• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan: Studi ekologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan: Studi ekologi"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA

WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI

SUCI APRIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

SUCI APRIANI. Factors that Influence the Consumption of Carbohydrate Food Sources in Some Rural and Urban Area: Ecological Study. Under the guidance of

YAYUK FARIDA BALIWATI.

The study was aim to analyze the ecological factors (food availability, carriying capacity, population density, poverty levels, GDP per capita, education levels) that influence the consumption of carbohydrate food sources in some rural and urban areas. This study was conducted using cross sectional study design, analyzed the 62 district in Indonesia. Data food consumption obtained from Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Data food production, population density, poverty levels, GDP per capita of the region, and education level obtained from the Central Statistic Agency (BPS). Data carriying capacity was calculated by formula.Statical test of pearson correlation and stepwise linear regression method were implemented to understand factors that influence consumption of carbohydrate food sources:rice, corn, cassava and sweet potato in rural and urban area. The study show that factor influenced consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area was food availability. Factor that influence consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area is availability. Factor that influence consumption rice in rural area was food availability, while in urban area were food availability and poverty levels. Factor that influence consumption corn in rural area was poverty levels, while in urban area was food availability. Factor that influence consumption cassava in rural and urban area was population density. Factors that influence consumption sweet potato in rural area were carriying capacity and GDP per capita, while in urban area was poverty levels.

(3)

RINGKASAN

SUCI APRIANI. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Salah satu aspek dalam ketahanan pangan adalah konsumsi pangan. Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. Konsumsi pangan sumber karbohidrat memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi karena separuh dari energi yang dikonsumsi berasal dari pangan sumber karbohidrat.Jika permasalahan dalam pemenuhan konsumsi pangan tidak diatasi, maka dapat berdampak pada terjadi kurang gizi dan penurunan kualitas kehidupan.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (1) Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(2) Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) diwilayah perdesaan dan perkotaan;(3) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (tingkat kemiskinan, PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan perkotaan;(4) Menganalisis hubungan Karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(5) Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan.

Penelitian ini didesain menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007. Berdasarkan kriteria tersebut, diambil 31 contoh untuk daerah perkotaan dan 31 contoh untuk daerah perdesaan. Sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 62 kabupaten.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yang terdiri atas: ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, PDRB/kapita wilayah, dan tingkat pendidikan. Variabel tak bebas adalah konsumsi pangan sumber karbohidrat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Microsoft excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for Windows dengan menngunakan uji beda Independent Sample T-test, korelasi pearson,dan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise.

(4)

pendidikan (p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan maupun di perkotaan lebih didominasi oleh beras.Kecukupan konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 961 kkal/kap/hari.

Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan juga didominasi oleh beras.Kecukupan ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 1934 kkal/kap/hari.Kepadatan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 1144 jiwa/km2 dibandingkan di perdesaan yaitu 249 jiwa/km2. Daya dukung lahan di perdesaan lebih rendah daripada di perkotaan yaitu 6,62 orang/ha. Sementara itu daya dukung lahan di perkotaan meskipun lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 7,16 orang/ha namun angka tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya.Tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan yaitu 21% dan72% sedangkan di perkotaan yaitu 17% dan 64%. PDRB/kapita di perdesaan adalah Rp 7,373,000.00 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada di perkotaan yaitu Rp 10,913,000.00

Berdasarkan hasil korelasi pearson, faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan(r=0,474, p<0,01), daya dukung lahan(r=0,403, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,443, p<0,05). Faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah ketersediaan (r=0,581, p<0,01) dan tingkat kemiskinan (r=0,412, p<0,05). Pada konsumsi jagung, faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan adalah ketersediaan (r=0,556, p<0,01), daya dukung lahan (r=0,535, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,627, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,552, p<0,01). Sementara itu di perkotaan, konsumsi jagung berhubungan dengan ketersediaan (r=0,607, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,394, p<0,05). Konsumsi ubi kayu di perdesaan berhubungan dengan faktor ketersediaan (r=0,484, p<0,01), kepadatan penduduk (r=-0,541, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,377, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,387, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi ubi kayu berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,323, p<0,05). Konsumsi ubi jalar di perdesaan berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,403, p<0,05), daya dukung lahan (r=0,467, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,427,p<0,05. Konsumsi ubi jalar di perkotaan berhubungan dengan tingkat kemiskinan (r=-0,426, p<0,05)) dan PDRB/kapita (r=0,413, p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan berhubungan dengan ketersediaan(r=0,485, p<0,01), PDRB/kapita (r=0,384, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,435, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi pangan sumber karbohidrat total berhubungan dengan ketersediaan (r=0,360, p<0,05).

(5)

FAKTOR

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA

WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI

SUCI APRIANI

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Judul : Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber

Karbohidrat di beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi

Ekologi

Nama : Suci Apriani

NIM : I14061937

Disetujui:

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Djuharso, Mas Nanang,

Mba Tini, Mba Wiwin, Mas Min serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang,

perhatian dan dukungan dalam bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan.

2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen

penguji atas segala saran dan masukan yang diberikan.

3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pembimbing akademik.

4. Bu Dian Rahim, Mita, Mesil, Anri, Makcik, Dya, dan Rani yang telah menjadi

keluarga kecil penulis selama di IPB. Semoga kita dapat berkumpul kembali

di jannah-Nya dalam suatu lingkaran. Aamin.

5. Seluruh penghuni Andaleb 2 spesial untuk Memi, Mifta, Mba Devi, Dinda,

Aling atas segala perhatian, dukungan dan keceriaan yang diberikan dalam

keseharian penulis.

6. Nadya Dwi Muchisa, S.Stat atas kesediaan waktunya untuk berbagi ilmu

statistika, sehingga pengolahan data skripsi ini dapat berjalan lancar.

7. Reti, Avi, Dianita,Dini, Rai, Fatimah, Mba Nisa, Mba Ncun, Ipung, Daniel, Wirudy dan seluruh “sahabat FEMA&IPB”atas dukungan, masukan, dan motivasi untuk terus lebih baik.

8. Sahabat satu “kampung” Gita, Rizka, Septin, Mei yang telah bersama-sama

mengadu nasib bersama penulis dengan segala suka dan duka di kampus

IPB.

9. Sahabat seperjuangan skripsi: Dian Hani, Dewi Ratih, dan A‟immatul

Fauziyah, serta teman-teman pembahas: Hadi, Nadia, Ima, dan Diana.

10. Semua sahabat Gizi Masyarakat angkatan ‟43, ‟44, ‟45, ‟46 atas dukungan

dan semangat yang diberikan.

11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU atas segala

(8)

12. Teman-teman pengurus LDK AL HURRIYYAH 2007-2009, pengurus

FORSIA 2008-2010 dan pengurus FORHUMAN 2010 atas kebersamaan,

kerja sama dan pelajaran hidup yang penulis dapatkan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang

telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.Semoga skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2011

(9)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Banyumas, 29 April 1989 dari pasangan Bapak

Djuharso dan Ibu Partini yang merupakan anak kelima dari lima bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di SD Muhammadiyyah 02 Pasir Kidul, kemudian

dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Purwokerto dan SMU Negeri 1 Purwokerto. Pada

tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya LDK

DKM Al Hurriyyah dan Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA). Penulis pernah

mengikuti program pekan kreativitas mahasiswa bidang kewirausahaan (PKMK)

dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2009. Selain itu penulis juga berkesempatan

menjadi asisten praktikum Ekologi Manusia dan asisten Pendidikan Agama

Islam.

Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kuliah kerja praktek (KKP) di

desa Petir, Kabupaten Bogor. Serta pada tahun 2010 penulis juga melaksanakan

(10)

DAFTAR ISI

Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan ... 5

Konsumsi Pangan ... 7

Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah ... 11

Karakteristik Wilayah ... 11

Ketersediaan Pangan ... 13

Daya Dukung Pangan Wilayah ... 14

Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk ... 17

Faktor Ekonomi ... 18

Pendidikan ... 20

KERANGKA PEMIKIRAN ... 22

METODE PENELITIAN ... 24

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian... 24

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 26

Pengolahan dan Analisis Data ... 26

Definisi Operasional ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 31

Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ... 31

Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan ... 35

Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan ... 37

Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ... 39

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras ... 40

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi jagung ... 44

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu ... 48

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar ... 52

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat... 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

Kesimpulan ... 61

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) .... 8

Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ... 12

Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ... 25

Tabel 4. Jenis data yang dikumpulkan ... 26

Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan

perkotaan ... 32

Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ... 33

Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%)

dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan ... 34

Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan ... 35

Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ... 36

Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%)

dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan ... 36

Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan ... 37

Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan ... 39

Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 40

Tabel 14. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 43

Tabel 15. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 44

Tabel 16. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 46

Tabel 17. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 48

Tabel 18. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 51

(13)

Tabel 20. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 54

Tabel 21. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan berdasarkan uji korelasi

pearson dan regresi linier stepwise ... 56

Tabel 22. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan berdasarkan uji korelasi

pearson dan regresi linier stepwise ... 58

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan ... 6

Gambar 2. Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi. ... 10

Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang ... 11

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan

bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal

Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan

tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif

sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu

menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006).

Sebagaimana kita ketahui, sasaran pertama Millenium Development

Goals (MDGs) adalah bahwa pada tahun 2015 diharapkan angka kemiskinan

dan kelaparan tinggal separuh dari kondisi tahun 1990. Dua dari lima indikator

penjabaran tujuan pertama MDGs adalah: (1) berkurangnya prevalensi kurang

gizi pada anak BALITA (indikator keempat), dan (2) berkurangnya jumlah

penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima). Hal itu mengandung

makna bahwa ketahanan pangan merupakan simpul strategis pencapaian

sasaran MDGs.

Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator.

Indikator ketahanan pangan terdiri dari dua kelompok yaitu indikator proses yang

menggambarkan situasi pangan (ketersediaan dan akses pangan) dan indikator

dampak yang terdiri dari dampak secara langsung (konsumsi dan frekuensi

pangan) dan dampak secara tidak langsung (penyimpanan pangan dan status

gizi) (Maxwell dan Frankerberger 1992).

Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi

jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan

merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk

meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih

lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah

terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta

preferensinya. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, disebutkan bahwa 40,6%

penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70%

kecukupan AKG 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya

rawan pangan di Indonesia.

Berdasarkan kecukupan pola pangan harapan (PPH), kecukupan energi

(16)

serealia dan 6 % untuk kelompok umbi-umbian. Hal tersebut menunjukkan posisi

penting pangan sumber karbohidrat dalam kecukupan energi penduduk. Selain

itu, berdasarkan Susenas 2005, 43,61% kecukupan protein penduduk Indonesia

berasal dari beras. Karena itu, ketidakcukupan pangan sumber karbohidrat bisa

menjadi peringatan kewaspadaan pangan paling dini.

Menurut Hasil penelitian Mauludyani (2008), konsumsi beras nasional

pada tahun 2005 berdasarkan data Susenas telah memenuhi 46,56 % dari

susunan menu makan penduduk. Sementara itu konsumsi jagung, ubi kayu, dan

ubi jalar berturut-turut 1,23%, 1,88%, dan 0,66%. Dari data yang sama,diketahui

pula konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan lebih besar

dibandingkan dengan wilayah perkotaan meskipun keduanya didominasi oleh

konsumsi beras. Konsumsi beras, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di perdesaan

berturut-turut sebesar 50,8%, 1,87%, 2,50%,0,9% sedangkan di perkotaan

berturut-turut sebesar 41,03%, 0,205%, 0,93%, 0,208%.

Penelitian terkait keragaan konsumsi menunjukkan bahwa keragaan

konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri- ciri

demografis,aspek sosial, ekonomi serta potensi sumber daya alam setempat.

Dalam pasal 2 UU no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing

mempunyai pemerintahan daerah. Pembentukkan daerah berdasarkan

pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, budaya,

sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang

memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dalam pasal 2 UU no.22

tahun 1999 tentang pemerintahan daerah disebutkan pengertian kotayaitu

wilayah administrasi yang memiliki kegiatan ekonomi bukan pertanian sehingga

kegiatan pengelolaan sumber daya alam bukan menjadi kegiatan utama karena

kurang tersediaanya sumber daya alam yang dikelola. Sementara kabupaten

memiliki ketersediaan sumber daya alam yang lebih banyak untuk dikelola

sehingga wilayah ini dapat diteliti untuk mengetahui hubungan ketersediaan

dengan pemanfaatan sumberdaya alam serta faktor-faktor lain yang

berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Begitu beragamnya

karakteristik kabupaten karena di dalamnya juga terdapat pembagian kawasan

yaitu kawasan perkotaan maupun perdesaan. Pengertian kawasan perkotaan

(17)

bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan

yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya

alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,

pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa jumlah dari variasi makanan

dan zat gizi yang dikonsumsi setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur

akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim,

tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan

penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan

budaya, termasuk tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang

berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan

produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi

seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian.

Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan

pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan.

Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan

terhadap muncul atau tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli.

Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau

pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi

kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi.

Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang

dimiliki untuk mendapatkan pangan.

Jika konsumsi pangan tidak tercukupi, khususnya pangan karbohidrat

yang merupakan sumber energi maka akan rentan terjadi rawan pangan yang

pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, perlu

dianalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan konsumsi pangan di berbagai

karakteristik wilayah (perdesaan dan perkotaan) dengan pendekatan variabel

ekologi berdasarkan Jelliffe dan Jelliffe (1989) sehingga permasalahan yang ada

dapat diatasi secara tepat.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor ekologi

yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa

(18)

Adapun tujuan khususnya antara lain:

1. Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat pada komoditas beras,

jagung, ubi kayu dan ubi jalar di wilayah perdesaan dan perkotaan.

2. Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan dari produksi,

kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) di wilayah perdesaan dan

perkotaan.

3. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (tingkat kemiskinan,

PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan

perkotaan.

4. Menganalisis hubungan karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan

konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan

perkotaan.

5. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan

sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan positif antara ketersediaan pangan, daya dukung lahan,

tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan dengan konsumsi pangan sumber

karbohidrat

2. Terdapat hubungan negatif antara kepadatan penduduk dan PDRB/kapita

dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat.

3. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan lebih tinggi daripada di

perkotaan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini akan memberikan data atau informasi mengenai

faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat

di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Informasi ini mampu memberikan

gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kondisi fisik wilayah

sebagai variabel ekologi yang dapat berkontribusi dalam penentuan kebijakan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha

memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan

hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan

pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang

stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang

baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan

dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas.

Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah

kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar

dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat

(Hardinsyah 2000)

Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri

dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub

sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi

memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah,

sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga

memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung

jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian,

ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan

dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu

terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004).

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari

pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem

ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan

penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.

Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas

pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub

sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi

pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan

(20)

menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,

pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan,

berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi

(Simatupang 1999 diacu dalam Riadi 2007).

Sumber: Riley,et al. 1999

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan

Pada Gambar 1 (Riley,et al. 1999) dapat dilihat hubungan antara

ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana

gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan

di atas, pada Gambar 1 digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem

(ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta

indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan

yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan

(21)

akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan

pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi

dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses

masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari

pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat

pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh

kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu)

dan akan berdampak pada status gizi.

Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan

pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan.

Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan

terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli.

Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau

pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi

kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi.

Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang

dimiliki untuk mendapatkan pangan.

Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan

maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan

pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai

nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai

bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik

(produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau

sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi

tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya

pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.1999 diacu

dalam Amadona 2003).

Konsumsi Pangan

Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah

tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai

faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan

budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang

yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara

lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara

(22)

berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat

ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan

distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat

pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya

arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

Menurut Jelliffe& Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel

ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian

hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan

yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini

sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan

perbaikan asupannya.

Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia

belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG

2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di

Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2010) dari data konsumsi Susenas

tahun 2002 sampai tahun 2009 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi

pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun)

Tahun Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar

2002 115.5 3.4 12.8 2.8

2003 109.7 2.8 12.0 3.3

2004 107.0 3.2 15.1 5.4

2005 105.2 3.3 15.0 4.0

2006 104.0 3.0 12.6 3.2

2007 100.0 4.2 13.5 2.5

2008 104.9 2.9 12.9 2.8

2009 102,2 2,2 9,6 2,4

Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2010)

Menurut Baliwati dan Roosita (2004) konsumsi pangan adalah jenis dan

jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan

tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait

dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis,

komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi

pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang

menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat

kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan

(23)

Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi

ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah

susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok

orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan

dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan

produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari

kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum

di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah

faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi

(Hardinsyah, et al. 2002)

Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak

faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan

jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya

berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila

pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2)

Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih

pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi,

bagaimana cara pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan

penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor

penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok

orang.

Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange),

dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989

diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada

peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan

rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah

tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka

kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan,

dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah

(24)

Sumber: Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992)

Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi

Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap

kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan,

bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh

rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang

paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan.

Menurut Sukandar, et al. (2007)diacu dalam Fitria (2003), tingkat

kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui

tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok

orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari

70% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau

kelompok orang (rumah tangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi

pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan

pangan). Depkes (1996) diacu dalam Fitria (2003) mengklasifikasikan tingkat

kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat

(<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal

(90-119%) dan lebih (>120%).

Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara

kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang

dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang

(25)

pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada

Gambar3.

Sumber: Hardinsyah,et al. (2002)

Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang

Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah Karakteristik Wilayah

Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989) indikator demografi wilayah merupakan

salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah

antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta

penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah

penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.

Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan

perkotaan (BPS 2007).

Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita

penduduk di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan tanpa

memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak

berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat

perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan

komposisi makanannya (Braun, et al. 1993). Dapat diasumsikan bahwa

pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi

dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan

energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat

(26)

yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis

1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993).

Menurut BPS (2007), untuk menentukan suatu wilayah termasuk

perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator

gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah

variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan

akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2.

Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2)

menunjukkan nilai skor dari setiap variabel.

Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007)

Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor Total Skor

Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut:

a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi

daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi

(27)

sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama

dengan 8500 orang per km2.

b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah

memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99

persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah

tangga tani kurang dari 5.

c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan

dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.

d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak

memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas

perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut

dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1,

dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut

serupa dengan memiliki.

e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan

apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan.

Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah

perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau

lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan.

Ketersediaan Pangan

Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun

1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan

ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,

mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap

individu (Suryana 2001).

Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua

komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses

terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat

bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan

pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk

akses pangan

Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976.

Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga

dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

(28)

DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1)

produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan.

Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang

besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh

beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga

dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak

mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor

pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari

produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka

harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai

swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara

mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi

dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003).

Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang

salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap

konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang

tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak

menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada

variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat.

Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh

wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah.

Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin

perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat

miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di

perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada

ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993).

Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin

perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan

pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan.

Daya Dukung Pangan Wilayah

Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum

populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa

mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama

pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia.

(29)

menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 2002

diacu dalam Absari 2007).

Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal

penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya

tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang

tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa

awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich

(1971) dan Holdren (1974) diacu dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa

akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah

sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya

yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk

dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat

yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah

sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang

produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah

populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah

wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air

bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung

populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu

yang tidak terbatas.

a. Daya Dukung Lahan

Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan

cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan

penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan

kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan

karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa

istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya,

Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya

kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini

menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah

penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu

(30)

Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):

Dimana:

K = daya dukung lahan (orang/ha)

ASi = luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)

Ysi = produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)

Csi = tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan

dalam menu penduduk (%kkal/tahun)

R = kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)

Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human

carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity.

Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang

dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa

penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical

carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial

termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard 2002 diacu

dalam Absari 2007).

Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat

menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun

kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus

dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi

matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan

bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan

obat-obatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga

dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan

mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat

kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode

yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi

pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola

konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar

(31)

b. Daya Dukung Gizi

Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum

manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat

tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk

mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi

budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun

dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan

kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut

pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah.

Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional

carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor

yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah

dapat terwujud (Paul, et al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan

suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu

wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat

terwujud secara berkesinambungan.

Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk

Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), salah satu indikator yang berkaitan

dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah

banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah.

Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah

rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan

penduduk (jiwa/km2). BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di

Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000

jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk

sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2).

Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti

deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan

teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat

dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa

meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat

mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas.

Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju

(32)

peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang

harus dipenuhi kebutuhan pangannya.

Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah

yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh

pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan

mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink

1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005).

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata

pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang

sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang

harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu

keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari

keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada

keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster

dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup

nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi

penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong

untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi

pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan.

Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya

populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan

yang diperoleh oleh penduduk.

Faktor Ekonomi a. Tingkat Kemiskinan

Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan

sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan

perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat

desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,

pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan

lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan

hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan

maupun laki-laki.

Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan

(33)

pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis

kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan

pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan

menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya

beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber

daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap

pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan

merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati

2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat

mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,

kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan

public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan

terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah,

kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi

kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam

Ulfani 2010).

Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan

absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah

garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam

Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan

biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan

bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat

miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian

pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005).

b. Pendapatan

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran

kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu.

PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS

2005).

PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan

sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang

laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB

berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2)

(34)

bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7)

pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan,

9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005).

Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada

penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor

ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk

tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan

rata-rata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun

(BPS 2008).

Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap

konsumsi pangan. Zulfianto (1990) diacu dalam Ratna (2005) menyatakan

bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah

sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan

pun meningkat. Menurut Soehardjo (1998) kenaikan tingkat pendapatan akan

menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun

kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang

dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan

yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 2002).

Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan

yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh

dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan

kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak,

minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 1998).

Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis

pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian

pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi

pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli

untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari

susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi

pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya

termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 1986)

Pendidikan

Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah

pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam

(35)

menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi

kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi

diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik.

Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau

jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia,

Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga

penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan

dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat

hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan

pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat

pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan

menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa

tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk

(36)

KERANGKA PEMIKIRAN

Salah satu cara untuk mengukur kecukupan gizi adalah mengetahui

tingkat konsumsi masyarakatnya. Konsumsi pangan yang dapat diketahui

dengan menggunakan data hasil survei Riskesdas (Riset kesehatan dasar)

dihitung secara kuantitas dengan standar angka kecukupan gizi (AKG) untuk

menentukan konsumsinya (kkal/kap/hari). Salah satu indikator dari penjabaran

tujuan pertama MDGs adalah berkurangnya jumlah penduduk defisit energi atau

kelaparan (indikator kelima). Karena itu konsumsi energi penduduk khususnya

pangan sumber karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar dalam

susunan makanan perlu diketahui untuk melihat gambaran pemenuhan

kecukupan energi penduduk.

Konsumsi pangan masyarakat khususnya konsumsi energi dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang akan diteliti antara lain, faktor fisik,

sosial dan ekonomi. Faktor fisik yaitu ketersediaan pangan sumber karbohidrat,

kepadatan penduduk dan daya dukung lahan tanaman pangan wilayah

khususnya tanaman pangan sumber karbohidrat. Sementara faktor sosial

ekonomi mencakup PDRB/kapita wilayah, tingkat kemiskinan, dan tingkat

pendidikan.

Semakin tinggi daya dukung lahan maka diharapkan produksinya

semakin tinggi dan akan meningkatkan konsumsi pangan penduduk. Namun

belum tentu pula jika daya dukung lahan rendah konsumsinya juga rendah,

karena penduduk bisa mendapatkan makanannya dengan impor dari wilayah

lain. Menurut Hardinsyah 2007 diduga keragaman konsumsi pangan dipengaruhi

oleh tingkat pendidikan. Sehingga dapat dikatakan semakin tinggi tingkat

pendidikan maka keragaman konsumsi pangan semakin meningkat. Begitu pula

dengan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang berpengaruh dalam keragaman

konsumsi pangan. Semakin rendah pendapatan dan semakin tinggi tingkat

kemiskinan maka konsumsi pangannya akan lebih dialokasikan untuk

(37)

Gambar4. Kerangka pemikiran

Keterangan gambar:

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

: hubungan yang diteliti

: hubungan yang tidak diteliti

AKSES FISIK

KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT

Daya dukung lahan Produksi pangan

sumber karbohidrat

Jumlah penduduk Luas lahan

AKSES SOSIAL EKONOMI:

 Tingkat kemiskinan

 PDRB/ kapita

 Tingkat pendidikan

Kepadatan penduduk Ketersediaan

(38)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini

dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset

kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara

purposive yaitu 1)tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3)

tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk

usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan

menurut BPS 2000. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007.

Penelitian dilakukan selama enam bulan, yaitu bulan Oktober 2010 sampai

Maret 2011

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh penelitian ini adalah kabupaten di Indonesia yang dipilih dengan

pemenuhan kriteria yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data

PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat

pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik

perdesaan dan perkotaan menurut BPS 2000. Data terkumpul yang memenuhi

kriteria pertama sampai kriteria keempat berjumlah 96 kabupaten dari 347

kabupaten. Kemudian dilakukan pengklasifikasian contoh berdasarkan

karakteristik wilayah perdesaan dan perkotaan menggunakan klasifikasi BPS

2000 (Tabel 3). Hasilnya didapatkan 31 kabupaten dengan karakteristik

perkotaan dan 65 kabupaten dengan karakteristik perdesaan. Contoh untuk

wilayah perdesaan hanya diambil 31 kabupaten karena akan dilakukan uji beda

dengan wilayah perkotaan. Pengambilan contoh pada wilayah perdesaan

dilakukan berdasarkan proporsi tiap wilayah (pulau).

Untuk menentukan suatu daerah termasuk perdesaan dan perkotaan

digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya

didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan

penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum.

Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 3. Kolom (1) menunjukkan

variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari

(39)

Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007)

Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor Total Skor

Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut:

a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi

daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi

daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya

sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama

dengan 8500 orang per km2.

b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah

memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99

persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah

Gambar

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan
Tabel  1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun)
Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi
Gambar3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beliau merupakan seorang Ulama “kondang”di Kecamatan Susukan dan sekitarnya. Aktivitas kesehariannya adalah mengasuh dan mengajar ilmu agama di masjid dan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemampuan membran nilon pada filtrasi bertahap dengan variasi tekanan dan bobot nilon menggunakan sistem cross-flow untuk

Semua firman Tuhan dikutip dari ALKITAB Terjemahan Baru (TB) ©1974 Muzik dicipta oleh Angellyn A.. 10 Lalu Daud memuji YAHWEH di depan mata segenap

Setiap saat Berkas pemohonan informasi yang telah diisi lengkap dan dilampiri fotocopy/scan identitas diri 2 Memberikan pertimbangan atas informasi/dokumen yang dimaksud

Dengan reputasi lembaga FSRD ITB yang luas baik di tingkat nasional, regional dan internasional, FSRD ITB selalu mendapat kehormatan untuk dapat menjadi bagian

Allah berfirman “Dan Kami telah menurunkan al qur-aan sebagai penjelas terhadap segala sesuatu…” (TQS. Dan Allah berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian

Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa nilai signifikansi (p-value) variabel tingkat risiko (0,0056) lebih rendah dari tingkat signifikansi 0,05, sehingga dapat