• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syari’ah (Studi Pada Bank Syari’ah Mandiri Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syari’ah (Studi Pada Bank Syari’ah Mandiri Pematangsiantar"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU – BUKU

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep,

Regulasi, dan Implementasi), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Antonio , Muhammad Syafii, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani.

Aziz, Amin, M. 1996. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia.Jakarta:Penerbit Bangkit.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994.Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Barkatulah, Abdul Halim, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis

dan Perkembangan Pemikiran. Banjarmasin: FH Unlam Press.

Fuadi, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Salim, H.S, 2008. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPERDATA, Rajawali Pers, Mataram.

Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek

Hukum), Jakarta : Ghalia Indonesia. Perwaatmadja, Karnaen dan M. Syafii

Antonio. 1997. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT. Dana Bhakta Wakaf.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muhammad, Abdulkadir.1992. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nasution, A.Z. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Jakarta: Diadit Media.

Perwaatmadja Kamaen , Muhammad Syafii Antonio. 1992. Prinsip Operasional

(2)

Prodjodikoro, Wirjono, 1981. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan

Tertentu, Bandung: Sumur.

Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung:Citra Aditya Bakti

Saeed, Abdullah. 2008. Bank Islam dan Riba, Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

Setiawan, R. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, , Bandung : Binacipta.

Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti : Bandung.

Siahaan, N. H. T. 2005. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan

Tanggungjawab Produk, Jakarta: Panta Rei.

Simorangkir, J.C.T. 1987. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru.

Soemitro, Ronny Hanitijo, S.H. 1985. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Subekti. 2005. Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, Jakarta : PT. Intermasa.

Sumitro, Warkum. 2004. Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga

Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia),,

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sunaryo. 2008., Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta : Sinar Grafika.

Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Syafa’at, Rachmad, 2008. Strategi Penelitian dan Penulisan Ilmu Hukum. Malang: Setara Press.

Usman, Rachmadi. 2002. Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Wirdyaningsih, Karnaen Perwaatmadja, Yeni Salma Barlinti, Gemala Dewi, 2007,

Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Prenada Media

Wiroso. 2005. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT. Grasindo.

(3)

B. UNDANG – UNDANG

Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia.

Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14.DPbS.

Al – Qur’an dan Terjemahannya.

C. MEDIA

Rifka dejavu, Pembiayaan Murabahah (Antara Syariah dan Bisnis),

Mewujudkan Kesetaraan dan Keaadilan Perbankan, Peluang Bank Syariah. “Media Indonesia” 28 Mei 2001.

M. Syafii Antonio,

(4)

BAB III

BENTUK PERJANJIAN DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI PEMATANGSIANTAR

A. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Baku 1. Pengertian Perjanjian Baku

Salah satu asas yang dikenal dan dianut dalam hukum perjanjian di

Indonesia ialah asas kebebasan berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal

1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut tidak lain dari pernyataan

bahwa setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari Pasal tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja asal

tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Perjanjian baku pada dasarnya merupakan perjanjian yang sebagaimana

diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, dimana pengertian perjanjian adalah suatu

perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

orang lain atau lebih. Defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan tersebut

adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap oleh karena yang

dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Menurut R. Subekti,

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.46

Sedangkan perjanjian menurut R. Wiryono Prodjodikoro adalah suatu

perbuatan hukum dimana mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam

46

(5)

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal,

sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.47

Selanjutnya menurut Hoffman, perikatan adalah suatu hubungan hukum

antara sejumlah terbatas subjek-subek hukum sehubungan dengan itu seorang atau

beberapa orang dari padanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut

cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian

itu.48

Perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa

Belanda yaitu “standard contract” atau “standard voorwaarden”. Di luar negeri

belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk

Dalam hal ini dikatakan sebagai perjanjian apabila seseorang yang

mengikatkan dirinya itu memiliki hak dan pihak lainnya memikul kewajiban,

dimana hak itu berwujud pelaksanaan prestasi oleh debitur yang memiliki

kewajiban untuk memenuhi hak yang dimiliki oleh kreditur.

Selama perkembangannya hampir setengah abad hukum perjanjian

Indonesia mengalami perubahan, antara lain sebagai akibat dari keputusan badan

legislatif dan eksekutif serta pengaruh dari globalisasi. Dari perkembangan

tersebut dan dalam praktek dewasa ini, perjanjian seringkali dilakukan dalam

bentuk perjanjian baku (standard contract), dimana sifatnya membatasi asas

kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan

kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang-undang atau

setidak-tidaknya diawasi pemerintah.

47

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981, hal. 11

48

(6)

perjanjian baku. Kepustakan Jerman mempergunakan istilah “Allgemeine

Geschafts Bedingun”, “standard vertrag”, “standaardkonditionen”. Dan Hukum

Inggris menyebut dengan “standard contract”. Mariam Darus Badrulzaman,

menerjemahkannya dengan istilah “perjanjian baku”, yang berarti perjanjian

yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir49

Kontrak Standar merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan

dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak

oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah pada

prakteknya.

. Baku berarti

patokan, ukuran, acuan. Olehnya jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahwa

hukum itu ditentukan ukurannya, patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti

tetap yang dapat menjadi pegangan umum.

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan

sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja

sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan

syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai

kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan

hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut

sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat

membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa

awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada

aspek hukum perjanjian.

49

(7)

Para sarjana mendefinisikan perjanjian baku (standard contract) sebagai

berikut:

a. Munir Fuadi

“Kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.”50

“Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo menjelaskan perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari Pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggungjawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.”

b. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo

51

Perjanjian Baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat

eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam

bentuknya.

c. Mariam Darus Badrulzaman

52

Abdulkadir Muhammad menjelaskan perjanjian baku adalah perjanjian

yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap d. Abdulkadir Muhammad

50

Munir Fuadi, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76

51

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 118

52

(8)

konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang

distandarisasi atau dibakukan adalah meliputi model, rumusan, dan ukuran.53

Di Indonesia dijumpai tindakan negara yang dalam hal ini ikut campur

tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang

paling dikenal adalah tentang hal yang menyangkut hubungan antara buruh dan

majikan/pengusaha.

Dari definisi para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

suatu perjanjian baku adalah perjanjian yang memuat di dalamnya klausula –

klausula yang sudah dibakukan, dan dicetak dalam bentuk formulir dan dengan

jumlah yang banyak serta dipergunakan untuk semua perjanjian yang sama

jenisnya.

Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan

berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak

yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat.

Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini

dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas

ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya

tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang

datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku

pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature)

terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya

perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.

53

(9)

Tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi

asas kebebasan berkontrak, namun hanya UU atau Perppu atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum

untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak itu penting mengingat dalam perjajian harus

terdapat adanya:

1) Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena

ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: “Sebab yang halal”

2) Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU

yang bersifat mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh:

menyimpang dari Pasal 1491 KUHPerdata, biaya pengiriman ditanggung oleh

pembeli (bukan penjual).

3) Unsur aksidentalia, unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh

ditambahkan atas kesepakatan para pihak. Contoh: jual beli rumah mencakup AC

yang sudah terpasang.

Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian

menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam Pasal

tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1. adanya kata sepakat;

2. adanya kecakapan;

3. terdapat objek tertentu; dan

(10)

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum

perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:

1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun;

2. bebas mengatur isinya;

3. bebas mengatur bentuknya.

Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah

perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak

seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata?

Mengenai hal ini terdapat 1 (satu) pendapat:

1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang

diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata;

2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang

dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak,

sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas.

Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana

menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku

berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan

ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.

2. Ciri – Ciri Perjanjian Baku

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di

dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

(11)

Pengertian klausula baku berdasarkan Pasal 1 angka (10) UUPK, yaitu:

setiap aturan atau ketentuan dari syarat-syarat yang telah di persiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

konsumen.

Abdulkadir Muhammad, menuliskan secara sederhana perjanjian baku

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:54

Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan

sendiri secara sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena a. Bentuk Perjanjian Tertulis

Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan

dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-kata atau

kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat

secara tertulis berupa akta otentik atau akta di bawah tangan.

b. Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran. Format ini

dibakukan, artinya sudah ditentukan oleh model, rumusan, dan ukurannya,

sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena

sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian

lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat

perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku.

c. Syarat-syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha

54

(12)

syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya lebih

menguntungkan pihak pengusaha ketimbang konsumen. Hal ini tergambar

dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab pengusaha,

tanggung jawab tersebut menjadi beban konsumen.

d. Konsumen Hanya Menerima Atau Menolak

Jika konsumen menerima syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan

kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan

perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen tersebut bersedia memikul

beban tanggung jawab. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat

perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia tidak bisa melakukan negosiasi

syarat-syarat yang sudah distandarisasikan tersebut.

e. Perjanjian Baku Selalu Menguntungkan Pengusaha

Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pengusaha,

sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian akan selalu

menguntungkan pengusaha, terutama dalam hal-hal sebagai berikut :

1) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;

2) Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau

blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

3) Penyelasaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan atau

menandatangani perjanjian yang ditawarkan kepadanya;

4) Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak;

(13)

Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku

memiliki ciri –ciri sebagai berikut :55

3. Jenis - Jenis Perjanjian Baku

a) Isinya ditetapkan sepihak oleh pihak yang posisinya lebih kuat;

b) Masyarakat dalam hal ini debitur, sama sekali tidak ikut bersama –

sama menentukan isi perjanjian;

c) Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

d) Dipersiapkan terlebih dulu secara missal dan kolektif;

Perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian

terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat

dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:

a. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak

yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini

adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat

dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,

misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, adalah perjanjian baku

yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu,

misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.

c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat, adalah

perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi

permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat

55

(14)

yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebut contract

model.

Bentuk perjanjian baku dengan syarat – syarat baku umumnnya terdiri

atas:56

56

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media, Jakarta, 2002, Hal 95-96

1) Dalam bentuk dokumen

Merupakan suatu perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan

terlebih dahulu oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan

khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal –

hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian itu.

2) Dalam bentuk persyaratan- persyaratan dalam perjanjian

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yang termuat

dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu –

kartu tertentu, pada papan pengumuman yang diletakkan dalam di ruang

termuat dalam kemasan atau pada wadah produk yang bersangkutan.

Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian

besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian

standar/standard contract. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah

suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam

(15)

4. Perjanjian Baku menurut KUHPerdata dan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen

Di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata tidak diatur secara

spesifik mengenai perjanjian baku, namun perjanjian baku tetap diperbolehkan

dalam praktek – praktek perjanjian, dengan catatan tidak bertentangan dengan

syarat – syarat dan prinsip – prinsip dalam hukum perikatan pada umumnya.

Namun, Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

menyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Secara sepintas,

dapat terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak sejalan dengan

asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual, mengingat terms

and conditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak. Namun

demikian, bahwa dengan diterimanya syarat syarat tersebut oleh pihak lainnya

dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan diri

untuk menerima persyaratan persyaratan dimaksud. Mengingat penundukan

sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa terms and condition

tersebut memenuhi unsur-unsur keadilan, kepatutan, keseimbangan dan

perlindungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam posisi yang

tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapat berupa tidak

adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak

adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and

(16)

monopolistis atau karena sifat barang dan/atau jasa yang menjadi objek

perjanjiannya. Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis.

Kebutuhan tersebut timbul mengingat sifat-sifat dari transaksi seperti

berulang-ulang dan relatif homogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan

kebiasaan dalam dunia perdagangan.Namun demikian, Undang-undang

membatasi kebebasan dari satu pihak untuk mendiktekan ketentuan dan

syarat-syaratnya untuk tidak bertentangan dengan asas-asas umum pada perikatan.

Undang-undang no. 8 tahun 1999 dalam konsideransnya menyatakan bahwa

untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang

bertanggung jawab; Selain itu juga dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa penting

untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggungjawab dalam berusaha;Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat 1

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak

baku justru diperlukan untuk melindungi asas kebebasan berkontrak yang

berlaku secara universal itu.

Selengkapnya bunyi Pasal 18 Undang undang Nomor 8 tahun 1999

adalah sebagai berikut :

Pasal 18 ayat 1, Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan

(17)

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala

tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh

konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli

jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

(18)

Pasal 18 ayat 2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku

yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau

yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pasal 18 ayat 3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku

usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.(4) Pelaku

usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

Undang-undang ini. Sebenarnya pengaturan perUndang-undang-Undang-undangan perlindungan

konsumen ini adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada

pada perikatan dalam KUHPerdata, pada Pasal 1493 dan Pasal 1494 yang

berbunyi sebagai berikut : Pasal 1493, kedua belah pihak, dengan

persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang

ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan

persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apa pun. Dalam

Pasal 1494 meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung

sesuatu apa pun, ia tetap bertanggung jawab atas akibat dari suatu perbuatan

yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah

batal. Satu hal yang sangat jelas pada kedua produk perundang-undangan di atas

adalah tidak diperbolehkannya satu pihak yang seyogianya bertanggungjawab

tetapi mengalihkan atau tidak mengakui tanggungjawab tersebut, atau yang

disebut sebagai klausul eksonerasi.

Undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) menentukan

(19)

Tentang Tanggung jawab Pelaku Usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga Pasal 28

UUPK. Ketentuan tentang tanggung jawab (liability) yang terdapat dalam Bab

Tanggung Jawab Pengusaha atau Produsen merupakan permesan dari asas

product liability.

Bahkan sebagian besar pakar memandang, eksistensi product liability

sudah disyaratkan mulai dari Pasal 7 hingga Pasal 18 UUPK. Inti dari product

liability dalam ketentuan ini adalah, pelaku usaha bertanggungjawab atas

kerusakan, kecacatan, penjelasan, ketidaknyamanan, dan penderitaan yang

dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang dan atau

jasa yang dihasilkan.57

B. Perjanjian Baku pada Pembiayaan Murabahah pada PT Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

1. Jenis Pembiayaan pada PT Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian

fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang

merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagai

menjadi:58

57

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 145.

58

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2001 hal.160.

a. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik

(20)

b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi, yang akan habis diguna-kan untuk dipakai memenuhi

kebutuhan.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi:59

Jenis pembiayaan syariah pada Bank Syariah yang lazim ditemukan

diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan (1)

peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi,

maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi;

dan (2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari

suatu barang.

2) Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal

(capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

60

a) Al-wadi’ah (Simpanan)

Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan,

merupakan titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila

nasabah yang bersangkutan menghendaki. Prinsip wadi’ah adalah dimana pihak

pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua, selaku penerima titipan

dengan konsekuensi, titipan tersebut sewaktu – waktu dapat diambil kembali,

dimana kepada penitiip dapat dikenakan biaya penitipan.

59

M. Syafii Antonio,

60

(21)

b) Al - musyarakah

Al-musyarakah secara bahasa berarti mencampur. Dalam hal ini,

mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan

satu sama lain. Al Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha dimana

dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan

proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang

sama atau tidak sama, sesuai dengan kesepakatan para mitra, dan kerugian akan

dibagikan menurut proporsi modal.

Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal

pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama

menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek

dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu

mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan

untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.

c) Al - mudharabah

Pengertian Al - mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak,

di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi

pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam

kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu

bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian

pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.

Secara umum, mudarabah dibagi tiga, yaitu :

1) mudarabah mutlaqah merupakan mudharabah yang tidak disertai

(22)

(penyedia dana). Pengertian lain dari mudarabah mutlaqah adalah

bentuk kerja sama antara shahibul maal dengan mudarib yang

cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,

waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang

sebesar – besarnya kepada mudarib untuk mengelola dananya;

2) mudarabah muqayyadah on balance sheet, merupakan akad

mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari

shahibuk maal untuk investasi – investasi tertentu. Dalam Mudarabah

ini mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat

usaha yang telah diperjanjikan di awal akad kerja sama;

3) mudarabah muqayyadah off balance sheet, merupakan jenis

mudarabah dimana bank bertindak sebagai arranger, yang

mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan

menjadi mudarib. Jenis mudarabah ini merupakan penyaluran dana

langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai

perantara (arranger) yang mempertemukan anatara pemilik dana dan

pelaksana usaha.

Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada

produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan modal kerja. Dana

untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti

tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito

(23)

d) Al-muzara'ah

Pengertian Al - muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian

antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada

penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari

hasil panen. Dalam dunia perbankan ka¬sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan

bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.

e) Al-musaqah

Pengertian Al - musaqah merupakan bagian dari al - muza'arah yaitu

penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan

menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari

persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama

pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.

f) Bai' as-salam

Bai' as-salam artinya pembelian barang dengan pembayaran di muka

dan barang diserahkan kemudian hari. Bai’ as-salam adalah transaksi jual beli,

dimana barangnya belum ada, sehingga barang yang menjadi objek transaksi

tersebut diserahkan secara tangguh. Dalam transaksi ini bank menjadi pembeli

dan nasabah menjadi penjual. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui

terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus

dalam bentuk uang.

g) Bai' Al istishna'

Bai' Al istishna' merupakan bentuk khusus dari akad Bai'as¬salam,

oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna' mengikuti ketentuan dan aturan

(24)

dengan produsen (pembuat ba¬rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui

atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga

dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka

atau secara angsuran per bulan atau di belakang.

h) Al-Ijarah (Leasing)

Pengertian Al-Ijarah adalah kegiatan penyewaan suatu barang dengan

imabalan pendapatan sewa, dimana akad pemindahan hak guna atas barang atau

jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan

kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh

perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.

Secara prinsip, ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang

menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa

sewa, dapat saja diperjanjikan bahwa barang yang diambil manfaatnya selama

masa sewa akan dijualbelikan antara bank dan nasabah yang menyewa (ijarah

muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).

i) Al-Wakalah (Amanat)

Wakalah atau wakilah adalah transaksi, dimana pihak pertama

memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu

dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi. Akad wakalah ini

tersebut biasa digunakan antara lain dalam pengiriman transfer, penagihan utang,

baik melalui kliring atau inkaso atau realisasi L/C. Wakalah dalam praktik

perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk

mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C,

(25)

j) Al-Kafalah (Garansi Bank)

Al-Kafalah merupakan transaksi dimana pihak pertama bersedia

menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua, sepanjang

sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan

berupa fee atau komisi (garansi). Jadi, kafalah adalah akad pemberian jaminan

yang diberikan kaafil (penjamin/bank) kepada makful (penerima jaminan) dan

bertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi hak

penerima jaminan.

k) Al-Hawalah

Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang

kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan

beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Fasilitas hawalah sendiri pada

lazimnya digunakan untuk membantu supplier untuk mendapatkan modal tunai

agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya dan

jasa. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak

piutang atau factoring.

l) Ar-Rahn

Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si

peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini

dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.Tujuan akad rahn ini adalah untuk

memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan

(26)

m) Sharf (Jual Beli Valuta Asing)

Sharf adalah pertukaran / jual beli mata uang yang berbeda dengan

penyerahan segera/spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar

pada saat pertukaran. Sharf adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta

lainnya. Pada prinsipnya, jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf,

sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank dapat mengambil

keunutngan dari jual beli valuta asing ini.

n) Qardh

Qardh adalah pinjaman uang. Qardh ini telah dituangkan dalam Fatwa

DSN-MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001. Dalam diktum fatwa tersebut, disebutkan

bahwa qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang

memerlukan. Nasabah qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima

pada waktu yang telah disepakati bersama dan lembaga keuangan syariah dapat

meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

2. Pembiayaan Murabahah dan Perjanjian Baku

Meningkatnya jumlah bank syariah di Kota Pematangsiantar

menunjukkan bahwa daerah ini tidak tertinggal dalam laju perkembangan industri

perbankan syariah di Indonesia. Bank Syariah, khususnya Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar menyediakan berbagai jenis pembiayaan untuk nasabah,

termasuk salah satu diantaranya adalah pembiayaan Murabahah. Bank Syariah,

pada dasarnya menyediakan pembiayaan untuk kegiatan yang tidak bertentangan

dengan syariah.

Perjanjian baku pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan

(27)

sejumlah dana kepada debitur. Pemberian pembiayaan ini berdasarkan prinsip

syariah sangat beresiko, karena setelah dana pembiayaan diterima oleh debitur,

maka pihak bank tidak mengetahui secara pasti penggunaan dana tersebut. Oleh

karena itu, dalam menyalurkan dana, bank harus melaksanakan asas – asas

pembiayaan dengan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan asas kehati –

hatian, serta perlu melakukan penilaian yang seksama dalam setiap pertimbangan

permohonan pembiayaan syariah dari nasabah.

Penerapan prinsip – prinsip hukum perbankan syariah dalam membuat

perjanjian baku pembiayaan murabahah di Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

dapat dilihat berdasarkan beberapa aspek di bawah ini :

a. Subjek akad atau para pihak yang membuat perjanjian.

Dalam perjanjian baku pembiayaan pada pembiayaan murabahah

pada Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, para pihak terdiri atas orang

atau badan hukum yang cakap dan berwenang untuk melaksanakan

perbuatan hukum membuat perjanjian baku pembiayaan. Mereka antara

lain adalah :

Pihak pertama, yaitu bank syariah dalam hal ini adalah Bank Syariah

Mandiri yang telah berstatus badan hukum bertindak sebagai kreditur.

Dalam hal ini pihak Bank Syariah Mandiri memberikan kuasa kepada

Direktur Kantor Cabang untuk bertindak untuk dan atas nama Bank

Syariah Mandiri mengikatkan diri untuk menyediakan sejumlah dana

pembiayaan syariah. Direktur Kantor Cabang inilah yang bertindak

(28)

Pihak kedua, yaitu orang perorangan atau koperasi atau badan usaha

yang telah berstatus badan hukum (PT) yang bertindak sebagai nasabah

debitur. Identitas para pihak jelas memenuhi aspek legalitas individu atau

usaha yang ditujukan dengan surat keterangan seperti Kartu Tanda

Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Kutipan Akta Nikah, Surat Izin

Usaha, Akta Pendirian PT, AD/ART Koperasi, Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP), dst. Dalam kontrak perjanjian baku pembiayaan bank syariah,

para pihak menguraikan secara jelas tempat dan waktu / saat perjanjian

dibuat.

b. Tujuan dan Objek Akad

Tujuan perjanjian baku pembiayaan Murabahah Bank Syariah

Mandiri Pematangsiantar adalah untuk membiayakan kebutuhan konsumtif

atau kegiatan yang tidak melanggar ketentuan syariah, yaitu pembiayaan

kebutuhan konsumtif atau kegiatan usaha yang halal dan thayyib. Tujuan

penggunaan dana ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan tidak

boleh diubah secara sepihak oleh nasabah debitur tanpa sepengetahuan bank.

c. Adanya Kesepakatan Para Pihak

Dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar, terdapat kesepakatan para pihak yang ditandai dengan

adanya pengikatan perjanjian baku pembiayaan, yang antara lain berisi :

komparisi, jangka waktu, margin keuntungan bagi hasil, biaya – biaya, tata

cara pembiayaan, jaminan asuransi, dan cara – cara penyelesaian yang

(29)

d. Adanya persamaan / kesetaraan / kesederajatan / keadilan

Penentuan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian baku

pembiayaan murabahah pada Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, secara

umum ditentukan secara sepihak oleh bank. Kecuali mengenai komparisi,

tujuan pembiayaan, rasio – rasio biaya berdasarkan mark up dalam jual beli

atau nisbah bagi hasil lebih adil bagi para pihak dibandingkan dengan

ketentuan bank konvensional yang secara sepihak menetapkan besar bunga

dan perubahan suku bunga selama pelaksanaan perjanjian pembiayaan.

e. Pilihan Hukum yang Digunakan Dalam Kontrak Perjanjian

Dalam perjanjian baku pembiayaan Murabahah Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar, pilihan hukum yang digunakan oleh para pihak adalah

tunduk dan mengikuti ketentuan hukum Indonesia.

Penerapan asas kehati – hatian dalam melaksanakan pembiayaan

syariah pada umumnya, dilakukan dengan menerapkan credit management yang

dalam beberapa hal sama seperti yang ditetapkan dalam pemberian kredit oleh

bank konvensional, yaitu menggunakan prinsip The Five C’s of Credit, yaitu

Watak (Character), modal (Capital), kemampuan (Capacity), kondisi ekonomi

(Condition), dan jaminan (Collateral).

3. Bentuk dan Isi Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah di Pematangsiantar

Bentuk perjanjian baku pembiayaan yang dilaksanakan oleh PT. Bank

(30)

menggunakan perjanjian tertulis dan bentuk baku (standard contract).61

a. Memenuhi ketentuan Qs. al-Baqarah (2):282 yang artinya: “Hai

orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamallah tidak secara tunai untuk

waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya…. Dan

dipersaksikanlah dengan dua orang saksi…”

PT. Bank

Syariah Mandiri Pematangsiantar membuat perjanjian baku pembiayaan dalam

bentuk perjanjian tertulis dan bentuk baku (standard contract) karena beberapa

alasan yang berbeda:

b. Memenuhi ketentuan Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Bank

Indonesia, dalam perjanjian baku pembiayaan harus ada perjanjian tertulis.

c. Memenuhi ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI).

d. Preventif bagi bank syariah untuk pengamanan hukum dan alat bukt i.

e. Penerapan asas kebebasan berkontrak, yaitu bebas menentukan bentuk

perjanjian tertulis, tidak tertulis atau tertulis dengan standard contract.62

Berdasarkan beberapa alasan di atas, dapat diartikan bahwa perjanjian

baku pembiayaan syariah dibuat dalam bentuk tertulis dan bentuk baku (standard

contract) dalam rangka menjalankan fungsi yuridis, yaitu memberikan kepastian

hukum bagi para pihak.15 Hal ini semakin jelas, dengan dibuatnya sebagian besar

perjanjian baku pembiayaan syariah dalam bentuk akta notariel.

61

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

62

(31)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anatomi perjanjian baku

pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar pada dasarnya sama

dengan perjanjian murabahah pada bank – bank syariah lain pada umumnya. Yang

membedakan hanyalah urutan klausul – klausul yang ada di dalam kontrak

tersebut. Berikut ini adalah anatomi perjanjian baku murabahah pada PT. Bank

Syariah Mandiri Pematangsiantar

Anatomi Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

No

Nama Bank Syariah

Klausula Baku Klausula Bebas

1.

Jangka Waktu dan Cara

Pembayaran (Pasal 4)

Definisi (Pasal 1)

Biaya, Potongan dan Pajak

(Pasal 6)

Penarikan Pembiayaan (Pasal 3) Jaminan (Pasal 7)

Tempat Pembayaran ( Pasal 5 ) Lain-lain (Pasal 16)

Biaya, Potongan dan Pajak (Pasal 6)

Cidera Janji (Pasal 8)

Akibat Cidera Janji (Pasal 9)

(32)

Pembatasan terhadap Tindakan

Nasabah (Pasal 11)

Risiko (Pasal 12)

Asuransi (Pasal 13)

Pengawasan (Pasal 14)

Penyelesaian Perselisihan (Pasal 15)

Pemberitahuan (Pasal 17)

Penutup (Pasal 18)

(Sumber : Akad Pembiayaan al-Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar)

Dasar pertimbangan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dalam

menyusun isi/syarat-syarat perjanjian baku pembiayaan syariah adalah: 63

a. sesuai dengan prinsip syariah dalam Al-Quran dan hadist;

b. sesuai dengan Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis

Ulama Indonesia (DSN-MUI);

c. hukum positif tentang perbankan di Indonesia.

Hal ini dapat diartikan bahwa, walaupun perjanjian baku pembiayaan

syariah hampir seluruhklausulanya dibakukan oleh bank syariah, secara hukum

dapat dibenarkan sepanjang syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian tetap dipenuhi

dan isi/syarat-syarat perjanjian tidak melanggar ketentuan Al – Qur’an, Hadists,

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUI), dan

Hukum Positif di Indonesia.

63

(33)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar menyediakan naskah perjanjian baku pembiayaan syariah yang

telah dicetak dalam bentuk blanko (formulir) dan dalam bentuk master (di dalam

komputer) dalam jumlah banyak. Nasabah debitur dalam hal ini harus dengan

teliti membaca isi kontrak sebelum menandatanganinya, namun masih dapat

merundingkan ulang beberapa ketentuan akad yang dibuat oleh bank bagian yang

dapat dirundingkan itu merupakan bentuk dari klausula bebas.64 Sebab, pada

kenyataannya, pihak bank syariah banyak menentukan sendiri syarat-syarat

perjanjian baku pembiayaan, kemudian dimintakan persetujuan pada nasabah.

Dalam perjanjian baku pembiayaan syariah, seluruh klausul telah dibakukan oleh

bank syariah kecuali beberapa hal, seperti komparisi, jumlah pembiayaan, tujuan

pembiayaan, jangka waktu, rasio-rasio keuangan, dan jaminan. Jadi, nasabah

masih mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas

klausul-klausul inti suatu perjanjian baku pembiayaan. Nasabah masih bisa turut

terlibat dalam merumuskan isi perjanjian baku pembiayaan syariah sepanjang

aman bagi dua pihak dan tidak merugikan bank syariah.65

64

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

65

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

Nasabah bisa mengubah

isi perjanjian baku pembiayaan, misalnya point nisbah atau kewajiban lapor setiap

bulan bagi nasabah. Dalam perjanjian baku pembiayaan PT. Bank Syariah

Mandiri Pematangsiantar, masalah rasio-rasio keuangan seperti nisbah bagi hasil

atau besar margin keuntungan tidak ditentukan secara sepihak oleh bank syariah,

(34)

bagi setiap nasabah debitur adalah berbeda – beda sesuai dengan hasil negoisasi

antara pihak bank syariah dengan masing-masing nasabah debitur.66 Jadi, apabila

dilihat berdasarkan bentuknya, maka perjanjian baku pembiayaan PT. Bank

Syariah Mandiri Pematangsiantar sama dengan perjanjian kredit di bank

konvensional, yaitu berbentuk perjanjian tertulis dan baku/standar (standard

contract).67

Dengan demikian, berdasarkan pendapat Mariam Darus Badrulzaman

yang membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis,

Hanya saja yang membedakan keduanya adalah pada perjanjian baku

pembiayaan syariah masih dimungkinkan adanya tawar menawar (negosiasi)

antara pihak bank syariah dengan nasabah debitur untuk menentukan rasio-rasio

keuangan menyangkut besar nisbah bagi hasil atau besar margin keuntungan.

68

maka perjanjian baku

pembiayaan PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar termasuk pada jenis

kedua, yaitu: perjanjian baku timbal balik. Pada perjanjian baku jenis ini, isi

perjanjian ditentukan oleh kedua belah pihak. Sedangkan jenis perjanjian

pengikatan jaminan termasuk pada perjanjian baku yang isinya ditentukan

pemerintah. Misalnya Akta Fidusia dan Akta Hak Tanggungan atas Tanah. Oleh

karena itu, pendapat Vera Bolger yang menyebut perjanjian baku sebagai take it

or leave it contract karena bersifat massal dan kolektif,69

66

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

67

Hasil wawancara dengan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

68

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.Cit, hal. 46

69

Ibid. hal. 46.

tidak sepenuhnya

berlaku pada perjanjian baku pembiayaan syariah. Dalam hal ini, debitur dan bank

(35)

syarat-syarat atau isi perjanjian sampai terjadi kesepakatan diantara mereka. Semua

syarat-syarat isi perjanjian baku pembiayaan syariah harus disetujui bersama

antara bank dan nasabah debitur, karena apabila salah satu pihak tidak setuju

maka tidak ada pengikatan.70 Oleh karena itu, apabila pihak bank syariah dan

nasabah belum mencapai kesepakatan maka perjanjian bisa dibicarakan lagi

sampai terjadi kesepakatan. Pernyataan persetujuan terhadap suatu perjanjian

menurut teori hukum perikatan Islam dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu

melalui lisan, tulisan, isyarat, dan perbuatan.71 Dengan adanya penandatangan

kontrak perjanjian baku pembiayaan syariah, maka para pihak saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan tujuan perjanjian baku pembiayaan yang telah disepakati.

Dalam hal ini pernyataan persetujuan/kesepakatan yang dilakukan secara tertulis

adalah sah dan mengikat para pihak.

70

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

71

(36)

BAB IV

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN BAKU PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA

PT. BANK SYARIAH MANDIRI PEMATANGSIANTAR

A. Bentuk – Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Klausul Perjanjian Baku Pembiayaan Murabahah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar.

Perlindungan hukum merupakan segala upaya untuk menjamin

kepastian pelaksanaan hak atau kepentingan setiap pihak dalam perjanjian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian baku pembiayaan murabahah

pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar telah mengatur beberapa

kepentingan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok pertama, yaitu kepentingan-kepentingan pihak bank

syariah sekaligus nasabah debitur. Semua hal yang menjadi

kepentingan bersama para pihak biasanya dirumuskan secara

eksplisit, jelas, dan rinci dalam syarat-syarat atau isi perjanjian.

Dengan demikian, ada kepastian hukum bagi kepentingan dimaksud

sehingga memberikan perlindungan hukum bagi para pihakyang

bersangkutan.

2. Kelompok kedua, yaitu kepentingan-kepentingan sepihak bank

syariah. Semua hal yang menjadi kepentingan sepihak bank syariah

telah dirumuskan dalam perjanjian secara eksplisit, jelas, dan rinci.

Dalam menyalurkan dana pembiayaan pada nasabah, bank syariah

(37)

bahwa: Pertama, dana disalurkan pada usaha pemenuhan kebutuhan

konsumtif atau usaha yang halal. Kedua, ada kepastian pengembalian

dana disertai keuntungan berupa biaya jasa atau bagi hasil atau

margin keuntungan. Oleh karena itu, bank syariah secara maksimal

berupaya memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum

bagi kepentingan dimaksud yaitu dengan cara merumuskan

syarat-syarat atau isi perjanjian dalam bentuk baku.

3. Kelompok ketiga, yaitu kepentingan sepihak nasabah debitur.

Walaupun perjanjian syariah dirumuskan dalam bentuk baku

(standard contract), namun bank syariah membuka akses yang

cukup luas bagi nasabah untuk turut serta menentukan hal-hal pokok

dalam perjanjian baku pembiayaan syariah. Hal ini dimaksudkan

untuk memenuhi beberapa ketentuan hukum yang berlaku bagi bank

syariah untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum bagi

nasabah.

1. Kelompok pertama, yaitu bentuk-bentuk kepentingan bersama pihak bank syariah dan nasabah debitur, yang telah memperoleh perlindungan hukum dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

a. Kesesuaian perjanjian baku pembiayaan dengan prinsip syariah

Kesesuaian perjanjian baku pembiayaan murabahah dengan prinsip

syariah telah dilaksanakan oleh PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar.

Bank syariah telah mematuhi ketentuan Bank Indonesia yang menetapkan

pokok-pokok ketentuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Dalam

Penjelasan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang

(38)

lain memuat kewajiban bank syariah untuk menyusun dan menerapkan

prosedur pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena

itu, setiap kegiatan pembiayaan bank syariah tidak boleh menyimpang dari

Hukum Islam yang bersumber utama pada al-Quran dan hadis. Bank syariah

juga harus tunduk dibawah pengawasan yang dilakukan oleh Dewan

Pengawas Syariah. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah memberikan

implikasi bahwa setiap produk bank syariah harus mendapatkan persetujuan

dari Dewan Pengawas Syariah terlebih dahulu sebelum diperkenalkan

kepada masyarakat.72 Hasil penelitian menunjukkan bahwa di setiap bank

syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengontrol setiap

produk bank syariah, termasuk produk pembiayaan.73

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank syariah dan nasabah debitur

saling memberikan informasi melalui komunikasi untuk kepentingan

negosiasi kesepakatan diantara mereka. Dalam hal ini, juga terlihat peran

notaris, yang membantu memberikan informasi dan penjelasan pada

nasabah.

b. Penyampaian informasi isi kontrak dan segala hal yang terkait dengan kontrak secara jujur dan benar.

74

72

M. Syafii Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Op.Cit, hal.22

73

Hasil wawancara dengan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

74

Hasil wawancara dengan Bapak Edy Siregar, Legal Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

Dengan demikian, pemakaian perjanjian baku pembiayaan syariah

telah meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul karena nasabah

tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memahami isi perjanjian.

(39)

pembiayaan, jumlah angsuran, kewajiban keuangan lainnya yang harus

ditanggung oleh nasabah dan tindakan yang akan dimbil oleh bank apabila

terjadi resiko pembiayaan. Khusus dalam hal perjanjian baku pembiayaan

murabahah, bank harus menerangkan harga pembelian, margin keuntungan,

dan harga jual serta biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank syariah. Catatan

peneliti bagi PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, agar bank syariah

secara terbuka mau menyampaikan informasi kepada nasabah terkait dengan

kemungkinan pembayaran angsuran di awal waktu sebelum jatuh tempo,

karena berdasarkan wawancara dengan nasabah jarang bank memberikan

informasi mengenai kesempatan ini.

c. Pembagian hak dan kewajiban yang adil bagi para pihak

Salah satu bentuk penerapan prinsip-prinsip hukum perjanjian syariah

dalam membuat perjanjian baku pembiayaan bank syariah adalah adanya

persamaan/kesetaraan/kesederajatan/ keadilan dalam menentukan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban antara bank dan nasabah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa di dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada

PT. Bank Syariah Mandiri, uraian kewajiban pihak bank syariah lebih sedikit

dibandingkan uraian kewajiban pihak nasabah, sedangkan uraian hak-hak

bank syariah selalu lebih banyak dibandingkan uraian hak-hak pihak nasabah.

Hal itu dapat diartikan bahwa bank syariah memiliki kepentingan sangat

besar akan kepastian pengembalian dana pembiayaan oleh nasabah sehingga

memperkecil kemungkinan pembiayaan macet guna melindungi kepentingan

nasabah penabung. Di dalam perjanjian baku pembiayaan syariah, tidak ada

(40)

kepada nasabah. Peneliti mencatat hal ini penting dilakukan apabila

pengikatan jaminan dilakukan dengan sistem gadai yang menggunakan objek

gadai berupa emas atau gadai tabungan/deposito/simpanan nasabah.

d. Pemberian persetujuan yang bebas dari para pihak

Pemberian persetujuan yang bebas dari para pihak merupakan

penerapan salah satu asas perjanjian yang harus dilindungi dan dijamin dalam

kegiatan perbankan syariah, yaitu asas ridhâ’iyyah (rela sama rela).75

Perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah

Mandiri dibuat dan disiapkan oleh bank syariah, namun demikian akan

mengikat dan berlaku bagi para pihak apabila disetujui oleh nasabah debitur.

Dalam semua produk perbankan syariah, modal, keuntungan, dan resiko

dibicarakan serta ditanggung berdasarkan kesepakatan. Ada beberapa point

yang secara sepihak ditetapkan oleh bank syariah, yaitu: definisi, penarikan

pembiayaan, tempat pembayaran, biaya, potongan dan pajak, cidera janji,

akibat cidera janji, pengakuan dan jaminan, pembatasan terhadap tindakan

nasabah, resiko, asuransi, pengawasan, penyelesaian perselisihan, Oleh

karena itu, penerapan prinsip-prinsip hukum perjanjian syariah dalam

membuat perjanjian dapat dilihat berdasarkan adanya kesepakatan dalam hal

yang berkaitan dengan: besar pembiayaan, jangka waktu, tata cara

melaksanakan pembiayaan, biaya - biaya, asuransi, jaminan, dan

penyelesaian yang dipilih jika terjadi perselisihan.

75

(41)

pemberitahuan, dan penutup.76 Selain itu, ada juga beberapa point yang harus

diisi sesuai dengan kebutuhan dengan persetujuan nasabah yaitu: komparisi,

jumlah pembiayaan, tujuan penggunaan pembiayaan, jangka waktu, cara

pembayaran biaya, potongan, pajak, jaminan,77 biaya administrasi, nisbah,

kewajiban nasabah untuk melaporkan kegiatan usahanya, denda

keterlambatan, berlakunya ketentuan denda keterlambatan (hasil denda untuk

BAZIS), kesediaan nasabah memenuhi/mengikuti semua peraturan dan

ketentuan yang berlaku di bank.78

e. Pengaturan sanksi denda keterlambatan pembayaran

Adanya persetujuan nasabah dalam perjanjian baku pembiayaan

syariah ditegaskan oleh pihak bank. Sebagai contoh, adanya tawar menawar

mengenai besar point nisbah antara bank syariah dan nasabah debitur

dilaksanakan sampai tercapai kata sepakat dan terjadi pengikatan perjanjian

baku pembiayaan yang ditandai dengan penandatanganan kontrak perjanjian

pembiyaan di muka Notaris.

79

Berdasarkan hasil penelitian, perjanjian baku pembiayaan murabahah

pada PT. Bank Syariah Mandiri mengatur secara tegas mengenai pemberian

sanksi denda bagi nasabah debitur yang terlambat membayar angsuran

pembiayaan.

76

Perjanjian baku pembiayaan al- Murabahah Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, 2011

77

Hasil wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar dan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

78

wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

79

(42)

Peneliti menemukan bahwa pada perjanjian baku pembiayaan

murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar yang

menyebutkan bahwa denda wajib diserahkan pada pihak bank syariah sebesar

0,00069%80, serta tidak ada keterangan lebih lanjut bahwa untuk selanjutnya

dana itu digunakan untuk kepentingan sosial. Menurut bank syariah, sistem

komputer secara otomatis akan melakukan pembukuan dana yang berasal

dari sanksi denda untuk kepentingan sosial.81 Dalam hal ini PT. Bank Syariah

Mandiri melalui LAZNAS BSM Umat, yaitu lembaga amil zakat yang lahir

untuk meningkatkan kepedulian sosial dan meringankan penderitaan

sesama.82

Pilihan hukum merupakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum

mana yang akan digunakan dalam pembuatan perjanjian. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa semua perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT.

Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, telah mengatur secara tegas pilihan

hukum para pihak dan cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki apabila

terjadi perbedaan penafsiran atau sengketa di antara mereka. Pilihan hukum

yang dilakukan adalah menggunakan hukum Indonesia. Cara penyelesaian

sengketa yang dipilih bermacam-macam, antara lain: musyawarah mufakat,

f. Pilihan hukum dan penyelesaian sengketa

80

Pasal 4 poin kelima Akad Pembiayaan al – Murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, 2011.

81

Wawancara dengan Bapak Karim Abdillah, Marketing Officer Pembiayaan pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

82

(43)

arbitrase syariah melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS),

dan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN).

g. Pengaturan Force Majeure (Keadaan memaksa)

Semua naskah perjanjian baku pembiayaan bank syariah telah mengatur

secara tegas mengenai force majeure. Walaupun terdapat perbedaan

redaksional, pada intinya PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar

menetapkan force majeur sebagai hambatan sementara para pihak untuk

memenuhi perjanjian sehingga tidak menghapus perikatan di antara mereka

(force majeur/keadaan memaksa relatif). Dengan demikian, dalam keadaan

force majeur/keadaan memaksa, tidak berlaku sanksi denda atau pemutusan

perjanjian secara sepihak dengan alasan lawan pihak tidak memenuhi

kewajiban sesuai perjanjian.83

2. Kelompok kedua: bentuk-bentuk kepentingan sepihak pihak bank syariah yang telah memperoleh perlindungan hukum dalam perjanjian baku pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar.

Menurut peneliti, pengaturan mengenai force

mejeur dalam perjanjian baku pembiayaan syariah merupakan salah satu

penerapan prinsip moral dagang Islam, yaitu longgar dan bermurah hati pada

saat menagih hutang.

a. Pembayaran kembali pokok pembiayaan, margin keuntungan atau bagi hasil secara tepat waktu.

Ketentuan ini merupakan kepentingan utama pihak bank syariah, oleh

karena itu selalu diatur secara rinci dalam perjanjian baku pembiayaan.

Pencantumannya secara eksplisit sebagai bentuk hak bank syariah dan

kewajiban nasabah debitur merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 8

83

(44)

Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang No. Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu itikad baik,

kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan

sesuai perjanjian.

b. Penggunaan dana sesuai dengan tujuan permohonan pembiayaan dan tidak melanggar syariah

Ketentuan mengenai penggunaan dana pembiayaan agar sesuai

dengan tujuan permohonan secara tegas diatur dalam setiap perjanjian baku

pembiayaan syariah. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan ketentuan bank

syariah wajib melaksanakan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan

prinsip kehati-hatian sebagaimana termuat dalam Pasal 6 huruf m, Pasal 1

ayat (12), dan Pasal 1 ayat (13) 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Namun pada kenyataannya, pihak bank syariah mengakui banyak

terjadi pelanggaran dari nasabah debitur. Hal ini menjadi salah satu

penghambat dalam pelaksanaan perjanjian baku pembiayaan syariah

walaupun tidak serimg dijumpai kasus seperti demikian pada PT. Bank

Syariah Mandiri.

c. Kepastian pembayaran melalui jaminan tambahan dan asuransi pembiayaan/asuransi jaminan/asuransi jiwa nasabah

Salah satu pertimbangan bank syariah mengabulkan permohonan

(45)

debitur.84

84

Hasil wawancara dengan Ibu Junita, Customer Service Officer pada PT. Bank Syariah Mandiri Pematangsiantar, Rabu, 21 Maret 2012.

Arti penting jaminan dalam pembiayaan syariah karena adalah

bank syariah ingin mendapat kepastian bahwa pembiayaan yang diberikan

kepada nasabah debitur dapat diterima kembali sesuai dengan syaratsyarat

yang telah disetujui bersama.

Penerapan jaminan pada bank syariah tidak bertentangan dengan syariat

Islam sebagaimana firman Allah dalam Qs. al- Baqarah (2): 283 yang artinya:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai/hutang

piutang), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah

ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)….”

Dalam praktik, pembiayaan murabahah pada PT. Bank Syariah Mandiri

Pematangsiantar menerapkan jaminan seperti halnya bank-bank

konvensional. Bentuk jaminan yang diterapkan pada bank syariah adalah

sama dengan bentuk jaminan yang diterapkan pada bank konvensional, yaitu

terdiri atas jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Hal ini dapat

diartikan bahwa sistem hukum benda yang berlaku di Indonesia bersifat

tertutup (closed system), sehingga para pihak yang berkepentingan wajib

memenuhi ketentuan hukum tentang lembaga jaminan yang berlaku dan tidak

terbuka peluang untuk membentuk lembaga jaminan yang baru, di luar

Referensi

Dokumen terkait

8

Pada penelitian ini, VG jenis concave delta winglet dipasang pada sisi sirip dari penukar kalor jenis fin-and-tube yang digunakan dalam proses refrigerasi

Pada tahap refleksi awal ini dilakukan deskripsi situasi. Sesuai data yang ada ternyata tingkat pemahaman konsep Menjalankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan dalam

Perkembangan Pesantren Al-Khairiyah Perkembangan Pesantren Al- Khairiyah Citangkil sejak berdirinya pada tahun 1916 sampai dengan tahun 1925 sistem belajarnya belum

Perkara TPK sehubungan dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud mempengaruh putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili

Tumbuhan hutan pantai Ujung Genteng juga kaya akan jenis JA yaitu sebanyak 23 jenis (Puspitasari et al., 2011), dibandingkan dengan hutan dari dataran tinggi

Sebuah dinamika yang baru sebagai tuntunan waktu keefisienan hidup masyarakat saat ini, yang lebih mementingkan kecepatan dan keefisienan dalam waktu mengurus KTP dengan

Pada tabel 3 tampak bahwa jumlah konidia yang menempel pada imago hama terinfeksi dengan jumlah terbanyak , diperoleh dari perlakuan, WB + Alkilarilpoliglikol 400 g/l dan