• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Lidia Asrida NIM: 1111048000052

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh:

Lidia Asrida NIM: 1111048000052

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

(3)

ii

(BPSK) KOTA TEBING TINGGI DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber – sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universita Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Maret 2015

(5)

iv

Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara”. Konsentrasi Hukum Bisnis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidatullah Jakarta. 1436 H / 2015 M. xi + 81 halaman + halaman daftar pustaka + halaman lampiran. Kondisi yang sangat tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa merupakan suatu potensi yang sangat besar menimbulkan persengketaan antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa. Untuk penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa dimungkinkan diselesaikan di luar pengadilan. Pada tingkat Kabupaten/Kota penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang ada di masing – masing Kabupaten/Kota. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peranan BPSK Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi dan mengetahui hambatan – hambatan yang dihadapi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan metode analisis yuridis empiris menggunakan pendekatan kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi telah mampu berperan dalam perlindungan terhadap hak – hak konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang diatur pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Tetapi dalam melaksanakan tugasnya, BPSK Kota Tebing Tinggi dihadapkan pada berbagai hambatan. Hambatan utama yang dihadapi adalah faktor sumber daya manusia. Walaupun secara pendidikan formal seluruh Anggota memiliki kualitas yang baik, akan tetapi secara teknis dan fungsional Anggota BPSK Kota Tebing Tinggi belum memiliki kualitas yang memadai, sebab hampir 50 % dari Anggota bukan berlatar belakang Sarjana Hukum, sehingga selalu terjadi perdebatan diantara anggota dalam pengambilan keputusan. Faktor sumber daya perangkat kerja dan pembiayaan juga menjadi faktor penghambat yang dihadapi BPSK Kota Tebing Tinggi. Sangat kecilnya alokasi anggaran dan sangat minimnya asset yang dimiliki oleh BPSK Kota Tebing Tinggi menyebabkan rendahnya kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Masih minimnya pengetahuan lembaga lainnya yang menganggap bahwa BPSK Kota Tebing Tinggi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase Pembimbing : Burhanuddin,SH., MH.,

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA TEBING TINGGI

DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA TEBING TINGGI PROVINSI

SUMATERA UTARA”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan

alam semesta Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang inu. Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Asep Saepudin Jahar, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA., selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon,MA., selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Burhanuddin, SH., MH dan Amrizal Siagian, S.Hum., M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, dan ketelitian serta memberikan masukan dan mau meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

(7)

vi

melakukan penelitian dan memperoleh data – data informasi guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa – jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

7. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Muhammad Dimiyathi, S.Sos., M.TP., dan ibunda Harliaminda, S,H., MKn., yang telah tulus dan sabar memberikan semangat dan dukungan dari segi materiil dan moriil serta selalu mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi dan agar skripsi ini berjalan dengan lancar hingga ini selesai. Begitu juga untuk adik tercinta Delila Sandriva, yang telah memberikan semangat dan dukungan selama ini kepada penulis.

8. Kepada Arya Dharma yang banyak memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada penulis selama ini hingga skripsi ini selesai.

9. Sahabat – sahabatku tercinta Ismi Tamia, Esty Lenggogeni, Devi Putriana Silaban, Novita Wulandari Sinaga, dan Artina Gangga Sitompul, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini dan selalu memberikan semangat kepada penulis.

(8)

vii

11.Sahabat – sahabat terhebat di HMPS Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya M. Rizky Firdaus, Rizky Arisandi, Dwi Puji Apriyantok, serta senior – senior bang Rizky Haryo Wibowo, bang Soma, dan adik – adik tersayang Ria Marsella dan Sylvia Amanda terimakasih atas kebersamaan, keceriaan, semangat dan motivasinya, terimakasih sudah menjadi keluarga baru bagi penulis.

12.Keluarga besar Ilmu Hukum kelas B dan Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan teman – teman Kuliah Kerja Nyata SEHATI 2014, terimakasih atas ilmu dan kebersamaan untuk selalu berbagi.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta,13 Maret 2015

(9)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...………….…… i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………... ii

LEMBAR PERNYATAAN ……….……… iii

ABSTRAK ………... iv

KATA PENGANTAR ………. v

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ………... x

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

BAB I : PENDAHULUAN………..……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………..……….. 1

B. Pembatasan Masalah ………..………... 5

C. Perumusan Masalah ………...……… 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...………... 6

1. Tujuan Penelitian ………..……….. 6

2. Manfaat Penelitian ………..……… 7

E. Metode Penelitian ………..……… 7

1. Pendekatan Penelitian …...……….. 7

2. Jenis Penelitian ………..………. 8

3. Sumber Data ………..………. 8

4. Teknik Pengumpulan Data ……..………... 10

5. Subjek Penelitian …..……….. 11

6. Tenik Pengolahan Data ……..………. 13

7. Metode Analisis Data ………..………... 13

F. Sistematika Penulisan ………..……….. 14

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN ………..……… 16

A. Perlindungan Konsumen …………..………. 16

1. Pengertian Perlindungan Konsumen ………...……… 16

2. Hak dan Kewajiban Konsumen ………..……… 19

3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha …………..………... 20

B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …………...………….. 23

1. Pengertian Sengketa Konsumen …………..………... 23

2. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …..….. 25

3. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ………... 26

4. Keanggotaan dan Sekretarian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …………..………. 31

5. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen ……..………... 32

(10)

ix

………..………..

9. Putusan ……… 40

C. Kerangka Konseptual ………..……….. 42

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ………..………….. 44

BAB III : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN …….………. 47

A. Gambaran Singkat Kota Tebing Tinggi ……..……….. 47

B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi………. 50

BAB IV : PEMBAHASAN ………. 55

A. Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi ……… 55

1. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen …... 55

2. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen ……..…….. 57

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen ………..………... 60

a. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi dan Mediasi ………..………... 62

b. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Arbitrase ….... 65

4. Putusan ……… 68

B. Hambatan Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi ………. 70

1. Faktor Sumber Daya Manusia ……...………. 71

2. Faktor Sumber Daya Perangkat Kerja ……...………. 73

3. Faktor Sumber Daya Pembiayaan …...………... 4. Faktor Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya……… 74 76 BAB V : PENUTUP ……….………. 78

1. Kesimpulan …………...……….. 78

2. Saran ………...……… 79

DAFTAR PUSTAKA ………. 82 LAMPIRAN – LAMPIRAN

(11)
[image:11.612.109.546.107.423.2]

x

TABEL 1 : Daftar Subjek Penelitian ……… 12 TABEL 2 : Susunan Personalia Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota

Tebing Tinggi ………...……….. 51 TABEL 3 : Jumlah Perkara Yang Ditangani dan Diselesaikan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi ……… 54 TABEL 4 : Tingkat Pendidikan Anggota dan Tenaga Sekretariat Badan

(12)
[image:12.612.112.539.113.426.2]

xi

GAMBAR 1 : Struktur Organisasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi Periode 2011 – 2016 ……….. 52 GAMBAR 2 : Prosedur Permohonan Penyelesaian Sengketa

Konsumen………... 60 GAMBAR 3 : Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi,

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perekonomian yang terjadi dengan begitu pesat, telah menghasilkan beragam jenis dan variasi barang / jasa.1 Begitu juga Indonesia, perkembangan yang terjadi pada akhir – akhir ini membawa sebuah perubahan yang begitu signifikan terhadap Bangsa Indonesia. Hal ini dimulai dari terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, yang akhirnya menyebabkan terjadinya reformasi total terhadap seluruh sistem penyelenggaraan pemerintahan, politik, penegakan hukum, ekonomi, dan sosial budaya.

Pada sisi yang lain, dengan makin berkembangnya teknologi telah mengubah peta dunia menjadi lebih kecil dan mudah terjangkau serta tidak mengenal batas-batas negara, sehingga setiap permasalahan pembangunan negara cenderung mempunyai ciri yang mengglobal. Globalisasi tersebut dapat juga dirasakan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus berupaya merubah cara-cara lama pelaksanaan pembangunan agar lebih menyesuaikan terhadap perkembangan lingkungan yang nyaris tak terbatas.

Pembangunan dan perkembangan perekonomian, khususnya bidang perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa

1

(14)

yang dibutuhkan masyarakat sebagai konsumen. Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas – batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri.

Kondisi yang demikian pada satu pihak akan memberikan manfaat bagi para konsumen, sebab konsumen sangat membutuhkan barang dan jasa yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhannya, sedangkan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa sudah barang tentu mengharapkan keuntungan yang sebesar – besarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya kedudukan yang sangat tidak seimbang antara pelaku usaha dan penyedia jasa dengan konsumen, dimana konsumen akan dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha atau penyedia jasa.

Konsumen selalu berada pada posisi lemah dibandingkan dengan produsen ataupun pelaku usaha. Konsumen pada umumnya kurang memperoleh informasi lengkap mengenai produk yang dibelinya. Kenyataan seperti itu seringkali disebabkan ketidakterbukaan produsen mengenai keadaan produk yang ditawarkannya.2 Pelaku usaha memiliki pengetahuan yang lebih tentang informasi atas keadaan produk yang dibuatnya. Mereka umumnya berada pada posisi lebih kuat,

2

NHT Siagian, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,

(15)

baik dari segi ekonomi, dan tentunya pula dalam posisi tawar menawar (bargaining position).3

Setiap perusahaan / pelaku usaha harus memiliki tanggung jawab sosial , yaitu kepedulian dan komitmen moral pelaku usaha terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari kalkukasi untung dan rugi perusahaan. Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumennya.4

Kondisi yang sangat tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa merupakan suatu potensi yang sangat besar menimbulkan persengketaan antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa. Untuk penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau penyedia jasa dimungkin diselesaikan di luar pengadilan. Pada tingkat Kabupaten/Kota penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang ada di masing – masing Kabupaten/Kota. Pengaturan tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di atur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari pasal 49 sampai dengan Pasal 58.5 Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 49 ayat 5 di sebutkan bahwa ” Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.”6 Tugas pokok BPSK

3

I b i d, h. 201

4

Zulham,Hukum Perlindungan Konsumen, h. 3

5

Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media , 2010, Cet. Pertama), h. 90

6

(16)

adalah menyelesaikan sengketa – sengketa konsumen melalui jalur luar pengadilan, yaitu dengan cara mediasi, arbitrasi atau konsiliasi.

Proses kerja yang dilakukan oleh BPSK mirip dengan pengadilan, karenanya BPSK disebut sebagai quasi badan peradilan untuk menangani kasus – kasus konsumen, seperti halnya dengan badan penyelesaian sengketa di bidang perpajakan atau perburuhan.7

Berkenaan dengan uraian di atas, peneliti merasa sangat tertarik untuk mempelajari dan mendalami tentang keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melindungi hak – hak para konsumen. Penelitian terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melindungi hak–hak para konsumen yang dilakukan ini, tidak dimaksudkan untuk mendukung atau menentang fungsi dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), akan tetapi dimaksudkan untuk memposisikan fungsi dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tersebut secara kontekstual dalam bidang perlindungan konsumen. Untuk melaksanakan pasal 49 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi di Kota tersebut maka di pandang perlu untuk membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi,

7

(17)

Kota Binjai dan Kabupaten Bogor, terbentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi

Dalam Penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berada di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara. Oleh karena itu, judul dalam penelitian ini adalah, “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan

Konsumen di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara”.

B. Pembatasan Masalah

Dalam hal permasalahan, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa :

“Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang sebenarnya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das sein.”8 Berkenaan dengan defenisi tersebut, maka permasalahan dalam penelitian dibatasi pada peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen.

8

(18)

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan Pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Bagaimanakah peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi ?

b. Apa sajakah hambatan yang dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen di Kota Tebing Tinggi ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitan

Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak

– hak konsumen di Kota Tebing Tinggi.

(19)

2. Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan penelitian yang dilakukan, maka manfaat dan hasil yang diharapkan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. Untuk Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

penelitian yang akan dilakukan berikutnya, guna pengembangan hukum perlindungan konsumen

b. Untuk Ilmu Pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran terhadap konsep, teori, dan praktek yang lebih baik sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum bisnis.

c. Untuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam rangka proses perlindungan terhadap hak– hak konsumen.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

(20)

untuk mendiskripsikan dengan cara mengeksplorasikan hasil – hasil temuan dan analisis serta pembahasan data yang diperoleh.9

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan analisis yuridis empiris. Yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu peraturan atau perundang-undangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif, dalam hal ini pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menganalisis secara kualitatif.10 Oleh karena itu analis yuridis empiris dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh mana suatu peraturan atau perundang-undangan atau hukum berlaku secara efektif dalam masyarakat.

Dengan demikian Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Perlindungan Konsumen akan dikaji dengan cara menilai dan menganalisis jalannya

proses perlindungan konsumen yang dilakukan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dengan sudut pandang yuridis empiris.

3. Sumber Data

Sumber penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini menggunakan beberapa sumber yaitu :

9

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rinneka Cipta, 2000) h. 138.

10

(21)

a. Sumber Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan– ketentuan perundang – undangan yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.11 Bahan hukum primer terdiri dari perundang – undangan, putusan hakim,dll.12 Penelitian ini menggunakan sumber hukum primer karna menggunakan peraturan perundang – undangan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Kementerian Perdagangan RI, Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, Himpunan Peraturan Perlindungan Konsumen Seri Kelembagaan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya hasil penelitian, buku – buku hukum, skripsi, tesis, disertasi hukum, jurnal,dan lain-lainl.13 Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam

“petunjuk” kearah mana peneliti melangkah.14

Seperti buku–buku tentang Perlindungan Konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan skripsi yang berkaitan dengan Perlindungan konsumen.

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2010, Cet. Ketiga), h.52

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010, Cet. Keenam), h.141

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.52

14

(22)

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, wawancara, dan lain-lain.15 Dalam penelitian ini, untuk melengkapi penelitian maka di gunakan wawancara kepada informan yang terkait dengan badan Perlindungan Konsumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian, bahwa penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan pendekatan deskriptif, maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik, sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan ; Penelitian ini dilakukan dengan cara

mempelajari bahan bacaan berupa buku-buku yang dijadikan referensi dan dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian guna memperoleh teori-teori dan informasi yang dibutuhkan.

b. Penelitian Lapangan ; penelitian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke lokasi penelitian untuk menemui pihak – pihak yang terlibat penyelesaian sengketa konsumen pada Badan Penyelesaian

15

(23)

Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Penelitian lapangan ini dilakukan dengan teknik – teknik sebagai berikut :

Wawancara, yakni merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

tanya jawab langsung antara peneliti dengan para subjek penelitan. Teknik ini dilakukan dengan panduan seperangkat pedoman pertanyaan yang terstruktur. Teknik wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat atau pandangan para aktor yang terlibat dalam penyelesaian sengketa konsumen pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.

observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengunjungi langsung lokasi penelitian dalam hal ini melakukan pengamatan kegiatan – kegiatan yang dilakukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi

5. Subjek Penelitian

(24)

“... makin besar sampel yang diambil akan makin tinggi taraf

representativeness sampelnya. Ketentuan ini berlaku selama populasinya tidak homogen secara sempurna. Jika populasinya homogen secara sempurna, besar sampel tidak mempengaruhi taraf representatifnya sampel.

Untuk populasi yang demikian itu sampel cukup kecil saja.”16

Untuk mendapatkan informan yang berhubungan dengan Peran Badan penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Perlindungan Konsumen, maka digunakan purposive sampling. Menurut S. Nasution, bahwa :

“ Sampling purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu. Misalnya orang yang mempunyai tingkat pendidikan tertentu, jabatan tertentu, usia tertentu, yang pernah aktif dalam kegiatan

masyarakat tertentu.”17

[image:24.612.143.534.498.622.2]

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka Aparatur yang dijadikan informan adalah para Anggota dan Tenaga Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi. Dengan demikian subjek penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1

Daftar Subjek Penelitian

No. Subjek Penelian Jumlah

(orang)

1 2 3

1 Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi

9 2 Tenaga Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Kota Tebing Tinggi

4

J u m l a h 13

16

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali , 1983), h. 68

17

(25)

6. Teknik Pengolahan Data

Dalam Teknik pengolahan data dalam penelitian ini digunakan teknik tabulasi data, dimana seluruh jawaban subjek penelitian dikumpulkan dalam suatu tabel. Masing – masing jawaban subjek penelitian tersebut dikelompokkan dengan menampilkan tabel dan prosentase.

Hal ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1985), yang menjelaskan :

“… sebaliknya data kualitatif yang seringkali dikuantitatifkan, diangkakan

sekedar untuk mempermudah penggabungan dua atau lebih data variabel,

kemudian sesudah didapat hasil akhir lalu dikualifikasikan… Terhadap data

yang bersifat kualitatif yaitu yang digambarkan dengan kata – kata atau kalimat, dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Selanjutnya data yang bersifat kuantitatif yang berwujud angka – angka hasil perhitungan atau pengukuran dapat diproses melalui beberapa cara anatara lain :

a. dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh

prosentase…teknik ini sering disebut dengan deskriptif kualitatif…”18

Dengan demikian analisa data ini terbatas pada penggambaran, penjelasan dan penguraian secara mendalam dan sistematis tentang keadaan yang sebenarnya dengan berpedoman pada teori sebelumnya.

7. Metode Analisis Data

Analisis data adalah “proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.”19 Oleh karena itu, setelah

18

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta : Rinneka Cipta, 2000), h. 98

19

(26)

data diperoleh dari instrumen penelitian berupa kajian kepustakaan, dan wawancara, maka data - data tersebut terlebih dahulu akan dikelompokkan, diklasifikasikan, diolah dan dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya data yang telah dianalisis secara kualitatif tersebut akan dituangkan dalam bentuk deskriptif melalui prosedur penalaran deduktif. Dalam hal prosedur penalaran

deduktif ini, Bambang Sunggono menyebutkan bahwa :

Pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini, kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Hal ini berarti bahwa pada deduksi setiap proposisi itu hanya akan dapat dinyatakan sebagai proposisi yang benar kalau ia dapat dirunutkan kembali secara logis (atau ditemukan sebagai hasil penyimpulan) dari suatu proposisi asas yang mengandung kebenaran pangkal tersebut. Jadi, tidak akan ada satu proposisi apa pun yang boleh dianggap benar karena esensinya sendiri kecuali hasil runutan kebenaran pangkal yang sudah harus dianggap self evident (dan didudukkan sebagai asumsi aksiomatik) itu.20

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara ringkas tentang susunan isi laporan hasil penelitian (skripsi) ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab Pertama, merupakan Bab Pendahuluan yang berisikan uraian tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan

20

(27)

Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, merupakan Bab Tinjauan Kepustakaan yang berisikan uraian tentang Perlindungan Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kerangka Konseptual, dan Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Bab Ketiga, merupakan Bab Deskripsi Objek Penelitian yang berisikan uraian tentang Gambaran Singkat Kota Tebing Tinggi, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi.

Bab Keempat, merupakan Bab Pembahasan yang berisikan uraian tentang peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen, dan hambatan yang dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Tebing Tinggi dalam melakukan perlindungan terhadap hak – hak konsumen,.

(28)

16

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam alinea IV Pembukaan UUD-1945 secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

(29)

Keinginan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti dalam semua norma perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana.1

Hubungan hukum antara pelaku usaha dan Konsumen dalam sejarah mencakup dua macam doktrin, yaitu doktrin caveat emptor, yang kemudian berkembang menjadi caveat venditor.

Doktrin caveat emptor disebut juga let the buyer beware atau pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. Doktrin ini memiliki makna bahwa konsumen sendiri yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas perlindungan terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas cacat atau kerugian.

Doktrin emptor kemudian berkembang kearah caveat venditor dimana pelaku usaha yang harus berhati – hati atas produk yang ditawarkan. Doktrin ini dikemukakan karena diyakini bahwa pelau usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap barang dan / atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati hati dalam memproduksi sesuatu produk,

1

(30)

jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, criteria, dan kepentingan konsumen. suatu prinsip hubungan yang semula menekankan kepada kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya berubah menjadi kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen.2

Fenomena yang terjadi saat ini adalah kelemahan konsumen, dimana tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlindungan konsumen melalui upaya pemberdayaan konsumen, pembinaan dan pendidikan konsumen.

Menurut Troelstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan:3

1. Terdapat banyak produk, merek dan cara penjualannya 2. Daya beli konsumen semakin meningkat

3. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang

4. Model – model produk lebih cepat berubah

5. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam – macam pelaku usaha

6. Iklan yang menyesatkan 7. Wanprestasi oleh pelaku usaha

2

Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, (Nusa Media : Bandung) Cet-1, 2010, hal. 19

3

(31)

Dalam rangka pemberdayaan, pembinaan, dan pendidikan terhadap konsumen, pemerintah telah berupaya melindungi hak – hak konsumen melalui Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang – Undang ini menganut asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Terkait dengan hak dan kewajiban para konsemen, pemerintah telah mengatur hak dan kewajiban konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan :

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(32)

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.4

3. Hak dan kewajiban Pelaku Usaha

Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling mengkehendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.

A. Zen Umar Purba dalam menguraikan konsep hubungan pelaku usaha dan konsumen mengemukakan bahwa kunci pokok perlindungan hukum bagi konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang di konsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pelaku usaha.5

4

Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 TentangPerlindungan Konsumen, h.8

5

(33)

Dalam transaksi jual – beli, pelaku usaha sering tidak memperhatikan kondisi produk yang dijual. Kondisi merupakan hal yang sangat penting atau utama dalam suatu transaksi, dimana jika tidak diperhatikan pelaku usaha akan sangat merugikan konsumen.

Guna menjamin keseimbangan kepentingan antara pelaku usaha dan/atau penyedia jasa, pemerintah juga telah mengatur hak dan kewajiban konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan : Pasal 6

Hak pelaku usaha adalah :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(34)

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.6

Dalam Islam juga di ajarkan bahwa sebagai pelaku usaha, harus bersikap jujur dalam melakukan jual – beli atau ketika menawarkan barang/jasa kepada konsumen. Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing – masing pihak, tidak ada boleh ada ancaman, tekanan, penipuan. Jika hal ini tidak di penuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang Bathil.7 Seperti yang terdapat pada surah An-Nisa ayat 29 dan sabda Rasulullah :

“ Wahai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri

kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu”(QS: An – Nisa 4:29)

6

Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 TentangPerlindungan Konsumen, (t.t, t.p, t.h,) h. 11

7

(35)

Seorang muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual sesuatu kepada saudaranya, sementara di dalamnya

terdapat cacat, kecuali ia menjelaskannya”. (HR. Ibnu Majah)

Hal ini menjelaskan bahwa, dalam melakukan suatu tindakan muamalah, harus atas dasar kerelaan kedua belah pihak dan haram hukumnya bagi seseorang menjual barang yang memiliki cacat (cacat produk) tanpa menjelaskan kepada pembeli (konsumen).8 Artinya, pelaku usaha wajib menjelaskan semua informasi tentang barang/jasa yang ia tawarkan, agar halal baginya kegiatan jual – belinya.

B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Pengertian Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen, terdiri dari dua kata, yaitu Sengketa dan

“Konsumen”. Menurut Suharso dan Ana Retnoningsih, “sengketa diartikan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat.”9 Sedangkan Sudarsono mengatakan, “sengketa adalah susuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih, dan bisa di bawa perkara ke pengadilan.”10 Dan konsumen diartikan sebagai pengguna

8

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 60

9

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux, ( Semarang : Widya Karya, 2014, Cet. Kesepuluh), h. 477

10

(36)

barang – barang hasil industri.”11 Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal : 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan “sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atau kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”12

Asal mula sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari – hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak – pihak yang melakukan upaya – upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak yang lainnya menolak atau tidak berlaku demikian.

“Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi – pribadi atau kelompok – kelompok yang mengadakan hubungan

11

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lux, h. 265

12

(37)

karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.”13 Menurut Gulliver,

“suatu sengketa (dispute) hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan (klaim) semula atau seseorang atas namanya, telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari perdebatan diadik (dua pihak) menjadi hal yang dimasuki bidang publik.”14

2. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Konsumen yang menjadi objek aktifitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau penyedia jasa untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut akan cenderung merugikan konsumen sebagai pihak yang dianggap paling lemah. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa, karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha dan/atau penyedia jasa. Oleh karena itu , hak konsumen harus dilindungi dan ditegakkan secara hukum oleh negara. Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa dapat dilalukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaia sengketa antara konsumen dengan dan/atau penyedia jasa serta penegakkan hak – hak konsumen di luar pengadilan, dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

13

Abdul Halim Barkatullah, Hak – Hak Konsumen, h. 73

14

(38)

Dalam pasal 1 point 11 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa, “ Badan Penyelesaian

Sengketa Kosumen adalah Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.”15 Selanjutnya dalam penjelasan pasal 1 point 11 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini dibentuk untuk menangani sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan professional.”16 Adapun sengketa yang diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konseumen adalah kasus – kasus sengketa yang berskala kecil dan bersifat sederhana.

Oleh karena itu, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau yang lazim disebut dengan BPSK adalah lembaga non struktural yang mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.

3. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk di Daerah Kabupaten atau Kota, dengan kedudukan berada di Ibukota Kabupaten atau Kota. Berdasarkan pasal 3 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang

15

Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 TentangPerlindungan Konsumen, h. 6

16

(39)

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen , disebutkan bahwa tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah :

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang – undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m.Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang – undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;17

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa antara pelaku uhasa dan/atau penyedia menempuh cara konsiliasi,

17

(40)

mediasi, atau arbitrase. Cara penyelesaian tersebut bukanlah merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, akan tetapi cara penyelesaian tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersengketa. Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada pasal 1 point 9, 10, dan 11, dinyatakan bahwa :

9. konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

10.mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak

11.arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.18 Selanjutnya dalam memberikan konsultasi perlindungan konsumen, dalam pasal 8 Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, disebutkan bahwa :

a. konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban konsumen untuk menuntut ganti rugi sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang merugikan konsumen.

b. Koordinasi tentang upaya untuk memperoleh pembelaan dalam penyelesaian sengketa konsumen.

18

(41)

c. Konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban pelaku usaha yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

d. Konsultasi tentang bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK.

e. Konsultasi tentang pelaksanaan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.

f. Hal – hal lain yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.19 Terkait dengan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada pasal 9 menyebutkan bahwa :

(1) Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen.

(2) Hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan pencantuman klausula baku di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, diberitahukan secara tertulis kepada pelaku usaha sebagai peringatan.

(3) Peringkatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu untuk masing-masing peringatan 1(satu) bulan.

(4) Bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka BPSK melaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen untuk dilakukan penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.20

Selanjutnya, tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menyangkut penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen, meliputi penelitian, penilaian dan penyelidikan untuk menegetahui dan

19

Ibid., h. 42

20

(42)

meyakini adanya pelanggaran terhadap UU Perlindungan Konsumen dalam rangka penyelesaian sengketa konsumen. Hal sejalan dengan amanat pasal 10 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menyebutkan bahwa :

Penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, meliputi :

a. penelitian dan pemeriksaan trhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti lain yang diajukan baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha;

b. pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen.21

Dalam tugas dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menyangkut putusan dan penetapan ada atau tidaknya ganti rugi di pihak konsumen, maka putusan dan penetapan tersebut meliputi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Dalam pasal 12 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dinyatakan bahwa :

(2) Ganti rugi atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

a. pengembalian uang;

b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau

21

(43)

c. perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.22

4. Keanggotaan dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen paling sedikit berjumlah 3 (tiga) orang dan paling banyak 5 (lima) orang. Anggota BPSK terdiri dari unsur pemerintah, unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha. Berarti jumlah minimal anggota BPSK adalah Sembilan orang dan maksimal 15 orang.23 Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ini ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. Susunan keanggotaan BPSK diatur dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) terdiri atas Ketua merangkap anggota; Wakil Ketua merangkap anggota; Anggota.24

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, secara tegas telah diatur dalam pasal 49 ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:

(2) Untuk, dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

22

I b i d, h. 43

23

NHT Siagian, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, h. 211

24

(44)

a. Warganegara Republik Indonesia b. Berbadan sehat

c. Berkelakuan baik

d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan

e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen

f. Berusia sekurang – kurangnya 30 (tiga puluh) tahun25

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibantu oleh Sekretariat. Sekretariat ini terdiri atas Kepala Sekretariat yang disebut dengan Sekretaris dan anggota sekretariat. Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris dan anggota secretariat ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. Selain menjalan tugas dan fungsi kesekretariatan, Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga berfungsi sebagai Panitera baik dalam persidangan maupun di luar persidangan BPSK.

5. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sebagaimana dimaklumi bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah lembaga non struktural yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan/atau penyedia jasa dengan konsumen. Setiap konsumen atau ahli waris konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha dan/atau penyedia jasa, dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.

25

(45)

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dilakukan apabila konsumen meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta dinyatakan tidak cakap bertindak dalam hukum sesuai ketnetuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau orang asing (Warga Negara Asing).

Permohonan yang diajukan untuk penyelesaian sengketa konsumen telah diatur dalam pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang berbunyi :

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:

a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. barang atau jasa yang diadukan;

d. bukti perolehan (bon, faktur, wkitansi dan dokumen bukti lain); e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa

tersebut;

f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh; g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.26

26

(46)

6. Majelis dan Panitera

Sebagaimana layaknya sebuah persidangan, maka persidangan penyelesaian sengekata konsumen yang akan dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen harus dibentuk sebuah Majelis. Hal ini secara tegas diamanatkan dalam pasal 18 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyebutkan bahwa :

(1) Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh Majelis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua BPSK dan dibantu oleh Panitera.

(2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jumlah anggotanya harus ganjil dan paling sedikit 3 (tiga) orang yang mewakili unsur pemerintah, unsure konsumen dan unsur pelaku usaha yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum.

(3) Ketua Majelis ditetapkan dari unsur pemerintah.27

Dalam membantu majelis melaksanakan persidangan ditetapkan panitera yang berasal dari anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas dari panitera tersebut ditetapkan pada pasal 19 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan :

(2) Tugas Panitera meliputi :

a. mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen; b. menyimpan berkas laporan;

c. menjaga barang bukti;

27

(47)

d. membantu Majelis menyusun putusan;

e. membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha;

f. membuat berita acara persidangan;

g. membantu Majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa konsumen.28

7. Alat Bukti dan Saksi

Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan atas kebenaran adanya suatu perbuatan hukum. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen, pembuktian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Adapun alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen, telah diatur dalam pasal 21 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang berbunyi :

Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen berupa : a. barang dan/atau jasa;

b. keterangan para pihak yang bersengketa; c. keterangan saksi dan/atau saksi ahli; d. surat dan/atau dokumen;

e. bukti-bukti lain yang mendukung.29

Saksi dalam penyelesaian sengketa konsumen merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelesaian sengketa

28

Ibid., h. 45

29

(48)

konsumen. Dalam setiap proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, saksi dapat dihadirkan oleh Majelis dan/atau atas saran atau permintaan para pihak yang bersengketa. Saksi – saksi dapat berupa saksi yang mengetahui secara pasti tentang persegketaan dan/atau saksi ahli.

8. Tata Cara Persidangan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut bukanlah merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, akan tetapi cara penyelesaian tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersengketa.

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Dalam konsiliasi sebagaimana diatur dalam pasal 28 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka majelis mempunyai tugas :

(49)

b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan

perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.30

Sedangkan tata cara penyelesaian sengketa dengan konsiliasi diatur dalam pasal 29 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan : Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah : a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada

konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

b. Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;

c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan.

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi sebagaimana diatur dalam pasal 30 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka majelis mempunyai tugas :

a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

30

(50)

e. secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.31

Adapun tata cara penyelesaian sengketa dengan mediasi diatur dalam pasal 31 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang menyatakan : Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah : a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada

konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

b. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan

mengeluarkan ketentuan.32

Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Dalam arbitrase sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dinyatakan bahwa :

Pasal 32

(1) Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis.

31

Ibid., h. 47

32

(51)

(2) Arbitor yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintah sebagai Ketua Majelis.

Pasal 33

(1) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

(2) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

Pasal 34

(1) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.

(2) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Pasal 35

(1) Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan.

(2) Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka dalam persidangan pertama Majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.

(3) Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.

Pasal 36

(1) Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan.

(52)

(3) Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.33

9. Putusan

Dalam hal putusan penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi atau Mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Perjanjian tertulis tersebut dikuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis. Keputusan Majelis ini tidak memuat sanksi administratif.

Sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis. Keputusan Majelis ini dapat memuat sanksi administratif.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam pasal 40 disebutkan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat berupa:

(1) Putusan BPSK dapat berupa : a. perdamaian;

b. gugatan ditolak; atau c. gugatan dikabulkan.

33

(53)

(2) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa pemenuhan : a. ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau

b. sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah).34

Selanjutnya dalam pasal 54 ayat (3) Undang – Undang Nomor 8

Tahun 1999 disebutkan, bahwa : “ putusan majelis bersifat final dan

mengikat. “ Hal ini senada dengan bunyi pasal 42 Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perda

Gambar

TABEL   1 : Daftar Subjek Penelitian ………………………………………… 12
GAMBAR   1 : Struktur Organisasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Tabel 1 Daftar Subjek Penelitian
Tabel  2  Susunan Personalia
+6

Referensi

Dokumen terkait

Baik batang kayu utuh (balok) maupun batang kayu yang dibelah serta kayu irisan. Rumah ibadat utama Kulawi yang disebut lobo itu kalau di daerah lain, yaitu di

dan untuk daerah yang jauh dari sarana pelayanan rujukan, puskesmas.. dilengkapi dengan fasilitas rawat inap (DepKes

Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan benda magnetik. Apabila benda magnet tersebut diletakkan dalam medan luar, benda tersebut menjadi termagnetisasi

[r]

Nama paket pekerjaan : Pekerjaan Belanja Modal Pengadaaan Alat-Alat Angkutan Darat Bermotor Station Wagon pada Kegiatan Pengadaan Kendaraan Dinas Biro Aset Setda

Contohnya seperti penggunaan warna kuning pada bangunan Melayu yang sudah ada dari zaman dahulu dan tetap berlanjut dan dipertahankan sampai saat ini..Menurut Takari (2013)

1. Perkembangan fungsi aspek-aspek fisik orang dewasa terus berjalan sesuai dengan jenis pekerjaan, pendidikan dan latihan serta hobi-hobi aktivitas fisik. Usia dewasa merupakan usia

Berdasarkan data dan pembahasan masalah yang penulis lakukan terhadap piutang tidak tertagih dengan membandingkan metode analisa umur piutang, jumlah cadangan ditambah dan