• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

DI KOTA TASIKMALAYA SECARA PARTISIPATIF

LELY SYIDDATUL AKLIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Lely Syiddatul Akliyah

NRP. A353 060 181

(3)

ABSTRACT

LELY SYIDDATUL AKLIYAH. Study on Participatory Street Vendors Arrangement in Tasikmalaya Municipality. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN dan BABA BARUS.

The increasing of street vendors in Kota Tasikmalaya requires existence of arrangement that accommodating aspiration of all stakeholders. This thing is supported by bearing of UU No. 26 the year 2007 commending towns in Indonesia is including Kota Tasikmalaya to make guide on space for informal sectors, especially street vendors in RTRW Kota. Therefore, required existence of study about arrangement of street vendors in Kota Tasikmalaya partisipatively including aspiration stakeholder. The aims of research were: 1) Study socio-economics aspects of street vendors, 2) Study consumer characteristic, 3) Study policy of government poured relation RTRW Kota Tasikmalaya of operation and exploiting of space for street vendors, 4) Study street vendors, public, and government aspiration as input in streetvendors settlement. This research executed in BWK I Kota Tasikmalaya in Februari until May 2008.

This research applied survey methods and literature study, where to analyse interrelationship of characteristic street vendors utilized Rank-Spearman Analysis. Consumer characteristic, review of spatial planning policy that relate with street vendors arrangement, and aspiration of public about street vendors arrangement were revealed through descriptive analysis.

Management of pavement for street vendors activity requires institution which is the membership come from the street vendors gathering and formal merchant which have interaction with street vendors caused of the social capital strengness.

Alternative of street vendors settlement models consist of two alternatives. Firstly, in-situ relocation that is arrangement lapak, uniforming of supporting facilities (like wagon, table), arrangement of merchandise type, and time shifting. Second, eks-situ relocation, removes street vendors activity from street (street in town region to a place major to accomodate the street vendors. Each alternative requires prerequisite and arrangement of zonation in operation of exploiting of its (the space). Zoning Regulation is an important part in street vendors settlement to be created orderliness, regularity, and town comfort.

(4)

RINGKASAN

LELY SYIDDATUL AKLIYAH. Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif. Dibimbing oleh Ir. FREDIAN TONNY NASDIAN, MS dan Dr. Ir. BABA BARUS, MSc.

Fenomena pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi isu internasional karena menimbulkan potensi konflik ruang yang akan berdampak negatif bagi ketertiban dan kenyamanan kota. Konflik ruang yang ditimbulkan oleh PKL biasanya terjadi ketika PKL sudah menempati ruang publik kota pada tingkatan tertentu sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi ruang publik tersebut

PKL Kota Tasikmalaya saat ini, juga mengalami perkembangan sehingga memerlukan adanya penataan yang mengakomodasi aspirasi seluruh pihak yang terkait. Hal ini ditunjang dengan lahirnya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 yang mengamanatkan kota-kota di Indonesia termasuk Kota Tasikmalaya untuk membuat arahan ruang untuk sektor informal, khususnya PKL dalam RTRW Kota. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian tentang penataan PKL di Kota Tasikmalaya secara partisipatif yang mencakup aspirasi berbagai pihak. Tujuan penelitian ini diantaranya: 1) Mengkaji aspek sosial ekonomi PKL, 2) Mengkaji karakteristik konsumen, 3) Mengkaji kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya terkait pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk PKL, 4) Mengkaji aspirasi PKL, masyarakat, dan pemerintah sebagai masukan dalam penataan PKL. Penelitian ini dilaksanakan di BWK I Kota Tasikmalaya pada Bulan Februari sampai Mei 2008.

Penelitian ini menggunakan metode survai dan studi pustaka, dimana untuk menganalisis keterkaitan karakteristik PKL menggunakan Analisis Rank-Spearman. Karakteristik konsumen, tinjauan terhadap kebijakan penataan ruang terkait penataan PKL, dan aspirasi masyarakat tentang penataan PKL dilakukan dengan analisis deskriptif. Penyajian peta-peta tematik terkait karakteristik PKL menggunakan Sistem Informasi Geografis.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa Karakteristik PKL Kota Tasikmalaya diantaranya : sebesar 20% sumber modal berasal dari rentenir, rata-rata tidak menggunakan tenaga kerja, merupakan PKL lokal (70,31% dari Kota Tasikmalaya), memiliki himpunan PKL dan kelompok PKL berdasarkan ruas jalan yang ditempati, sebesar 27% PKL bekerjasama dengan pedagang formal dalam rangka memperluas skala usaha pedagang formal. Ditunjang hasil Analisis Sperman yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara keuntungan dengan tingkat pendidikan, lama usaha, modal usaha, dan umur mengindikasikan bahwa untuk menjadi PKL di Kota Tasikmalaya sangatlah mudah karena tidak memerlukan modal yang besar, pengalaman yang banyak, dan pendidikan yang tinggi.

(5)

mendukung visi Kota Tasikmalaya sebagai pusat bisnis di Priangan Timur pada tahun 2012 dan di Jawa Barat pada Tahun 2025.

Kebijakan yang ada belum partisipatif karena belum menyediakan ruang untuk PKL karena kebijakan yang dibuat masih top-down akibatnya aspirasi masyarakat kurang mendapatkan umpan balik.

Pengelolaan trotoar untuk kegiatan PKL Kota Tasikmalaya memerlukan kelembagaan yang keanggotaannya berasal dari himpunan PKL yang ada dan pedagang formal yang berinteraksi dengan PKL akibat kuatnya kapital sosial yang ada.

Alternatif model penataan PKL yang dihasilkan pada penelitian ini terdiri atas dua alternatif. Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berjualan. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan kegiatan PKL dari jalan – jalan di wilayah kota ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung para PKL. Masing-masing alternatif memerlukan prasyarat dan pengaturan zonasi dalam pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Pengaturan zonasi (zoning regulation) ini sangat bermanfaat sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang PKL sehingga merupakan hal penting yang harus ada dalam penataan PKL. Pengaturan zonasi baik untuk alternatif 1 dan alternatif 2 hampir sama, hanya dalam model 2 harus disertai pengaturan zonasi untuk lokasi bekas PKL agar PKL benar-benar tidak kembali ke tempat asal berupa aturan-aturan disertai penguatan kelembagaan yang ada di lokasi bekas PKL untuk menolak kembalinya PKL. Pengaturan Zonasi (Zoning Regulation) ini memegang peranan yang penting dalam penataan PKL Kota Tasikmalaya agar tercipta ketertiban, keteraturan, dan kenyamanan kota.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

KAJIAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

DI KOTA TASIKMALAYA SECARA PARTISIPATIF

LELY SYIDDATUL AKLIYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tesis : Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

Nama : Lely Syiddatul Akliyah NIM : A 353 060 181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan Mei 2008 ini adalah Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. dan Dr. Ir. Baba Barus, MSc. selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah sekaligus dosen penguji luar komisi, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Seluruh Civitas Akademika Universitas Islam Bandung yang memberikan izin pada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB.

4. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2006 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

5. Kedua orang tua penulis, Drs. H. Muslih Munawar, SH. dan Hj. Euis Titi Hartini atas doa dan dukungan yang diberikan.

6. Agus Joni Listiajali, ST. sebagai suami dan anakku M. Zharfan Nafis ‘Aly yang telah banyak berkorban waktu dalam kebersamaan selama penulis mengikuti pendidikan di IPB Bogor.

7. Adik-adikku, Rizal, Rahmi, dan Meila yang telah memberi doa dan dukungan. 8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Bogor, Agustus 2008

Lely Syiddatul Akliyah

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 29 Juli 1980 sebagai anak pertama dari pasangan Drs. H. Muslih Munawar, SH. dan Hj. Euis Titi Hartini. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 22 Bandung dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya di Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 2003.

Tahun 1999 – 2004 Penulis sempat menjadi Asisten Dosen di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung. Tahun 2003 – 2004 Penulis juga sempat bekerja pada konsultan perencana tata ruang dan Tahun 2004, penulis diterima sebagai Dosen Tetap Yayasan di Universitas Islam Bandung pada Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik. Sejak tahun 2006 Penulis memperoleh beasiswa dari Universitas Islam Bandung untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

Tahun 2003 penulis menikah dengan Agus Joni Listiajali, ST. dan saat ini telah dikaruniai seorang putra yang bernama M. Zharfan Nafis ‘Aly.

(11)

KAJIAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

DI KOTA TASIKMALAYA SECARA PARTISIPATIF

LELY SYIDDATUL AKLIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Lely Syiddatul Akliyah

NRP. A353 060 181

(13)

ABSTRACT

LELY SYIDDATUL AKLIYAH. Study on Participatory Street Vendors Arrangement in Tasikmalaya Municipality. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN dan BABA BARUS.

The increasing of street vendors in Kota Tasikmalaya requires existence of arrangement that accommodating aspiration of all stakeholders. This thing is supported by bearing of UU No. 26 the year 2007 commending towns in Indonesia is including Kota Tasikmalaya to make guide on space for informal sectors, especially street vendors in RTRW Kota. Therefore, required existence of study about arrangement of street vendors in Kota Tasikmalaya partisipatively including aspiration stakeholder. The aims of research were: 1) Study socio-economics aspects of street vendors, 2) Study consumer characteristic, 3) Study policy of government poured relation RTRW Kota Tasikmalaya of operation and exploiting of space for street vendors, 4) Study street vendors, public, and government aspiration as input in streetvendors settlement. This research executed in BWK I Kota Tasikmalaya in Februari until May 2008.

This research applied survey methods and literature study, where to analyse interrelationship of characteristic street vendors utilized Rank-Spearman Analysis. Consumer characteristic, review of spatial planning policy that relate with street vendors arrangement, and aspiration of public about street vendors arrangement were revealed through descriptive analysis.

Management of pavement for street vendors activity requires institution which is the membership come from the street vendors gathering and formal merchant which have interaction with street vendors caused of the social capital strengness.

Alternative of street vendors settlement models consist of two alternatives. Firstly, in-situ relocation that is arrangement lapak, uniforming of supporting facilities (like wagon, table), arrangement of merchandise type, and time shifting. Second, eks-situ relocation, removes street vendors activity from street (street in town region to a place major to accomodate the street vendors. Each alternative requires prerequisite and arrangement of zonation in operation of exploiting of its (the space). Zoning Regulation is an important part in street vendors settlement to be created orderliness, regularity, and town comfort.

(14)

RINGKASAN

LELY SYIDDATUL AKLIYAH. Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif. Dibimbing oleh Ir. FREDIAN TONNY NASDIAN, MS dan Dr. Ir. BABA BARUS, MSc.

Fenomena pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi isu internasional karena menimbulkan potensi konflik ruang yang akan berdampak negatif bagi ketertiban dan kenyamanan kota. Konflik ruang yang ditimbulkan oleh PKL biasanya terjadi ketika PKL sudah menempati ruang publik kota pada tingkatan tertentu sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi ruang publik tersebut

PKL Kota Tasikmalaya saat ini, juga mengalami perkembangan sehingga memerlukan adanya penataan yang mengakomodasi aspirasi seluruh pihak yang terkait. Hal ini ditunjang dengan lahirnya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 yang mengamanatkan kota-kota di Indonesia termasuk Kota Tasikmalaya untuk membuat arahan ruang untuk sektor informal, khususnya PKL dalam RTRW Kota. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian tentang penataan PKL di Kota Tasikmalaya secara partisipatif yang mencakup aspirasi berbagai pihak. Tujuan penelitian ini diantaranya: 1) Mengkaji aspek sosial ekonomi PKL, 2) Mengkaji karakteristik konsumen, 3) Mengkaji kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya terkait pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk PKL, 4) Mengkaji aspirasi PKL, masyarakat, dan pemerintah sebagai masukan dalam penataan PKL. Penelitian ini dilaksanakan di BWK I Kota Tasikmalaya pada Bulan Februari sampai Mei 2008.

Penelitian ini menggunakan metode survai dan studi pustaka, dimana untuk menganalisis keterkaitan karakteristik PKL menggunakan Analisis Rank-Spearman. Karakteristik konsumen, tinjauan terhadap kebijakan penataan ruang terkait penataan PKL, dan aspirasi masyarakat tentang penataan PKL dilakukan dengan analisis deskriptif. Penyajian peta-peta tematik terkait karakteristik PKL menggunakan Sistem Informasi Geografis.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa Karakteristik PKL Kota Tasikmalaya diantaranya : sebesar 20% sumber modal berasal dari rentenir, rata-rata tidak menggunakan tenaga kerja, merupakan PKL lokal (70,31% dari Kota Tasikmalaya), memiliki himpunan PKL dan kelompok PKL berdasarkan ruas jalan yang ditempati, sebesar 27% PKL bekerjasama dengan pedagang formal dalam rangka memperluas skala usaha pedagang formal. Ditunjang hasil Analisis Sperman yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara keuntungan dengan tingkat pendidikan, lama usaha, modal usaha, dan umur mengindikasikan bahwa untuk menjadi PKL di Kota Tasikmalaya sangatlah mudah karena tidak memerlukan modal yang besar, pengalaman yang banyak, dan pendidikan yang tinggi.

(15)

mendukung visi Kota Tasikmalaya sebagai pusat bisnis di Priangan Timur pada tahun 2012 dan di Jawa Barat pada Tahun 2025.

Kebijakan yang ada belum partisipatif karena belum menyediakan ruang untuk PKL karena kebijakan yang dibuat masih top-down akibatnya aspirasi masyarakat kurang mendapatkan umpan balik.

Pengelolaan trotoar untuk kegiatan PKL Kota Tasikmalaya memerlukan kelembagaan yang keanggotaannya berasal dari himpunan PKL yang ada dan pedagang formal yang berinteraksi dengan PKL akibat kuatnya kapital sosial yang ada.

Alternatif model penataan PKL yang dihasilkan pada penelitian ini terdiri atas dua alternatif. Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berjualan. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan kegiatan PKL dari jalan – jalan di wilayah kota ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung para PKL. Masing-masing alternatif memerlukan prasyarat dan pengaturan zonasi dalam pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Pengaturan zonasi (zoning regulation) ini sangat bermanfaat sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang PKL sehingga merupakan hal penting yang harus ada dalam penataan PKL. Pengaturan zonasi baik untuk alternatif 1 dan alternatif 2 hampir sama, hanya dalam model 2 harus disertai pengaturan zonasi untuk lokasi bekas PKL agar PKL benar-benar tidak kembali ke tempat asal berupa aturan-aturan disertai penguatan kelembagaan yang ada di lokasi bekas PKL untuk menolak kembalinya PKL. Pengaturan Zonasi (Zoning Regulation) ini memegang peranan yang penting dalam penataan PKL Kota Tasikmalaya agar tercipta ketertiban, keteraturan, dan kenyamanan kota.

(16)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(17)

KAJIAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

DI KOTA TASIKMALAYA SECARA PARTISIPATIF

LELY SYIDDATUL AKLIYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(18)

Judul Tesis : Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif

Nama : Lely Syiddatul Akliyah NIM : A 353 060 181

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, MSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(19)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya Tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai dengan Mei 2008 ini adalah Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. dan Dr. Ir. Baba Barus, MSc. selaku komisi pembimbing.

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah sekaligus dosen penguji luar komisi, beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah.

3. Seluruh Civitas Akademika Universitas Islam Bandung yang memberikan izin pada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB.

4. Sahabat-sahabat PWL, baik kelas reguler maupun khusus angkatan 2006 atas segala dukungan dan kerjasamanya.

5. Kedua orang tua penulis, Drs. H. Muslih Munawar, SH. dan Hj. Euis Titi Hartini atas doa dan dukungan yang diberikan.

6. Agus Joni Listiajali, ST. sebagai suami dan anakku M. Zharfan Nafis ‘Aly yang telah banyak berkorban waktu dalam kebersamaan selama penulis mengikuti pendidikan di IPB Bogor.

7. Adik-adikku, Rizal, Rahmi, dan Meila yang telah memberi doa dan dukungan. 8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Bogor, Agustus 2008

Lely Syiddatul Akliyah

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandung pada tanggal 29 Juli 1980 sebagai anak pertama dari pasangan Drs. H. Muslih Munawar, SH. dan Hj. Euis Titi Hartini. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 22 Bandung dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikannya di Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung. Penulis menamatkan pendidikan pada Januari Tahun 2003.

Tahun 1999 – 2004 Penulis sempat menjadi Asisten Dosen di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung. Tahun 2003 – 2004 Penulis juga sempat bekerja pada konsultan perencana tata ruang dan Tahun 2004, penulis diterima sebagai Dosen Tetap Yayasan di Universitas Islam Bandung pada Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik. Sejak tahun 2006 Penulis memperoleh beasiswa dari Universitas Islam Bandung untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

Tahun 2003 penulis menikah dengan Agus Joni Listiajali, ST. dan saat ini telah dikaruniai seorang putra yang bernama M. Zharfan Nafis ‘Aly.

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengertian Sektor Informal ... 9

2.2 Pengertian PKL ... 10

2.3 Penataan Ruang dan Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang ... 13

2.4 Penataan PKL di Kota-kota di Asia ... 17

2.5 Model-model Penataan PKL di Indonesia ... 24

2.6 Kekuatan dan Potensi dari PKL ... 26

2.7 Pengertian Partisipatif ... 26

2.8 Paradigma Perencanaan Partisipatif ... 27

2.9 Hak dan Rezim Pemilikan ... 29

2.10 Kapital Sosial ... 30

2.11 Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) ... 31

2.12 Sistem Informasi Geografi ... 33

2.13 Kerangka Pemikiran ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.2.1 Pengumpulan Data Sekunder ... 39

3.2.2 Pengumpulan Data Primer ... 39

3.3 Teknik Analisis Data ... 45

3.3.1 Teknik Penyajian Data dengan Tabel, Diagram, Peta, dan Kategori ... 46

3.3.2 Analisis Korelasi Peringkat Spearman (Rank Spear- man) ... 47

3.3.3 Analisis Deskriptif ... 48

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI ... 49

4.1 Wilayah Administrasi dan Letak Geografis ... 49

4.2 Penggunaan Lahan ... 50

4.3 Kependudukan ... 50

4.4 Perekonomian ... 55

(22)

4.6 Industri ... 56 4.7 Tenaga Kerja ... 57

BAB V KARAKTERISTIK PKL DAN KONSUMEN ... 58

5.1 Karakteristik PKL ... 58 5.1.1 Tingkat Pendidikan ... 58

5.1.2 Jenis Usaha (Dagangan) ... 59 5.1.3 Modal Usaha ... 62 5.1.4 Tenaga Kerja ... 63 5.1.5 Lamanya Berprofesi dan Daerah Asal ... 64 5.1.5 Tingkat Pendapatan (Keuntungan) ... 65 5.1.6 Jenis Sarana Perdagangan ... 65 5.1.7 Interaksi Sesama PKL ... 66 5.1.8 Interaksi PKL dengan Pedagan Formal ... 68 5.2 Hubungan Antar Karakteristik PKL ... 68 5.3 Karakteristik Konsumen ... 70 5.4 Karakteristik Pedagang Formal ... 72

5.5 Ringkasan ... 73

BAB VI TINJAUAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHA- DAP PENATAAN PKL ... 75 6.1 Tinjauan Kebijakan Penataan Ruang Kota Tasikmalaya

Terhadap Penataan PKL ... 75 6.1.1 Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya 2004-2014 ... 75 6.1.2 RDTR BWK I dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis 78 6.1.3 Perda No. 7 Tahun 2005 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum ... 80 6.2 Ringkasan ... 85

BAB VII ASPIRASI MASYARAKATDALAM PENATAAN PKL 87

7.1 Aspirasi Parapihak dalam Penataan PKL di Kota

Tasikmalaya ... 87 7.2 Model Penataan PKL Kawasan Dadaha ... 90 7.3 Tinjauan Terhadap Trayek Angkutan Umum ... 95 7.4 Ringkasan ... 98

BAB VIII ANALISIS MODEL PENATAAN PKL DI KOTA

TASIKMALAYA ... 100 8.1 Analisis Keterkaitan Karakteristik PKL, Kebijakan

Penataan Ruang tentang Penataan PKL, dan Aspirasi

Masyarakat tentang Penataan PKL ... 100 8.2 Pengaturan Zonasi (Zoning Regulation) dalam Penataan

PKL ... 102 8.3 Alternatif Model Penataan PKL Kota Tasikmalaya ... 103

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

(23)

9.2 Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya Tahun 2006 ... 6 2 Peranserta Masyarakat dalam Tiga Tahapan Penataan Ruang ... 15 3 Matriks Peranserta Stakeholder dalam Penataan Ruang ... 17 4 Jumlah Responden Masing-masing Stakeholder ... 42 5 Metode Pengumpulan Data ... 44 6 Aspek yang Diteliti, Variabel, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 45 7 Luas Wilayah Administratif Kecamatan dan Jumlah Wilayah Adminis-

tratif Desa/Kelurahan ... 49 8 Luas dan Presentase Distribusi Penggunaan Lahan di Kota Tasikmalaya 50 9 Persebaran dan Kepadatan Penduduk Kota per Wilayah Kecamatan

Di Kota Tasikmalaya ... 53 10 Jumlah Penduduk Usia >15 tahun Menurut Lapangan Usaha di Kota

Tasikmalaya ... 53 11 Indikator Makro Kota Tasikmalaya ... 55 12 Sarana dan Prasarana Perekonomian Daerah Kota Tasikmalaya ... 56 13 Potensi Industri di Daerah Kota Tasikmalaya ... 56 14 Jumlah Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57 15 Jenis Usaha (dagangan) PKL Berdasarkan Lokasi di Kota Tasikmalaya 59 16 Jumlah PKL Pusat Kota Tasikmalaya Berdasarkan Jenis Dagangan .. 60 17 Asal Barang Dagangan yang Dijual PKL ... 62 18 Modal Awal Berdasarkan Jenis Dagangan (Rp) ... 62 19 Jumlah dan Prosentase PKL Kawasan HZ. Mustofa Berdasarkan

Daerah Asal ... 64 20 Jumlah dan Prosentase PKL Kawasan Dadaha Berdasarkan Daerah

Asal ... 64 21 Keuntungan per Hari Berdasarkan Jenis Dagangan (Rp per hari) ... 65 22 Koefisien Korelasi antara Keuntungan, Lama Usaha, Pendidikan, Modal,

(25)

23 Rata-rata Keuntungan PKL Berdasarkan Lokasi dan Tingkat Kera-

gaman Jenis Dagangan ... 69 24 Opini Stakeholder tentang Keberadaan PKL ... 72 25 Matriks Karakteristik PKL Kota Tasikmalaya ... 74 26 Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penataan Ruang ... 77 27 Pengetahuan PKL dan Masyarakat Kota Tasikmalaya Terhadap Kebera-

daan Perda No. 7 tahun 2005 ... 83 28 Output Korelasi Antara Tingkat Pendidikan PKL dengan Pengetahuan

Tentang Penataan Ruang dan Perda ... 84 29 Matriks Kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang Bersifat Manifes

dan Laten Terkait Penataan PKL ... 85 30 Prosentase Bentuk Penataan PKL Menurut Stakeholder ... 88 31 Alternatif Kebijaksanaan Terhadap Pedagang Kaki Lima di Kota ... 92 32 Kelebihan dan Kelemahan Bentuk Penataan PKL Berdasarkan

Aspirasi Masyarakat Kota Tasikmalaya ... 95 33 Kelebihan dan Kelemahan Kebijaksanaan Struktural dan Edukatif dalam

(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya ... 3 2 Street Market (Kiri) and “Yatai” (Kanan) di Fukuoka City, Jepang .... 18 3 Tipe Kenampakan Spasial dari Penggunaan Sementara ... 18 4 Diagram Taxonomi Penempatan Penggunaan Sementara ... 19 5 Pergeseran Jumlah Yatai di Fukuoka City ... 20 6 Lokasi Yatai di Fukuoka City Down ... 20 7 Tipe Bangunan atau Penggunaan Lahan untuk Yatay ... 20 8 Ukuran dari Penempatan Yatai ... 22 9 Aturan Ukuran dan Alokasi Yatai ... 22 10 Taksonomi Area Konsentrasi Yatai ... 22 11 Kirab Upacara Boyongan Pindahan PKL dari Monumen Banjarsari

(27)

28 Opini Stakeholder Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat dalam

Perencanaan Penataan PKL ... 88 29 Opini Stakeholder Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat dalam

Pemanfaatan Ruang PKL ... 89 30 Opini Stakeholder Tentang Proporsi Peranserta Masyarakat dalam

(28)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(29)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketertiban dan kenyamanan kota (tidiness and convenience) merupakan fungsi turunan terpenting dari penataan ruang kota. Tujuan utama penataan ruang kota adalah terciptanya keserasian antar fungsi kegiatan di dalam ruang kota. Penataan ruang kota ini mutlak diperlukan karena dinamika ruang kota cenderung bergerak ke arah terjadinya kompetisi ruang yang sangat potensial bagi timbulnya konflik ruang. Potensi konflik ini sudah barang tentu harus diantisipasi melalui penataan ruang yang baik.

Fenomena pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi isu internasional karena menimbulkan potensi konflik ruang yang akan berdampak negatif bagi ketertiban dan kenyamanan kota. Konflik ruang yang ditimbulkan oleh PKL biasanya terjadi ketika PKL sudah menempati ruang publik kota pada tingkatan tertentu sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi ruang publik tersebut. Contoh yang umum terjadi adalah terganggunya fungsi trotoar sebagai tempat pejalan kaki dan fungsi jalan sebagai tempat penglaju kendaraan bermotor. Dalam kaitan inilah maka upaya penataan PKL menjadi sangat penting dilakukan sebagai bagian dari penataan ruang kota untuk menjamin terwujudnya ketertiban dan kenyamanan kota. Kini hal itu tertuang dalam Undang-undang penataan ruang yang baru yaitu UU No.26/2007. Salah satu pasal dari UU tersebut yaitu pasal 28c menyebutkan bahwa dalam rencana tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana untuk kegiatan sektor informal. Secara tersirat dari pasal tersebut diamanatkan bagi pemerintah kota untuk menyediakan ruang bagi kegiatan sektor informal, diantaranya PKL.

(30)

Dunia ”modern”, dicirikan oleh sentralisasi ekonomi dan peraturan yang dilatarbelakangi oleh suatu pemikiran untuk menciptakan individu-individu yang semakin efisien dan produktif (economic centered development). Kondisi ini bukan hanya memerlukan perubahan besar dalam struktur dan peranan pemerintah, organisasi bisnis, struktur industri dan sistem pasar, tapi juga dalam budaya dan kehidupan sosial setiap individu, keluarga dan masyarakat. Secara umum, seluruh aspek kehidupan harus dibentuk agar sesuai dengan syarat-syarat ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa PKL hampir tidak memiliki tempat di dalam dunia ”modern”. Dalam idealisme dunia modern, segala sesuatunya serba teratur, efisien dan terstruktur (Cross, 1998:33 dalam Bapeda, 2008).

Sebagai konsekuensi logis dalam tatanan dunia modern di atas, kegiatan PKL mengalami tekanan yang luar biasa di hampir seluruh kota-kota dunia. Terlepas dari kritikan bahwa kegiatan PKL tidak efisien, masalah yang sesungguhnya adalah PKL merupakan pesaing utama bagi pedagang pengecer yang masuk kriteria sektor formal. Toko-toko pengecer di sektor formal yang merasa lebih berhak melakukan kegiatan usaha karena telah memenuhi syarat-syarat legal formal, terutama yang berlokasi di tempat yang kurang strategis, memandang PKL sebagai suatu ancaman serius. Oleh karena itu solusi yang dipandang tepat dalam paradigma modern ini adalah melarang, atau menerapkan

over-regulation terhadap kegiatan PKL sambil pada saat yang sama mendesain ulang ruang kota sehingga benar-benar tidak ada ruang lagi bagi kegiatan PKL. Proyek-proyek Sub-urban, Subdivision, Urban Decay dan Urban Renewal

merupakan contoh-contoh yang telah terjadi di negara-negara maju. Di beberapa negara berkembang juga telah terjadi proses yang sama, namun dengan tingkat keberhasilan yang berbeda sehubungan dengan kurangnya penetrasi kaum modernis dalam masyarakat dan semakin menguatnya ekonomi informal untuk berkembang dan bertahan terhadap tekanan kaum modernis tersebut.

(31)

sendiri – suatu hak yang nyaris hilang dalam tatanan masyarakat industri akhir-akhir ini. Hal ini tercermin dalam kemunculan kembali usaha-usaha kecil sejak 1980-an, seiring dengan kebangkitan kelompok menengah dalam menentang upah buruh yang rendah (Cross, 1998:33 dalam Bapeda, 2008).

Post-modernisme dicirikan dengan karakteristik adanya pengakuan dan penghargaan atas hak setiap individu dalam mengontrol dirinya sendiri. Karakteristik tersebut pada hakikatnya merupakan esensi dari proses pembangunan yang bertumpu pada komunitas (community-based development)

yang secara umum kemudian lebih dikenal sebagai pembangunan partisipatif

(participatory development) yang mengubah paradigma pembangunan dari

economic centered development menjadi people centered development.

[image:31.612.224.417.404.580.2]

Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya saat ini, belum sepadat kota-kota besar di Indonesia. Namun, kecenderungan jumlah PKL setiap tahunnya selalu meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya fungsi trotoar jalan bagi pedestrian akibat ruang ini digunakan oleh PKL untuk melakukan kegiatannya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1

Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya

(32)

Namun demikian, kondisi PKL di Kota Tasikmalaya belum seruwet yang terjadi di kota besar seperti Kota Bandung. Walaupun demikian, penataan PKL harus segera dilakukan karena ada kecenderungan seperti di Jalan KH. Zaenal Mustofa akan dibangun lagi sebuah mall maka diperkirakan penyebaran PKL sepanjang jalan akan semakin melebar. Hal ini harus segera diantisipasi jangan sampai menunggu sampai kegiatan itu menjadi makin liar.

Kota Tasikmalaya adalah kota pusat pertumbuhan di kawasan priangan timur, kondisi ini akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kota yang lebih cepat di bandingkan dengan kota – kota disekitarnya. Selain itu dengan ”visi” Kota Tasikmalaya yang ingin mewujudkan ”Kota Tasikmalaya sebagai pusat bisnis di Priangan Timur pada tahun 2012 dan di Jawa Barat pada Tahun 2025”, akan menyebabkan semakin banyaknya peluang bisnis yang dapat memacu peningkatan pertumbuhan jumlah Pedagang Kaki Lima. Oleh karena itu sangat dibutuhkan suatu kegiatan penelitian tentang solusi yang tepat untuk menata keberadaan pedagang kaki lima tersebut agar selaras dengan perkembangan penataan kota.

Pada saat ini, bukan tidak ada upaya atau tindakan – tindakan untuk menekan pertumbuhan pedagang kaki lima, tetapi upaya/tindakan tersebut lebih kedalam penertiban bukan dalam proses penataan, sehingga dampak yang dihasilkan adalah dampak sesaat. Namun demikian, proses penataan pun tidak akan berhasil bila dilakukan secara top down atau pun bottom up. Oleh karena itu kajian mengenai penataan PKL di Kota Tasikmalaya ini tidak hanya akan dilakukan dengan metode pendekatan yang bersifat top down ataupun buttom-up, tapi juga harus dilakukan dengan metode pendekatan partisipatif yang memadukan pendekatan emic dan pendekatan etik.

Dengan demikian, perlu dilakukan kajian penataan PKL di Kota Tasikmalaya dalam menciptakan tata ruang yang memiliki keserasian, kenyamanan dan ketertiban baik bagi pedagang kaki lima pada khususnya maupun masyarakat kota pada umumnya.

1.2 Perumusan Masalah

(33)

sedemikian rupa sehingga keberadaanya tidak mengganggu komposisi penataan ruang. Sebelum lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, sektor informal selalu tidak termasuk kedalam kegiatan yang dikembangkan sehingga keberadaannya selalu menimbulkan permasalahan. Pedagang kaki lima merupakan salah satu kegiatan sektor informal yang tidak diakomodir dalam dokumen – dokumen penataan ruang di Kota Tasikmalaya, khususnya dokumen perencanaan tata ruang sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2007.

Permasalahan PKL di Kota Tasikmalaya, jika dirunut sebenarnya merupakan rantai sebab akibat dari permasalahan sosial ekonomi dan penataan ruang di Kota Tasikmalaya. Permasalahan sosial ekonomi tersebut diantaranya ialah masalah tingginya angka kelahiran penduduk, rendahnya pendapatan per kapita penduduk (tahun 2004 Rp. 555.750,00 perkapita/bulan), dan tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga berakibat pada nilai IPM yang masih rendah yaitu 69,07 pada tahun 2004. Dengan kondisi seperti itu, pemerintah Kota Tasikmalaya berusaha untuk meningkatkan nilai IPM melalui beberapa program yang dicanangkan (Proposal Evaluasi Diri Kota Tasikmalaya, 2007).

Rendahnya pendapatan per kapita penduduk berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk Kota Tasikmalaya yang masih rendah dan terbatasnya lapangan kerja sehingga tidak sedikit yang bekerja di sektor informal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya ialah kegiatan berdagang di trotoar jalan yang tidak sesuai dengan pola pemanfaatan ruang yang seharusnya atau biasa disebut PKL.

PKL di Kota Tasikmalaya bertempat di pinggir jalan maupun trotoar dan tempat parkir kendaraan bemotor, sehingga berdampak pada terganggunya ruang pejalan kaki dan kemacetan akibat penggunaan jalan untuk kegiatan PKL. Hal ini timbul disebabkan ketidaktahuan PKL mengenai aturan mengenai penataan ruang kota yang tertuang dalam dokumen RTRW dan aturan mengenai penggunaan jalan raya dan tempat parkir.

(34)

Namun demikian, keberadaan PKL ini di satu sisi merupakan sektor yang memberi kontribusi cukup besar terhadap perekonomian suatu kota, bahkan hal ini terbukti pada saat terjadi krisis ekonomi di negara kita pada tahun 1997 dimana sektor ini mampu bertahan. Namun di sisi lain, kegiatan PKL ini dianggap sebagai kegiatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan kota, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai ”parasit kota”. Jumlah PKL ini semakin lama semakin banyak akibat banyaknya sarana perdagangan yang dibangun seperti mall, ruko, dan sebagainya yang bereksternalitas pada tumbuhnya kegiatan ini. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap penataan ruang Kota Tasikmalaya. Untuk itu perlu adanya penataan PKL sesuai amanat UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007.

[image:34.612.132.506.452.544.2]

Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya berdasarkan hasil survey Dinas Industri dan Perdagangan Kota Tasikmalaya tahun 2006 mencapai 556 PKL yang didata dari 4 lokasi pasar (lihat Tabel 1). Jumlah ini belum ditambah PKL yang berada di sekitar trotoar Jalan KH. Zaenal Mustofa dan lokasi lain non pasar atau yang berada di depan toko atau pusat perbelanjaan yang ada di BWK (Bagian Wilayah Kota) I.

Tabel 1 Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya Tahun 2006

No. Lokasi Pedagang Kaki Lima Jumlah (orang)

1. Pasar Kidul 200

2. Pasar Wetan 151

3. Pasar Baru 54

4. Pasar Rel 151

Total 556

Sumber : Dinas Industri & Perdagangan Kota Tasikmalaya, 2006

(35)

Jumlah PKL ini menurut Deguchi (2005) kemudian bisa dikelompokkan berdasarkan tipologi kenampakkan sementara (temporary setting) berdasarkan 3 aspek yaitu: 1). human activity (kegiatannya); 2). spatial feature (kenampakan spasial); dan 3). functional cycle (lingkaran fungsi). Berdasarkan aspek human activity, Deguchi membedakan PKL berdasarkan 5 kategori yaitu eating and drinking (penjual makanan/minuman di pinggir jalan), b) food sales (penjual makanan), c) product sales (penjual produk), d) service sales (penjual jasa), e)

performances (dance and music) and amusement (pertunjukkan dan hiburan seperti pengamen).

Yang kedua, hal yang melatarbelakangi munculnya PKL selain aspek sosial ekonomi ialah aspek kebijakan pemerintah yang salahsatunya dituangkan ke dalam RTRW Kota Tasikmalaya. Pentingnya tinjauan terhadap aspek kebijakan berupa RTRW Kota adalah untuk mengetahui sejauhmana PKL ini diperhatikan kepentingannya dalam rencana tata ruang, apakah sudah ada ruang untuk mereka atau tidak. Jika memang tidak, maka bisa dikatakan bahwa RTRW tersebut belum partisipatif karena belum memuat kebutuhan para PKL ini. Hal ini ditunjang dengan UU Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 yang mengharuskan dalam RTRW Kota untuk menyediakan pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk sektor informal, termasuk PKL. Hal ini juga dikemukakan oleh Deguchi (2005) dalam tulisannya bahwa dalam proses re-evaluasi PKL di kota-kota modern di Asia perlu meninjau sistem administrasi pemerintah dan implementasi-implementasinya yang mengatur penggunaan jalan raya dan tempat-tempat yang kondisinya penuh dengan kegiatan dari PKL sebagai sektor informal.

Jika kepentingan untuk PKL belum termuat dalam RTRW, maka perlu dibuat RTRW yang partisipatif yang salahsatunya memuat penataan untuk PKL yang merangkum kepentingan PKL, masyarakat, pemerintah maupun swasta. Maka dari itu, diperlukan suatu kajian penataan PKL yang partisipatif sebagai salah satu upaya menciptakan kenyamanan, keserasian dan ketertiban ruang kota.

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji diantaranya :

(36)

2. Bagaimana karakteristik konsumennya ?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya terhadap penataan PKL terkait penataan ruangnya?

4. Bagaimana aspirasi masyarakat, pemerintah dan swasta dalam penataan PKL di Kota Tasikmalaya?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan utama dari penelitian ini ialah merumuskan alternatif model penataan PKL di Kota Tasikmalaya yang memiliki keserasian ruang kota serta memberikan kenyamanan dan ketertiban baik bagi pedagang kaki lima pada khususnya maupun masyarakat kota pada umumnya, sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini diantaranya:

1. Mengkaji aspek sosial ekonomi PKL. 2. Mengkaji karakteristik konsumen.

3. Mengkaji kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya terkait pengendalian dan pemanfaatan ruang untuk PKL.

4. Mengkaji aspirasi PKL, masyarakat, dan pemerintah sebagai masukan dalam penataan PKL.

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi bagi pemerintah daerah sekaligus sebagai bahan pertimbangan dalam proses penataan ruang Kota Tasikmalaya yang mengakomodir kepentingan berbagai

(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sektor Informal

Menurut Zarida Hermanto (1995), konsep sektor informal pedagang kaki lima pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971, dari hasil penelitiannya tentang ”Small-scale Enterpreneurs in Ghana”. Konsep ini kemudian dipopulerkan oleh ILO/UNDP pada tahun 1972 melalui hasil penelitian di Kenya. Selanjutnya Sethuratnam (1976) secara intensif melalui berbagai penelitiannya baik perorangan maupun bersama-sama dengan ILO/UNDP memperluas konsep sektor informal ini.

Walaupun konsep ini telah lama diperkenalkan, namun konsep dan definisi baku dari sektor informal belum ada seperti apa yang dikemukakan oleh Hans Singer dikutip oleh Lubell (1991, p:11).

Informal sector entity is hard to describe but you know it when you see it. The informal sector enterprise is not only small, it is also likely to be located in a dilapidated structure structure (thus excluding from the informal category most self-employed doctors, lawyers and other liberal professional whose productive activity is likely to well-housed).

Menurut Hidayat (1983) dalam Hermanto (1995), di Indonesia pengertian umum dari sektor informal pedagang kaki lima meliputi tiga hal : (1) sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah, seperti perlindungan tarif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, pemberian kredit dengan bunga yang relatif rendah, pembimbingan teknis dan ketatalaksanaan, perlindungan dan perawatan tenaga kerja, penyediaan teknologi dan hak paten ; (2) sektor yang belum mempergunakan bantuan ekonomi pemerintah, walaupun bantuan itu telah tersedia; dan (3) sektor yang telah menerima dan menggunakan bantuan atau fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, tetapi bantuan itu belum sanggup membuat unit usaha tersebut berdiri.

(38)

berikut : (1) unit usaha yang kecil; (2) pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu permodalan maupun penerimaannya; (3) tidak mempunyai tempat yang tetap atau keterkaitan dengan usaha lain; (4) tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan angkatan kerja; (5) modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian; (6) tidak disentuh oleh peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga sering dikatakan liar (Hermanto, 1995).

2.2 Pengertian PKL

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya (www.wikipedia.org).

Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter (www.wikipedia.org).

Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dahulu sebutannya adalah pedagang emperan jalan, lama-lama berubah menjadi pedagang kaki lima. Padahal kalau mau merunut sejarah, mustinya sebutannya adalah pedagang lima kaki (www.wikipedia.org).

(39)

Menurut Breman (1988) dalam Umboh (1990), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.

Dari pengertian/batasan tentang pedagang kaki lima sebagaimana dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal. Secara khusus, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai distribusi barang dan jasa yang belum memiliki izin usaha dan biasanya berpindah-pindah.

Menurut Sethurahman (1985) dalam Umboh (1990) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan, antara lain :

1. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya.

2. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.

3. Pedagang kaki lima di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar.

(40)

Menurut Wirosardjono (1985) dalam Umboh (1990) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor marjinal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri sebagai berikut :

1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya.

2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan “liar”).

3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian.

4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu.

5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha yang lain.

6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.

Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari sumber utamanya yaitu produsennya (Ramli, 1984 dalam Umboh, 1990).

(41)

2.3 Penataan Ruang dan Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang

Tata ruang harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No. 5/1960 Pasal 2 ayat 3). Dengan demikian Perencanaan Tata Ruang adalah bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan.

Dalam kenyataannya banyak kritik yang memandang bahwa penyusunan rencana tata ruang sering berpijak dari asumsi bahwa “ruang” yang direncanakan seolah-olah adalah ruang “tanpa penghuni”, sehingga dapat dengan mudah dibuat garis-garis batas berupa zoning yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan tertentu yang berketetapan hukum. Diatas kertas, penetapan tata ruang dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability dan

land capability) dan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Di dalam pelaksanaannya perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat luas). Ketetapan penataan ruang tersebut berakibat mengikat masyarakat penghuni yang ada didalamnya, dimana aktivitas pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat tersebut bertentangan dengan penetapan peruntukkannya. Oleh karenanya bagi sebagian orang perencanaan tata ruang dipandang sebagai alasan untuk melakukan “penggusuran”, bukan sebagai alat untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (UU No. 26/2007 Pasal 1).

(42)

sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi, dkk., 2006)

Mengingat sasaran yang ingin dicapai, pihak perencana harus memiliki akses dan kapasitas ke pihak-pihak : (1) pengguna lahan, (2) lembaga legislasi, (3) eksekutif/pengambil keputusan, serta (4) badan-badan pelaksana pembangunan (sectoral agencies).

Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial, dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam perencanaan tata ruang: (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun (Rustiadi, dkk., 2006).

Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Secara individual maupun kelompok, masyarakat secara sendiri-sendiri melakukan pengaturan-pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dikuasainya. Namun cakupan istilah tata ruang adalah suatu perencanaan yang beroriantasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan perseorangan/kelompok ataupun perusahaan/badan usaha.

(43)

berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Seperti telah disebutkan diatas bahwa penataan ruang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Terkait hal itu, maka dalam proses penataan ruang seluruh stakeholder, diantaranya pemerintah, masyarakat, dan swasta seharusnya berpartisipasi dalam setiap proses tersebut. Tingkat partisipasi tiap stakeholder dalam tiap tahapan penataan ruang tentu saja berbeda-beda. Idealnya, dalam negara demokrasi masyarakat berperanserta dalam tiap tahapan penataan ruang yang tentunya pemerintah tetap sebagai leader yang memayungi semua keinginan masyarakat.

Peranserta masyarakat pada tiap tahapan perencanaan tata ruang bisa bervariasi yang menurut Setiawan (2005) dapat berupa ikutserta memberi masukan dalam seminar lokakarya, dan sebagainya. Untuk lebih jelas lihat Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Peranserta Masyarakat dalam Tiga Tahapan Penataan Ruang Tahapan

Penataan Ruang

Bentuk kegiatan/

Keterlibatan Mekanisme Catatan

Perencanaan Terlibat dalam proses penyu-sunan dan pengesahan satu rencana kota (mis: RUTRK, RDRTK, RTRK)

Seminar/Lokakarya; diskusi ahli; pertemuan publik; pameran;

pooling; pengajuan alternatif rencana; pengiriman pendapat tertulis di media massa

Dapat perorangan, dapat per-wakilan; umumnya terjadwal

Pemanfaatan Mulai dari sosialisasi, penyu-sunan program, peraturan, pembangunan langsung

Lokakarya; Musbang; Rakorbang; partisipasi langsung; gotong- royong; stimulan

Masyarakat dapat terlibat langsung untuk merealisasikan

Pengendalian Pengawasan perijinan; penerti-ban; pelaporan akan penyimpa-ngan; komplain/ pengaduan; penolakan

Pengaduan/pelaporan; pengawa-san langsung; Protes/petisi; Demonstrasi;

Lebih dinamik; tidak terjadwal; harus peka dan aktif mengikuti dinamika proses pembangunan yang terjadi

Sumber : Setiawan, 2005

(44)

a. pemberian masukan untuk menentukan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai;

b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah, termasuk perencanaan tata ruang kawasan;

c. pemberian masukan dalam merumuskan perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

d. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; dan atau g. bantuan tenga ahli.

Sedangkan dalam Pasal 16 disebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dapat berbentuk :

a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan perundang-undangan, agama, adat atau kebiasaan yang berlaku;

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan perdesaan;

c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

d. konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;

e. perubahan atau konvensi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

f. pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang; dan atau

g. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan.

(45)

a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan atau

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatan pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang.

Berdasarkan kedua aturan di atas, yaitu UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 69 tahun 1996 dijelaskan bahwa masyarakat harus berperanserta dalam penataan ruang mulai dari proses perencanaan, pemanfaatan sampai proses pengendalian ruang. Berdasarkan tingkat peranserta masyarakat, berikut ini dapat digambarkan seberapa besar peranserta stakeholder dalam tiap tahapan penataan ruang.

Tabel 3 Matriks Peranserta ParapihakdalamPenataan Ruang

Tahapan Penataan Ruang Tingkat Peranserta Parapihak

Pemerintah Masyarakat Swasta

Perencanaan *** ** *

Pemanfaatan * *** **

Pengendalian ** *** *

Sumber : UU No. 26/2007 dan PP No. 69/1996 Ket. :

* : Rendah ** : Sedang *** : Tinggi

Berdasarkan Tabel 3 tersebut, peranserta masyarakat terkait penataan PKL berarti masih dalam tahap perencanaan dan pemanfaatan karena PKL sudah menempati ruang yang ada di Kota Tasikmalaya. Dengan demikian PKL dan masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan penataan itu yang tentu saja seharusnya tetap dibuat dulu oleh pemerintah kemudian didiskusikan dengan masyarakat sampai akhirnya dihasilkan penataan yang optimal. Namun demikian, tahapan pengawasan juga tentusaja perlu dilakukan dengan proporsi paling besar di tingkat PKL dan masyarakat karena masyarakatlah yang dapat mengawasi secara langsung pemanfaatan ruang yang ada dan pelanggaran-pelanggarannya.

2.4 Penataan PKL di Kota-kota di Asia

(46)

Berdasarkan penelitiannya di Fukuoka Jepang, Deguchi menganalisis karakteristik PKL dari tiga hal, yaitu : aktivitas (kegiatan), kenampakan spasial, dan lingkaran fungsi.

1). Kegiatan manusia(activity): aktivitas dari PKL dengan pengaturan temporer

diklasifikasikan kedalam 5 kategori: a). Makanan dan minuman (pedagang

kios makanan disebut ”Yatai” di Jepang), b). Penjualan makanan, c). Penjualan produk, d). Penjualan jasa, e). Pertunjukan (dansa dan musik)

dan hiburan. Kegiatan ini tergantung pada kebutuhan dari masyarakat lokal dan tipe dari penggunaan lahan dari suatu distrik/daerah. Tipe-tipe kegiatan ini memiliki kenampakan spasial masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi lokasi.

Gambar 2: Street Market (Kiri) and “Yatai” (Kanan) di Fukuoka City, Jepang

2). Kenampakan Fisik (physical feature): Tiap kenampakan spasial dari pengaturan letak dapat diidentifikasi dari gambaran kompleksitas keadaan, dimensi spasial dari penggunaan, kesederhanaan pembuatan, dan penempatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3. Yatai adalah jenis tempat PKL yang paling kompleks karena membutuhkan gas, air, dan perlengkapan listrik untuk memasak disitu.

(47)

3). Lingkaran Fungsi (functional cycle) : “Temporary” maksudnya lingkaran penggunaan dari ruang yang berulang-ulang atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Maksudnya ialah letak sementara untuk penggunaan sementara memiliki lingkaran bisnis sendiri berdasarkan tipe kegiatan dan ciri spasial.

Deguchi juga mengidentifikasi tiga kelompok dari jenis penggunaan sementara yang akan berguna untuk mengontrol atau mengusahakan kegiatan dari sudut pandang perencanaan dan urban desain dari ruang publik. Kelompok pertama ditempatkan pada zona kanan atas dari diagram (Gambar 4). Kelompok ini diidentifikasi sebagai elemen yang tergantung pada lingkungan kota sekitarnya atau berhubungan kuat dengan elemen yang berdekatan. Kelompok itu membentuk atau memperkuat keunikan fenomena di lingkungan lokal perkotaan.

Kelompok kedua ditempatkan pada bagian tengah pada diagram yang kegiatannya berorientasi penjualan. Mereka membentuk ruang komersial yang unik dan letaknya sangat masuk akal dan mendasar. Kegiatannya tergantung pada kebutuhan lokal, dan perubahannya mengikuti lokasi kebutuhan potensial pembeli.

Kelompok ketiga ditempatkan pada kiri bawah diagram dan tidak bergantung pada lingkungan sekitarnya dan lingkungan perkotaan. Kelompok ini terdiri atas kegiatan-kegiatan artistik seperti pengamen jalanan dan penjual produk seni karya sendiri. Tetapi pilihan dari lokasi harus sesuai dengan karakter spasial dari daerah untuk menarik pendatang menyaksikan mereka.

(48)

“Yatai” Di Kota Fukuoka, Jepang

Kota Fukuoka terkenal sejak keberadaan dari PKL yang menjual makanan untuk makan malam dan minum dengan keadaan atap temporer yang dinamakan ”Yatai” (lihat Gambar 1 kanan) (Deguchi, 2005). Yatai muncul setelah PD II, dan jumlahnya meningkat sepanjang 50 tahun terakhir di Jepang. Jumlah Yatais di Kota Fukuoka mengalami penurunan dari 888 pada tahun 1962 menjadi 291 pada tahun 1996 (Gambar 5).

Pada tahun 2003, terdapat kurang lebih 180 Yatai yang terdaftar secara legal masih buka di malam hari hampir di semua pusat wilayah/distrik. Jumlah Yatai di Fukuoka mencapai hampir 40% dari seluruh Yatai di Jepang. Yatais membentuk kenampakan dan lingkungan yang unik dari kehidupan malam di Fukuoka untuk masyarakat dan pendatang/turis.

Berdasarkan peraturan, pada jam 6 malam, pekerja Yatai datang ke jalan untuk membangun kiosnya. Setelah mereka mulai berjualan, keadaan jalan berubah menjadi tempat yang ramai yang berbeda dari lingkungan jalan pada jam kerja. Berdasarkan hasil survey pada tahun 2003, Deguchi mengidentifikasikan lokasi dari 155 Yatai yang terkonsentrasi di Hakata Ward dan Chuo Ward (Gambar 6).

Tipologi dari Penempatan “Yatai”

Berdasarkan survey di lokasi Yatai, keadaan lokasi dikelompokkan berdasarkan keadaan penggunaan lahan yang berdekatan dan

Gambar 6: Lokasi Yatai di Fukuoka City Down

Gambar 7 Tipe Bangunan atau

Penggunaan Lahan untuk Yatai

Num ber of Stalls

0 200 400 600 800 1000

1960 1970 1980 1990 2000

(49)

penggunaan bangunan (Gambar 7). Hasilnya adalah : 34,1% berlokasi di depan bangunan bank, dan 15,5% berlokasi di depan tempat parkir.

Ada tiga hukum nasional yang mengatur Yatai yaitu: UU Sanitasi Makanan, UU Lalu Lintas Jalan, dan UU Jalan Raya. Untuk kegiatannya di jalan raya dan tempat parkir, pemilik Yatai diwajibkan untuk memiliki tiga izin yaitu :

1). Izin untuk penjulan makanan yang diatur dalam UU Sanitasi Makanan.

2). Izin untuk menggunakan jalan raya yang diatur dalam UU Lalu Lintas Jalan Raya.

3). Izin untuk bekerja di bagian jalan yang diatur dalam UU mengenai Jalan Raya. Kemudian pada tahun 1996, Yatai Problem Research Committee (Komite Penelitian Masalah Yatai) mulai mempertimbangkan garis pedoman baru untuk Yatai di Kota Fukuoka (Fukuoka City 2000) yang dijalankan pada Juli 2000. Tujuan dari garis pedoman adalah untuk tujuan keamanan, kenyamanan, kenyamanan bagi pejalan kaki, dan untuk membuat Yatai harmonis dengan kehidupan penduduk.

Garis pedoman peraturan dengan tegas mengatur luas dan lebar tempat Yatai berdasarkan standarisasi dari ukuran (Gambar 8). Luasnya tidak melebihi 3,0 meter dan lebarnya tidak boleh lebih dari 2,5 meter dari tepi pejalan kaki. Setelah membuat tempat untuk Yatai, sisa dari lebar jalan untuk pejalan kaki harus 2,0 meter atau lebih untuk lalu lintas pedestrian (Gambar 9). Peraturan ini berdasarkan standar lebar dari dua kursi roda untuk dapat lewat satu sama lain tanpa halangan.

(50)

“Tanfan” Di Kota Taichung, Taiwan

Kegiatan penelitian lain telah diadakan terhadap PKL di kota-kota Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti di Kota Taichung di Taiwan, Kota Seoul dan Busan di Korea, Kota Makasar di Indonesia, dan Kota Tianjin di Cina.

Di Taiwan, PKL di jalan atau ruang terbuka lainnya dengan keadaan fisik untuk komersial sementara atau tetap, seperti pedagang jalanan dan kios makanan pada umumnya dinamakan ”Tanfan”. Ada beberapa tipe pasar dimana Tanfan berjualan, pasar umum, pasar pribadi dan pasar sementara. Secara resmi, tempat dimana Tanfan berkumpul untuk berjualan dinamakan ”Tanfans Concentration Areas” (Area Konsentrasi Tanfan). ”Pasar Malam” merupakan sebutan umum Area Konsentrasi Tanfan. Laporan dari Kota Taichung pada tahun 1999 menunjukkan ada 31 area dari 67 Area Konsentrasi Tanfan pada umumnya dinamakan Pasar Malam.

Area Konsentrasi Tanfan dikelompokkan kedalam empat jenis berdasarkan status kegiatan, keadaan tempat dan akses bagi pendatang (Gambar 10).

1). Pasar Tetap : jenis pasar ini bertempat di lapangan tertutup dimana lahannya dimiliki oleh publik atau pribadi, dan buka setiap hari. Jenis ini diatur dengan baik oleh komunitas Tanfan. Area sekitarnya dari pasar ditempati oleh Tanfans pendatang lain yang menjual makanan dan produk lain untuk para pendatang.

Gambar 8 Ukuran dari Penempatan Yatai

Gambar 9 Aturan Ukuran dan Alokasi Yatai

(51)

2). Pasar Mingguan: tipe kedua adalah Pasar Mingguan yang bertempat di tempat parkir yang luas atau kapling kosong di daerah suburban. Pasar ini buka hanya sehari dalam seminggu pada malam hari, dan komunitas Tanfan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada kurang lebih 40 tempat untuk Pasar Mingguan di Kota Taichung. Pasar-pasar ini dapat dicapai khususnya dengan mobil, dan lahan untuk parkir ditempatkan di dekat pasar ini.

3). Pasar Sirkulasi : jenis yang kedua ialah pasar sirkulasi yag bertempat di wilayah komersial dengan kepadatan tinggi dengan jaringan jalan sempit yang hanya dapat dilalui untuk pedestrian dan motor, tapi tidak untuk mobil. Tanfan pada pasar serbaguna ini menjual bahan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan, minuman, asesoris, pakaian, dan sepatu.

4). Pasar Pinggir Jalan: pada pasar pinggir jalan ini, kumpulan PKL makanan (Tanfan) berlokasi di sepanjang jalan membentuk barisan panjang berupa penjual makanan dan restoran kaki lima. Tanfan tipe ini dapat diakses khususnya dengan motor, dan pembeli yang tinggal dekat daerah itu.

Menurut Deguchi (2005), dalam proses re-evaluasi PKL di kota-kota di Asia perlu dibahas masalah-masalah di bawah ini:

1). Adanya tipologi dari karakteristik PKL yang diidentifikasi berdasarkan kondisi saat ini, perlengkapan dan perilaku bisnis dengan latar belakang sosial dari aspek fisik dan sosial.

2). Sistem administrasi pemerintah dan implementasi-implementasinya belum mengatur penggunaan jalan raya dan tempat-tempat yang kondisinya penuh dengan kegiatan dari PKL sebagai sektor informal.

3). Adanya penyelewengan dan sistem manajemen sendiri dalam karakteristik teknik pembuatan dan siklus jam kerja yang membolehkan penggunaan sementara dan efisien dari jalan raya dan tempat parkir.

(52)

tempat parkir dengan meniru kefleksibelan dan kecocokan kondisi suatu tempat terhadap gaya hidup kaum kota modern dan lingkungan kota dari tiap kota-kota modern.

2.5 Model-model Penataan PKL di Indonesia

Penelitian atau kajian mengenai penataan PKL di kota-kota di Indonesia memiliki model yang berbeda-beda, ada yang melalui pendekatan bottom-up dan ada pula yang menggunakan pendekatan yang partisipatif melalui diskusi/musyawarah sehingga menghasilkan kesepakatan bersama.

Salah satu penelitian yang sudah dilakukan diantaranya di Kota Bogor dengan mengklasifikasikan PKL ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok pembinaan, kelompok penataan, dan kelompok penertiban. Pengklasifikasian itu berdasarkan beberapa variabel yang digunakan yaitu : Skor komponen kemacetan, Skor dampak node yang ada di sekitar kawasan, Rata-rata tenaga kerja yang digunakan setiap pedagang, Rata-rata omset harian setiap pedagang, Rata-rata modal usaha setiap pedagang, dan Rata-rata durasi waktu berjualan (Sudarmadji, dkk., 2006).

Berdasarkan skor kemacetan tersebut, lalu dikelompokkan dengan menggunakan analisis faktor dan analisis kluster untuk mengelompokkan PKL kedalam 3 kelompok di atas sehingga penanganan atau program yang akan dilakukan sesuai jenis kelompoknya dimana kelompok pembinaan merupakan kelompok PKL yang mendapatkan prioritas pertama untuk ditangani.

Model penataan lain yang sekarang sedang menjadi contoh bagi kota-kota di Indonesia ialah model penataan PKL di Kota Solo. Model penataan PKL Kota Solo dilakukan dengan pendekatan dialogis dan komunikatif yang mengusung misi nguwongke wong cilik (memberi martabat pada orang kecil) dengan cara membuat kawasan PKL dan membuat kantong-kantong PKL melalui relokasi, gerobak, shelter, dan tenda (Kompas, 15-5-2008).

(53)

Pemerintah Kota Solo beserta DPRD Kota Solo yang disaksikan oleh lebih dari separuh penduduk Kota Solo (presentasiWalikota Solo, Mei 2008 di Bogor).

Gambar 11 Kirab Upacara Boyongan Pindahan PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi (kiri) dan kondisi PKL Setelah dipindah ke Pasar Klithikan (kanan)

[image:53.612.134.497.109.328.2]

Selain itu juga dibangun shelter-shelter di Stadion Manahan dan Kleco dan memberi gerobak untuk pedagang (lihat Gambar 12). Kemudian, Pemerintah Kota Solo juga melakukan revitalisasi pasar tradisional diantaran

Gambar

Gambar 1 Kondisi PKL di Kota Tasikmalaya
Tabel 1  Jumlah PKL di Kota Tasikmalaya Tahun 2006
Gambar 12  Kondisi PKL Manahan
Gambar 14  Bagan Kerangka Pikir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu mempertemukan kepentingan ekonomi para PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para PKL

Dari penelitian yang dilakukan, maka diperoleh hasil mengenai kebijakan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) dalam program relokasi pedagang kaki lima di

Peran pemda dalam penataan aspek sarana dan prasarana usaha PKL kuliner, antara lain; menyediakan lahan sebagai lokasi usaha yang dapat digunakan oleh PKL kuliner

• Penelitian ini hanya dilakukan sepanjang koridor Jalan Samanhudi dan tidak membahas pengaruh dan pertumbuhan PKL bagi perkembangan Kabupaten Jember, sehingga memerlukan adanya

Dalam mengatasi permasalahan PKL, Pemerintah Kota Serang mempunyai payung hukum dalam menjalankan kewenangannya, yaitu melalui kebijakan Perda Nomor 4 Tahun 2014

yang dimaksud dalam peneli- tian ini adalah penataan lingkungan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Perumnas Tlogosari Kota Semarang yang memiliki beberapa indikator seperti

STIA BANDUNG.. cara pandang pemerintah terhadap PKL jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya

41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, dijelaskan bahwa Penataan pedagang kaki lima adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui