FAKTOR
–
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA
WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI
SUCI APRIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
SUCI APRIANI. Factors that Influence the Consumption of Carbohydrate Food Sources in Some Rural and Urban Area: Ecological Study. Under the guidance of
YAYUK FARIDA BALIWATI.
The study was aim to analyze the ecological factors (food availability, carriying capacity, population density, poverty levels, GDP per capita, education levels) that influence the consumption of carbohydrate food sources in some rural and urban areas. This study was conducted using cross sectional study design, analyzed the 62 district in Indonesia. Data food consumption obtained from Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Data food production, population density, poverty levels, GDP per capita of the region, and education level obtained from the Central Statistic Agency (BPS). Data carriying capacity was calculated by formula.Statical test of pearson correlation and stepwise linear regression method were implemented to understand factors that influence consumption of carbohydrate food sources:rice, corn, cassava and sweet potato in rural and urban area. The study show that factor influenced consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area was food availability. Factor that influence consumption of carbohydrate food sources in rural and urban area is availability. Factor that influence consumption rice in rural area was food availability, while in urban area were food availability and poverty levels. Factor that influence consumption corn in rural area was poverty levels, while in urban area was food availability. Factor that influence consumption cassava in rural and urban area was population density. Factors that influence consumption sweet potato in rural area were carriying capacity and GDP per capita, while in urban area was poverty levels.
RINGKASAN
SUCI APRIANI. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi. Dibimbing oleh YAYUK F. BALIWATI
Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Salah satu aspek dalam ketahanan pangan adalah konsumsi pangan. Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. Konsumsi pangan sumber karbohidrat memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi karena separuh dari energi yang dikonsumsi berasal dari pangan sumber karbohidrat.Jika permasalahan dalam pemenuhan konsumsi pangan tidak diatasi, maka dapat berdampak pada terjadi kurang gizi dan penurunan kualitas kehidupan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (1) Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(2) Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) diwilayah perdesaan dan perkotaan;(3) Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (tingkat kemiskinan, PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan perkotaan;(4) Menganalisis hubungan Karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan;(5) Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan.
Penelitian ini didesain menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007. Berdasarkan kriteria tersebut, diambil 31 contoh untuk daerah perkotaan dan 31 contoh untuk daerah perdesaan. Sehingga jumlah contoh keseluruhan adalah 62 kabupaten.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yang terdiri atas: ketersediaan pangan, kepadatan penduduk, daya dukung lahan, tingkat kemiskinan, PDRB/kapita wilayah, dan tingkat pendidikan. Variabel tak bebas adalah konsumsi pangan sumber karbohidrat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Microsoft excel 2007 for windows dan SPSS 16.0 for Windows dengan menngunakan uji beda Independent Sample T-test, korelasi pearson,dan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise.
pendidikan (p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan maupun di perkotaan lebih didominasi oleh beras.Kecukupan konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 961 kkal/kap/hari.
Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan juga didominasi oleh beras.Kecukupan ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di perdesaan adalah 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan adalah 1934 kkal/kap/hari.Kepadatan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 1144 jiwa/km2 dibandingkan di perdesaan yaitu 249 jiwa/km2. Daya dukung lahan di perdesaan lebih rendah daripada di perkotaan yaitu 6,62 orang/ha. Sementara itu daya dukung lahan di perkotaan meskipun lebih tinggi daripada di perdesaan yaitu 7,16 orang/ha namun angka tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya.Tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan yaitu 21% dan72% sedangkan di perkotaan yaitu 17% dan 64%. PDRB/kapita di perdesaan adalah Rp 7,373,000.00 dimana nilai tersebut lebih rendah daripada di perkotaan yaitu Rp 10,913,000.00
Berdasarkan hasil korelasi pearson, faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan(r=0,474, p<0,01), daya dukung lahan(r=0,403, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,443, p<0,05). Faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perkotaan adalah ketersediaan (r=0,581, p<0,01) dan tingkat kemiskinan (r=0,412, p<0,05). Pada konsumsi jagung, faktor yang berhubungan dengan konsumsi jagung di perdesaan adalah ketersediaan (r=0,556, p<0,01), daya dukung lahan (r=0,535, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,627, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,552, p<0,01). Sementara itu di perkotaan, konsumsi jagung berhubungan dengan ketersediaan (r=0,607, p<0,01) dan PDRB/kapita (r=-0,394, p<0,05). Konsumsi ubi kayu di perdesaan berhubungan dengan faktor ketersediaan (r=0,484, p<0,01), kepadatan penduduk (r=-0,541, p<0,01), tingkat kemiskinan (r=0,377, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,387, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi ubi kayu berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,323, p<0,05). Konsumsi ubi jalar di perdesaan berhubungan dengan kepadatan penduduk (r=-0,403, p<0,05), daya dukung lahan (r=0,467, p<0,05) dan PDRB/kapita (r=-0,427,p<0,05. Konsumsi ubi jalar di perkotaan berhubungan dengan tingkat kemiskinan (r=-0,426, p<0,05)) dan PDRB/kapita (r=0,413, p<0,05). Konsumsi pangan sumber karbohidrat total di perdesaan berhubungan dengan ketersediaan(r=0,485, p<0,01), PDRB/kapita (r=0,384, p<0,05) dan tingkat pendidikan (r=0,435, p<0,05). Di perkotaan, konsumsi pangan sumber karbohidrat total berhubungan dengan ketersediaan (r=0,360, p<0,05).
FAKTOR
–
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA
WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI
SUCI APRIANI
Skripsi
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Judul : Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat di beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi
Ekologi
Nama : Suci Apriani
NIM : I14061937
Disetujui:
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP.19621218 198703 1 001
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Beberapa Wilayah Perdesaan dan Perkotaan: Studi Ekologi”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Djuharso, Mas Nanang,
Mba Tini, Mba Wiwin, Mas Min serta seluruh keluarga penulis atas kasih sayang,
perhatian dan dukungan dalam bentuk materi maupun moral. Selain itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan.
2. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pemandu seminar dan dosen
penguji atas segala saran dan masukan yang diberikan.
3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pembimbing akademik.
4. Bu Dian Rahim, Mita, Mesil, Anri, Makcik, Dya, dan Rani yang telah menjadi
keluarga kecil penulis selama di IPB. Semoga kita dapat berkumpul kembali
di jannah-Nya dalam suatu lingkaran. Aamin.
5. Seluruh penghuni Andaleb 2 spesial untuk Memi, Mifta, Mba Devi, Dinda,
Aling atas segala perhatian, dukungan dan keceriaan yang diberikan dalam
keseharian penulis.
6. Nadya Dwi Muchisa, S.Stat atas kesediaan waktunya untuk berbagi ilmu
statistika, sehingga pengolahan data skripsi ini dapat berjalan lancar.
7. Reti, Avi, Dianita,Dini, Rai, Fatimah, Mba Nisa, Mba Ncun, Ipung, Daniel, Wirudy dan seluruh “sahabat FEMA&IPB”atas dukungan, masukan, dan motivasi untuk terus lebih baik.
8. Sahabat satu “kampung” Gita, Rizka, Septin, Mei yang telah bersama-sama
mengadu nasib bersama penulis dengan segala suka dan duka di kampus
IPB.
9. Sahabat seperjuangan skripsi: Dian Hani, Dewi Ratih, dan A‟immatul
Fauziyah, serta teman-teman pembahas: Hadi, Nadia, Ima, dan Diana.
10. Semua sahabat Gizi Masyarakat angkatan ‟43, ‟44, ‟45, ‟46 atas dukungan
dan semangat yang diberikan.
11. Keluarga besar Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU atas segala
12. Teman-teman pengurus LDK AL HURRIYYAH 2007-2009, pengurus
FORSIA 2008-2010 dan pengurus FORHUMAN 2010 atas kebersamaan,
kerja sama dan pelajaran hidup yang penulis dapatkan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2011
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Banyumas, 29 April 1989 dari pasangan Bapak
Djuharso dan Ibu Partini yang merupakan anak kelima dari lima bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD Muhammadiyyah 02 Pasir Kidul, kemudian
dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Purwokerto dan SMU Negeri 1 Purwokerto. Pada
tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya LDK
DKM Al Hurriyyah dan Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA). Penulis pernah
mengikuti program pekan kreativitas mahasiswa bidang kewirausahaan (PKMK)
dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2009. Selain itu penulis juga berkesempatan
menjadi asisten praktikum Ekologi Manusia dan asisten Pendidikan Agama
Islam.
Pada tahun 2009 penulis melaksanakan kuliah kerja praktek (KKP) di
desa Petir, Kabupaten Bogor. Serta pada tahun 2010 penulis juga melaksanakan
DAFTAR ISI
Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan ... 5
Konsumsi Pangan ... 7
Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah ... 11
Karakteristik Wilayah ... 11
Ketersediaan Pangan ... 13
Daya Dukung Pangan Wilayah ... 14
Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk ... 17
Faktor Ekonomi ... 18
Pendidikan ... 20
KERANGKA PEMIKIRAN ... 22
METODE PENELITIAN ... 24
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian... 24
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 24
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 26
Pengolahan dan Analisis Data ... 26
Definisi Operasional ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 31
Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ... 31
Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan ... 35
Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan ... 37
Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan ... 39
Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras ... 40
Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi jagung ... 44
Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu ... 48
Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar ... 52
Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat... 55
KESIMPULAN DAN SARAN ... 61
Kesimpulan ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 64
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) .... 8
Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ... 12
Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS) ... 25
Tabel 4. Jenis data yang dikumpulkan ... 26
Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan
perkotaan ... 32
Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ... 33
Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%)
dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan ... 34
Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan ... 35
Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan ... 36
Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%)
dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan ... 36
Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan ... 37
Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan ... 39
Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 40
Tabel 14. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 43
Tabel 15. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 44
Tabel 16. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi jagung di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 46
Tabel 17. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 48
Tabel 18. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi kayu di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 51
Tabel 20. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi ubi jalar di perkotaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise... 54
Tabel 21. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan berdasarkan uji korelasi
pearson dan regresi linier stepwise ... 56
Tabel 22. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan berdasarkan uji korelasi
pearson dan regresi linier stepwise ... 58
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan ... 6
Gambar 2. Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi. ... 10
Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang ... 11
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Universal
Declaration of Human Rights tahun 1948 dan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 tahun 1996 mengenai pangan. Berdasarkan kesepakatan
tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif
sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya dan mampu
menjangkau pangan secara cukup (DKP 2006).
Sebagaimana kita ketahui, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MDGs) adalah bahwa pada tahun 2015 diharapkan angka kemiskinan
dan kelaparan tinggal separuh dari kondisi tahun 1990. Dua dari lima indikator
penjabaran tujuan pertama MDGs adalah: (1) berkurangnya prevalensi kurang
gizi pada anak BALITA (indikator keempat), dan (2) berkurangnya jumlah
penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator kelima). Hal itu mengandung
makna bahwa ketahanan pangan merupakan simpul strategis pencapaian
sasaran MDGs.
Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai indikator.
Indikator ketahanan pangan terdiri dari dua kelompok yaitu indikator proses yang
menggambarkan situasi pangan (ketersediaan dan akses pangan) dan indikator
dampak yang terdiri dari dampak secara langsung (konsumsi dan frekuensi
pangan) dan dampak secara tidak langsung (penyimpanan pangan dan status
gizi) (Maxwell dan Frankerberger 1992).
Menurut Suryana (2004), pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi
jumlah, mutu, gizi dan keamanannya dalam konteks ketahanan pangan
merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas untuk
meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran global. DKP (2006) lebih
lanjut menyatakan bahwa salah satu indikator ketahanan pangan adalah
terjaminnya konsumsi pangan, sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan serta
preferensinya. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, disebutkan bahwa 40,6%
penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70%
kecukupan AKG 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya
rawan pangan di Indonesia.
Berdasarkan kecukupan pola pangan harapan (PPH), kecukupan energi
serealia dan 6 % untuk kelompok umbi-umbian. Hal tersebut menunjukkan posisi
penting pangan sumber karbohidrat dalam kecukupan energi penduduk. Selain
itu, berdasarkan Susenas 2005, 43,61% kecukupan protein penduduk Indonesia
berasal dari beras. Karena itu, ketidakcukupan pangan sumber karbohidrat bisa
menjadi peringatan kewaspadaan pangan paling dini.
Menurut Hasil penelitian Mauludyani (2008), konsumsi beras nasional
pada tahun 2005 berdasarkan data Susenas telah memenuhi 46,56 % dari
susunan menu makan penduduk. Sementara itu konsumsi jagung, ubi kayu, dan
ubi jalar berturut-turut 1,23%, 1,88%, dan 0,66%. Dari data yang sama,diketahui
pula konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan lebih besar
dibandingkan dengan wilayah perkotaan meskipun keduanya didominasi oleh
konsumsi beras. Konsumsi beras, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di perdesaan
berturut-turut sebesar 50,8%, 1,87%, 2,50%,0,9% sedangkan di perkotaan
berturut-turut sebesar 41,03%, 0,205%, 0,93%, 0,208%.
Penelitian terkait keragaan konsumsi menunjukkan bahwa keragaan
konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri- ciri
demografis,aspek sosial, ekonomi serta potensi sumber daya alam setempat.
Dalam pasal 2 UU no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah. Pembentukkan daerah berdasarkan
pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, budaya,
sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dalam pasal 2 UU no.22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah disebutkan pengertian kotayaitu
wilayah administrasi yang memiliki kegiatan ekonomi bukan pertanian sehingga
kegiatan pengelolaan sumber daya alam bukan menjadi kegiatan utama karena
kurang tersediaanya sumber daya alam yang dikelola. Sementara kabupaten
memiliki ketersediaan sumber daya alam yang lebih banyak untuk dikelola
sehingga wilayah ini dapat diteliti untuk mengetahui hubungan ketersediaan
dengan pemanfaatan sumberdaya alam serta faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Begitu beragamnya
karakteristik kabupaten karena di dalamnya juga terdapat pembagian kawasan
yaitu kawasan perkotaan maupun perdesaan. Pengertian kawasan perkotaan
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan
yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya
alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa jumlah dari variasi makanan
dan zat gizi yang dikonsumsi setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur
akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim,
tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan
penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan
budaya, termasuk tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang
berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan
produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi
seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian.
Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan
pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan.
Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan
terhadap muncul atau tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli.
Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau
pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi
kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi.
Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang
dimiliki untuk mendapatkan pangan.
Jika konsumsi pangan tidak tercukupi, khususnya pangan karbohidrat
yang merupakan sumber energi maka akan rentan terjadi rawan pangan yang
pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, perlu
dianalisis faktor-faktor yang berkaitan dengan konsumsi pangan di berbagai
karakteristik wilayah (perdesaan dan perkotaan) dengan pendekatan variabel
ekologi berdasarkan Jelliffe dan Jelliffe (1989) sehingga permasalahan yang ada
dapat diatasi secara tepat.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor ekologi
yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat di beberapa
Adapun tujuan khususnya antara lain:
1. Mengetahui konsumsi pangan sumber karbohidrat pada komoditas beras,
jagung, ubi kayu dan ubi jalar di wilayah perdesaan dan perkotaan.
2. Mengetahui karakteristik fisik (ketersediaan pangan dari produksi,
kepadatan penduduk, dan daya dukung lahan) di wilayah perdesaan dan
perkotaan.
3. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi (tingkat kemiskinan,
PDRB/kapita dan tingkat pendidikan) di wilayah perdesaan dan
perkotaan.
4. Menganalisis hubungan karakteristik fisik dan sosial ekonomi dengan
konsumsi pangan sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan
perkotaan.
5. Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan
sumber karbohidrat di wilayah perdesaan dan perkotaan.
Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan positif antara ketersediaan pangan, daya dukung lahan,
tingkat kemiskinan dan tingkat pendidikan dengan konsumsi pangan sumber
karbohidrat
2. Terdapat hubungan negatif antara kepadatan penduduk dan PDRB/kapita
dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat.
3. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan lebih tinggi daripada di
perkotaan.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan memberikan data atau informasi mengenai
faktor-faktor ekologi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber karbohidrat
di beberapa wilayah perdesaan dan perkotaan. Informasi ini mampu memberikan
gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kondisi fisik wilayah
sebagai variabel ekologi yang dapat berkontribusi dalam penentuan kebijakan
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.Manusia selalu berusaha
memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan
hidup.Menurut Suryana (2004) negara atau wilayah mempunyai ketahanan
pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang
stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang
baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan
dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas.
Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 1996 adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Dalam World Food Summit 1996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar
dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat
(Hardinsyah 2000)
Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri
dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub
sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi
memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah,
sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga
memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung
jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian,
ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan
dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu
terhadap pangan yang cukup (Suryana 2004).
Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari
pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem
ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan
penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.
Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas
pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub
sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi
pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan
menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,
pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan,
berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi
(Simatupang 1999 diacu dalam Riadi 2007).
Sumber: Riley,et al. 1999
Gambar 1. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan
Pada Gambar 1 (Riley,et al. 1999) dapat dilihat hubungan antara
ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana
gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan
di atas, pada Gambar 1 digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem
(ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta
indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan
yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan
akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan
pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi
dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses
masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari
pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat
pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh
kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu)
dan akan berdampak pada status gizi.
Menurut Soehardjo (1998) diacu dalam Fitria (2003) bahwa penyediaan
pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan.
Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan
terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli.
Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau
pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi
kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi.
Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang
dimiliki untuk mendapatkan pangan.
Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan
maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan
pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai
nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai
bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik
(produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau
sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi
tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya
pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.1999 diacu
dalam Amadona 2003).
Konsumsi Pangan
Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah
tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai
faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan
budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang
yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara
lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara
berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat
ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan
distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat
pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya
arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).
Menurut Jelliffe& Jelliffe (1989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel
ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian
hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan
yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini
sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan
perbaikan asupannya.
Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa 40,6% penduduk Indonesia
belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 70% kecukupan AKG
2004). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di
Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2010) dari data konsumsi Susenas
tahun 2002 sampai tahun 2009 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi
pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun)
Tahun Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar
2002 115.5 3.4 12.8 2.8
2003 109.7 2.8 12.0 3.3
2004 107.0 3.2 15.1 5.4
2005 105.2 3.3 15.0 4.0
2006 104.0 3.0 12.6 3.2
2007 100.0 4.2 13.5 2.5
2008 104.9 2.9 12.9 2.8
2009 102,2 2,2 9,6 2,4
Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2010)
Menurut Baliwati dan Roosita (2004) konsumsi pangan adalah jenis dan
jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan
tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait
dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis,
komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi
pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat
kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan
Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah
susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok
orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan
dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan
produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum
di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi
(Hardinsyah, et al. 2002)
Menurut Riyadi (1996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Ketersediaan pangan, jenis,dan
jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya
berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila
pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2)
Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih
pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi,
bagaimana cara pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan
penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor
penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok
orang.
Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange),
dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 1989
diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 1992). Analisis Swift difokuskan pada
peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan
rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah
tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka
kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan,
dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah
Sumber: Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992)
Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi
Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap
kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan,
bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh
rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang
paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan.
Menurut Sukandar, et al. (2007)diacu dalam Fitria (2003), tingkat
kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok
orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari
70% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau
kelompok orang (rumah tangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi
pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan
pangan). Depkes (1996) diacu dalam Fitria (2003) mengklasifikasikan tingkat
kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat
(<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal
(90-119%) dan lebih (>120%).
Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara
kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang
dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang
pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada
Gambar3.
Sumber: Hardinsyah,et al. (2002)
Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang
Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah Karakteristik Wilayah
Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989) indikator demografi wilayah merupakan
salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah
antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta
penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah
penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.
Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan
perkotaan (BPS 2007).
Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita
penduduk di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan tanpa
memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak
berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat
perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan
komposisi makanannya (Braun, et al. 1993). Dapat diasumsikan bahwa
pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi
dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan
energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat
yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis
1990b; Hussain 1990 diacu dalam Braun, et al. 1993).
Menurut BPS (2007), untuk menentukan suatu wilayah termasuk
perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator
gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah
variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan
akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2.
Kolom (1) menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2)
menunjukkan nilai skor dari setiap variabel.
Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007)
Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor Total Skor
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut:
a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi
daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi
sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama
dengan 8500 orang per km2.
b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah
memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99
persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah
tangga tani kurang dari 5.
c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan
dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan.
d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Daerah yang tidak
memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas
perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut
dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1,
dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut
serupa dengan memiliki.
e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan
apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan.
Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah
perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai 10 atau
lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan.
Ketersediaan Pangan
Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun
1997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan
ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,
mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap
individu (Suryana 2001).
Menurut Soetrisno (1995) diacu dalam Marwati (2001) bahwa dua
komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses
terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat
bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan
pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk
akses pangan
Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 1976.
Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga
dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 1989).
DKP (2006) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu 1)
produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan.
Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang
besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain: 1) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga
dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak
mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor
pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari
produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka
harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai
swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara
mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi
dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 2004 diacu dalam Amadona 2003).
Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang
salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap
konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang
tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak
menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada
variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat.
Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh
wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah.
Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin
perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat
miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di
perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada
ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 1986 diacu dalam Braun,et al.1993).
Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin
perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan
pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan.
Daya Dukung Pangan Wilayah
Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum
populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa
mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama
pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia.
menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 2002
diacu dalam Absari 2007).
Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal
penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya
tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang
tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa
awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich
(1971) dan Holdren (1974) diacu dalam Kurnia (2005) menyebutkan bahwa
akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah
sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya
yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk
dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat
yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah
sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang
produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah
populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah
wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air
bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung
populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu
yang tidak terbatas.
a. Daya Dukung Lahan
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan
cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan
penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan
kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan
karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa
istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola, et al. 2007). Selanjutnya,
Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya
kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini
menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah
penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 2005 diacu
Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 2007):
Dimana:
K = daya dukung lahan (orang/ha)
ASi = luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha)
Ysi = produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun)
Csi = tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan
dalam menu penduduk (%kkal/tahun)
R = kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun)
Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human
carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity.
Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang
dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa
penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical
carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial
termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard 2002 diacu
dalam Absari 2007).
Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat
menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun
kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus
dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.Energi
matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan
bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan
obat-obatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga
dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan
mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat
kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode
yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi
pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola
konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar
b. Daya Dukung Gizi
Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum
manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat
tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk
mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi
budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun
dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan
kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut
pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah.
Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional
carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor
yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah
dapat terwujud (Paul, et al. 1993 diacu dalam Absari 2007). Untuk itu diperlukan
suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu
wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat
terwujud secara berkesinambungan.
Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk
Menurut Jelliffe dan Jelliffe (1989), salah satu indikator yang berkaitan
dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah
banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah.
Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah
rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan
penduduk (jiwa/km2). BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di
Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000
jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk
sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2).
Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti
deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan
teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat
dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (1989) menyatakan bahwa
meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat
mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas.
Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju
peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang
harus dipenuhi kebutuhan pangannya.
Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah
yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh
pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan
mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink
1998 diacu dalam Sulistiyowati 2005).
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang
sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang
harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu
keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada
keluarga besar tersebut (Suhardjo 1989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster
dan Bentaya (2005) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup
nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi
penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong
untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi
pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan.
Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (1989) bahwa banyaknya
populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan
yang diperoleh oleh penduduk.
Faktor Ekonomi a. Tingkat Kemiskinan
Bappenas (2004) diacu dalam Harniati (2008) mendefinisikan kemiskinan
sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat
desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan
maupun laki-laki.
Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan
pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis
kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan
pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan
menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya
beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber
daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap
pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan
merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati
2008). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat
mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,
kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan
public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan
terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah,
kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 1981; Sahdan 2007 diacu dalam
Ulfani 2010).
Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan
absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah
garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 2004 diacu dalam
Ulfani 2010). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan
biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan
bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat
miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian
pendapatannya (Gerster dan Bentaya 2005).
b. Pendapatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran
kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu.
PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS
2005).
PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan
sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang
laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB
berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: 1) pertanian, 2)
bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7)
pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan,
9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 2005).
Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada
penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor
ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk
tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan
rata-rata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun
(BPS 2008).
Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap
konsumsi pangan. Zulfianto (1990) diacu dalam Ratna (2005) menyatakan
bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah
sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan
pun meningkat. Menurut Soehardjo (1998) kenaikan tingkat pendapatan akan
menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun
kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang
dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan
yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 2002).
Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan
yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh
dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan
kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak,
minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 1998).
Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis
pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian
pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi
pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli
untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari
susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi
pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya
termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 1986)
Pendidikan
Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah
pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam
menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi
kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi
diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik.
Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau
jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia,
Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga
penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan
dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat
hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan
pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan bahwa tingkat
pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau
masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan
menurut Syarief (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa
tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk
KERANGKA PEMIKIRAN
Salah satu cara untuk mengukur kecukupan gizi adalah mengetahui
tingkat konsumsi masyarakatnya. Konsumsi pangan yang dapat diketahui
dengan menggunakan data hasil survei Riskesdas (Riset kesehatan dasar)
dihitung secara kuantitas dengan standar angka kecukupan gizi (AKG) untuk
menentukan konsumsinya (kkal/kap/hari). Salah satu indikator dari penjabaran
tujuan pertama MDGs adalah berkurangnya jumlah penduduk defisit energi atau
kelaparan (indikator kelima). Karena itu konsumsi energi penduduk khususnya
pangan sumber karbohidrat sebagai penyumbang energi terbesar dalam
susunan makanan perlu diketahui untuk melihat gambaran pemenuhan
kecukupan energi penduduk.
Konsumsi pangan masyarakat khususnya konsumsi energi dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang akan diteliti antara lain, faktor fisik,
sosial dan ekonomi. Faktor fisik yaitu ketersediaan pangan sumber karbohidrat,
kepadatan penduduk dan daya dukung lahan tanaman pangan wilayah
khususnya tanaman pangan sumber karbohidrat. Sementara faktor sosial
ekonomi mencakup PDRB/kapita wilayah, tingkat kemiskinan, dan tingkat
pendidikan.
Semakin tinggi daya dukung lahan maka diharapkan produksinya
semakin tinggi dan akan meningkatkan konsumsi pangan penduduk. Namun
belum tentu pula jika daya dukung lahan rendah konsumsinya juga rendah,
karena penduduk bisa mendapatkan makanannya dengan impor dari wilayah
lain. Menurut Hardinsyah 2007 diduga keragaman konsumsi pangan dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan. Sehingga dapat dikatakan semakin tinggi tingkat
pendidikan maka keragaman konsumsi pangan semakin meningkat. Begitu pula
dengan pendapatan dan tingkat kemiskinan yang berpengaruh dalam keragaman
konsumsi pangan. Semakin rendah pendapatan dan semakin tinggi tingkat
kemiskinan maka konsumsi pangannya akan lebih dialokasikan untuk
Gambar4. Kerangka pemikiran
Keterangan gambar:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang diteliti
: hubungan yang tidak diteliti
AKSES FISIK
KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT
Daya dukung lahan Produksi pangan
sumber karbohidrat
Jumlah penduduk Luas lahan
AKSES SOSIAL EKONOMI:
Tingkat kemiskinan
PDRB/ kapita
Tingkat pendidikan
Kepadatan penduduk Ketersediaan
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.Penelitian ini
dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset
kesehatan dasar tahun 2007 dan data BPS. Lokasi penelitian dipilih secara
purposive yaitu 1)tersedia data konsumsi, 2) tersedia data PDRB/kapita, 3)
tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat pendidikan penduduk
usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik perdesaan dan perkotaan
menurut BPS 2000. Semua data tersebut terdapat dalam kurun waktu 2007.
Penelitian dilakukan selama enam bulan, yaitu bulan Oktober 2010 sampai
Maret 2011
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Contoh penelitian ini adalah kabupaten di Indonesia yang dipilih dengan
pemenuhan kriteria yaitu 1) tersedia data konsumsi, 2) tersedia data
PDRB/kapita, 3) tersedia data tingkat kemiskinan, 4) tersedia data tingkat
pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas, dan 5) mewakili karakteristik
perdesaan dan perkotaan menurut BPS 2000. Data terkumpul yang memenuhi
kriteria pertama sampai kriteria keempat berjumlah 96 kabupaten dari 347
kabupaten. Kemudian dilakukan pengklasifikasian contoh berdasarkan
karakteristik wilayah perdesaan dan perkotaan menggunakan klasifikasi BPS
2000 (Tabel 3). Hasilnya didapatkan 31 kabupaten dengan karakteristik
perkotaan dan 65 kabupaten dengan karakteristik perdesaan. Contoh untuk
wilayah perdesaan hanya diambil 31 kabupaten karena akan dilakukan uji beda
dengan wilayah perkotaan. Pengambilan contoh pada wilayah perdesaan
dilakukan berdasarkan proporsi tiap wilayah (pulau).
Untuk menentukan suatu daerah termasuk perdesaan dan perkotaan
digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya
didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum.
Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 3. Kolom (1) menunjukkan
variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari
Tabel 3. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2000 (BPS 2007)
Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor Total Skor
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut:
a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara 1-8, satu bagi
daerah dengan kepadatan kurang dari 500 orang per km2, dua bagi
daerah dengan kepadatan 500-1249 orang per km2 dan seterusnya
sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama
dengan 8500 orang per km2.
b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar 1-8, satu bila daerah
memiliki 70 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50-69,99
persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah