• Tidak ada hasil yang ditemukan

Calon Independen dan Pilkada (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Calon Independen dan Pilkada (Studi Kasus Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Calon Independen dan Pilkada

(Studi Kasus Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun

2008)

DISUSUN OLEH :

SYILVI ADE KARTIKA

060906018

Dosen Pembimbing : Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si

Dosen Pembaca : Indra Kesuma Nasution, S.IP, MSi

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Calon Independen dan Pilkada

(Studi Kasus Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setia Budi M.Sc dalam Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon – calon yang didukungnya.Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6/2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia.

Undang - Undang No. 32 tahun 2004 ditetapkan pada Oktober 2004 memberikan perubahan yang sangat sigifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan keinginannya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyat. Artinya semua kebijakan yang akan diambil kepala daerah benar - benar berdasarkan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

(3)

yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (23/07/07). Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) tanpa partai politik. Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal.

Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya.

Sistem baru calon independen ini akan membuka ruang demokrasi arus lokal yang melahirkan persaingan sehat sebagai upaya mencari figur pemimpin berkualitas, guna menjawab tantangan daerah di tengah arus global. Persaingan melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas.

Perbedaan yang kontras antara calon independen dengan calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur) dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol.

Kata Kunci : Calon Independen, Partai Politik, dan Pilkada.

Medan, 01 Oktober 2010

Penulis

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Selesainya penulisan skripsi ini yang berjudul “Calon Independen dan

Pilkada (Studi Kasus Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setia Budi

M.Sc dalam Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)”, selain usaha

penulis sendiri juga memperoleh bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga penulis banyak mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung antara lain kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Baddaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Heri Kusmanto, M.A selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik.

4. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si sebagai Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(5)

6. Bapak Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setia Budi M.Sc sebagai calon independen dalam pemilihan kepala daerah langsung di Kabupaten Deli Serdang dan sebagai narasumber bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Drs. Mohd. Yusri, M.Si selaku Ketua KPU Kabupaten Deli Serdang yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

8. Seluruh Staf Pegawai KPU Kabupaten Deli Serdang yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Para Bapak/Ibu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

10. Teristimewa untuk Papa Ahmad Effendi Batubara dan Mama Almarhumah Ernawati, beserta Ibu Roosnelly, Ibu Awen, Om Tumpal, Kakek dan Nenek yang selalu mendo’akan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Buat adik - adikku Efni Sri Andriyani dan Mohd. Irfan Batubara semangat terus untuk belajar biar cepat selesai kuliahnya biar kita bisa bahagiakan orang tua kita ya dek.

(6)

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi pihak pembaca dan penulis khususnya. Mudah - mudahan Allah SWT tetap melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua serta memberikan petunjuk dalam setiap gerak dan langkah dan kepada-Nya kita berserah diri.

Sekali lagi sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, dorongan baik moril maupun materil sehingga dalam penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Amin Ya Robbal Alamin.

Medan, 01 Oktober 2010

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Kerangka Teori ... 9

1.5.1 Calon Independen... 9

1.5.2 Teori Demokrasi Politik Lokal ... 12

1.5.3 Pemilihan Kepala Daerah... 16

1.6 Metode Penelitian... 24

1.6.1 Jenis Penelitian... 24

1.6.2 Lokasi Penelitian... 25

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ... 25

1.6.4 Teknik Analisis Data ... 25

(8)

BAB II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN... 27

2.1 Latar Belakang Sejarah Kabupaten Deli Sedang... 27

2.1.1 Profil Kabupaten Deli Serdang... 30

2.1.2 Demografi Kabupaten Deli Sedang... 33

2.1.3 Ragam Penduduk dan Budaya Kabupaten Deli Serdang.... 35

2.1.4 Visi dan Misi Kabupaten Deli Serdang... 36

2.2 Peta Kekuatan Politik Kabupaten Deli Serdang... 37

2.2.1 Partai Politik ... 37

2.2.2 Pemilihan Kepala Daerah Langsung... 39

2.2.3 Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung... 40

2.3 Aktor dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Deli Serdang ... 41

2.3.1 Biografi Drs. Rabualam Syahputra... 41

2.3.2 Biografi Ir. Rahmat Setia Budi M.Sc... 44

BAB III. PEMBAHASAN ... 47

3.1 Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Deli Serdang ... 47

3.2 Aktor – Aktor Dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Deli Serdang... 50

(9)

BAB IV. PENUTUP ... 68

4.1 Kesimpulan ... 68

4.2 Saran ... 68

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama Dan IbuKota Kecamatan, Luas Wilayah Dan Jumlah

Desa/Kelurahan di Kabupaten Deli Serdang... 32

(11)

ABSTRAKSI

Calon Independen dan Pilkada

(Studi Kasus Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setia Budi M.Sc dalam Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008)

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon – calon yang didukungnya.Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6/2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia.

Undang - Undang No. 32 tahun 2004 ditetapkan pada Oktober 2004 memberikan perubahan yang sangat sigifikan dalam tata pemerintahan dan bahkan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Ini berarti semangat untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat daerah untuk berbenah sesuai dengan keinginannya. Dan pada akhirnya setiap kepala daerah akan terasa lebih dekat dengan rakyat. Artinya semua kebijakan yang akan diambil kepala daerah benar - benar berdasarkan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

(12)

yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (23/07/07). Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) tanpa partai politik. Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal.

Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya.

Sistem baru calon independen ini akan membuka ruang demokrasi arus lokal yang melahirkan persaingan sehat sebagai upaya mencari figur pemimpin berkualitas, guna menjawab tantangan daerah di tengah arus global. Persaingan melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas.

Perbedaan yang kontras antara calon independen dengan calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur) dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol.

Kata Kunci : Calon Independen, Partai Politik, dan Pilkada.

Medan, 01 Oktober 2010

Penulis

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Demokrasi adalah sebuah wacana yang dikembangkan dengan tujuan untuk menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, pemerintahan demokrasi adalah milik rakyat, dijalankan oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.1

Dalam demokrasi, pemilihan umum adalah bagian dari perwujudan hak – hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat. Melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab setiap pemilih dapat menikmati kebebasan yang dimilikinya tanpa intimidasi dan kecurangan yang membuat kebebasan pemilih terganggu.2

Indonesia sendiri baru memberlakuan pilkada secara langsung ketika dikeluarkannya Undang – Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Tidak jauh berbeda dengan pemilihan umum, pemilihan umum daerah (pilkada) yang dilakukan secara langsung pada umumnya diidentikkan dengan sebuah sistem yang demokratis pula. Oleh karena itu, di mata dunia internasional, negara yang menerapkan sistem pemilihan umum dan pilkada secara langsung pada umumnya dianggap sebagai negara yang demokratis. Karena, rakyat dalam hal ini tidak hanya memilih secara langsung kepala negaranya tetapi juga kepala daerahnya.

1

Bondan Gunawan S, Apa Itu Demokrasi, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2000, Hal ix 2

(14)

Peraturan Pemerintah No. 6/2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, merupakan tonggak baru penegakan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. Kedua produk perundangan tersebut memuat ketentuan mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung.3

Dengan lahirnya UU No.32/2004 dan PP No.6/2005, sebagaimana disebutkan di atas, akhirnya Pilkada langsung merupakan keputusan hukum yang harus dilaksanakan dengan pemilihan langsung, yang menggunakan asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, pilkada langsung layak disebut sebagai sistem rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter demokratis.4 Artinya dalam konteks ini negara memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat daerah.5

Perjalanan sistem politik di Indonesia memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin (23/07/07). Tepat pada waktu ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 tentang putusan perkara permohonan Pengajuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Sistem pilkada langsung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap watak dan karakter persaingan calon Kepala Daerah. Artinya seorang calon kepala daerah nantinya harus lebih menonjolkan karakter dan watak di dalam merebut suara pemilih untuk menghadapi kompetisi dalam pilkada.

3

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 33

4

Joko J. Prihatmoko, Ibid hal. 19 5

(15)

yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota, dan bupati) tanpa partai politik.6

6

http://jalankiri.blogspot.com/2008/11/masa-depan-calon-independen.html(diakses 11 Maret 2010)

Putusan MK tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal.

Perkembangan wacana calon perseorangan (independen) dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan tuntutan dari dialektika sejarah perpolitikan nasional. Secara politik, putusan MK tersebut akan membawa implikasi positif pada seluruh partai politik, ormas, dan kekuatan kelompok primordial untuk melakukan konsolidasi internal untuk menyikapi perkembangan ini. Demikian juga dengan kalangan akademisi yang turut serta memberikan pendapat dan dukungan terhadap wacana calon independen.

(16)

Di dalam Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 tampak alur perdebatan dan sejarah kasus hingga putusan untuk mensahkan calon independen menjadi mekanisme baru dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Materi putusan yang menunjukkan bahwa kelahirannya adalah untuk menyediakan ruang khusus bagi perseorangan yang berkompetisi dalam pilkada tanpa partai politik.

Isi putusan MK ini secara garis besar merupakan putusan atas sengketa konstitusi dari seorang warga negara, yaitu Lalu Ranggawale (anggota DPRD Kab. Lombok Tengah) karena haknya untuk maju sebagai calon perseorangan dalam pilkada Kab. Lombok Tengah tidak dijamin dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketidaktegasan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam menjamin hak perseorangan untuk dapat maju sebagai calon independen dalam pilkada. Secara konstitusional, terdapat pasal-pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap tidak mengakomodir kepentingan perseorangan untuk maju dalam pilkada, yakni Pasal 56 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5) huruf a dan c, Ayat (6), dan Pasal 60 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5) yang secara garis besar menyatakan bahwa pencalonan seseorang di dalam pemilihan kepala daerah haruslah didukung oleh sebuah partai ataupun koalisi partai. Tentu saja hal ini bertentangan dengan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Ayat (3), dan Pasal 28I Ayat (2).

(17)

berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya. Sebagai jaminan konstitusional atas hak perseorangan untuk dapat dicalonkan sebagai calon independen, maka putusan MK tersebut membutuhkan perangkat hukum berupa revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya telah secara tegas mengatur hak-hak calon independen. Landasan hukum mengenai calon independen ini pun semakin menguat manakala dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2008 yang secara lebih rinci mengatur mengenai persyaratan calon independen untuk dapat maju dalam pilkada.

Jika menimbang kekuatan antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dicalonkan oleh partai dengan calon independen, maka proses penarikan dukungan yang akan dipakai tidak akan jauh berbeda karena calon yang diusung partai maupun calon independen tetap mempergunakan sentimen-sentimen yang ada dalam masyarakat sendiri. Biasanya sentimen-sentimen yang dipakai tidak jauh dari isu kultural (marga dan rumpun adat) yang menjadi basis kesadaran masyarakat yang mudah dimobilisasi, khususnya masyarakat pedesaan.

(18)

lebih luas dan menjadikan persaingan lebih sehat. Dampak selanjutnya yang diharapkan adalah munculnya calon dari luar partai akan menyehatkan proses demokrasi dan akhirnya menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas.

Perbedaan yang kontras antara calon independen dengan calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur) dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan berbagai parpol.

Karena calon independen hanya mengandalkan kemampuan pribadi calon, maka yang si calon hanya dapat memperoleh legitimasi politiknya dari konstituen yang independen pula. Dalam timbangan pelembagaan demokrasi perwakilan melalui sistem pemilihan, maka calon independen dapat dianggap sebagai katup penyelamat antara massa pemilih (partisan) dan simpatisan partai dengan non-partisan dan juga kelompok golput. Dengan demikian, kelompok yang tidak punya pilihan dapat mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui calon independen. Akan tetapi, hal ini sangat sederhana sekali. Namun, menjadi alternatif penyampaian kepentingan ketika partai tidak lagi dianggap ideal sebagai media perjuangan kepentingan masyarakat.

(19)

kasus pilkada NAD, syarat pengajuan bagi calon independent hanya sebesar 3 persen dari jumlah pemilih. Dari sisi politis, posisi partai dalam hal ini mengajukan persyaratan ambang batas minimal jumlah dukungan yang harus dikantongi oleh para calon independen merupakan bentuk desakan politik terhadap aturan hukum yang berlaku pasca putusan MK. Jika mengikut pada perkembangan perdebatan dari kebutuhan aturan hukum yang berlaku, yakni revisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pendapat partai mulai dari munculnya wacana calon independent dan pasca putusan MK mengenai ambang batas minimum dukungan bagi calon independen akan menjadi materi dalam penentuan perubahan pasal yang mengatur ketentuan tersebut. Hal ini merupakan tuntutan (demand) dari para stakeholder terhadap sistem pembentukan kebijakan publik (yang dalam hal ini adalah revisi UU).

Prinsip demokrasi perwakilan adalah bahwa calon yang terpilih dapat mengagregasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi konstituennya saja. Jadi, jika calon yang berasal dari partai akan lebih mementingkan basis pemilihnya sendiri karena partai sudah memenangkannya, maka calon independen harus mementingkan masyarakat secara keseluruhan karena calon independen tidak hanya dikontrol oleh masyarakat, tetapi juga seluruh parpol. Dengan demikian, posisinya menjadi sorotan publik, baik dari kebijakan yang dihasilkan maupun aktifitas politiknya.

(20)

yang tidak hanya memiliki kesadaran naif, tetapi kritis terhadap seluruh kebijakan yang dihasilkan. Dengan demikian, calon independent akan menjadi kekuatan penyeimbang baru dari kekuatan politik partai.

Calon independen tentunya harus memiliki dukungan perseorangan yang tersebar di seluruh lini daerah. Calon independen diuji kemampuan sejauhmana komitmennya terhadap rakyat pada suatu daerah. Sebab sosok calon independen harus melakukan tahap sosialisasi dengan menyampaikan visi, misi dan program kepada semua kader – kadernya. Langkah ini pun bisa dilakukan melalui kampanye monologis, yang dilakukan dengan cara mengundang masa simpatisan calon, menyelenggarakan diskusi terbatas atau diskusi interaktif di media elektronik atau bahkan kegiatan sosial lainnya.

Tentunya tak dapat dipungkiri bila calon independen memiliki saingan lebih banyak karena melibatkan banyak orang, proses pengambilan keputusan berkali-kali dan berjenjang dari bawah ke atas. Keberadaan calon independen harus mampu memproduksi sebuah mesin politik baru untuk menuju ke tampuk kepemimpinan lokal. Skema calon independen ini bisa menjadi model baru yang lebih selektif dalam mencari seorang pemimpin, meskipun agak sulit realisasinya. Artinya, jika calon independen dapat direalisasikan, waktulah nanti yang membuktikan apakah sistem politik nonpartai ini memang efektif dalam menyaring pemimpin berkualitas.

(21)

melalui calon independen berimplikasi positif sebagai solusi atas pembangunan lokal di saat dukungan sumber daya alam kita yang saat ini semakin terbatas.

Rakyat yang saat ini haus akan pemimpin amanah harus berani dijawab mereka yang ingin menjadi pemimpin politik melalui calon independen. Dalam ruang politik bernama calon independen inilah, para calon diberi ruang lebar menawarkan program riil untuk menjawab kebutuhan rakyat. Para calon independen akan lebih tahu pemimpin seperti apa yang rakyat perlukan saat ini. Apakah hanya sebatas calon independen yang terkenal. Calon independen yang dapat memanggil investor masuk. Ataukah calon independen yang akan mampu membawa kemajuan daerah.

Walaupun demikian, sesungguhnya kemajuan daerah tidak hanya tergantung pada peran calon independen, namun figur calon independen tentu juga sangat penting. Sosok calon independen harus seorang yang kompeten, memiliki "track record" yang baik, profesional, dan memiliki manajerial-skill untuk memimpin daerah pada era otonomi saat ini. Untuk itu, diperlukan sebuah pemerintahan daerah yang juga harus terdiri atas orang-orang yang profesional dan kompeten.

(22)

program yang dicanangkannya. Bahkan, calon independen bersedia memunculkan kabinet bayangan dalam pemerintahannya jika terpilih sebagai kepala daerah.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumusan masalah dalam penelitian ini mengacu pada pertanyaan “Bagaimana

peranan calon independen Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat

Setiabudi Msc dalam Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 sebagai

bagian dari Proses Dinamika Demokrasi.”

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang Bagaimana peranan calon independen Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setiabudi Msc dalam Pilkada Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008, dalam dinamika Pilkada Langsung Kepala Daerah.

1.4Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah sesuatu yang baru dan memperkaya bahan penelitian dalam bidang ilmu politik.

b. Untuk menambah pemahaman masyarakat dan pembelajaran politik tentang calon independen dan Pilkada Langsung.

(23)

penelitian yang lebih lanjut dan sekaligus sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk meraih gelar sarjana.

1.5Kerangka Teori

1.5.1 Calon Independen

1. Konseptualisasi Independen

Independen (sering disingkat menjadi indie) dapat berarti “bebas”, “merdeka” atau “berdiri sendiri”.7

2. Calon Independen dan Pilkada

Secara sederhana pengertian calon independen yang dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui mekanisme pilkada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media perjuangannya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa calon independen dalam pilkada diperbolehkan menimbulkan optimisme baru dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Permohonan pengujian yang dilakukan oleh Lalu Ranggalawe, anggota DPRD kabupaten Lombok Tengah ini memberikain secercah harapan bagi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah ke depan.

7

(24)

Berdasarkan pasal 56 ayat (2) dan pasal 59 ayat (1) UU Pemda dinyatakan bahwa pasangan calon hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun, kini masyarakat mempunyai alternatif pilihan diluar pasangan dari parpol.

Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang calon independen :

Bima Arya Sugiarto yang sudah meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu politik dari Australian National University pada usia muda. Dia sebelumnya menempuh pendidikan di Universitas Parahyangan, Bandung dan Monash University, Australia. Sekarang dia bekerja di Universitas Paramadina, Jakarta dan menjadi Direktur Eksekutif The Lead Institute Center for Political Leadership yang bermukim di Universitas Paramadina.

Secara prinsip Bima Arya setuju dengan adanya jalur independen dalam Pilkada karena partai juga perlu mitra tanding (sparring partner). Hal ini disebabkan karena pada saat ini gairah demokratisasi belum diimbangi dan dilengkapi oleh kemampuan manajerial yang andal dan komitmen membangun institusi partai. Karena itu partai tidak memiliki stok kader yang cukup untuk Pilkada sehingga mencari kader lain yang tentunya diharapkan berduit.

(25)

kepentingan yang sempit, maka jatuhkanlah pilihan pada orang yang tepat tersebut.

Bima mengatakan jangan melihat partainya tapi lihat figurnya. Jika Anda percaya bahwa figur itu bisa membawa perubahan, mempunyai komitmen yang baik, anti terhadap politik uang dan kepentingan yang sempit, maka jatuhkanlah pilihan pada orang yang tepat tersebut. Jadi kesimpulannya, Bima menganggap inti dari pengertian calon independen itu bagus, orang memilih langsung orangnya. Tetapi partai juga jangan ditinggalkan, tetapi memperbaiki diri berdasarkan suara rakyat.8

Fadjroel Rahman menegaskan bahwa sudah saatnya masyarakat memberikan pilihannya kepada calon independen, karena ini adalah kesempatan emas untuk membuat rakyat lebih sejahtera dan bebas korupsi. Saya yakin apa yang diperjuangkan oleh calon independen, akan lebih memberikan porsi

Ketua Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI), Fadjroel Rahman menambahkan bahwa keberadaan calon independen dalam Pilkada memiliki arti penting, karena calon independen dapat menjadi penyeimbang kandidat yang diusung dari partai politik. Pada saat ini kita punya satu gubernur dan empat belas bupati dan walikota dari jalur independen, itu artinya publik mulai memilih calon independen karena memang dianggap bisa membawa aspirasi mereka beda jika dibandingkan dengan calon dari partai politik.

8

(26)

perjuangannya kepada rakyat, oleh karenanya sudah saatnya kita mendukung majunya calon independen dalam Pilkada.9

1.5.2 Teori Demokrasi Politik Lokal

1. Sentralisasi Desentralisasi

Dalam sejarah perundangan di Indonesia, paling tidak tercatat adanya tiga buah Undang – undang yang memiliki makna penting dalam otonomi daerah di Indonesia. Ketiga UU tersebut adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sekaligus merupakan revisi atas UU No.22 Tahun 1999. Ketiga UU tersebut dianggap sebagai pilar penting bagi pengelolaan pemerintahan daerah yang memiliki makna politik bagi konfigurasi peran negara dan masyarakat.

Ketiga UU tersebut memiliki kekhasan tersendiri dalam memaknai peran negara dan masyarakat yang bahkan terkesan saling menegasikan kekuasaan yang demikian besar bagi Pemerintahan Pusat ( Pemerintah ) untuk melakukan pengaturan terhadap daerah yang demikian besar. Pengalaman pemerintah Orde Baru telah menunjukkan bahwa daerah tidak memiliki ruang yang cukup memadai untuk melakukan pengelolaan politik didaerahnya sendiri. Berbeda dengan itu secara diametral, UU No. 22 Tahun 1999 memberikan ruang yang luas bagi daerah untuk mengelola sendiri berbagai wewenang dan urusan yang selama ini

9

(27)

dipegang oleh pemerintah. Perubahan ini dipengaruhi oleh reformasi yang menuntut sekaligus memberikan ruang kebebasan yang demikian luas ditingkat kabupaten dan kota dalam kerangka otonomi daerah yang bahkan sering dinilai terlalu luas dan longgar. Keluasan dan kelonggaran itulah yang kemudian coba “diatur” kembali dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagai revisi. Pengaturan kembali tersebut dituding sebagai upaya menarik kembali kewenangan menangani berbagai urusan dari kabupaten dan kota oleh pemerintah.10

Ketika Orde Baru memiliki kekuasaan yang mapan ( otoriter ), maka Pemerintah akan mengumpulkan kewenagan yang besar dan hanya menyisahkan “sedikit” porsi kewenangan kepada daerah. Demikian pula halnya ketika perubahan politik terjadi sejak tahun 1998, sistem politik menjadi lebih “ramah” terhadap peran masyarakat. Walaupun masih dalam tingkat artifisial, daerah berbalik menjadi pihak yang memegang kewenangan lebih banyak. Dalam kaca mata politik, desentralisasi semacam itu berarti sebuah proses pelimpahan tanggung jawab dan sumber daya dari pengambil keputusan pada tingkatan tertinggi kepada tingkatan menengah atau bawah. Konsekuensinya setiap

Polemik tersebut menandai tarik ulur antara Pemerintah dan Daerah mengenai hubungan kekuasaan dan kewenangan diantara keduanya. Secara konseptual, otonomi daerah berarti daerah diberikan berbagai kewenagan untuk menangani berbagai urusan pemerintahan. Dengan demikian, akan terdapat pembagian atau pelimpahan kewenangan antara pemerintah dengan daerah, yang terkait erat dengan sistem politik yang berlaku dalam sebuah rejim.

10

(28)

kebijakan desentralisasi berdampak kepada sirkulasi atau redistribusi kekuasaan terhadap masyarakat. Dengan demikian, tujuan utama dari sebuah kebijakan desentralisasi pada dasarnya adalah adanya kekuasaan yang sesungguhnya bagi masyarakat untuk dapat mempengauhi dan menentukan kebijakan yang baik untuk mereka. Pembentukan daerah otonom dapat menjadi satu jalan kearah itu dan karenanya berbagai kebijakan otonom bagi daerah menjadi penting.

Desentralisasi politik memiliki tujuan untuk memberikan lebih banyak kekuasaan dalam pengambilan keputusan masalah – masalah publik kepada warga negara atau wakil – wakil yang telah mereka pilih. Pengertian ini sering diartikan dengan politik yang pluralistik dan pemerintahan perwakilan, tetapi pengertian itu juga dapat mendukung demokratisasi dengan memberikan warga negara, atau wakil mereka, lebih banyak ruang guna mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan dari sebuah kebijakan. Mereka yang mendukung desentralisasi politik berpikiran bahwa keputusan – keputusan yang dibuat dengan tingkat partisipasi yang tinggi akan memberikan informasi yang cukup mewakili kemajemukan kepentingan masyarakat dibandingkan dengan sebuah keputusan yang diambil oleh otoritas nasional.

(29)

lembaga legislatif, pembangunan unit-unit politik lokal dan dorongan kearah bekerjanya kelompok-kelompok kepentingan yang efektif.11

Desentralisasi atau mendesentralisasi menjadi alat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang lebih terbuka, efektif, responsif serta untuk meningkatkan sistem representasional pengambilan keputusan tingkat masyarakat. Dengan memberikan kesempatan masyarakat lokal dan regional untuk mengatur urusan mereka sendiri dan dengan membantu hubungan yang lebih dekat antara otoritas pusat dan daerah kualitas sistem – sistem efektif pemerintah daerah untuk mendengar aspirasi masyarakat dan mendahulukan kepentingan masyarakat. Menjamin bahwa intervensi pemerintah memenuhi berbagai kebutuhan sosial.12

2. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun amandemen UUD 1945, pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar.

Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka presiden/wakil presiden beserta kepala daerah yang lain baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota akan dipilih langsung oleh rakyat sehingga pemerintahan yang

11

Donni Edwin. dkk, Ibid, hal. 30

12

(30)

terbentuk merupakan cerminan kehendak dan kedaulatan rakyat dan menunjukkan semakin demokratisnya pemerintahan yang ada.

Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa

‘all Politics is local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional

akan tumbuh berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilai – nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dulu terbentuk. Ini artinya kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual) diawali dengan Pilkada langsung, asumsinya; sebagai upaya membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di arah lokal).13

Salah satu tujuan dari dilakukannya Pilkada secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah sejak 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sering menjerumuskan politik lokal dalam kubangan politik uang diantara partai politik, parlemen dan calon kepala daerah. Implikasinya secara langsung adalah menciptakan lingkaran oligarkisme elit politik di daerah yang setali tiga uang dengan senjangannya kedekatan kepentingan publik dengan elit. Pilkada secara langsung kemudian dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengeliminir masalah tersebut. Dengan memberikan hak pilih secara langsung kepada rakyat,

13

(31)

setidaknya beberapa aspek kompetisi politik, meningkatnya legitimasi politik kepala daerah, serta meningkatnya akuntabilitas politik.14

1.5.3 Pemilihan Kepada Daerah Langsung

1. Pengertian Pilkada

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon – calon yang didukungnya, dan calon – calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung tertuang dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sebuah pemilihan pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.15

14

Donni Edwin. dkk, op cit, hal 93 15

(32)

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa itervensi (otonom).

Dalam text book ilmu politik, suatu rekrutmen politik disebut demokratis apabila : (1) menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur; (2) memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan; (3) mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; (4) akuntabilitas publik.16

Pilkada langsung dapat disebut sebagai praktek politis demokratis apabila memenuhi beberapa prinsipial, yakni menggunakan asas-asas yang berlaku rekrutmen politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif (DPR,DPD dan DPRD) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil).17

1. Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secaea langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

17

(33)

2. Umum

Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan katentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas

Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara menjamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

4. Rahasia

Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

5. Jujur

(34)

pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

6. Adil

Dalam penyelenggaraan pilkada setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapatkan perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Adapun aspek – aspek dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis itu adalah :18

1. Adanya pengakuan terhadap hak pilih universal, semua warga negara yang memenuhi syarat tanpa pengecualian yang bersifat politik dan ideologis diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pilkada.

2. Adanya keleluasaan dalam menampung pluralitas aspirasi, dalam arti bahwa masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa.

3. Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon – calon rakyat. Mekanisme yang diharapkan adalah botton up (berdasarkan inisiatif dan aspirasi dari bawah) bukan top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa). Perekrutan calon – calon wakil rakyat oleh parpol diharapkan makin mendekatkan calon legislatif dengan rakyat dan wakilnya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis

18

(35)

hasil Pilkada, demikian juga sebaliknya rakyat mengetahui dengan kualifikasi seperti calon legislatif tersebut ditentukan.

4. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan, kebebasan untuk menentukan preferensi politik bagi para pemilih adalah sebuah faktor penting dalam menakar kualitas sebuah pilkada. 5. Terdapat komite atau panitia pemilihan yang independen. Sebuah Pilkada

yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak yaitu komite yang tidak berpotensi untuk merekayasa hasil akhir dari Pilkada.

6. Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja mesti diberikan mulai dari penggalangan massa, rekrutmen dan penyeleksian calon anggota hingga ketahap kampanye dan tahap – tahap berikutnya.

7. Netralisasi birokrasi Pilkada yang demokratis membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak dan tidak menjadi perpenjang tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam Pilkada.

Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung

David Easton, teoritisi politik yang pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat tersebut adalah

1. Terdiri dari banyak bagian – bagiannya;

(36)

3. Mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem – sistem lain.

Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada langsung mempunyai bagian – bagian yang merupakan sistem skunder (secondary system) atau sub – sub system

(subsystems). Bagian – bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral

process, electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan

atau aturan mengenai Pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing – masing. Electoral Process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang – undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal.

Elektoral law enforcement yaitu penegakkan hukum terhadap aturan – aturan

Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauhmana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing – masing bagian tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer.

2. Praktek Politik Pilkada

(37)

pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.19

1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999. Pemilihan kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan, maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society)

Pemilihan kepala daerah berupayah menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat dihindari. Pada gilirannya pemiihankepala daerah secara langsung akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. Good pemilihan kepala daerah goverment setidaknya akan menghasilkan enam manfaat penting.

19

(38)

2. Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah ( eksekutif )

3. Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad

politics-nya.

4. Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarajat.

(39)

krisis kepercayaan publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik.

6. Pemilihan kepala daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money politics) yang merajalela dalam prosese pemilihan kepala daerah secara tidak langsung.

Tahapan Kegiatan Pilkada Langsung

Sesuai ketentuan Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah, tahapan Pilkada Secara langsung dibagi menjadi dua tahap, yang terdiri dari : (i) tahapan persiapan dan (ii) tahap pelaksanaan.

(40)

Tahap kedua, Tahap Pelaksanaan, yang meliputi : Tahap Pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih, pengumuman pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih, pengusulan pasangan calon terpilih dan pengesahan serta pelantingan calon terpilih.20

1.6.1 Jenis Penelitian

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang diguanakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain – lain pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data dan fakta secara sistematis sehingga dapat mudah dipahami dan disimpulkan.21

1.6.2 Lokasi Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini lebih menekankan analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah.

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada Kabupaten Deli Serdang.

20

Leo Agustino, op cit hal. 81. 21

(41)

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data

Data adalah segala keterangan atau informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku – buku, laporan – laporan serta bahan – bahan yang lain yang berhubungan dengan penelitian.

b. Penelitian lapangan, yaitu dengan pengumpulan data dengan mengunakan dialog langsung dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara adalah melakukan tanya jawab langsung dengan beberapa orang yang mempunyai pengaruh pada lokasi tersebut atau daerah yang akan diteliti.

1.6.4 Teknik Analisis Data

(42)

1.6.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Kabupaten Deli serdang.

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini meguraikan tentang hasil penelitian yang dilakukan di lapangan.

BAB IV PENUTUP

(43)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1. Latar Belakang Sejarah Kabupaten Deli Serdang

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang isni merupakan dua pemerintahan yang berbentuk Kerajaan (Kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan (± 38 Km dari Kota Medan menuju Kota Tebing Tinggi).

Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar NST (Negara Sumatera Timur) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional.

Negara - negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan NRI, sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST) tdak bersedia.

(44)

hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang Dasar 1945.

Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) Afdeling, salah satu diantaranya Deli en Serdang, Afdeling ini dipimpin seorang Asisten Residen beribukota Medan serta terbagi atas 4 (empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota Medan, Bovan Deli beribukota Pancur Batu, Serdang beribukota Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh Kontelir.

Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam). Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) Kewedanaan yaitu Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei / Kota Tebing Tinggi pada waktu itu ibukota berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang dan Bedagei.

(45)

Tahun demi tahun berlalu setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati dan ditetapkanlah bahwa Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang adalah tanggal 1 Juli 1946.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986. Demikian pula pergantian pimpinan di daerah inipun telah terjadi beberapa kali.

Tercatat dalam sejarah bahwa Bupati pertama di Kabupaten Deli Serdang adalah Moenar S. Hamidjojo, kemudian Sampoerno Kolopaking, setelah itu Wan Oemaroeddin Barus (1 Februari 1951 s.d 1 April 1958), Abdullah Eteng (1 April 1958 s.d 11 Januari 1963), Abdul Kadir Kendal Keliat (11 Januari 1963 s.d 11 November 1970), Haji Baharoeddin Siregar (11 November 1970 s.d 17 April 1978), Abdul Muis Lubis ( 17 April 1978 s.d 3 Maret 1979), H. Tenteng Ginting (3 Maret 1979 s.d 3 Maret 1984 ), H. Wasiman ( 3 Maret 1984 s.d 3 Maret 1989), H. Ruslan Mansur ( 3 Maret 1989 s.d 1994 ), H. Maymaran NS (3 Maret 1994 s.d 3 Maret 1999), Drs.H. Abdul Hafid, MBA (3 Maret 1999 s.d 7 April 2004), dan sejak tahun 2004 (periode 2004 s.d 2009) dijabat oleh Drs. H. Amri Tambunan (7 April 2004 s/d sekarang).

(46)

wakil Bupati Drs. H. Rayo Usman Harahap, sesuai dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor 132.22-141 tanggal 24 Februari 1977. Jabatan Wakil Bupati berlanjut dijabat oleh Drs. H. Rayo Usman Harahap pada periode Drs. H. Abdul Hafid, MBA. sampai dengan tahun 2002. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jabatan Wakil Bupati merupakan satu paket dengan Bupati yang dipilih oleh anggota legislatif. Tahun 2003, Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Deli Serdang, terpilih Drs. H. Amri Tambunan yang berdampingan dengan Drs. Yusuf Sembiring, MBA., MM. sebagai Wakil Bupati untuk periode 2004 sampai dengan 2009.

Demikian pula halnya di legislatif, pimpinan di lembaga inipun sudah silih berganti mulai dari Ketua Dewan dijabat oleh Bonar Ginting, H. Mahmud Hasan, T.A. Muhaid Arief, dan Kapten M. Selamat.kemudian pada priode berikutnya terpilih menjadi Ketua Dewan adalah Letkol Gus Masinan, BA (1971 s.d 1982), H.M. Rizan ( 1982 s.d 1987), T. Abunawar Alhaj (1987 s.d 1992), H. Iping Safei dilanjutkan oleh Usman DS (1992 s.d 1997), Kolonel Drs. H. Nusrin Siregar (1997 s.d 1999), Naik Tarigan, BBA ( 1999 s.d 2004) dan sejak tahun 2004 sampai saat ini Ketua DPRD Kabupaten Deli Serdang dijabat oleh H. Wagirin Arman.

(47)

MAP, Pelaksana Sekda Ir. H. Marapinta Harahap, MAP, MM, dan saat ini dijabat oleh Ir. Djaili Azwar, M.Si.

Sementara itu, Sekretaris DPRD Kabupaten Deli Serdang juga sudah beberapa kali silih berganti mulai dari Djaman Ginting, SH., kemudian Pangeran Siregar SH, setelah itu Drs. Nur Achmad Siregar, H.M. Rasyid SH, Drs H. Achmad Siregar, dan Drs. Semangat Merdeka Tarigan.

2.1.1 Profil Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alamnya yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan. Dulu wilayah ini disebut Kabupaten Deli dan Serdang, dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan. Memang dalam sejarahnya, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah ini terdiri dari dua pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan Deli berpusat di Kota Medan, dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan.

Dulu daerah ini mengelilingi tiga “daerah kota madya” yaitu kota Medan yang menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, kota Binjai dan kota Tebing Tinggi disamping berbatasan dengan beberapa Kabupaten yaitu Langkat, Karo, dan Simalungun, dengan total luas daerah 6.400 KM2 terdiri dari 33 Kecamatan dan 902 Kampung.

(48)

Tebing Tinggi dan Binjai yang berada didaerah perbatasan pada beberapa waktu yang lalu meminta/mengadakan perluasan daerah, sehingga luasnya berkurang menjadi 4.397,94 KM2.

Diawal pemerintahannya Kota Medan menjadi pusat pemerintahannya, karena memang dalam sejarahnya sebagian besar wilayah kota Medan adalah “tanah Deli” yang merupakan daerah Kabupaten Deli Serdang. Sekitar tahun 1980-an, pemerintahan daerah ini pindah ke Lubuk Pakam, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera lebih kurang 30 kilometer dari Kota Medan yang telah ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Deli Serdang.

Tahun 2004 Kabupaten ini kembali mengalami perubahan baik secara Geografi maupun Administrasi Pemerintahan, setelah adanya pemekaran daerah dengan lahirnya Kabupaten baru Serdang Bedagai sesuai dengan U.U. No. 36 Tahun 2003, sehingga berbagai potensi daerah yang dimiliki ikut berpengaruh.

Dengan terjadinya pemekaran daerah, maka Luas wilayahnya sekarang menjadi 2.497,72 KM2 terdiri dari 22 kecamatan dan 403 desa/kelurahan, yang terhampar mencapai 3.34 persen dari luas Sumatera Utara.

(49)

Dalam gerak pembangunannya, motto Kabupaten Deli Serdang yang tercantum dalam Lambang Daerahnya adalah “Bhinneka Perkasa Jaya” yang memberi pengertian; dengan masyarakatnya yang beraneka ragam suku, agama, ras dan golongan bersatu dalam kebhinnekaan secara kekeluargaan dan gotong royong membangun semangat kebersamaan, menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga menjadi kekuatan dan keperkasaan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dan kejayaan sepanjang masa.

Dengan pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi dua wilayah, secara administratif Pemerintah Kabupaten Deli Serdang kini terbagi atas 22 Kecamatan yang didalamnya terdapat 14 Kelurahan dan 389 Desa.

Tabel. 1 Nama dan Ibukota Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah

Desa/Kelurahan di Kabupaten Deli Serdang

No Kecamatan Ibu Kota

4 Kutalimbaru Kutalimbaru 174.92 14

5 Pancur Batu Pancur Batu 122.53 25

(50)

7 Biru-Biru Biru-Biru 89.69 17

8 STM Hilir Talun Kenas 190.50 15

9 Bangun Purba Bangun Purba 129.95 33

10 Galang Galang 150.29 29

11 Tanjung Morawa

Tanjung Morawa 131.75 26

12 Patumbak Patumbak 46.79 8

13 Deli Tua Deli Tua 9.36 6

14 Sunggal Sunggal 92.52 17

15 Hamparan Perak

Hamparan Perak 230.15 20

16 Labuhan Deli Labuhan Deli 127.23 5

17 Percut Sei Tuan

Tembung 190.79 20

18 Batang Kuis Batang Kuis 40.34 11

19 Pantai Labu Pantai Labu 81.85 19

20 Beringin Karang Anyer 52.69 11

21 Lubuk Pakam Lubuk Pakam 31.19 13

22 Pagar Merbau Pagar Merbau 62.89 16

2,479.72 403

Sumber : Kabupaten Deli Serdang

2.1.2 Demografi Kabupaten Deli Serdang

(51)

Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ Lintang Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 Km2 Dari luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera.- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.

2.3.2 Topografi

Daerah ini secara geografis terletak pada wilayah pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kountur dan iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang kounturnya mulai bergelombang sampai terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara kawasan pantai berhawa tropis pegunungan.

Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dibedakan atas:

Dataran Pantai

(52)

Dataran Rendah

± 68,965 Ha ( 28.80 % ) terdiri dari 11 kecamatan ( Sunggal, Pancur Batu, Namorambe, Deli Tua, Batang Kuis, Tanjung Morawa, Patumbak, Lubuk Pakam, Beringin, Pagar Merbau, dan Galang) dengan jumlah desa sebanyak 197 desa/kelurahan.Potensi Utama adalah : Pertanian Pangan, Perkebunan Besar, Perkebunan Rakyat, Peternakan, Industri, Perdagangan, dan Perikanan Darat.

Dataran Pegunungan

± 111.970 Ha ( 44.90 %) terdiri dari 7 kecamatan (Kutalimbaru, Sibolangit, Biru-biru, STMHilir, STM Hulu, Gunung Meriah, Bangun Purba) dengan jumlah desa sebanyak 133 desa. Potensi Utama adalah : Pertanian Rakyat, Perkebunan, dan Peternakan.

2.3.3 Iklim

Sesuai dengan perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan iklim peralihan antara sub tropis dan tropis.

(53)

Curah hujan rata-rata pertahun 1.936,3 mm, pada umumnya curah hujan terbanyak pada bulan September, Oktober, Nopember dan Desember. Angin yang bertiup melalui daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan kecepatan 0,68 meter/detik, sedangkan temperatur rata-rata 26,7° dan kelembaban 84 %.

2.1.3 Ragam Penduduk dan Budaya Kabupaten Deli Serdang

Penduduk Kabupaten Deli Serdang terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain : Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Minangkabau dan lain-lain yang pada umumnya memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

Akibat pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi dua wilayah pemerintahan, sudah tentu mengalami perubahan kepada pengurangan jumlah penduduk. Jumlah Penduduk yang bermukim di daerah ini sampai dengan tahun 2007 diperkirakan sebanyak 1.686.366 Jiwa.dengan kepadatan rata-rata 675 jiwa/km2 dengan penduduk terpadat di kec. Deli Tua yaitu 6.057 jiwa/km2 dan penduduk terendah/ jarang di kec. Gunung Meriah 33 jiwa/km2.

(54)

Dampak pembangunan terhadap dinamika kependudukan antara lain dapat dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas penduduk yang diindikasikan dari pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, angka ketergantungan umur, median umur, rata-rata anak lahir hidup/rata-rata masih hidup dan angka migrasi, umur perkawinan pertama, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

2.1.4 Visi dan Misi Kabupaten Deli Serdang

Dalam upaya lebih memberikan arah pembangunan yang dicita-citakan di Kabupaten Deli Serdang, Visi Pembangunan yang ditetapkan pada periode 2009-2014 adalah :

“Deli Serdang yang maju dengan masyarakatnya yang religius, sejahtera, bersatu dalam kebhinnekaan melalui pemerataan pembangunan, pemanfaatan sumber daya yang adil, dan penegakan hukum yang ditopang oleh tata pemerintahan yang baik“

Untuk mencapai Visi Pembangunan Deli Serdang tersebut, disusun 4 (empat) Misi Pembangunan yang harus di emban yaitu :

(55)

2. Mendorong pembangunan akhlaq mulia generasi muda, saling menghormati, rukun dan damai, tidak diskriminatif, mengabdi pada kepentingan masyarakat luas, dan menghormati hak azasi manusia.

3. Mendorong pembangunan yang merata, pemanfaatan sumber daya yang adil guna mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, rasa aman dan damai, mampu menampung aspirasi masyarakat yang dinamis, menegakkan persatuan dan kesatuan dalam kebhinnekaan dengan ditopang oleh tata pemerintahan yang baik.

4. Mendorong tercapainya supremasi hukum dan masyarakat yang taat hukum, menghilangkan praktek diskriminasi hukum, mendorong pembangunan sistem yang akuntabel, transparan, profesional, dan mampu menjalankan fungsinya sebagai fasilitator bagi semua stakeholdernya.

2.2. Peta Kekuatan Politik Kabupaten Deli Serdang

2.2.1.Partai Politik

Dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Deli Serdang didukung oleh beberapa partai politik yang mendukung beberapa calon yaitu sebagai berikut :

1. Partai Demokrat

2. PKB

3. Partai Patriot Pancasila

(56)

5. PPDI

6. PKPI

7. Partai Pelopor

8. PBB

9. Partai Merdeka

10. PPNUI

11. Partai Persatuan Pembangunan

12. Partai Amanat Nasional

13. Partai Keadilan Sejahtera

14. PNI Marhaenisme

15. PKPB

16. PBSD

17. PPIB

18. PNBK

19. PSI

20. PPDK

21. Partai Golongan Karya

(57)

2.2.2 Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008 di ikuti oleh 9 (Sembilan) pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ada yang didukung dari partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon dan pasangan perseorangan (Independen). Dari 9 (Sembilan) pasangan calon, 5 (Lima) pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan 4 (Empat) pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari perseorangan (Independen). Berikut ini nama – nama 9 (Sembilan) pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah langsung di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008.

5 (Lima) pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik yaitu sebagai berikut :

1. Drs. H. Amri Tambunan dan Zainuddin Mars

Didukung oleh Partai Demokrat, PKB, Partai Patriot Pancasila, PBR, PPDI, PKPI, Partai Pelopor, PBB, Partai Merdeka, PPNUI.

2. Drs. H. Hasaiddin Daulay dan Drs. H. Putrama Alkhairi

Didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional.

3. Ruben Tarigan, SE dan Dedi Irwansyah, SE Didukung oleh PDI Perjuangan.

(58)

Didukung oleh PKS, PNI Marhaenisme, PKPB, PBSD, PPIB, PNBK, PSI, PPDK.

5. H. Wagirin Arman dan Hj. Chairiah Sudjono Giatmo, SE Didukung oleh Partai Golongan Karya

4 (Empat) pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari perseorangan (Independen) yaitu sebagai berikut :

1. H. M. Supriyanto dan Dicky Zulkarnain, SE

2. Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setiabudi, MSc

3. Saiful Anwar, S.sos. MSP dan Sugito

4. H. Sihabudin, SE dan Ir. Suria Darma Ginting, SP. MM

2.2.3. Hasil Pemilihan Kepala Daerah Langsung

(59)

Tabel 2. Jumlah suara sah yang diperoleh masing – masing pasangan calon

No

Nama Pasangan Calon

Jumlah

Perolehan

Satria Yudha Wibowo, ST

86.895 17,21%

3. H. Wagirin Arman dan Hj. Chairiah Sudjono Ginting, SE

51.935 10,29%

4. Ruben Tarigan, SE dan Dedy Irwansyah, SE

42.687 8,46%

5. Drs. Rabualam Syahputra dan Ir. Rahmat Setiabudi, M.Sc Darma Ginting, SP. MM

12.856 2,55%

9. Drs. Hasaiddin Daulay dan Drs. H. Putrama Alkhairi

10.918 2,16%

(60)

2.3. Aktor Dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kabupaten Deli

Serdang

2.3.1 Biografi Drs. Rabualam Syahputra

Nama Lengkap : Drs. Rabualam Syahputra.

Tempat/ Tanggal Lahir : Kampung Bangun Sari, 27 Desember 1969

Alamat Tempat Tinggal : Jl. Batang Kuis, Dusun III, Desa Telaga Sari,

Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : a. Sudah Kawin

b.Nama Istri : Fatmawati (Lusi Kristiana) br. Tobing

c. Jumlah Anak : 3 (Tiga) orang d. Nama Keluarga Kandung : - Rajino (Abang Kandung) - Rawati (Kakak Kandung) - Rajito (Abang Kandung)

(61)

- Wira Hadi Kesuma (Abang Kandung) - Rabuono Syahputra (Abang Kandung) - Rapianto (Adik Kandung)

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : 1. SD Pembangunan, Tanjung Morawa (1981)

2. SMP Subsidi Karyawan, Tanjun Morawa (1984)

3. SMA Negeri Tanjung Morawa (1987)

4. Sarjana S1, STIK-P, Jurusan Komunikasi, Medan (2001)

Riwayat Organisasi : Pengurus Badan Koordinasi Remaja Masjid Tanjung Morawa (BKRM – TM) Masa Amaliyah 1987 – 1999

- Majelis Pembina Organisasi (MPO) BKRM

TM Masa Amaliyah 1999 – 2011

- Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Sumut Tahun 1990

(62)

- Presidium Forum Aksi Umat Islam Deli Serdang Tahun 1999

- Presidium Jaringan Organisasi Rakyat Sumut Tahun 1999

- Pembina Syabab Hidayatullah Wilayah Sumut Tahun 2002

- Ketua Presidium Forum Rakyat Deli Serdang Tahun 2003

- Ketua Tikda ICMI Muda Deli Serdang Tahun 2009

- Ketua ICMI Muda Sumatera Utara Tahun 2007 – sekarang

- Presidium Koalisi Umat Sumatera Utara Tahun 2007 – 2008

- Ketua Umum Perhimpunan Aktivis Rakyat Indonesia (PARI) Sumatera Utara Tahun 2008 – sekarang.

Riwayat Pekerjaan :

1. Tukang Bonjor (mengambil pasir disungai dengan cara memanggul) di daerah aliran sungai Belumai, pantai Rantam pasar 6 Jl. Bt. Kuis. 1985.

Gambar

Tabel. 1 Nama dan Ibukota Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah
Tabel 2. Jumlah suara sah yang diperoleh masing – masing pasangan calon

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan arah gelombang karena refraksi tersebut menghasilkan konvergensi (pengucupan) atau divergensi (penyebaran) energi gelombang dan mempengaruhi energi gelombang

mengujinya dan mengetahui efek Ekstrak Etanol Kedelai Detam 1 (EEKD) dan Ekstrak Etanol Daun Jati Belanda (EEJB) tunggal beserta kombinasinya yang lebih baik

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel struktur modal Debt to Equity Ratio (DER), Debt to Asset Ratio

Penggunaan teknik adaptive subcarrier hopping pada sistem MIMO DSTBC MCCDMA menunjukkan kinerja yang baik pada semua tingkat kecepatan untuk BER target 10 -3 memberikan

Tanya Eggers (2010) menambahkan bahwa bentuk stimulasi dapat berupa pertanyaan–pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak mempunyai satu

Hubungan pola asuh orang tua terhadap tingkat prestasi anak retardasi mental ringan di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Sumber Dharma Malang.. Skripsi (tidak

44 Cholid Narboku dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 83... Observasi dapat dilakukan secara partisipatif ataupun nonpartisipatif. dalam observasi