• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen ditinjau dari UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsume

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen ditinjau dari UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsume"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN PERANAN BADAN PENYELESAIAN

SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM RANGKA

MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN DITINJAU

DARI UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas Dan Memenuhi

Syarat – Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JEFTA NOVENDRI P

070200131

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

KEDUDUKAN DAN PERANAN BADAN PENYELESAIAN

SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM RANGKA

MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN DITINJAU

DARI UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun dan diajukan untuk Memenuhi Syarat-Syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH:

JEFTA NOVENDRI P

070200131

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, SH,M.Hum NIP.197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.T.Keizerina Devi, SH,CN,Mhum Windha,SH,Mhum NIP.197002012002122001 NIP.197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan penyertaanNya yang sempurna sehingga penulis dimampukan menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Semua oleh kasih dan karunianya sehingga selama proses penulisan skripsi ini diijinkanNya berjalan sebagaimana adanya, yang ditujukan untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen ditinjau dari UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Cara dan tahapan yang penulis lakukan selama proses perampungan skripsi ini , mulai dari pemahaman dan pencarian bahan pustaka mengenai yuridis normatif tentang Kedudukan dan Peranan BPSK sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh Undang Undang Perlindungan Konsumen untuk mnyelesaikan sengketa konsumen.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun sehingga penulis kedepannya dapat lebih baik.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

(5)

2. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Syahril Pasaribu

3. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH,M.Hum.

4. Ibu Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Windha, SH,M.Hum ,yang juga dosen pembimbing II saya, yang telah bersedia memberikan waktunya dan membagikan pengetahuannya berkenaan dengan judul yang saya bahas dan cara penulisan skripsi, yang selalu sabar dalam membimbing dengan memberi masukan sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

5. Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar,SH,CN,Mhum selaku dosen pembimbing I saya yang telah memberikan waktu dan kesabaran dalam membimbing saya untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

6. Keluarga tercinta, My Beloved Father ,Manahan Panjaitan dan My Beloved Mother ,Norayati Sitorus yang selalu sabar mendidik dan membesarkan anak-anaknya tanpa pamrih dan dengan penuh kasih sayang yang tiada taranya. Tanpa kalian aku tidak akan menjadi apa-apa. Makasih udah jadi orangtua yang sangat baik bagiku.

7. Buat abangku tersayang, Ronald Norman Panjaitan,SIP yang selalu baik pada adik-adiknya, yang selalu mengajari adik-adiknya banyak hal dan menuntun adik-adiknya didalam segala bidang.

(6)

9. Buat semua keluarga khususnya opungku satu-satunya yang tercinta N.Panjaitan, buat Tante khususnya tante Ana ,Uda, Nanguda, Tulang, Nantulang, Amangboru, Namboru, dan semua keluarga.

10. Buat abang PKK ku, bg Erwin Silaban,SH. Makasih buat kesabaran dan pengajaranmu ya bg.Buat teman KK ku, Sarah Simanjuntak,SH , Desy Sitepu, SH , Dian, SH , Julieta, SH , Andry , Linda ,dan Abde.. aku sayang kalian semua.

11. Buat temenku Embrio Family, khususnya Yudha, Amos, Christ, Tongam,Obest,dll yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Thanks for all, kalian sahabat terbaikku....

12. All GMNI members, pejuang yang terus berkarya di garda terdepan pembangunan bangsa... perjuangan kita belum selesai teman-teman.. teruslah berkarya bagi bangsa Indonesia. GMNI... Jaya... Marhaen..Menang!!!

13. Semua teman-teman seperjuangan almamater HUKUM USU ’07. Tetap jaga kekompakan yah.

14. Teman satu kos Harmonika 15, khususnya bg Edu, Desmon, Timbul, makasih banyak.

(7)

16. Seluruh pihak yang terlibat dalam skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Hormat Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

ABSTRAK...vi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang...2

B. Perumusan Masalah...6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7

D. Keaslian Penulisan...8

E. Tinjauan Kepustakaan...9

F. Metode Penulisan...11

G. Sistematika Penulisan...13

BAB II PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen...15

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Peradilan Umum...22

(9)

BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN BPSK DALAM RANGKA MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN

A. Pengertian BPSK...30

B. Latar Belakang, Tujuan, dan Proses Pembentukan Kelembagaan

BPSK...31

C. Kedudukan dan Peranan BPSK dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen...35

D. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK...43

BAB IV. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK

A. Penyebab Terjadinya Sengketa Konsumen...63 B. Bentuk-Bentuk Sengketa yang Diselesaikan OlehBPSK...78 C. Hambatan-Hambatan dalam Penyelesaian Sengketa...79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...88 B. Saran...89

(10)

ABSTRAK

*Dr.T.Keizerina Devi Azwar, SH,CN,Mhum **Windha ,SH,Mhum

***Jefta Novendri P

Konsumen menjadi objek aktifitas yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut akan cenderung merugikan konsumen sebagai pihak yang dianggap paling lemah. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Oleh karena itu , hak konsumen harus dilindungi dan ditegakkan secara hukum oleh negara. Hal ini lah yang kemudian melahirkan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). Salah satu upaya penegakan hak konsumen adalah dengan dibentuknya BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai proses penyelesaian sengketa konsumen melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, kedudukan dan peranan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan hambatan-hambatan apa yang ada dalam proses penyelesaian sengketa melalui BPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian berdasarkan sumber bacaan. BPSK ini mempunyai kedudukan sebagai satu-satunya lembaga yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui BPSK ini dapat dipilih melalui 3 cara yaitu konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase. Kedudukan lembaga BPSK ini setara dengan pengadilan negeri bagi lembaga tingkat pertama yang menangani penyelesaian sengketa konsumen.Keputusan BPSK bersifat final dan mengikat, yang dalam hal ini berarti bahwa terhadap keputusan majelis BPSK tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, yang ada hanyalah pengajuan keberatan pada pengadilan negeri. Bahwa dengan adanya PERMA nomor 1 tahun 2006, maka keberatan yang dapat diajukan adalah keberatan terhadap putusan arbitrase melalui BPSK. Saat ini minimnya pengetahuan masyarakat akan UUPK dan kurangnya pengetahuan akan keberadaan BPSK menyebabkan kurangnya respon masyarakat untuk memperjuangkanhaknya secara hukum. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah dan BPSK lebih bersifat proaktif dalam memberikan informasi dan mensosialisasikan keberadaan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga konsumen mau untuk memperjuangkan haknya secara hukum.

(11)

ABSTRAK

*Dr.T.Keizerina Devi Azwar, SH,CN,Mhum **Windha ,SH,Mhum

***Jefta Novendri P

Konsumen menjadi objek aktifitas yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut akan cenderung merugikan konsumen sebagai pihak yang dianggap paling lemah. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Oleh karena itu , hak konsumen harus dilindungi dan ditegakkan secara hukum oleh negara. Hal ini lah yang kemudian melahirkan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). Salah satu upaya penegakan hak konsumen adalah dengan dibentuknya BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai proses penyelesaian sengketa konsumen melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, kedudukan dan peranan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan hambatan-hambatan apa yang ada dalam proses penyelesaian sengketa melalui BPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian berdasarkan sumber bacaan. BPSK ini mempunyai kedudukan sebagai satu-satunya lembaga yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui BPSK ini dapat dipilih melalui 3 cara yaitu konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase. Kedudukan lembaga BPSK ini setara dengan pengadilan negeri bagi lembaga tingkat pertama yang menangani penyelesaian sengketa konsumen.Keputusan BPSK bersifat final dan mengikat, yang dalam hal ini berarti bahwa terhadap keputusan majelis BPSK tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, yang ada hanyalah pengajuan keberatan pada pengadilan negeri. Bahwa dengan adanya PERMA nomor 1 tahun 2006, maka keberatan yang dapat diajukan adalah keberatan terhadap putusan arbitrase melalui BPSK. Saat ini minimnya pengetahuan masyarakat akan UUPK dan kurangnya pengetahuan akan keberadaan BPSK menyebabkan kurangnya respon masyarakat untuk memperjuangkanhaknya secara hukum. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah dan BPSK lebih bersifat proaktif dalam memberikan informasi dan mensosialisasikan keberadaan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga konsumen mau untuk memperjuangkan haknya secara hukum.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beragam dalam kehidupannya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, namun manusia tidak mampu memenuhi setiap kebutuhannya tersebut secara pribadi. Manusia memerlukan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya, dimana kebutuhan tersebut terus bertambah dan beraneka ragam jenis dari masa ke masa. Dalam hal pemenuhan kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa yang berasal dari manusia lainnya. Oleh karena itu setiap manusia merupakan konsumen atau pemakai dari barang atau jasa tertentu yang disediakan oleh manusia lainnya yang menyediakan barang atau jasa yang disebut produsen.

Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut terkadang timbul permasalahan , khususnya bagi pihak konsumen yang posisinya lebih lemah dibandingkan produsen. Oleh karena itu perlu dibuat peraturan untuk melindungi hak dan kepentingan kedua belah pihak yang lebih lemah. Seperti yang disampaikan Drs. M. Sofyan Lubis dalam bukunya tentang mengenal hak konsumen dan pasien, yaitu “ oleh karenanya , pihak konsumen yang dipandang lebih lemah secara hukum perlu mendapat perlindungan lebih besar".1

Sehubungan dengan hal demikian, maka perlindungan terhadap konsumen dipandang sangat penting untuk dibahas. Upaya – upaya yang dapat dilakukan

1

(13)

untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan hal yang esensial dan mendesak yang harus segera dicari solusinya. Kehadiran Undang- Undang Perlindungan Konsumen memang dirasa sangat tepat dalam kerangka penguatan hukum perlindungan konsumen.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dengan dibentuknya sebuah lembaga yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).2 BPSK ini mempunyai tugas pokok yakni menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ini diharapkan dapat memudahkan konsumen dalam memperjuangkan haknya dengan proses penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Selain itu , upaya – upaya perlindungan konsumen lebih dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, sekaligus mendorong pelaku usaha agar dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.3

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia usaha pada saat ini begitu cepat hal tersebut tidak lepas dari adanya peran dan kegiatan-kegiatan usaha yang berkaitan dengan perdagangan baik itu perdagangan barang dan/ atau jasa yang pada kenyataannya sangat mempengaruhi perekonomian baik secara nasional maupun secara internasional. Hal yang sangat menarik dari kegiatan-kegiatan usaha yang terjadi didalam kehidupan masyarakat saat ini adalah banyaknya permasalahan yang

(14)

kemudian dalam perkembangannya dapat menimbulkan suatu kasus atau sengketa yang harus diselesaikan oleh para pihak yang bermasalah. Kenyataan dalam proses penyelesaiannya saat ini, dapat diselesaikan dengan melalui jalur peradilan maupun jalur di luar peradilan.

Permasalahan yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan baik jasa dan/ atau barang senantiasa menarik untuk lebih diperhatikan, dicermati dan diteliti, hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan dengan apa yang disebut dengan konsumen (dengan pengertian umum pihak yang menggunakan atau membeli dan/ atau memanfaatkan barang dan/ atau jasa) dan pelaku usaha (pihak yang menyediakan dan/ atau memberikan atau menjual barang dan / atau jasa). Begitu pula dengan permasalahan yang dapat ditimbulkan dari adanya kegiatan perdagangan, di lapangan tidak jarang dijumpai adanya perdebatan atau keributan bahkan pertikaian antara konsumen dan pelaku usaha. Tidak sedikit juga sengketa yang kemudian diselesaikan di pengadilan. Eksistensi pelaku bisnis untuk menjadi yang terbaik dikalangan dunia usaha telah meningkatkan persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Maka untuk jangka waktu tertentu sebenarnya persaingan antar pelaku usaha tersebut tidak selalu berakibat positif bagi konsumen.

(15)

maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Lahirnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 20004

Untuk mengatur kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tersebut telah dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

mengatur antara lain keberadaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang disebut dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Saat ini sudah ada beberapa kota BPSK di Indonesia, antara lain Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Bandung. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ini dilatarbelakangi adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologi dan informatika dan dapat memperluas ruang gerak transportasi barang dan/ atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara.

5

- Keputusan Presiden No.90/ 2001 tentang Pembentukan BPSK.

- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.301 MPP/ Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

4

Heri Tjandrasari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dan Upaya Perlindungan

Hukum Bagi Konseumen,PDF, Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum UI,

www.pemantauperadilan.com, hal 2

5

(16)

- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.302 MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat).

- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

- Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 605/MPP/Kep./8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaiakan sengketa konsumen antara konsumen dan pelaku usaha yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau memanfaatkan jasa ( Pasal 1 nomor 8 Kep. Deperindag No. 350/MPP/Kep./12/2001).

(17)

yang segan untuk berperkara, apalagi apabila biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang diperoleh.

Keuntungan lain dari konsumen dalam penyelesaian sengketa melalui jalur ini adalah bahwa pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian singkat yang telah dikemukakan diatas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

1. bagaimanakah kedudukan dan peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen?

2. bagaimanakah proses penyelesaian sengketa konsumen menurut UU nomor 8 Tahun 1999?

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen.

2. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa konsumen menurut UU nomor 8 Tahun 1999.

3. Untuk mengetahui apa saja hambatan-hambatan yang ada dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK.

Pada dasarnya suatu penulisan yang dibuat, diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk penulis sendiri maupun bagi siapa saja yang membacanya.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Menumbuhkan sikap kritis kita terhadap upaya pemerintah dalam melindungi hak hak kita sebagai konsumen , dalam hal ini dibentuknya Badan Penyelesaian sengketa Konsumen ( BPSK).

2. Berusaha dalam hal memperjuangkan hak-hak sebagai konsumen apabila merasa dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

3. Menambah pengetahuan mengenai ketentuan dan proses penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK), serta menambah wawasan ilmiah baik secara khusus berkenaan dengan penulisan ini maupun secara umum.

(19)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dapat mewujudkan harapan semua pihak.

5. Sebagai tugas akhir bagi penulis dalam usaha memperoleh gelar kesarjanaan dalam hal ini Sarjana Hukum.

D. KEASLIAN PENULISAN

(20)

pelengkap dalam penulisan ini karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini.

E. Tinjauan Pustaka

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (inggris-amerika), atau consemuent ( belanda). Secara umum, arti dari konsumen adalah “ lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.

Secara umum, konsumen dapat dibagi menjadi tiga bagian :6

1. Konsumen dalam arti umum , yaitu pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan jasa untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara , yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/atau jasa lain untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir , yaitu pemakai , pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan tidak untuk dipredagangkan kembali.

Didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksud dengan konsumen adalah merupakan konsumen akhir. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 1 butir 2 UUPK yang menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

6

(21)

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga , orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian sengketa menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer adalah sesuatu yang merupakan sumber perbedaan pendapat, pertengkaran ataupun pertikaian atau perselisihan.7 Didalam bukunya, A.Z. Nasution menjelaskan bahwa suatu sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tentang hal tertentu. Satu pihak merasa dirugikan haknya oleh pihak yang lain, sedang pihak yang lain tidak merasa demikian.8

Untuk memberikan pemahaman tentang objek pembahasan , yakni mengenai Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) maka penulis memberikan uraian mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) tersebut. Menurut pasal 1 angka 11 UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sementara menurut pasal 1 butir 8 Kepmen.Deperindag no 3550/mpp/kep/12/2001, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Dan melihat Kepmen tersebut menggambarkan bahwa BPSK merupakan badan yang didirikan dan dibentuk

7

(22)

untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase9

Ketentuan pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen , yang menetapkan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) hanya pada daerah tingkat II (kabupaten), memperlihatkan maksud pembuat undang-undang bahwa putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) sebagai badan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding dan kasasi. Rumusan pasal 49 ini , menyangkut tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) “untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan” adalah tugas pokok, sebab masih ada tugas lain dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) yaitu, memberi konsultasi perlindungan konsumen, menerima pengaduan konsumen atas terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, serta tugas-tugas lainnya.

.

10

F. METODE PENELITIAN

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.

9

Heri Tjandrasari, op.cit, hal 6 10

(23)

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder , berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer.

3) Bahan hukum terrtier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder.

4. Analisis Data

(24)

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang , perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ;Penyelesaian Sengketa Konsumen di Peradilan Umum ;dan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan.

BAB III : KEDUDUKAN DAN PERANAN BPSK DALAM RANGKA MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN

(25)

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK

Pada bab ini akan dijelaskan tentang Penyebab Terjadinya Sengketa Konsumen ; Bentuk-Bentuk Sengketa yang Diselesaikan Oleh BPSK ; Hambatan-Hambatan dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(26)

BAB II

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

1. Latar belakang UU nomor 8 tahun 1999

UUPK ibarat oase di padang gurun yang telah ditunggu lama oleh konsumen. Waktu 20 tahun untuk memperoleh pengesahan UUPK itu bukanlah penantian yang singkat. Oleh karena itu, momentum itu harus menjadi pemacu semangat gerakan konsumerisme di negeri ini untuk terus berjuang mengembalikan hak-hak konsumen yang selama ini terabaikan.

Tampaknya, pengaturan perlindungan konsumen dalam sebuah UU di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, seperti India, Thailand, dan Filipina. Namun demikian, bukanlah suatu yang sia-sia, apabila UUPK dioptimalisasikan penegakannya.

Sebelum UUPK itu disahkan, ketentuan hukum yang mengatur kepentingan konsumen misalnya, dapat ditemui dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 204, 205, 359, 360, dan 386. Selain itu, dapat pula kita temui dalam ketentuan Pasal 25 sampai Pasal 31 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

(27)

yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku usaha terhadap konsumen.

(28)

2. Kelemahan UUPK

Memang banyak keuntungan yang diperoleh konsumen dengan diundangkannya UUPK. Di antaranya adalah dijaminnya hak-hak dasar konsumen secara eksplisit, diaturnya pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Yang juga cukup menggembirakan dengan adanya UUPK adalah pasal-pasal yang berhubungan dengan class action. Dengan adanya class action, konsumen tidak perlu lagi maju sendiri-sendiri dalam kasus-kasus yang merugikan banyak konsumen. Keputusan class action berlaku untuk semua, sehingga konsuman tidak banyak menghabiskan tenaga, biaya, dan dan waktu.

Namun, ternyata masih banyak pula sisi lemah dari UUPK itu. Apabila dibandingkan dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (UULH) saja, terdapat dua sisi lemah dari UUPK.

Tidak seperti UULH, UUPK tidak memberikan jaminan tentang hak publik atas informasi (public access to information) secara luas. Misalnya saja akses informasi mengenai hasil penelitian terhadap barang/jasa yang menyangkut keselamatan konsumen, seperti oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Hak atas informasi dalam UU ini bersifat sangat terbatas pada hak informasi tentang kondisi dan jaminan barang atau jasa (Pasal 4).

(29)

seharusnya diberikan kepada konsumen yang dirugikan tanpa mempertimbangkan ada tidaknya unsur kesalahan. Terlebih lagi, strict liability itu sudah sangat umum diterapkan dalam ketentuan hukum perlindungan konsumen di negara-negara lain.

Ketentuan Pasal 28 UUPK menegaskan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Artinya, pertanggungjawaban perdata masih mensyaratkan unsur kesalahan, meskipun sudah diatur pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 28 tersebut.

Pembuktian terbalik itu pun terbatas pada pembuktian atas unsur kesalahan. Padahal, pertanggungjawaban hukum (perdata) juga mencakup unsur hubungan sebab akibat (causal link). Perlu dibuktikan kerugian yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha, di samping unsur kesalahan.

Belum lagi adanya kontradiksi mengenai pembuktian terbalik itu. Pembuktian terbalik sudah cukup baik tertampung dalam ketentuan Pasal 22 UUPK. Akan tetapi, di dalam penjelasan pasal tersebut, justru pembuktian dibebankan kepada konsumen. Tentunya, 'lubang' kontradiksi itu dapat dimanfaatkan oleh pihak yang beritikad tidak baik.

(30)

ini juga bertugas untuk menyebarluaskan informasi mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.

Harus diakui, keterbatasan informasi menjadi kendala yang banyak dihadapi oleh konsumen, terutama informasi yang benar mengenai produk dan jasa yang dijual. Padahal hak konsumen untuk mendapatkan informasi atau hak tahu konsumen merupakan hak yang paling esensi.

Informasi yang benar sebenarnya terkandung dalam pengertian dari "perlindungan konsumen" yang diartikan "segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen."

Dalam UUPK Pasal 4, konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Konsumen juga berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan. Selain itu, konsumen juga berhak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

(31)

3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sebagai “Umbrella Act”

(Undang-undang Payung).

Pada saat Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disahkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku secara efektif tanggal 20 April Tahun 2000, sesungguhnya sudah ada beberapa undang-undang yang substansinya memuat norma-norma di bidang perlindungan konsumen. Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan ada 23 (dua puluh tiga) undang-undang. Oleh karena itu, UUPK berfungsi sebagai perekat dan pengatur lalu lintas undang-undang terkait untuk menciptakan satu kesatuan sisterm hukum perlindungan konsumen.

Sebagai undang-undang payung, maka prinsip-prinsip yang ada dalam UUPK menjiwai beberapa undang-undang sektoral lain. Kesatuan sistem hukum perlindungan konsumen, sehingga terjadi sinkroniasi antara Undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya.

Sistem hukum perlindungan konsumen yang menempatkan UUPK sebagai payung dan norma-norma lainnya diatur dalam berbagai Undang-undang sektoral, berimplikasi pada luasnya kebiasaan yang menjadi praktek dan sumber pembentukan hukum perlindungan konsumen. Kebiasaan dan praktek perlindungan konsumen terdapat dalam bidang barang dan jasa, seperti jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi, kelistrikan, dll.

(32)

Perwakilan Rakyat ini memuat terobosan-terobosan hukum baru ini pada dasarnya bersumber pada kebiasaan dan praktek yang dirasakan lebih adil bagi konsumen, yaitu:

a) Klausula Baku.

Pengaturan tentang klausula baku dalam Pasal 18 UUPK dimaksudkan untuk membatasi asas kebebasan kontrak yang dimaksudkan untuk membatasi asas kebebasan kontrak yang selama ini dijadikan acuan bagi pelaku usaha dalam membuat perjanjian standar. Perjanjian standar ini biasanya menjadi beban bagi konsumen, karena isi perjanjian tersebut sudah dirumuskan oleh produsen, dan konsumen hanya dihadapkan dengan pilihan mengikuti atau tidak mengikuti sama sekali. Tidak ada negosiasi isi kontrak. Untuk mengantisipasi praktek yang demikian, UUPK tetap membolehkan adanya perjanjian standar, namun pelaku usaha dilarang untuk mencantukan beberapa klausul yang dinilai merugikan konsumen.

b) Sistem Pembuktian Terbalik.

(33)

c) Sistem dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Untuk menjamin akses konsumen terhadap keadilan, UUPK menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan memperkenalkan 3 (tiga) instrumen, yaitu gugatan kelompok konsumen yang menjadi korban (class action), gugatan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat (legal standing), dan gugatan yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan melalui jalan damai atau menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen yang didirikan di setiap kabupaten dan kota. Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen menyelasaikan Konsumen menggunakan mekanisme Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.

B. Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum

(34)

Kemudian pasal 45 ayat 3 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. Konsumen yang dirugikan haknya dapat diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan di peradilan umum untuk kasus pidana.

Dalam kasus perdata di pengadilan negeri , pihak konsumen yang diberikan hak untuk mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang punya kepentingan bersama.

3. Lembaga perlindungan swadaya masyarakat yang memenuhi syarat , yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan , yang di dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

4. Pemerintah dan/ atau instansi terkait jika barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/ atau korban yang tidak sedikit.

Pada klasifikasi yang pertama, yaitu seorang konsumen ( atau ahli warisnya) tentu saja tidak ada yang istimewa dilihat dari ketentuan proses beracara. Hal yang menarik adalah pada klasifikasi kedua dan seterusnya.

(35)

123 ayat 1 HIR. Penjelasan pasal 46 UUPK menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action .

Kemudian pada klasifikasi ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Disini dipakai istilah “ lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini berkaitan dengan legal standing.

Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat adalah pemerintah dan/atau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar dan/ atau korban yang tidak sedikit. Namun tidak disebutkan apakah gugatan demikian diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen, atau dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak konsumen yang termasuk klasifikasi satu sampai tiga diatas.11

(36)

pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), misal : hak untuk menerima pembayaran (payment) dari konsumen.12

Penggunaan instrumen hukum acara perdata setelah berlakunya UUPK mengetengahkan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 28 UUPK menyatakan Dikedepankannya isu perlindungan konsumen pasca reformasi membawa perbaikan berupa reformasi penyelesaian sengketa yang selama ini menhambat akses konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu gugatan perwakilan kelompok (class action ) dan gugatan Lembaga swadaya Masyarakat ( legal standing) yang dapat dilihat dalam pasl 46 ayat 1 butir b dan butir c UUPK.

Kedua jenis gugatan ini kadang-kadang masih dirancukan pemahamannya. Kedua jenis gugatan ini tidak sama dan secara prinsipil berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada kesan bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil itu pada dinamika hukum. Untuk melaksanakan kedua jenis gugatan ini tidak harus menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah (PP). Apalagi Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud adalah PP yang materinya memuat tentang ketentuan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit menyangkut gugatan yang diajukan pemerintah terhadap pelaku usaha (pasal 46 ayat 1 huruf d dan ayat 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

12

Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm

(37)

bahwa “pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha” dengan pendekatan sistematik, beban pembuktian unsur kesalahan, dengan menggunakan prosedur :

1. Gugatan perdata;

2. Gugatan perwakilan/gugatan perwakilan kelompok (class action); 3. Gugatan lembaga swadaya masyarakat ( legal standing);

4. Gugatan oleh pemerintahdan/atau instansi terkait.

Sebagaimana dimaksud pasal 46 UUPK menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Konsekuensinya,jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan , maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. Dari sudut praktek , pada akhirnya penggugat tetap harus membuktikan unsur kerugian.

Pasal 19 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa “ pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa :

1. Pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan ; dan/atau

2. Pemberian santunan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku (pasal 19 ayat 2 UUPK).

(38)

penjatuhan sanksi administratif yang dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) (pasal 52 butir m jo pasal 60 ayat 2 UUPK).

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar pengadilan

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan penyelesaian sengketa secara damai ataupun melalui lembaga yang ditunjuk oleh Undang-Undang yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa secara damai bagi masing masing pihak dilakukan melalui perundingan secara musyawarah dan mufakat antar para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut juga “penyelesaian secara kekeluargaan”. Dengan cara penyelesaian sengketa seperti ini diharapkan akan terwujudnya bentuk penyelesaian sengketa yang “mudah, murah, dan relatif lebih cepat”.

(39)

juga termasuk penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).13

Agar ketentuan itu tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau melalui peradilan dalam lingkungan badan peradilan umum. Hal ini berarti lembaga penyelesaian sengketa lainnya diluar pengadilan umum tidak dimungkinkan menangani sengketa konsumen dengan pelaku usaha.

Menjadi persoalan yaitu pasal 45 ayat 1 UUPK adalah penunjukan lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Ketentuan ini kurang jelas “lembaga” penyelesaian mana yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur dalam UUPK maka mengapa Undang Undang ini tidak menyebutnya secara langsung pada badan ini.

14

Jika yang dimaksud “penyelesaian luar pengadilan “ ini termasuk juga penyelesian melalui BPSK, tentu saja tidak mungkin salah satu pihak menghentikan perkaranya ditengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan tidak berhasil “ pun tidak dapat mungkin dilakukan begitu saja oleh salah satu pihak atau para pihak. Sekali mereka memutuskan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui BPSK , maka mereka seharusnya terikat proses pemeriksaan sampai penjatuhan putusan. Jika mereka keberatan menerima putusan yang telah dijatuhkan, maka barulah mereka diberi hak untuk melanjutkan penyelesaian di Pengadilan Negeri.

(40)

Pasal 45 ayat 3 UUPK dengan tegas mengatakan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Ini berarti bahwa tidak ada upaya banding maupun kasasi. Yang ada hanyalah “keberatan” yang dapat diajukan ke pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kerja. Setelah pihak yang berkepentingan menerima pemberitahuan keputusan tersebut. Jika para pihak yang kalah tidak menjalankan putusan BPSK , maka putusan itu akan diserahkan BPSK kepada penyidik untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup dalam melakukan penyelidikan , UUPK sama sekali tidak memberikan kemungkinan lagi bagi BPSK kecuali menyerahkan putusan itu kepada penyidik ( dalam hal ini UUPK tidak menggunakan kata “dapat” sehingga berarti menutup kemungkinan untuk tidak menyerahkan kasus kepada penyidik).15

15

Shidarta, Op.Cit, hal 143

(41)

BAB III

KEDUDUKAN DAN PERANAN BPSK DALAM RANGKA

MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN

A. Pengertian BPSK

Menurut pasal 1 angka 11 Undang Undang perlindungan konsumen, Badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.16

Jika kita baca ketentuan Pasal 23 Undang-undang Perlindungan Konsumen dikatakan dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Disini dapat kita lihat ada dua hal penting17

16

Yusuf Shofie, op.cit, hlm.39

17

(42)

1. Bahwa undang-undang perlindungan konsumen memberikan alternatif penyelesaian melalui badan diluar system peradilan yang disebut dengan BPSK, selain melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.

2. Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha buukanlah suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa memalui badan peradilan.

B. Latar belakang, Tujuan, dan Proses Pembentukan BPSK

1. latar belakang pembentukan BPSK

Sebelum lahirnya Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), telah banyak terjadi kasus kasus yang menempatkan konsumen di posisi yang lemah. Sebagai contoh, dalam prosedur membeli barang melalui informecial, yaitu dengan cara terlebih dahulu konsumen mengirimkan uang senilai harga barang ditambah ongkos kirim kepada penjual, dari aspek perlindungan konsumen hal ini sangat rawan. Disini, konsumen sama sekali belum melihat barang yang menjadi objek jual beli secara kongkret. Disisi lain konsumen sudah mengirimkan ongkos kirim beserta harga barang yang telah disepakati kepada penjual dan hal ini tentunya menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.

(43)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maka gugatan terhadap tindakan pelaku usaha diajukan melalui pengadilan. Akan tetapi banyak hal yang menyebabkan konsumen enggan untuk membawa perkaranya ke pengadilan karena apabila ia menghadapi sengketa, terutama sengketa yang timbul dalam dunia bisnis , maka ia akan berhadapan dengan proses pengadilan yang berlangsung lama dan mebutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan dalam dunia bisnis , penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang dapat berlangsung cepat dan murah. Disamping itu, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat sengketa. Hal itu tentunya sangat sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa perkara tersebut ke pengadilan , karena proses penyelesaian di pengadilan akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan salah satu pihak.18

Yahya Harahap dalam bukunya “ Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa” mengemukakan beberapa kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, yaitu karena :19

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat diakibatkan oleh pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis . disamping itu, arus perkara yang sangat deras mengakibatkan pengadilan dibebani denagn beban yang terlalu banyak.

b. Biaya perkara mahal. Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan sangat mahal dikarenakan lamanya penyelesaian sengketa. Karena semakin lama penyelesaian sengketa maka semakin banyak pula

18

(44)

biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini juga semakin bertambah jika diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif. Tidak responsifnya pengadilan dapat dilihat dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan sering dianggap berlaku tidak adil , karena hanya memberi pelayanan dan keleluasaan kepada “ lembaga besar” atau “orang kaya”.

d. Putusan pengadilan sering dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah , bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para pihak.

e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap mempunyai keterbatasan terutama dalam abad iptek dan globalisasi sekarang karena pengetahuan yang dimiliki hanya dibidang hukum sedangkan di luar itu pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang mengandung kompleksitas disegala bidang.

(45)

2. Tujuan Pembentukan Kelembagaan BPSK

Didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), tidak disebutkan secara khusus mengenai tujuan dari pembentukan BPSK. Akan tetapi bila kita tarik kesimpulan secara umum bahwa tujuan dibentuknya BPSK adalah sesuai dengan tujuan di bentuknya UUPK, yaitu :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsuemn untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran para pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

(46)

3. proses pembentukan kelembagaan BPSK

a. Adanya kesanggupan Kabupaten atau Kotamadya untuk pendanaan pembentukan BPSK, mulai dari perekrutan sampai dengan operasional BPSK yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota setempat kepada Menteri Perdagangan dan Perindustrian c.q. Ditjen Perdagangan Dalam Negeri.

b. Usulan pembentukan BPSK yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota diproses lebih lanjut di Direktorat Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, untuk disusun Keppres tentang pembentukan BPSK bagi daerah Kabupaten atau Kota yang telah menyanggupi pembentukan BPSK. c. Draft Keppres tentang pembentukan BPSK disampaikan Depperindag kepada Sekretaris Negara untuk disyahkan Presiden.

d. Keppres tentang pembentukan BPSK yang telah disyahkan Presiden disampaikan Depperindag kepada Bupati atau Walikota berikut permintaan calon anggota dan sekretariat BPSK yang akan diusulkan oleh Bupati atau Walikota daerah setempat.

C. Kedudukan Dan Peranan BPSK Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa

Konsumen

(47)

Oleh karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan terlebih dahulu mendahului Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda)maka dalam kerangka sistem hukum nasional sesuai asas les pasietori derograt legi priori (ketentuan yang berlaku kemudian menghapus ketentuan terdahulu), maka penyebutan Daerah Tingkat II pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diubah menjadi Daerah Kota atau Daerah Kabupaten.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang meliputi bidang perdagangan. Sedangkan mengenai anggaran untuk pelaksanaan kegiatan BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sumber-sumber lainnya yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Adapun susunan anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UUPK, terdiri atas :

a. Ketua merangkap anggota.

b. Wakil ketua merangkap anggota.

c. Anggota.

Tugas dan wewenang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain karena menurut BPSK setiap bagian terdapat tugas yang juga merupakan kewenangan dari BPSK.

(48)

BPSK yaitu Kep.Menperindag.350/MPP/Kep/12/2001 pun tidak dijelaskan secara terpisah mengenai tugas dan wewenang dari BPSK tersebut.

Didalam menjalankan tugas dan fungsinya, BPSK sebagai suatu lembaga memiliki tugas dan wewenang (Pasal 52 UUPK jo. SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ), yaitu :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrse;

b. Memberikan konsultasi perindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

(49)

i. Minta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada poin G dan H yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sangsi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan merujuk pada pasal 49 ayat 1 dan pasal 54 ayat 1 UUPK jo. Pasal 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, fungsi utama BPSK yaitu sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Jika dibandingkan dengan pasal 1 butir 10 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa Umum, alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak , yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara :

1. konsultasi;

(50)

3. konsiliasi;

4. penilaian ahli.

Penulis akan menyampaikan beberapa pengertian masing-masing dari macam alternatif penyelesaian sengketa yaitu yang dimaksud dengan :

1. Konsultasi adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan

yang sebaik-baiknya berdasarkan nasehat, saran, penelitian, penilaian ahli ahli dalam bidangnya masing-masing.20

2. Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding

untuk menerima guna mencapai suatu kesepakatan bersama antara pihak-pihak yang bersengketa atau penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan-perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.21

3. Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan perantaraan badan alternatif penyelesaian sengketa untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.22

Selain itu konsiliasi juga dapat diartikan upaya mempertemukan keinginan-keinginan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan dan menyelesaikan sengketa hukum tersebut sampai tuntas.

20

Drs. S. Suryono,, Himpunan Yurisprudensi Hukum Perpajakan dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS) Diluar Pengadilan dan Istitusi Pendidikan Mediator dan Arbitrase, Yogyakarta,

2002, hlm.232

21

ibid

22

(51)

Konsiliasi adalah apabila yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar.konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara consensus antar pihak,dimana pihak netral dapat berperan dalam secara aktif (neutralact)maupun tidak aktif. 23Pengambilan keputusan secara kooperatif merupakan prosedur dimana para pihak berinisiatif sendiri tanpa bantuan pihak ketiga termasuk konsiliasi, berguna untuk membangun hubungan social yang positif, meningkatkan rasa saling percaya dan menawarkan saling keterbukaan.24

4. Penilaian Ahli adalah pendapat yang kuat sebagai dasar hukum yang

mengikat dan memenuhi rasa keadilan, kebenaran, kepatutan dan kewajaran sesuai dengan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Konsiliasi ini prosedurnya bertujuan untuk membangunkomunikasi, meluruskan salah persepsi, mengatasi emosi dan membangun kepercayaan yang diperlukan dalam pemecahan masalah secara kooperatif.

25

Penyelesaian Sengketa Konsumen dilakukan dengan 3 cara :

a. Konsiliasi, yaitu suatu proses Penyelesaian Sengketa Alternatif yang

melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertak26

23

Suyud Margono, 2000, APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) & Arbitrase, Proses

Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.37-38

24

Ibid, hal 45 25

(52)

proses konsiliasi ini, memiliki peran yang cukup berarti, oleh karena konsilisator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatnya mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengketa yang dihadapi, bagaimana penyelesaian yang terbaik, apa keuntungan dan kerugian bagi para pihak, serta akibat hukumnya. Meskipun konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka dan tidak memihak kepada salah satu pihak dalam sengketa, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak. Jadi dalam hal inipun sebenarnya konsiliator pasif terhadap putusan yang akan diambil atau hasil akhir proses konsiliasi ini. Semua hasil akhir dalam proses konsiliasi ini akan diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan diantara mereka.

b. Mediasi, yaitu suatu proses Penyelesaian Sengketa Alternatif diamna

(53)

dikehendaki. Jadi dalam hal ini sangat jelas bahwa hasil akhir pranta penyelesaian sengketa alternatif dalam bentuk mediasi ini tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.27

c. Arbitrase, merupakan bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang

melibatkan pengambilan putusan oleh satu atau lebih hakim swasta, yag disebut dengan arbiter. Disini seorang arbiter sangat aktif sebagaimana halnya seorang hakim. Ia, dalam hal arbiter tunggal, maupun majelis arbitrase berkewajiban untuk memutuskan sengketa yang disampaikan kepadanya secara professional, tanpa memihak, menurut kesepakatan yang telah tercapai diantara para pihak yang bersengketa pada satu sisi dan arbiter itu sendiri pada pihak lain. Arbiter haruslah independen dalam segala hal. 28

Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut diatas dilakukan atas dasar persetujuan para pihak dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa yang bertingkat. Dan ini merupakan instrumen hukum lain yang dapat ditempuh konsumen tanpa terlebih dahulu melalui instrumen hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK).

Konsiliasi lazim dilakukan di seluruh Indonesia merupakan sifat budaya hukum Indonesia. Bahkan sesudah merdeka, konsiliasi dan arbitrase sangat lazim dilingkungan pedagang dan boleh jadi juga di kalangan minoritas seperti Cina. Pengadilan pemerintah sering dihindari dengan berbagai alasan :

a. efisiensi, kemanfaatan, dan kepercayaan.

(54)

b. Pelarian ke prosedur tersembunyi yang tidak resmi dalam perekonomian.

c. Prosedur peradilan yang menjerakan pengusaha, seperti proses peradilan yang berliku-liku, biaya mahal , ketidakcakapan hakim, bahkan biaya tak resmi pengadilan.29

Konsiliasi dan kompromi penyelesaian perselisihan melalui jalan tengah cenderung lebih ditekankan pada masyarakat yang kecil kecil yang dimana dalam hubungannya tatap muka lebih menonjol. Sebaliknya, hubungan yang tidak akrab menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi lebih tetap.

Seorang konsiliator pada hakekatnya harus berbuat :

a. Meredakan gejolak amarah dan membawa para pihak untuk terus mengadakan perundingan.

b. Memperkecil makna perselisihan dan memperbesar arti hubungan pribadi serta menekankan arti kepentingan bersama.

c. Mengupayakan kesepakatan para pihak bahwa tidak ada satupun pihak yang benar dan menang , walaupun secara pribadi mungkin dianggap ada karena keduanya sama sama bertengkar dan untuk itu perlu diselenggarakan upaya untuk mengukuhkan penyelesaian perdamaiannya dan membersihkan suasana yang keruh.30

29

Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Bandung : Alumni, 1992, hal 69 30

(55)

D. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK

1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam pasal 15 – pasal 17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen diajukan secara lisan dan tertulis ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat BPSK setempat oleh konsumen yang dalam hal ini konsumen :

a. Meninggal dunia

b. Sakit atau telah lanjut usia

c. Belum dewasa

d. Orang asing (Warga Negara Asing)

Isi permohonan penyelesaian sengketa konsumen memuat secara benar dan lengkap mengenai (pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001):

a. Identitas konsumen, ahli warisatau kuasanya disertai bukti diri

b. Nama dan alamat pelaku usaha

c. Barang dan/atau jasa yang diadukan;

(56)

e. Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang dan jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksanaan jasa bila ada.

Permohonan penyelesaian sengketa ditolak, apabila :

a. Tidak memuat persyaratan –persyaratan isi permohonan penyelesian sengketa konsumen;

b. Permohonan gugatan bukan kewenangan BPSK.

Dari segi administratif, permohonan penyelesaian sengketa konsumen dicatat di sekretariat BPSK sesuai format yang disediakan serta dibubuhi tanggal dan nomor registrasi selanjutnya diberikan tanda bukti terima.

1. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

dan kepaniteraan

(57)

Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh majelis yang dibentuk berdasarkan keputusan ketua BPSK dan dibantu oleh Panitera ( pasal 8 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Jumlah anggota majelis BPSK harus ganjil dan minimal 3 orang yang mewakili unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usahayang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum ( pasal 18 ayat 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Jadi anggota majelis BPSK harus ada yang berpendidikan Sarjana Hukum, tidak peduli unsur yang diwakilinya. Sedangkan ketua majelis BPSK harus dari unsur pemerintah , meskipun tidak berpendidikan Sarjana Hukum.

Adapun panitera BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan dengan Surat Penetapan Ketua BPSK ( pasal 54 ayat 2 UUPK jo. Pasal 19 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001).

Tugas panitera meliputi (pasal 19 ayat 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001) :

a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen;

b. Menyimpan berkas laporan;

c. Menjaga barang bukti;

d. Membantu majelis menyusun putusan;

e. Membantu penyampaian putusan pada konsumen dan pelaku usaha;

(58)

g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesian sengketa konsumen.

Apabila ada hubungan sedarah, kekeluargaan atau semenda sampai derajat hubungan ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang bersengketa, maka ada kewajiban bagi semua majelis BPSK baik ketua maupun anggota majelis, panitera untuk mengundurkan diri baik atas permintaan ataupun tanpa permintaan ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau pihak yang bersengketa ( pasal 20 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Khusus untuk Panitera, diminta ataupun tidak untuk mengundurkan diri oleh ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK, maka ia harus mengundurkan diri. Jadi, diminta ataupun tidak oleh pihak-pihak yang telah ditentukan secara limitatif itu, panitera harus mengundurkan diri jika dipenuhinya alasan tersebut.

2. Tata Cara Persidangan

Pasal 26 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK dilakukan secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen dalam waktu 3 hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara lengkap dan benar-benar telah memenuhi persyaratan pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Secara formal dalam surat pemanggilan tersebut dicantumkan :

a. Hari, tanggal, jam, dan tempat persidangan

(59)

Jawaban disampaikan selambat-lambatnya pada persidangan pertama , yaitu pada hari ke 7 terhitung sejak diterimanya secara formal permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK.

Ketentuan pasal 26 ini menurut paham penulis mendorong dan menuntut Ketua majelis BPSK untuk bersikap cermat dan teliti tentang prosedur pemanggilan hari pertama. Persidangan pertama harus dilakukan pada hari kerja ketujuh dan ketua Majelis BPSk diberi waktu maksimal 3 hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran formil permohonan penyelesaian sengketa konsumen. Jadi waktu maksimal yang dimiliki ketua majelis BPSK adalah 10 hari dari mulai pemeriksaan perlengkapan dan kebenaran (formal) permohonan penyelesaian sengketa konsumen sampai dengan dilaksanakannya persidangan pertama.

Setiap Majelis BPSK wajib menjaga ketertiban akan jalannya persidangan (pasal 27 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Terdapat 3 tata cara persidangan di BPSK (pasal 54 ayat 4 jo. Pasal 26 - pasal 36 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), yaitu :

a. Persidangan dengan cara konsiliasi

b. Persidangan dengan cara mediasi

(60)

Menurut Yusuf Shofie, dalam ketiga tata cara persidangan tersebut kehadiran kuasa hukum memang tidak dilarang, baik dalam UUPK maupun dalam SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.31

a. Persidangan dengan cara konsiliasi

Dalam persidangan dengan cara ini, sengketa ditangani oleh majelis BPSK yang bersifat pasif. Sebagai perantara antara pihak yang bersengketa, majelis BPSK bertugas (pasal 28 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001) :

1. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

3. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

4. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha perihal peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

Didalam pasal 29 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 disebutkan ada 2 prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi. Pertama , proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis BPSK hanya bertindak pasif sebagai konsiliator. Kedua,hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

Dengan demikian maka tahapan penyelesaian secara konsiliasi adalah sebagai berikut:

31

(61)

1. Ketua BPSK membentuk majelis dan dibantu oleh seorang Panitera;

2. Majelis memanggil konsumen dan pelaku usaha ,saksi, dan saksi ahli bila diperlukan;

3. Majelis mengadakan sidang pertama pada hari kerja ke 7 terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen;

4. Bilamana konsumen dan pelaku usaha tidak hadir pada persidangan pertama , maka Majelis memberi kesempatan terakhir untuk hadir pada persidangan kedua yang diselanggarakan pada hari kerja ke 5 terhitung sejak hari persidangan pertama;

5. Jika pada persidangan kedua konsumen tidak hadir, maka gugatannya gugur demi hukum. Sebaliknya jika pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan sepenuhnya tanpa kehadiran pelaku usaha;

6. Dalam persidangan Majelis mempunyai tugas menjawab pertanyaan dari konsumen dan pelaku usaha perihal perlindungan konsumen, dan majelis bersikap pasif sebagai konsiliator dan menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa pada para pihak baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

7. Majelis menerima hasil penyelesaian sengketa secara musyawarah yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha;

(62)

9. Majelis wajib menyelesaikan sengketa konsumen secara konsiliasi , dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK;

10. Pelaku usaha yang menerima putusan BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja , terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.

b. Persidangan dengan cara mediasi

Sama halnya dengan konsiliasi, mediasi ditempuh dengan atau atas inisiatif para pihak yang bersengketa. Keaktifan majelis sebagi perantara kedua belah pihak dengan cara mediasi dapat dilihat dari tugas majelis BPSK, yaitu :

1. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

2. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

3. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

4. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

5. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

(63)

petunjuk, sran, dan upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

c. Persidangan dengan cara arbitrase

Pada persidangan dengan cara ini, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.

Pada pasal 32 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 disebutkan bahwa pemilihan majelis BPSK dengan cara arbitrase dipilih dengan 2 cara :

1. Para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis BPSK;

2. Arbitor yang dipilih dari para pihak tersebut kemudian memilih arbitor yang ketiga dari anggota BPSK.

Jadi dalam hal ini, ketua majelis selalu dipilih dari unsur pemerintah.

Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dilakukan dengan 2 cara yakni persidangan pertama dan persidangan kedua. Pertama, prinsip-prinsip pada persidangan pertama, yaitu :32

(64)

2. Kewajiban majelis BPSK untuk mendamaikan kedua belah pihak ( pasal 34 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001)

3. Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban, dituangkan dengan surat pernyataan, disertai kewajiban Majelis BPSK mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan ( pasal 35 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001)

4. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang sama pada para pihak (pasal 34 ayat 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), yaitu :

a. Kesempatan yang sama dalam hal mempelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan kutipan yang diperlukan (pasal 33 ayat 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP /Kep/12/2001);

b. Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian (pasal 34 ayat 1 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001)

Kedua, prinsip-prinsip pada persidangan kedua:

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjelaskan bahwa putusan majelis BPSK adalah bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada lagi upaya

Kalau melihat dilapangan usaha semakin banyaknya pelaku usaha barang dan jasa menawarkan produknya ditengah-tengah masyarakat sebagai konsumen tentu hal tersebut tidak

Dalam perkara ini tidak tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak, akan tetapi BPSK Kota Bandung telah membebaskan Pelaku Usaha dari gugatan

Judul : Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Malang Sebagai Lembaga Small Claim Court Dalam Menyelesaikan Perselisihan Konsumen Pembimbing : Dr..

Penyelesaian sengketa konsumen di daerah yang belum ada BPSK menurut UUPK dapat dilakukan melalui cara di luar pengadilan, yaitu dengan bantuan LPKSM (Lembaga

Terjadi tarik ulur kewenangan dalam menyelesaikan sengketa asuransi di luar pengadilan antara Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang didasarkan oleh

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui (1) bagaimana kedudukan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam rangka menyelesaikan sengketa antara pihak

d) Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen melalui BPSK. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa perlindungan konsumen