• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH

EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION

DAN

INDIAN OCEAN DIPOLE

TERHADAP

PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT

DILLA ANGRAINA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DILLA ANGRAINA. Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit. Dibimbing oleh Dr. Akhmad Faqih.

Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap produktivitas kelapa sawit dapat dilihat dari anomali Suhu Muka Laut (aSML), menggunakan analisis korelasi silang (secara temporal) dan korelasi Pearson (secara spasial) dengan α=0.05. Analisis korelasi temporal menunjukkan Kebun Kertajaya berkorelasi tinggi pada fase penentuan rasio seks (lag 17) dengan nilai 0.37, dan Kebun Talo Pino pada fase anthesis (lag 6) dengan nilai korelasi -0.53. Secara spasial produktivitas Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai hubungan negatif yang kuat dengan aSML pada fase pembentukan bakal bunga dan pembentukan perhiasan bunga, sedangkan fase perkembangan bunga yang lain mempunyai hubungan positif. Korelasi positif maupun negatif pada kedua kebun yang berpola hujan monsun menunjukkan ENSO dan IOD dapat mempengaruhi perkembangan bunga dan produktivitas kelapa sawit. Sebaliknya Kebun Sungai Aur dengan pola curah hujan ekuatorial tidak menunjukkan hubungan kuat antara aSML dan produktivitas kelapa sawit secara temporal maupun spasial, sehingga fenomena ENSO dan IOD tidak berpengaruh signifikan.

Kata kunci: aSML, ENSO, IOD, kelapa sawit, produktivitas

ABSTRACT

DILLA ANGRAINA. Influence of El Niño Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD) to The Productivity of Palm Oil. Supervised by Dr. Akhmad Faqih.

The influence of El Niño Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD) to the productivity of palm oil can be investigated from Sea Surface Temperature anomalies (SSTa), it used cross-correlation analysis (the temporal) and Pearson correlation (the spatial) with α=0.05. Temporal correlation analysis shows that Kebun Kertajaya has the highest correlation at determination of sex ratio phase (lag 17) with a value of 0.37, and Kebun Pino Talo at anthesis phase (lag 6) with a correlation value of -0.53. Spatial correlation analysis shows a strong negative correlation of the productivity of Kebun Kertajaya and Kebun Talo Pino with SSTa on the inflorescence initiation phase and the sex determination respectively. While at the development of flower phase both plantations a positive relationship. Either positive or negative strong correlation in both plantations that has monsoonal rainfall patterns indicate that the ENSO and IOD affect the development of flower and the productivity of palm oil. Meanwhile, the Kebun Sungai Aur that has the equatorial rainfall pattern, did not show a strong relationship between the productivity of palm oil and SSTa, both temporally and spatially. Thus the phenomenon of ENSO and IOD do not have a significant effect on the Kebun Sungai Aur.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PENGARUH

EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION

DAN

INDIAN OCEAN DIPOLE

TERHADAP

PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT

DILLA ANGRAINA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

Nama : Dilla Angraina Nim : G24070034

Disetujui oleh

Dr. Akhmad Faqih Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002

(8)

PRAKATA

Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Pengaruh El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Produktivitas Kelapa Sawit. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains pada program studi Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga penulis mengucapkan terimakasih kepada Apa, Ama, Abang, Ika, Bon-bon atas kasih sayang, doa dan doronganya. Terimakasih kepada Ibuk Tin, Pak Akib, Upik Lidia, Upik Puput beserta keluarga besar Paknga Tiar atas semangat dan bantuannya kepada penulis. Terimakasih pula kepada:

1. Dr. Ir. Akhmad Faqih sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan banyak arahan dan bimbingan dari awal sampai selesainya karya ilmiah ini 2. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku Ketua Departemen Meteorologi dan Geofisika

sekaligus sebagai pembimbing akademik yang banyak memberikan saran

3. Seluruh dosen, Staf Pengajar dan Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi atas bantuannya selama penulis melaksanakan studi

4. Rice, Ii, Echa, Yute dan teman-teman GFM 44 lainnya atas kebersamaannya 5. Adi Tabund yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis 6. Kikong, Indong, Lila, anak-anak Pondok Kenanga atas dukungannya

7. Kak Sandro, Fida, Topik, Uni Rahmi, Kak Depi, Kak Cris, seluruh kakak dan adik kelas GFM

8. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pola Curah Hujan Indonesia 2

Fenomena ENSO di Samudera Pasifik 3

Fenomena IOD di Samudera Hindia 4

Dampak ENSO dan IOD 4

Kelapa Sawit 5

METODE 8

Alat dan Bahan 8

Prosedur Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Pola Curah Hujan Daerah Kajian 11

Hubungan Anomali Curah Hujan dan Anomali SML 13

Hubungan Anomali Curah Hujan dan Anomali Produktivitas Kelapa Sawit 15 Hubungan Anomali SML dan Anomali Produktivitas Kelapa Sawit 20 Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Produktivitas Kelapa Sawit 36

SIMPULAN 38

Simpulan 38

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

(10)

DAFTAR TABEL

5 Diagram perkembangan bunga kelapa sawit 5

6 Peta lokasi daerah kajian 11

7 Rata-rata curah hujan di Kebun Kertajaya 12

8 Rata-rata curah hujan di Kebun Talo Pino 12

9 Rata-rata curah hujan di Kebun Sungai Aur 13

10 Hubungan aSML dan anomali curah hujan Kebun Kertajaya 13 11 Hubungan aSML dan anomali curah hujan Kebun Talo Pino 14 12 Hubungan aSML dan anomali curah hujan Kebun Sungai Aur 15 13 Rata-rata curah hujan dan produktivitas di Kebun Kertajaya 16 14 Hubungan anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit

Kebun Kertajaya (lag 0) 16

15 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di

lag 16 (b) untuk Kebun Kertajaya 16

16 Rata-rata curah hujan dan produktivitas di Kebun Talo Pino 17 17 Hubungan anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit

Kebun Talo Pino (lag 0) 17

18 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di

lag 7 (b) untuk Kebun Talo Pino 18

19 Rata-rata curah hujan dan produktivitas di Kebun Sungai Aur 18 20 Hubungan anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit

Kebun Sungai Aur (lag 0) 19

21 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi

di lag 5 (b) untuk Kebun Sungai Aur 19

22 Korelasi silang aSML Niño 3 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 7 (b)

untuk Kebun Kertajaya 20

23 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) dan perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 14 (b)

untuk Kebun Kertajaya 21

24 Korelasi silang aSML Niño 3.4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 15 (b)

untuk Kebun Kertajaya 21

(11)

untuk Kebun Kertajaya 21 26 Korelasi silang aSML Niño 3 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a)

serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 4 (b)

untuk Kebun Talo Pino 22

27 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit

Kebun Talo Pino 22

28 Korelasi silang aSML Niño 3.4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 4 (b)

untuk Kebun Talo Pino 22

29 Korelasi silang DMI dan anomali produktivitas kelapa sawit(a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 6 (b)

untuk Kebun Talo Pino 23

30 Korelasi silang aSML Niño 3 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 9 (b)

untuk Kebun Sungai Aur 23

31 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 14 (b)

untuk Kebun Sungai Aur 24

32 Korelasi silang aSML Niño 3.4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 13 (b)

untuk Kebun Sungai Aur 24

33 Korelasi silang DMI dan anomali produktivitas Kebun Sungai Aur 24 34 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya

dan aSML pada fase pembentukan bakal bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95% 26 35 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya

dan aSML pada fase pembentukan perhiasan bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95% 26 36 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya

dan aSML pada fase penentuan rasio seks dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 27

37 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase aborsi bunga betina dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 28

38 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase bunga mekar dengan warna putih menunjukkan korelasi

yang tidak signifikan pada 95% 28

39 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase perkembangan tandan dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 29

40 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase pembentukan bakal bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%. 29 41 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino

dan aSML pada fase pembentukan perhiasan bunga dengan warna putih

(12)

dan aSML pada fase penentuan rasio seks dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 31

43 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase aborsi bunga betina dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95%. 31

44 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase bunga mekar dengan warna putih menunjukkan korelasi

yang tidak signifikan pada 95% 32

45 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase perkembangan tandan dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 32

46 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase perkembangan bakal bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95% 33 47 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur

dan aSML pada fase pembentukan perhiasan bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%. 33 48 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur

dan aSML pada fase penentuan rasio seks dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95%. 34

49 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase aborsi bunga betina dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 35

50 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase bunga mekar dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 35

51 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase perkembangan tandan dengan warna putih menunjukkan

korelasi yang tidak signifikan pada 95% 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tren produktivitas Kebun Talo Pino 42

2 Detren produktivitas Kebun Talo Pino 42

3 Tren produktivitas Kebun Sungai Aur 42

4 Detren produktivitas Kebun Sungai Aur 43

5 Tren produktivitas Kebun Kertajaya 43

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman asal Afrika yang menjadi salah satu komoditas penting di Indonesia. Pentingnya kelapa sawit disebabkan kelapa sawit mempunyai banyak manfaat dibidang pangan dan non pangan, sehingga permintaan terhadap produksi semakin meningkat. Terbukti dari luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebelum tahun 1983 kurang dari 1 juta hektar, sedangkan tahun 2010 luas mencapai 8.04 juta hektar (Ditjenbun 2010). Peningkatan perluasan lahan kelapa sawit, menyebabkan tidak hanya lahan yang sesuai dengan kelapa sawit saja dimanfaatkan, tetapi juga lahan marjinal (Lubis 1992). Oleh sebab itu, kondisi curah hujan di suatu daerah perkebunan perlu diperhatikan (Pahan 2006).

Curah hujan merupakan sumber utama bagi tanaman kelapa sawit terkait dengan ketersediaan air. Perubahan ketersediaan air dipengaruhi oleh keragaman hujan yang akan berdampak terhadap produktivitas. Indonesia yang terletak di antara benua Asia, benua Australia, dan Samudera Hindia, Samudera Pasifik, menyebabkan curah hujan dipengaruhi oleh Suhu Muka Laut (SML) sekitarnya. Penyimpangan atau anomali Suhu Muka Laut (aSML) yang ekstrim seperti fenomena El Niño and Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan atau banjir.

Terdapat hubungan yang kuat antara curah hujan dan SML (Hendon 2003), menyebabkan timbul dugaan bahwa produksi kelapa sawit secara tidak langsung juga mempunyai hubungan yang kuat dengan kedua fenomena tersebut. Pendugaan ini dilakukan oleh Darlan (2011) menggunakan SML di Samudera Pasifik kawasan Niño 3.4 dengan hasil analisis menunjukkan, produktivitas kelapa sawit di Sumatera bagian selatan mempunyai korelasi yang cukup tinggi pada lag-12 bulan dengan nilai korelasi -0.40. Berbeda dengan penelitian Darlan (2011), hubungan SMLdan produktivitas kelapa sawit yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah SML di seluruh kawasan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Tujuan Penelitian

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Curah Hujan Indonesia

Curah hujan mempunyai keragaman yang besar dalam ruang dan waktu. Dalam skala ruang, keragaman sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, arah angin dan letak lintang. Dalam skala waktu, keragaman curah hujan dikelompokkan berdasarkan curah hujan harian, bulanan dan tahunan. Variasi curah hujan harian lebih dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi curah hujan tahunan dipengaruhi oleh atmosfir global, siklon tropis dan lain-lain.

Analisis keragaman curah hujan tidak akan terlepas dari pola dasar curah hujan. Tiga pola dasar curah hujan di Indonesia menurut Aldrian dan Susanto (2003) yaitu:

a. Pola monsunal (daerah A). Pola ini meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Saat matahari berada di belahan bumi selatan, di Indonesia akan terjadi musim hujan dan sebaliknya jika matahari berada dibelahan bumi utara. Hal ini menyebabkan penerimaan musim hujan dan musim kemarau berbeda nyata. Pola berbentuk “V”dengan satu puncak musim hujan ini, berkorelasi terhadap perubahan SML.

b. Pola ekuatorial (daerah B). Pola ini tersebar di daerah sepanjang khatulistiwa dengan puncak hujan dua kali setahun (pola bimodial).

c. Pola lokal (daearah C). Pola ini bersifat unimodal (satu puncak hujan) dengan bentuk yang berlawanan dengan pola monsunal (Gambar 1).

(15)

Fenomena ENSO di Samudera Pasifik

ENSO merupakan fenomena interaksi antara lautan dan atmosfer, dengan fenomena lautan dinyatakan sebagai El Niño dan fenomena atmosfer adalah Southern Oscillation. El Niño merupakan fenomena alam yang ditandai dengan peningkatan SML di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator, sedangkan Southern Oscillation adalah perbedaan fase tekanan udara permukaan laut yang berskala global antara Samudera Pasifik Timur dan Samudera Pasifik Barat. Daerah kejadian ENSO meliputi Niño 1.2 (5°-10°LS, 80°-90°BB), Niño 3 (5°LU-5°LS, 90°-150BB), Niño 4 (5°LU-5°LS, 150°BB-160°BT) dan Niño 3.4 (170°-120°BB, 5°LU-5°LS) (Gambar 2).

Salah satu indikator terjadinya ENSO adalah SML (Suhu Muka Laut). SML menggambarkan proses interaksi antara lautan dan atmosfer berdasarkan nilai anomali. Gambar 3 menunjukkan El Niño terjadi ketika aSML Samudera Pasifik Timur menghangat hingga ekuator (merah) dan bagian barat Samudera Pasifik mendingin yang mengakibatkan Samudera Pasifik Barat dan beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan. Sebaliknya ketika terjadi La Niña mengakibatkan Samudera Pasifik Barat dan beberapa daerah di Indonesia mengalami musim hujan diatas normal. Kuat lemahnya El Niño dapat dilihat dari nilai anomalinya yang berlangsung tiga bulan berturut-turut. Jika nilai anomalinya +0.5 ºC sampai 0.9 ºC termasuk El Niño lemah,+1.0 ºC sampai +1.4 ºC El Niño sedang, dan >1.5 ºC adalah El Niño kuat (http://ggweather.com/enso/oni.htm).

Gambar 2 Daerah Niño dan batasnya (www.cpc.ncep.noaa.gov)

(16)

Fenomena IOD di Samudera Hindia

Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan fenomena interaksi antara atmosfer dan lautan yang mirip ENSO, tetapi terjadi di Samudera Hindia dengan waktu yang tidak lebih dari satu musim (Saji et al. 1999). Terjadinya IOD disebabkan perbedaan SML antara Samudera Hindia Barat atau Pantai Timur Afrika (50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU) dan Samudera Hindia Timur atau Pantai Barat Sumatera (90°BT-110°BT, 10°LS-equator) (Saji et al. 1999). Fenomena IOD dapat di identifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI). Jika nilai DMI >0.35 maka disebut sebagai IOD positif (+) dan jika <-0.35 sebagai IOD negatif (-). Gambar 4 menjelaskan IOD positif terjadi apabila aSML Samudera Hindia Barat lebih besar dibandingkan aSML Samudera Hindia Timur. Kondisi tersebut menimbulkan angin timur bertiup kuat ke Samudera Hindia Barat, sehingga curah hujan di Afrika berada diatas normal, sementara di Indonesia dibawah normal. Sebaliknya pada saat IOD negatif (Saji et al. 1999).

Dampak ENSO dan IOD

Fenomena ENSO dan IOD mempunyai dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk keragaman curah hujan di Indonesia (Naylor et al. 2007). Kedua fenomena tersebut semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang, sehingga secara signifikan dapat menyebabkan penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan (Koesmaryono 2009). Kondisi tersebut menimbulkan dampak signifikan terhadap strategi budaya dan produksi pertanian (IPCC 2001). Fenomena ENSO dan IOD juga berdampak pada perubahan pola distribusi, intensitas dan periode musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kering menjadi terlambat (Boer 2006). Akibatnya terjadi pergeseran musim dari kondisi normal yang berimplikasi serius terhadap stabilitas sistem pertanian (Koesmaryono et al. 2008).

(17)

Kelapa Sawit

Taksonomi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit tergolong divisi Trakheopita, subdivisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subkelas Monokotiledon, ordo Cocoideae, famili Palmae, genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis (Lubis 2008). Akar pada tanaman kelapa sawit adalah akar serabut yang mengarah ke bawah dan ke samping dengan sistem perakaran dangkal dan tidak toleran jika terjadi kekeringan. Batangnya tidak bercabang dan tidak berkambium (Lubis 1992). Daun tersusun majemuk menyirip, menyerupai susunan daun pada tanaman kelapa, dengan warna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Pembungaan pada tanaman kelapa sawit terjadi ketika umur 12-24 bulan (Lubis 1992) dengan tipe monocious atau bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon tetapi tidak satu tandan.

Pembentukan perhiasan bunga atau determinasi seks merupakan proses yang penting dalam penentuan kelamin bunga. Rasio seks merupakan perbandingan antara jumlah bunga betina dengan seluruh bunga yang diproduksi pada suatu waktu tertentu yang dipengaruhi oleh umur tanaman dan iklim (Obisesan dan Fatunla 1985 dalam Siregar 1998). Semakin tinggi rasio seks maka semakin banyak bunga betina, sehingga peluang produksi tandan yang tinggi akan menjadi besar. Akan tetapi, terjadinya proses aborsi bunga betina menyebabkan tidak semua bunga betina yang dihasilkan akan menjadi tandan buah yang dapat dipanen. Aborsi bunga betina ini disebabkan kurangnya karbohidrat dan ketersediaan air (Corley 1973 dalam Hazriani 2004).

Fase perkembangan bunga yang peka terhadap kekeringan akibat curah hujan yang rendah (Corley 2003 dan Harahap et.al 2000 dalam Darlan 2011) adalah:

a. Inisiasi pembentukan bakal bunga: 30-44 bulan sebelum matang panen b. Determinasi seks: 28-32 bulan sebelum matang panen

c. Penentuan rasio seks:18-30 bulan sebelum matang panen d. Aborsi bunga:8-18 bulan sebelummatang panen

e. Anthesis (bunga mekar): 5-9 bulan sebelum matang panen Gambar 5 Diagram perkembangan bunga kelapa sawit

(18)

Buah kelapa sawit (fructus) terdiri atas empat bagian yaitu: eksokarp, mesokarp, endokarp dan kernel. Buah muda kelapa sawit berwarna hijau dan akan berubah menjadi merah jingga sewaktu buah telah matang (Fauzi et al. 2002). Waktu yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai dengan buah matang siap dipanen kurang lebih 5-6 bulan.

Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Topografi

Topografi merupakan penentu produktivitas yang berpengaruh terhadap kemudahan panen, pengawetan tanah dan air, pembuatan jaringan jalan, serta keefektivitasan pemupukan. Topografi yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah datar sampai berombak dengan kemiringan lereng 0-8% dan bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan 8-30%. Wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 30% tidak dianjurkan, karena menghasilkan produktivitas yang rendah dan memerlukan biaya yang besar untuk pengelolaan.

Iklim Curah hujan

Menurut Lubis (1992), kelapa sawit dapat tumbuh baik didaerah sekitar 12°LU-12°LS, dengan curah hujan yang merata yaitu 2000-2500 mm/tahun (Fauzi et al. 2002). Dalam satu bulan minimal curah hujan 150 mm atau 5-6 mm/hari (Tui 2004), tanpa musim kering yang nyata atau bulan kering yang kurang dari 1 bulan per tahun (Adiwiganda et al. 1999).

Intensitas penyinaran

Intensitas dan lama penyinaran sangat berpengaruh pada tumbuhan berkaitan dengan produksi karbohidrat, pembentukan bunga dan buah. Lama penyinaran optimum yang diperlukan kelapa sawit adalah 5-7 jam/hari (Mangoensoekarjo 2003).

Suhu, kelembaban, dan angin

Suhu berpengaruh pada produktivitas melalui laju reaksi biokimia dan metabolisme dalam tubuh tanaman. Suhu rata-rata tahunan untuk tanaman kelapa sawit adalah 24-28°C (Ferwerda 1977 dalam Siregar 2003) dengan suhu absolut maksimum dan minimum adalah 320C dan 220C. Suhu tersebut tidak akan menyebabkan kematian tanaman apabila terjadi dalam waktu yang singkat. Kelembaban yang cocok adalah 75%-80% (Ferwerda 1977 dalam Siregar 2003) dianjurkan menanam kelapa sawit pada ketinggian lebih dari 400 m dpl.

Tanah

(19)

tanah pantai yang berpasir dan tanah gambut yang tebal. Kedua jenis tanah tersebut menyebabkan akar tidak mencapai lapisan mineral sehingga tanaman mudah tumbang (Setyamidjadja 2006).

Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit Umur tanaman

Produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh umur tanaman. Menurut Wigena et al. (2008), kelapa sawit akan mulai berproduktivitas pada tahun keempat, diikuti pertumbuhan produktivitas cepat pada usia muda (4-10 tahun), pada usia selanjutnya (11-15 tahun) laju pertumbuhan produktivitas melambat kemudian (16-25 tahun) produktivitas akan menurun dan menjadi tidak ekonomis.

Kerapatan tanaman

Menurut Risza (2009) terdapat hubungan antara penurunan produktivitas dengan kerapatan tanam. Kelapa sawit yang hidup dengan kerapatan tanam yang tinggi, menyebabkan terdapat tanaman yang kurang mendapat cahaya matahari sehingga pertumbuhannya akan meninggi, tidak normal, habitatnya kurang, jumlah daun sedikit, dan produktivitas bunga betina berkurang.

Pemupukan

Pemupukan merupakan salah satu tindakan perawatan tanaman yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Menurut Sastrosayono (2006) kebutuhan unsur hara bagi tanaman kelapa sawit untuk setiap fase pertumbuhan berbeda-beda. Jumlah unsur hara yang ditambahkan melalui pupuk harus memperhitungkan kehilangan hara akibat pencucian, penguapan, penambahan hara dari tanaman penutup tanah, hara yang terikat dari udara, serta potensi fisik dan kimia tanah.

Ketersediaan air

Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksi. Salah satu sumber alami untuk memenuhi ketersediaan air tersebut adalah curah hujan. Tinggi (rendah) produksi dapat diamati ketika ketersediaan air dalam tanah menjadi faktor yang penting yaitu 6 bulan setelah terjadinya peningkatan (penurunan) curah hujan ketika fase anthesis, determinasi seks (27 bulan), dan aborsi bunga betina (17 bulan) (Corley 1977 dalam Cadena et al. 2006). Lubis (1996) juga menyebutkan bahwa penurunan produksi tahunan dapat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan yang terjadi 33-6 bulan sebelum panen, sedangkan produksi bulanan 13-7 bulan sebelum panen.

Terjadinya kekeringan atau defisit air pada tanaman kelapa sawit dapat menyebabkan penurunan unsur hara, terganggunya sistem metabolisme dan distribusi asimilat (Darmaskoro et al. 2001), terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya bunga jantan, terganggunya pembuahan (Balitklimat 2007), kegagalan tandan (Caliman dan Southworth 1998), penurunan produktivitas tandan buah segar 10-40% dan minyak sawit 21-65% (Siregar et al. 1998).

(20)

menyebabkan kondisi jalan menjadi becek, tergenang air, rusak dan menghambat angkutan unit buah.

METODE

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan diantaranya:

1. Seperangkat komputer, Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel 2007 2. SPSS 16

3. Perangkat lunak NCL (The NCAR Command Language) yang diperoleh melaui http://www.ncl.ucar.edu

4. Data anomali Suhu MukaLaut (aSML) Samudera Pasifik bulanan pada daerah Niño 1.2, Niño 3, Niño 4, Niño 3.4 yang didownload dari tahun 1990-2010 (http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/)

5. Data Dipole Mode Index (DMI) bulanan yang didownload dari tahun1990-2010 (http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod)

6. Data produktivitas kelapa sawit bulanan dengan daerah kajian Kebun Kertajaya, Banten (1993-2004) (data diperoleh dari laporan skripsi Elastriyani 2005); Kebun Sungai Aur, Pasaman Barat (2000-2010); dan Kebun Talo Pino, Bengkulu Selatan (1994-2001) (data diperoleh dari laporan skripsi Wardoyo 2002)

7. Data curah hujan bulanan Kebun Kertajaya, Banten (1989-2004) (data diperoleh dari laporan skripsi Elastriyani 2005), Kebun Sungai Aur, Pasaman dan Kebun Talo Pino, Bengkulu Selatan (1991-2001) (data diperoleh dari laporan skripsi Wardoyo 2002).

Prosedur Analisis Data

Analisis Ttren Linear

Analisis tren linear merupakan analisis yang digunakan untuk melihat kecenderungan suatu data sehingga diketahui seberapa besar fluktuasi produktivitas kelapa sawit yang terjadi pada suatu waktu. Turun atau naiknya produktivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat genetik tanaman, umur tanaman, sifat tanah, pemupukan, pengendalian hama/penyakit dan iklim.

Langkah analisis tren ialah:

a. Menentukan anomali produktivitas dan anomali curah hujan

Anomali didapat dengan menghitung selisih antara data observasi dengan nilai rataan setiap bulan. Nilai rataan diperoleh berdasarkan jumlah rata-rata setiap bulan sesuai dengan informasi jumlah data yang tersedia pada masing–masing stasiun yang digunakan. Data anomali yang telah didapat, di standarisasi dengan membagi data dengan standar deviasi. Standar deviasi ini menunjukkan seberapa besar penyimpangan nilai data tersebut dari nilai rata-ratanya.

(21)

Keterangan:

Ano PDij : anomali produktivitas

PDij : produktivitas aktual

PDrataan : produktivitas rata-rata

i; j; : jumlah datastasiun ke-..; bulan ke-1,2.. stdev PDij : simpangan baku dari data produktivitas

b. Analisis tren linear

Tren linear dinyatakan sebagai fungsi sederhana suatu garis lurus di sepanjang deret waktu yang diobservasi. Laju tren linear dapat dilihat dari nilai koefisien kemiringan (slope:b), dengan persamaan linear sederhana berikut:

Y= a + b.t ... (2) Keterangan:

Y : nilai estimasi pada periode waktu.

a : konstanta nilai intersep pada persamaan linear b : koefisien kemiringan tren dari persamaan linear

t : variabel independen mewakili waktu dan diasumsikan bernilai 0, 1, 2, 3,. sesuai dengan urutan waktu terkait

Analisis Detren

Analisis detren adalah analisis penghapusan tren yang terdapat pada produktivitas kelapa sawit, sehingga nantinya didapat analisis keragaman data yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh faktor iklim saja. Proses perhitungan detren mengikuti persamaan berikut:

D = Ano PDij-(b*t) ...(3)

Keterangan:

D : detren produktivitas Ano PDij : anomali produktivitas

b : koefisien kemiringan trendari persamaan linear

t : variabel independen mewakili waktu dan diasumsikan bernilai 0, 1, 2, 3,. sesuai dengan urutan waktu terkait Analisis Korelasi Silang

Korelasi silang (Cross Corelation) merupakan korelasi antara dua variabel dalam bentuk time series dengan jumlah waktu yang sama dan didalamnya terdapat waktu tunda (time lag). Korelasi tertinggi akan menunjukkan hubungan yang paling erat antara dua variabel pada lag-k. Selang kepercayaan yang digunakan untuk analisis ini adalah 95%. Nilai korelasi akan signifikan jika nilai P-value <0.05. Nilai korelasi silang berkisar antara -1 sampai+1.

Contoh lag pada korelasi silang secara temporal adalah :

Lag 0 : hubungan aSML dan anomali produktivitas pada bulan yang sama Lag 1 : hubungan aSML bulan ini dan anomali produktivitas satu bulan

sesudahnya

(22)

Rumus perhitungan korelasi silang (Makridarkis dan Wheelwright 1989):

aSML/AnoCH : : data series aSML/anomali curah hujan sebanyak n AnoPD : data series anomali produktivitas/anomali curah

hujan sebanyak n

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk melihat kuat lemahnya hubungan hubungan linear antar dua variabel yang dikenal dengan penyebab dan akibat. Data penyebab sebagai variabel bebas (independent) pada penelitian ini adalah aSML, sedangkan data akibat sebagai variabel terikat (dependent) adalah anomali produktivitas kelapa sawit.

Selang kepercayaan yang digunakan untuk analisis signifikansi korelasi

Pearson adalah 95% (α = 0.05). Nilai korelasi (r) berkisar antara -1 dan 1 akan

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Curah Hujan Daerah Kajian

Wilayah Indonesia memiliki tiga pola curah hujan yang dapat digolongkan sebagai tipe ekuatorial, monsunal dan lokal. Penerimaan curah hujan setiap bulan di daerah Indonesia berbeda-beda. Gambar 6 merupakan posisi daerah kajian yang menunjukkan bahwa lokasi Kebun Sungai Aur, Pasaman Barat berada di ekuator, Kebun Talo Pino, Bengkulu Selatan dan Kebun Kertajaya, Banten terletak di selatan ekuator.

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit adalah curah hujan. Bervariasinya curah hujan di ketiga daerah kajian menyebabkan produktivitas yang dihasilkan juga bervariasi. Lokasi dengan curah hujan yang rendah (tinggi), dapat menyebabkan kekeringan (banjir) yang berimplikasi pada penurunan produksi. Penurunan produksi tersebut terkait dengan proses pembungaan yang membutuhkan air yang cukup.

(24)

Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai pola curah hujan monsunal yang ditandai dengan bentuk “V” (Gambar 7 dan Gambar 8). Pola ini mempunyai penyebaran curah hujan yang tidak merata dan terdapat perbedaan nyata antara musim hujan dan musim kemarau. Siregar et al. (1997) menjelaskan bahwa curah hujan yang ideal untuk tanaman kelapa sawit adalah ≥150 mm/bulan dan tanpa adanya bulan kering yang kurang dari 1 bulan per tahun (Adiwiganda et al. 1999). Adanya curah hujan di bawah 150 mm di Kebun Kertajaya pada bulan Juni hingga September dan Juni sampai Juli di Kebun Talo Pino, menyebabkan curah hujan tidak mencukupi kebutuhan air kelapa sawit. Karena itu, perlu diberikan perlakuan khusus agar kebutuhan air tanaman kelapa sawit menjadi terpenuhi. Salah satunya dengan melakukan teknik konservasi tanah dan air, yakni membuat rorak dan guludan. Rorak dan guludan tersebut mampu meningkatkan cadangan air dalam tanah dan menunda kekeringan (Awaluddin 2007).

Sebaliknya Kebun Sungai Aur (Gambar 9) yang lokasinya terletak di ekuator, mempunyai pola curah hujan ekuatorial (Aldrian dan Susanto 2003). Pola tersebut menjelaskan Kebun Sungai Aur mempunyai dua puncak curah hujan dalam satu tahun dan tidak terdapat curah hujan dibawah 150 mm, sehingga sangat cocok ditanami kelapa sawit.

Gam bar 8 Rata-rata curah hujan di Kebun Talo

Pino, Bengkulu Selatan tahun 1991-2001

(25)

Hubungan Anomali Curah Hujan dan Anomali SML

Hendon (2003) menyatakan bahwa variabilitas SML Niño 3.4 mempengaruhi 50% keragaman curah hujan di Indonesia, sedangkan pengaruh variabilitas SML di Samudera Hindia adalah 10-15%. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilihat hubungan curah hujan dan aSML yang terdapat di Samudera Hindia (DMI) dan Samudera Pasifik (Niño 3, Niño 4, Niño 3.4) menggunakan analisis korelasi silang dengan selang kepercayaan 95%.

Gambar 9 Rata-rata curah hujan di Kebun Sungai

Aur, Pasaman Barat tahun 2000-2009

(a) Niño 3 (c) Niño 4

(b) Niño 3.4 (d) DMI

(26)

Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan hubungan aSML dan anomali curah hujan Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai pola yang hampir sama pada lag 0 sampai lag 3. Pola tersebut menjelaskan bahwa peningkatan aSML di Niño 3, Niño 4, Niño 3.4 dan DMI sampai dengan tiga bulan yang akan datang, mengakibatkan terjadinya penurunan curah hujan di Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino. Kebun Kertajaya mempunyai korelasi tertinggi dengan aSML di Samudera Hindia (DMI) dan di Niño 3.4 dengan nilai korelasi adalah -0.48 dan -0.30. Korelasi tertinggi Kebun Talo Pino juga terdapat pada kawasan Samudera Hindia (DMI) dan Niño 3.4 dengan nilai korelasi -0.39 dan -0.31. Hubungan yang bersifat negatif antara curah hujan dan aSML ini, menjelaskan peningkatan (penurunan) aSML khususnya DMI dapat menyebabkan curah hujan di Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino menurun (meningkat).

Hubungan anomali curah hujan dan aSML di Kebun Sugai Aur (Gambar 12) menunjukkan hubungan yang positif dari lag 0 sampai dengan lag 10. Nilai korelasi pada Niño 3, Niño 4, Niño 3.4 dan DMI berturut-turut adalah 0.30, 0.22, 0.27, dan 0.18. Rendahnya korelasi aSML dan curah hujan di Kebun Sungai Aur dengan hubungan yang positif, menjelaskan bahwa curah hujan tidak signifikan dipengaruhi oleh aSML. Hal ini dikarenakan posisi kebun yang terletak di ekuator dengan pola curah hujan ekuatorial, memiliki puncak hujan dua kali dalam setahun. Oleh sebab itu, terjadinya perubahan aSML, tidak menyebabkan perubahan curah hujan.

Pengaruh aSML yang kuat di kawasan Samudera Hindia dan Niño 3.4 terhadap pola curah hujan monsunal Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino sesuai dengan penelitian yang dilakukan Estiningtyas (2005), bahwa peningkatan SML

(a) Niño 3 (c) Niño 4

(b) Niño 3.4 (d) DMI

(27)

dapat menyebabkan penurunan curah hujan 2-3 bulan berikutnya di wilayah monsunal dan ekuatorial. Berdasarkan hasil korelasi tersebut, pengaruh ENSO dan IOD terhadap produktivitas kelapa sawit dapat menggunakan aSML, terutama di kawasan Samudera Hindia dan Niño 3.4.

Hubungan Anomali Curah Hujan dan Anomali Produktivitas Kelapa Sawit

Curah hujan merupakan sumber utama bagi tanaman kelapa sawit terkait dengan ketersediaan air. Perubahan curah hujan dapat mempengaruhi perubahan ketersediaan air yang akan berdampak terhadap produktivitas. Gambar 13 menunjukkan rata-rata produktivitas kelapa sawit meningkat hingga September dengan curah hujan yang rendah. Pengaruh dari rendahnya curah hujan baru terlihat pada bulan Oktober hingga Desember yang memiliki curah hujan tinggi.

Pada Gambar 14 juga terlihat ketidaksesuaian antara anomali curah hujan dengan anomali produktivitas kelapa sawit di Kebun Kertajaya pada lag 0. Contohnya pada tahun 1994 produktivitas tinggi ketika anomali curah hujan rendah, atau pada tahun 1995 anomali curah hujan mencapai 200 mm tetapi produktivitas turun drastis padahal kebutuhan air tercukupi. Hal ini disebabkan pada tahun 1994 terdapat anomali curah hujan yang negatif sekitar 3 hingga 6 bulan. Selain itu, dapat dilihat juga pada tahun 1997 merupakan tahun terjadinya El Niño bersamaan dengan IOD positif (Saji et al. 1999). Kondisi ini menyebabkan anomali curah hujan menjadi negatif dan dampaknya terhadap penurunan produktivitas sawit baru terlihat pada tahun 1998.

(a) Niño 3 (c) Niño 4

(b) Niño 3.4 (d) DMI

(28)

Dari Gambar 13 dan 14 dapat diketahui bahwa dampak curah hujan tidak langsung mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Dampak tersebut baru terjadi beberapa waktu kemudian. Oleh sebab itu, dilakukan korelasi silang dengan selang kepercayaan 95%, untuk mengetahui waktu yang signifikan ketika curah hujan mempengaruhi produktivitas kelapa sawit.

Gambar 13 Rata-rata curah hujan dan produktivitas di Kebun Kertajaya,Banten tahun 1989-2004

Gambar 14 Hubungan anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya (lag 0)

(a) (b)

Gambar 15 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas

(29)

Gambar 15 menunjukkan produktivitas Kebun Kertajaya mempunyai korelasi positif dan negatif dengan curah hujan pada lag 8 hingga lag 18 bulan sebelum panen terkait dengan proses aborsi bunga betina. Korelasi paling tinggi terjadi pada lag 16 (Gambar 15b) dengan nilai -0.24. Terjadinya penurunan produktivitas akibat tingginya hujan diduga karena banyaknya bunga betina yang gugur.

Rata-rata produktivitas dan curah hujan di Kebun Talo Pino (Gambar 16) menunjukkan penurunan curah hujan pada bulan Februari hingga Apri, sehingga terjadi penurunan produktivitas. Peningkatan curah hujan pada bulan Mei juga menyebabkan produktivitas meningkat. Namun terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada bulan Juni hingga Agustus, tidak menyebabkan produktivitas turun drastis. Rata-rata produktivitas hanya mengalami fluktuasi yang sedikit. Penurunan produktivitas yang cukup besar terjadi pada bulan Desember dengan curah hujan tinggi.

Kebun Talo Pino (Gambar 17) menunjukkan ketidaksesuaian antara anomali curah hujan dengan anomali produktivitas. Terlihat Mei 1998 dengan anomali curah hujan yang cukup tinggi yaitu 1.77 mempunyai anomali produktivitas yang rendah pada bulan dan tahun yang sama yaitu hanya sekitar -2.41, sedangkan

Gambar 16 Rata-rata curah hujan dan produktivitas di Kebun Talo Pino, Bengkulu Selatan tahun 1991-2001

(30)

produktivitas tinggi baru terlihat pada bulan Desember 1998 yang mencapai 1.13. Oktober 1999 juga mempunyai anomali curah hujan cukup tinggi 1.33 dengan produktivitas yang rendah hanya -2.06, berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa curah hujan yang tinggi (rendah) belum tentu dapat menyebabkan produktivitas menjadi tinggi (rendah) pada waktu yang bersamaan.

Gambar 18a merupakan korelasi silang antara curah hujan dengan produktivitas kelapa sawit di Kebun Talo Pino yang menunjukkan tiga fase yang signifikan yaitu anthesis, aborsi bunga betina, dan penentuan rasio seks. Fase anthesis (lag 5 sampai lag 9) mempunyai hubungan yang positif terkait dengan perlunya curah hujan yang tinggi dalam proses pembentukan tandan, sehingga kegagalan rendah. Pada lag 14 sampai lag 17 terdapat hubungan negatif terkait dengan meningkatnya aborsi bunga betina. Lag 24 dan lag 25 mempunyai hubungan positif terkait dengan perlunya curah hujan dalam pembentukan bunga betina. Hubungan curah hujan dengan produktivitas tertinggi terdapat pada lag 7 (Gambar 18b) dengan nilai korelasi 0.51. Hubungan ini berkaitan dengan perlunya ketersediaan air atau curah hujan yang tinggi pada saat anthesis atau bunga mekar.

(a) (b)

Gambar 18 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas

kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 7 (b) untuk Kebun Talo Pino

(31)

Gambar 19 menunjukkan Kebun Sungai Aur mengalami peningkatan produktivitas pada bulan Mei hingga Juli dengan curah hujan kurang dari 200 mm, dan penurunan produktivitas pada bulan Oktober dengan curah hujan mencapai 350 mm. Terjadinya penurunan produktivitas pada bulan Oktober kemungkinan disebabkan tanaman mengalami kelebihan air, sehingga produktivitas berkurang akibat penyerbukan yang gagal, aborsi bunga betina, dan hama penyakit. Hubungan anomali curah hujan dan anomali produktivitas Kebun Sungai Aur mempunyai kesesuaian ketika curah hujan tinggi produktivitas tinggi. Namun pada waktu tertentu juga mempunyai ketidaksesuaian di saat curah hujan tinggi, tetapi produktivitas rendah.

Waktu tunda (lag) curah hujan dalam mempengaruhi produktivitas dapat dilihat pada Gambar 21a yang menunjukkan lag 5 dan lag 8 mempunyai hubungan positif berkaitan dengan perlunya ketersediaan air dalam proses anthesis. Lag 11 berkaitan dengan rendahnya aborsi bunga akibat curah hujan tinggi. Korelasi positif juga terdapat pada lag 25 dan lag 34 terkait dengan curah hujan tinggi dapat meningkatkan jumlah bunga betina yang terbentuk dan pembentukan bakal bunga. Grafik 21b merupakan hubungan curah hujan dan produktivitas paling tinggi di lag 5 (0.24) terkait dengan anthesis.

(a) (b)

Gambar 21 Korelasi silang anomali curah hujan dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 5 (b) untuk Kebun Sungai Aur

(32)

Hasil analisis ketiga kebun menunjukkan rendah atau tingginya curah hujan tidak langsung mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan penelitian Lubis (1996), yang menunjukkan bahwa produksi bulanan kelapa sawit dipengaruhi oleh kondisi curah hujan 13-7 bulan sebelum panen. Adanya hubungan positif atau negatif yang terjadi pada berbagai lag berbeda dikarenakan perbedaan pengaruh yang dominan pada masing-masing lag (Hasan 1997). Selain itu, juga disebabkan perbedaan waktu data produktivitas, sifat genetik, umur tanaman, pemupukan, sifat tanah, hama/penyakit, dan lain-lain sehingga pengaruh curah hujan terhadap produktivitas pun menjadi tidak sama di setiap kebun.

Hubungan Anomali SML dan Anomali Produktivitas Kelapa Sawit

Analisis Korelasi Temporal

Adanya hubungan negatif antara aSML dan curah hujan serta hubungan positif antara curah hujan dan produktivitas kelapa sawit, menimbulkan dugaan bahwa aSML secara tidak langsung juga mempunyai hubungan negatif dengan produktivitas kelapa sawit. Oleh karena itu, dilakukan analisis korelasi temporal untuk melihat aSML yang paling berpengaruh dalam perkembangan bunga kelapa sawit. Anomali SML yang digunakan untuk melihat korelasi yang signifikan dengan anomali produktivitas kelapa sawit adalah aSML di kawasan Niño 3, Niño 4, Niño 3.4 dan DMI.

Keempat aSML tersebut (Gambar 22 sampai Gambar 25) mempunyai pola yang hampir sama kecuali aSML di kawasan Niño 4. Pola tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dengan aSML di kawasan Niño 3, Niño 3.4, dan DMI pada fase perkembangan tandan dan pembentukan bakal bunga, sedangkan pada saat anthesis dan aborsi bunga betina mempunyai hubungan yang positif. Niño 3 berkorelasi tinggi pada fase anthesis (-0.33), Niño 3.4 berkorelasi tinggi pada fase aborsi bunga betina dengan nilai 0.35, DMI pada fase aborsi bunga betina (0.37), dan Niño 4 berkorelasi tinggi pada fase aborsi bunga betina dengan nilai korelasi 0.34.

(

a) (b)

(33)

(a) (b)

Gambar 23 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) dan perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 14 (b) untuk Kebun Kertajaya

(a) (b)

Gambar 24 Korelasi silang aSML Niño 3.4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 15 (b) untuk Kebun Kertajaya

(a) (b)

(34)

(a) (b)

Gambar 26 Korelasi silang aSML Niño 3 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 4 (b) untuk Kebun Talo Pino

Gambar 27 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino

(a) (b)

(35)

Produktivitas kelapa sawit di Kebun Talo Pino tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan Niño 4, sedangkan Niño 3, Niño 3.4 dan DMI mempunyai pola korelasi yang hampir sama, yaitu terdapat korelasi positif dan negatif yang bergantian. Korelasi negatif terdapat pada fase perkembangan tandan, anthesis dan penentuan rasio seks, sedangkan korelasi positif terdapat pada fase aborsi bunga betina. Niño 3 mempunyai korelasi tertinggi pada fase perkembangan tandan dengan nilai korelasi -0.42. Niño 3.4 mempunyai korelasi tertinggi pada fase perkembangan tandan dengan nilai korelasi -0.38, sedangkan DMI mempunyai korelasi tertinggi pada fase anthesis dengan nilai korelasi -0.53

Anomali produktivitas kelapa sawit di Kebun Sungai Aur mempunyai hubungan positif dengan Niño 3, Niño 4, dan Niño 3.4, sedangkan korelasi dengan DMI tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Niño 3 mempunyai pengaruh tertinggi terhadap produktivitas kelapa sawit pada saat fase anthesis dengan nilai korelasi 0.31. Niño 4 mempunyai korelasi tertinggi pada fase aborsi bunga betina. Niño 3.4 juga berkorelasi tinggi pada fase aborsi bunga betina dengan nilai korelasi 0.33.

(a) (b)

Gambar 29 Korelasi silang DMI dan anomali produktivitas kelapa sawit(a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 6 (b) untuk Kebun Talo Pino

(a) (b)

Gambar 30 Korelasi silang aSML Niño 3 dan anomali produktivitas kelapa

(36)

Produktivitas kelapa sawit di Kebun Sungai Aur dibandingkan dengan Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino, mempunyai korelasi yang rendah terhadap aSML. Korelasi tertinggi di pengaruhi oleh Niño 3.4 dan tidak dipengaruhi oleh DMI. Hal ini sesuai dengan pembahasan di subbab sebelumnya, mengenai hubungan aSML dengan curah hujan di Kebun Sungai Aur yang mempunyai

(a) (b)

Gambar 31 Korelasi silang aSML Niño 4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 14 (b) untuk Kebun Sungai Aur

(a) (b)

Gambar 32 Korelasi silang aSML Niño 3.4 dan anomali produktivitas kelapa sawit (a) serta perbandingan time series data pada korelasi tertinggi di lag 13 (b) untuk Kebun Sungai Aur

(37)

korelasi lemah di kawasan Samudera Hindia. Rendahnya korelasi di Kebun Sungai Aur menunjukkan bahwa produktivitas di Kebun Sungai Aur tidak dipengaruhi oleh perubahan SML di Samudera Pasifik ataupun Samudera Hindia, tetapi dipengaruhi kuat oleh faktor lokal.

Hasil korelasi temporal menunjukkan produktivitas Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino sangat dipengaruhi oleh aSML di Samudera Hindia. Kebun Kertajaya mempunyai korelasi paling tinggi dengan aSML di Samudera Hindia pada fase penentuan rasio seks dengan nilai 0.37. Kebun Talo Pino berkorelasi tinggi dengan aSML di Samudera Hindia pada fase anthesis dengan nilai korelasi -0.53. Dalam hal yang sama, Darlan (2011) menyatakan aSML di Niño3.4 berpengaruh terhadap produktivitas kelapa sawit di Sumatera bagian selatan pada lag 12, khususnya proses aborsi bunga betina, anthesis, dan kegagalan tandan. Bervariasinya pengaruh aSML terhadap produktivitas kelapa sawit di ketiga kebun disebabkan pengaruh dari setiap aSML tidak seragam, tetapi dipengaruhi posisi daerah dan pola curah hujan masing-masing kebun.

Analisis Korelasi Spasial

Analisis korelasi Pearson secara spasial bertujuan untuk melihat keterkaitan hubungan antara produktivitas kelapa sawit dan aSML di kawasan Samudera Hindia, perairan Indonesia, dan Samudera Pasifik. Hasil analisis korelasi spasial menunjukkan wilayah aSML yang berpengaruh terhadap produktivitas kelapa sawit berdasarkan fase perkembangan bunga kelapa sawit. Perkembangan bunga dibagi dalam beberapa fase, yaitu fase pembentukan bakal bunga (34 sampai 43 bulan sebelum panen), determinasi seks atau penentuan jenis kelamin (28 sampai 32 bulan sebelum panen), jumlah bunga betina yang terbentuk atau penentuan rasio seks (18 sampai 27 bulan sebelum panen), aborsi bunga betina (7 sampai 16 bulan sebelum panen), bunga mekar atau anthesis (5 sampai 9 bulan sebelum panen), dan perkembangan tandan (1 sampai 4 bulan).

Nilai korelasi yang berkisar antara -1 hingga +1 akan ditentukan berdasarkan warna. Korelasi positif ditunjukkan dengan warna kuning hingga merah, korelasi negatif ditunjukkan dengan warna hijau hingga ungu, sedangkan korelasi yang ditandai dengan warna putih (bernilai 0) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara aSML dengan anomali produktivitas kelapa sawit. Fase pembentukan bakal bunga dimulai pada 43 hingga 34 bulan sebelum panen (Gambar 34). Fase ini menunjukkan hubungan negatif yang tidak begitu kuat pada awal proses pembentukan, yaitu hanya dengan aSML sekitar Samudera Pasifik bagian timur yang kemudian semakin hilang dan mulai kuat kembali pada lag 33 dan lag 34 terhadap aSML di Niño 4, Niño 3.4, dan Samudera Hindia. Nilai korelasi ini berkisar dari -0.1 sampai -0.3, terkait dengan banyaknya bakal bunga yang terbentuk.

(38)

hubungan positif di sekitar perairan Indonesia, berhubungan dengan tingginya curah hujan dan tingginya pembentukan perhiasan bunga. Pada fase ini, sangat dibutuhkan curah hujan yang tinggi supaya bunga betina yang terbentuk lebih banyak dibandingkan bunga jantan.

Gambar 34 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase

pembentukan bakal bunga dengan warna putih

menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

(39)

Fase penentuan rasio seks di Kebun Kertajaya menunjukkan hubungan positif yang luas dengan aSML di sekitar Samudera Pasifik Timur dan Samudera Pasifik Tengah. Luasnya sebaran korelasi positif dengan nilai 0.2 sampai 0.3 menunjukkan jumlah bunga betina yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan bunga jantan. Sedikitnya bunga betina yang terbentuk disebabkan rendahnya curah hujan yang terjadi, meskipun pada fase pembentukan perhiasan bunga kemungkinan bunga betina terbentuk lebih besar.

Gambar 37 menunjukkan hubungan negatif yang berkisar dari 0.1 sampai -0.4 dengan aSML di sekitar perairan Indonesia dan hubungan positif di sekitar Saamudera Pasifik bagian utara (5°LU-20°LU dan 120BB-170BB). Korelasi ini terkait dengan tingginya aborsi bunga betina yang terjadi akibat curah hujan yang rendah dan jumlah bunga betina yang sedikit, sehingga dengan rendahnya jumlah bunga betina yang terbentuk pada fase sebelumnya dapat menyebabkan produktivitas kelapa sawit renda.

Fase anthesis atau bunga mekar (Gambar 38) mempunyai hubungan negatif dengan aSML di sekitar Kepulauan Indonesia berkisar dari -0.1 sampai -0.3, dan hubungan positif yang lemah di Samudera Pasifik Tengah. Korelasi ini terkait dengan sedikitnya jumlah bunga yang mekar terkait dengan rendahnya curah hujan.

Gambar 36 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase penentuan rasio seks dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan

(40)

Gambar 37 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase aborsi bunga betina dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

(41)

Fase perkembangan tandan mempunyai hubungan negatif kuat dengan aSML di sekitar Kepulauan Indonesia dan Samudera Hindia Timur, dan hubungan positif yang lemah di Samudera Pasifik Tengah. Korelasi negatif berkisar dari -0.1 hingga -0.4 terkait dengan tingginya kegagalan tandan. Kegagalan tandan merupakan tandan yang gagal berkembang dari bunga mekar sampai tidak dapat dipanen, akibat rendahnya curah hujan pada fase penentuan kelamin bunga hingga anthesis. Selain itu juga disebabkan penyerbukan tidak sempurna, karbohidrat kurang, variasi musim ataupun serangan hama dan penyakit (Corley, 2003).

Gambar 39 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya dan aSML pada fase perkembangan

tandan dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

(42)

Fase pembentukan bakal bunga kelapa sawit Kebun Talo Pino (Gambar 40) menjelaskan produktivitas berkorelasi negatif dengan aSML di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dengan nilai korelasi mencapai -0.6. Tingginya korelasi negatif tersebut berkaitan dengan banyaknya bakal bunga yang terbentuk akibat curah hujan yang tinggi. Fase determinasi seks menunjukkan korelasi positif yang menyebar luas di sekitar Kepulauan Indonesia dan Samudera Hindia yang berkisar dari 0.2 hingga 0.4, selain itu Samudera Pasifik juga menunjukkan hubungan negatif yang kuat berkisar -0.2 sampai -0.4. Luasnya sebaran positif dan negatif menunjukkan tingginya pembentukan perhiasan bunga, khususnya bunga betina. Hal ini disebabkan pada fase pembentukan perhiasan bunga, terjadi curah hujan yang cukup tinggi, sehingga perhiasan bunga yang dominan terbentuk adalah bunga betina

Gambar 42 mempunyai korelasi positif yang tersebar di aSML kawasan Niño 1.2, Niño 3, Niño 4 dan aSML Samudera Hindia dengan nilai berkisar dari 0.1 hingga 0.4. Hubungan positif ini terkait dengan jumlah bunga betina yang rendah akibat curah hujan yang rendah. Aborsi bunga betina pada Gambar 43, pada awal fase sampai lag 12 mempunyai hubungan positif di sekitar perairan Indonesia dan Samudera Pasifik Timur. Kemudian hubungan positif menguat di Samudera Hindia dan Niño 3.4 dengan nilai korelasi berkisar dari 0.1 sampai 0.3. Hubungan positif tersebut pada awal fase terkait dengan tingginya curah hujan, sedangkan akhir fase rendahnya curah hujan. Hal ini menyebabkan aborsi bunga betina yang terjadi rendah. Rendahnya aborsi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas.

(43)

Gambar 42 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase penentuan rasio seks dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

(44)

Gambar 44 menjelaskan produktivitas kelapa sawit mempunyai sebaran positif yang luas di sekitar Niño 3, Niño 3.4, dan Samudera Hindia Barat (0.1 sampai 0.4). Pada lag 5 dan lag 6 terdapat hubungan negatif di sekitar Kepulauan Indonesia dengan korelasi mencapai -0.4. Hubungan positif dan negatif ini terkait dengan proses anthesis atau bunga yang mekar rendah.

Fase perkembangan tandan di Kebun Talo Pino mempunyai sebaran negatif yang luas dengan aSML di Samudera Hindia dan sekitar Kepulauan Indonesia, serta hubungan positif kuat di sekitar Samudera Pasifik. Korelasi negatif berkisar dari -0.1 hingga -0.4, sedangkan korelasi positif 0.1 sampai 0.3. Hubungan positif dan negatif tersebut menunjukkan terjadi kegagalan tandan akibat rendahnya curah hujan, sehingga produktivitas yang dihasilkan rendah.

Gambar 44 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Talo Pino dan aSML pada fase bunga mekar dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan

pada 95%

(45)

Hubungan aSML dengan produktivitas di Kebun Sungai Aur dapat dilihat pada Gambar 46 hingga Gambar 52. Pada gambar tersebut, terdapat perbedaan warna atau nilai korelasi antara Kebun Sungai Aur dengan Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino. Kebun Sungai Aur mempunyai korelasi yang terendah di setiap fase, dimana pada umumnya mempunyai hubungan negatif.

Gambar 46 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase perkembangan bakal bunga dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

Gambar 47 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dengan aSML pada fase pembentukan

(46)

Lag 34 hingga lag 43 merupakan waktu tunda untuk fase pembentukan bakal bunga. Pada fase tersebut terdapat hubungan negatif dengan sebaran yang tidak begitu luas, terkait banyaknya bakal bunga yang terbentuk. Fase pembentukan perhiasan bunga menunjukkan hubungan yang negatif antara produktivitas Kebun Sungai Aur dengan aSML di Niño 3.4 yang berkisar dari -0.1 sampai -0.3. Hubungan negatif ini terkait dengan pembentukan perhiasan bunga betina yang lebih banyak dibanding bunga jantan.

Gambar 48 juga menunjukkan hubungan negatif dengan aSML di kawasan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Korelasi ini berkisar -0.1 hingga -0.3, yang terkait dengan jumlah bunga betina lebih banyak dibanding bunga jantan. Fase aborsi bunga betina mempunyai korelasi berkisar -0.1 hingga -0.3 dengan aSML di kawasan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Korelasi ini berkaitan dengan rendahnya aborsi bunga yang terjadi di Kebun Sungai Aur.

Gambar 50 menunjukkan adanya hubungan fase anthesis yang lebih kuat dibandingkan fase perkembangan tandan. Fase ini juga dipengaruhi oleh aSML di Samudera Hindia dan perairan sekitar Kepulauan Indonesia, dengan nilai korelasi berkisar dari -0.1 sampai -0.3. Hubungan negatif ini terkait dengan rendahnya kegagalan perkembangan dari anthesis menjadi tandan. Fase perkembangan tandan (Gambar 51) menunjukkan bahwa aSML Samudera Hindia dan di sekitar Kepulauan Indonesia mempunyai hubungan yang negatif terhadap produktivitas Kebun Sungai Aur. Korelasi ini hanya berkisar 0.1 hingga 0.2 terkait dengan rendahnya kegagalan tandan di Kebun Sungai Aur.

(47)

Gambar 49 Sebaran spasial korelasi anomali produktivitas kelapa sawit Kebun Sungai Aur dan aSML pada fase aborsi bunga betina dengan warna putih menunjukkan korelasi yang tidak signifikan pada 95%

(48)

Di antara ketiga kebun diatas, produktivitas kelapa sawit yang dipengaruhi kuat oleh aSML secara spasial adalah produktivitas di Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino. Korelasi spasial menunjukkan bahwa produktivitas Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai hubungan negatif kuat pada fase pembentukan bakal bunga dan pembentukan perhiasan bunga (determinasi seks), sedangkan pada fase penentuan rasio seks, aborsi bunga betina, anthesis, dan perkembangan tandan mempunyai hubungan positif. Rendahnya produktivitas kelapa sawit di kedua kebun, disebabkan oleh aSML yang tinggi di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau rendahnya aSML di sekitar perairan Indonesia. Perubahan aSML atau perubahan kondisi curah hujan pada saat proses pembungaan dapat menyebabkan pembungaan menjadi tidak sempurna dan produktivitas berkurang. Hal ini disebabkan fungsi air seperti, bahan penyusun tanaman, bahan baku fotosintesis, media transport, dan sebagai pelarut tidak bekerja dengan baik.

Kebun Sungai Aur yang berpola curah hujan ekuatorial tidak terlalu dipengaruhi oleh aSML sekitarnya, terlihat dari korelasi yang dihasilkan rendah. Oleh karena itu, perubahan aSML di Samudera Hindia (IOD) atau Samudera Pasifik (ENSO) tidak akan menyebabkan terjadinya penurunan atau peningkatan curah hujan yang drastis di Kebun Sungai Aur, sehingga produktivitas dapat terhindar dari fluktuasi yang tajam.

Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Produktivitas Kelapa Sawit

Fenomena ENSO dan IOD merupakan fenomena yang menyebabkan beberapa daerah di Indonesia mengalami musim kemarau atau musim hujan diluar normal. Indikator yang digunakan untuk menentukan ENSO dan IOD adalah aSML. Perbedaan pola curah hujan dan topografi di setiap daerah menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas kelapa sawit antara daerah kajian yang mempunyai pola curah hujan monsunal dan ekuatorial.

(49)

Perbedaan pola curah hujan (Tabel 1) menunjukkan produktivitas kelapa sawit dengan pola ekuatorial memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan pola monsunal. Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya mengenai pengaruh curah hujan dan anomali SML terhadap produktivitas kelapa sawit. Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai kegagalan tandan yang cukup tinggi akibat rendahnya curah hujan pada 43 bulan sebelum panen, sedangkan Kebun Sungai Aur disetiap fase perkembangan bunga mempunyai curah hujan yang cukup, sehingga produktivitas pun tinggi. Hal ini terlihat dari korelasi temporal dan spasial yang rendah antara produktivitas kelapa sawit di Kebun Sungai Aur dan aSML di kawasan ENSO dan IOD. Rendahnya korelasi ini menunjukkan perubahan aSML tidak mempengaruhi produktivitas kelapa sawit.

Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino secara temporal dan spasial mempunyai korelasi negatif dan positif yang kuat dengan aSML di sekitar Samudera Hindia (DMI) dan Niño 3.4. Korelasi silang dan korelasi Pearson menunjukkan fenomena ENSO dan IOD dapat mempengaruhi fluktuasi produktivitas kelapa sawit, khususnya terkait dengan fase perkembangan bunga yang mulai terbentuk sejak 44 bulan sebelum panen. Jika pada fase tersebut kebutuhan air tidak tercukupi dalam waktu yang lama maka jumlah dan berat tandan yang dihasilkan akan berkurang. Hal ini disebabkan jumlah tandan berhubungan dengan proses pembentukan perhiasan bunga dan aborsi bunga, sedangkan berat tandan berhubungan dengan perkembangan tandan. Oleh karena itu, terjadinya ENSO dan IOD pada saat tanaman kelapa sawit membutuhkan air akan menyebabkan pembentukan bunga betina menjadi rendah, aborsi bunga betina meningkat, dan tingginya kegagalan tandan.

Tabel 1 Rata-rata produktivitas bulanan

Ekuatorial

K. Sungai Aur K. Keratajaya K. Talo Pino

(50)

SIMPULAN

Simpulan

Fenomena El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berdasarkan aSML, dapat mempengaruhi kondisi curah hujan dan produktivitas kelapa sawit di wilayah kajian. Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino dengan pola curah hujan monsunal mempunyai korelasi yang kuat terhadap aSML. Korelasi temporal menunjukkan produktivitas kelapa sawit Kebun Kertajaya, Banten dan Kebun Talo Pino, Bengkulu Selatan sangat dipengaruhi oleh aSML di Samudera Hindia. Produktivitas di Kebun Kertajaya berkorelasi tinggi terhadap aSML di Samudera Hindia pada fase penentuan rasio seks (lag 17) dengan nilai 0.37, sedangkan di Kebun Talo Pino berkorelasi tinggi pada fase anthesis (lag 6) dengan nilai korelasi -0.53. Secara spasial, produktivitas Kebun Kertajaya dan Kebun Talo Pino mempunyai hubungan negatif yang kuat dengan aSML pada fase pembentukan bakal bunga dan pembentukan perhiasan bunga (determinasi seks), sedangkan pada fase penentuan rasio seks, aborsi bunga betina, anthesis, dan perkembangan tandan mempunyai hubungan positif. Sebaliknya fenomena ENSO dan IOD tidak berpengaruh signifikan pada produktivitas kelapa sawit di Kebun Sungai Aur yang berpola curah hujan ekuatorial, baik secara temporal maupun spasial.

Saran

Gambar

Gambar 1 Pola hujan di Indonesia (wilayah A (monsun) garis hitam, wilayah B
Gambar 3  Kondisi  El Niño (atas) dan La Niña
Gambar 5 Diagram perkembangan bunga kelapa sawit
Gambar 6 Peta lokasi daerah kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara

Hal ini bisa terjadi mungkin karena perbedaan tingkat nonpolar diantara pelarut-pelarut tersebut.dengan tetapan dielektrik benzena 2,284, sikloheksana 1,924,

Subtract (waktusawawal); double

Tumbuhan yang yang diciptakan oleh Alloh banyak mengandung manfaat. Salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan yaitu ketepeng cina. Secara tradisional daunnya sering

Kasimo mengembangkan nasionalisme pada zaman kolonial; (2) proses yang dilalui I.J.. Kasimo dalam mengembangkan nasionalismenya pada zaman kolonial; (3) Sumbangan

Sedangkan penggunaan deiksis persona, penunjuk, dan waktu yang paling dominan dalam novel Sunset Bersama Rosie adalah deiksis waktu khususnya deiksis waktu dengan

Based on these results it can be concluded that the variables of firm size, debt equity ratio, audit complexity, the auditor's opinion, the reputation of

2) Titik-titik bantu yang berfungsi sebagai titik antarlr, apabtla pengukuran detail akan dimulat dan satu titik kontrol dan akan berakhir pada titik konrol