• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang khas di setiap wilayahnya. Pembagian kawasan menurut UU no.22 tahun 1999 ada dua, yaitu kawasan perkotaan dan perdesaan. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Dalam penelitian ini, kawasan perkotaan berjumlah 31 kabupaten yang didapatkan dari justifikasi peneliti berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Begitu pula dengan kawasan perdesaan yang berjumlah 31 kabupaten dari 65 kabupaten yang tergolong kawasan perdesaan dari justifikasi peneliti berdasarkan klasifikasi desa &kota BPS 2000. Hal tersebut karena dibutuhkan jumlah contoh yang sama besarnya dari karakteristik kawasan yang berbeda tersebut.

Kawasan perkotaan sebagian besar terdapat di pulau Jawa, sedangkan kawasan perdesaan tersebar di pulau-pulau besar Indonesia kecuali Maluku dan Papua. Hal tersebut menunjukkan bahwa distribusi pembangunan belum merata penyebarannya, sehingga masih terpusat di pulau Jawa.

Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan

Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Salah satu pengukuran konsumsi pangan adalah dengan metode recall 24 jam. Metode Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jawaban responden untuk makanan yang dikonsumsi 1x 24 jam yang lalu. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah pangan yang dikonsumsi (kkal/hari/) (Balitbangkes 2008).

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5 dan 6) konsumsi pangan sumber karbohidrat didominasi oleh beras baik di perdesaan maupun perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan juga lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di

perdesaan mencapai 1118 kkal/kap/hari dan di perkotaan hanya 961 kkal/kap/hari.

Berdasarkan uji beda independent sample t-test (Tabel 6) konsumsi kelompok serealia di perdesaan dan perkotaan terdapat perbedaan yang nyata. Selain itu, pada konsumsi beras juga terdapat perbedaan yang nyata di perdesaan dan perkotaan yaitu konsumsi beras di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Konsumsi beras rata-rata tahun 2007 di perdesaan adalah 109 kg/kap/tahun dan di perkotaan adalah 95 kg/kap/tahun. Jika dilihat berdasarkan tingkat konsumsinya terhadap kebutuhan ideal menurut kelompok pangan (Tabel 6), maka konsumsi beras di perdesaan dapat dikatakan telah memenuhi bahkan melebihi proporsi keragaman menurut PPH untuk konsumsi serealia (50%) yaitu mencapai 108,7%. Konsumsi beras di perkotaan berkontribusi terhadap pemenuhan 94,1% dari kebutuhan ideal menurut kelompok pangan. Tingginya konsumsi beras yang merupakan pangan pokok penduduk Indonesia menurut Bouis (1990); Hussain (1990) diacu dalam Braun, et al. (1993) dapat diasumsikan karena pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan.

Tabel 5. Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan

No Jenis pangan

Konsumsi kg/kap/tahun Konsumsi (kkal/kap/hari) Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan

1 Beras 109 95 1087 941

2 Jagung 4,69 1,24 17 4

3 Ubi Kayu 2,51 3,51 11 15

4 Ubi Jalar 0,66 0,209 3 1

Total 1118 961

Sama halnya dengan konsumsi beras, konsumsi jagung di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, meskipun tidak ditunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,05) menurut uji beda independent sample t-test. Berdasarkan Tabel 5, Konsumsi jagung di perdesaan adalah 4,69 kg/kap/tahun dan konsumsi jagung di perkotaan adalah 1,24 kg/kap/tahun. Rendahnya tingkat

konsumsi jagung di menurut Mauludyani (2008) adalah karena kurang beragamnya produk olahan jagung untuk dikonsumsi.

Perbandingan yang terbalik terjadi pada konsumsi ubi kayu yang lebih tinggi di perkotaan yaitu 3,51 kg/kap/tahun dibandingkan dengan di perdesaan yang hanya 2,51 kg/kap/tahun. Cukup tingginya konsumsi ubi kayu karena semakin beragamnya produk olahan ubi kayu yang dikembangkan, khususnya di wilayah perkotaan. Berdasarkan uji beda independent sample t-test tidak ditunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) untuk konsumsi ubi kayu di perdesaan dan perkotaan, namun pada kelompok pangan umbi-umbian terdapat perbedaan yang nyata konsumsi kelompok pangan tersebut di perdesaan dan perkotaan.

Diantara keempat jenis karbohidrat yang diteliti, konsumsi ubi jalar merupakan jenis karbohidrat yang paling kecil angka konsumsinya (Tabel 5). Konsumsi ubi jalar di perdesaan yaitu 0,66 kg/kap/tahun sedangkan konsumsi di perkotaan lebih kecil yaitu 0,209 kg/kap/tahun. Rendahnya konsumsi ubi jalar karena pengolahan ubi jalar belum terlalu dikembangkan sehingga produk olahannya terbatas.

Tabel 6. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan

No Jenis pangan Perdesaan Perkotaan p p

kelompok pangan 1 Beras 108.7 94.1 0,010** 0,000** 2 Jagung 1.7 0.4 0,070 3 Ubi Kayu 9.2 12.5 0,244 0,032** 4 Ubi Jalar 2.5 0.83 0,029** **. Signifikan pada p<0,05

*. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6%

Kontribusi jagung, ubi kayu, dan ubi jalar terhadap kebutuhan konsumsi ideal menurut kelompok pangan masih sangat kecil (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber karbohidrat belum baik secara mutu keragaman (standar PPH). Konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi oleh beras sehingga pangan lainnya dikonsumsi dalam jumlah yang belum mencukupi secara mutu keragaman. Menurut Ariani (2004) diacu dalam Mauludyani (2008), terdapat beberapa alasan yang mendasari dipilihnya beras sebagai pangan pokok, yaitu cita rasa yang lebih enak, lebih cepat dan praktis diolah, dan mempunyai komposisi gizi yang relatif lebih baik dibandingkan

pangan pokok yang lain. Selain itu, beras diidentikkan dengan pangan pokok yang memiliki status sosial tinggi.

Tabel 7. Tingkat kecukupan konsumsi menurut kelompok pangan (%) dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan

Wilayah Tingkat kecukupan (%) Standar berdasarkan PPH serealia umbi-umbian serealia umbi-umbian

Perdesaan 55.2 0.7 50 6

Perkotaan 47.3 0.8 50 6

Konsumsi pangan secara kualitatif ditentukan berdasarkan komposisi pangan dilihat dari keragamannya dalam memenuhi kebutuhan energi atau yang dikenal dengan istilah Pola Pangan Harapan (PPH). Komposisi pangan pada PPH digolongkan dalam 9 kelompok pangan. Berdasarkan Pola Pangan Harapan, konsumsi kelompok serealia secara ideal adalah 50% (DKP 2006). Konsumsi kelompok serealia di perdesaan telah melampaui lebih dari 50% berdasakan standar PPH. Namun di perkotaan, konsumsi kelompok serealia belum mencapai 50% berdasarkan standar PPH . Hal tersebut diduga karena masyarakat perkotaan mengkonsumsi pangan lebih beraneka ragam. Sementara itu konsumsi umbi-umbian yang idealnya adalah 6% berdasarkan data konsumsi yang didapat masih jauh dari angka ideal tersebut. Konsumsi kelompok umbi- umbian bahkan belum mencapai 2% baik di perdesaan maupun perkotaan, padahal di Indonesia tersedia berbagai jenis umbi-umbian dengan harga yang relatif murah. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan „raskin‟. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras.

Menurut Ariani (2004) upaya diversifikasi pangan di Indonesia dinilai gagal karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini nampak dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lain seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mi dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Martianto dan Ariani (2005) diacu dalam Mauludyani (2008) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran pola konsumsi pangan pokok, khususnya di wilayah perkotaan dan masyarakat berpendapatan sedang dan tinggi dimana peran jagung dan umbi-umbian sebagai pangan pokok kedua setelah beras digantikan

oleh mi. Demikian pula hasil kajian Hasibuan (2001) diacu dalam Ariani (2004) menyimpulkan bahwa mi instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. Mengingat bahan baku mi berasal dari gandum yang bukan merupakan produksi domestik, maka diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju peningkatan konsumsi mi dan produk-produk yang berbahan baku gandum/terigu lainnya dengan meningkatkan ketersediaan pangan substitusi gandum/terigu bersumber pangan lokal, disertai dengan promosi dan advokasi kepada masyarakat tentang keunggulan pangan lokal.

Karakteristik Fisik Wilayah di Perdesaan dan Perkotaan Ketersediaan Pangan

Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan merupakan salah satu sub program pada program peningkatan ketahanan pangan. Program tersebut merupakan jabaran dari rencana pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dengan tujuan untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup setiap saat, sehat, dan halal. Pada tingkat kabupaten yang merupakan unit yang diteliti, ketersediaan pangan di wilayah perdesaan lebih besar dibandingkan dengan perkotaan meskipun dengan selisih yang tidak terlalu berbeda. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji beda independent sample t-test (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa meskipun jumlah ketersediaan di perdesaan lebih tinggi namun tidak berbeda nyata (p>0,05) .

BerdasarkanTabel 8, ketersediaan pangan sumber karbohidrat total di Indonesia yaitu 2185 kkal/kap/hari dan di perkotaan yaitu 1934 kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat baik di perdesaan maupun perkotaan masih didominasi oleh komoditas beras.

Tabel 8. Ketersediaan pangan sumber karbohidrat di perdesaan dan perkotaan No Jenis pangan

Ketersediaan kg/kap/tahun Ketersediaan (kkal/kap/hari) Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan 1 Beras 177,76 167,99 1768 1671

2 Jagung 33,07 11,34 117 40

3 Ubi Kayu 58,39 45,89 246 194

4 Ubi Jalar 14,30 7,73 54 29

Tabel 9. Tingkat ketersediaan pangan sumber karbohidrat menurut kebutuhan energi ideal*(%) di perdesaan dan perkotaan

No Jenis Pangan Perdesaan Perkotaan p kelompok pangan p 1 Beras 160.7 151.9 0,531 0,432 2 Jagung 10.6 3.6 0,079 3 Ubi Kayu 186.7 146.7 0,336 0,196 4 Ubi Jalar 41.2 22.3 0,131 **. Signifikan pada p<0,05

*. Kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan: beras& jagung= 50%, ubi kayu & ubi jalar=6%

Ketersediaan pangan menurut kelompok pangan selain menunjukkan kecukupan jumlah juga dapat menunjukkan mutunya (Tabel 9 dan 10). Pada Tabel 9 ditunjukkan kontribusi setiap komoditas pangan terhadap kebutuhaan energi ideal menurut kelompok pangan. Ketersediaan beras dan ubi kayu memiliki kontribusi cukup banyak terhadap pemenuhan ketersediaan sesuai kebutuhan energi ideal berdasarkan kelompok pangan. Jagung dan ubi jalar meskipun jumlahnya tidak sampai 100% namun memiliki kontribusi yang berarti. Tabel 10. Tingkat kecukupan ketersediaan menurut kelompok pangan (%)

dibandingkan dengan standar PPH di perdesaan dan perkotaan Wilayah Tingkat kecukupan (kkal/kap/hari) Standar berdasarkan PPH

serealia umbi-umbian serealia umbi-umbian

Perdesaan 85.67 13.67 50 6

Perkotaan 77.76 10.14 50 6

Ketersediaan kelompok serealia baik di perdesaan dan perkotaan telah melampaui lebih dari 50% (standar mutu keragaman berdasarkan PPH). Begitu pula dengan ketersediaan umbi-umbian yang idealnya adalah 6% telah terpenuhi baik di perdesaan maupun perkotaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan pangan sumber karbohidrat telah mencukupi secara kuantitas maupun kualitas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan maupun perkotaan. Oleh karena itu, lahan pertanian yang ada harus dimanfaatkan dengan baik untuk pemenuhan pangan masyarakat yang berkelanjutan.

Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk merupakan rasio penduduk yang menempati suatu wilayah. BPS 2007 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (>1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (501-1000 jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (101-500 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (<101 jiwa/km2). Dari hasil uji beda independent sample t-test kepadatan penduduk di perdesaan dan

perkotaan berbeda nyata (p<0,01), yaitu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. Pada Tabel 11, ditunjukkan bahwa rata-rata kepadatan penduduk di perdesaan adalah 249 jiwa/km2 yang digolongkan ke dalam kepadatan penduduk sedang menurut BPS 2007. Sementara itu, rata-rata kepadatan penduduk di perkotaan adalah 1144 jiwa/km2 atau tergolong kepadatan penduduk sangat tinggi.

Tabel 11. Karakteristik fisik di perdesaan dan perkotaan

No Karakteristik fisik Perdesaan Perkotaan Sig. t-test 1 Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 249 1144 0.000* 2 Kepadatan Penduduk (orang/ha) 2,49 11,44

3 Daya Dukung Lahan (orang/ha) 6,62 7,16 0,891 *. Berbeda nyata pada p<0,05

Daya Dukung Lahan

Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan, akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2001 diacu dalam Tola et al. 2007). Selanjutnya, Siwi (2002) diacu dalam Tola, et al. (2007) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et al., 2005 diacu dalam Tola, et al. 2007).

Berdasarkan Tabel 11, daya dukung lahan di perdesaan adalah 6,62 orang/ha sedangkan di perkotaan adalah 7,16 orang/ha. Meskipun daya dukung lahan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, namun daya dukung lahan tersebut telah dilampaui oleh kepadatan penduduknya yaitu 11,44 orang/ha. Menurut Mustari, et al. (2005) diacu dalam Tola, et al. (2007) hal tersebut menunjukkan bahwa lahan di wilayah tersebut tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu.

Karakteristik Sosial Ekonomi di Perdesaan dan Perkotaan Tingkat Kemiskinan

Tingkat kemiskinan di perdesaan dan perkotaan pada Tabel 12 ditunjukkan memiliki perbedaan nyata berdasarkan uji beda independent sample t-test (p<0,05). Tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di

perkotaan yaitu 21% dan di perkotaan yaitu 17%. Masalah kemiskinan akan berdampak pada kurangnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses pangan, jika persentasenya lebih dari 20%, maka akses pangannya termasuk kategori rendah. Kemiskinan adalah indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan cukup pangan, karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain-lain (BKP 2008).

PDRB/ kapita

PDRB/ kapita yang dipakai dalam penelitian ini adalah PDRB yang berasal dari sektor usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan (konstruksi), perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah, kecuali sektor usaha penggalian dan pertambangan. PDRB/ kapita di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perkotaan PDRB/ kapita adalah Rp. 10,913,000.00 dan di perdesaan adalah Rp. 7,373,000.00. Menurut data BPS (2008), rata-rata PDRB/kapita penduduk Indonesia tahun 2007 adalah Rp. 12,721,000.00 sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata kabupaten di Indonesia baik di perkotaan maupun perdesaan memiliki PDRB di bawah rata-rata. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Ulfani (2010) yang menyatakan bahwa 72,1 % kabupaten/ kota di Indonesia memiliki PDRB/ kapita yang rendah yaitu kurang dari Rp. 12,128,150.00.

Perbedaan nilai PDRB/ kapita di tiap wilayah dikarenakan adanya perbedaan sumberdaya alam dan pemanfaatannya dalam mendukung kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Menurut Zaris (1987); Yunarko (2007) diacu dalam Ulfani (2010) sumberdaya alam merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan daerah, selain pola investasi dan perkembangan prasarana transportasi. PDRB/ kapita wilayah dapat menggambarkan pendapatan rata-rata penduduk di wilayah tersebut. Pendapatan merupakan salah satu akses pangan yang dilihat dari aspek ekonomi.

Tabel 12. Karakteristik sosial ekonomi di perdesaan dan perkotaan

No Karakteristik sosial ekonomi Perdesaan Perkotaan Sig. t-test 1 Tingkat Kemiskinan (%) 21 17 0,018* 2 PDRB/kapita (dalam ribuan Rp) 7373 10913 0,056 3 Tingkat Pendidikan (%) 72 64 0,002* *. Berbeda nyata pada p<0,05

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di perdesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan yaitu 72 % penduduk di perdesaan hanya menamatkan pendidikan sampai sekolah dasar atau bahkan tidak menamatkannnya. Sementara itu, di perkotaan sebanyak 64% penduduk yang tidak sekolah atau setinggi-tingginya hanya sampai menamatkan sekolah dasar. Berdasarkan uji beda independent sample t- test, tingkat pendidikan di perdesaan dan perkotaan ditunjukan adanya perbedaan yang nyata yaitu p<0,05.

Menurut Syarief,et al. (1988) diacu dalam Hardinsyah (2007) tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi. Di suluruh negara, termasuk Indonesia, pengetahuan gizi secara formal (dari tingkat SD sampai SMU) diajarkan sebagai pendidikan gizi, bagian dari pelajaran Ekonomi Rumahtangga. Soper,et al. (1992) diacu dalam Hardinsyah (2007) telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal secara positif berasosiasi dengan pengetahuan gizi para instruktur aerobik di Texas. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aksesnya terhadap media massa (koran, majalah, media elektronik) juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang berkaian dengan gizi juga semakin tinggi. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi seharusnya lebih baik dalam mengatur pola makannya sesuai dengan pengetahuan gizi yang dimiliki.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dan Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan

Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat. Informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat

ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 1989).

Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap konsumsi beras

a. Perdesaan

Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan „raskin‟. Kebijakan yang bias pada beras ini berdampak pada pergeseran pola konsumsi pangan pokok, dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan dan tingkat pendidikan.

Tabel 13. Faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh pada konsumsi beras di perdesaan berdasarkan uji korelasi pearson dan regresi linier stepwise Variabel Koefisien korelasi (r) Koefisien regresi p Ketersediaan 0,474** -98 0,002* Kepadatan penduduk 0,124 Daya dukung lahan 0,403* Tingkat kemiskinan 0,243 PDRB 0,307 Tingkat pendidikan 0,443* ** Signifikan pada p<0,01 * . Signifikan pada p<0,05 R-square: 0,291

Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa ketersediaan beras dan daya dukung lahan memiliki hubungan dengan konsumsi beras di perdesaan, yaitu berhubungan positif. Semakin tinggi ketersediaan beras dan daya dukung lahan semakin bertambah jumlah beras yang dikonsumsi penduduk di perdesaan.

Perkembangan yang menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah ada kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perdesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mi kering, mi basah dan mi instan (Rachman dan Ariani 2008)

Tingkat pendidikan pada Tabel 13 ditunjukkan memiliki hubungan dengan konsumsi beras.Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah presentase penduduk yang menamatkan pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau

dikategorikan tingkat pendidikan rendah. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan konsumsi beras bernilai positif, sehingga dapat dikatakan semakin banyak penduduk dengan tingkat pendidikan rendah semakin tinggi konsumsi berasnya.

Tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi (Syarief et al. 1988 dalam Hardinsyah 2007). Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, para ibu dari rumah tangga berpendapatan rendah dapat lebih mampu untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki di rumahtangganya secara lebih efesien dibandingkan para ibu yang berpendidikan rendah (Behrman&Wolfe 1987; Behrman et al. 1988; World Bank 1993 diacu dalam Hardinsyah 2007). Dengan kata lain, para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengkombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Sehingga konsumsi pangan tidak hanya didominasi pangan sumber karbohidrat.

Berdasarkan analisis korelasi pearson, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi beras di perdesaan adalah ketersediaan, daya dukung lahan, dan tingkat pendidikan. Dengan analisis regresi linier (stepwise regression) diketahui pengaruh dari setiap faktor tersebut. Berdasarkan analisis regresi tersebut dapat diketahui bahwa ketersediaan beras merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi beras (Tabel 13). Dengan persamaan liniernya sebagai berikut:

Y1*= 1080,709 -98 X1*

Y1* : konsumsi beras di perdesaan (Y1)

X1* : ketersediaan beras di perdesaan (disesuaikan; 1/X1)

Persamaan regresi linier di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 1080,709 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan pada ketersediaan beras maka konsumsi beras di perdesaan sebesar 1080,709. Nilai koefisien regresi ketersediaan beras sebesar -98, menunjukkan setiap kenaikan satu nilai faktor tersebut, konsumsi beras akanberkurang sebesar nilai koefisien faktor pada persamaan.

Nilai R squaremodel linier adalah 0,291, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model tersebut sebesar 29,1% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil analisis ini

memberikan gambaran tentang konsumsi beras di perdesaan yang sifatnya umum tidak spesifik hanya di pengaruhi oleh ketersediaan beras.

Menurut Swift (1989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (1992) yang dijelaskan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh produksi pangan (Gambar 2), namun selain faktor tersebut ada faktor lain yang berkaitan dengan konsumsi pangan, seperti modal sosial. Selain itu Jelliffe dan Jelliffe (1989) juga menggambarkan rantai pangan WHO yang menunjukkan alur pangan dari produksi pangan hingga dikonsumsi oleh masyarakat.Hal tersebut menujukkan pentingnya produksi pangan sebagai awal dari rantai pangan.Jika nilai produksi rendah maka besar kemungkinan sampai di akhir rantai (konsumsi pangan) nilainya pun rendah.

Berdasarkan hasil regresi, dapat dilihat bahwa karakteristik fisik (ketersediaan) lebih berpengaruh daripada variabel lainnya, termasuk variabel sosial ekonomi. Hal tersebut dapat menunjukkan ketergantungan rumah tangga

Dokumen terkait