• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN MODEL PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN MODEL PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BERBASIS PENGEMBANGAN KOTA MADIUN MENJADI TUJUAN KOTA WISATA

Nur Dewi Setyowati 1

Prodi Ilmu KomunikasiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Madiun

Jl. Serayu No. 79 Kota Madiun email: [email protected]

Abstract

Efforts to make the arrangement, guidance and empowerment of street vendors, the necessary care and seriousness of all parties, especially the Government of Madiun in solving and resolving all the problems both facing and it creates,where regulation and development issues as well as efforts to create a model penbinaan arrangement of street vendors (PKL) -based development of Madiun destination tourist city, putting vendors in the space adjoining the space for activities of regional circulation, namely roads, with the alternative of making a new public open space where all public activities take place, including street trading activities, with priority for the optimization of public open space for pedestrian circulation.Their common perception between government agencies and PKL in defining the concept model of the arrangement of street vendors (PKL) -based development of Madiun destination tourist town became the start to organize the street PKL.

Keywords: Model Structuring Street Vendor, Development, Tourism City.

PENDAHULUAN

Pedagang kaki lima di kawasan perkotaan dan sekitarnya adalah bukan penduduk asli (pendatang dari desa atau luar provinsi) dan bukan merupakan pilihan pertama sebagai mata pencaharian, proses urbanisasi dan migrasi dengan mengacu kepada perkembangan pedagang kaki lima di Kota Madiun tersebut akan timbul masalah.Cara kerja pedagang kaki lima ternyata juga berbeda baik menyangkut jam kerja, jumlah hari

kerja, jenis produk maupun permodalannya.

Dengan demikian, permasalahan akan timbul akan berkaitan dengan masalah pola kerja.

Adanya pedagang kaki lima juga berdampak terhadap lingkungan, aspek lingkungan juga harus disertakan dalam penataan pedagang kaki lima lebih lanjut.Pertumbuhan dan perkembangan pedagang kaki lima di Kota Madiun tidak berbeda jauh dengan kota–

kota lainnya. Rata-rata pertumbuhan dan perkembangannya tampak tidak teratur, liar,

(2)

dan kumuh, serta lebih banyak didorong oleh kepentingan sesaat, khususnya dalam mengatasi krisis social ekonomi yang melanda keluarga mereka, disebabkan langkanya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.

Berdasarkan latar belakang pertumbuhan dan perkembangan pedagang kaki lima ini, maka dapat dikatakan bahwa keberadaan mereka (PKL) akan banyak menimbulkan permasalahan bagi tatanan dan lingkungan masyarakat kota, terutama menyangkut kebersihan, ketertiban, keindahan, kesehatan, dan keamanan kota. Di lain pihak keberadaan mereka sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat golongan menengah kebawah, khususnya golongan ekonomi lemah dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama yang dapat diperoleh dengan cepat dan murah. Keberadaan pedagang kaki lima juga bermanfaat di dalam membantu mengatasi problem kelangkaan lapangan kerja dan pengangguran. Oleh karena itu keberadaan pedagang kaki lima tidak mungkin dihapuskan, tapi sebaiknya pedagang kaki lima tersebut harus ditata, dibina dan diberdayakan agar dapat memenuhi fungsi dan peran dalam memberi pelayanan pada masyarakat.

Upaya melakukan penataan, pembinaan dan pemberdayaan pedagang kaki lima ini, diperlukan kepedulian dan kesungguhan dari semua pihak khususnya Pemerintah Kota Madiun memecahkan dan menyelesaikan semua permasalahan pedagang kaki lima baik yang dihadapi maupun yang ditimbulkannya.

Pengaturan dan permasalahan pengembangan serta penbinaan pedagang kaki lima, dilakukan dengan pertimbangan bahwa keberadaan pedagang kaki lima diperlukan oleh masyarakat kota, disamping memiliki potensi di dalam membantu mengatasi problem masyarakat, khususnya dalam membantu

mengatasi problem kelangkaan lapangan kerja pengangguran, pengentasan kemiskinan, serta berpotensi untuk pengembangan pariwisata.

Pedagang kaki lima (PKL) termasuk satu dari sektor informal yang banyak berkembang di di Kota Madiun. Para PKL kebanyakan berasal dari kalangan rakyat miskin yang termarjinalkan oleh pembangunan ekonomi atau oleh krisis keuangan yang melanda dunia saat ini. Akan tetapi perlakuan Pemerintah Kota Madiun terhadap para PKL seringkali tidak manusiawi dengan melakukan penggusuran- penggusuran tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi pedagang dengan dalih menggangu ketertiban umum, lalu lintas dan merusak keindahan kota. Oleh karena itu mempertemukan kepentingan ekonomi para PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para PKL dan pemerintah kota agar konflik antar para PKL dengan pemerintah kota tidak berlarut-larut dan tidak produktif. Berdasarkan gambaran tersebut penelitian ini akan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana Model Penataan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata? Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Sejauhmana Pemerintah Kota dapat mengintegrasikan program-program di tingkat pelaksana tehnis untuk dapat mengelola Pedagang Kaki Lima menjadi daya dukung pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan Wisata?

2. Sejauh mana para Pedagang Kaki Lima mempunyai kesadaran untuk ikut mengembangkan Kota Madiun ?

3. Sejauh mana masyarakat memerlukan keberadaan Pedagang Kaki Lima ?

(3)

STUDI PUSTAKA

Kajian terhadap pedagang kaki lima (PKL) tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai sektor informal dan sektor formal dalam perekonomian di Indonesia. Kedua konsep tersebut merupakan konsep yang saling berhubungan dalam mendorong tumbuhkan pedagang kaki lima di Indonesia.

2.1. Sektor Informal

Menurut Lukman Sutrisno (1997) secara teoritis sektor informal sudah ada sejak manusia berada di dunia. Fenomena ini terlihat dari kemampuan manusia untuk mencukupi kebutuhan sendiri melalui kerja mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Manusia pada awalnya menunjang kehidupannya melalui lapangan kerja yang diciptakan sendiri dan dikerjakan sendiri atau self- employed. Dengan demikian pada saat itu self employed merupakan organisasi produksi yang formal. Kemampuan kerja mandiri tersebut kemudian berubah setelah masuk pengaruh budaya industri dari negara Barat.Ada dua sebab yang mendorong self-employed yang semula merupakan organisasi produksi yang formal menjadi apa yang disebut sekarang sebagai “sektor informal”. Pertama, setelah revolusi industri terjadi maka berkembang cara produksi yang lebih terorganisir. Kedua, munculnya negara dan pemerintahan yang mengatur kehidupan manusia yang semakin kompleks memberikan peluang bagi warga negara untuk menjadi birokrat, pegawai negri, polisi, dan tentara. Mereka inilah yang kemudian menjadi buruh dari negara atau pemerintahan. Perkembangan selanjutnya dari para pegawai tersebut dikelompokan menjadi sektor formal dalam jenis pekerjaan.

Sektor informal yang lahirnya tidak dikehendaki dalam konteks pembangunan

ekonomi, karena dianggap merupakan produk sampingan dari pembangunan sektor formal, mempunyai sifat-sifat yang memang bertentangan dengan sektor formal. Sifat-sifat sektor informal yang mencerminkan adanya pertentangan dengan sektor formal tersebut antara lain: a). Dari sisi pemasaran, transaksi tawar menawar diluar sistem hukum formal dengan afinitas sosial budaya lebih menonjol, b) Perilaku sosial pelaku berhubungan erat dengan kampung dan daerah asal, c) Merupakan kegiatan illegal sehingga selalu terancam penertiban, d) Pendapatan para pelaku ekonomi sektor ini syah tetapi disembunyikan disebut black economy atau underground ekonomi, e) Secara umum dipandang melakukan peran periferal dalam ekonomi kota dan beraneka ragam kegiatan, f) Dalam menjalankan usaha terjadi persaingan ketat diantara para pelaku ekonomi di sektor ini, g) Kebanyakan berusaha sendiri, tidak terorganisir, keuntungan kecil, h) Kegiatan ekonomi di sektor informal tumbuh dari rakyat miskin dikerjakan oleh rakyat miskin, dan sebagian konsumennya adalah rakyat miskin.

Terlepas dari semua definisi atau ciri-ciri tersebut diatas keberadaan sektor informal sudah menjadi sebuah realitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa mengabaikan keberadaanya justru akan mempersulit kita dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Keberadaanya yang banyak menjadi harapan rakyat kelas bawah sebagai lahan mencari nafkah merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menjadikan sektor ini sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional.Perkembangan sektor informal di perkotaan tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk yang cepat

(4)

di daerah perkotaan tersebut. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab dari berbagai sebab semakin berkembang sektor informal di perkotaan. Paling tidak terdapat dua alasan utama yang dapat menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja sektor informal di negara-negara berkembang. Alasan pertama, dikemukakan oleh Prebish (1978, 1981) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan menyebabkan terjadinya

“urbanisasi yang prematur” (prematur urbanization) dan “deformasi struktural”

(structural deformation) dalam ekonomi (dalam Sasono, 1980). Alasan kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan jumlah pekerja disektor informal di negara-negara sedang berkembang adalah tesis yang dikemukakan oleh Tokman (1982) yaitu berpangkal pada adanya perbedaan produktifitas yang menyolok antar sektor dan intra sektor yang telah mengakibatkan terjadinya “keragaman struktural” (structural heterogenity).

2.2. Hubungan Sektor Informal dengan Sektor Formal

Hubungan antara sektor informal dan sektor formal nampaknya sulit untuk dipi- sahkan. Keduanya merupakan sektor ekonomi yang saling mengisi ketika salah satunya tidak dapat memenuhi kebutuhan akan meluapnya tenaga kerja. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena secara ekonomi sektor informal memang tidak mampu lagi menampung tenaga kerja yang ada, tetapi juga karena persoalan-persoalan sosial yang menyebabkan bangkrutnya sektor formal.

Luapan tenaga kerja tersebut pada akhirnya ditampung oleh sektor non formal.

Gambaran hubungan yang erat antara sektor formal dan informal tersebut oleh para

ahli ekonomi dilihat dari dua segi pandangan.

Pertama, bahwa keberadaan dan kelangsungan perluasan sektor informal diterima sebagai fase yang harus ada dalam proses pembagunan.

Dampak dari pembangunan harus melewati fase tersebut dimana sektor formal pada fase tertentu tidak mampu untuk menampung semua tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu fungsi sektor informal adalah sebagai penyangga (buffer zone) Sektor informal dipandang sebagai wadah persemaian benih- benih kewiraswastaan yang diperlukan dalam mendorong munculnya kelompok pengusaha pribumi yang sangat diperlukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota di negara-negara berkembang (Mc Gee, 1973;

Mazumbar, 1976; Sethuraman, 1985 dalam Effendi, 1996)). Dalam artian yang demikian maka sektor informal merupakan gejala yang positip bagi perkembangan ekonomi kota. Melalui sektor tersebut diharapkan para migran dapat ditempa kemampuan berwiraswasta sehingga pada akhirnya mereka mampu memasuki sektor formal. Sebagai sebuah fase dalam proses pembangunan maka keberadaan sektor ini tentu harus dicarikan jalan keluar pemecahanya.

Pandangan kedua melihat hubungan antara sektor informal dengan formal sebagai hubungan ketimpangan struktural.

Artinya strategi pembangunan yang salah menyebabkan ketimpangan struktural yang menimbulkan dua kegiatan ekonomi tersebut. Pembenahan dalam hal ketimpangan struktural tersebut akan dapat menghilangkan sektor informal. Pandangan yang terkahir ini nampaknya merupakan pandangan yang tidak melihat kenyataan bahwa di negara manapun dalam kenyataanya sektor informal tetap ada, meskipun ketimpangan struktural tidak terjadi. Oleh karena itu persoalan yang perlu

(5)

dipecahkan adalah bagaimana agar sektor informal menjadi kegiatan ekonomi yang tidak mengganggu atau menimbulkan masalah- masalah sosial lainnya.

2.3. Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sektor informal dapat dikelompokkan dalam tiga golongan: a). Pekerja yang menjalankan sendiri modalnya yang sangat kecil (PKL, Pedagang asongan, pedagang pasar, pedagang keliling, etc), b) Pekerja informal yang bekerja pada orang lain.

Golongan ini termasuk buruh upahan yang bekerja pada pengusaha kecil atau pada suatu keluarga dengan perjanjian lisan dengan upah bulanan atau harian (PRT, Buruh bangunan), c) Pemilik usaha yang sangat kecil (pemilik kios kecil). Sedangkan menurut Mustafa (2005:59) jenis-jenis kegiatan ekonomi yang dapat dikategorikan sebagai sektor informal antara lain: pedagang kecil, penjaja, pedagng kaki lima, buruh kasar harian pemungut puntung rokok, pengumpul barang-barang bekas, dan pengemis.

Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktifitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar (Evers dan Korf, 2002:234). Istilahpedagang kaki lima atau disingkat PKLsering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki).

Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki.

Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kakiatau sekitar satu setengah meter. Para pedagang

yang menempati sarana untuk pejalan tersebut kemudian disebut sebagai pedagang kaki lima.

Saat ini istilah PKL digunakan secara lebih luas, tidak hanya untuk para pedagang yang berjualan/berada di badan jalan (trotoar) saja tetapi juga digunakan untuk para pedagang yang berjualan di jalanan pada umumnya.

Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima dikemukakan oleh Bagong Suyanto dkk. adalah pertama, pola persebaran kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa ijin menduduki zona-zona yang semestinya menjadi milik publik (depriving public zoning).Kedua, para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi sosial yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban, Ketiga, sebagai sebuah kegiatan usaha, pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar.

Keempat sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migran, dan proses adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentuk- bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal (locality sentiment). Kelima, para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki ketrampilan dan keahlian alternatif untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota (Suyanto, 2005: 47-48).

Penjelasan berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pedagang kaki lima nampaknya menjadi alternative yang dapat digunakan untuk memahami keberadaan pedagang kaki lima dalam usaha untuk melakukan pembinaan dan penataanya. Apa yang di- kemukakan oleh Kartono dkk berdasarkan hasil penelitianya di Bandung, dalam menjelaskan ciri-ciri pedagang kaki lima dapat berguna membantu pembinaan dan penataan pedagang kaki lima tersebut. Menurut Karto-

(6)

no dkk (1980:3-7) pedagang kaki lima mem- punyai cirri-ciri a). Merupakan pedagang yang sekaligus sebagai berarti produsen, b).

Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta do- rong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang), c). Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainya yang tahan lama secara eceran, d).

Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya, e). Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar, f). Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah, g). Usaha berskala kecil bisa merupakan family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, h).

Tawar menawar antar pembeli merupakan relasi yang ciri khas, i). Dalam melaksanakan pekerjaanya ada yang secara penuh, sebagian lagi setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang secara musiman, j) Barang yang dijual biasanya convenience goods jarang sekali specialty goods, k). Dan seringkali berada dalam suasana psikologis yang tidak tenang, meliputi perasaan takut kalau tiba- tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TIBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.

Ciri-ciri yang digambarkan oleh Kartono dkk. tersebut memperlihatkan bahwa pedagang kaki lima mempunyai keragaman baik dari segi tempat berdagang, skala usaha, permodalan, jumlah tenaga kerja, jenis dagangan, dan lokasi usahanya. Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan penelitianya di kota Surabaya telah

mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi 4 tipologi. Keempat tipologi tersebut adalah:

Pertama pedagang kaki lima murni yang masih bisa dikategorikan PKL, dengan skala modal terbatas, dikerjakan oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan selain pedagang kaki lima, ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang bekerja adalah anggota keluarga. Kedua, pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar murah/pasar rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman kantor-kantor). Ketiga, pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang kaki pertama dan kedua, yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan orang lain.

Ia mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan peraganya dengan mobil, dan bahkan ada yang mempunyai stan lebih dari satu tempat. Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang nomaden berpindah-pindah tempat dengan menggunakan mobil bak terbuka. Keempat pedagang kaki lima yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan tenaga kerja yang menjualkan barang- barangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini yaitu padagang kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan sebagai grosir yang menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak bermodal dan barang yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku.

Ciri pedagang kaki lima bersifat sub- sistensi. Mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Apa yang diperoleh pada hari ini digunakan sebagai konsumsi hari ini bagi semua anggota keluarganya dengan demikian kemampuan untuk menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kaki lima menjadi sangat kawatir terhadap berbagai

(7)

tindakan aparat yang dapat mengganggu kehidupan subsistensinya. Alisyahbana menggambarkan pedagang kaki lima adalah kelompok masyarakat marjinal dan tidak berdaya. Mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh kemajuan kota itu sendiri dan tidak terjangkau dan terlindungi oleh hukum, posisi tawar rendah, serta menjadi obyek penertiban dan peralatan kota yang represif.

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis peneliti- an deskriptif dimana Observasi adalah ber- dasarkan pengamatanyang dilakukan terha- dap gejala yang diteliti. yakni mengenaiKa- jian Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) BerbasisPengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata. Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan pe- nataan dan pengembangan PKL dalam men- dukung pembangunan pariwisata. Karena itu dalam penelitian ini menggunakan 1 (satu) pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif (naturalistic approach).

B. Pengumpulan Data

Sedangkan untuk memperoleh data di lapangan dipergunakan tehnik pengumpulan data gabungan, yaitu tehnik observasi, interview/wawancara, kuesioner/daftar pertanyaan, dan dokumentasi.

Tehnik observasi dalam penelitian dilakukan secara non partisipan, artinya pengumpul data tidak berperan sebagai responden. Sedangkan tehnik interview dilakukan pada pihak-pihak tertentu secara bebas, namun ada pihak-pihak tertentu pula misalnya pada pelaku PKL, pembeli/pengguna jasa PKL dilakukan dengan metode angket

kombinasi tertutup dan terbuka. Penggunaan tehnik-tehnik tersebut dengan tujuan agar dapat diperoleh data yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan analisa.

Tehnik interview (Wawancara), dilakukan melalui tehnik snowball sampling peneliti menghubungi beberapa PKL (koordinator) di kota Madiun, dan selanjutnya dari keterangan PKL tersebut dapat dihubungi PKL-PKL yang lainnya. Dan tehnik dokumentasi, dimaksudkan untuk melakukan pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan referensi atau buku-buku yang relevan dengan penelitian ini.

C. Penetapan Kriteria Responden

Menurut Handari Nawawi dan Martini Nawawi (1990), dijelaskan bahwa: .“Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai-nilai atau peristiwa-peristiwa, sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini populasi menunjuk pada subyek penelitian yaitu seluruh PKL di Kota Madiun. Adapun jumlah PKL dan tipe jenis usahanya, sebagaimana dalam tabel. dibawah ini :

Tabel 1

JUMLAH POPULASI PENELITIAN BERDASARKAN JUMLAH DAN TIPE

JENIS USAHANYA PKL DI KOTA MADIUN

NO. JENIS USAHA

PKL JUMLAH PKL

12 34 56 78

Makanan &

Minuman BuahRokok Ahli Kunci Kios HP Assesoris Stempel

73135 352

29 122

(8)

NO. JENIS USAHA

PKL JUMLAH PKL

109 1112 1314 1516 1718 1920 2122 2324 2526 2728 2930 3132 3334

Bensin Tambal Ban Potong Rambut JamuOnderdil Kios Bunga Servis Motor Gilingan Kelapa Kacamata JamKoran Kroto VCDSepatu Pakaian Mainan LasKaret Isi Korek Radiator Alat Tani Jok Kendaraan Mrancang Pakaian Bekas Sayuran

Plat Kendaraan

155 51 91 27 23 223

47 152

11 11 19 31 1

Jumlah 950

Sumber : Dokumen Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)Kota Madiun Tahun 2015

Mengingat populasinya relative besar maka perlu ditetapkan sebagai sample penelitian. Sedangkan pengambilan sample dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu sample dipilih orang-orang yang sungguh-sungguh memahami terhadap obyek penelitian, yaitu para PKL yang berusaha di Kota Madiun, namun tidak seluruh PKL menjadi responden hanya PKL.

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Pedagang Kaki Lima Kota Madiun 5% X 950 PKL = 47,5dibulatkan = 50 PKL b. Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol

PP) 5% X 93 = 4,65 dibulatkan = 5 pegawai

Jadi total seluruh responden dalam penelitian ini sejumlah 55 responden.

D. Analisis Data

Data yang telah didapat melalui beberapa tehnik diatas, selanjutnya dilakukan analisa data. Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tigaalur kegiatan: Reduksi Data adalah pemilihan, pemusatan perhatian padapenyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul daricatatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah sekumpulan informasitersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan danpengambilan tindakan.

Melalui data yang disajikan kita melihat dan akan dapatmemahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauhmenganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yangdidapat dari penyajian-penyajian tersebut.

Menarik Kesimpulan dimulai dengammencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola- pola, penjelasan,konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi.

Kesimpulan harus di verifikasi sesuai dengan tinjauan ulang pada catatan-catatanlapangan (Silalahi, 2010, p.340).

Dari rujukan diatas, maka data dikum- pulkan diproses untuk mendapatkan berbagai gambaran, sebagai dasar untuk menentukan model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasispengembangan kota madiun

(9)

menjadi tujuan kota wisata. Gambaran yang diperoleh pada penelitian pendahuluan untuk mengetahui perkembangan terakhir di kota Madiun. Identifikasi PKL berdasarkan jenis usahanya, lokasi usahanya, jam usahanya, kondisi tempat usaha yang diperoleh diharapkan akan dapat memberikan gambaran potensi PKL di Madiun dan bagaimana dapat mengembangkannya agar dapat memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja dan menjadi obyek wisata.

Pendalaman data untuk mengenal karakteristik PKL dari berbagai aspek, karak- teristik pembeli/pengguna jasa dan pelacakan terhadap kebijakan Pemerintah Kota Madiun pada satuan kerja dan instansi terkait lainnya diharapkan dapat memberikan jalan keluar adanya pembinaan yang terintegrasi terhadap PKL untuk membawanya agar berpotensi dalam mewujudkan berkembangnya ekonomi daerah Kota Madiun.

Observasi ke lokasi-lokasi tertentu untuk mendapatkan gambaran kemungkinan pengembangan lokasi PKL dengan penataan yang dipersiapkan lebih dahulu, agar dapat berkembang menjadi obyek wisata belanja, dengan menawarkan berbagai jenis barang kebutuhan.

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Wilayah Pemerintahan

Kota Madiun dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah kecamatan dan 27 Kelurahan, yaitu : a) Kecamatan Taman, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Josenan, Kuncen, Demangan, Banjarejo, Pandean, Taman, Mojorejo, Manisrejo, b) Kecamatan Kartoharjo, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Kartoharjo, Oro-oro Ombo, Klegen,

Kanigoro, Pilangbango, Rejomulyo, Sukosari, Tawangrejo dan Kelun, dan c) Kecamatan Manguharjo, yang terdiri dari 9 kelurahan, antara lain Nambangan Lor, Nambangan Kidul, Manguharjo, Pangongangan, Winongo, Madiun Lor, Patihan, Ngegong dan Sogaten.

Sebagian besar masyarakat Kota Madiun bekerja dalam bidang wiraswasta dan pegawai negeri. Kota Madiun merupakan kota karesidenan yang mempunyai wilayah 5 kabupaten, yaitu: kabupaten Madiun, kabupaten Ngawi, kabupaten Magetan, kabupaten Ponorogo dan kabupaten Pacitan.

Selain itu sebagai Ibu kota karesidenan, Madiun juga merupakan kota transit, karena Madiun adalah sebagai pintu masuk yang menghubungkan antara propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, sehingga Kota Madiun tergolong paling ramai di wilayah Jawa Timur bagian barat. Masyarakat Kota Madiun berkembang secara dinamis dengan daya pikir yang maju.

2. Letak Geografis

Letak geografis Kota Madiun sangat strategis karena terletak pada simpul jaringan jalan raya regional yang menghubungkan Kota Madiun dengan kota-kota besar lainnya yaitu Surabaya dan Surakarta/Yogyakarta. Kota Madiun juga dilewati jaringan jalan kereta api lintas utama pulau Jawa bagian selatan, yang menghubungkan Surabaya – Jakarta lewat Purwokerta dan Surabaya–Bandung. Kota Madiun terletak sekitar 7’ 38’ 30” Lintang Selatan dan 111° 20’ 30” Bujur Timur. Batas fisik Kota Madiun adalah:

Sebelah Utara : Kecamatan Madiun Sebelah Selatan : Kecamatan Geger Sebelah Timur : Kecamatan Wungu Sebelah Barat : Kecamatan Jiwan

(10)

Di wilayah Kota Madiun memiliki jumlah hari dengan curah hujan 2003 mm/

tahun. Sedangkan posisi wilayah Kota Madiun berada di wilayah bagian barat dari wilayah Propinsi Jawa Timur. Kota Madiun di kelilingi rangkaian pegunungan yakni Gunung Wilis (2.169 m) di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Selatan membujur pegunungan kapur selatan yang mempunyai ketinggian antara 500 m sampai engan 1.000 m di atas permukaan laut. Di sebelah Barat Kota Madiun terdapat Gunung Lawu (3.285 m) dan di sebelah utara terdapat pegunungan Kendengan dengan ketinggian antara 100 m – 500 m membujur arah Timur Barat.

Keadaan topografi Kota Madiun, di bagian Selatan sekitar 67 meter di atas permukaan air laut, ke arah Utara menurun sampai sekitar 64 meter, sedangkan di bagian tengah Kota ketinggian berkisar 63 meter. Kota Madiun merupakan suatu daratan dengan ketinggian kurang lebih 63 meter di atas permukaan air laut, terletak pada lembah sungai Madiun sekitar 30 km di sebelah selatan peremuan sungai Madiun dengan Bengawan Solo (BPS, Madiun Dalam Angka, 2015).

3. Kondisi Demografi

Jumlah penduduk yang ada di Kota Madiun maka dapat dikatakan bahwa rata- rata jumlah penduduk dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan sebagai- mana tampak pada tabel 4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya jumlah penduduk ini adalah kelahiran, kematian dan migrasi.

Tabel 2

JUMLAH PENDUDUK DAN PROSENTASE KENAIKAN DI KOTA

MADIUN

TAHUN JUMLAH

PENDUDUK PROSENTASE KENAIKAN

2012 196.954 -

2013 198.344 0,74

2014 192.063 0,38

2015 198.823 0,93

Sumber data : BPS Kota Madiun, 2015

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk selama empat tahun terakhir antara tahun 2012-2015 mengalami kenaikan. Namun demikian kalau dilihat dari prosentase kenaikan tersebut, terjadi fluktuatif dimana pada tahun 2013 sebesar 0,74 % dan pada tahun 2014 sebesar 0,38 sedangkan pada tahun 2015 sebesar 0,93.

4. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

¾ Pendidikan

Pendidikansasarannya keluarga dengan anak–anak di bawah usia 15 Tahun, tujuannya agar seluruh anak-anak usia tersebut dapat di sekolahkan dengan baik pada kegiatan PAUD, TK maupun SD dan SMP bahkan sampai ke jenjang SMA sebagai Wajib Belajar, Pendidikan merupakan suatu usaha membimbing individu agar ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak lepas dari adanya fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang telah tersedia. Dalam memenuhi fasilitas untuk tingkat SLTP sederajat maka pemerintah Kota Madiun berusaha menambah dan mempermudah letak pembangunannya yang mudah dijangkau.

¾ Kesehatan

Dalam usaha meningkatkan kesehatan dan gizi makanan di kota Madiun, Taman gizi dilakukan sebulan sekali meliputi kegiatan

(11)

penimbangan balita. Kegiatan posyandu yang dilakukan dengan tambahan makanan bergizi pada balita seperti bubur, telur dan lainnya.

Karena generasi ini nantinya yang merupakan generasi penentu akan kemajuan suatu bangsa haruslah dibekali sedini mungkin agar menjadi generasi yang trampil dan ulet serta kreatif. Dari segi kesehatan lingkungan dengan memperhatikan kebersihan lingkungan sehingga dapat memenuhi syarat kesehatan.

¾ Keamanan

Stabilitas keamanan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh lapisan masyarakat dalam melaksanakan pem- bangunan yang selaras. Dengan keamanan baik akan tercipta suasana aman, tentram dan tertib. Hal ini karena adanya kerjasama yang baik antara warga dan pemerintah terbukti dengan dibangunnya pos-pos penjagaan yang keseluruhannya berjumlah 853 pos ronda dan pada tahun 2014 Kota madiun mendapatkan peringkat pertama Nasional dibidang gotong royong meliputi administrasi dan manajemen RT, kegiatan ronda dalam menciptakan keamanan dan ketertiban lingkungan.

¾ Agama

Penduduk kota Madiun secara keseluruhan beragama Islam (89%) hanya sebagian kecil masyarakat non Islam. Adapun sarana prasarana yang dimiliki 132 Masjid, 241 Mushola dan 9 Pondok Pesantren.

5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sarana perekonomian di kota Madiun meliputi toko, KUD, serta badan usaha lain.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3

KOMPOSISI SARANA PEREKONOMIAN KOTA MADIUN

NO. KETERANGAN JUMLAH

1.2.

3.4.

5.

Pasar KUDToko Koperasi Simpan

Pinjam Badan-Badan Kredit

80527 2941

15 Sumber data : BPS kota Madiun, 2015

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sarana perekonomian di Kota Madiun paling besar adalah berupa pertokoan sejumlah 805 buah, selanjutnya diikuti oleh Koperasi Simpan Pinjaman sejumlah 41 buah, Koperasi Unit Desa (KUD) sejumlah 29 buah, Pasar sejumlah 27 buah serta paling sedikit berupa Badan-badan Kredit sejumlah 15buah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penggerak roda perekonomian di Kota Madiun paling besar adalah berupa pertokoan.

B. Deskripsi Peadagang Kaki Lima Di Kota Madiun

Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Madiun adalah Pedagang Ekonomi Lemah yang menggunakan bagian dari fasilitas umum sebagai tempat kegiatan usahanya dengan menggunakan peralatan bergerak atau tidak bergerak. Adapun fasilitas umum adalah segala fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota Madiun untuk kepentingan umum antara lain jalan, trotoar, jalan hijau, aloon-aloon dan tempat-tempat lainnya.

Hasil penelitian yang dilaporkan pada kesempatan ini hanyalah hasil pengamatan atau observasi pada PKL yang beroperasi di alon-Alon di kota Madiun, dan belum melakukan pendalaman data terhadap pelaku PKL, maupun pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas PKL. Hasil observasi yang telah dilaksanakan dapat diperoleh gambaran bahwa kegiatan PKL mempunyai mobilitas

(12)

yang sangat tinggi, artinya keberadaannya sering mengalami perubahan, misalnya dalam hal mengambil lokasi, jam kegiatan usahanya maupun kontinyuitasnya usahanya.

Sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi penghitungan ganda, ataupun penghitungan tidak dapat menjangkau keseluruhan PKL yang ada.

Jumlah PKL yang melakukan kegiatan usaha di Alon-Alon Madiun selama observasi dilakukan sekitar 107 orang. Angka-angka tersebut dapat dipastikan akan dapat berubah pada hari yang lain. Mengingat bahwa sebagian data yang tercatat terdapat diantaranya adalah pedagang musiman dengan kendaraan roda empat yang mangkal di tepi trotoar alon- alon. Gambaran jenis usaha PKL yang ada di Alon-Alon Kota Madiun selama observasi berlangsung sebagai berikut :

Tabel 4

PKL DAN JENIS USAHA DI ALON-ALON KOTA MADIUN TAHUN 2015 NO JENIS

USAHA JUMLAH PERSENTASE 1 Makanan &

minuman 70 57,37

2 Rokok 6 4,91

3 VCD 11 9,01

4 Bensin 3 2,45

5 Tambal ban

& pompa 3 2,45

6 Mainan 20 16,39

7 Lain-lain 9 7,37

107 100

Sumber : data primer hasil observasi

Usaha lain-lain meliputi beberapa kegiatan jasa (ahli kunci, potong rambut, tambal ban, dll), serta menjual barang-barang lain, misalnya koran, jok kendaraan, bunga,

dll. Masing masing usaha tersebut jumlahnya relatif kecil dan tersebar di 4 sisi dari Alon- Alon Kota Madiun.

Dari Tabel 4 dapat diperoleh gambaran bahwa kegiatan PKL di Alon-Alon Kota Madiun sebagain besar bergerak dalam bidang makanan & minuman. Sedangkan untuk buah- buahan, tercatat sebagian terdiri dari pedagang musiman. Kondisi yang demikian dapat memberikan gambaran bahwa kegiatan usaha PKL yang banyak direspon atau di butuhkan masyarakat Madiun adalah bidang makanan dan minuman. Sedangkan bidang-bidang lain kurang mendapat respon dari masyarakat sehingga tidak berkembang, atau bisa terjadi karena kurang keberanian pihak pelaku usaha PKL untuk menerjuni pada bidang yang lain.

Jadi dapat disilmpulkan bahwa kegiatan usaha PKL di Madiun relatif kurang variatif.

Keberadaan PKL akan selalu mendekati keramaian atau kerumunan manusia. Oleh sebab itu maka pada kenyataannya lokasi PKL di Kota Madiun memusat pada tempat-tempat atau jalan-jalan tertentu, dan bahkan dapat hanya pada hari-hari atau jam-jam tertentu.

Bahwa tempat yang menjadi lokasi strategis untuk kegiatan usaha PKL, adalah Aloon- Aloon.

Namun demikian perlu untuk dicermati dari kondisi tersebut, sebab pada kenyatannya ternyata banyaknya PKL “tidak selalu” identik dengan kesemrawutan, kebersihan atau permasalahan lain. Bahkan lokasi seperti di Depan Kantor Kecamatan Taman, ternyata banyaknya PKL justru menjadi pendukung kegiatan masyarakat atau bahkan “dibutuhkan”

masyarakat. Sebab kegiatan PKL tersebut hanya bersifat temporer dan dapat menjadi obyek wisata. Sehingga tidak menimbulkan masalah kebersihan, kerapian, kemacetan lalu lintas, dll.

(13)

Penertiban PKL memerlukan observasi yang cermat dan pendekatan edukatif, agar tercipta suasana yang kondusif untuk pengambangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), namun tidak meng- orbankan ketertiban umum, kebersihan, keindahan dan ketertiban lalu lintas. Dalam observasi ini tempat usaha PKL dikatagorikan menjadi tiga kriteria yaitu permanen, semi permanen dan tidak permanen. Permanen artinya bahwa tempat usaha PKL sulit dibongkar karena terbuat dari tembok atau tidak dapat dipindah-pindah. Semi permanen artinya bahwa tempat usaha PKL mudah dibongkar dan dipindah-pindah. Tidak permanen artinya bahwa tempat usahanya mempunyai mobilitas.

Mengacu pada batasan tersebut maka sebagian besar PKL yang ada di Aloon- Aloon kota Madiun bersifat semi pemanen, yang artinya mengalami pasang bongkar setiap akan dan telah melakukan kegiatan usaha. Permasalahan yang muncul adalah ketika bongkaran alat berdagangnya di- simpan di tempat sembarangan, sehingga mengesankan ketidak rapian lokasi jalan tempat penyimpanan pada siang hari.

Namun demikian untuk kawasan Aloon-Aloon Kota Madiun hampir semua bangunannya semi permanen. Dengan tujuan jika selesai berdagang makan pada pagi harinya Aloon-Aloon Kota Madiun terlihat tertib, bersih dan keindahan.

Masalah spesifik lain yang penting juga untuk dicermati terhadap kegiatan usaha PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun adalah

“waktu” PKL melakukan kegiatan usahanya.

Ada beberapa katagori waktu usaha PKL yang dapat dicatat selama observasi yaitu :

1. Kegiatan usaha selama 15 jam

2. Kegiatan usaha pagi dari pukul 04.00 WIB

sampai pukul 07.00 WIB sore hari mulai pukul 16.00 WIB hingga 24.00, misal di daerah Aloon-Aloon Kota Madiun Utara dan Barat

3. Kegiatan sore sampai malammulai pukul 16.00 WIB hingga 24.00, Misal Aloon- Aloon Kota Madiun Selatan dan Timur 4. Kegiatan PKL yang muncul karena ada

kegiatan tertentu, misal ada pertandingan olah raga, pertunjukkan kesenian, pameran-pameran, dll.

5. Kegiatan usaha yang muncul karena musim tertentu, misal pedagang buah rambutan, duku, durian di tepi jalan dengan menggunakan becak atau mobil.

Pemahaman tentang waktu-waktu yang biasanya dimanfaatkan pelaku PKL di- perlukan untuk dapat melakukan kegiatan preventif terhadap penertiban, maupun ketika Pemerintah Kota akan merencanakan kebijakan sebagai upaya menumbuhkan kegiatan ekonomi rakyat, untuk mendukung perkembangan ekonomi daerah.

PENYAJIAN DATA

Keberadaan PKL di Kota Madiun telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 14 tahun 2012, tentang Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Bedasarkan ketentuan tersebut Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisatatelah ditetapkan sebanyak 19 jalan diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha pada jam-jam yang telah ditentukan.

Dari hasil observasi menunjukkan bahwa PKL di kota Madiun telah berkembang ke beberapa jalan dan tempat, serta pada jam-jam melewati yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian sektor usaha mikro dan kecil telah berkembang, dan

(14)

menjadi lapangan kerja tersendiri. Namun demikian kondisi ini perlu dicermati agar tidak menimbulkan masalah yang lain.

Semakin luas wilayah usaha PKL dan semakin lama waktu usaha PKL, berarti pula semakin besar potensi terjadi kesemrawutan yang terjadi. Oleh sebab itu untuk me- minimalisir Pemerintah Kota Madiun meng- antsipasi antara lain dengan aktif memasang rambu-rambu di tempat-tempat yang tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha PKL, melakukan penyuluhan- penyuluhan, aktif menerjunkan petugas untuk melakukan pengawasan dan pembinaan di lapangan.Tempat usaha PKL yang menyebabkan kotor, kumuh dan semrawut dan mengganggu lalu lintas harus dilakukan teguran-teguran. Sebab semakin banyak pelaku PKL yang melakukan pelanggaran, maka akan dianggap “biasa dan wajar” dan dianggap tidak melanggar hukum. Sehingga ketika harus dilakukan penertiban seringkali akan melakukan perlawanan.

A. Model Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Berbasis Pengembangan Kota Madiun Menjadi Tujuan Kota Wisata Beranggapan bahwa kegiatan PKL dapat membuka lapangan kerja, maka Pemerintah Kota Madiun harus benar-benar memperhatikan perkembang dan mendorong pertumbuhan agar dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Upaya strategis merangsang tumbuhnya PKL yang tertib, menarik, memenuhi kebutuhan masyarakat, mudah dijangkau namun dapat mewujudkan sebaran keramaian yang lebih merata di kota Madiun, sangat memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Pemerintah mempersiapkan lahan untuk dapat dimanfaatkan melakukan berbagai kegiatan bersifat rekreatif, sportif,

atau kegiatan lain yang dapat mengundang masyarakat. Sedangkan pihak investor dan masyarakat dapat berpartisipasi dengan mengisi kegiatan yang menimbulkan keramaian.

Identifikasi potensi Kota Madiun yang dapat “dijual” untuk tujuan kota wisatamengundang kehadiran masyarakat ke Madiun, atau mengundang keramaian, antara lain :

1. Potensi lokasi yang sudah ada, dapat dikemas menjadi tujuan rekreasi antara lain, Alon-Alon, Stadion, Taman Hiburan Rakyat (THR), Taman Hijau Demangan (THD), lahan parkir terminal lama (Carefur dan Suncity), Jalan H. Agus Salim mulai perempatan jalan Merpati

& untuk arena berjalan kaki, Jalan Pahlawan baik hari-hri biasa maupun kegiatan cardfreday pada hari minggu serta Lapangan Gulun.

2. Sedangkan tempat-tempat di Kota Madiun yang menjadi daya tarik masyarakat di luar Madiun untuk berkunjung ke Madiun antara Masjid Besar Kota Madiun, peninggalan sejarah, makam- makam kuno, serta beragam departemen store yang sering dikunjungi kerabat dari luar kota.

3. Sedangkan potensi “waktu” yang dapat mengundang masyarakat untuk ber- kunjung ke Madiun membuat keramaian untuk dapat memberdayakan PKL adalah hari minggu, masa liburan, Hari Raya Idul Fitri, kehadiran tamu-tamu intastansi dari luar kota.

Pengumpulan data yang lebih mendalam terhadap PKL dan stake holdernya diperlukan untuk dapat mengidentifikasi potensi kekuatan, kelemahan-kelemahan PKL di Kota Madiun, untuk selanjutnya dapat

(15)

diintegrasikan dengan program-program Pemerintah, maupun keinginan masyarakat untuk bisa mendapatkan barang-barang kebutuhannya yang dapat dipenuhi oleh PKL.

Sebab PKL yang ada saat ini sebagian besar bergerak dimakanan dan minuman.

Pedagang kaki lima merupakan kegiatan urban yang perkembangannya sangat fenomenal karena keberadaan semakin mendominasi ruang kota. Kegiatan ini di- pahami sebagai kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan kegiatan tersebut.

Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi pedagang kaki lima.

Kesulitan dalam menangani pedagang kaki lima dipengaruhi oleh sangat banyak aspek, yang membuat penataan itu sendiri menjadi suatu masalah yang sangat kompleks.

model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataadalah bahwa jumlah mereka sangat banyak dan memerlukan ruang yang cukup besar untuk kegiatannya.

Ruang yang besar itu harus berada di ruang publik atau tempat keramaian karena tempat itulah yang mendatangkan keuntungan. Tetapi ruang publik juga digunakan oleh kelompok pengguna lain, yang juga memerlukan ruang untuk kegiatan mereka di ruang publik.

Penelitian dilakukan untuk mencari model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatayang sedemikian besar jumlahnya di ruang publik, melainkan lebihpada mengetahui bagaimana menata antara kelompok pengguna ruang publik dapat dipahami dan diantisipasi, sehingga penggunaan ruang terbuka publik dapat optimal, baik bagi pedagang kaki lima maupun bagi kelompok pengguna yang lain.

Hal yang sangat mendasari tujuan ini adalah bahwa kegiatan perdagangan kaki lima sangat berkaitan dengan kegiatan publik dan dengan demikian pedagang kaki lima dapat menjadi salah satu unsur dari desain fisik ruang publik.

Pedagang kaki lima tidak mungkin dapat dihilangkan dari kegiatan diruang terbuka publik, terutama di kawasan komersial perdagangan, di mana mereka tidak hanya sebagai pelengkap tetapi juga sebagai unsur teatrikal kehidupan publik kota. Untuk itu dilakukan penelitian mengenai kebutuhan ruang dan karakter masing-masing kegiatan, yaitu pejalan kaki dan pedagang kaki lima.

Melalui penelitian dilakukan dari literatur, studi banding mengenai kondisi pedagang kaki lima, dan juga lewat pengumpulan data lapangan, dianalisa bagaimana kedua kegiatan tersebut dengan segala kebutuhannya akan ruang dapat saling berintegrasi di ruang terbuka publik kota. Hasil analisa inilah yang kemudian mendasari konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata.

Konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata yang adalah menempatkan pedagang kaki ] ima di ruang yang berdampingan dengan ruang untuk kegiatan sirkulasi kawasan, yaitu pedestrian dan jalan, dengan alternatif membuat suatu ruang terbuka publik baru di mana semua kegiatan publik berlangsung, termasuk kegiatan perdagangan kaki lima, dengan tetap memprioritaskan optimalisasi ruang terbuka publik bagi sirkulasi pejalan kaki. Konsep ini diwujudkan dalam bentuk penataan yang meliputi penataan perletakan, bentuk kics, dan juga perabot urban (street furniture) yang dapat mendukung kegiatan

(16)

tersebut, terutama dengan adanya pedagang kaki lima sebagai anggota resmi ruang terbuka publik.

Konsep model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata dimana ruang terbuka publik pada dasarnya tidak akan dapat menampung semua pedagang kaki lima yang ada sekarang. Hal ini merupakan implikasi yang perlu diperhatikan, selain juga aspek legalitas dan perlunya badan koordinasi yang akan mengatur keberadaan pedagang kaki lima di ruang terbuka publik.

Konsep penelitian dan pembahasan yang lebih mendetail mengenai aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial mengenai pedagang kaki lima maupun ruang terbuka publik kota.

Demikian model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataditerapkan, dengan kondisi atau permasalahan yang sama maupun berbeda, diperlukan penelitian pendahuluan mengenai karakter pedagang kaki lima dan ruang terbuka publik di kawasan tersebut sehingga disain yang akan dihasilkan dapat sesuai dengan kondisi kawasan yang akan ditata.

Sektor informal menunjukkan kepada cara Pemerintah Kota melakukan sesuatu dengan ciri : a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil;

d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif.

Karakteristik negatif yang belum ada kebulatan pendapat tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi antara para ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalah- masalah sosial untuk menerima definisi kerja

sektor informal di Indonesia sebagai berikut : a) Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah; b) Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses) bantuan, meskipun pemerintah telah menyediakannya; c) Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut belum sanggup membuat sektor itu mandiri.

Sektor informal di Indonesia, yang me- liputi : a) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedian secara formal; b) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha; c) Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja; d) Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; e) Unit usaha berganti- ganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain; f) Teknologi yang digunakan masih tradisional;

g) Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil; h) Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja;

i) Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri;

j) Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak resmi; dan k) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah.

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan

(17)

migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan ke- sempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.

PKL termasuk usaha kecil yang ber- orientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi- fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by experience” (belajar dari pengalaman).

Perbedaan persepsi model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengem- bangan tujuan kota wisata dalam cara menata keindahan dan ketertiban kota antara pemerintah dengan PKL harus dijembatani melalui komunikasi dan kerja sama yang baik. Pemerintah dan PKL harusbekerjasama dan berkomunikasi dengan baik, agar setiap aturan ataupun kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan PKL dalam rangka menciptakan keindahan dan ketertiban kota dapat diwujudkan. Setiap kebijakan harus menguntungkan kedua belah pihak. Artinya, tujuan pemerintah untuk menciptakan keindahan dan ketertiban kota dapat terwujud dan bagi PKL kegiatan mereka untuk mencari uang melalui berdagang dapat tetap berlangsung. Disamping itu Pemerintah juga dituntut untuk bisa bersikap tegas terhadap

PKL yang tidak mau diatur (melanggar aturan).

Model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataharus dilakukan dengan memperhatikan aspek keindahan, ketertiban dan kepentingan PKL itu sendiri. Caranya adalah dengan memfasilitasi PKL dengan menyediakan tempat-tempat khusus bagi PKL untuk berdagang. Kepentingan ekonomi PKL perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan PKL dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa merusak aspek keindahan dan ketertiban kota.

Model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatadapat dilakukan dengan menyeragamkan alat-alat berdagang para PKL. Sebagian besar para PKL yang menjadi responden memandang perlu menyeragamkan alat-alat berdagang mereka untuk menunjang keindahan dan ketertiban kota. Disamping itu, relokasi bagi PKL yang selama ini menempati tempat-tempat yang diangap mengganggu keindahan dan ketertiban kota juga dapat dilakukan.

Sebagian besar para PKL setuju kebijakan relokasi diberlakukan terhadap para PKL yang menempati lokasi yang melanggar perda, karena akan dapat mengatasi persoalan keindahan dan ketertiban kota. Sebagian besar responden berpendapat bahwa kebijakan relokasi dapat mengatasi persoalan ketertiban dan keindahan, sedangkan berpendapat kebijakan relokasi tidak dapat mengatasi persoalan ketertiban dan keindahan.

Jenis dagangan pedagang kaki lima ada yang bermacam-macam, mereka tidak selalu menjual dagangan hanya satu jenis saja, sementara tempat khusus yang disediakan

(18)

hanya menyediakan tempat-tempat yang menjual barang sejenis.

Selain itu pemerintah harus mampu memberdayakan para PKL. Pemerintah dan PKL harus mampu menjadi mitra kerja, artinya ada kerjasama yang baik dan sejalan antara kedua belah pihak, sehingga tujuan penting dari penataan tersebut dapat dicapai. Segala kebijakan pemerintah dalam membuat model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatayang dibuat untuk PKL jangan sampai menyebabkan PKL merasa dirugikan.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Kebijakan pemerintah kota dalam model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata dilakukan dengan maksimal. Peraturan-peraturan yang mengatur PKL dalam berdagang masih bersifat parsial. Pedagang kaki lima hanya diatur dari sisi ketertiban dan keindahan kota, implementasi kebijakan terhadap penataan PKL selalu menjadi sumber konflik antara PKL dengan pemerintah kota karena bentuk operasional implementasi kebijakan tersebut hanya berupa penertiban, dan penataan. Penertiban selalu berkonotasi PKL melanggar peraturan dan tidak diakui keberadaanya, sementara penataan mempunyai makna pengakuan terhadap eksistensi PKL

2. Beberapa tempat yang menjadi lokasi strategis untuk kegiatan usaha PKLdi Aloon-Aloon. Namun demikian perlu untuk dicermati dari kondisi tersebut, sebab pada kenyatannya ternyata banyaknya PKL “tidak selalu” identik

dengan kesemrawutan, kebersihan atau permasalahan lain. Bahkan lokasi di Aloon-Aloon ternyata banyaknya PKL justru menjadi pendukung kegiatan masyarakat atau bahkan “dibutuhkan”

masyarakat. Sebab kegiatan PKL tersebut hanya bersifat temporer dan dapat menjadi obyek wisata. Sehingga tidak menimbulkan masalah kebersihan, kerapian, kemacetan lalu lintas, dan lain- lain.

3. Model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataselalu diterjemahkan oleh pemerintah kota sebagai tidak melanggar perda. Pe- dagang kaki lima dianggap tidak tertib karena melanggar batas-batas larangan berdagang di zona yang diatur dalam perda. Hal ini hampir menjadi pandangan semua pejabat yang terkait dengan urusan PKL.

4. Sedangkan dalam memaknai kota yang indah, makna elok merupakan model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisata lebih banyak digunakan untuk mengartikan kata indah. Pendefinisian konsep indah juga tidak terlepas dari latar belakang bidang kegiatan yang menjadi tugas pokok dan fungsi instansi. Sementara para PKL juga mengkaitan konsep indah dengan tertib, bersih, aman, tenteram, nyaman, lancar, rapi dan teratur, meskipun berdasarkan arti katanya keindahan tidak selalu berkaitan dengan kata-kata tersebut.

Kedelapan kata tersebut dipasangkan dengan mengkombinasikan paling tidak tiga kata untuk memberi pengertian konsep indah.

(19)

5. PKL di Aloon-Aloon di kota Madiun bersifat semi pemanen, yang artinya mengalami pasang bongkar setiap akan dan telah melakukan kegiatan usaha.

Permasalahan yang muncul adalah ketika bongkaran alat berdagangnya disimpan di tempat sembarangan, sehingga mengesankan ketidak rapian lokasi jalan tempat penyimpanan pada siang hari.

6. Pedagang sektor informal khususnya pedagang kaki lima (PKL) mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pe- dagang sektor formal. Mobilitas yang tinggi, mudah dimasuki oleh ber bagai kalangan dengan latar belakang pen- didikan, usia, ketrampilan, asal daerah, dan jumlah tenaga kerja yang berbeda-beda.

Karakteristik tersebut akan berpengaruh terhadap penataan para PKL.

7. Tempat usaha PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun yang menyebabkan kotor, kumuh dan semrawut dan mengganggu lalu lintas segera dilakukan teguran-teguran terhadap pelakunya, agar tidak terlanjur berkembang semakin banyak pelakunya.

8. Konflik dan resistensi selalu mewarnai hubungan antara PKL dengan pemerintah kota. Penertiban merupakan salah satu sumber yang paling sering menimbulkan konflik karena dianggap menghilangkan eksistensi para PKL.Bentuk-bentuk kon- flik berupa perlawanan dengan ke kerasan tidak ditemukan dalam penelitian, tetapi bentuk konflik berupa perlawanan secara lunak ditemukan dengan cara tetap berjualan di tempat semula setelah beberapa jam penertiban selesai dilakukan.

9. Kegiatan PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun sebagain besar bergerak dalam bidang makanan & minuman sedangkan

untuk buah-buahan, tercatat sebagian terdiri dari pedagang musiman. Kondisi yang demikian dapat memberikan gambaran bahwa kegiatan usaha PKL di Aloon-Aloon yang banyak direspon atau di butuhkan masyarakat Madiun adalah bidang makanan dan minuman.

Sedangkan bidang-bidang lain kurang mendapat respon dari masyarakat sehingga tidak berkembang, atau bisa terjadi karena kurang keberanian pihak pelaku usaha PKL di Aloon-Aloon untuk menerjuni pada bidang yang lain.

10. Adanya persamaan persepsi antara instansi pemerintah dengan PKL dalam memaknai konsep model penataan pe dagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisatamenjadi modal awal untuk menata para PKL tersebut.

Karak teristik PKL seringkali tidak dapat mengikuti implementasi konsep keindahan dan ketertiban yang menjadi acuan para pejabat pemerintah, oleh karena itu dalam menata PKL perlu diikutsertakan.

B. Saran

Saran yang dapat disampaikan terkait dengan model penataan pedagang kaki lima (PKL) berbasis pengembangan Kota Madiun menjadi tujuan kota wisataadalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penertiban terhadap PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun yang tidak sesuai dengan Perda dan mengganggu ketertiban umum, khususnya PKL yang menyebabkan kotor, kumuh dan se- mrawut dan mengganggu lalu lintas harus segera dilakukan teguran-teguran.

2. Pemerintah Kota Madiun harus merubah

(20)

persepsinya terhadap PKL bukan sebagai ekses dari kebijkan pembangunan perkotaan tetapi sebagai bagian dari realitas sosial yang akan selalu ada dalam proses pembangunan saat ini. Oleh karena itu PKL sudah harus menjadi variabel yang perlu diperhitungkan dalam merencanakan pembangunan kota.

3. Penataan terhadap PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keindahan, keter- tiban dan kepentingan PKL itu sendiri.

Caranya adalah dengan mem fasilitasi PKL di Alon-Alon Kota Madiun dengan menyediakan tempat-tempat khusus bagi PKL untuk berdagang. Kepentingan ekonomi PKL perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan PKL dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa merusak aspek keindahan dan ketertiban kota.

4. Para perencana kota harus sudah berfikir bahwa PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun merupakan realitas sosial yang akan selalu ada pada setiap tempat yang mengundang orang berkumpul. Oleh karena itu, perencana kota juga harus sudah memikirkan dimana para PKL tersebut nantinya akan ditempatkan atau diberi tempat.Upaya memaksimalkan relokasi PKLdi Aloon-Aloon Kota Madiun hendaknya terus ditingkatkan.

5. Apabila dipandang memungkinkan dapat dilaksanakan relokasi PKL di Aloon-Aloon Kota Madiun baru untuk menampung jumlah PKL yang terus meningkat.

6. Sudah saatnya dibuat perda tambahan tersendiri untuk menata PKL yang bukan merupakan bagian dari perda mengenai

ketertiban dan keamanan.

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, (2005), Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, ITS Press, Surabaya.

Effendi, Tadjuddin Noor, (1996) ”Perkem- bangan Penduduk, Sektor Informal, dan Kemiskinan Di Kota” dalam Dwiyanto, Agus, dkk (ed), Penduduk dan Pembangunan, Aditya Media, Jogya, 1996.

Evers, Hans Dieters dan Rudiger, Korf, (2002), Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan di Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kartono, dkk. (1980), Pedagang Kaki Lima, Universitas Katholik Parahiyangan, Bandung.

Mustafa, Ali Achsan (2008), Model Trans- formasi Sosial Sektor Informal, Sejarah, Teori, dan Praksis Pedagang Kaki Lima, Ins-TRANS Publishing, Malang.

Nasution, (1998), Metode Kualitatif Naturalistik, Tarsito, Bandung.

Sasono, Adi (1980), Teori Keterbelakangan dan Kemiskinan di Perkotaan, makalah tidak diterbitkan.

Singarimbun, Masri, Effendi, Sofyan, (1995), Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta.

Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif, CV. Alfabeta, Bandung.

Sutrisno, Lukman (1997) Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Suyanto, Bagong (2008) ”Migran Dianggap sebagai Beban daripada Potensi”, www.

Suarasurabaya.net diakses tgl 22-1-2009.

Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial.

Bandung : PT. Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

adanya PDRB, dan jumlah penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan Uraian diatas terkait dengan berbagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

Hasil identifikasi telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses menunjukkan rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nuraeni tahun 2011 yang meneliti Penggunaan Model Connected Mathematics task (CMT) Untuk meningkatkan kemampuan Pemecahan

karena asas hukum acara perdata dalam hal pembiayaan menyebutkan “ tidak ada biaya tidak ada perkara” bagaimana masyarakat yang miskin secara finansial dapat beracara di

Analisis yang dilakukan terhadap kurikulum matematika untuk kelas VIII SMP adalah mengenai kesesuaian materi dengan pendekatan pembelajaran berbasis penemuan terbimbing..

Fokus penelitian ini bertujuan untuk memudahkan dan memberikan arahan yang jelas pada penelitian yang dilakukan, sehingga dapat memberikan batasan pada objek yang

Setelah melewati langkah langkah sebelumnya, yaitu pada proses visi serta proses pengembangan data data yang inti, maka bagian pertama yang dilakukan adalah membuat desain

Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut diperoleh adanya hasil yang memuaskan terhadap penerapan model pembelajaran kontekstual berbantuan media video sebagai