• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA

D. Subjek dan Sifat Perjanjian

Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua sudut yakni: sudut-sudut kewajiban yang dipikul oleh satu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat yang diperoleh lain pihak, yaitu hak-hak untuk menuntut dilaksanakan sesuatu yang disanggupi dalam suatu perjanjian.31

Subjek perjanjian yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat

umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa dan sehat pikirannya. Perbedaan tentang hal ini antara Hukum Adat dan Hukum Perdata adalah mengenai umur seseorang yang ia mulai dapat dianggap dewasa.

29 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit. hal.11

30 Prof. DR. Mariam Darus, S.H., op.cit. hal.74.

Hukum Adat tidak menentukan umur tertentu, tetapi hanya memakai pengertian “akilbalik”, dan biasanya orang dianggap akilbalik apabila ia sudah berusia sekitar 16 dan 18 tahun atau sudah kawin. Hukum Perdata menganggap seorang sudah dewasa apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah kawin lebih dulu.

Menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam hal ini oleh karena pada waktu sekarang bagi orang-orang Indonesia asli atau sudah kadang-kadang dan bagi orang-orang warganegara Indonesia lainnya selalu terpakai umur 21 tahun atau yang sudah kawin untuk batas kedewasaan, dan juga guna untuk kepastian hukum tentunya.32

Objek perjanjian pada umumnya adalah setiap benda yang dikenai perjanjian itu sendiri. Kalau demikian intisari atau hakihat perjanjian tiada lain daripada prestasi. Tentang objek atau prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis.

Pasal 1320 KUHPerdata angka 3 dan angka 4 menentukan bahwa syarat perjanjian itu ialah adanya objek tertentu dan suatu sebab yang halal. Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan di dalam pasal 1333 KUHPerdata.33

Objek atau prestasi perjanjian yang diikat oleh kedua belah pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan adalah batal demi hukum.

32 Ibid. hal.166.

Sifat hukum perjanjian adalah :34

1.sifat perseorangan dalam Burgerlijk Wetboek.

Bahwa dengan suatu perjanjian tercipta hubungan hukum antara dua orang, adalah hal yang sama dalam Hukum Adat dan Hukum B.W. Persamaan ini terus ada apabila perjanjian tidak mengenai suatu benda.

Perbedaan antara Hukum Adat dan Hukum B.W. akan tampak apabila perjanjian itu menciptakan hak atas suatu benda. Apabila dengan suatu perjanjian tercipta suatu hak atas benda, yang teratur dalam B.W. khususnya Buku II, selaku hak yang dinamakan hak kebendaan (zakerlijk recht), maka haruslah berlaku peraturan khusus dari B.W. yang mengatur hal itu dengan menciptakan pengertian perbendaan dari hak itu. Sifat perbendaan itu berarti bahwa hak atas benda itu berlaku bagi siapapun juga.

Sebaliknya, apabila dengan suatu perjanjian tidak tercipta hak yang sedemikian itu, maka hak atas benda yang diperoleh dengan perjanjian itu dinamakan tidak bersifat perbendaan atau disebut sifat perseorangan. Dengan tiadanya sifat perbendaan ini, maka atas suatu benda hanya berlaku bagi orang-orang yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian itu.

Contoh dari perjanjian yang memiliki sifat perseorangan, apabila kita tinjau perjanjian sewa-menyewa tanah. Dengan perjanjian sewa-menyewa tercipta juga suatu hak, yaitu hak sewa. Tetapi hak sewa ini, oleh karena berdasar atas perjanjian belaka dan tidak masuk hak-hak yang diatur dalam B.W. buku II selaku

hak perbendaan, maka hak sewa itu dinamakan tetap bersifat perseorangan tidak bersifat perbendaan.

Hak sewa menurut B.W. yang tetap dinamakan bersifat perseorangan, pada hakekatnya hanya berlaku bagi pihak yang menyewa terhadap pihak yang menyewakan. Apabila hak sewa diganggu oleh pihak ketiga, sipenyewa hanya dapat memberitahukannya kepada pihak yang menyewakan dan kemudian pihak

yang menyewakan inilah yang menegor pihak ketiga. Tetapi dalam B.W. si penyewa toh dapat langsung menuntut si pengganggu atau pihak ketiga tadi. Hal ini seperti yang terdapat dalam pasal 1556 KUHPerdata yang memperbolehkan si penyewa menuntut langsung si penggangu.

2.sifat “consensueel” dan “reeel”

Perjanjian dalam Hukum B.W. pada umumnya bersifat “consensueel” dan dalam Hukum Adat bersifat “re-eel” (nyata). Artinya adalah: dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini dianggap terjadi dengan adanya persetujuan atau kesepakatan belaka (consensus) dari kedua belah pihak.

Menurut Hukum Adat semua perjanjian adalah “reeele overeenkomsten” artinya adalah bahwa semua perjanjian itu disamping membutuhkan suatu perizinan kedua belah pihak, masih perlu juga suatu hal yang nyata dan dapat dilihat.

BAB III

PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN HAK MEMBELI KEMBALI DI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masalah jual beli dengan hak membeli kembali, terlebih dahulu diuraikan sedikit mengenai perjanjian jual beli. Jual beli adalah merupakan hukum antara pihak penjual disatu pihak dengan pihak pembeli di lain pihak. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dikatakan bahwa :

“Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.35

Jadi perjanjian jual beli itu merupakan suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya yaitu pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Dapat dilihat disini bahwa unsur pokok (essential) dari perjanjian jual beli adalah harga dan barang.

Perjanjian jual beli lahir apabila kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli telah sepakat dengan harga dan barang. Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut dijelaskan dalam pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi :

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Di samping bersifat konsensual, perjanjian jual beli adalah juga bersifat obligatoir. Artinya dengan sahnya perjanjian jual beli itu, baru menimbulkan kewajiban para pihak sehingga dengan terjadinya perjanjian itu belum terjadinya peralihan hak milik. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa perjanjian jual beli menurut KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Hak milik

baru berpindah tangan dengan dilakukannya penyerahan (levering). Sifat obligatoir itu juga tampak jelas sekali dalam pasal 1459 KUHPerdata yang menerangkan bahwa “hak milik atas barang yang telah dijual tidaklah berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613, dan 616”.36

Jika dilihat dalam pasal 1457 jo pasal 1475 KUHPerdata, penyerahan barang dalam jual beli merupakan suatu tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikkan si pembeli. Jadi disini yang terjadi adalah adanya penyerahan nyata. Sedangkan menurut pasal 1459 KUHPerdata yang dimaksudkan adalah penyerahan yuridis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli selain penyerahan nyata ada kalanya diperlukan juga adanya penyerahan yuridis. Penyerahan nyata yang disertai dengan penyerahan yuridis umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tak bergerak, sedangkan pada benda bergerak

penyerahan sudah cukup sempurna dengan adanya penyerahan nyata saja (pasal 612 KUHPerdata).

Yang menjadi objek dari perjanjian jual beli adalah barang/benda (zaak) yang oleh mereka dijual atau dibeli. Menurut pasal 499 KUHPerdata zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Pada umumnya oleh pasal 1332 KUHPerdata dinyatakan bahwa :

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”.

Di dalam pasal 1333 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu syarat lagi bagi benda agar dapat menjadi objek perjanjian yaitu “benda itu harus tertentu”, paling sedikit tentang jenisnya. Mengingat syarat tertentu dari objek jual beli adalah layak apabila pasal 1472 KUHPerdata menyatakan bahwa jika pada waktu jual beli terjadi barangnya sudah musnah sama sekali, maka jual beli adalah batal.

Tetapi apabila hanya sebagian saja yang musnah, maka si pembeli dapat memilih antara pembatalan jual beli atau penerimaan barang-barang yang masih ada yang pembayarannya sebagian dari harga yang sudah dijanjikan sebelumnya.

Dapat disimpulkan disini bahwa apa saja yang dapat dijadikan objek perjanjian dengan sendirinya dapat pula dijadikan objek jual beli. Asalkan benda/barang yang menjadi objek jual beli itu sudah ada atau tidak gugur pada saat perjanjian jual beli diperbuat, maka jual beli dianggap sah.

A. Arti Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali

Lembaga jual beli dengan hak kembali (vekoop met recht van mederinkoop) diatur dalam Bagian Keempat Buku III pasal 1519-1532 KUHPerdata. Dalam pasal 1519 KUHPerdata disebutkan :

“Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari suatu janji dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang dijual dengan mengembalikan harga pembelian asal dengan disertai penggantian yang disebutkan dengan pasal 1532”.

Menurut ketentuan pasal 1519 KUHPerdata ini bahwa si penjual dalam perjanjian jual beli dapat menjanjikan bahwa ia berhak membeli kembali barang yang ia jual. Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini sebenarnya merupakan suatu perjanjian jual beli yang sering dilakukan dalam masyarakat, hanya saja si penjual mempunyai atau diberikan hak dengan suatu perjanjian untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual.

Dalam suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali sudah merupakan barang tentu dikandung maksud bahwa si pembeli selama jangka waktu yang diperjanjikan tidak akan menjual lagi barangnya kepada orang lain, karena ia setiap waktu dapat diminta menyerahkan kembali barang itu kepada si penjual.

Janji membeli kembali ini harus sejak semula diletakkan pada perjanjian jual beli. Kalau janji ini baru kemudian diadakan antara si penjual dan si pembeli, maka si pembeli juga terikat tetapi janji ini tidak dapat dilaksanakan terhadap pihak ketiga yang kemudian membeli kembali barang itu dari pembeli pertama.

Sebaliknya kalau janji ini diletakkan pada perjanjian jual beli seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1519 KUHPerdata, maka menurut pasal 1523 KUHPerdata janji ini mempunyai zakelijke werking (daya kekuatan kebendaan), yaitu si penjual masih dapat menuntut kembali barangnya, meskipun sudah dijual terus kepada pihak ketiga.

Pasal 1523 KUHPerdata berbunyi :

“Si penjual suatu benda tak bergerak yang telah meminta diperjanjikan kekuasaan untuk membeli kembali barang yang dijual, boleh menggunakan haknya terhadap seorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian kedua itu tidak disebutkan tentang janji tersebut”.

Jadi dari ketentuan pasal 1523 KUHPerdata di atas, dapat dilihat bahwa jangkauan hak membeli kembali tidak terbatas hanya pada pembeli semula, tetapi juga menjangkau pembeli-pembeli selanjutnya sekalipun syarat demikian tidak dicantumkan dalam perjanjian jual beli tetapi sepanjang hak itu mengenai jual beli atas benda-benda tak bergerak.

Hal ini berarti bahwa jika yang diperjual belikan itu adalah benda tak bergerak, maka janji untuk membeli kembali yang telah diadakan untuk kepentingan si penjual itu otomatis harus ditaati oleh pihak ketiga, baik dia tahu, diberitahu, ataupun sama sekali tidak tahu akan adanya syarat membeli kembali.

Namun dalam hal terhadap benda bergerak, jika pembeli pertama menjual barangnya kepada orang lain, maka pembeli kedua ini adalah aman. Artinya tidak dapat dituntut untuk menyerahkan barangnya kepada penjual pertama. Sebab terhadap barang-barang yang bergerak pihak ketiga sebagai pembeli yang

beritikad baik harus dilindungi sesuai dengan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata yang menganut prinsip bezit atas barang-barang yang bergerak merupakan hal yang sempurna. Dengan demikian ketentuan pasal 1523 KUHPerdata sepanjang jual beli atas benda bergerak terbentur dengan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata yang dianggap sebagai peraturan khusus atas penguasaan dan jual beli benda-benda bergerak.

Pada umumnya jual beli dengan hak membeli kembali ditetapkan dengan suatu jangka waktu tertentu. Penentuan jangka waktu sangat penting untuk pembeli dan melindungi pembeli, jadi setiap adanya janji untuk membeli kembali harus dicantumkan di dalam perjanjian yang dituangkan secara tertulis berapa lama kesempatan ataupun hak yang dipunya si penjual untuk membeli kembali barangnya itu. Menurut pasal 1520 ayat (1) KUHPerdata menetapkan bahwa :

“Hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama dari lima tahun”.

Dalam batas itu kedua belah pihak yang membuat perjanjian bebas untuk menetapkan jangka waktu pembelian kembali itu. Tapi seandainya dalam perjanjian ditentukan jangka waktu yang lebih panjang dari 5 tahun, maka jangka waktu demikian harus tetap dihitung tidak lebih dari 5 tahun (pasal 1520 ayat (2) KUHPerdata). Apabila tuntutan untuk membeli kembali ini diajukan melalui pengadilan maka Hakim harus mempunyai pendirian bahwa 5 tahun sudah menjadi ketetapan yang tidak dapat dirobah, biarpun di dalam perjanjian tenggang waktunya melebihi 5 tahun.

Dengan dibatasi waktu setinggi-tingginya 5 tahun, undang-undang memberikan hak kepada si penjual untuk membeli kembali benda-benda yang telah dijualnya. Hak membeli kembali tersebut telah disetujui oleh kedua belah pihak yang menciptakan perjanjian jual beli. Pihak penjual menyetujui harga benda yang telah dijualnya, pihak pembeli berkewajiban mengembalikan atau merelakan hak milik atas benda tersebut berpindah kembali kepada penjual semula sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.

Selanjutnya pasal 1532 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Si penjual yang menggunakan janji membeli kembali tidak saja diwajibkan mengembalikan seluruh harga pembelian asal, tetapi juga diwajibkan mengganti semua biaya menurut hukum yang telah dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan biaya lain yang menyebabkan barangnya dijual bertambah harganya, sejumlah tambahannya ini”.

Apabila hak membeli kembali tidak dipergunakan dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan, maka hilanglah hak tersebut. Si pembeli tetap sebagai pemilik barang yang telah dibelinya itu.37

“Jangka waktu yang ditentukan harus diartikan secara mutlak, ia tidak boleh diperpanjang oleh hakim, dan apabila si penjual lalai memajukan tuntutannya untuk membeli kembali dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan, maka tetaplah si pembeli sebagai pemilik barang yang dibeli”.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 1521 KUHPerdata yang menyatakan :

Bahkan dalam pasal 1521 KUHPerdata tersebut ditentukan bahwa jangka waktu yang disetujui tidak dapat diperpanjang baik oleh penjual maupun

oleh pembeli secara sepihak, bahkan juga oleh hakim. Batas waktu yang ditentukan di dalam pasal 1520 KUHPerdata menetapkan adanya suatu kepastian hukum, karena jika tidak ditetapkan batas waktu itu maka hak pembeli tetap dalam keadaan terikat kepada janji yang telah disetujui antara pembeli dan penjual dalam waktu yang tidak ditentukan.38

Janji semacam ini menurut Wirjono Prodjodikoro akan memperkosa kepastian hukum, kalau hak membeli kembali ini akan hidup terus, barangnya akan selalu sukar untuk dijual terus, sebab si pembeli baru tentunya agak segan untuk membeli barang itu, kalau barang itu selalu dapat dibeli kembali oleh penjual pertama.39

“Jadi jika ditinjau dari waktu dapat dikatakan bahwa hak membeli kembali itu merupakan perikatan embel-embel (assesoort) :

Jadi pasal 1520 dan pasal 1521 KUHPerdata adalah bertujuan untuk melindungi si pembeli dalam hal menikmati apa yang sudah dibelinya.

1. Dengan syarat tangguh, yaitu hak membeli kembali bagi pihak penjual baru dapat dipergunakan atau pelaksanaan ditangguhkan sampai dengan jangka waktu yang diperjanjikan.

2. Dengan syarat membatalkan, yaitu hak membeli kembali bagi pihak penjual batal, jika dilampaui batas waktu yang diperjanjikan”.40

38H. Ny.Basrah, S.H., 1981, Buku Ke III KUHPerdata Tentang Perikatan Jual Beli dan

Pembahasan Kasus, FH.USU Medan. hal.53.

39Prof. DR. Wirjono Projodikoro, S.H., 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Cetakan IX, Sumur Bandung, hal.41. 40 H. Ny.Basrah, S.H., op.cit. hal.54.

Jika diperhatikan ketentuan pasal 1519 KUHPerdata tersebut, sedikit banyaknya menyinggung tentang adanya suatu kepastian hukum tentang pemilikan suatu benda yang telah diperjual belikan. Sebab sebagaimana diketahui bahwa dengan beralihnya barang yang telah dijual kepada pembeli, maka hak milik atas barang itu pun juga beralih dan pembeli sudah berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna.

Kemudian menurut pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 bahwa hak milik itu adalah merupakan hak yang terkuat dan terpenuhi, sehingga pemilik dapat berbuat bebas atas barang yang menjadi miliknya tersebut.41

Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, sifat bebas atas barang yang telah menjadi milik si pembeli semakin terkurangi. Si pembeli yang membeli suatu barang dengan janji membeli kembali itu memperoleh hak milik atas barang yang dibelinya itu, tetapi memikul kewajiban untuk sewaktu-waktu (dalam jangka waktu yang diperjanjikan) menyerahkan barangnya kepada si penjual. Baru setelah lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan itu, si pembeli akan menjadi pemilik tetap (mutlak).

Tetapi selama si penjual tidak menggunakan hak membeli kembali barangnya, maka si pembeli oleh hukum diperlakukan seperti pemilik sejati. Artinya ia dapat menyewakan dan meminjamkan barang itu, bahkan ia dapat menjual lagi barangnya. Akan tetapi masih tetaplah adanya hak si penjual

41 Dr. A.P. Parlindungan, SH., 1984, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 65.

pertama untuk membeli kembali barangnya (tersirat dalam pasal 1524 dan pasal 1525 KUHPerdata).42

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali ini bersifat dapat dibagi bagi, dalam hal barang dimiliki oleh beberapa orang. Hal ini dapat terjadi karena :

1. hukum warisan, dimana ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari beberapa orang.

2. beberapa orang bersama-sama mempunyai suatu benda, kemudian menjualnya hanya dengan satu surat perjanjian jual beli yang dibebani dengan syarat hak membeli kembali terbatas hanya sekedar apa yang menjadi bagian masing-masing, tidak lebih dari itu.

Pasal 1527 KUHPerdata mengatakan :

“Jika berbagai orang bersama-sama dan dalam satu perjanjian telah menjual suatu benda yang menjadi hak mereka bersama, maka masing-masing diantara mereka hanyalah dapat menggunakan haknya membeli kembali sekedar untuk mengenai suatu jumlah sebesar bagiannya”.

Selanjutnya dalam pasal 1528 KUHPerdata mengatakan :

“Hal yang sama terjadi apabila seorang yang sendirian telah menjual suatu benda, meninggalkan berbagai orang ahli waris. Masing-masing diantara para ahli waris ini hanyalah boleh menggunakan hak membeli kembali untuk suatu jumlah sebesar bagiannya”.

Pasal 1528 KUHPerdata sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1318 KUHPerdata bahwa janji yang dibuat berlaku juga untuk ahli waris,

maka hak membeli kembali terbagi atas setiap bagian ahli-ahli waris sebanding dengan haknya di dalam harta warisan.

Terhadap orang-orang yang disebutkan dalam pasal 1527 dan pasal 1528 KUHPerdata apabila ia hendak menggunakan haknya membeli kembali, si pembeli berhak menuntut agar semua penjual atau semua ahli waris itu serentak menggunakan haknya membeli kembali barangnya. Artinya bahwa kalau mereka tidak mau, pembelian kembali tidak dapat terjadi (pasal 1529 KUHPerdata).

Akan tetapi apabila sejak semula masing-masing pemilik barang menjual bagiannya saja kepada pembeli, maka si pembeli tidak dapat menghalangi pembelian kembali dari bagian masing-masing. Dengan kata lain bahwa si pembeli tidak boleh memaksa siapa yang menggunakan haknya secara demikian untuk mengoper barangnya seluruhnya (pasal 1530 KUHPerdata).

Dalam hal pembeli meninggalkan beberapa orang ahli waris, maka hak membeli kembali tidak dapat dipergunakan terhadap masing-masing diri mereka selain untuk sejumlah sebesar bagiannya, baik dalam halnya harta peninggalan yang belum dibagi maupun dalam halnya harta peninggalan itu sudah dibagi diantara para ahli waris.43

Tetapi jika harta peninggalan telah dibagi dan barang yang dijual itu jatuh pada salah seorang, maka tuntutan untuk membeli kembali dapat ditujukan untuk seluruhnya pada orang ini (pasal 1531 KUHPerdata).

44

43 H. Ny.Basrah, S.H., op.cit. hal.60.

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya jual beli dengan hak membeli kembali ini adalah merupakan suatu perjanjian dimana pihak penjual diberikan kekuasaan untuk secara sepihak (diluar hakim) membatalkan perjanjiannya dan menuntut kembali barangnya sebagai miliknya.

Dalam lingkungan Hukum Adat tidak dikenal adanya lembaga jual beli dengan hak membeli kembali ini. Apabila suatu perjanjian disebutkan dengan hak membeli kembali, maka perjanjian ini dianggap sebagai suatu gadai belaka saja.45

Secara praktis memang hampir tidak ada perbedaan antara gadai dengan jual beli dengan hak membeli kembali. Akan tetapi secara teori terdapat perbedaannya, yaitu selama penjual belum membeli kembali barangnya maka

Dokumen terkait