• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA STRATA PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN LEPTOSPIROSIS (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA STRATA PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN LEPTOSPIROSIS (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

Rizka Auliya

NIM. 6450408117

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii 

 

ABSTRAK Rizka Auliya.

Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis.

(Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012) XIV + 95 halaman + 27 tabel + 2 gambar + 15 lampiran

Leptospirosis merupakan penyakit di daerah banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi saat pasca banjir. Candisari merupakan daerah yang jarang mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian leptospirosis tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian. Kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya PHBS dan Sanitasi Rumah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis (Studi kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi penelitian adalah penderita leptospirosis di Kecamatan Candisari (kasus) dan bukan penderita (kontrol). Sampel berjumlah 66 responden. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, dan luxmeter.. Data dianalisis dengan rumus uji Chi-square.

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga (p=0,003,OR=4,667), kondisi selokan (p=0,001,OR=5,290), keberadaan tikus (p=0,001,OR=6,107), keberadaan air menggenang (p=0,001,OR=6,133), sarana pembuangan limbah (p=0,003,OR=4,600), sarana pembuangan sampah (p= 0,002,OR=5,400) dan tidak ada hubungan antara intensitas cahaya (p=0,323), keberadaan hewan peliharaan (p=0,084) dengan kejadian leptospirosis.

Saran yang diajukan adalah diharapkan pasien memperbaiki PHBS dan sanitasi rumah agar tidak menjadi sumber dan wahana penularan penyakit leptospirosis.

(3)

iii 

 

ABSTRACT Rizka Auliya.

Relationship Between the Strata of Healthy and Clean Life Behavior (PHBS) Order Household and House Sanitary with Leptospirosis Incidence (Case Study in Candisari District Semarang City in 2012)

XIV + 95 pages + 27 tables + 2 figure + 15 appendices

Leptospirosis is a disease in flooded areas because of the high incidence of this disease at post-flood. Candisari is an area that rarely experiences flooding, but a region that has a high incidence of leptospirosis in 2009-2011, namely 41 cases and 5 deaths. Incidence of leptospirosis is influenced by several factors, the main strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household and house sanitation. The purpose of this study was to determine the relationship between the strata PHBS order household and house sanitary with the incidence of leptospirosis (case study in Candisari District Semarang City in 2012).

This study used a case-control approach. The study population was patients with leptospirosis in the Candisari district (cases) and not the patients (controls). The sample amounted to 66 respondents. The instruments used were questionnaires, observation sheets, and luxmeter. Data were analyzed by chi-square formula.

The result showed that there is a relationship between the strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household (p = 0.003, OR = 4.667), the condition of the sewers (p = 0.001, OR =5.290), presence of mice (p = 0.001, OR = 6.107), presence of stagnant water (p = 0.001, OR = 6.133),cesspool disposal facilities (p = 0.003, OR = 4.600), waste disposal facilities (p = 0.002, OR = 5.400) and no correlation between the intensity of light (p = 0.323), presence of pets (p = 0.084) with the incidence of leptospirosis.

The suggestions are the patient expected to improve PHBS and house sanitary in order not to be a source and vector for transmission of leptospirosis.

Kata Kunci : Leptospirosis, House Sanitation, Strata of Healthy and Clean Life Behavior.

Kepustakaan : 30 (1999-2011)  

(4)

iv 

 

Nama

: Rizka Auliya

NIM

:

6450408117

Judul :

Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan

Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di

Kecamatan Candisari Kota Semarang)

Pada hari

:

Rabu

Tanggal :

21 November 2012

Panitia Ujian:

Ketua,

Sekretaris,

Drs. H. Harry Pramono, M.Si .

`

Dr. dr. Oktia Woro KH, M. Kes.

NIP.19591019.198503.1.001

NIP.

19591001.198703.2.001

Dewan Penguji

Tanggal

Ketua,

Eram Tunggul P., S.KM., M.Kes ___________

NIP. 19740928.200312.1.001

Anggota,

Arum Siwiendrayanti, S.KM, M.Kes ___________

(Pembimbing Utama) NIP. 19800909.200501.2.002

(5)

 

Masyarakat akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya serta

lingkungannya (Juli Soemirat Slamet, 2002:5).

PERSEMBAHAN:

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1.

Ibuku tercinta (Ibu Sa’diyah).

2.

Adik dan Kakakku (Oyik dan Naila).

3.

Keluarga Besarku

(6)

vi 

 

Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis

(Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)”

dapat

terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan

Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini,

dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1.

Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas

Negeri Semarang, atas ijin penelitian.

2.

Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan

Universitas Negeri Semarang, atas persetujuan penelitian.

3.

Pembimbing I, Ibu Arum Siwiendrayanti, S.KM., M.Kes., atas bimbingan,

arahan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

4.

Pembimbing II, Bapak Sofwan Indarjo, S.KM., M.Kes., atas bimbingan, arahan

serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

5.

Dosen Penguji Proposal Skripsi, Bapak Eram Tunggul Pawenang, S.KM.,

M.Kes., atas saran dan masukkan dalam perbaikan skripsi ini.

6.

Dosen-dosen dan karyawan di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, atas bimbingan dan

bantuannya.

(7)

vii 

 

sayang dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.

Muhammad Ulya, atas bantuan do’a, tenaga, pikiran, pengorbanan serta

motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

11.

Sahabat sekaligus teman diskusi (Dwina, Wiwin, Madya Feni, Evy, Nunung)

atas bantuan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

12.

Teman-teman “Kos 8”, atas do’a, dukungan serta motivasinya dalam

penyusunan skripsi ini.

13.

Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2008, atas bantuan

serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

14.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuannya dalam

penyelesaian skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda

dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya

selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Semarang, September 2012

(8)

viii 

 

Halaman

JUDUL ...

i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Keaslian Penelitian ... 8

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

(9)

ix 

 

2.4

PHBS Tatanan Rumah Tangga ... 36

2.5

Kerangka Teori ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Kerangka Konsep ... 43

3.2 Hipotesis

Penelitian

...

44

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 44

3.4 Variabel

Penelitian

...

44

3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 45

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 48

3.7 Sumber Data Penelitian ... 52

3.8 Instrumen Penelitian ... 53

3.9 Teknik Pengambilan Data ... 53

3.10 Prosedur Penelitian ... 54

3.11 Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 60

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...

60

4.2 Hasil Penelitian ...

60

4.2.1 Karakteristik Responden ...

60

4.2.2 Analisis Univariat Variabel Penelitian ...

63

(10)

 

5.1.1 Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dengan Kejadian

Leptospirosis ...

78

5.1.2 Hubungan antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis ...

80

5.1.3 Hubungan antara Intensitas Cahaya dengan Kejadian Leptospirosis ...

81

5.1.4 Hubungan antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis ...

82

5.1.5 Hubungan antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian

Leptospirosis ...

84

5.1.6 Hubungan antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian Leptospirosis

...

85

5.1.7 Hubungan antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian Leptospirosis

...

87

5.1.8 Hubungan antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Leptospirosis

...

89

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ...

91

5.2.1 Hambatan Penelitian ...

91

5.2.2 Kelemahan Penelitian ...

91

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Simpulan ...

92

6.2 Saran ...

92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(11)

xi 

 

Tabel 1.1: Keaslian Penelitian

...

8

Tabel 1.2: Matrik Perbedaan Penelitian

...

9

Tabel 2.1: Strata PHBS di Rumah Tangga

... 40

Tabel 2.2: Strata Kelompok

(RT,RW,DESA/KELURAHAN,KECAMATAN,KABUPATEN/KOTA)

... 41

Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

... 45

Tabel 3.2: Perhitungan Sampel

... 50

Tabel 3.3: Tabel 2 x 2 Penentuan OR

... 57

Tabel 4.1:

Distribusi Responden menurut Umur ... 61

Tabel 4.2:

Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin ... 62

Tabel 4.3:

Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan ... 62

Tabel 4.4:

Distribusi Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Responden ... 63

Tabel 4.5:

Distribusi Kondisi Selokan Responden ... 64

Tabel 4.6:

Distribusi Intensitas Cahaya dalam Rumah Responden ... 64

Tabel 4.7:

Distribusi Keberadaan Tikus di Rumah Responden ... 65

Tabel 4.8:

Distribusi Keberadaan Hewan Peliharaan Responden ... 66

Tabel 4.9:

Distribusi Keberadaan Air Menggenang di Rumah Responden ... 66

Tabel 4.10:

Distribusi Sarana Pembuangan Limbah Responden ... 67

Tabel 4.11:

Distribusi Sarana Pembuangan Sampah Responden... 68

(12)

xii 

 

...

71

Tabel

4.15: Tabulasi Silang antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis

...

72

Tabel

4.16: Tabulasi Silang antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian

Leptospirosis ... 73

Tabel

4.17: Tabulasi Silang antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian

Leptospirosis ... 74

Tabel

4.18: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian

Leptospirosis ... 75

Tabel

4.19: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian

Leptospirosis ... 76

(13)

xiii 

 
(14)

xiv 

 

Lampiran 1: Permohonan Sebagai Responden Penelitian

... 96

Lampiran 2: Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

... 97

Lampiran 3: Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi

... 98

Lampiran 4: Daftar Responden Kasus

... 105

Lampiran 5: Daftar Responden Kontrol

... 106

Lampiran 6: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian Tiap Variabel

... 107

Lampiran 7: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian

... 123

Lampiran 8: Output SPSS Analisis Bivariat dengan Uji Chi-Square

... 125

Lampiran 9: Surat Tugas Pembimbing

... 133

Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian dari Fakultas

... 134

Lampiran 11: Surat Ijin Peminjaman Alat

... 135

Lampiran 12: Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas

... 136

Lampiran 13: Surat Ijin Penelitian dari Kecamatan Candisari

... 138

Lampiran 14: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

... 139

(15)

1.1 Latar Belakang Masalah

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. World Health Organization (WHO) menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10–100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2012).

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Indonesia sebagai negara tropis merupakan negara dengan kejadian Leptospirosis yang tinggi serta menduduki peringkat ketiga di dunia dibawah China dan India untuk mortalitas. Penyakit bersumber tikus yang pernah dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah diantaranya adalah penyakit Pes dan Leptospirosis. Leptospirosis telah mengakibatkan kematian penduduk di beberapa kabupaten atau kota seperti di Semarang, Demak, Pati, Klaten dan Purworejo (Buku Saku Kesehatan 2011 Prov. Jateng : 40 - 41).

(16)

apabila seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin tikus atau hewan lain seperti anjing, kucing dll yang sakit leptospirosis dalam waktu yang lama (Muliawan, 2008: 64).

Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai 2,5–16,45%. Dan di provinsi Jawa Tengah angka kematian leptospirosis cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kejadian dan angka kematian leptospirosis di Jawa Tengah tahun 2007 adalah 67 kejadian dan 6 kematian, tahun 2008 adalah 231 kejadian dan 15 kematian, tahun 2009 adalah 232 kejadian dan 14 kematian, tahun 2010 adalah 133 kejadian dan 14 kematian, dan pada tahun 2011 adalah 153 kejadian dan 30 kematian (Profil Kesehatan Indonesia 2010, Kepmenkes RI Tahun 2011). Angka kejadian dan kematian leptospirosis di Jawa Tengah mulai tahun 2008–2011 yang paling tinggi adalah di Kota Semarang yaitu sebanyak 151 kejadian dengan 4 kematian, 235 kejadian dengan 9 kematian, 70 kejadian dengan 6 kematian, dan 60 kejadian dengan peningkatan kasus kematian sebanyak 22 kematian (Buku Saku Data Kasus dan Kematian Leptospirosis Jateng 2012 ). Bila dilihat dari data, selama tahun 2008–2011 kejadian leptospirosis di Kota Semarang mengalami penurunan. Namun pada angka kematian yang terjadi mengalami peningkatan yang pesat pada tahun 2011.

(17)

daerah yang jarang banjir. Daerah Candisari merupakan daerah yang jarang mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian leptospirosis yang tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian. Dan pada tahun 2008–2010 kejadian leptospirosis yang juga tinggi berada di daerah Tembalang yang merupakan daerah yang juga jarang terjadi banjir (Rekapitulasi Bulanan Kasus Leptospirosis Kota Semarang Tahun 2012). Dengan demikian, fenomena kejadian leptospirosis bukan hanya terjadi di kawasan rob saja, melainkan sudah merambat ke daerah yang jarang banjir di Kota Semarang. Menurut petugas Puskesmas Kagok bagian penyakit Leptospirosis, hal ini disebabkan oleh banyaknya populasi tikus yang terinfeksi bakteri leptospira yang bermigrasi dari daerah yang rawan banjir ke daerah yang jarang banjir seperti Candisari. Dan penyakit Leptospirosis dapat terjadi hanya dengan adanya tikus yang terinfeksi Leptospira, air menggenang dan kontak manusia dengan air menggenang yang terinfeksi oleh Leptospira dari air kencing tikus tersebut. dari hal tersebut maka banyaknya kejadian Leptospirosis di daerah jarang banjir dapat terjadi.

(18)

Candisari, mendapatkan hasil bahwa kondisi sanitasi di daerah tersebut perlu diperhatikan. Hal tersebut terlihat dari kondisi rumah-rumah yang sangat berhimpitan dan masih sedikitnya tempat sampah di tiap-tiap rumah sehingga menimbulkan banyaknya sampah yang dibuang sembarangan di sekitar rumah maupun selokan. Warga juga menyatakan bahwa saat musim hujan, selokan di sekitar rumah mereka sering meluap karena tidak tertutup dan berukuran kecil. Keterbatasan tempatlah yang membuat mereka tidak dapat membuat selokan yang lebih besar. Terbatasnya tempat juga menyebabkan rumah-rumah mereka dibangun dengan kondisi seminimal mungkin sehingga kondisi di dalam rumah terlihat cukup gelap walaupun saat siang hari. Hal- hal tersebut yang menjadi kemungkinan sebagai faktor-faktor penularan Leptospirosis.

Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang sangat berhubungan dengan lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berperan dalam kejadian leptospirosis adalah sanitasi rumah. Sanitasi rumah dapat dikatakan baik apabila memenuhi salah satu kriteria rumah sehat yaitu memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup (Rusmini, 2011:86).

(19)

merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat pengumpulan sampah (Odd Ratio = 1,2 dengan 95% CI 0,6-2,7), kondisi selokan (Odd Ratio = 5 dengan 95% CI 2,3-10,6). Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam rumah (Odd Ratio = 38,1 dengan 95% CI 8,6–169,8).

Faktor–faktor lingkungan termasuk kedalam beberapa indikator dari PHBS tatanan rumah tangga. Selain faktor lingkungan, faktor–faktor lain yang ikut berpengaruh pada kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah tangga. PHBS tatanan rumah tangga dilakukan untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS dengan baik, memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Pedoman Program PHBS Tatanan Rumah Tangga Tahun 2010). Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan strata PHBS dalam rumah tangga, tingkatan strata tersebut antara lain sehat pratama, sehat madya, sehat utama dan sehat paripurna.

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Menurut penelitian terdahulu, faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat berperan dalam kejadian leptospirosis utamanya adalah sanitasi rumah yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus di dalam rumah, keberadaan air yang menggenang di dalam rumah, sarana pembuangan air limbah dan sarana pembuangan sampah. Faktor–faktor lingkungan tersebut termasuk ke dalam beberapa indikator dari PHBS tatanan rumah tangga. Selain faktor lingkungan tersebut, faktor–faktor lain yang ikut berpengaruh pada kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah tangga. Indikator tersebut antara lain KIA dan gizi, gaya hidup, dan upaya kesehatan masyarakat. Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan strata PHBS dalam rumah tangga.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis?”.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

(21)

3. Mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian leptospirosis.

4. Mengetahui hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis. 5. Mengetahui hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian

leptospirosis.

6. Mengetahui hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan kejadian leptospirosis.

7. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian leptospirosis.

8. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian leptospirosis.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama kuliah di bidang Kesehatan Lingkungan dalam bentuk penelitian ilmiah mengenai hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis.

1.4.2 Bagi Masyarakat

(22)

1.5 Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

Judul Peneliti An Nama Peneli ti Tahun dan Tempat Peneliti an Ranca ngan Peneliti An

Variabel Penelitian Hasil Penelitian

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Faktor Risiko Ling kungan Yang Berpe ngaruh Terha dap Kejadian Leptospi rosis Berat Dwi Sarwa ni Sri Rejeki Tahun 2005, di Rumah Sakit Dr. Kariadi Sema rang. Meng gu nakan metode Obser vasio nal dengan rancang an kasus kontrol

Variabel bebas :

Kondisi selokan, karakteristik

genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan

sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai

Variabel terikat : Kejadian leptospirosis. Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat pengumpulan sampah OR = 1,2 95% CI 0,6-2,7; curah hujan >= 177,5 mm OR=5,7; 95% CI 1,9-17,3; kondisi selokan < 2,0 meter OR=5; 95% CI 1,8-15,7. Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar

(23)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Analisis Faktor – Faktor yang Berhubu ng an dengan Penyakit Leptospi ro sis Di Puskesm as Kedung mundu 2011 Taufi k Ari Pamb udi Tahun 2011 di Puskes mas Kedung mundu Analiti k observa sional dengan desain kasus kontrol

Variabel Bebas : Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air

Variabel Terikat : Kejadian Leptospirosis Variabel yang berhubung an dengan kejadian leptospiro sis adalah pekerjaan OR=7,765 ; 95% CI 0,852–70,752, kebersihan diri OR=7,3,685 ; 95% CI 1,062-12,771, riwayat adanya luka OR=5,6 ; 95% CI 1,523–20,492, keberadaan tikus OR=3,683 ; 95% CI 1,062–12,771, riwayat kontak dengan air kotor OR=3,683 ; 95% CI 1,062–12,771, kebersihan rumah OR=3,683 ; 95% CI 1,062–12,771.

Perbedaan penelitian dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.2 tentang matrik perbedaan penelitian di bawah ini :

Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian

No Perbedaan Penelitian Rizka Auliya Penelitian Dwi Sarwani Taufik Ari Penelitian Pambudi

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Judul Penelitian

Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Dan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis. Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat Analisis Faktor – Faktor yang Berhubungan Penyakit Leptospirosis Di Puskesmas Kedungmundu 2011

2. Tempat Kecamatan Candisari Rumah Sakit Dr.

Kariadi Semarang Puskesmas Kedungmundu 3. Rancangan

(24)

(1) (2) (3) (4) (5) 4. Variabel

Bebas Strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus, keberadaan air yang menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah.

Kondisi selokan, karakteristik

genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan

sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air

5. Teknik

sampling Sistem random sampling sampling Sistematik random sampling Simple random sampling

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Candisari Kota Semarang. 1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus 2012. 1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan

(25)

2.1.1 Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri yang berbentuk spiral dari genus leptospira patogen, menyerang hewan dan manusia. Definisi zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya (Depkes RI, 2005:1)

Bakteri zoonosis sebagai aspek penyebab leptospirosis. Dari aspek transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonosi (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit ini bebas berkembang di alam, di kalangan hewan liar maupun domestik, dan manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut termasuk golongan anthropozoonosis. Gambaran klinis penyakit leptospirosis pada manusia meliputi: demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus, dan ada tanda – tanda kerusakan pada ginjal (Depkes RI,2005:1).

2.1.1.1 Etiologi

(26)

tarrasovi, L. panama, L. andamana, L. shemonai, L. ranarum, L. bufonis, L. copenhageni, L. australis, L. cynopteri. Jenis yang paling sering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagiae dengan tikus sebagai reservoirnya, L. canicola dengan anjing sebagai reservoirnya, dan L.pamona dengan sapi dan babi sebagai reservoirnya (Djoni Djunaedi, 2007:20).

2.1.1.2 Epidemiologi

(27)

2.1.1.3 Patogenesis

Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau makanan yang terkontaminasi denga leptospira. Selaput mukosa dan kulit yang terluka merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira patogenik. Setelah masuknya bakteri ini, terjadi infeksi yang tersebar di seluruh tubuh termasuk cairan serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul lesi pada tempat masuk. Gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya Leptospira di tempat tersebut, yang secara normal terlindung (Rusmini, 2011:86-88).

Leptospira secara cepat dieliminasi dari semua jaringan tubuh hospes, kecuali pada otak, mata, dan ginjal. Leptospira yang bertahan hidup pada otak dan mata tidak memperbanyak diri, akan tetapi pada ginjal, bakteri ini berkembang biak di dalam tubuli kontorta dan dikeluarkan ke dalam urin. Leptospira bertahan di dalam hospes selama berminggu–minggu hingga berbulan–bulan, dan pada rodensia bakteri ini dapat dikeluarkan melalui urin sepanjang hidup hewan tersebut (Muliawan, 2008:67).

2.1.1.4 Patologi

(28)

Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ–organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah (Aru W. Sudoyo, dkk.,2006:1845).

2.1.1.5 Morfologi

Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5–25 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1–0,2 μm. Salah satu ujung organisme seringkali bengkok, membentuk kait. Bentuk yang demikian menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur atau berbelok. Leptospira dapat dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28– 30°C (Muliawan, 2008:65).

2.1.1.6 Struktur

2.1.1.6.1 Struktur Umum

Leptospira memiliki ciri umum yang berbeda dari bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3 – 5 lapis, atau disebut juga envelop. Di bawah membran luar ini terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helical, serta membran sitoplasma. Kedua lapisan ini meliputi isi sitoplasma dari sel. Struktur yang dikelilingi membran luar tersebut, secara kolektif dinamakan silinder protoplasmik.

(29)

periplasmik. Leptospira memiliki flagella periplasmik, masing – masing berpangkal pada setiap ujung sel. Ujung bebas flagella periplasmik berjalan ke arah pusat sel, tetapi tidak bertumpang tindih seperti Spirochaeta lainnya. Leptospira berbeda denga spirochaeta lainnya, karena tidak mempunyai zat glikopid tetapi memiliki asam diaminopimelat sebagai pengganti ornitin pada bahan peptidoglikannya (Muliawan, 2008:67).

2.1.2 Cara Penularan Bakteri Leptospira

Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira melalui kontak dengan air,

tanah (lumpur), dan tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan – hewan penberita leptosirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui

selaput lendir (mukosa) mata, hidung, atau kulit yang lecet dan kadang – kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oelh urin tikus yang telah terkontaminasi oleh Leptospira (Depkes RI, 2005:8).

Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersama dengan proses infeksi pada semua resevoar Leptospira. Namun masuknya kuman secara kuantitatif berbeda, bergantung kepada agen, host dan lingkungan. Melalui cara lain dapat saja terjadi yaitu melaui permukaan mukosa, misalnya melalui abrasi, mukosa, saluran hidung atau konjungtiva. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya

(30)
[image:30.612.134.510.279.543.2]

Gambaran klinis akan bervariasi bergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan, dan umurnya. Kuman ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem imunitas tubuh akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan ginjal, serta berada si tubular ginjal (Depkes RI, 2005:8).

Orang dengan profesi tertentu seperti petani yang mengerjakan sawah, petugas rumah potong hewan, dokter hewan yang menangani ternak, mempunyai kecenderungan besar terinfeksi bakteri. Tikus yang mempunyai kesempatan bergerak luas melampaui batas–batas kepemilikian lahan merupakan sumber penularan yang potensial (Soeharsono, 2002:41).

2.1.3 Resevoar Penular

Hewan–hewan yang menjadi sumber penularan adalah rodent (tikus), babi,

sapi, kambing, domba, kuda, kucing, anjing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat berperan sebagai karier dari Leptospira (Rusmini, 2011:43-44).

2.1.4 Gejala Klinis

Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dai infeksi subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan yang berat dan berpotensi fatal yaitu penyakit weil (weil’s disease atau weil’s syndrome). Karena

variasi klinik penyakit ini luas, maka penyakit ini biasanya mirip dengan infeksi dengue, malaria ringan atau berat, demam typhoid, hepatitis virus, infeksi

(31)

Selain pembagian gambaran klinis diatas, Soeharyo Hadisaputro, 2002, Iskandar Z; Nelwan RHH, Suhendro, dkk, 2002, membagi leptospirosis menurut perjalanan penyakitnya menjadi 3 fase yaitu:

2.1.4.1 Fase Pertama

Pada masa leptospiremia akan dijumpai leptospira dalam darah, timbul keluahan sakit kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri otot hebat terutama pada paha, betis yang diikuti dengan hiperaestesia. Beberapa penderita mengeluh nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Keluhan batuk dan sakit dada dijumai pada hampir semua kasus, sedangkan batuk darah sangat jarang ditemukan.

Tanda fisik dianggap khas adalah conjuctival suffusion, pertama kali

timbul pada hari ke 3 (tiga) atau ke 4 (empat), yang disertai dengan sklera mata berwarna kuning dan adanya photophpbia. Tanda lain dapat berupa kemerahan pada kulit berbentuk makula, makulopapula ataupun urtikaria, dan perdarahan kulit. 25% kasus dapat dijumpai penurunan kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan oliguria yang kadang juga dijumpai splenomegelia, hepatomegali, atau limfadenopatia.

2.1.4.2 Fase Kedua (Fase Immune)

(32)

Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, dapat terjadi gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan. 2.1.4.3 Fase Ketiga (Fase Convalescent)

Pada fase ini terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan pulihnya kesadaran, ikterus menghilang, tekanan darah menjadi normal kembali, serta perbaikan produksi urin. Fase ini terjadi bila pada minggu kedua sampai minggu keempat degan petogenesis yang masih belum jelas, demam, serta nyeri otot masih dijumpai, yang kemudian berangsur–angsur hilang.

2.1.5 Penyebab Penyakit (Agent)

Bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral termasuk dalam ordo spirochaetales dalam famili trepanometaceae. Bentuk spiral denga pilinan yang rapat dengan ujung – ujungnya yang bengkok seperti dari bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju, mundur maupun melengkung karena ukurannya yang sangat kecil. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Depkes RI, 2005:6).

(33)

selnya baik pada salah satu maupun keduanya biasanya terikat pada semacam kait. Dua filamen aksial (flagella periplasmik) dengan insersi polar terletak pada ruang perplasmik. Struktur protein flagella sangat komplek, leptospira memperlihatkan dua bentuk yang berbeda dalam pergerakannya, translatasi dan nontranslatasi. Leptospira dapat diwarnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Bakteri ini bersifat aerobik obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28°C–30°C dan pH 7,2– 80. Menghasilkan katalase dan oksidase, tumbuh pada media sederhana yang kaya dengan vitamin (vit B2 dan B12 adalah faktor pertumbuhan), asam lemak rantai panjang, dan garam amonium. Asam lemak rantai panjang digunakan sebagai sumber karbon tunggal dan metabolisme oleh α oxidase (Depkes RI, 2005:6).

Leptospira relatif mudah dikultur dalam kondisi aerobik, suhu 28°C–30°C. Genus leptospira dibagi dalam 2 spesies, yaitu L. interrogans (patogen) dan L. biflexa, mengandung strain saprofitik yang diisolasi dari lingkungan. L. biflexa dibedakan dari L. interrogans dengan melihat pertumbuhan pada suhu 13°C (Depkes RI, 2005:6).

Kedua spesies tersebut di atas, L interrogans dan L.biflexa dibagi dalam sejumlah serovar yang telah ditetapkan dalam aglutinas setelah absorbsi silang dengan antigen homolog. Jika pada uji ulangan selalu terdapat lebih dari 10% titer homolog pada sekurang–kurangnya satu dari dua antisera, maka pada dua strain tersebut dnyatakan sebagai dua serovar yang berbeda (Depkes RI, 2005:6).

2.1.6 Faktor Risiko Manusia Terinfeksi Bakteri Leptospirosis 1. Petani dan peternak serta tukang potong hewan

(34)

3. Dokter/mantri hewan

4. Penebang kayu, pekerja selokan dan perkebunan 5. Berenang di sungai

6. Bersampan 7. Kemping

8. Berburu/kegiatan di hutan 9. Anjing piaraan dan hewan ternak 10. Genangan air hujan

11. Lingkungan tikus

12. Banjir (Aru W. Sudoyo, 2007:1824) 2.1.7 Diagnosis klinis dan diagnosis banding

Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.

2.1.7.1 Anamnesis

(35)

semakin lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha (Rusmini,2011:103).

2.1.7.2 Pemeriksaan fisik

Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik,demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesisi hemoragik (Rusmini, 2011:104-105).

2.1.7.3 Pemeriksaan laboratorium

2.1.7.3.1 Pemeriksaan laboratorium umum

Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk menentukan diagnosis leptospirosis. Yang termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu pemeriksaan darah, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan fungsi hati

2.1.7.3.2 Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri leptospira dapat secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau antigennya dan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap bakteri leptospira dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur, mikroskopis, inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.

(36)

harus dikorelasikan dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat pajanan dan faktor risiko lain.

2.1.7.4 Pemeriksaan Langsung

Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining, pemeriksaan molekuler, biakan, dan inokulasi hewan percobaan 2.1.7.5 Pemeriksaan tidak langsung/serologi

Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu

20-250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi antara lain Microscopic Agglutination Test (MAT), Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan

Uji Serologi Penyaring 2.1.8 Tikus

2.1.8.1 Klasifikasi Tikus

Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk menggolongkannya ke dalam ordo rodensia (hewan yang mengerat), subordo Myormorpha, famili amauridae, dan sub famili Murinae.

2.1.8.2 Biologi

(37)

Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing sepasang. Gigi seri ini secara cepat akan tumbuh memanjang sehingga merupakan alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan graham. Karakterisitik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya. Semua rodensia komersal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis rodensia adalah Rattus norvegicus, Rattus diardi, Mus muculus. Rattus norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang di tanah, dan hidup di lubang tersebut. sebaliknya Rattus diardi (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tapi di semak-semak atau di atap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus. Mus muculus selalu berada di dalam bangunan rumah, sarangnya bisa ditemui didalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau laci.

2.1.8.3 Kebiasaan-Kebiasaan Tikus

(38)

2.1.9 Pengobatan penderita/tersangka

Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doxycycline, ampicilin, amoxicillin, penicillin, dan erithromycin yang sebaiknya diberikan pada hari munculnya gejala klinis, karena pengobatan setelah hari kelima sakit tidak akan banyak menolong. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi terjadinya leptospirosis (Rusmini, 2011:109).

2.1.10 Pengendalian leptospirosis di masyarakat

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran dapat terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk di sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian. Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira pada manusia yang meliputi :

2.1.10.1 Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.

(39)

terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah bekerja, terutama pekerja laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci alat - alat kerja dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan deterjen.

2.1.10.2 Melindungi sanitasi air minum penduduk.

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan-bahan kimia, sehingga jumlah dan virulensi leptospira berkurang.

2.1.10.3 Pemberian Vaksinasi.

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan efektif untuk mencegah leptospirosis (Dharmajono, 2002:7).

2.1.10.4 Pencegahan dengan antibiotik.

Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara intramuskuler dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk pencegahan.

2.1.10.5 Pengendalian hospes perantara leptospira

(40)

pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah busuk dibuang.

2.1.10.6 Usaha promotif

Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa leptospirosis merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama, oleh karena itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan / kedokteran, dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat. Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.

2.2 Sanitasi Rumah 2.2.1 Definisi

Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat (Mukono, 2000:155).

(41)

rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (Mukono, 2000:155).

2.2.2 Kriteria Rumah Sehat

Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan, dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu

2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindunginya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, persyaratan garis sempadan jalan konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2005: 24).

(42)

2.2.2.1 Bahan Bangunan

A. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:

1) Debu total tidak lebih dari 150 µg m3

2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam 3) Timah hitam tidak lebih dari 300 mg/kg

B. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme pathogen.

2.2.2.2 Komponen dan Penataan Ruang Rumah

Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut:

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan b. Dinding:

Ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan.

c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

d. Bumbungan rumah yang memiliki ketinggian 10 meter atau lebih harus dilengkapi dengan penangkal petir.

(43)

f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap. 2.2.2.3 Pencahayaan

Pencahayaan alami yaitu berasal dari sinar matahari yang masuk ke dalam rumah dan atau pencahayaan buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan. 2.2.2.4 Kualitas Udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut: a. Suhu udara nyaman berkisar antara 16°C sampai 30°C

b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70% c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam d. Pertukaran udara = 5 kaki kubik per menit per penghuni e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam f. Konsentrasi gas formaklehid tidak melebihi 120 mg/m3 2.2.2.5 Ventilasi

Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

2.2.2.6 Binatang Penular Penyakit

Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah. 2.2.2.7 Air

a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari. b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air

(44)

2.2.2.8 Tersedianya Sarana Penyimpanan Makanan yang Aman 2.2.2.9 Limbah

a. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah.

2.2.2.10 Kepadatan Hunian

Luas rumah minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang.

2.2.3 Faktor Kondisi Sanitasi Rumah yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis Kondisi sanitasi rumah berpengaruh terhadap terjadinya leptospirosis. Sanitasi rumah merupakan segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar rumah. Beberapa aspek kondisi sanitasi rumah yang berkaitan dengan kejadian leptospirosis meliputi : kondisi selokan, karakteristik genangan air, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah, kejadian banjir, keberadaan tikus di dalam rumah, kepadatan hunian, tempat penyediaan makanan di dalam rumah, serta intensitas cahaya di dalam rumah.

2.2.3.1 Kondisi Selokan

Kondisi selokan yang digunakan untuk mengalirkan limbah rumah tangga harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut : tidak ada genangan air di sekitar rumah akibat luapan dari selokan, saluran tertutup atau diresapkan dan kondisi selokan lancar tidak tersumbat (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:24).

(45)

Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia produktif dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang padat penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumum. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia (Depkes RI, 2003).

2.2.3.3 Sarana pembuangan air limbah

Air limbah rumah tangga disalurkan pada tempat pembuangan limbah yang telah tersedia di setiap rumah masing – masing tanpa menimbulkan bau tidak sedap dan pencemaran lingkungan (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009).

2.2.3.4 Sarana pembuangan sampah

Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus. Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 m dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari 500 m (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:26). 2.2.3.5 Kejadian banjir

(46)

RI, 2003). Leptospirosis berhubungan dengan musim hujan, dan musim hujan inilah yang sering menyebabkan banjir di beberapa wilayah.

2.2.3.6 Keberadaan tikus di dalam rumah

Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus). Ada tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah yang ditandai dengan ada tidaknya lubang tikus atau kotoran tikus.

2.2.3.7 Keberadaan hewan peliharaan

Selain pada tikus, Leptospira juga dapat menginfeksi hewan lain seperti sapi, anjing, kuda, kambing, domba dan babi. Meskipun pada hewan- hewan tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi. Seperti Canicola pada anjing dan Pomona pada babi dan sapi.

2.2.3.8 Kepadatan hunian

Menetapkan luas rumah, jumlah dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah. Rumah yang dihuni oleh banyak orang dan ukuran luas rumah tidak sebanding dengan jumlah orang maka akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan penyakit dan infeksi (Dinkes Prov Jateng, 2005).

(47)

keluarga). Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di rumah. Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m2) dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah (Mukono, 2000:156).

2.2.3.9 Intensitas cahaya di dalam rumah

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari, disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya alami, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai bukan menyinari dinding (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:170-171).

Selain sebagai penerangan, cahaya berperan pula sebagai germic

(48)

gelombang-gelombang elektromagnetik dan karena itu cahaya mempunyai energi (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:170-171).

Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah menggunakan luxmeter, yang diukur pada pukul 09.00-15.00 WIB dan membagi beberapa titik pengukuran dengan jarak antara titik sekitar 1 meter, dilakukan dengan tinggi luxmeter kurang lebih 85 cm diatas lantai dan posisi photo cell menghadap sumber cahaya, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 60 lux. Menurut WHO, kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai keperluan khusus untuk pencahayaan dalam rumah adalah 60-120 lux (Dinkes Prov Jateng, 2005).

2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis 2.3.1 Umur

(49)

pada umur 15-44 tahun dengan penderita sebanyak 22 penderita (Depkes RI, 2006:8, Dinkes Kota Semarang, 2010).

2.3.2 Status Gizi

Daya tahan tubuh bagi penderita leptospirosis dapat didukung oleh status gizi yang baik. Hal ini disebabkan karena status gizi yang baik adalah parameter yang baik untuk mendeteksi bahwa proses metabolisme gizi dalam keadaan normal. Metabolisme gizi yang normal adalah syarat terpenuhinya berbagai kebutuhan fisiologis tubuh untuk bertahan hidup (survival), termasuk kemampuan imunologi tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi. Status gizi bagi pasien leptospirosis memiliki pengaruh nyata terhadap daya tahan tubuhnya. Hal ini disebabkan status gizi yang baik adalah proteksi yang baik untuk melawan virus patogen dalam tubuh. Sistem imunologi yang didukung sepenuhnya oleh protein tubuh, akan memberikan pertahanan maksimal dan mengurangi efek kerusakan jaringan akibat infeksi virus dan bakteri oleh tubuh. Interaksi antara infeksi termasuk penyakit leptospirosis dan gizi didalam tubuh seseorang dikemukakan sebagai suatu peristiwa sinergik, selama terjadinya infeksi status gizi akan menurun dan dengan menurunnya status gizi orang tersebut menjadi kurang resisten terhadap infeksi. Respons imun menjadi kurang efektif dan kuat ketika seseorang mengalami gizi kurang.

2.3.3 Status Ekonomi

(50)

termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat tidak terpenuhi maka dapat melemahkan daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit (Indan Entjang, 2000:24).

Derajat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Masyarakat miskin biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit. Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Peserta program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu, yang terdaftar dan memiliki kartu sehingga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

2.4 PHBS Tatanan Rumah Tangga 2.4.1 Pengertian PHBS di Rumah Tangga

PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga, Dinkes Prov. Jateng, 2010). 2.4.2 Tujuan PHBS di Rumah Tangga

Tujuan PHBS di rumah tangga antara lain adalah sebagai berikut: 2.4.2.1 Tujuan Umum

(51)

2.4.2.2 Tujuan Khusus

1. Meningkatnya pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

2. Anggota rumah tangga berperan aktif dalam gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat.

2.4.2.3 Manfaat PHBS di Rumah Tangga

Manfaat PHBS di Rumah Tangga adalah sebagai berikut : 2.4.2.3.1 Bagi Rumah tangga itu sendiri

1) Setiap anggota keluarga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit. 2) Anak tumbuh sehat dan cedas

3) Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat

4) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga.

2.4.2.3.2 Bagi masyarakat

1) Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat.

2) Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatannya.

3) Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.

(52)

2.4.2.3.3 Bagi Pemerintah Kota / Kabupaten

1) Peningkatan prosentase Rumah Tangga sehat menunjukkan kinerja dan citra Pemerintah Kabupaten / Kota yang baik.

2) Biaya yang tadinya dialokasikan untuk menanggulangi masalah-masalah kesehatan dapat dialihkan untuk pengembangan lingkungan yang sehat dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau. 3) Kabupaten / Kota dapat dijadikan pusat pembelajaran bagi daerah lain dalam

pengembangan PHBS di Rumah Tangga.

(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).

2.4.3 Indikator Penilaian PHBS Tatanan Rumah Tangga

Indikator PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu alat ukur atau merupakan suatu petunjuk yang membatasi fokus perhatian untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan di rumah tangga. Indikator PHBS tatanan rumah tangga diarahkan pada aspek program prioritas yaitu KIA, Gizi, Kesehatan Lingkungan, Gaya Hidup, dan Upaya Kesehatan Masyarakat.

Indikator PHBS tatanan rumah tangga yang digunakan di Jawa Tengah terdapat 16 variabel, yang terdiri dari 10 indikator Nasional dan 6 indikator lokal Jawa Tengah. Indikator – indikator tersebut adalah sebagai berikut :

2.4.3.1 Indikator Nasional

(53)

2. Bagi rumah tangga yang memiliki bayi, apakah bayinya mendapat ASI ekslusif selama usia 0 sampai 6 bulan

3. Anggota rumah tangga mengkonsumsi beranekaragam makanan dalam jumlah cukup untuk mencapai gizi seimbang

4. Anggota rumah tangga menggunakan/memanfaatkan air bersih 5. Anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat

6. Anggota rumah tangga menempati ruangan rumah minimal 9 m2 per orang 7. Anggota rumah tangga menggunakan lantai rumah kedap air

8. Anggota rumah tangga melakukan aktifitas fisik/olahraga 9. Anggota rumah tangga tidak merokok

10.Anggota rumah tangga menjadi peserta JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan)

2.4.3.2 Indikator lokal Jawa Tengah 1. Penimbangan Balita

2. Anggota rumah tangga membuang sampah pada tempat yang semestinya 3. Anggota rumah tangga terbiasa mencuci tangan sebelum makan dan sesudah

BAB

4. Anggota rumah tangga menggosok gigi minimal 2 kali sehari

5. Anggota rumah tangga tidak minum miras dan tidak menyalahgunakan narkoba

(54)

2.4.4 Peran Anggota Rumah Tangga

1. Menerapkan PHBS di rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari

2. Mengajak anggota rumag tangga lain untuk ber-PHBS melalui kelompok dasawisma

3. Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat terkait PHBS seperti posyandu, gerakan PSN dan sebagainya.

4. Menjadi kader untuk memberdayakan anggota rumah tangga di masyarakat bekerjasama tim ditinggat desa melalui penyuluhan perorangan, penyuluhan kelompok dan penyuluhan massa.

(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).

2.4.5 Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga

[image:54.612.129.511.262.651.2]

Tingkatan strata tersebut antara lain sehat pratama, sehat madya, sehat utama dan sehat paripurna. Strata rumah tangga dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Strata PHBS Di Rumah Tangga

Strata Kriteria Sehat Pratama (Warna Merah)

Sehat Madya (Warna Kuning) Sehat Utama (Warna Hijau) Sehat Paripurna (Warna Hijau)

Apabila nilai rumah tangga antara 0 s/d 5

Apabila nilai rumah tangga antara 6 s/d 10

Apabila nilai rumah tangga antara 11 s/d 15

(55)
[image:55.612.130.505.165.552.2]

Tabel 2.2 Strata Kelompok (RT,RW, DESA/KELURAHAN, KECAMATAN, KABUPATEN/KOTA)

Strata Kriteria Sehat Pratama (Warna Merah)

Sehat Madya (Warna Kuning)

Sehat Utama (Warna Hijau)

Sehat Paripurna (Warna Hijau)

Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

mencapai 0 s/d 24,4%

Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

mencapai 24,5 s/d 49,4%

Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

mencapai 49,5 s/d 74,4%

Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

(56)
[image:56.612.134.506.121.598.2]

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005, Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009, Kepmenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, Djoni Djunaedi 2007, Mukono 2000, Soekidjo Notoatmodjo 2007, Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Dinkes Prov. Jateng 2010.

(57)
[image:57.612.133.503.163.560.2]

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Strata PHBS tatanan rumah tangga Kondisi selokan

Intensitas cahaya di dalam rumah Keberadaan tikus di dalam rumah Keberadaan hewan peiharaan Keberadaan air yang menggenang Sarana pembuangan air limbah Sarana pembuangan sampah

Kejadian Leptospirosis

Variabel Pengganggu : Umur

Status ekonomi Kejadian banjir

(58)

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dengan kejadian leptospirosis.

2) Ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis. 3) Ada hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian leptospirosis. 4) Ada hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.

5) Ada hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian leptospirosis.

6) Ada hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan kejadian leptospirosis.

7) Ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian leptospirosis.

8) Ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian leptospirosis.

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian

Pada dasarnya metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol, yaitu suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan retrospektif (Soekidjo, 2005:150).

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas

(59)

setempat yang meliputi beberapa strata rumah tangga antara lain sehat pratama, sehat madya, sehat utama, dan sehat paripurna. Dan sanitasi rumah yaitu usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap tempat tinggal untuk tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Dan sanitasi rumah tersebut meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus, keberadaan hewan peliharaan, keberadaan air yang menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah. 3.4.2 Variabel Terikat

Kejadian leptospirosis di kecamatan Candisari Kota Semarang. 3.4.3 Variabel Pengganggu

Variabel pengganggu tidak diteliti, tetapi dikendalikan dengan cara restriksi/dihilangkan. Variabel-variabel tersebut adalah umur, status ekonomi, kejadian banjir.

[image:59.612.140.507.250.670.2]

3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

Nama Variabel Definisi Operasional Alat Cara Ukur Kriteria Skala

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Strata PHBS tatanan rumah tangga Tingkatan kualitas PHBS dalam rumah tangga yang terdiri dari sehat pratama, sehat madya, sehat utama dan sehat paripurna (PHBS Tatanan Rumah Tangga 2010). Kuesi oner Wawan cara

1. Baik jika strata PHBS Tatanan Rumah Tangga termasuk sehat utama dan paripurna.

(60)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Kondisi selokan Kondisi saluran yang digunakan untuk mengalirkan limbah rumah tangga yang dihasilkan. Kuesi oner wawan cara 1.Memenuhi syarat jika tidak ada genangan air di sekitar rumah, saluran tertutup atau diresapkan dan kondisi selokan lancar tidak tersumbat. 2.Tidak memenuhi

syarat jika ada genangan air di sekitar rumah, saluran tidak tertutup, tidak diresapkan dan kondisi selokan tidak lancar (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:24) Ordinal Intensi tas cahaya Banyaknya sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan rumah. Pengukuran dilakukan di dapur dan kamar mandi. Waktu pengukuran dilakukan pada pukul 09.00-15.00 WIB. Lux meter Pengu kuran lang sung 1. Memenuhi syarat jika pengukuran ≥ 60 - ≤ 120 lux 2.Tidak memenuhi

syarat

jika:Pengukuran < 60 lux dan Pengukuran >

120 lux (Kepmenkes RI, 1999). Ordinal Kebera daan tikus Ada tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah yang ditandai dengan ada tidaknya lubang tikus atau kotoran tikus. Kuesi oner Wawan cara 1.Memenuhi syarat jika tidak terdapat tikus, lubang tikus atau kotoran tikus. 2.Tidak memenuhi

syarat jika terdapat tikus, lubang tikus atau kotoran tikus (Dinkes Prov Jateng 2005).

(61)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Kebera daan hewan peliha raan Ada tidaknya hewan peliharaan yang dapat terinfeksi Leptospira (kucing, sapi, anjing, kuda, kambing, domba, babi) yang dimiliki. Kuesi oner Wawan cara

1. Baik jika tidak memiliki hewan peliharaan.

2. Kurang baik jika memiliki hewan peliharaan. Ordinal Kebera daan air yang mengge nang

Ada tidaknya air yang menggenang di dalam dan sekitar rumah (± 5 meter) saat musim hujan. Kuesi oner Wawan cara

1.Baik jika tidak terdapat air yang menggenang 2.Tidak baik jika

terdapat air yang menggenang Ordinal Sarana pembua ngan air limbah Tempat pembuangan air limbah rumah tangga yang digunakan oleh keluarga tersebut. Kuesi oner Wawan cara 1. Memenuhi syarat, jika saluran tertutup dan diresapkan. 2. Tidak memenuhi syarat, jika saluran terbuka dan tidak diresapkan (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005). Ordinal Sarana pembu angan sampah Tempat pembuangan sampah rumah tangga yang digunakan oleh keluarga tersebut. Kuesi oner Wawan cara 1. Memenuhi syarat, jika sampah diangkut tidak melebihi 3 x 24 jam, tertutup dan kedap air. 2. Tidak

memenuhi

syarat, jika sampah

diangkut lebih dari 3 x 24 jam, terbuka dan tidak kedap air. (Dinkes

propinsi Jawa Tengah

(62)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Kejadian leptospi Rosis Penderita yang tinggal di kecamatan Candisari yang menderita leptospirosis oleh dokter melalui pemeriksaan klinis dan konfirmasi laboratorik (MAT). Re kam medik Melihat data sekun der 1. Menderita leptospirosis 2. Tidak menderita leptospirosis Ordinal

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian 3.6.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian (Soekidjo Notoatmojo, 2005:79). Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita Leptospirosis yang tinggal di Kecamatan Candisari pada tahun 2009-2011. Populasi pada penelitian ini dibagi dua, yaitu populasi kasus dan populasi kontrol. Pada penelitian ini sekelompok kasus (kelompok yang menderita efek/penyakit yang sedang diteliti) dibandingkan dengan kelompok kontrol (kelompok yang tidak menderita/penyakit yang sedang diteliti). Penelitian dilakukan dengan cara mengidentifikasi penderita dengan efek atau penyakit tertentu dan kelompok tanpa efek disebut kontrol. Populasi pada penelitian ini berjumlah 41 orang.

3.6.1.1 Populasi Kasus

(63)

wilayah Kecamatan Candisari selama periode Januari 2009 sampai Desember 2011 yaitu sejumlah 41 orang.

3.6.1.2 Populasi Kontrol

Kelompok kontrol adalah orang yang tidak menderita efek atau tanpa efek. Pada penelitian ini populasi kontrol adalah orang yang tidak menderita leptospirosis dan bertempat tinggal di Kecamatan Candisari Kota Semarang selama periode Januari 2009 sampai Desember 2011. Kemudian secara retrospektif (penelusuran ke belakang) diteliti faktor risiko yang dapat menerapkan apakah pada kasus dan kontrol terdapat faktor risiko atau tidak (Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismail,

Gambar

Tabel 4.17: Tabulasi Silang antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian
Gambar 3.1: Kerangka Konsep ..............................................................................
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian Hubungan Strata Perilaku Hidup Bersih dan Sehat tatanan rumah tangga dan kondisi sanitasi lingkungan dengan status BTA pada suspek TB Paru studi

Hasil uji spearman rho antara indikator input tatanan rumah tangga kelurahan siaga aktif purnama dengan pelaksanaan PHBS didapatkan ada pengaruh indikator input

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pemahaman dan keterlibatan dalam Program USRI dengan perilaku hidup bersih dan sehat