• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ecosystem characteristics of mangrove at small islands of wakatobi national park, Southeast Sulawesi Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ecosystem characteristics of mangrove at small islands of wakatobi national park, Southeast Sulawesi Province"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK EKOSISTEM MANGROVE PADA

PULAU-PULAU KECIL DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

JAMILI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Ekosistem Mangrove pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2010

J a m i l i

(3)

JAMILI. Ecosystem Characteristics of Mangrove at Small Islands of Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi Province. Under Supervisors of DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, and EDI GUHARDJA

The study was aimed to elaborate structure and composition of mangrove vegetation and to examine relationship between mangrove vegetation pattern and abiotic factors in Kaledupa, Derawa and Hoga Islands in Wakatobi National Park. Sampling of vegetation was done continuously across mangrove community, starting from front (seaward) vegetation formation to the inner formation (landward) by line transect and plot methods. Structure and composition of were determined through vegetation analysis with parameter including frequency, relative frequency, density, relative density, dominance, relative dominance, importance value, zonation determination, natural regeneration, distribution of stem diameter (diameter et breast high) and status of mangrove community. Species diversity was analyzed using Shannon Wiener Index. Analysis of Variance (ANOVA) was used to see difference of abiotic factors among islands and Duncan-test to examine abiotic factors having significantly different responses (p = 0,05). 20 species of true mangrove were found and the largest species was found in Kaledupa Island. Distribution of mangrove vegetation species in the study areas was supposed to be related to wave protection, siltation, and freshwater input. The highest total individual density was found in Kaledupa Island and the lowest one was found in Derawa Island. Species of Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., and Rhizophora mucronata Lamk with the highest density was found in Derawa Island. Diversity Index of mangrove vegetation species was chategorized as low. Species having a good natural regeneration was found at Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., and Ceriops decandra (Griff.) Kaledupa Island, and Osbornia octodonta F.v.M Hoga Island. For genus of Rhizophora besides reproduce through seed/propagule, it is also reproduce vegetatively through branches. Environmental factors of soil having significant relationship with the community pattern in this study were: pH, Kalium (available), and Salinity. Content of soil organic material, Nitrogen (total), Phosphate (available) and soil texture (silt, clay and sand) did not show a significant relationship with the community pattern of mangrove vegetation community. Zonation pattern of mangrove vegetation was only found in Kaledupa Island. Mangrove zonation Kaledupa Island consisted of four zones. Successively, from the seaward to the landward were Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou zone. Height of seawater inundation was factor having significant relationship with zonation pattern. Distribution of diameter classes was chategorized as J-shaped graph model. Status of mangrove community in this national park was classified as damaged class due to human activities.

(4)

JAMILI. Karakteristik Ekosistem Mangrove Pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, IBNUL QAYIM, dan EDI GUHARDJA

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan komposisi, kerapatan, keanekaragaman spesies, sebaran kelas diameter batang, pola zonasi mangrove, permudaan alami mangrove, menentukan kondisi komunitas mangrove dan menguji hubungan antara pola vegetasi mangrove dengan faktor abiotik di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, serta hubungan zonasi mangrove di pulau Kaledupa dengan tinggi penggenangan.

Sampling vegetasi dilakukan dengan metode transek garis dan metode plot (Muller - Dombois & Ellenberg 1974; Cintron et al. 1980; Cintron & Novelli 1984). Dari masing-masing pulau dibuat 3 buah garis transek secara kontinyu memotong komunitas mangrove, mulai formasi mangrove paling depan (arah laut) sampai formasi paling belakang (arah darat), dengan luas plot 10 x 0 m. Jumlah total plot di Pulau Kaledupa sebanyak 101 plot, Pulau Derawa 35 plot dan di Pulau Hoga 23 plot. Dari masing-masing plot didata, meliputi nama spesies, ukuran lingkar batang setinggi dada (dbh), dan jumlah individu masing-masing spesies mangrove strata pohon, tiang dan strata sapihan. Untuk strata semai didata nama spesies dan jumlah individu masing-masing spesies. Pengambilan contoh subtrat mangrove menggunakan bor tanah (corer) dengan teknik composite sample pada setiap plot pengamatan.

Pengambilan data periode dan tinggi penggenangan air pasang menggunakan suatu alat dan metode yang dikembangkan sendiri oleh peneliti.

Data sekunder meliputi : letak geogafi, kondisi topografis, kualitas perairan, potensi sumberdaya dan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut serta aksesibilitas kawasan dari Balai Taman Nasional Wakatobi dan Bapeda Kabupaten Wakatobi. Data iklim Sulawesi Tenggara dan data curah hujan Kabupaten Wakatobi dari Stasiun Meteorologi Maritim Kendari.

Analisis struktur vegetasi meliputi : Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), Frekuensi Relatif (FR), dan Nilai Penting (NP) dari masing-masing lokasi penelitian, mengacu rumus Cox, (1979). Keanekaragaman spesies

menggunakan Indeks Shannon-Wienner, kekayaan spesies dengan Margalef

Indeks, dan kemerataan spesies dengan Pielou Indeks. Penentuan zonasi mangrove menggunakan nilai kerapatan relatif masing-masing spesies dari setiap plot pengamatan. Nilai kerapatan relatif ini kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi. Penentuan permudaan alami mangrove mengacu pada SK Direktur Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978 tentang pengelolaan hutan mangrove/ sylvikultur hutan payau. Penentuan sebaran kelas diameter batang menggunakan kriteria Daniel et al. (1979); Barbour et al. (1987). Data tentang tanah diketahui

melalui analisis laboratorium, meliputi pH dengan metode analisis

(5)

Total spesies mangrove yang ditemukan pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga di Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies, yang termasuk dalam 11 familia dan didominasi oleh familia Rhizophoraceae., Spesies yang ditemukan diseluruh lokasi penelitian adalah spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan spesies Acanthus ebracteatus Vahl., Ini berarti bahwa spesies tersebut memiliki distribusi yang luas, dan merupakan spesies yang umum di Taman Nasional Wakatobi. Sedangkan beberapa jenis hanya ditemukan di lokasi tertentu seperti spesies Xylocarpus spp., Lumnitzera spp., Acrostichum spp., Aeguceras cornikulatum (L.) Blanco., Excoecaria agallocha L. dan spesies Nypa fructicans Wurmb., hanya ditemukan di Pulau Kaledupa dan spesies Osbornia octodonta F.v.M., hanya ditemukan di Pulau Hoga.

Kerapatan total individu pada semua strata pertumbuhan dari semua spesies, yang tertinggi ditemukan di Pulau Kaledupa dan yang paling rendah ditemukan di Pulau Derawa. Ada pergantian spesies yang mendominasi pada vegetasi strata pohon, tiang, sapihan dan semai. Di pulau Kaledupa pada strata pohon kerapatan tertinggi diduduki oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk, strata tiang spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata sapihan dan semai ditempati oleh Ceriops tagal (Perr.). Dipulau Derawa strata pohon tiang, dan sapihan didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk., strata semai oleh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan di pulau Hoga strata pohon dan tiang oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk., dan strata sapihan dan semai didominasi oleh spesies Osbornia octodonta F.v.M.

Indeks keanekaragaman (Shannon-Wienner) spesies vegetasi mangrove di

pulau Kaledupa (H’ = 1,48), pulau Derawa (H’= 0,65), dan pulau Hoga (H’=1,04).

Nilai ini termasuk kategori rendah. Menurut Barbour et al. 1987, indeks keanekaragaman spesies merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman spesies cenderung akan lebih tinggi.

Zonasi vegetasi mangrove, hanya ditemukan di Pulau Kaledupa. Zonasi mangrove di Pulau Kaledupa terdiri dari 4 zona. Secara berturut-turut mulai dari arah depan (arah laut) sampai ke dalam (arah darat) meliputi zona Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora apiculata Bl., Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dan zona Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou. Faktor tinggi penggenangan air laut mempunyai hubungan secara nyata dengan zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa.

Permudaan alami spesies Rhizophora mucronata Lamk., Rhizophora

(6)

Struktur tegakan seluruh spesies vegetasi mangrove dengan parameter Kaledupa Rhizophora mucronata Lamk., di Pulau Derawa dan spesies Sonneratia alba Smith di Pulau Hoga termasuk dalam kategori bentuk tegakan tidak teratur. Bentuk tegakan tersebut menunjukkan bahwa individu-individu yang berdiameter kecil jumlahnya terbatas, dan akan menurun bersamaan dengan bertambahnya ukuran diameter batang, sedangkan individu-individu yang memiliki ukuran diameter pada rentangan rata-rata jumlahnya paling banyak, dan menurun kembali pada ukuran diameter diatas ukuran rentangan rata-rata. Model grafik tegakan tidak teratur merupakan indikasi bahwa dalam populasi tumbuhan yang mengalami gangguan baik secara alamiah maupun non alamiah.

Sifat kimia dan tekstur substrat yang mempunyai hubungan signifikan dengan pola komunitas mangrove dalam penelitian ini adalah : pH, Kalium (tersedia), dan Salinitas. Sedangkan Kandungan Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah (liat, debu dan pasir) tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove di lokasi kajian. Bahan Organik Tanah, Nitrogen (total), Phospat (tersedia) dan tekstur tanah tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Faktor pH menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove. Nilai pH yang tertinggi ditemukan di Pulau Derawa, tetapi masih masuk dalam kategori netral. Nilai pH di Pulau Kaledupa dan Hoga termasuk dalam kategori agak masam. Kandungan Kalium tersedia tanah menunjukan hubungan yang nyata dengan pola komunitas yang terbentuk. Nilai kalium tersedia di Pulau Hoga tergolong sedang, dan nilai kalium tersedia di Pulau Kaledupa dan Derawa tergolong rendah. Faktor lingkungan yang khas bagi semua tumbuhan mangrove adalah tanah dengan kandungan salinitas tinggi. Dalam penelitian ini faktor salinitas tanah menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pola komunitas vegetasi mangrove.

(7)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan Karya Ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

JAMILI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, M.Sc.

(Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc

(Departemen Biologi, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc (Kepala Kebun Raya Cibodas)

2. Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS

(10)

Nama : J a m i l i

NRP : G363070071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Ketua

Dr. Ir. Ibnul Qayim Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir. Miftahudin,M.Si. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

.

(11)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2009 ini ialah keanekaragaman hayati (biodiversity), dengan judul Karakteristik Ekosistem Mangrove pada Pulau-Pulau Kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari masa perkuliahan, pemilihan topik penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini selesai. Rasa terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing atas sumbangan tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan dari awal rencana penelitian ini disusun, tahap analisa data hingga karya ilmiah ini selesai ditulis. Disamping itu, penulis menyampaikan pernghargaan kepada kepala balai Taman Nasional Wakatobi beserta jajarannya yang telah banyak membantu selama pengambilan data lapangan. Kepada Pemerintah Republik Indonesia, melaui program BPPS – DIKTI , tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih atas bantuan biaya yang diberikan selama studi di IPB. Kepada Ayahanda Setradiwirya, dan Almarhum Ibunda Kabruk, ananda mengucapkan terima kasih sedalam dalamnya. Pengorbanan yang Ayah dan Ibu berikan kepada ananda tak ternilai harganya. Walaupun dalam keadaan sederhana dan tidak sempat menamatkan Sekolah Dasar, Ayah dan Ibu selalu mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya, dan tiada henti-hentinya mendoakan dan menasihati ananda hingga mencapai jenjang pendidikan tertinggi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Andi Suriati, S.Pd., dan anak-anak tersayang Achmad Fauzi dan Milla Nursyadida, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Oktober 2010

(12)

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada Tanggal 20 Juni 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan Setra Diwirya dan Kabruk. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari, lulus pada tahun 1991. Tahun 1994 penulis diterima studi lanjut di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, melalui program pra S-2 dan pada tahun 1995 diterima di Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menamatkanya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS – DIKTI.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Haluoleo Kendari sejak tahun 1992 dan ditempatkan di Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sejak tahun 1998 ditempatkan di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada universitas yang sama. Mata Kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Mata Kuliah Biologi Umum, Ekologi Dasar, Ekologi Tumbuhan, dan Konservasi Sumberdaya Alam.

Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul “Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” pada Indonesian Journal of Marine Science (terakreditasi dikti No

83/DIKTI/KEP/2009). Artikel lain berjudul” Flora Mangrove di Taman Nasional

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” telah diterbitkan pada Majalah Ilmiah Sains dan Matematika (ISSN 1410-4385) Volume 13 Nomor 3 Desember 2009,

dan artikel dengan judul “ Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa Taman

(13)

xii

C. Distribusi dan Komposisi Mangrove ……….. 9

D. Struktur Vegetasi Tegakan Mangrove ………... 11

E. Zonasi Vegetasi Mangrove ………. 12

F. Regenerasi Vegetasi mangrove ……….. 15

G. Faktor Lingkungan Vegetasi Mangrove ………. 16

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ………. 20

A. Letak Geografi ……… 20

B. Topografi ………. 21

C. Iklim ……… 22

D. Kualitas Perairan ………. 23

E. Potensi Sumberdaya Alam ……….. 23

F. Potensi Sumberdaya Manusia ………. 25

1. Jumlah Penduduk ……….. 25

2. Penyebaran Penduduk ……….. 25

3. Pendidikan Penduduk ………... 26

4. Pekerjaan Penduduk 26 G. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut …………. 27

1. Perilaku Masyarakat yang Merusak Terumbu Karang ……. 27

(14)

xiii

1. Penelitian Pendahuluan ……… 34

2. Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi …… 34

3. Teknik Pengambilan Data ……… 36

a. Data Vegetasi ……… 36

b. Data Flora dan Penyebaran Mangrove …..………... 37

c. Data Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove ………. 38

d. Data Penggenangan Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa ………. 39

e. Data sekunder ………... 40

4. Analisis Data ……… 41

a. Kelimpahan Spesies Mangrove ……….. 41

b. Indeks Keanekaragaman Spesies Mangrove ……… 42

c. Penentuan Zonasi Vegetasi Mangrove ………. 42

d. Penentuan Permudaan Alami Vegetasi Mangrove …….. 43

e. Sebaran Kelas Diameter Batang Vegetasi Mangrove ….. 43

f. Analisis Data Tanah/Substrat ……….. 43

g. Penentuan penyebaran Flora Mangrove ... 43

h Keadaan Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi……… 44

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 45

A. Pulau Kaledupa ………. 45

1. Komposisi dan Keraptan Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa ………. 47

2. Indeks Keanekaragaman(H’), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Spesies mangrove di Pulau Kaledupa ………. 55

3 Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa ……… 57

4 Hubungan antara Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa dengan Tinggi Penggenangan dalam Komunitas Mangrove………. 59

5 Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa .. 64

6 Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau

(15)

xiv

4 Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Derawa …. 87

5 Sebaran Kelas Diameter Batang Vegetasi Mangrove di

1 Komposisi dan Kerapatan Spesies Mangrove di Pulau Hoga

……… 94

2 Indeks Keanekaragaman(H’), Indeks Kekayaan Spesies (R) dan Indeks Kemerataan (e) Vegetasi Mangrove di Pulau

Hoga ………. 100

3 Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga ………... 101

4 Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Hoga ……. 102

5 Sebaran Diameter Batang Vegetasi Mangrove di Pulau

dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi……… 110

3. Keanekaragaman Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa,

Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional

Wakatobi……… 112

4. Zonasi Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan

Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi……….. 113

5. Permudaan Alami Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa,

Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi…….. 117

6. Sebaran Diameter Batang Spesies Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional

Wakatobi……… 119

7. Kondisi Umum Lingkungan di Pulau Kaledupa, Derawa,

dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi……….. 120

8. Sifat Kimia dan Tekstur Substrat Vegetasi Mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga Taman Nasional

(16)

xv

B. SARAN ………... 139

DAFTAR PUSTAKA ……….. 141

(17)

xvi

Halaman

1. Data curah hujan Stasiun Waha Kecamatan Tomia Kabupaten

Buton (sekarang wakatobi) selama 10 tahun ……… 23

2. Parameter fisika-kimia perairan Taman Nasional Wakatobi ……… 24

3. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan tingkat pertumbuhan

rata-rata pertahun di Kabupaten Wakatobi (2000 – 2006) ... 25

4. Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di

Kabupaten Wakatobi, tahun 2006 ... 26

5. Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk

menurut kecamatan di Kabupaten Wakatobi, tahun 2000 ……….. 27

6. Distribusi penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis pekerjaan di empat kecamatan wilayah Kabupaten Wakatobi, tahun 2000

……… 28

7. Kriteria kerusakan mangrove berdasarkan nilai kerapatan pohon/

hektar ……….. 43

8. Komposisi spesies mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Kaledupa ………. 47

9. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Kaledupa………. 48

10. Komposisi spesies mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di

Pulau Kaledupa……… 48

11. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di Pulau

Kaledupa ………. 49

12. Komposisi spesies mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh

< 10 cm) di Pulau Kaledupa …..……… 50

13. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh <

(18)

xvii 14. Komposisi spesies mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m)

di Pulau Kaledupa……… 51

15. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di

Pulau Kaledupa……… 52

16. Indeks keanekaragaman (H’), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks

kemerataan Jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa 56

17. Jumlah hari tergenang dan kisaran tinggi penggenangan dari

permukaan tanah setiap zona mangrove di Pulau Kaledupa………... 60

18. Kerapatan spesies mangrove strata sapihan dan semai

(individu/hektar) di Pulau Kaledupa……… 65

19. Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Derawa………. 80

20. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Derawa………. 80

21. Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di

Pulau Derawa……….. 81

22. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di Pulau

Derawa……… 81

23. Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan

dbh < 10 cm) di Pulau Derawa………. 82

24. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh <

(19)

xviii

di Pulau Derawa……….. 83

26. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10

cm) di Pulau Derawa……….. 83

27. Indeks keanekaragaman (H’), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks

kemerataan Jenis (e) vegetasi mangrove di Pulau Derawa… 85

28. Kerapatan.vegetasi mangrove strata sapihan dan semai

(individu/hektar) di Pulau Derawa……….. 87

29. Kerapatan vegetasi mangrove strata pohon dan tiang

(individu/hektar) di Pulau Derawa……….. 88

30. Komposisi vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Hoga………. 94

31. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm) di Pulau

Hoga………. 94

32. Komposisi vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di

Pulau Hoga……….. 95

33. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19 cm) di Pulau

Hoga………. 96

34. Komposisi vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5 m dan

dbh < 10 cm) di Pulau Hoga……….. 96

35. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh <

10 cm) di Pulau Hoga……….. 97

36. Komposisi vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m)

di Pulau Hoga……….. 98

37. Frekuensi relatif, kerapatan relatif, dominansi relatif dan nilai penting vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di

Pulau Hoga……….. 98

38. Indeks keanekaragaman (H’), indeks kekayaan jenis (R), dan indeks

(20)

xix 40. Flora mangrove sejati di Taman Nasional Wakatobi. Pengamatan

dilakukan dengan teknik jelajah pada komunitas mangrove di Pulau

Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga……… 107

41 Kerapatan (individu/hektar) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh 10 – 19 cm) , sapihan (dbh 10 – 19 cm) , dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional

Wakatobi ………. 110

42 Indeks Keanekaragaman (H’) vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20 cm), tiang (dbh 10 – 19 cm) , sapihan (dbh 10 – 19 cm) , dan semai (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional

Wakatobi ……… 112

43 Kerapatan (total individu/ hektar) vegetasi mangrove strata semai

(tinggi > 1,5m dan dbh < 10 cm) di Taman Nasional Wakatobi…. 117

44. Sifat kimia tanah dan tekstur tanah (%) vegetasi mangrove di

(21)

xx

1. Road map penelitian karakter ekologi vegetasi mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi

Tenggara ………. 6

2. Peta wilayah Taman Nasional Wakatobi ……….. 21

3. Jalur transportasi laut dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara

(Kendari) menuju Taman Nasional Wakatobi……… 31

4. Peta Taman Nasional Wakatobi dan peta lokasi penelitian ………... 33

5. Model transek dan plot-plot pengamatan vegetasi mangrove dan

faktor abiotik pada masing-masing pulau sampel pengamatan ... 35

6. Penentuan posisi pengukuran lingkar batang vegetasi mangrove

setinggi dada (dbh) ………. 37

7. Peralatan untuk mengukur tinggi penggenangan dalam komunitas

mangrove………. 40

8. Komunitas mangrove transek I Pulau Kaledupa ………. 45

9. Formasi dari depan (arah laut) komunitas mangrove pada transek II

Pulau Kaledupa ……….

46

10. Komunitas mangrove transek III Pulau Kaledupa ………. 46

11. Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa ……. 53

12. Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa ……….. 58

12a Zonasi vegetasi mangrove dan tinggi penggenangan di Pulau

Kaledupa ……… 61

13. Adapatasi Rhizophora spp pada daerah yang selalu tergenang

pasang harian dengan tinggi penggenangan yang tinggi ………….. 62

14. Adaptasi Ceriop spp pada daerah yang kadang-kadang tergenang

pasang air laut dengan tinggi penggenangan yang rendah ………... 63

15. Propagule sebagai alat perkembangbiakan secara alami pada familia

Rhizophoracea ……… 63

16. Spesies Ceriops tagal (Perr.) C.B. Rob., dengan ukuran keliling pangkal batang 10 cm dan tinggi 90 cm telah menghasilkan

(22)

xxi spesies Rhizophora apiculata Bl, yang sangat rapat menyebabkan

tidak tersedianya ruang untuk pertumbuhan propagul.……….. 67

18 Semai Rhizophora spp tumbuh subur di bawah tegakan pohon induk

yang mengalami gangguan akibat penebangan ………. 68

19. Subtrat yang terbentuk di didepan formasi mangrove pada saat air surut tinggi dapat mencapai 600 meter. Tidak ditemukan semai vegetasi mangrove yang tumbuh pada area di depan formasi terluar

(arah laut)………. 69

20. Perkembangbiakan vegetatif alami pada Rhizophora spp.Batang pada botol bekas kemasan air pada bagian kiri dan kanan berasal dari pohon induk yang sama yang telah siap menjadi individu baru

yang terpisah……… 71

21. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa…….. 72

22. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa……... 74

23. Pemukiman penduduk di Desa Ambeuwa dibangun pada area

komunitas mangrove Pulau Kaledupa………. 75

24. Alih fungsi lahan mangrove untuk budidaya tanaman kelapa yang

dilakukan oleh sebagian penduduk di Pulau Kaledupa……….. 76

25. Alih fungsi lahan mangrove untuk pembangunan sarana umum di

Pulau Kaledupa……… 77

26. Pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat di Pulau Kaledupa……… 78

27. Fisiognomi dari arah laut komunitas mangrove di Pulau Derawa….. 79

28. Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Derawa………. 84

29. Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Derawa……….. 86

30. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa……….. 89

31. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

masing-masing spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa . 90

(23)

xxii

oleh mangrove yang tergolong kecil/kerdil ……… 93

34. Persentasi nilai penting vegetasi mangrove di Pulau Hoga ………… 99

35. Zonasi vegetasi mangrove di Pulau Hoga ………. 101

36. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

seluruh spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga …………. 104

37. Grafik hubungan antara diameter batang dan jumlah individu dari

spesies dominan pada komunitas mangrove di Pulau Hoga……….. 105

38. Peta penyebaran komunitas mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa

dan Pulau Hoga……….. 109

39. Tipe pantai yang umum ditemukan di Pulau Derawa ……….. 114

40. Variasi habitat mangrove di Taman Nasional Wakatobi………. 116

41. Sumber air tawar di Pulau Kaledupa ………. 122

42. Bak penampungan air hujan masyarakat di Pulau Derawa ………. 123

43. Rhizophora mucronata Lamk ………. 168

44. Rhizophora apiculata Blume ………. 169

45. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk ……… 170

46. Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou ………. 171

47. Ceriops Tagal (Perr.) C.B. Rob ………. 172

48. Sonneratia caseolaris (L.) Engler ………. 173

49. Sonneratia alba Smith ……….. 174

50. Avicennia marina (Forsk.) Vierh ………... 175

51. Xylocarpus molucensis (Lamk.) Roem ……….. 176

52. Xylocarpus granatum Koenig ……… 177

53. Excoecaria agallocha L ………. 178

(24)

xxiii

56. Osbornia octodonta F.v.M ………. 181

57. Phemphis aciduta Frost. & f.………. 182

58. Acanthus ilicifolius L ……… 183

59. Acanthus ebracteatus Vahl ……….. 184

60. Acrostichum speciosum Wild………... 185

61. Acrostichum aureum Linn ……….. 186

62. Nypa fruticans Wurmb ………... 187

63. Peta Penyebaran Komunitas Mangrove di Taman Nasional

(25)

xxiv

Halaman

1. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20

cm) di Pulau Kaledupa ……….. 150

2. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19

cm) di Pulau Kaledupa ……….. 150

3. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi

>1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau……….. 151

4. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi

batang < 1,5 m) di Pulau Kaledupa ……… 151 sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Kaledupa …….. 153

8. Indeks keanekaragaman spesies (H’) vegetasi mangrove strata

semai (tinggi batang <1,5 m) di Pulau Kaledupa……….. 153

9. Tinggi penggenangan (cm) dan jumlah hari tergenang air pasang

pada plot-plot pengamatan vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa… 154

10. Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau

Kaledupa ………. 159

11. Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh

spesies pada komunitas mangrove di Pulau Kaledupa……… 160

12. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20

cm) di Pulau Derwa……… 160

13. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 – 19

cm) di Pulau Derwa………... 161

14. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi

(26)

xxv

batang < 1,5 m) di Pulau Derwa………. 161

16. Indeks keanekaragaman spesies (H’) vegetasi mangrove strata

pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Derawa………... 161

17. Indeks keanekaragaman spesies (H’) mangrove strata tiang (dbh

10 – 19 cm) di Pulau Derwa………... 162

18. Indeks keanekaragaman spesies (H’) vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi >1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Derwa…………. 162

19. Indeks keanekaragaman spesies (H’) vegetasi mangrove strata

semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Derwa……… 162

20. Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/hektar) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau

Derawa………. 162

21. Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh

spesies pada komunitas mangrove di Pulau Derawa……….. 163

22. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata pohon (dbh > 20

cm) di Pulau Hoga……….. 163

23. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata tiang (dbh 10 –

19 cm) di Pulau Hoga……….. 163

24. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata sapihan (tinggi

>1,5m dan dbh < 10 cm) di Pulau Hoga………. 164

25. Komposisi dan struktur vegetasi mangrove strata semai (tinggi

batang < 1,5 m) di Pulau Hoga……… 164

26. Indeks keanekaragaman spesies (H’) vegetasi mangrove strata

pohon (dbh > 20 cm) di Pulau Hoga……….. 164

27. Indeks keanekaragaman spesies (H’) mangrove strata tiang (dbh

10 – 19 cm) di Pulau Hoga……… 165

(27)

xxvi

semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga………. 165

30. Konversi kerapatan (individu/m) ke dalam (individu/ha) vegetasi mangrove strata semai (tinggi batang < 1,5 m) di Pulau Hoga …….. 166

31. Rentangan kelas diameter batang dan jumlah individu dari seluruh

spesies pada komunitas mangrove di Pulau Hoga……….. 166

32. Deskrifsi flora mangrove di Taman Nasional Wakatobi………….. 167

33. Peta penyebaran komunitas mangrove di Taman Nasional

Wakatobi………. 188

(28)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5o12’ Lintang Selatan sampai 6o10’ Lintang Selatan dan 123o20’ Bujur Timur sampai 124o39’ Bujur Timur. Dalam peta wilayah Indonesia, awalnya wilayah tersebut dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 2003 dimekarkan menjadi daerah otonom Kabupaten Wakatobi. Istilah Wakatobi diambil dari singkatan empat nama pulau utama yang ada di wilayah itu, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Potensi sumberdaya laut Kepulauan Wakatobi cukup tinggi, terutama sumberdaya terumbu karang. Wilayah ini terletak pada Pusat Segi Tiga Karang Dunia (Coral Tri-Angle Center), memiliki jumlah keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia (750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia), 900 jenis ikan dunia dengan 46 diversitas teridentifikasi. Wakatobi memiliki 90.000 hektar terumbu karang, dan Atol Kaledupa 48 km, yang merupakan atol terpanjang di dunia. Persentasi tutupan karang hidup antara 36,51– 52,86%, (Dhewani et al. 2006). Panorama bawah laut dengan keindahan ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman biotanya, menjadikan kawasan ini sebagi salah satu daerah kunjungan wisata, baik dalam maupun luar negeri, terutama bagi para pencinta wisata menyelam.

Ekosistem Kepulauan Wakatobi juga rentan terhadap berbagai gangguan, terutama akibat praktek pengelolaan sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Beberapa hal yang mengancam kegiatan pengelolaan sumberdaya laut di Kepulauan Wakatobi adalah perilaku masyarakat yang merusak terumbu karang, penggunaan bom ikan, penambangan batu karang, penambangan pasir, dan pengambilan kayu bakau.

(29)

Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996. Luas kawasan Taman Nasional Wakatobi ± 1.390.000 hektar, sama persis atau overlap dengan luas wilayah administratif Kabupaten Wakatobi. Sebagai taman nasional dalam pengelolaannya diperlukan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang kondisi ekologi keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Pada sisi lain, sebagai daerah otonom perhatian lebih banyak pada peningkatan pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ekosistem mangrove merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang menjadi target konservasi, dari berbagai potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil penelusuran literatur, bermacam-macam karakter ekologi mangrove pada berbagai negara dan daerah pantai di Indonesia sekarang telah banyak dikaji oleh para ahli. Namun demikian ternyata aspek ekologi mangrove pada pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum banyak diungkap. Selama ini penelitian terkait Taman Nasional Wakatobi, seperti COREMAP (2001), Dhewani et al. (2006), Hidayati et al. (2007), dan Mufti (2009), lebih banyak mengamati ekologi terumbu karang (coral reef), sosial ekonomi masyarakat, dan nilai ekonomi sumberdaya.

Kajian ilmiah secara lebih komprehensif masih diperlukan terkait keberadaan ekosistem mangrove di Taman Nasional Wakatobi. Sebagai ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil dan berada di daerah Wallacea, diduga memiliki keunikan-keunikan dan karakter ekologi yang berbeda dibandingkan dengan ekosistem mangrove pada berbagai daerah lain di Indonesia.

(30)

memprediksi perubahan-perubahan yang terjadi pada masa yang akan datang akibat kenaikan permukaan air laut.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dipandang perlu untuk mengadakan penelitian tentang karakteristik ekosistem mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Perumusan Masalah

Sebagai bagian dari sebuah taman nasional, ekosistem mangrove Taman Nasional Wakatobi perlu dikelola dengan perencanaan yang matang dan baik. Sampai saat ini informasi karakter ekologi vegetasi mangrove di Taman Nasional Wakatobi belum tersedia. Menurut Kusmana (1993), struktur vegetasi harus diklasifikasi terlebih dahulu dalam rangka melaksanakan suatu manajemen yang layak berdasarkan prinsip kelestarian. Spies & Tunner (1999) selanjutnya menyatakan bahwa, manajemen dinamika suatu landscap harus didasarkan pada proses-proses vegetasi yang menjadi dasar dari proses-proses ekologi yang berlangsung pada suatu ekosistem.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana penyebaran flora mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau

Hoga Taman Nasional Wakatobi?

2. Bagaimana struktur dan komposisi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan

pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi?

3. Bagaimana gambaran kondisi umum lingkungan di pulau Kaledupa, Derawa

dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi?

4. Bagaimana gambaran sifat kimia dan tekstur substrat vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi?

5. Bagaimana gambaran karakteristik mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan

pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang : 1. Penyebaran flora mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan Pulau Hoga

(31)

2. Kerapatan vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

3. Keanekaragaman spesies mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

4. Zonasi vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman

Nasional Wakatobi

5. Hubungan zonasi vegetasi mangrove dengan tinggi penggenagan pasang surut

di pulau Kaledupa

6. Permudaan alami vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

7. Sebaran diameter batang vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan

pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

8. Kondisi umum lingkungan pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman

Nasional Wakatobi

9. Sifat kimia dan tekstur substrat vegetasi mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

10. Gambaran karakteristik mangrove di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

D. Manfaat Penelitian

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai data dasar yang dapat digunakan sebagai bahan penyusunan program konservasi in-situ komunitas mangrove, penelitian, pendidikan dan pariwisata di pulau Kaledupa, Derawa dan pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi

E. Kerangka Pemikiran

(32)

Pendekatan yang dipilih dalam memahami kompleksitas ekologi mangrove di Taman Nasional Wakatobi adalah dengan pendekatan analisis vegetasi dalam rangka mengklasifikasikan berbagai karakter ekologi mangrove. Menurut Gauch (1982), dalam Ludwig dan Reynolds (1988) ada beberapa tujuan utama dalam melakukan klasifikasi dalam ekologi, diantaranya: pertama meringkaskan data yang besar dan komplek, kedua membantu dalam membuat intepretasi berbagai pola komunitas pada suatu lingkungan, dan ketiga memperhalus model struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah.

Muller-Dombois & Ellenberg (1974) menyatakan bahwa yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi adalah sebagai berikut : (1) Pada kondisi habitat yang serupa akan ditemukan kombinasi spesies yang serupa yang berulang kehadirannya dari suatu tegakan ke tegakan lain. (2) Tidak ada tegakan atau sampel vegetasi yang betul-betul serupa, bahkan pada tegakan yang sangat berdekatan akan memperlihatkan penyimpangan terhadap yang lainnya. Hal tersebut akibat adanya peluang dari kejadian penyebaran spesies tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan kepunahan spesies. (3) Kumpulan spesies akan berubah seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan, dan (4) Komposisi tegakan vegetasi bervariasi dalam sekala ruang dan waktu.

(33)

Use Publikasi ilmiah dan Disertasi serta

bahan perumusan kebijakan konservasi in-situ komunitas mangrove di Taman Nasional Wakatobi

Data Dasar Ekosistem Mangrove Taman Nasional Wakatobi

Product Karakter Ekosistem Vegetasi Mangrove Taman

Nasional Wakatobi : Struktur dan Kelimpahan, Zonasi, Keanekaragaman, Regenerasi Alami dan

Faktor Abiotik Komunitas Mangrove

Koleksi Herbarium Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi

Methodology Survei Teknik Sampling Vegetasi

dan Faktor Abiotik

Research and Development

Analisis Vegetasi Mangrove Taman Nasional Wakatobi

(34)

A. Ekosistem Mangrove

Definisi mangrove telah banyak dilaporkan oleh para ahli, antara lain Macnae (1968); Chapman (1976); Lear & Turner (1977) ; Steenis (1978); Odum (1982); Kusmana (2002) ; Soerianegara & Indrawan (1982) ; Saenger (1983); Tomlinson (1986) ; Nybakken (1988). Mangrove digunakan untuk menunjukkan tumbuhan golongan pohon dan semak yang telah mengembangkan adaptasi pada lingkungan pasang surut air laut (intertidal). Mangrove merupakan hutan dengan pohon-pohon yang selalu hijau, toleran terhadap kadar garam tinggi, tumbuh subur pada pantai yang terlindung dari hempasan ombak besar, muara-muara sungai, dan delta pada negara-negara tropis dan sub tropis.

(35)

Ekosistem mangrove telah banyak dikaji oleh para ilmuwan (misalnya : Field 1995; Spalding et al. 1997; Dahdouh-Guebas et al. 2001). Vegetasi mangrove telah mengembangkan pola adaptasi secara morfologi dan fisiologi untuk hidup pada daerah pasang surut (intertidal). Pola adaptasi yang dikembangkan oleh vegetasi mangrove terhadap lingkungan pasang surut, yang mudah dikenali adalah sistem akar udara. Fungsi utamanya adalah untuk pertukaran gas, memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Terdapat perbedaan struktur akar napas antar jenis yang berbeda. Misalnya akar udara pada Avicennia spp, akar pancang pada Sonneratia spp, akar lutut pada Bruguiera spp, akar papan pada Xylocarpus spp, dan akar tunjang pada Rhizophora spp (Tomlinson 1986).

Adaptasi terhadap kadar garam yang berlebih dalam tubuh vegetasi mangrove, merupakan hal penting bagi beberapa jenis agar tetap eksis pada lingkungan salin. Spesies Avicennia spp, Aegiceras spp dan Aegialitis spp, menghilangkan kelebihan kadar garam melalui kelenjar pengeluaran (excretion glands) FAO (2007). Untuk meningkatkan perkembangbiakan secara alami, beberapa spesies mangrove telah mengembangkan sistem reproduksi yang sangat efisien. Pada familia Rhizophoracea, misalya Rhizophora spp, Bruguiera spp dan Ceriops spp mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter biji (propagul) bersifat vivipary, yaitu biji telah berkecambah dan berkembang ketika buah masih menempel pada pohon induk, atau dapat dipadankan sebagai tumbuhan yang melahirkan. Pada marga lain, misalnya Aegiceras, Avicennia, dan Nypa bersifat cryptovivipary (Barik et al. 1996)

B. Fungsi Ekosistem Mangrove

(36)

Ekosistem mangrove mendukung konservasi keanekaragaman hayati, dengan menyediakan tempat tinggal, tempat berkembang biak, tempat pengasuhan anak dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan. Termasuk beberapa golongan hewan yang terancam kepunahan, mulai dari golongan reptil, amphibi, aves, dan mamalia. Ekosistem mangrove dapat juga melindungi ekosistem terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) ( FAO 2007 ).

Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan ekosistem mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan darat. Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama bentuk seresah. Seresah mangrove merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Seresah tersebut akan mengalami dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi utama, dalam kedudukakannya sebagai konsumen primer. Zooplankton akan dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan. Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove, sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi (Lear & Turner, 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO 2007).

C. Distribusi dan Komposisi Mangrove

(37)

barat terdiri dari; wilayah Afrika-Amerika, meliputi; pantai lautan Atlantik, pantai lautan Pasifik dan kepulauan Galapagos. Belahan bumi timur meliputi ; Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang selatan, Australia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik Selatan. Sekitar 80% dari mangrove yang ada, ditemukan di wilayah Indo-Pasifik (Mastaller 1997).

Luas hutan mangrove Indonesia berkisar antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding et al. 1997). Areal mangrove yang luas di Indonesia terutama terdapat di pantai timur Sumatra, dan pantai barat dan selatan Kalimantan, serta Papua. Ekosistem mangrove yang masih baik ditemukan di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia (Noor et al. 1999). Di Sulawesi Tenggara luas hutan mangrove sekitar 54.259 ha, yang tersebar di Kabupaten Kendari, 16,750 ha, Kolaka 8,000 ha, Muna 16,600 ha, dan Kabupaten Buton 12,900 ha (Anonim 2000). Hasil analisis Citra Landsat ETN 7 2008 dan data lapangan pada saat penelitian ini dilakukan, luas hutan mangrove di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sekitar 1.046,126 ha.

Komposisi spesies mangrove relatif terbatas, apabila dibandingkan dengan tumbuhan pada hutan hujan tropis. Jumlah spesies mangrove yang pasti masih terdapat perbedaan diantara para ahli, Tercatat 50 sampai 70 spesies menurut klasifikasi yang berbeda (misalnya:Tomlinson 1986; Saenger et al. 1983; Lugo & Snedaker 1975; Aksornkoae et al. 1992), dengan keanekargaman yang tertinggi ditemukan di Asia. Di Indonesia komposisi spesies mangrove berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Kusmana (1993) melaporkan di Kalimantan Timur ditemukan 8 spesies, di Teluk Bintuni Irian Jaya 12 spesies (Kusmana et al. 1997), di Delta Tampina Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan ditemukan 10 spesies (Mustafa & Prawitosari, 1990), dan di Pantai Lanowulu Sulawesi Tenggara ditemukan 9 spesies (Jamili 2005)

Meskipun komposisi jenis mangrove berbeda antara berbagai tempat, tetapi secara umum spesies yang menyusun komunitas mangrove terdiri atas : (1)

Pohon-pohon yang termasuk dalam marga/genus Rhizophora spp, Bruguiera spp,

(38)

spp (familia Plumbaginaceae), dan Scyphipora sp (familia Rubiaceae), (3) golongan palm seperti Nipa frukticans dan golongan paku-pakuan, seperti Acrosticum sp. Golongan liana yang umum ditemukan di komunitas mangrove adalah Derris heptaphyla (Chapman 1976).

D. Struktur Vegetasi Tegakan Mangrove

Struktur vegetasi merupakan organisasi individu di dalam ruang yang membentuk suatu tegakan. Dalam ekologi vegetasi sedikitnya ada 5 level struktur vegetasi, yaitu fisiognomi vegetasi, struktur biomasa, struktur life form, struktur floristik, dan struktur tegakan/stand . Suatu tegakan dapat dibedakan dari tegakan sekitarnya oleh komposisi, umur, struktur, tempat tumbuh atau geografi (Barbour et al. 1987).

Dalam kajian struktur tegakan salah satunya bertujuan untuk

menggambarkan jumlah individu tumbuhan menurut kelas ukuran pohon, biasanya mencakup tinggi dan diameter batang tiap spesies yang terdapat di dalam tegakan tersebut. Informasi distribusi diameter batang merupakan salah satu hal yang penting untuk menggambarkan keadaan suatu tegakan mangrove. Sebaran diameter batang pada suatu areal hutan berperan penting dalam hubungannya dengan kepentingan ekologi, dengan asumsi bahwa pertumbuhan umur suatu tumbuhan, akan diikuti pula dengan meningkatnya ukuran diameter batangnya, maka ukuran diameter batang dapat digunakan untuk memperkirakan umur suatu tumbuhan. Penyebaran berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dan dapat digunakan untuk memprediksi gambaran populasi pada masa yang akan datang.

(39)

bentuk-bentuk lain, seperti bentuk-bentuk berlapis, bentuk-bentuk tidak teratur, dan tegakan cadangan. Tegakan seumur merupakan tegakan yang terdiri dari pohon yang sama, ditanam pada waktu yang sama atau dalam waktu yang bersamaan. Dalam bentuk model ini dapat diamati pula ciri-ciri yang dimiliki, yaitu tajuk yang seragam, kelas diameter yang terbanyak terdapat pada ukuran rata-rata. Tegakan tidak seumur secara teoritis, terdiri dari pohon-pohon pada segala tingkatan umur, mulai dari semai sampai usia tua. Ciri-ciri lain yang dapat diamati pada tegakan model ini adalah adanya tajuk yang terputus dan tidak seragam. Jumlah pohon yang tersebar berada dalam kelas diameter kecil.

E. Zonasi Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga kondisi lingkungan mangrove khas, kenyataan ini mungkin yang menyebabkan komposisi spesies mangrove relatif rendah, namun demikian kerapatan populasi masing-masing spesies umumnya besar. Walaupun habitat mangrove bersifat khusus, tetapi setiap spesies mempunyai kisaran ekologis tersendiri dan masing-masing spesies mempunyai relung (niche) yang khusus, sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam zona (mintakat).

(40)

tersebut terdiri atas :

1. Landward zone (zona ke area darat). Zona ini sering dijumpai sebagai zona yang sempit, karena bercampur dengan tumbuhan darat. Kebanyakan spesies mangrove yang ditemukan pada zona ini adalah Exoecaria agallocha L., Lumnitzera littorae (Jack.) Voiigt., Lumnitzera rasemosa Wild., Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou., Ceriops. tagal (Perr.) C.B.Rob., Aegiceras corniculatum (L.) Blanco., Avicennia marina (Forsk) Vierh., dan Heritiera littoralis Drynand.

2. Zona Ceriops spp. Zona ini hampir seragam, dengan ketinggian hampir mencapai 5 m yang didominasi oleh Ceriops spp. Spesies ini merupakan zona yang paling lebar di daerah yang bercurah hujan sedang. Pada daerah Queensland zona ini diwakili oleh Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou.

3. Zona Bruguiera spp. Pada zona ini puncak kesuburannya di temukan di Australia Timur Laut. Zona ini didominasi oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. yang berasosiasi dengan Xylocarpus granatum Koenig., Xylocarpus australosicus dan Heritiera littoralis Drynand.

4. Zona Rhizophora spp. Zona ini sering terdiri dari Rhizophora stylosa Griff. yang terletak dibelakang seaward zone, pada kebanyakan komunitas mangrove di Australia.

5. Zeaward zone. Zona ini merupakan spesies pionir, umumnya didominasi oleh Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Selain spesies tersebut, Sonneratia spp juga merupakan spesies pionir dalam zona ini.

Penjelasan tentang zonasi di atas merupakan pola yang berlaku pada suatu tempat, dan tidak semua mangrove memiliki pola zonasi yang sama untuk seluruh daerah. Habitat mangrove di Indonesia mempunyai kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, maka diduga setiap daerah mempunyai pola zonasi yang berbeda. Setiap jenis mangrove menduduki mintakat yang cocok untuk pertumbuhannya.

(41)

Blume. dan Sonneratia alba J. Sm. Lapisan kedua didominasi oleh Rhizophora mucronata Lamk. yang disertai dengan Bruguiera sp. dan Aegiceras corniculatum (L.) Blanco. Kemudian lapisan terakhir didominasi oleh Ficus sp, Carava sp., Exoecaria sp., dan Heritiera sp. (Marsono 1989). Jamili (1998) melaporkan bahwa pada komunitas magrove di Pantai Napabalano Sulawesi Tenggara, dapat dibedakan menjadi 4 zona, yaitu :

1. Zona Avicennia. Zona ini merupakan lapisan yang paling luar, yaitu daerah yang langsung berbatasan dengan laut, merupakan zona sempit dengan ketebalan sekitar 40 m. Pada zona ini jenis yang dominan adalah Avicennia marina (Forsk) Vier. yang berasosiasi dengan jenis Sonneratia alba J.SM. Kedua jenis tersebut merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang berasal dari sungai Lambiku.

2. Zona Rhizophora mucronata Lamk. Pada zona ini didominasi oleh spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan ketebalan sekitar 160 m. Walaupun pada zona ini didominasi oleh R. mucronata Lamk, tetapi bukan merupakan tegakan murni (pure stand). Spesies lain yang ditemukan pada zona ini antara lain R. apiculata Blume. Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. dan Sonneratia alba J.Sm.

3. Zona Rhizophora apiculata Blume. Zona ini merupakan zona dengan ketebalan yang paling luas, dengan ketebalan 440 meter. R. apiculata Blume. mencapai puncak kesuburannya pada stand nomor 18 dan 19 (370-380 m) dari zona terluar ke arah darat. Pada kedua stand tersebut Rhizophora apiculata Blume merupakan tegakan murni (pure stand).

(42)

lingkungannya yang khas yaitu berair dan berlumpur. Sehingga beberapa spesies mempunyai mekanisme adaptasi dengan karakter propagul maupun biji yang bervariasi, beberapa bersifat viviparous antara lain seperti Rhizophora, Avicennia dan Ceriops. Regenerasi pada hutan mangrove yang mengalami gangguan biasanya mengalami banyak kendala seperti ketiadaan benih maupun degradasi lingkungan. Hamilton & Snedakeer (1984) menyatakan bahwa masalah regenerasi alami harus mendapat perhatian karena beberapa mengalami kegagalan pada daerah tertentu. Hal ini disebabkan keberhasilan regenerasi alami sangat rendah, seperti di Matang Malaysia hanya 50%, dan bahkan di Sarawak Malaysia hanya berkisar 10%.

Berkaitan dengan keberhasilan regenerasi ini, Barik et al. (1996) mengemukakan bahwa keberhasilan regenerasi pohon didalam suatu hutan ditentukan oleh kesuksesan menyelesaikan beberapa kejadian dalam siklus hidupnya, seperti produksi biji dan dispersal pada tempat yang sesuai,

perkecambahan dan keluarnya kecambah, establishment dan pertumbuhan

kedepan. Produksi biji dari pohon-pohon mungkin dibatasi oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti ketersediaan sumberdaya, kegagalan polinasi, predasi pada bunga, buah dan daun, dan kondisi iklim, sampai dengan faktor intrinsik seperti umur, ukuran tumbuhan, dan konstituen genetiknya.

Hong & San (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove bergantung pada faktor-faktor seperti tekstur tanah, salinitas, luas pasang surut dan densitas pohon. Pertumbuhan ditemukan paling tinggi di tempat dengan salinitas 10 –20 ‰ dan pertumbuhan menurun pada tempat dengan salinitas 25-34

(43)

Produksi biji mangrove umumnya melimpah, dan secara normal tidak mempunyai masalah dengan regenerasi alami dari area yang dieksploitasi dan kecambah cukup eksis atau survive dari pemanenan (Hamilton & Snedakeer 1984). Pola produksi biji berbeda diantara populasi dari spesies yang sama yang teradaptasi pada mikrohabitat yang berbeda, dan individu-individu pohon dalam suatu populasi juga sangat berbeda dalam ukuran dan buah yang dihasilkan. Produksi biji diantara populasi juga berbeda karena perbedaan didalam jumlah individu yang berbuah dan jumlah biji yang dihasilkan per individu yang berproduksi (Barik et al. 1996).

G. Faktor Lingkungan Vegetasi Mangrove

(44)

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan ekosistem mangrove secara sederhana dapat dibedakan atas :

1. Salinitas

Umumnya mangrove tumbuh pada daerah air asin atau payau. Steenis (1978) menyatakan bahwa spesies mangrove tidaklah mutlak tumbuh pada air asin atau payau. Sedangkan Lear & Turrner (1977) mengemukakan bahwa beberapa spesies mangrove dalam pertumbuhannya tidak memerlukan garam. Bruguiera sp dan Rhizophora sp dapat tumbuh dan berbunga di dalam plot, dengan menggunakan substrat pasir dan perlakukan air tawar.

Mangrove kebanyakan tergolong tumbuhan halophyte, yaitu tumbuhan yang dapat beradaptasi terhadap salinitas tinggi. Chapman (1976) mengemukakan bahwa Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan B. parviflora merupakan golongan halophytes obligat dan jenis Xylocarpus granatum dan Nypa fructicans merupakan golongan halophytes fakultatif.

2. Pasang surut

Faktor fisik yang sangat berpengaruh pada hutan mangrove salah satunya adalah pasang-surut. Pasang-surut adalah naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu (Nybakken, 1988)

(45)

Adanya pasang-surut ini menyebabkan mangrove secara periodik mengalami periode penggenangan (innudation). Watson (1928) membagi daerah genangan air pasang di semenanjung Malaya, menjadi 5 kelas, yaitu:

a. Tempat yang digenangi oleh air pasang 56- 62 kali per bulan (all higt tides). Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup, kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai.

b. Tempat yang digenangi oleh air pasang 45-56 kali per bulan (medium higt tides). Di tempat ini tumbuh spesies Sonneratia dan Avicennia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai.

c. Tempat yang digenangi oleh air pasang 20- 45 kali per bulan (normal higt tides). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi R. mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal, dan Bruguiera parviflora.

d. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2-20 kali per bulan (spring tides). Di sini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada tempat berlumpur keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat yang

drainasenya lebih baik tumbuh Bruguiera parviflora kadang-kadang

Bruguiera sexangula.

e. Tempat yang digenangi oleh air pasang 2 kali per bulan (exeptional higt tides). Disini Bruguiera gymnorrhiza berkembang dengan baik sering

bersama- sama dengan tumbuhan paku dan kadang-kadang R. apiculata. Ke

arah darat sering ditumbuhi oleh tegakan Oncosperma tigillaria.

De Haan diacu dalam Chapman (1976) yang melakukan kajian di hutan mangrove Cilacap (Jawa Tengah), membagi kelas genangan menjadi 4 kelas, yaitu:

a. Salinitas 10 - 30%o, tanah digenangi 1-2 kali sehari, atau sekurang-kurangnya

20 hari per bulan. Spesies Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang agak lebih keras membentuk mintakat luar.

b. Salinitas 10-30%o, tanah digenangi 10-9 hari per bulan. Bruguiera gymnorrhiza

(46)

mintakat ke tiga.

d. Salinitas 10 - 30%o, tanah digenangi hanya beberapa hari saja per bulan. Spesies Bruguiera, Soyphyphora dan Lumnitzera berkembang baik dan membentuk mintakat dalam.

3. Substrat

Substrat mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang-surut. Substrat yang berdekatan dengan pantai, umumnya berpasir. Bagian tepi sungai dan bagian arah menuju darat umumnya merupakan tanah lempung (clay). Menurut Nybakken (1988), aggregasi butiran tanah pada hutan mangrove mudah terurai atau terdispersi oleh air dan menyebabkan tanah berlumpur. Konstribusi lumpur kurang baik, sehingga sering dijumpai tanah mangrove mengalami kondisi anoksik.

4. Oksigen Tanah

Kandungan oksigen dalam mangrove hanya sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen tersebut, umumnya mangrove mempunyai akar napas (aerial root) yang disebut pneumatophores. Selain adanya bentuk akar yang khas tersebut, kekurangan oksigen juga dapat dipengaruhi dengan adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting (Soeroyo 1993). Pada anggota Rhizophora ditunjang oleh akar udara (prop atau akar jangkar) yang melengkung dari batang pokok dan juga berasal dari cabang bawah.

Pada marga Bruguiera dan Ceriops mempunyai perakaran samping yang menuju

(muncul) ke atas permukaan tanah dan kembali lagi ke dalam tanah, yang disebut

akar lutut. Sedangkan pada Sonneratia dan Avicennia mempunyai sistem

(47)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografi

Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2003. Pemerintah pusat pada tahun 1995 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 462/KPTS-11/1995 telah menetapkan bahwa wilayah Wakatobi sebagai Taman Wisata Alam Laut. Dasar penetapan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah yang mempunyai keanekaragaman laut yang terlengkap di dunia. Pada tahun 1996 dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 393/KPTS-VI/1996 status daerah tersebut ditingkatkan menjadi wilayah konservasi, dengan status Taman Nasional. Luas kawasan taman Nasional Wakatobi adalah 1.390.000 ha, sama persis atau overlap dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi. Secara geografis kawasan Taman Nasional Wakatobi terletak di sebelah timur Pulau Buton, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Muna, Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores. Secara astronomis, wilayah Taman Nasional Wakatobi terletak antara 5o1β’ Lintang Selatan hingga 6o10’ Lintang Selatan dan 1βγoβ0’ Bujur Timur hingga 124oγ9’ Bujur Timur. Wilayah Taman Nasional Wakatobi terdiri atas 48 pulau, 3 gosong dan 5 atol (Gambar 2).

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka semua pulau pada kawasan Taman Nasional tergolong ke dalam pulau kecil. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.

Gambar

Gambar 1 Road  map  penelitian karakter ekosistem vegetasi mangrove pada pulau-pulau kecil di Taman Nasional Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara
Gambar 2  Peta wilayah Taman Nasional  Wakatobi (Sumber : Balai Taman Nasional Wakatobi  2009)
Tabel 1 Data curah hujan Stasiun Waha Kecamatan Tomia  Kabupaten Buton (sekarang Wakatobi) antara tahun 1993-2002 (10 tahun)
Tabel 2 Parameter fisika-kimia perairan Taman Nasional Wakatobi
+7

Referensi

Dokumen terkait

menjelaskan bahwa kegiatan kunci yang merupakan bagian dari rekrutmen adalah (1) menentukan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang perusahaan dalam hal jenis pekerjaan ( job

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai sistem sapaan yang digunakan dalam bahasa Melayu Pontianak di wilayah sekitar Istana Kadriah, baik

Pajak Daerah yang memberikan kontribusi besar bagi Pendapatan Asli Daerah Kutai Barat diantaranya adalah Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol.C, Bea Perolehan Hak

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, apakah kemampuan membaca dan menulis permulaan di kelas I SDN 2 Wombo dapat ditingkatkan dengan menggunakan kartu huruf siswa

Meskipun pembelajaran REACT memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, namun masih ada siswa yang merasa kurang memahami materi kelarutan dan hasil kali

Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov seperti pada Tabel 4.9, terlihat bahwa seluruh nilai probabilitas pada seluruh kelompok data return saham perusahaan top brand

Objek variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Hasil Belajar sebagai variabel terikat dan Motivasi Belajar, Cara Belajar, Persepsi Siswa Terhadap

Hal yang menarik dalam video ini karena Sodiq, sebagai penyanyi laki-laki yang tidak biasanya disawer, namun dalam video ini dia mendapatkan sawer (bayaran)