• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.15

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung di dalam Buku III KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat (sesuai pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Yang dimaksud dengan sepakat ialah bila kedua belah pihak mengadakan perjanjian telah tercapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak yang lainnya juga. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya: betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (Pasal 1321, 1322, 1328 KUHPerdata).16

Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, baik dengan kekerasan

15 Prof. R.Subekti, S.H., op.cit. hal.13.

jasmani, maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 KUHPerdata).17

Dikatakan tidak ada kekhilafan ataupun kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal pokok yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau dengan siapa diadakannya perjanjian itu.

Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu. Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipuan muslihat, dengan memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui atau sepakat(Pasal 1328 KUHPerdata).

Apabila syarat pertama tersebut tidak dipenuhi maka suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada. Karena sesuai dengan asas “konsensualisme” itu sendiri, berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan, yang telah menjiwai hukum perjanjian dalam kitab undang-undang hukum perdata.

2. cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Cakap (bekwaam) merupakan suatu syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.18

17 Lihat pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

18 H.Riduan Syahrani, S.H., 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal.208.

Pada umumnya seorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa. Di dalam KUHPerdata, kriteria dari orang-orang yang belum dewasa diatur dalam pasal 330 yaitu:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin.”19

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan yang belum dewasa. Didalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampunan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Jika terjadi salah satu pihak seperti dalam keadaan(status) yang disebutkan di atas, salah satu pihak tidak cakap untuk membuat perjanjian. Maka perjanjian itu bercacat, karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian itu. Sebaliknya, orang yang berhak meminta pembatalan perjanjian itu juga dapat dilakukan dengan menguatkan perjanjian tersebut. Penguatan itu dapat dilakukan dengan tegas ataupun secara diam-diam tergantung dari keadaan.

Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, istri sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya.

Dan pasal 108 serta pasal 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

Selain kecakapan, ada lagi yang disebut dengan kewenangan. Kewenangan dalam hal ini ialah apabila seseorang mendapat kuasa dari pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya membuat suatu perjanjian. Tidak ada kewenangan apabila tidak mendapatkan kuasa untuk itu. Jadi untuk dapat membuat suatu perjanjian, seseorang itu harus dewasa, sehat pikirannya dan tidak dibatasi atau tidak dikurangi wewenangnya di dalam melakukan perbuatan hukum.

3. mengenai suatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Dalam Pasal 1332 KUHPerdata disebutkan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang-barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan objek perjanjian. Hal ini dikarenakan barang-barang tersebut merupakan milik Negara dan peruntukannya bagi masyarakat atau kepentingan umum.

Menurut Pasal 1333 KUHPerdata yaitu barang yang menjadi objek suatu perjanjian ini harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat(1) KUHPerdata menyebutkan bahwa ditentukan barang-barang yang baru akan kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.

4. suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Yang dimaksud sebab atau causa yaitu mengenai isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, isi perjanjian adalah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang, dan pihak yang lainnya menghendaki sejumlah uang, tujuannya ialah hak-hak milik berpindah dan sejumlah uang diserahkan.

Selanjutnya, Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan(Pasal 1335 KUHPerdata).

Sebenarnya keempat syarat tersebut di atas dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu :20

1. Syarat Subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian. Dimana hal ini meliputi syarat 1 dan syarat 2 dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

2. Syarat Objektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu. Dimana hal ini meliputi syarat 3 dan syarat 4 dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal yang menyangkut perjanjian.

Kalau dengan syarat subjektif, jika suatu syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (pasal 1446 KUH Perdata), artinya dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.21

Sedangkan syarat-syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas

(pasal 1321 KUH Perdata). Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun (pasal 1454 KUHPerdata). Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim), atas pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.

22

Dokumen terkait