• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak Membeli Kembali Dan Perkembangannya Dalam Praktek (Studi : Kantor Pertanahan Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak Membeli Kembali Dan Perkembangannya Dalam Praktek (Studi : Kantor Pertanahan Kota Medan)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN HAK MEMBELI

KEMBALI DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PRAKTEK

(STUDI : KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SURYA MILPAN TAMBUNAN

040200011

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI

DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PRAKTEK

(STUDI : KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

SURYA MILPAN TAMBUNAN 040200011

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

NIP. 131 570 455

Prof. DR. Tan Kamello, SH., MS.

Pembimbing I Pembimbing II

Idris Zainal, SH.

NIP.130 802 434 NIP.131 762 433

(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala petunjuk Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali Dan Perkembangannya Dalam Praktek” (Studi : Kantor

Pertanahan Kota Medan), yang ditulis sebagai salah satu syarat akademis

untuk menyelesaikan program studi S1, program studi Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Skripsi ini Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu Penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengesahan judul Skripsi Penulis.

(4)

3. Bapak Zulkarnain Mahfudz, SH, CN, selaku Dosen Pembimbing II Penulis. Terima kasih atas segala perhatian dan waktu yang telah Bapak luangkan untuk membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, MHum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak DR. M.Husni, SH, MHum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik.

8. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan.

(5)

10.Kedua Orangtuaku tercinta, Mangasi Tambunan, SH, dan Dominika Marpaung yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengorbanan, pengertian, membimbing dan menyediakan segala kebutuhan Penulis, serta memberikan bantuan moril dan materil yang tak putus-putus, semuanya itu tak akan pernah terbalas. Terima kasih atas segala doa dan nasehatnya, semoga Tuhan selalu memberkati kalian berdua orangtuaku tersayang.

11.Kepada adik-adikku yaitu Josia Dading dan Regina Maharani tersayang. Terima kasih atas segala doa dan semangat yang kalian berikan, You are the best brother and sister I ever had. Dan juga kepada sepupuku yang baik Gres Novembri Tambunan, SH, thanks for all your help.

12.Kepada kakak-kakakku tersayang: Ana, Sryanti, Sherly, Siska, Helfrida, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Dan abang-abangku yang kuhormati: Andry, Kibo, Raja, RoyGokma, Pirdan.

13.Kepada Margaretha “Aneth” Napitupulu, the one and only woman loves and cares me. Thanks yah buat pengertian, perhatian dan semangat yang telah diberikan selama ini.

(6)

15.Semua teman-teman Stambuk ’04 FH-USU, teman-teman Sejurusan Hukum Perdata BW dan senioran yang kenal dekat dengan Penulis.

16.Dan seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Dalam arti masih banyak kekeliruan dan kekhilafan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, wawasan dan kemapuan Penulis. Namun Penulis tetap berharap kelak dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita semua.

Terima Kasih.

Medan, Desember 2007 Penulis

(7)

ABSTRAK

Perjanjian disebut dengan Verbintenis. Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan dilaksanakan dengan itikad baik (sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata). Sedangkan di dalam pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali merupakan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual dengan mengembalikan harga pembelian asal dalam tempo waktu tertentu yang disertai dengan penggantian berupa biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, serta biaya yang diperlukan untuk melakukan pembetulan (diatur dalam pasal 1519 KUH Perdata). Objek dari perjanjian ini adalah benda tak bergerak, khusunya mengenai tanah.

Perkembangan perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali di masyarakat saat ini tidak pernah terjadi lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 maka jual beli tanah dengan hak membeli kembali dianggap batal demi hukum. Oleh karena itu, pembebanan hak tanggungan terhadap perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dapat dilakukan, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Medan melalui wawancara dengan beberapa pegawai Pertanahan sendiri. Dan apabila jual beli tanah dengan hak membeli kembali ini ada terjadi di masyarakat, maka lebih mengarah ke perjanjian hutang-piutang dengan jaminannya adalah tanah.

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... v

Daftar Isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan... 12

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian ... 14

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian ... 16

C. Jenis-Jenis Perjanjian ... 21

(9)

BAB III PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN HAK MEMBELI

KEMBALI DI DALAM KUH PERDATA

A. Arti Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli

Kembali ... 35 B. Objek Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli

Kembali ... 45 C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli

Dengan Hak Membeli Kembali ... 46 D. Berakhirnya Perjanjian Jual Beli Dengan Hak

Membeli Kembali ... 52

BAB VI PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN HAK MEMBELI

KEMBALI DAN PERKEMBANGANNYA DI DALAM

PRAKTEK (STUDI: KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN)

A. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Perjanjian Jual Beli

Tanah Dengan Hak Membeli Kembali ... 57 B. Resiko Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah

Dengan Hak Membeli Kembali ... 65 C. Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak Membeli Kembali

dan Perkembangannya Di Dalam Praktek (Studi : Kantor

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... ix

(11)

ABSTRAK

Perjanjian disebut dengan Verbintenis. Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan dilaksanakan dengan itikad baik (sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata). Sedangkan di dalam pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali merupakan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual dengan mengembalikan harga pembelian asal dalam tempo waktu tertentu yang disertai dengan penggantian berupa biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, serta biaya yang diperlukan untuk melakukan pembetulan (diatur dalam pasal 1519 KUH Perdata). Objek dari perjanjian ini adalah benda tak bergerak, khusunya mengenai tanah.

Perkembangan perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali di masyarakat saat ini tidak pernah terjadi lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 maka jual beli tanah dengan hak membeli kembali dianggap batal demi hukum. Oleh karena itu, pembebanan hak tanggungan terhadap perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dapat dilakukan, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Medan melalui wawancara dengan beberapa pegawai Pertanahan sendiri. Dan apabila jual beli tanah dengan hak membeli kembali ini ada terjadi di masyarakat, maka lebih mengarah ke perjanjian hutang-piutang dengan jaminannya adalah tanah.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasar atas janji seseorang.

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.1

Sumber hukum perjanjian berdasarkan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah tiap-tiap perikatan lahir karena persetujuan ataupun karena undang-undang. Buku III KUHPerdata tidak memberikan rumus dari perikatan, tetapi menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, dianut rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.2

1 M.Yahya Harahap, S.H., 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.6.

(13)

Dari rumus di atas dapat kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu :

1. hubungan hukum, 2. kekayaan,

3. pihak-pihak, 4. prestasi.3

Apabila ditelaah dengan seksama dalam sistem hukum perdata materil (substantif) dikenal dua asas yang menyangkut tentang perjanjian pada umumnya, yaitu :

• pertama adalah asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

• kedua adalah asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata bahwa pada salah satu syarat sahnya perjanjian adalah persetujuan (konsensus) bebas antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Kebebasan berkontrak berarti bahwa para pihak berwenang untuk mengadakan suatu hubungan hukum dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak para pihak dan telah disepakati dengan segala akibatnya. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak ini sebenarnya para pihak leluasa untuk membuat perjanjian dengan bentuk apa saja.

(14)

Akan tetapi dalam membuat perjanjian diberi pembatasan oleh pasal 1320 KUHPerdata dengan mempersyaratkan adanya sebab yang halal. Yang disebut dengan sebab yang halal adalah sejauh tidak melanggar ketertiban dan kesusilaan umum seperti yang digariskan dalam pasal 1337 KUHPerdata. Dengan demikian pembuat undang-undang mengharapkan bahwa dalam membuat perjanjian, kepentingan umum dan kepentingan para pihak tidak dirugikan.

A. Latar Belakang

Jual beli dengan hak membeli kembali adalah merupakan bentuk perjanjian yang ada dan dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat, yakni penjual (pemilik semula) mempunyai atau diberikan hak dengan suatu perjanjian untuk membeli kembali barangnya yang telah dijual tersebut (pasal 1519 KUHPerdata).

Berbagai hal yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dan objek yang dijadikan alasan timbulnya suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini mempunyai nilai tertentu pada seseorang atau pihak penjual.

(15)

kreditur tersebut dibuat suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali. Akan tetapi tanah dan atau rumah yang dijual tersebut tetap dikuasai penjual (debitur). Sehingga inkonkreto bagi hukum, yang terjadi bukan jual beli, melainkan persetujuan hutang dengan agunan yang bersifat seolah-olah hubungan gadai.

Tujuannya adalah untuk memperkuat kedudukan kreditur terhadap debitur, sekaligus juga memperkuat posisi kreditur terhadap pihak ketiga. Sebab dengan adanya akta jual beli sekalipun dengan syarat membeli kembali, kreditur sudah terjamin kepentingannya atas pemenuhan hutang, yang berarti apabila nanti barang agunan dipindahkan lagi atau dibebani dengan hak-hak pihak ketiga oleh debitur, maka kreditur dapat melakukan perlawanan atau verzet atas dasar hak milik yang dilandasi dengan jual beli.

(16)

Adapun keadaan yang dapat merupakan indikasi dan tentang terjadinya penyalahgunaan keadaan/kesempatan atau penyalahgunaan kekuasaan ekonomis yang mengakibatkan keadaan yang tidak seimbang sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya (seolah-olah) perjanjian tersebut terjadi secara sepihak antara lain:

1. Salah satu pihak karena sesuatu dan lain hal berada dalam keadaan terdesak. 2. Salah satu pihak sama sekali atau sangat tidak berpengalaman.

3. Syarat-syarat perjanjian yang tidak masuk akal, tidak layak dan atau tidak patut (unfair contract term).

4. Nilai dari hasil perjanjian sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi pihak lain.

5. Barang yang dijaminkan merupakan satu-satunya harta milik yang menjadi sumber penghidupan atau satu-satunya tempat untuk berteduh.

Di dalam Hukum Adat tidak mengenal adanya perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dan hanya dianggap sebagai perjanjian gadai belaka. Mengingat transaksi peralihan hak atas tanah sesuai pasal 5 UUPA No.5/1960 dikuasai oleh Hukum Adat, sedangkan Hukum Adat tidak mengenal jual beli dengan hak membeli kembali, untuk itu dipakai lembaga gadai. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 itu sendiri maka jual beli dengan hak membeli kembali mengenai tanah dan atau rumah adalah batal demi hukum.4

(17)

Dengan demikian dalam hal ada sengketa tentang perjanjian jual beli tanah dan atau rumah dengan hak membeli kembali dan perjanjian asal adalah perjanjian hutang piutang, maka debitur dengan mudah dapat meminta agar perjanjian jual beli tanah dan atau rumah dengan hak membeli kembali tersebut dinyatakan batal atau dibatalkan. Tergantung dari hasil pembuktian

di muka hakim apakah jual beli dengan hak membeli kembali ini akan dipertahankan untuk berlaku sebagai jual beli atau apakah perjanjian

tersebut akan dianggap gadai ataupun pemberian jaminan belaka untuk suatu pinjaman uang.

Adapun yang menjadi alasan bagi penulis untuk memilih judul ini adalah sebagai berikut :

1. Dalam penyusunan skripsi ini penulis ingin mengetahui, memahami dan menghayati lebih mendalam mengenai hubungan hukum yang terjadi pada suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, dimana di atas objek perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut dibebankan dengan suatu pemberian hak tanggungan.

(18)

B. Perumusan Masalah

Sebelum membahas lebih lanjut, penulis akan mencoba untuk mengidentifikasikan apa yang sebenarnya menjadi permasalahan di dalam penulisan skripsi ini, yaitu antara lain :

1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak baik pihak debitur maupun kreditur di dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali.

2. Dapatkah tanah yang menjadi objek jual beli dengan hak membeli kembali tersebut dibebankan dengan hak tanggungan.

3. Bagaimana resiko para pihak serta kedudukannya di dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali.

4. Bagaimana perkembangan dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dalam praktek, dimana dalam hal ini penulis melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota Medan.

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi maksud dan tujuan yang terkandung dalam pikiran penulis untuk membahas skripsi ini disamping dalam rangka melengkapi tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

(19)

tanggungan atas tanah yang merupakan objek jual beli dengan hak membeli kembali.

2. Selain itu penulis ingin mendalami dan menganalisa secara juridis formal mengenai ketentuan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dalam prakteknya.

3. Penulis ingin memahami apakah tanah sebagai objek jual beli dengan hak membeli kembali dapat dibebani dengan hak tanggungan.

D. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada terdapat tulisan yang mengangkat mengenai judul skripsi ini, yaitu mengenai “Perjanjian Jual Beli Tanah Dengan Hak Membeli Kembali dan Perkembangannya Dalam Praktek” (Studi: Kantor Pertanahan Kota Medan). Dan kalaupun ada terdapat judul skripsi yang hampir sama dengan ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda.

Penulis menyusun penulisan ini berdasarkan berbagai literatur-literatur, wawancara, dan data-data yang berkaitan tentang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian dan Hukum Jaminan khususnya mengenai hak tanggungan. Oleh karena itu, tulisan ini adalah asli yang merupakan hasil karya penulis sendiri.

(20)

E. Tinjauan Kepustakaan.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.5

Dalam KUHPerdata pada pasal 1313 menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan.6

Di dalam pengertian Undang-undang tentang jual-beli secara defenitif disebutkan dalam pasal 1457 KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan “jual beli” ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Tanah berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.7

5 Prof. R.Subekti, S.H., 1990, Hukum Perjanjian, Cetakan XIII, Intermasa, Jakarta, hal.1.

Hak membeli kembali, dalam pasal 1519 KUHPerdata dikatakan “kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji, dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual,

6 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit, hal.1.

(21)

dengan mengembalikan harga pembelian awal dengan disertai penggantian yang disebut dalam pasal 1532”.8

Jadi hak membeli kembali disini berarti bahwa si penjual yang telah menjual barangnya kepada pembeli, berhak untuk membeli kembali barangnya tersebut dari pembeli yang diadakan dengan suatu perjanjian tertentu.

F. Metode Pengumpulan Data

Setiap penulisan yang bersifat ilmiah haruslah mempunyai dasar atau fakta yang objektif yang kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Dalam menyusun skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan guna melengkapi tulisan karya ilmiah ini.

Menurut sifat dan tujuannya, penelitian adalah penelitian hukum empirik atau dikenal juga dengan penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum empirik didasarkan data primer yaitu: data yang di dapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama melalui penelitian,9

Sedangkan data-data sekunder meliputi:

sebagai contoh yang dilakukan penulis melalui wawancara.

10

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari:

8 Prof. R. Subekti, S.H., & R.Tjitrosudibio, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Cetakan.31, Jakarta, hal.336.

9 Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan II. Sinar Grafika, Jakarta

hal. 16.

10Amiruddin & Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo

(22)

a. Undang-Undang Dasar 1945 b. Peraturan Perundang-undangan:

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, 5. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960,

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, ataupun pendapat pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan juga ensiklopedia.

Untuk itu penulis berpedoman juga kepada Teknik Pengumpulan Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

(23)

2. Penelitian Lapangan (Field Research), yakni penulis memperoleh data-data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan di dalam masyarakat, serta melakukan wawancara dengan pejabat instansi yang berwenang yaitu pejabat kantor Pertanahan Nasional Kota Medan. Kemudian data-data ini penulis olah, analisa dan simpulkan dengan mempergunakan metode induktif di dalam penyusunan karya ilmiah ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam membaca dan memahami isi dari skripsi ini secara keseluruhan, penulis membuat sistematika atau garis besar dari penulisan skripsi ini yang terbagi atas 5 (lima) bab dengan sub-sub bab masing-masing diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab ini dipaparkan sistematika penulisan skripsi ini dimulai dari apa yang menjadi latar belakang dari permasalahan, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode pengumpulan data, serta diakhiri dengan sistematika dari penulisan skripsi ini.

BAB II : PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA

(24)

BAB III : PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI

DI DALAM KUHPERDATA

Bab ini menguraikan tentang pengertian dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang terdapat dalam KUHPerdata, objek dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, dan selanjutnya dibahas pula mengenai berakhirnya jual beli dengan hak membeli kembali.

BAB IV : PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DENGAN HAK MEMBELI

KEMBALI DAN PERKEMBANGANNYA DI DALAM PRAKTEK. (STUDI DI: KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN)

(25)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(26)

BAB II

PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA

Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya itu tidak dapat terlepas dan selalu berhubungan dengan manusia yang lain dalam suatu pergaulan hidup sehingga sering terjadi didalam rangka memenuhi kebutuhannya itu timbul suatu perselisihan diantara mereka yang akibatnya dapat menimbulkan suatu kekacauan didalam pergaulan hidup manusia.

Untuk mencegah dan mengatasi timbulnya atau terjadinya suatu perselisihan dalam pergaulan hidup antara manusia yang satu dengan yang lainnya, maka diperlukan adanya suatu perangkat atau ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia didalam pergaulan hidup manusia yaitu kaidah. Kaidah ini terdiri dari kaidah agama, kaidah kesopanan, kaidah kesusilaan, kaidah kebiasaan dan kaidah hukum. Dari kaidah-kaidah itu, kaidah hukum yang mempunyai hubungan yang erat mengenai masalah hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam bertingkah laku.11

(27)

A. Pengertian Perjanjian

Menurut Prof. R.Subekti, S.H., Perjanjian adalah :

“Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau Dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Beliau juga mengatakan bahwa suatu perjanjian itu dinamakan juga persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.12

Prof. DR. R.Wirjono Prodjodikoro, S.H., mengartikan Perjanjian adalah : “Sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua

pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.13

Menurut M. Yahya Harahap mengatakan bahwa Perjanjian adalah:

“Suatu hubungan hukum kekayaan / harta benda antara dua orang atau lebih. Yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan juga sekaligus mewajibkan kepada pihak yang lain untuk menunaikan prestasinya”.14

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian menurut pasal 1313 Buku III KUHPerdata adalah merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

Mengenai rumusan pengertian dari perjanjian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa perjanjian itu menimbulkan atau meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada yang bersangkutan atau yang terlibat dalam perjanjian tadi, yaitu satu pihak berhak menerima atau menuntut prestasi dari pihak yang lainnya. Sedang pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi

12 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit, hal.1.

13 Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cetakan VIII

Mandar Maju, Bandung, hal.4.

(28)

tuntutan itu. Sehingga menjadi jelaslah apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, karena mereka telah melakukan perjanjian sebelumnya.

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.15

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung di dalam Buku III KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat (sesuai pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Yang dimaksud dengan sepakat ialah bila kedua belah pihak mengadakan perjanjian telah tercapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak yang lainnya juga. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya: betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (Pasal 1321, 1322, 1328 KUHPerdata).16

Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, baik dengan kekerasan

15 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit. hal.13.

(29)

jasmani, maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 KUHPerdata).17

Dikatakan tidak ada kekhilafan ataupun kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau dengan siapa diadakannya perjanjian itu.

Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu. Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipuan muslihat, dengan memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui atau sepakat(Pasal 1328 KUHPerdata).

Apabila syarat pertama tersebut tidak dipenuhi maka suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada. Karena sesuai dengan asas “konsensualisme” itu sendiri, berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan, yang telah menjiwai hukum perjanjian dalam kitab undang-undang hukum perdata.

2. cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Cakap (bekwaam) merupakan suatu syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.18

17 Lihat pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

18 H.Riduan Syahrani, S.H., 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,

(30)

Pada umumnya seorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa. Di dalam KUHPerdata, kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur dalam pasal 330 yaitu:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin.”19

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan yang belum dewasa. Didalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampunan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Jika terjadi salah satu pihak seperti dalam keadaan(status) yang disebutkan di atas, salah satu pihak tidak cakap untuk membuat perjanjian. Maka perjanjian itu bercacat, karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian itu. Sebaliknya, orang yang berhak meminta pembatalan perjanjian itu juga dapat dilakukan dengan menguatkan perjanjian tersebut. Penguatan itu dapat dilakukan dengan tegas ataupun secara diam-diam tergantung dari keadaan.

Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, istri sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya.

(31)

Dan pasal 108 serta pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

Selain kecakapan, ada lagi yang disebut dengan kewenangan. Kewenangan dalam hal ini ialah apabila seseorang mendapat kuasa dari pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya membuat suatu perjanjian. Tidak ada kewenangan apabila tidak mendapatkan kuasa untuk itu. Jadi untuk dapat membuat suatu perjanjian, seseorang itu harus dewasa, sehat pikirannya dan tidak dibatasi atau tidak dikurangi wewenangnya di dalam melakukan perbuatan hukum.

3. mengenai suatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Dalam Pasal 1332 KUHPerdata disebutkan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan objek perjanjian. Hal ini dikarenakan barang-barang tersebut merupakan milik Negara dan peruntukannya bagi masyarakat atau kepentingan umum.

(32)

Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat(1) KUHPerdata menyebutkan bahwa ditentukan barang-barang yang baru akan kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.

4. suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Yang dimaksud sebab atau causa yaitu mengenai isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, isi perjanjian adalah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang, dan pihak yang lainnya menghendaki sejumlah uang, tujuannya ialah hak-hak milik berpindah dan sejumlah uang diserahkan.

Selanjutnya, Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan(Pasal 1335 KUHPerdata).

Sebenarnya keempat syarat tersebut di atas dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu :20

1. Syarat Subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian. Dimana hal ini meliputi syarat 1 dan syarat 2 dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

(33)

2. Syarat Objektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu. Dimana hal ini meliputi syarat 3 dan syarat 4 dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal yang menyangkut perjanjian.

Kalau dengan syarat subjektif, jika suatu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (pasal 1446 KUH Perdata), artinya dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.21

Sedangkan syarat-syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas

(pasal 1321 KUH Perdata). Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun (pasal 1454 KUHPerdata). Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim), atas pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.

22

C. Jenis-jenis perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan

(34)

sesuatu. Apabila ditinjau dari segi prestasinya, maka perjanjian dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:23

1.Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang; 2.Perjanjian untuk berbuat sesuatu;

3.Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian macam pertama, misalnya: jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, penghibahan (pemberian). Perjanjian macam kedua, misalnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garasi rumah. Dan perjanjian macam ketiga, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lainnya.

Akan tetapi disamping pembagian diatas, perjanjian dapat lagi dibagi apabila ditinjau dari segi isi dan subjek daripada prestasinya perjanjian tersebut dibuat.

Beberapa jenis perjanjian yaitu :24 1. Perjanjian Positif dan Negatif.

Perjanjian positif dan negatif ini adalah pembagian perjanjian ditinjau dari segi “isi” prestasi yang harus dilaksanakan. Suatu perjanjian disebut positif apabila pelaksanaan prestasi yang dimaksudkan dalam isi perjanjian merupakan tindakan positif, baik berupa memberi/menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan (te doen).

23 Ibid. hal.36.

(35)

Sedangkan sesuatu perjanjian disebut negatif, apabila prestasi yang menjadi maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan negatif atau persetujuan yang berupa tidak melakukan sesuatu (niet te doen).

2. Perjanjian Sepintas Lalu dan Yang Berlangsung Terus.

Disebut perjanjian sepintas lalu, apabila pemenuhan prestasi berlangsung sekaligus dalam waktu yang singkat dan dengan demikian perjanjian pun berakhir. Yang paling jelas dalam contoh perjanjian ini adalah perjanjian jual beli, yaitu perjanjian akan berakhir sekejap setelah barang yang dibeli diserahkan dan harga disetujui telah dibayar.

Lain halnya dengan perjanjian yang berlangsung terus, dimana kewajiban pemenuhan dan pelaksanaan prestasi berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh, misalnya perjanjian perjanjian kerja. Kewajiban prestasi yang berlangsung lama sesuai jangka waktu yang telah ditentukan.

3. Perjanjian Alternatif (Alternatieve Verbintenis).

(36)

Dalam perjanjian ini, debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima prestasi dari satu bahagian dan selebihnya dari bahagian lain, jika hal itu tidak ditentukan secara tegas dalam perjanjian.

4. Perjanjian Kumultatif atau Konjungtif.

Kalau dalam alternatif debitur diberi kebebasan memilih prestasi mana yang akan dipenuhinya, maka di dalam perjanjian kumultatif, prestasi yang dibebankan terhadap debitur terdiri dari bermacam-macam jenis dan prestasi tersebut dibebankan sekaligus. Oleh karena itu perjanjian kumultatif berbeda dengan perjanjian alternatif. Memang di dalam perjanjian alternatif ditentukan

beberapa prestasi, tetapi debitur dapat memilih atau terserah satu saja yang dilaksanakannya.

5. Perjanjian Fakultatif.

Perjanjian Fakultatif berbeda dengan perjanjian alternatif dan perjanjian kumultatif. Kalau dalam perjanjian alternatif debitur diberi hak bebas memilih prestasi yang hendak dilaksanakannya, maka perjanjian fakultatif hanya mempunyai satu objek prestasi. Di dalam perjanjian fakultatif, debitur mempunyai hak untuk mengganti prestasi yang telah ditentukan dengan prestasi lain, apabila debitur tidak mungkin menyerahkan prestasi yang telah ditentukan semula.

(37)

dapat menggantinya dengan prestasi subsidair. Sebagai contoh, debitur diwajibkan menyerahkan rumah. Akan tetapi bila penyerahan tidak mungkin, prestasi itu dapat digantinya dengan sejumlah uang. Dengan penyerahan uang sebagai pengganti, berarti debitur telah melaksanakan prestasi dengan sempurna.

6. Perjanjian Generik dan Perjanjian Spesifik.

Perjanjian Generik ialah perjanjian yang hanya menentukan jenis dan jumlah atau benda/barang yang harus diserahkan debitur seperti yang diatur dalam pasal 1392 KUHPerdata. Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, pada perjanjian generik debitur dalam memenuhi kewajibannya guna membebaskan dirinya atas pemenuhan prestasi, tidak berkewajiban untuk menyerahkan yang terbaik. Tetapi sebaliknya, debitur tak boleh pula menyerahkan jenis yang terburuk.

Lain halnya dengan perjanjian spesifik (pasal 1391) yang ditentukan ialah hanya ciri-ciri khusus yang menjadi objek perjanjian, sehingga jelaslah perbedaan yang dapat dilihat dari perjanjian generik yang lebih cenderung ke jenis benda objek perjanjian dan perjanjian spesifik yang lebih mengarah ke ciri-ciri khusus dari bendanya.

7. Perjanjian Yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi.

(38)

dibagi. Soal dapat tidak dapat dibaginya prestasi itu tergantung pada sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari maksudnya perjanjian itu. Atau, kriteria untuk membedakannya ialah apakah suatu perikatan itu ditinjau dari segi pengertian hukum dapat dibagi atau tidak.25

8. Perjanjian Tanggung-menanggung.

Perjanjian Tanggung-menanggung merupakan perjanjian yang lazim disebut dengan perjanjian tanggung renteng. Perjanjian Tanggung-menanggung adalah suatu perjanjian dimana debitur dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang. Perjanjian tanggung-menanggung diatur dalam Pasal 1749 dan 1836 KUHPerdata, serta Pasal 18 KUHDagang.26

Jika debiturnya terdiri dari beberapa orang maka tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi. Sedangkan jika krediturnya terdiri dari beberapa orang, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pemenuhan seluruh prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur, perjanjian menjadi hapus.27

9. Perjanjian Pokok dan Tambahan.

Perjanjian pokok adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain, misalnya perjanjian peminjaman uang.

25 Prof. DR. Mariam Darus, S.H., op.cit. hal.70.

(39)

Sedangkan perjanjian tambahan adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan daripada perjanjian pokok, misalnya perjanjian gadai dan hipotik. Perjanjian tambahan ini tidak akan dapat berdiri sendiri, tetapi bergantung pada perjanjian pokok, sehingga apabila perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian tambahan ikut berakhir pula.28

10.Perjanjian Bersyarat.

Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan kepada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Apabila suatu perjanjian yang lahirnya digantungkan pada terjadinya peristiwa itu dinamakan perjanjian dengan syarat tangguh. Misalnya, A berjanji memberikan buku-bukunya kepada si B kalau ia lulus ujian.

Sedangkan apabila suatu perjanjian yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan pada peristiwa itu dinamakan perjanjian dengan syarat batal. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa rumah antara A dan B yang sekarang sudah ada dijanjikan akan berakhir kalau A dipindahkan ke kota lain.

11.Perjanjian Dengan Ancaman Hukuman.

Menurut Pasal 1304 KUHPerdata menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ancaman hukuman adalah suatu ketentuan yang sedemikian rupa dengan

(40)

mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perjanjian diwajibkan melakukan sesuatu manakala perjanjian itu tidak dipenuhi.29

Maksud dari ancaman hukuman itu adalah : untuk memastikan agar perjanjian itu benar-benar dipenuhi dan untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi, serta untuk menghindari pertengkaran tentang hal itu.30 Janji ancaman hukuman bersifat accesoir, karena teragantung pada perjanjian pokoknya.

D. Subjek dan Sifat Perjanjian

Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua sudut yakni: sudut-sudut kewajiban yang dipikul oleh satu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat yang diperoleh lain pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakan sesuatu yang disanggupi dalam suatu perjanjian.31

Subjek perjanjian yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat

umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa dan sehat pikirannya. Perbedaan tentang hal ini antara Hukum Adat dan Hukum Perdata adalah mengenai umur seseorang yang ia mulai dapat dianggap dewasa.

29 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit. hal.11

30 Prof. DR. Mariam Darus, S.H., op.cit. hal.74.

(41)

Hukum Adat tidak menentukan umur tertentu, tetapi hanya memakai pengertian “akilbalik”, dan biasanya orang dianggap akilbalik apabila ia sudah berusia sekitar 16 dan 18 tahun atau sudah kawin. Hukum Perdata menganggap seorang sudah dewasa apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah kawin lebih dulu.

Menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam hal ini oleh karena pada waktu sekarang bagi orang-orang Indonesia asli atau sudah kadang-kadang dan bagi orang-orang warganegara Indonesia lainnya selalu terpakai umur 21 tahun atau yang sudah kawin untuk batas kedewasaan, dan juga guna untuk kepastian hukum tentunya.32

Objek perjanjian pada umumnya adalah setiap benda yang dikenai perjanjian itu sendiri. Kalau demikian intisari atau hakihat perjanjian tiada lain daripada prestasi. Tentang objek atau prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis.

Pasal 1320 KUHPerdata angka 3 dan angka 4 menentukan bahwa syarat perjanjian itu ialah adanya objek tertentu dan suatu sebab yang halal. Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan di dalam pasal 1333 KUHPerdata.33

Objek atau prestasi perjanjian yang diikat oleh kedua belah pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan adalah batal demi hukum.

32 Ibid. hal.166.

(42)

Sifat hukum perjanjian adalah :34

1.sifat perseorangan dalam Burgerlijk Wetboek.

Bahwa dengan suatu perjanjian tercipta hubungan hukum antara dua orang, adalah hal yang sama dalam Hukum Adat dan Hukum B.W. Persamaan ini terus ada apabila perjanjian tidak mengenai suatu benda.

Perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum B.W. akan tampak apabila perjanjian itu menciptakan hak atas suatu benda. Apabila dengan suatu perjanjian tercipta suatu hak atas benda, yang teratur dalam B.W. khususnya Buku II, selaku hak yang dinamakan hak kebendaan (zakerlijk recht), maka haruslah berlaku peraturan khusus dari B.W. yang mengatur hal itu dengan menciptakan pengertian perbendaan dari hak itu. Sifat perbendaan itu berarti bahwa hak atas benda itu berlaku bagi siapapun juga.

Sebaliknya, apabila dengan suatu perjanjian tidak tercipta hak yang sedemikian itu, maka hak atas benda yang diperoleh dengan perjanjian itu dinamakan tidak bersifat perbendaan atau disebut sifat perseorangan. Dengan tiadanya sifat perbendaan ini, maka atas suatu benda hanya berlaku bagi orang-orang yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian itu.

Contoh dari perjanjian yang memiliki sifat perseorangan, apabila kita tinjau perjanjian sewa-menyewa tanah. Dengan perjanjian sewa-menyewa tercipta juga suatu hak, yaitu hak sewa. Tetapi hak sewa ini, oleh karena berdasar atas perjanjian belaka dan tidak masuk hak-hak yang diatur dalam B.W. buku II selaku

(43)

hak perbendaan, maka hak sewa itu dinamakan tetap bersifat perseorangan tidak bersifat perbendaan.

Hak sewa menurut B.W. yang tetap dinamakan bersifat perseorangan, pada hakekatnya hanya berlaku bagi pihak yang menyewa terhadap pihak yang menyewakan. Apabila hak sewa diganggu oleh pihak ketiga, sipenyewa hanya dapat memberitahukannya kepada pihak yang menyewakan dan kemudian pihak

yang menyewakan inilah yang menegor pihak ketiga. Tetapi dalam B.W. si penyewa toh dapat langsung menuntut si pengganggu atau pihak ketiga tadi. Hal ini seperti yang terdapat dalam pasal 1556 KUHPerdata yang memperbolehkan si penyewa menuntut langsung si penggangu.

2.sifat “consensueel” dan “reeel”

Perjanjian dalam Hukum B.W. pada umumnya bersifat “consensueel” dan dalam Hukum Adat bersifat “re-eel” (nyata). Artinya adalah: dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini dianggap terjadi dengan adanya persetujuan atau kesepakatan belaka (consensus) dari kedua belah pihak.

(44)

BAB III

PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI

DI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masalah jual beli dengan hak membeli kembali, terlebih dahulu diuraikan sedikit mengenai perjanjian jual beli. Jual beli adalah merupakan hukum antara pihak penjual disatu pihak dengan pihak pembeli di lain pihak. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dikatakan bahwa :

“Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.35

Jadi perjanjian jual beli itu merupakan suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya yaitu pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Dapat dilihat disini bahwa unsur pokok (essential) dari perjanjian jual beli adalah harga dan barang.

Perjanjian jual beli lahir apabila kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli telah sepakat dengan harga dan barang. Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut dijelaskan dalam pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi :

(45)

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Di samping bersifat konsensual, perjanjian jual beli adalah juga bersifat obligatoir. Artinya dengan sahnya perjanjian jual beli itu, baru menimbulkan kewajiban para pihak sehingga dengan terjadinya perjanjian itu belum terjadinya peralihan hak milik. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa perjanjian jual beli menurut KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Hak milik

baru berpindah tangan dengan dilakukannya penyerahan (levering). Sifat obligatoir itu juga tampak jelas sekali dalam pasal 1459 KUHPerdata yang menerangkan bahwa “hak milik atas barang yang telah dijual tidaklah berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613, dan 616”.36

Jika dilihat dalam pasal 1457 jo pasal 1475 KUHPerdata, penyerahan barang dalam jual beli merupakan suatu tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikkan si pembeli. Jadi disini yang terjadi adalah adanya penyerahan nyata. Sedangkan menurut pasal 1459 KUHPerdata yang dimaksudkan adalah penyerahan yuridis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli selain penyerahan nyata ada kalanya diperlukan juga adanya penyerahan yuridis. Penyerahan nyata yang disertai dengan penyerahan yuridis umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tak bergerak, sedangkan pada benda bergerak

(46)

penyerahan sudah cukup sempurna dengan adanya penyerahan nyata saja (pasal 612 KUHPerdata).

Yang menjadi objek dari perjanjian jual beli adalah barang/benda (zaak) yang oleh mereka dijual atau dibeli. Menurut pasal 499 KUHPerdata zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Pada umumnya oleh pasal 1332 KUHPerdata dinyatakan bahwa :

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”.

Di dalam pasal 1333 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu syarat lagi bagi benda agar dapat menjadi objek perjanjian yaitu “benda itu harus tertentu”, paling sedikit tentang jenisnya. Mengingat syarat tertentu dari objek jual beli adalah layak apabila pasal 1472 KUHPerdata menyatakan bahwa jika pada waktu jual beli terjadi barangnya sudah musnah sama sekali, maka jual beli adalah batal.

Tetapi apabila hanya sebagian saja yang musnah, maka si pembeli dapat memilih antara pembatalan jual beli atau penerimaan barang-barang yang masih ada yang pembayarannya sebagian dari harga yang sudah dijanjikan sebelumnya.

(47)

A. Arti Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali

Lembaga jual beli dengan hak kembali (vekoop met recht van mederinkoop) diatur dalam Bagian Keempat Buku III pasal 1519-1532 KUHPerdata. Dalam pasal 1519 KUHPerdata disebutkan :

“Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual dengan mengembalikan harga pembelian asal dengan disertai penggantian yang disebutkan dengan pasal 1532”.

Menurut ketentuan pasal 1519 KUHPerdata ini bahwa si penjual dalam perjanjian jual beli dapat menjanjikan bahwa ia berhak membeli kembali barang yang ia jual. Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini sebenarnya merupakan suatu perjanjian jual beli yang sering dilakukan dalam masyarakat, hanya saja si penjual mempunyai atau diberikan hak dengan suatu perjanjian untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual.

Dalam suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sudah merupakan barang tentu dikandung maksud bahwa si pembeli selama jangka waktu yang diperjanjikan tidak akan menjual lagi barangnya kepada orang lain, karena ia setiap waktu dapat diminta menyerahkan kembali barang itu kepada si penjual.

(48)

Sebaliknya kalau janji ini diletakkan pada perjanjian jual beli seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1519 KUHPerdata, maka menurut pasal 1523 KUHPerdata janji ini mempunyai zakelijke werking (daya kekuatan kebendaan), yaitu si penjual masih dapat menuntut kembali barangnya, meskipun sudah dijual terus kepada pihak ketiga.

Pasal 1523 KUHPerdata berbunyi :

“Si penjual suatu benda tak bergerak yang telah meminta diperjanjikan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang dijual, boleh menggunakan haknya terhadap seorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian kedua itu tidak disebutkan tentang janji tersebut”.

Jadi dari ketentuan pasal 1523 KUHPerdata di atas, dapat dilihat bahwa jangkauan hak membeli kembali tidak terbatas hanya pada pembeli semula, tetapi juga menjangkau pembeli-pembeli selanjutnya sekalipun syarat demikian tidak dicantumkan dalam perjanjian jual beli tetapi sepanjang hak itu mengenai jual beli atas benda-benda tak bergerak.

Hal ini berarti bahwa jika yang diperjual belikan itu adalah benda tak bergerak, maka janji untuk membeli kembali yang telah diadakan untuk kepentingan si penjual itu otomatis harus ditaati oleh pihak ketiga, baik dia tahu, diberitahu, ataupun sama sekali tidak tahu akan adanya syarat membeli kembali.

(49)

beritikad baik harus dilindungi sesuai dengan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata yang menganut prinsip bezit atas barang-barang yang bergerak merupakan hal yang sempurna. Dengan demikian ketentuan pasal 1523 KUHPerdata sepanjang jual beli atas benda bergerak terbentur dengan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata yang dianggap sebagai peraturan khusus atas penguasaan dan jual beli benda-benda bergerak.

Pada umumnya jual beli dengan hak membeli kembali ditetapkan dengan suatu jangka waktu tertentu. Penentuan jangka waktu sangat penting untuk pembeli dan melindungi pembeli, jadi setiap adanya janji untuk membeli kembali harus dicantumkan di dalam perjanjian yang dituangkan secara tertulis berapa lama kesempatan ataupun hak yang dipunya si penjual untuk membeli kembali barangnya itu. Menurut pasal 1520 ayat (1) KUHPerdata menetapkan bahwa :

“Hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama dari lima tahun”.

(50)

Dengan dibatasi waktu setinggi-tingginya 5 tahun, undang-undang memberikan hak kepada si penjual untuk membeli kembali benda-benda yang telah dijualnya. Hak membeli kembali tersebut telah disetujui oleh kedua belah pihak yang menciptakan perjanjian jual beli. Pihak penjual menyetujui harga benda yang telah dijualnya, pihak pembeli berkewajiban mengembalikan atau merelakan hak milik atas benda tersebut berpindah kembali kepada penjual semula sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.

Selanjutnya pasal 1532 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Si penjual yang menggunakan janji membeli kembali tidak saja diwajibkan mengembalikan seluruh harga pembelian asal, tetapi juga diwajibkan mengganti semua biaya menurut hukum yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan biaya lain yang menyebabkan barangnya dijual bertambah harganya, sejumlah tambahannya ini”.

Apabila hak membeli kembali tidak dipergunakan dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan, maka hilanglah hak tersebut. Si pembeli tetap sebagai pemilik barang yang telah dibelinya itu.37

“Jangka waktu yang ditentukan harus diartikan secara mutlak, ia tidak boleh diperpanjang oleh hakim, dan apabila si penjual lalai memajukan tuntutannya untuk membeli kembali dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan, maka tetaplah si pembeli sebagai pemilik barang yang dibeli”.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 1521 KUHPerdata yang menyatakan :

Bahkan dalam pasal 1521 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa jangka waktu yang disetujui tidak dapat diperpanjang baik oleh penjual maupun

(51)

oleh pembeli secara sepihak, bahkan juga oleh hakim. Batas waktu yang ditentukan di dalam pasal 1520 KUHPerdata menetapkan adanya suatu kepastian hukum, karena jika tidak ditetapkan batas waktu itu maka hak pembeli tetap dalam keadaan terikat kepada janji yang telah disetujui antara pembeli dan penjual dalam waktu yang tidak ditentukan.38

Janji semacam ini menurut Wirjono Prodjodikoro akan memperkosa kepastian hukum, kalau hak membeli kembali ini akan hidup terus, barangnya akan selalu sukar untuk dijual terus, sebab si pembeli baru tentunya agak segan untuk membeli barang itu, kalau barang itu selalu dapat dibeli kembali oleh penjual pertama.39

“Jadi jika ditinjau dari waktu dapat dikatakan bahwa hak membeli kembali itu merupakan perikatan embel-embel (assesoort) :

Jadi pasal 1520 dan pasal 1521 KUHPerdata adalah bertujuan untuk melindungi si pembeli dalam hal menikmati apa yang sudah dibelinya.

1. Dengan syarat tangguh, yaitu hak membeli kembali bagi pihak penjual baru dapat dipergunakan atau pelaksanaan ditangguhkan sampai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.

2. Dengan syarat membatalkan, yaitu hak membeli kembali bagi pihak penjual batal, jika dilampaui batas waktu yang diperjanjikan”.40

38H. Ny.Basrah, S.H., 1981, Buku Ke III KUHPerdata Tentang Perikatan Jual Beli dan Pembahasan Kasus, FH.USU Medan. hal.53.

39Prof. DR. Wirjono Projodikoro, S.H., 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Cetakan IX, Sumur Bandung, hal.41.

(52)

Jika diperhatikan ketentuan pasal 1519 KUHPerdata tersebut, sedikit banyaknya menyinggung tentang adanya suatu kepastian hukum tentang pemilikan suatu benda yang telah diperjual belikan. Sebab sebagaimana diketahui bahwa dengan beralihnya barang yang telah dijual kepada pembeli, maka hak milik atas barang itu pun juga beralih dan pembeli sudah berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna.

Kemudian menurut pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 bahwa hak milik itu adalah merupakan hak yang terkuat dan terpenuhi, sehingga pemilik dapat berbuat bebas atas barang yang menjadi miliknya tersebut.41

Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, sifat bebas atas barang yang telah menjadi milik si pembeli semakin terkurangi. Si pembeli yang membeli suatu barang dengan janji membeli kembali itu memperoleh hak milik atas barang yang dibelinya itu, tetapi memikul kewajiban untuk sewaktu-waktu (dalam jangka waktu yang diperjanjikan) menyerahkan barangnya kepada si penjual. Baru setelah lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan itu, si pembeli akan menjadi pemilik tetap (mutlak).

Tetapi selama si penjual tidak menggunakan hak membeli kembali barangnya, maka si pembeli oleh hukum diperlakukan seperti pemilik sejati. Artinya ia dapat menyewakan dan meminjamkan barang itu, bahkan ia dapat menjual lagi barangnya. Akan tetapi masih tetaplah adanya hak si penjual

41 Dr. A.P. Parlindungan, SH., 1984, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni,

(53)

pertama untuk membeli kembali barangnya (tersirat dalam pasal 1524 dan pasal 1525 KUHPerdata).42

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini bersifat dapat dibagi bagi, dalam hal barang dimiliki oleh beberapa orang. Hal ini dapat terjadi karena :

1. hukum warisan, dimana ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari beberapa orang.

2. beberapa orang bersama-sama mempunyai suatu benda, kemudian menjualnya hanya dengan satu surat perjanjian jual beli yang dibebani dengan syarat hak membeli kembali terbatas hanya sekedar apa yang menjadi bagian masing-masing, tidak lebih dari itu.

Pasal 1527 KUHPerdata mengatakan :

“Jika berbagai orang bersama-sama dan dalam satu perjanjian telah menjual suatu benda yang menjadi hak mereka bersama, maka masing-masing diantara mereka hanyalah dapat menggunakan haknya membeli kembali sekedar untuk mengenai suatu jumlah sebesar bagiannya”.

Selanjutnya dalam pasal 1528 KUHPerdata mengatakan :

“Hal yang sama terjadi apabila seorang yang sendirian telah menjual suatu benda, meninggalkan berbagai orang ahli waris. Masing-masing diantara para ahli waris ini hanyalah boleh menggunakan hak membeli kembali untuk suatu jumlah sebesar bagiannya”.

Pasal 1528 KUHPerdata sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1318 KUHPerdata bahwa janji yang dibuat berlaku juga untuk ahli waris,

(54)

maka hak membeli kembali terbagi atas setiap bagian ahli-ahli waris sebanding dengan haknya di dalam harta warisan.

Terhadap orang-orang yang disebutkan dalam pasal 1527 dan pasal 1528 KUHPerdata apabila ia hendak menggunakan haknya membeli kembali, si pembeli berhak menuntut agar semua penjual atau semua ahli waris itu serentak menggunakan haknya membeli kembali barangnya. Artinya bahwa kalau mereka tidak mau, pembelian kembali tidak dapat terjadi (pasal 1529 KUHPerdata).

Akan tetapi apabila sejak semula masing-masing pemilik barang menjual bagiannya saja kepada pembeli, maka si pembeli tidak dapat menghalangi pembelian kembali dari bagian masing-masing. Dengan kata lain bahwa si pembeli tidak boleh memaksa siapa yang menggunakan haknya secara demikian untuk mengoper barangnya seluruhnya (pasal 1530 KUHPerdata).

Dalam hal pembeli meninggalkan beberapa orang ahli waris, maka hak membeli kembali tidak dapat dipergunakan terhadap masing-masing diri mereka selain untuk sejumlah sebesar bagiannya, baik dalam halnya harta peninggalan yang belum dibagi maupun dalam halnya harta peninggalan itu sudah dibagi diantara para ahli waris.43

Tetapi jika harta peninggalan telah dibagi dan barang yang dijual itu jatuh pada salah seorang, maka tuntutan untuk membeli kembali dapat ditujukan untuk seluruhnya pada orang ini (pasal 1531 KUHPerdata).

44

(55)

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya jual beli dengan hak membeli kembali ini adalah merupakan suatu perjanjian dimana pihak penjual diberikan kekuasaan untuk secara sepihak (diluar hakim) membatalkan perjanjiannya dan menuntut kembali barangnya sebagai miliknya.

Dalam lingkungan Hukum Adat tidak dikenal adanya lembaga jual beli dengan hak membeli kembali ini. Apabila suatu perjanjian disebutkan dengan hak membeli kembali, maka perjanjian ini dianggap sebagai suatu gadai belaka saja.45

Secara praktis memang hampir tidak ada perbedaan antara gadai dengan jual beli dengan hak membeli kembali. Akan tetapi secara teori terdapat perbedaannya, yaitu selama penjual belum membeli kembali barangnya maka si pembeli resmi adalah pemilik, sedangkan pada gadai selama barang gadai belum ditebus maka seorang penggadai bukanlah pemilik barangnya akan tetapi sebagai seorang pemegang gadai dan ia juga dapat memperlakukan barang gadainya itu seperti seorang pemilik resmi.

46

Pada kenyataannya dalam lingkungan Hukum Adat sudah mulai banyak dipakai perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali untuk menyelubungi suatu gadai tanah guna menghindari larangan yang berlaku dalam gadai tanah menurut Hukum Adat itu. Untuk memperjanjikan bahwa kalau tanah tidak ditebus

45 Prof. DR. Wirjono Projodikoro, S.H., op.cit, hal.42. 46 Ibid. hal.43

(56)

dalam suatu waktu tertentu, tanah itu akan menjadi milik mutlak dari si pengambil gadai.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam gadai tanah menurut Hukum Adat,

tidak bisa secara otomatis tanah yang digadaikan itu menjadi milik si pengambil gadai setelah lewat jangka waktunya untuk menebus. Meskipun

itu diperjanjikan, tetapi selalu diperlukan suatu transaksi lagi untuk mengalihkan hak milik itu, misalnya dengan memberikan tambahan uang gadai kepada pemilik tanah.

Menurut Prof. R.Subekti, SH, bahwa “Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dalam praktek sering menyelubungi suatu perjanjian pinjam uang dengan pemberian jaminan kebendaan yang seharusnya dibuat dalam bentuk hipotik”.47

Dengan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini dapat sekaligus diseludupi larangan untuk memiliki jaminan dalam bentuk gadai atau hipotik. Suatu perkara mengenai hal ini di muka hakim, beban untuk

membuktikan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini kasus yang sebenarnya adalah merupakan suatu perjanjian pinjam uang dengan adanya jaminan atau agunan yang diletakkan pada pundak si pihak penjual.

Jadi dalam prakteknya sehari-hari ada suatu kecenderungan dalam kesadaran di masyarakat untuk memanfaatkan lembaga jual beli dengan hak membeli kembali ini. Yaitu sebagai suatu hubungan hukum yang mengatur

(57)

perjanjian pinjaman uang dengan memberi agunan atau jaminan kepada pihak kreditur dalam bentuk perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, guna menjamin kepentingan kreditur serta sekaligus untuk menghindari larangan pemilikan bersyarat.

B. Objek Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara terperinci mengenai objek dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini. Sekalipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengaturnya, tetapi pada dasarnya yang menjadi objek dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah sama dengan yang menjadi objek di dalam perjanjian jual beli biasa. Hanya saja dalam perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini terhadap objek perjanjian jual beli tersebut dilekatkan hak penjual dengan suatu perjanjian bahwa ia dapat membeli kembali barang tersebut.

Bahwa pada perjanjian jual beli yang menjadi objeknya adalah barang atau benda (zaak), dimana menurut pasal 499 KUHPerdata pengertian zaak tersebut adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Pasal 1332 KUHPerdata mengatur bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi objek perjanjian.

(58)

setiap benda atau barang dapat dijadikan objek jual beli, asalkan barang tersebut tertentu jenisnya.

Dalam masyarakat benda-benda tak bergerak yang berupa tanah dan atau rumah yang paling banyak dijadikan objek jual beli dengan hak membeli kembali. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kenyataannya perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini dibuat guna menyelubungi perjanjian pinjam uang.

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dipakai untuk menyembunyikan gadai dalam Hukum Adat, atau pun menyembunyikan perjanjian pinjam uang dengan jaminan kebendaan yang seharusnya dibuat dalam bentuk hipotik. Biasanya kreditur lebih menyenangi benda-benda atau barang-barang tak bergerak yang berupa tanah dan atau rumah sebagai

jaminan dari piutangnya.

C. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Hak

Membeli Kembali

Berjanji sesuatu berarti mengikat diri, yaitu membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya suatu perjanjian, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata

“Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata

Di dalam kenyataan di masyarakat ditemukan bentuk akta pengikatan jual beli tanah, biasanya akta tersebut dikenal dengan istilah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah

³'DODP KDO VXDWX ELGDQJ WDQDK VXGDK GLWHUELWNDQ sertipikat secara atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,