikuti dengan 20 mL larutan KI 20%. Selanjutnya, larutan harus langsung dititrasi dengan menggunakan larutan tiosulfat dengan pereaksi kanji 0,5 % hingga warna berubah menjadi putih susu. Prosedur analisis yang sama dilakukan terhadap blanko. Perhitungan kadar pati sampel ditentukan berdasarkan kadar glukosa yang terkuantifikasi pada titrasi sampel. Kadar glukosa dihitung berdasarkan volume dan normalitas larutan Na2S2O3 yang digunakan, sebagai berikut:

Na2S2O3 yang digunakan = (Vb-Vs) x N Na2S2O3 x 10

Keterangan: Vb = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi

sampel

N Na2S2O3 = konsentrasi Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi Jumlah (mg) gula yang terkandung untuk mL Na2S2O3 yang digunakan ditentukan dengan daftar Luff Schrool. Dengan datar tersebut dapat diketahui hubungan antara volume Na2S2O3 0.1 N yang digunakan dengan jumlah glukosa yang ada pada sampel yang dititrasi. Kadar glukosa dan kadar pati dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

=

1 100

P = G x 0,90 Keterangan: G = Kadar glukosa sampel (%)

W = Glukosa yang terkandung untuk mL Na2S2O3 yang dipergunakan (mg)

(53)

5. Kadar amilosa (Apriyantono et al. 1989)

Pembuatan kurva standar amilosa

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan ke dalam penangas air pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera sebagai larutan stok standar.

Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4 dan 5 mL, dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0,2, 0,4, 0,6, 0,8 dan 1,0 mL larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 mL larutan iod (0,2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 mL air destilata) ke dalam setiap labu, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.

Analisis sampel

Sebanyak 100 mg sampel tepung walur dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95°C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 mL larutan gel pati dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1,0 mL larutan asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar yang diperoleh.

6. Analisis serat kasar (SNI 01-2891 1992)

(54)

disaring dengan menggunakan corong Bunchner yang berisi kertas saring tak berabu yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring selanjutnya dicuci berturut-turut dengan larutan H2SO4 1,25 % panas, air panas dan etanol 95%. Kertas saring beserta isinya lalu dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada suhu 105 oC lalu didinginkan dan ditimbang sampai bobotnya tetap.

Perhitungan:

% � � � = � −�

� 100%

Keterangan: Wo = Berat kertas saring

Wi = Berat kertas saring + residu setelah dikeringkan Ws = Berat contoh

7. Kerapatan tumpukan (Bulk Density) (Khalil 1999)

Tepung walur dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml yang sudah diketahui beratnya sampai volume tertentu, kemudian ditimbang kembali sehingga diperoleh berat produk. Kerapatan tumpukan ditentukan dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam kg/m3.

8. Sudut tumpukan

Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan menggunakan Flodex Powder Flowability Test Instrument. Bahan sebanyak 100 ml dijatuhkan dengan ketinggian 15 cm melalui corong secara perlahan-lahan dan kecepatan konsisten dengan tujuan meminimalisasi pengaruh tekanan dan kecepatan laju aliran bahan. Pengukuran diameter (d) dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan sisi yang sama, sedangkan pengukuran tinggi (t) tumpukan dilakukan pada puncak tumpukan dengan menggunakan jangka sorong.

Penghitungan sudut tumpukan :

tg α = t / (0.5 d) tg α = 2t / d α = Arc-tg (2t / d)

9. Analisis profil gelatinisasi dengan Rapid Visco Analyzer (Collado et al. 1999)

(55)

dalam 25 g akuades, kemudian dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskan hingga suhu 50 oC dan suhu 50 o

C dipertahankan selam 1 menit. Sampel dipanaskan dari 50 oC hingga 95 oC dengan kecepatan 6 oC/menit, lalu suhu 95 oC dipertahankan selama 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu 50 oC dengan kecepatan 6 oC/menit, kemudian suhu 50 oC dipertahankan selama 5 menit.

Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah Pasting Temperatur atau suhu awal gelatinisasi (PT), Peak Viscosity atau viskositas maksimum (PV), viskositas akhir saat suhu dipertahankan 95 oC atau Hot Paste Viscosity (HPV), breakdown atau perubahan viskositas selama pemanasan, viskositas akhir pada saat suhu dipertahankan 50 oC atau Cold Paste Viscosity (CPV), dan Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan. PT adalah suhu pada saat kurva mulai naik atau mulai terbentuknya viskositas yang menandakan pati atau tepung mulai menyerap air. PV adalah viskositas pada puncak gelatinisasi atau menunjukkan pati tergelatinisasi. Breakdown merupakan selisih antara PV dangan HPV atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Setback merupakan selisih antara CPV dengan HPV atau menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.

10. Analisis kemampuan pengembangan dan kelarutan (Collado and Corke 1999; Singh et al. 2005)

(56)

merupakan tepung yang terlarut. Persentase tepung yang tersuspensi dan terlarut dihitung berdasarkan perbandingan beratnya terhadap berat kering sampel awal.

11. Kekuatan gel (Herawati 2009)

Tepung dibuat suspensi dengan konsentrasi padatan kering sebanyak 6%. Suspensi dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasinya. Pasta pati dituang ke dalam tabung plastik (diameter 4 cm dan tinggi 5 cm) sampai penuh. Tabung disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan tekstur analizer pada kondisi sebagai berikut mode: kekuatan gel Test mode and option measure force in compression, pre test speed: 0,2 mm/detik, test speed:0,2 mm/detik, post test speed: 0,2 mm/detik, distance: 4,0 mm, tipe: Auto, force: 4 g, dan acessory: 0,5 radius cylinder (P/0,5 R). Penentuan kekuatan gel didasarkan pada maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/kompresi pertama dengan satuan gf (gram force).

3.11.2. Analisis kelayakan industri tepung walur

Analisis finansial dilakukan dengan menghitung kriteria-kriteria investasi dan analisis aliran uang. Nilai uang dan tingkat suku bunga yang digunakan berdasarkan nilai-nilai yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Pada analisis finansial dilakukan evaluasi terhadap kriteria investasi. Kriteria investasi yang digunakan adalah Break Event Point, Net Persent Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio dan Pay Back Period. Perhitungan dari setiap kriteria investasi tersebut adalah:

NPV = Bt−Ct

(1+i)t

n t=0

� / =

B t−C t (1−i)t n I=0

B t−C t (1−i)t n I=0

IRR = i(+)+

NPV +

NVP ++ NPV(i − −i+ )

� �= + m

(57)

Keterangan:

Bt = Pendapatan proyek pada tahun tertentu Ct = Biaya proyek pada tahun tertentu n = umur proyek

i = tingkat suku bunga

m = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt – Ct negatif yang terakhir (tahun)

3.11.3 Karakterisasi produk mie dan cookies

1. Analisis waktu optimum pemasakan mie (modifikasi Juniawati 2003)

Prinsip dari analisis ini adalah mengukur waktu hingga mie tidak membentuk garis putih ketika ditekan dengan dua potong kaca. Mie kering ditimbang sebanyak 5 g, kemudian air sebanyak 150 ml dididihkan pada gelas piala bertutup dan dibiarkan mendidih selama 3 menit. Sampel mie dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditutup kembali. Stop watch dinyalakan tepat pada saat sampel dimasukkan dalam air yang telah dididihkan. Setiap satu menit dilakukan pengambilan satu untaian mie dan dilakukan penekanan dengan dua buah kaca. Pemasakan dikatakan optimum bila sudah tidak terbentuk garis putih ketika mie ditekan dengan dua potong kaca.

2. Analisis kehilangan padatan selama pemasakan mie

Kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) diukur berdasarkan pada kehilangan berat mie setelah mie dimasak pada waktu pemasakan sesuai dengan waktu optimum pemasakan, sehingga satuan dari KPAP adalah persentase berat mie yang hilang selama pemasakan. Persentase berat mie yang hilang selama pemasakan tersebut dianggap sebagai jumlah padatan yang keluar selama pemasakan (KPAP). Tingginya nilai KPAP tidak diharapkan karena menandakan semakin tinggi jumlah padatan mie yang terlarut selama pemasakan, sehingga menyebabkan air pemasakan menjadi lebih keruh.

(58)

mie. Mie ditiriskan selama 5 menit, lalu ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 oC sampai mencapai berat konstan.

�� �= 1− � �� � ℎ � �

(1− � � � � ) 100%

3. Texture Profile Analysis (TPA) dengan TAXT-2 (Modifikasi Faridah et al.2005)

Pengukuran ini dilakukan terhadap produk mie dan cookies. Pengukuran tekstur mie dilakukan setelah mie direhidrasi sesuai dengan waktu optimum pemasakan, sehingga data karakteristik tekstur yang dihasilkan merupakan kondisi siap untuk dikonsumsi. Mie (sekitar 10 cm) sebanyak 50 g dimasukan kedalam 700 ml air yang telah dididihkan selama 3 menit. Waktu pemasakan disesuaikan dengan waktu optimum pemasakan. Mie yang telah masak disiram dengan 100 ml air dingin (2 kali) dan ditiriskan, kemudian dengan cepat dilakukan pengukuran tekstur.

Probe yang digunakan adalah berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. TAXT-2 diset dengan pre test speed 2,0 mm/s, tes speed 0,1 mm/s, post tes speed 2,0 mm/s, repture test distance 75%, distance 1%, force 100 gf, time 5 detik, dan count 2. Sampel yang telah direhidrasi diletakkan pada probe tersebut, kemudian alat dijalankan. Hasil analisis TPA akan memperoleh nilai kekerasan dan gaya tarik atau elastisitas dengan satuan gram force (gf). Hasil kurva menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi waktu.

(59)

4. Uji organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan pada produk mie dan cookies. Pada pengujian ini, mie yang digunakan untuk uji organoleptik merupakan mie yang telah mengalami rehidrasi. Pemasakan dilakukan sesuai dengan penentuan waktu optimum pemasakan, dimana waktu pemasakan yang digunakan adalah waktu yang diperoleh dari hasil uji waktu optimum pemasakan. Uji organoleptik dilakukan dengan metode skoring. Uji ini dilakukan untuk menentukan formulasi mie walur dan cookies walur yang paling disukai. Penilaian untuk tingkat kesukaan, panelis diminta untuk memberikan skor dari 1 hingga 7. Skor 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), dan 7 (sangat suka).

3.12 Rancangan Percobaan dan Analisa Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap reduksi oksalat adalah rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu tahap 1: Pemilihan jenis larutan dengan 4 level dan 3 kali ulangan, tahap 2: waktu perendaman dengan 4 level dan 3 kali ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap produksi tepung walur, pengolahan mie kering dan cookies juga menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu pada produksi tepung: penambahan natrium metabisulfit dengan 4 level dan 2 kali ulangan, pada pengolahan mie kering: formulasi substitusi tepung walur dalam campuran tepung terigu dengan 4 level dan 3 kali ulangan, pada pengolahan cookies: formulasi substitusi tepung walur dalam campuran tepung terigu dengan 5 level dan 3 kali ulangan. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), model linear yang digunakan pada tahap reduksi oksalat dan produksi tepung walur serta formulasi produk mie dan cookies adalah sebagai berikut:

Yij =

μ

+ Ti

+

ε

ij

Dimana:

Yij = nilai pengamatan pada faktor perlakuan level ke-i ulangan ke-j

μ = pengaruh rata-rata pengamatan Ti = pengaruh faktor perlakuan level ke-i

(60)

Setiap perlakuan diketahui pengaruhnya melalui analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05. Apabila hasil analisisnya memberikan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut wilayah berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Perlakuan terpilih didasarkan pada kadar kalsium oksalat paling minimal, derajat putih tepung paling baik dengan residu sulfit yang kecil dan formulasi substitusi tepung walur pada pengolahan mie kering dan cookies terbaik.

Pada uji organoleptik, data yang diperoleh dari panelis dianalisis menggunakan software SPSS 16 dengan metode multivariate. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

= 12

( + 1) �2

=

−3( + 1)

Keterangan: n = Jumlah data

ni = Jumlah ulangan ke-i

(61)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisikokimia Umbi Walur 4.1.1 Analisis proksimat

Walur merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang termasuk ke dalam keluarga Amorphophallus yang belum banyak dieksplorasi. Hal ini dikarenakan tanaman ini masih dianggap sebagai tanaman pengganggu atau hama sehingga sedikit sekali penelitian mengenai tanaman ini. Salah satu analisis yang paling penting adalah analisis proksimat. Hasil analisis proksimat umbi walur menunjukkan bahwa umbi walur memiliki kadar air sebesar 74,46%, kadar lemak sebesar 14,41%, kadar protein 6,42%, kadar abu 4,89%, kadar karbohidrat sebesar 74,28 % dan kadar amilosa sebesar 22,4%. Hasil analisis proksimat ini tidak berbeda jauh dengan hasil analisis proksimat umbi suweg oleh Das et al. 2009 seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis proksimat dari umbi walur dan data proksimat dari umbi suweg.

No. Komposisi kimia Walur Suweg a

1. Kadar air (% bb) 74,46 78,7 2. Kadar lemak (% bk) 14,41 0,47 3. Kadar protein (% bk) 6,42 5,63

4. Kadar abu (% bk) 4,89 7,51

5. Kadar karbohidrat (% bk) 74,28 86,38 6. Kadar amilosa (% bk) 22,4 18,3

a

Das et al. (2009)

(62)

4.1.2 Bentuk, ukuran dan sifat birefrigence granula pati umbi walur

Gambar 7a menunjukkan sifat birefringence dari pati, yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terpolarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. Warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati. Indeks refraktif tersebut dipengaruhi oleh struktur molekular amilosa dalam pati (French 1984).

(a) (b)

Gambar 7. Bentuk granula pati umbi walur (a) Mikroskop polarisasi ; (b) Scanning Electron Microscop

Berdasarkan hasil Scanning Electron Microscop (SEM) pada Gambar 7b diketahui bahwa ukuran granula pati umbi walur adalah berkisar antara 10 hingga

22 μm. Hasil ini sangat berbeda dengan granula pati pada umbi suweg dan terigu, dimana ukuran granula pati pada umbi suweg sebesar 5 µm (Richana dan Titi 2004) dan ukuran granula pati pada terigu sebesar 10 – 35 µm (Fennema 1996). Perbedaan bentuk dan ukuran granula dari setiap jenis pati disebabkan oleh molekul penyusunnya, yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut Hoover (2001) granula pati biasanya memiliki ukuran mulai dari 1 μm hingga 100 μm dan biasanya bentuk granula pati berbeda-beda tergantung dari sumber patinya. Namun, biasanya granula pati berbentuk oval, dengan adanya lingkaran, sperikal, bersudut banyak ataupun irregular. Berdasarkan Gambar 7b, dapat diketahui bahwa granula pati umbi walur berbentuk oval bersudut banyak (polygonal).

10 µm

[image:62.595.86.489.43.527.2]
(63)

4.2 Reduksi Oksalat

4.2.1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan oksalat

Proses reduksi oksalat dilakukan dengan tahapan pemanasan selama 3 jam dan diikuti proses perendaman irisan umbi walur dalam berbagai jenis pelarut, yaitu air, NaCl 0,7 N, NaOH 0,2 N dan HCl 0,2 N. Proses pemanasan selama 3 jam dan konsentrasi pelarut tersebut dipilih berdasarkan hasil penelitian Mayasari (2010). Proses pemanasan selama 3 jam bertujuan untuk merusak kristal kalsium oksalat secara mekanis sehingga proses pelarutan kalsium oksalat menjadi lebih mudah (Mayasari 2010). Menurut Savage dan Martenson (2010), proses perebusan pada umbi talas hanya mampu mengurangi kandungan oksalat total sebanyak 50%. Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan pada suhu 45 oC selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut selama 30 menit terhadap total oksalat (ppm) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan pada suhu 45 oC selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut selama 30 menit terhadap total oksalat (ppm).

Pelarut Total Oksalat (ppm) Penurunan (%)

Segar (tanpa perlakuan) 38237,99 -

Air 8301,30 78,29

HCl 0,2 N 1642,51 95,70

NaOH 0,2 N 8509,40 77,75

NaCl 1,7 N 7349,49 80,78

Seperti yang terlihat pada Tabel 2, umbi walur segar memiliki total oksalat sekitar 38.237,99 ppm. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan oksalat dalam umbi talas (Colocasia esculenta L. Schoot) yang memiliki kandungan total oksalat sebesar 6.940 ppm (Savage dan Martenson 2010). Tanaman Colocasia esculenta merupakan jenis tanaman talas-talasan yang paling utama digunakan sebagai bahan makanan pokok terutama di daerah Asia Pasifik (Catherwood et al. 2007). Semua jenis pelarut yang digunakan dapat menurunkan kandungan oksalat dalam umbi walur dengan persen penurunan

(64)

tertinggi yaitu sebesar 95,70 % pada pelarut HCl 0,2 N dan persen penurunan terendah sebesar 77,75 % pada pelarut NaOH 0,2 N. Persentase penurunan oksalat pada umbi walur yang direndam dengan menggunakan air dan NaCl berturut-turut sebesar 78,29 % dan 80,78 %. Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa jenis pelarut pada proses penurunan kandungan oksalat berpengaruh nyata terhadap total oksalat yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan didapatkan bahwa total oksalat yang dihasilkan pada perendaman dengan HCl 0,2 N berbeda nyata dengan jenis pelarut lain pada selang kepercayaan 95 %.

Noonan dan Savage (1999) menyatakan bahwa tipe oksalat yang tidak larut air, hanya dapat dilarutkan oleh asam dan tidak larut oleh garam dan basa, sementara oksalat yang larut air dapat dengan mudah dilarutkan di dalam air. Berdasarkan pada Tabel 2, diketahui bahwa pelarut basa memiliki persen penurunan sebesar 77,75 %. Nilai ini masih berada dibawah persen penurunan oksalat dengan pelarut air, yaitu sebesar 78,29 %. Hasil penelitian yang dilaporkan Noonan dan Savage (1999) menyatakan bahwa pelarut basa tidak dapat melarutkan kalsium oksalat. Reaksi kimia antara kalsium oksalat dengan pelarut NaOH, NaCl, HCl.

(COO)2Ca + 2 NaOH (COONa)2 + Ca(OH)2 (COO)2Ca + 2 NaCL (COONa)2 + CaCl2

(COO)2Ca + 2 HCl (COOH)2 + CaCl2

Mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara NaOH dan kalsium oksalat adalah membentuk garam Na2C2O4 yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium hidroksida yang bersifat larut dalam air sebanyak 2 g/L (Cotton dan Wilkinson 1989). Namun, hal tersebut tidak dapat terjadi karena proses perendaman umbi walur dalam pelarut NaOH dilakukan tanpa adanya panas, sedangkan senyawa kalsium hidroksida membutuhkan banyak panas dalam proses pembentukannya. Seperti pembentukan kalsium hidroksida dari oksidanya (CaO) dan air yang prosesnya membutuhkan banyak panas (Arsyad 2001).

(65)

dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara kalsium oksalat dan NaCl, maka akan terjadi suatu reaksi penggaraman menghasilkan CaCl2 dan Na2C2O4. Berdasarkan mekanisme reaksi tersebut, seharusnya proses perendaman umbi walur dengan pelarut NaCl akan menghasilkan total oksalat yang lebih rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini, hal ini kemungkinan disebabkan garam natrium oksalat yang dihasilkan dari reaksi tersebut belum seluruhnya larut dalam air. Garam natrium oksalat memiliki nilai kelarutan dalam air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan asam oksalat, yaitu sebesar 37g/L pada suhu 20 oC (Cotton dan Wilkinson 1989), sehingga lebih sulit untuk dilarutkan di dalam air pada suhu ruang. Histogram pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat (ppm) disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram pengaruh pemanasan selama 3 ja

Gambar

Gambar 1. Umbi Iles-iles
Gambar 2. Diagram alir tahapan penelitian
Gambar 3. Tahapan reduksi oksalat
Gambar 4. Proses produksi tepung walur.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum

Pengkaji : Dan yang terakhir pak, dalam undang-undang Indonesia dijelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan uji materi atau judical review ke Mahkamah Agung terhadap kanun

Atas dasar yang dijelaskan pada latar belakang diatas maka dapat kita ketahui bahwa terdapat indikasi belum optimalnya kinerja UPTD BLK Disnakertrans Kota

terkait dengan kompetensi pedagogik, kesiapan guru, dan pelaksanaan penilaian, yang harus diisi oleh responden yaitu guru kelas I dan IV yang melaksanakan Kurikulum

Menurut penelitian Ortega dan Krauss (2013) di Malaysia, siswa yang bersekolah di sekolah berlandaskan Islam lebih tinggi tingkat religiusitasnya dibandingkan

pemberian bimbingan, dan pengembangan bakat sebagai upaya lain untuk mendorong anak agar lebih percaya diri yang diadakan setiap hari senin dan kamis sehabis pulang sekolah, dengan

FUNGSI ANGGARAN KAS SEBAGAI ALAT PERENCANAAN DAN PENGAWASAN PADA AJB BUMIPUTERA 1912 KANTOR WILAYAH MEDAN”.

Berdasarkan hasil yang diperoleh baik dari data medan magnetik hasil penelitian dan juga anomali magnetik hasil pengolahan data dapat di interpretasikan bahwa