EVALUASI TINGKAT KERUSAKAN JALAN SEBAGAI
DASAR PENENTUAN PERBAIKAN JALAN
040404081
MIKAEL ABDI MANURUNG
Disetujui Oleh :
Pembimbing
NIP. 19731109 200012 1001
Yusandy Aswad ST. MT
BIDANG STUDI TRANSPORTASI
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
ABSTRAK
Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat
pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perkembangan kehidupan bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Seiring dengan berjalannya waktu, lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas, sehingga perlu dilakukan program pemeliharaan dan rehabilitasi. Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan jalan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan.
Studi evaluasi kondisi kerusakan jalan pada studi ini dilakukan melalui survei visual, yaitu dengan mengukur panjang, lebar, dalam serta luasan dari tiap kerusakan yang terjadi. Kategori jenis kerusakan yang ditinjau adalah alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off, longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling. Untuk analisa pengambilan keputusan digunakan beberapa metode pendekatan yaitu metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).
Studi dilakukan terhadap ruas jalan Setia Budi Medan, dengan panjang jalan yang diamati sepanjang 5.4 km yang dibagi dalam 54 segmen jalan dimana tiap segmen panjangnya 100 m. Jenis kerusakan yang terjadi pada ruas jalan Setia Budi Medan terdiri dari ravelling, alligator cracking, patching, longitudinal and transverse cracking, shoving, corrugation, depression, potholes dan rutting.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik.
Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan menempuh ujian sarjana
pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul tugas akhir ini adalah “ Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai
Dasar Penentuan Perbaikan Jalan ”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penulisan Tugas Akhir ini
banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, untuk segala rahmat dan berkat-Nya.
2. Bapak Yusandy Aswad, ST.MT sebagai dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikiran ataupun masukan yang sangat
berharga dalam penyusunan/penulisan Tugas Akhir ini hingga selesai.
3. Bapak Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan sebagai ketua Departemen Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Ir. Terunajaya, Msc sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak dan Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan masukan dan
waktunya dalam penyelesaian Tugas akhir ini.
6. Istimewa untuk orang tua tercinta, st.B.A. Manurung dan dra. L. Sirait yang
senantiasa mencurahkan segenap kasih sayang dan segala dukungan yang
7. Untuk keluarga besar penulis Dr. Argen Manurung / Ria Yap, Bsc serta
sheryll (keluarga abang penulis), Hotman Dolok Saribu, ST / Sofia
Manurung, Amd serta cecia (keluarga kakak penulis), dan adik (Reni
Manurung, Amd), terima kasih atas cinta, doa dan dukungannya kepada
penulis.
8. Buat semua sahabat penulis (Mejen, leo, Bens, Cot Dogol, Jon Dod,
Waloed, Bolon, Jun, Lae Cecep, Lae Suryo, Ical, Gajut, Ijal, Perdi, Jong
Elak, Jack, Samm, Mario, Joko, Nuek, Ndre, Pre Robb, Pe2ng, Gober, Emir,
Ari, Royhan, Sulaiman, Amrin, Rustxell) beserta semua teman-teman
stambuk 04, 05, 06, 07 dan 08 yang tidak bisa disebutkan namanya satu
persatu, terimakasih atas segala doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta referensi yang
penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi
perbaikan pada masa-masa yang akan datang.
Medan, 2010
04 0404 081
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
DAFTAR PUSTAKA ... x
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1
I.2 Perumusan Masalah ... 3
I.3 Pembatasan Masalah ... 4
I.4 Tujuan Penulisan ... 5
I.5 Metodologi Penulisan ... 5
I.6 Sistematika Penulisan ... 8
BAB II PERKERASAN JALAN RAYA II.1 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan ... 10
II.2 Konstruksi Perkerasan Lentur ... 11
II.3 Sifat Perkerasan Lentur ... 15
II.4 Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur ... 17
II.5 Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur ... 18
II.5.1 Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga ... 18
Condition Index (PCI) ... 33
II.6 Jenis Pemeliharaan Jalan ... 42
BAB III METODOLOGI III.1 Tujuan Metodologi ... 43
III.2 Bagan Alir (Flowcart) Studi ... 43
III.3 Metode Pendekatan Penilaian Kondisi Perkerasan Lentur... 45
III.3.1 Metode Bina Marga ... 45
III.3.1.1 Penilaian Kondisi Perkerasan ... 45
III.3.1.2 Urutan Prioritas ... 47
III.3.2 Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 50
III.3.2.1 Penilaian Kondisi Perkerasan ... 50
III.3.2.2 Klasifikasi Kualitas Perkerasan dan Penentuan Jenis Pemeliharaan ... 72
BAB IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA IV.1 Pengumpulan Data ... 74
IV.1.1 Data Kondisi Jalan ... 74
IV.1.2 Data Kondisi Kerusakan Jalan ... 75
IV.1.3 Data Lalu Lintas ... 80
IV.2 Pengolahan Data ... 82
IV.2.1 Analisa Data dengan Metode Bina Marga ... 82
IV.2.1.1 Penilaian Kondisi Jalan ... 83
IV.2.1.2 Penentuan Urutan Prioritas ... 89
IV.2.2 Analisa Data dengan Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 89
IV.2.2.2 Klasifikasi Jenis Perkerasan dan Program Pemeliharaan .. 110
IV.3 Perbandingan Hasil Analisa Data Menurut Metode Bina Marga dan
Metode Pavement Condition Index (PCI) ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan ... 113
V.2 Saran ... 114
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Antara Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku .... 11
Tabel 2.2 Tingkat Kerusakan Lubang (Potholes) ... 39
Tabel 3.1 Nilai Kondisi Jalan ... 48
Tabel 3.2 Kelas Lalu Lintas untuk Penilaian Kondisi Jalan ... 49
Tabel 4.1 Data Luas Kerusakan Jalan ... 76
Tabel 4.2 Data Volume Lalu Lintas ... 81
Tabel 4.3 Penilaian Kondisi Jalan Tiap Segmen ... 87
Tabel 4.4 Nilai Deduct Value Tiap Jenis dan Tingkat Kerusakan ... 105
ABSTRAK
Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat
pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan perkembangan kehidupan bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Seiring dengan berjalannya waktu, lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas, sehingga perlu dilakukan program pemeliharaan dan rehabilitasi. Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan jalan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan.
Studi evaluasi kondisi kerusakan jalan pada studi ini dilakukan melalui survei visual, yaitu dengan mengukur panjang, lebar, dalam serta luasan dari tiap kerusakan yang terjadi. Kategori jenis kerusakan yang ditinjau adalah alligator cracking, bleeding, block cracking, bumps and sags, corrugation, depression, edge cracking, joint reflection, lane/shoulder drop off, longitudinal and transverse cracking, patching and utility cut patching, polished aggregate, potholes, railroad crossings, rutting, shoving, slippage cracking, swell, weathering and ravelling. Untuk analisa pengambilan keputusan digunakan beberapa metode pendekatan yaitu metode Bina Marga dan metode Pavement Condition Index (PCI).
Studi dilakukan terhadap ruas jalan Setia Budi Medan, dengan panjang jalan yang diamati sepanjang 5.4 km yang dibagi dalam 54 segmen jalan dimana tiap segmen panjangnya 100 m. Jenis kerusakan yang terjadi pada ruas jalan Setia Budi Medan terdiri dari ravelling, alligator cracking, patching, longitudinal and transverse cracking, shoving, corrugation, depression, potholes dan rutting.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, telah banyak mengalami
peningkatan yang pesat dalam intensitas aktifitas sosial ekonomi seiring dengan
kemajuan ekonomi yang telah terjadi. Aktifitas masyarakat seiring dengan jumlah
penduduk yang semakin meningkat di suatu wilayah merupakan faktor utama
pembangkit kebutuhan perjalanan sehingga pada akhirnya perlu adanya tingkat
efisiensi, keamanan, serta kenyamanan dalam perjalanan. Peningkatan jumlah
pergerakan yang terjadi juga akan menuntut kualitas maupun kuantitas prasarana
yang harus seimbang.
Perkembangan suatu negara sangat berhubungan dengan perkembangan
jaringan jalan pada negara tersebut. Jaringan jalan sebagai urat nadi pembangunan
nasional merupakan prioritas pertama dan utama dalam perkembangan suatu
negara dan juga merupakan prasarana bagi masyarakat dalam melakukan aktifitas.
Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat
pertumbuhan dan pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan
sosial, ekonomi dan budaya antar daerah. Didalam undang-undang Republik
Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang prasarana jalan, disebutkan bahwa jalan
bangsa. Maka jalan darat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan.
Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada
lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi pada setiap
segmen di sepanjang ruas jalan dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang
lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat
mempengaruhi keamanan, kenyamanan, dan kelancaran dalam berlalu lintas.
Pada umumnya, jalan direncanakan memiliki umur rencana pelayanan
tertentu sesuai kebutuhan dan kondisi lalu lintas yang ada, misalnya 10 sampai
dengan 20 tahun, dengan harapan bahwa jalan masih tetap dapat melayani lalu
lintas dengan tingkat pelayanan pada kondisi yang baik. Untuk mencapai
pelayanan pada kondisi yang baik selama umur rencana tersebut, diperlukan
adanya upaya pemeliharaan jalan.
Pemeliharaan jalan disini adalah kegiatan mempertahankan, memperbaiki,
menambah ataupun mengganti bangunan fisik yang telah ada agar fungsinya tetap
dapat dipertahankan atau ditingkatkan untuk waktu yang lebih lama. Pemeliharaan
rutin adalah penanganan jalan yang hanya diberikan terhadap lapis permukaan
yang sifatnya untuk dapat meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality),
tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.
Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan jalan yang dilakukan pada waktu –
waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan
pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan geometriknya agar
mencapai tingkat pelayanan sesuai dengan yang direncanakan.
Pemeliharaan jalan merupakan suatu kegiatan untuk memperpanjang atau
setidaknya dapat mencapai umur rencana jalan, dimana upaya pemeliharaan jalan
ini mempunyai tujuan utama yaitu :
1. Melindungi permukaan dan struktur jalan serta mengurangi tingkat
kerusakan jalan sehingga dapat memperpanjang umur rencana.
2. Memperkecil biaya pengoperasian kendaraan pada jalan dengan membuat
permukaan jalan halus dan nyaman.
3. Menjaga agar jalan tetap dalam keadaan kokoh dan aman, sehingga
memberikan keamanan bagi pengemudi yang menggunakan jalan, dan
dapat memberikan kondisi pelayanan terhadap transportasi yang dapat
diandalkan.
Pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan ini juga memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kondisi kerusakan
perkerasan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat
untuk dilaksanakan.
I.2. Perumusan Masalah
Prasarana jalan yang terbebani oleh volume lalu lintas yang tinggi dan
berulang-ulang akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas jalan. Sebagai
indikatornya dapat diketahui dari kondisi permukaan jalan, baik kondisi struktural
Oleh sebab itu maka perlu dilakukan penelitian awal terhadap kondisi
permukaan jalan yaitu dengan melakukan survai secara visual yang berarti dengan
cara melihat dan menganalisa kerusakan tersebut berdasarkan jenis dan tingkat
kerusakannya untuk digunakan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan
pemeliharaan dan perbaikan.
I.3. Pembatasan Masalah
Agar penulisan tugas akhir ini dapat terarah dan sesuai dengan tujuan,
maka diperlukan pembatasan masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Penulis hanya membahas kondisi kerusakan pada perkerasan jalan lentur
(flexible pavement) sebagai dasar penentuan jenis penanganan.
2. Kerusakan-kerusakan yang ditinjau adalah keretakan jalan (cracking),
kerusakan tepi (edge break), alur (rutting), keriting (corrugations),
lubang-lubang (patholes), jembul (shoving), penurunan setempat
(deformations), kegemukan aspal (bleeding), pelepasan butiran (ravelling),
tambalan (patching), pengausan (polished aggregate), pembengkakan
jalan (swell), tonjolan (bumps and sags), penurunan pada bahu jalan
(lane/shoulder drop off), dan perlintasan kereta api pada jalan raya
(railroad crossing).
3. Data – data yang digunakan didapat melalui survei visual yaitu berupa data
panjang, lebar, luasan, serta kedalaman tiap jenis kerusakan yang terjadi.
Dan juga data volume lalu lintas harian.
4. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Bina Marga dan metode
I.4. Tujuan Penulisan
Sehubungan dengan permasalahan kerusakan pada lapisan perkerasan
jalan yang mempengaruhi tingkat pelayanan jalan, maka tugas akhir ini bertujuan
untuk :
1. Menilai kondisi perkerasan jalan guna mengetahui jenis dan tingkat
kerusakan yang terjadi serta menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai.
2. Membandingkan hasil analisa metode Bina Marga dengan metode
Pavement Condition Index (PCI) dalam mengevaluasi kerusakan jalan.
I.5. Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah :
a. Studi literatur yaitu dengan mengumpulkan data-data dan keterangan dari
buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan pada tugas akhir ini
serta masukan-masukan dari dosen pembimbing. Data – data yang
digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan jalan yaitu berupa data
panjang, lebar, luasan, serta kedalaman tiap jenis kerusakan yang terjadi.
Dan juga data volume lalu lintas harian.
b. Untuk analisis data dalam menentukan tingkat kerusakan jalan sebagai
dasar untuk menentukan upaya perbaikan jalan dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode pendekatan antara lain dengan metode
a. Metode Bina Marga
Penilaian kondisi jalan berdasarkan metode bina marga yaitu dengan
melakukan survey di lapangan dan hasil survey dibagi dalam beberapa segmen.
Kerusakan yang dilihat antara lain adalah keretakan (cracking), alur (rutting),
lubang (potholes) atau tambalan (patching), dan amblas (depression). Dalam
menentukan nilai tiap kerusakan, dapat dilakukan dengan mengukur luas, lebar
atau dalam yang dilihat di lapangan dan masing – masing keadaan tersebut
menunjukkan skala kondisi jalan, mulai dari keadaan rusak berat sampai ringan.
Selanjutnya, kita dapat menentukan tingkat urutan prioritas jalan tersebut
yang digunakan untuk mengetahui skala prioritas suatu kondisi perkerasan suatu
jalan. Sehingga dapat diambil keputusan dalam menentukan jenis pemeliharaan
yang sesuai untuk kondisi suatu ruas jalan.
b. Metode Pavement Condition Index (PCI)
Pavement Condition Index (PCI) adalah sistem penilaian kondisi
perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat dan luas kerusakan yang terjadi, dan
dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai PCI ini memiliki
rentang 0 – 100 dengan kriteria sempurna (excellent), sangat baik (very good),
baik (good), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor), dan gagal
(failed). Adapun penilaian kondisi kerusakan dengan menggunakan metode
Pavement Condition Index yaitu dengan meneliti:
1. Density (Kadar kerusakan)
Density atau kadar kerusakan adalah persentasi luasan dari suatu
dalam meter persegi atau meter panjang. Nilai density suatu
jenis kerusakan juga dibedakan berdasarkan tingkat kerusakan.
2. Deduct Value (Nilai pengurangan)
Deduct value adalah nilai pengurangan untuk tiap jenis
kerusakan yang diperoleh dari kurva hubungan antara density
dan deduct value. Deduct value juga dibedakan atas tingkat jenis
kerusakan.
3. Total Deduct Value (TDV)
Adalah nilai total deduct value untuk tiap jenis kerusakan dan
tingkat kerusakan pada suatu unit penelitian.
4. Corrected Deduct Value (CDV)
Corrected deduct value diperoleh dari kurva hubungan antara
nilai TDV dengan nilai CDV dengan pemilihan lengkung kurva
sesuai dengan jumlah nilai individual deduct value yang
mempunyai nilai lebih besar dari 5. Jika nilai CDV diketahui,
maka nilai PCI untuk tiap unit dapat diketahui dengan rumus:
PCI(s) = 100 – CDV
dengan :
PCI(s) = Pavement Condition Index untuk tiap unit
CDV = Corrected Deduct Value untuk tiap unit
5. Klasifikasi Kualitas Perkerasan
Dari nilai PCI masing-masing unit penelitian daapat diketahui
kualitas lapis perkerasan untuk unit segmen berdasarkan kondisi
baik (good), sedang (fair), jelek (poor), sangat jelek (very poor),
dan gagal (failed).
c. Analisa hasil keputusan dari kedua metode yang digunakan.
I.6. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan penulisan tugas akhir ini dilakukan beberapa
tahapan yang dianggap perlu. Metode dan prosedur pelaksanaannya secara garis
besar adalah sebagai berikut.
BAB.I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian ini,
ruang lingkup pembahasan dan sistematika penulisan.
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini meliputi pengambilan teori dari berbagai sumber bacaan yang
mendukung analisa permasalahan yang berkaitan dengan Tugas Akhir ini.
BAB.III METODOLOGI PENULISAN
Bab ini membahas tentang pendiskripsian dan langkah-langkah kerja serta
tata cara yang akan dilakukan dalam mengevaluasi tingkat kerusakan serta upaya
perbaikan dan pemeliharaan berdasarkan metode Bina Marga dan metode
Pavement Condition Index (PCI).
BAB.IV PENGUMPULAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini membahas tentang pengumpulan data-data yang diperlukan,
metode Pavement Condition Index (PCI) untuk mendapatkan beberapa
kesimpulan.
BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan logis berdasarkan analisa data, temuan dan
bukti yang disajikan sebelumnya yang menjadi dasar untuk menyusun suatu saran
sebagai suatu usulan
BAB II
PERKERASAN JALAN RAYA
2.1. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan
Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain
adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja.
Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat.
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan atas :
a. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan
perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah
dasar.
b. Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat
beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan
atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul
oleh pelat beton.
c. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan
kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa
perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas
perkerasan lentur.
Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan lentur diberikan pada tabel 2.1 di
Tabel 2.1. Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku
Perkerasan lentur Perkerasan kaku
1 Bahan pengikat Aspal Semen
2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan pada jalur roda)
Timbul retak-retak pada permukaan
3 Penurunan tanah dasar
Jalan bergelombang (mengikuti tanah dasar)
Bersifat sebagai balok diatas perletakan 4 Perubahan
temperatur
Modulus kekakuan berubah.
Timbul tegangan dalam yang kecil
Modulus kekakuan tidak berubah.
Timbul tegangan dalam yang besar
Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung
Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya
akan dibahas tentang konstruksi perkerasan lentur saja.
2.2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan
Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu
sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang
berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu
temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus
partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun,
aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).
Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh
sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini
dapat diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan
langkah-langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.
Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas
Lapisan Permukaan (surface course)
Lapisan Pondasi Atas (base course)
Lapisan Pondasi Bawah (sub base course)
Lapisan Tanah Dasar (subgrade)
menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya,
sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang
diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :
Gambar 2.1. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur
a. Lapisan permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral
agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan
biasanya terletak di atas lapis pondasi.
Fungsi lapis permukaan antara lain :
• Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.
• Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan
akibat cuaca.
• Sebagai lapisan aus (wearing course)
Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis
pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan
agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung
mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar
dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
b. Lapisan pondasi atas (Base Course)
Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak
langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi
bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah
dasar.
Fungsi lapis pondasi antara lain :
• Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.
• Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat
menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan
sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan
sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan
alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis
pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen,
aspal, pozzolan, atau kapur.
c. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)
Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang
terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari
material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak,
atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :
• Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar
• Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar
lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya
konstruksi).
• Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
• Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.
Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya
dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan
konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup
tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR >
20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai
bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau
semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan
yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.
d. Lapisan tanah dasar (Subgrade)
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus
resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan
Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan
hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR
(Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus
(fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.
MR (psi) = 1.500 x CBR
• Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu
sebagai akibat beban lalu-lintas.
• Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar
air.
• Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada
daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau
akibat pelaksanaan konstruksi.
• Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas
untuk jenis tanah tertentu.
• Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.
2.3. Sifat Perkerasan Lentur Jalan
Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi
sebagai:
a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat
dan antara aspal itu sendiri.
b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang
ada dari agregat itu sendiri.
Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh)
terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat
a. Daya tahan (durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya
akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari
campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor
pelaksanaan dan sebagainya.
b. Adhesi dan Kohesi
Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga
dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah
kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah
terjadi pengikatan.
c. Kepekaan terhadap temperatur
Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau
lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika
temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan
temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal
berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis
yang sama.
d. Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat
sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat
yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan,
terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah
tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai.
besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat.
Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.
2.4. Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan
Kerusakan pada konstruksi perkerasan lentur dapat disebabkan oleh:
a. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.
b. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik
dan naiknya air akibat kapilaritas.
c. Material konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat
material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan
bahan yang tidak baik.
d. Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan
umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan
jalan.
e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh
system pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat
tanah dasarnya yang memang kurang bagus.
f. Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu
faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan.
Sebagai contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya
sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air
agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan
daya dukung lapisan dibawahnya.
2.5. Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur
Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum
mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi
kerusakan fungsional dan struktural.
Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai
dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.
Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat
kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan
tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan
pengaruh kondisi lingkungan sekitar.
2.5.1. Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga
Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:
1. Retak (cracking)
2. Distorsi (distortion)
3. Cacat permukaan (disintegration)
4. Pengausan ( polished aggegate)
5. Kegemukan (bleeding / flushing)
a. Retak (Cracking) dan penanganannya
Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas :
1. Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama
dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah
dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak
halus ini dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan
kerusakan yang lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti
lubang dan amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang,
dimana retak memanjang terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan,
biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau
pelebaran, sedangkan untuk retak melintang terjadi pada arah memotong
sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan.
Metode pemeliharaan dan penanganan :
• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang,
dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat).
• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan
metode perbaikan P3 (penutupan retak).
• Untuk lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak).
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan
Gambar 2.2. Retak Halus
2. Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan
3 mm. Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang
menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang
kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di
bawah lapisan permukaan kurang stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam
keadaan jenuh air (air tanah naik). Umumnya daerah dimana terjadi retak
kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas,
mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang melampaui
beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Retak kulit buaya
dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan menimbulkan
lubang-lubang akibat terlepasnya butir-butir.
Untuk retak kulit buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal
setempat) dan P5 (penambalan lubang/patching) sesuai dengan tingkat
kerusakan retak yang terjadi. Urutan pelaksanaan serta bahan dan peralatan
dapat dilihat pada lampiran A.
Perbaikan juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya,
sehingga nantinya air tidak tergenang di badan jalan yang dapat
Gambar 2.3. Retak Kulit Buaya
3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang
yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan oleh
tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadinya
penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar
tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya
retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin
merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah
dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan,
bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami
penurunan, elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak
ini lama kelamaan akan bertambah besar disertai dengan terjadinya
Gambar 2.4. Retak Pinggir
4. Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack), retak memanjang,
umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat
disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk daripada di
bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material
bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk / kendaraan berat dibahu
jalan. Perbaikan dapat dilakukan seperti perbaikan retak refleksi.
Gambar 2.5. Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan
5. Retak sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi
pada sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan
sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan
campuran aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak
diperbaiki, retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya
6. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang
yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan
pelebaran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan daya dukung di bawah bagian
pelebaran dan bagian jalan lama, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara
sambungan tidak baik. Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang
timbul dengan campuran aspal cair dan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat
meresap masuk ke dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-butir
dapat lepas dan retak dapat bertambah besar.
Gambar 2.6. Retak Sambungan Pelebaran Jalan
7. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, diagonal atau
membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang
menggambarkan pola retakan dibawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika
retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan
overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika terjadi gerakan
vertical / horizontal dibawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar
air pada jenis tanah yang ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang dan
aspal cair dan pasir. Untuk retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan
membongkar dan melapis kembali dengan bahan yang sesuai.
Gambar 2.7. Retak Refleksi
8. Retak susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk
kotak-kotak besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan
volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan
dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi
dengan burtu.
Gambar 2.8. Retak Susut
9. Retak slip (slippage cracks), retak yang bentuknya melengkung seperti bulan
sabit. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antar lapis
oleh adanya debu, minyak air, atau benda non adhesive lainnya, atau akibat
tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat antar kedua lapisan. Retak
selip pun dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan
permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan. Perbaikan
dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dengan dan
menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.
Gambar 2.9. Retak Slip
b. Distorsi (distortion)
Distorsi / perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan
akibat beban lalu lintas. Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan
terlebih dahulu jenis dan penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat
ditentukan jenis penanganan yang tepat.
Distorsi dapat dibedakan atas :
1. Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat
merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan
retak-retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat,
dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas
pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula
menimbulkan deformasi plastis.
Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6
(perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup
parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta
bahan dan peralatannya dapat dilihat pada lampiran A.
Gambar 2.10. Alur
2. Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya
lapisan permukaan yang berkeriting ini pengemudi akan merasakan
ketidaknyamanan dalam mengemudi. Penyebab kerusakan ini adalah
rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar
aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk butiran
dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi
perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair).
Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan melakukan metode
perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5 (penambalan lubang) jika
keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang pada permukaan jalan.
Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :
a. Jika lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi
agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali,
dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis
permukaan baru.
b. Jika lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm,
maka lapis tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi
lapis permukaan yang baru.
Gambar 2.11. Keriting
3. Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat
kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan
terjadi dengan atau tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan
perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan
perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.
Gambar 2.12. Sungkur
4. Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak.
Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang
tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya
menimbulkan lobang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang
melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau
penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.
Perbaikan dapat dilakukan dengan :
a. Untuk amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan).
b. Untuk amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan
lubang).
c. Periksa dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir.
d. Periksa dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan
Gambar 2.13. Amblas
5. Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi
akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif.
Perbaikan dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya
kembali.
c. Cacat permukaan (disintegration)
Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :
1. Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai
besar. Lubang-lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis
permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.
Lubang dapat terjadi karena :
a. Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :
- Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
- Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat
pengaruh cuaca.
c. Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul pada
lapis permukaan.
d. Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap masuk dan
mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.
Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:
• Untuk lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6
(perataan).
• Untuk lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan
lubang).
Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat
dilihat pada lampiran A.
2. Pelepasan butir (raveling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek
serta disebabkan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan
memberikan lapisan tambahan diatas lapisan yang mengalami pelepasan butir
setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.
Gambar 2.15. Pelepasan Butiran
3. Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh
kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan lapis dibawahnya, atau terlalu
tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digarus, diratakan
dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan buras.
d. Pengausan (polished aggregate)
Permukaan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan.
Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus
terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan
licin, tidak berbentuk cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan
Gambar 2.16. Pengausan
e. Kegemukan (bleeding / flushing)
Permukaan jalan menjadi licin dan tampak lebih hitam. Pada temperatur
tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Berbahaya bagi kendaraan
karena bila dibiarkan, akan menimbulkan lipatan-lipatan (keriting) dan lubang
pada permukaan jalan. Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar
aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada
pekerjaan prime coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan penanganan P1
(Penebaran Pasir) yaitu dengan menaburkan agregat panas dan kemudian
dipadatkan, atau lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup.
f. Penurunan pada bekas penanaman utilitas
Penurunan yang terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini
terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki dengan
dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai.
Gambar 2.18. Penurunan pada bekas penanaman utilitas
2.5.2. Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Pavement Condition Index (PCI)
Menurut Metode Pavement Condition Index (PCI), jenis dan tingkat
kerusakan perkerasan lentur jalan raya dibedakan menjadi :
a. Alligator Cracking
Retak yang saling merangkai membentuk kotak – kotak kecil yang
menyerupai kulit buaya. Kerusakan ini disebabkan karena konstruksi perkerasan
yang tidak kuat dalam mendukung beban lalu lintas yang berulang ulang. Pada
mulanya terjadi retak – retak halus, akibat beban lalu lintas yang berulang
menyebabkan retak – retak halus terhubung membentuk serangkaian kotak –
buaya biasa terjadi hanya di daerah yang dilalui beban lalu lintas yang berulang
dan biasanya disertai alur, sehingga tidak akan terjadi di seluruh daerah kecuali
seluruh area jalan dikenakan arus lalu lintas. Cara mengukur kerusakan yang
terjadi adalah dengan menghitung luasan retak.
Tingkat kerusakan alligator cracking (retak kulit buaya) dibagi menjadi
kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling
terhubung tanpa ada retakan yang pecah, kerusakan sedang (medium) yang
ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil
dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang
mulai pecah, dan kerusakan berat (high) yang ditandai dengan serangkaian retak
menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika
dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.
b. Bleeding
Kegemukan (bleeding) biasanya ditandai dengan permukaan jalan yang
menjadi lebih hitam dan licin. Permukaan jalan menjadi lebih lunak dan lengket.
Ini disebabkan pemakaian aspal yang berlebih. Cara mengukur kerusakan adalah
dengan menghitung luasan kegemukan yang terjadi.
Tingkat kerusakan dibagi menjadi kerusakan ringan (low) yang ditandai dengan
permukaan jalan yang hitam, aspal tidak menempel pada roda kendaraan,
kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan permukaan aspal hitam, aspal
menempel pada kendaraan selama beberapa minggu dalam setahun, kerusakan
berat (high) yang di tandai dengan permukaan yang berwarna hitam dan terdapat
c. Block Cracking
Hampir sama dengan retak kulit buaya, merupakan rangkaian retak
berbentuk persegi dengan sudut tajam, tetapi bentuknya saja yang lebih besar dari
retak kulit buaya. Block craking ini tidak hanya terjadi di daerah yang mengalami
arus lalu lintas berulang, tetapi juga dapat terjadi di daerah yang jarang dilalui
arus lalu lintas.
d. Bums and Sags
Merupakan tonjolan kecil yang terjadi pada permukaan perkerasan, berbeda
dengan jembul (shoving) yang di sebabkan oleh ketidak stabilan aspal, bumps and
sags ini dapat disebabkan oleh penumpukan material pada suatu celah jalan yang
diakibatkan oleh beban lalu lintas.
Gambar 2.19. Bumps and Sags
e. Corrugation
Keriting (corrugation) Kerusakan lapian perkerasan tampak seperti
bergelombang dimana jarak antara tiap gelombang sangat dekat. Tingkat
kerusakan dimungkinkan oleh terjadinya pergeseran bahan perkerasan, lapis
perekat antara lapis permukaan dan lapis pondasi tidak memadai, pengaruh
kendaraan yang sering berhenti dan berjalan secara tiba – tiba. Tingkat kerusakan
keriting dapat diukur berdasarkan kedalaman keriting yang terjadi. Untuk tingkat
kerusakan ringan (low) kedalaman < ½ inchi, untuk (medium) kedalaman ½ – 1
inchi, dan untuk tingkat kerusakan parah (high) kedalaman > 1 inchi.
f. Depression
Amblas (depression) merupakan kerusakan yang terjadi dimana suatu
permukaan lapisan perkerasan lebih rendah daripada lapisan permukaan di
sekitarnya, sehingga kondisi jalan tampak seperti membentuk kubangan atau
lengkungan. Kerusakan ini terjadi karena beban lalu lintas yang berlebih tidak
sesuai dengan perencanaan. Tingkat kerusakan amblas dapat diukur berdasarkan
kedalaman amblas yang terjadi. Untuk tingkat kerusakan ringan (low) kedalaman
½ - 1 inchi, untuk (medium) kedalaman 1 – 2 inchi, dan untuk tingkat kerusakan
parah (high) kedalaman > 2 inchi.
g. Edge Cracking
Kerusakan yang terjadi pada tepi lapis perkerasan yang tampak berupa
retakan, kerusakan jenis ini biasanya terjadi akibat kepadatan lapis permukaan di
tepi perkerasan tidak memadai, juga disebabkan seringnya air yang dari bahu
jalan.
h. Joint Reflection Cracking
Retak refleksi merupakan jenis kerusakan jalan yang berbentuk seperti retak
memanjang dan melintang membentuk kotak. Retak refleksi ini merupakan
i. Lane / Shoulder Drop Off
Ditandai dengan adanya perbedaan elevasi antara badan jalan dengan bahu
jalan. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh erosi tanah pada bahu jalan, penurunan
tanah dasar pada bahu, dan juga perencanaan jalan tanpa menyesuaikan tingkat
bahu jalan. Kerusakan ini sangat berbahaya bagi pengendara karena perbedaan
elevasi yang besar antara badan jalan dan bahu jalan dapat menyebabkan
kecelakaan lalu lintas.
Gambar 2.20. Lane/Shoulder Drop Off
j. Longitudinal and Transverse Cracking
Retak memanjang (longitudinal cracking) merupakan retak yang terjadi
searah dengan sumbu jalan, retak melintang (transverse cracking) merupakan
retak yang terjadi tegak lurus sumbu jalan. Retak ini disebabkan oleh kesalahan
pelaksanaan, terutama pada sambungan perkerasan atau pelebaran, dan juga dapat
disebabkan penyusutan permukaan aspal akibat suhu rendah atau pengerasan
k. Patching and Utility Cut Patching
Tambalan (patching) adalah wilayah perkerasan yang telah diganti menjadi
baru untuk memperbaiki perkerasan yang ada. Tambalan dianggap merupakan
cacat jalan walaupun sudah di kerjakan dengan sangat baik. Idetifikasi terhadap
tambalan ini biasanya diukur dengan menghitung luasan tambalan. Tambalan
dibagi berdasarkan tingkat kerusakannya yaitu tingkat kerusakan rendah (low),
sedang (medium), dan berat (high), sesuai dengan bentuk tambalannya.
Gambar 2.21. Patching
l. Polished Aggregate
Kerusakan ini ditandai dengan aggregat pada permukaan jalan menjadi
halus dan licin akibat beban lalu lintas yang berulang ulang. Ini menyebabkan
daya saling mengikat antara ban kendaraan dengan aspal menjadi berkurang
sehingga berbahaya pada saat mengemudi kencang karena jalan memiliki tingkat
kekasaran (skid resistance) yang rendah. Cara mengukur adalah dengan
menghitung luasan yang mengalami polished aggregate, tetapi jika disertai
m. Potholes
Lubang (potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90
cm). berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam.
pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada
badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah
akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling
mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, lubang dapat di bagi menjadi kerusakan
rendah (low), sedang (medium), dan buruk (high). Ketentuannya dapat di jelaskan
pada tabel 2.2 dibawah ini.
Tabel 2.2. Tingkat Kerusakan Lubang (Potholes)
Kedalaman (inchi) Diameter (inchi)
4 - 8 > 8 – 18 > 18 - 30
0,5 - 1 L L M
> 1 - 2 L M H
> 2 M M H
Sumber : Departement Of Defense, (2004), Pavement Maintenance Management, UFC 3-270-08, Unified Facilities Criteria (UFC), USA
n. Railroad Crossing
Kerusakan ini merupakan lintasan jalur kereta api yang terdapat dalam jalan
raya. Terdapat benjolan dan lengkugan pada daerah lintasan ini sehingga
mengganggu kenyamanan pengendara. Cara mengukur adalah dengan menghitung
luasan jalur kereta yang melintasi jalan dan juga diukur sesuai dengan tingkat
Gambar 2.22. Railroad Crossing
o. Rutting
Alur (rutting) adalah penurunan setempat yang terjadi pada jalur roda
kendaraan, alur pada permukaan jalan ada yang disertai retak dan tanpa disertai
retak. Alur tidak terjadi di seluruh permukaan badan jalan, hanya pada daerah
yang dilalui roda kendaraan. Dapat disebabkan adanya muatan yang berlebih
sehingga menyebabkan deformasi yang permanen pada permukaan jalan. Jika alur
sering tergenang air maka dapat meningkat menjadi lubang.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, alur di bagi menjadi 3 yaitu, tingkat kerusakan
rendah (low) dengan kedalaman peurunan ¼ - ½ inchi, tingkat kerusakan sedang
(medium) dengan kedalaman penurunan > ½ - 1 inchi, dan tingkat kerusakan
buruk (high) dengan kedalaman penurunan > 1 inchi.
p. Shoving
Jembul (shoving) umumya terjadi di sekitar alur roda kendaraan di tepi
perkerasan dan sifatnya permanen. Kerusakan ini disebabkan oleh arus lalu lintas
yang melebihi beban standar. Cara mengukur jembul adalah dengan mengukur
q. Slippage Cracking
Retak selip (slippage cracking) merupakan retak menyerupai bulan sabit
atau setengah retak berbentuk bulan yang memiliki dua ujung menunjuk jauh
kearah lalu lintas. Cara mengukur retak selip adalah dengan mengukur luasan
permukaan sesuai dengan tingkat kerusakan yang terjadi mulai dari rendah (low),
sedang (medium), dan buruk (high).
r. Swell
Pembengkakan jalan (swell) merupakan kerusakan yang di tandai dengan
tonjolan di sekitar permukaan jalan dan dapat mencapai panjang sekitar 3 m pada
permukaan jalan, dapat juga disertai retak permukaan. Ini disebabkan kepadatan
tanah dasar yang kurang. Memiliki tingkatan kerusakan mulai dari rendah (low),
sedang (medium), dan buruk (high).
s. Weathering and Ravelling
Kerusakan ini ditandai dengan permukaan perkerasan yang kasar dan rusak
akibat hilangnya bahan pengikat aspal atau tar sehingga menyebabkan pelepasan
butiran aggregat. Pelepasan butiran ini menunjukkan kualitas aspal serta
campuran yang rendah atau ada kesalahan dalam pencampuran. Pelepasan butiran
ini juga dapat di sebabkan adanya lalu lintas yang berlebih.
Berdasarkan tingkat kerusakannya dapat dibedakan menjadi kerusakan rendah
(low) ditandai dengan dimulainya pelepasan butiran pada permukaan jalan,
kerusakan sedang (medium) yang ditandai dengan pelepasan butiran yang
menyebabkan permukaan jalan menjadi tidak rata dan kasar, kerusakan berat
menjadi tidak rata, kasar, dan tidak jarang disertai dengan adanya lubang
disekitar kerusakan.
2.6. Jenis Pemeliharaan Jalan
Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan,
rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan
ditinjau dari waktu pelaksanaannya adalah :
1. Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis
permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding
Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan
sepanjang tahun.
2. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan
pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya
meningkatkan kekuatan struktural.
3. Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan
jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna
BAB III
METODOLOGI
3.1. Tujuan Metodologi
Tujuan metodologi ini adalah menjelaskan tata cara dalam mendapatkan
data-data pokok baik data primer maupun data lain yang diperlukan, yang
selanjutnya akan digunakan dalam pengolahan dan juga analisa data dalam rangka
mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu memberi
penilaian terhadap kondisi jalan berdasarkan jenis dan tingkat kerusakan yang
terjadi pada perkerasan lentur jalan sebagai dasar penentuan jenis perbaikan jalan
yang sesuai.
3.2. Bagan Alir (Flowcart) Studi
Berdasarkan studi pustaka yang sudah dibahas sebelumnya, maka untuk
memudahkan dalam pembahasan dan analisa dibuat suatu diagram alir atau
flowchart , seperti pada gambar 3.1.
Diagram alir ini merupakan tahapan studi yang akan dilakukan dalam
rangka menyelesaikan studi ini. Dengan demikian, studi ini dapat diselesaikan
dengan sistematis dan mendapatkan hasil yang valid serta sesuai dengan tujuan
{
Pengumpulan Data
Data Primer Metode Bina Marga
•Data panjang, lebar , luasan, kedalaman pada tiap jenis kerusakan jalan, yaitu :
1. Retak (Cracks) 2. Alur (Ruts)
3. Tambalan (Patching) 4. Lubang (Potholes) 5. Kekasaran Permukaan 6. Amblas (Depressions)
•Data volume lalu lintas harian.
Analisa perbandingan hasil keputusan kedua metode
Kesimpulan dan saran
Data Primer Metode PCI
•Data panjang, lebar , luasan, kedalaman pada tiap jenis kerusakan jalan, yaitu :
1. Retak (Cracks) 2. Alur (Ruts)
3. Tambalan (Patching) 4. Lubang (Potholes) 5. Amblas (Depressions) 6. Keriting (Corrugation) 7. Kegemukan Aspal (Bleeding) 8. Jembul (Shoving)
9. Pelepasan Butiran (Ravelling) 10. Pengausan (Polished Aggregate) 11. Swell
12. Bums and Sags 13. Lane/Shoulder Drop Off 14. Railroad Crossing
Analisa Data Metode Bina Marga
•Dari data yang ada, maka dapat ditentukan :
Nilai kondisi jalan Nilai kelas LHR
•Penentuan urutan prioritas
Urutan prioritas = 17 – (Kelas LHR + nilai kondisi jalan)
•Penentuan jenis pemeliharaan terhadap kerusakan berdasarkan urutan prioritas
Analisa Data Metode PCI
•Dari data yang ada, maka didapat : Kadar kerusakan (density)
Nilai pengurangan (deduct value)
Total Deduct Value (TDV) Corrected Deduct Value (CDV) •Penilaian Kondisi Perkerasan
Nilai PCI = 100 – CDV
•Klasifikasi Kualitas Perkerasan dan penentuan jenis pemeliharaan jalan. Tujuan Penelitian :
•Menilai kondisi perkerasan jalan guna mengetahui jenis dan tingkat kerusakan yang terjadi serta menentukan jenis pemeliharaan yang sesuai.
Gambar 3.1. Bagan Alir ( Flowchart ) Studi
3.3. Metode Pendekatan Penilaian Kondisi Perkerasan Lentur
3.3.1. Metode Bina Marga
Penilaian kondisi jalan berdasarkan metode bina marga yaitu dengan
melakukan survey di lapangan dan hasil survey dibagi dalam beberapa segmen.
Kerusakan yang dilihat antara lain adalah keretakan (cracking), alur (rutting),
lubang (potholes) atau tambalan (patching), kekasaran permukaan dan amblas
(depression). Dalam menentukan nilai tiap kerusakan, diperlukan data luasan,
lebar atau dalam yang dilihat di lapangan dan juga volume lalu lintas harian
selama 24 jam.
Selanjutnya, kita dapat menentukan tingkat urutan prioritas jalan tersebut
yang digunakan untuk mengetahui skala prioritas suatu kondisi perkerasan suatu
jalan. Sehingga dapat diambil keputusan dalam menentukan jenis pemeliharaan
yang sesuai untuk kondisi suatu ruas jalan.
3.3.1.1. Penilaian Kondisi Perkerasan
Dalam melaksanakan penilaian kondisi perkerasan, maka pada
tahap awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi jenis kerusakan yang
akan ditinjau dan juga besar atau luasan kerusakan yang terjadi.
Jenis kerusakan yang ditinjau berdasarkan metode bina marga adalah :
1. Keretakan (Cracking), jenis keretakan yang di tinjau adalah retak kulit
buaya, acak, melintang, memanjang (dengan skala kerusakan 5, 4, 3, 1),
(dengan skala kerusakan 3, 2, 1). Masing-masing keadaan skala
menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel
3.1)
2. Alur (Rutting), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan mulai dari
skala > 20 mm, 11 – 20 mm, 6 – 10 mm, 0 – 5 mm (dengan skala
kerusakan 7, 5, 3, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan
kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)
3. Lubang (Potholes) dan Tambalan (Patching), diukur berdasarkan luasan
kerusakan yang terjadi yang dimulai dari skala > 30 %, 20 – 30 %, 10 –
20 %, < 10 % (dengan skala kerusakan 3, 2, 1, 0). Masing-masing
keadaan skala menunjukkan kondisi mulai dari rusak berat sampai
ringan. (lihat tabel 3.1)
4. Kekasaran permukaan, jenis kerusakan yang ditinjau adalah
pengelupasan (Desintegration), pelepasan butir (raveling), kekurusan
(hungry), kegemukan (fatty/bleeding), dan permukaan rapat (close
texture). Dengan skala kerusakan 4, 3, 2, 1, 0. (lihat tabel 3.1)
5. Amblas (Depression), diukur berdasarkan kedalaman kerusakan yang
terjadi dimulai dari skala > 5/100 m, 2 – 5 /100 m, 0 – 2 /100 m (dengan
skala kerusakan 4, 2, 1). Masing-masing keadaan skala menunjukkan
kondisi mulai dari rusak berat sampai ringan. (lihat tabel 3.1)
Dari hasil pengamatan tersebut, maka di dapat nilai dari tiap jenis
kerusakan yang diidentifikasi, sehingga untuk menentukan penilaian
kondisi jalan didapat dengan cara menjumlahkan seluruh nilai kerusakan
kerusakan kumulatif maka akan semakin besar pula nilai kondisi jalan,
yang berarti bahwa jalan tersebut memiliki kondisi yang buruk sehingga
membutuhkan pemeliharaan yang lebih baik.
3.3.1.2. Urutan Prioritas
Setelah ditentukan nilai kondisi jalan, maka perlu diketahui urutan
prioritas penanganan yang perlu untuk dilaksanakan. Dalam menentukan
urutan prioritas diperlukan data kelas lalu lintas harian untuk pekerjaan
pemeliharaan yang skala nya dapat dilihat pada tabel 3.2. Penilaian urutan
prioritas penanganan terhadap kondisi jalan dapat dihitung dengan rumus :
Urutan prioritas = 17 – ( Kelas LHR + Nilai Kondisi Jalan )
Dimana :
Kelas LHR = Kelas lalu lintas (tabel 3.2)
Nilai Kondisi Jalan = Nilai yang diberikan terhadap kondisi jalan
(tabel 3.1)
Dari hasil perhitungan urutan prioritas diatas, maka dapat
ditentukan skala pengambilan keputusan terhadap program pemeliharaan
yaitu sebagai berikut :
1. Urutan prioritas A (dengan nilai > 7)
Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam
program pemeliharaan rutin.
2. Urutan prioritas B (dengan nilai 4 – 6)
Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam
3. Urutan prioritas C (dengan nilai 0 – 3)
Jalan yang berada pada urutan prioritas ini dimasukkan dalam
program peningkatan kondisi jalan.
Tabel 3.1. Nilai Kondisi Jalan
PENILAIAN KONDISI TAMBALAN DAN LUBANG
KEKASARAN PERMUKAAN Tipe
E. Desintegration
D. Pelepasan Butir (Ravelling) C. Kekurusan (Hungry)
B. Kegemukan (Fatty / Bleeding) A. Permukaan Rapat (Close Texture)
Angka
Sumber : Tata Cara Penyusunan Program Pemeliharaan Jalan Kota
Tabel 3.2. Kelas Lalu Lintas Untuk Penilaian Kondisi Jalan
Kelas Lalu Lintas LHR