• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedogenesis Pada Beberapa Jenis Tanah Yang Disawahkan Di Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pedogenesis Pada Beberapa Jenis Tanah Yang Disawahkan Di Bogor"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PEDOGENESIS PADA BEBERAPA JENIS TANAH YANG

DISAWAHKAN DI BOGOR

KURNIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

(3)
(4)

RINGKASAN

KURNIATI. Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor. Dibimbing oleh SUDARSONO dan SUWARDI.

Tanah sawah mempunyai sifat morfologi dan pedogenesis yang berbeda dibandingkan tanah yang tidak disawahkan. Proses pembentukan tanah sawah dimulai dari proses penggenangan secara terus menerus selama budidaya tanaman padi. Penggenangan tanah akan mengubah kondisi tanah dari oksidatif menjadi reduktif. Reaksi ini akan menyebabkan Fe dan Mn yang semula dalam keadaan oksidatif akan berubah menjadi keadaan reduktif. Reaksi ini akan melibatkan Fe dan Mn yang secara langsung seperti adanya karatan Fe dan Mn dan perubahan warna tanah. Karatan Fe dan Mn ini akan mengeras jika teroksidasi kembali. Proses pergantian oksidasi-reduksi dalam jangka waktu yang lama, akan mengakibatkan terbentuknya lapisan yang bersifat padas dan keras, biasa dikenal dengan lapisan tapak bajak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat-sifat morfologi, fisik dan kimia dari tanah sawah dan tanah pada lahan kering; mempelajari proses-proses pedogenesis; dan mengklasifikasikannya dengan sistem klasifikasi Soil Taksonomy 1999. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap penelitian. Pertama, penelitian lapangan pada empat lokasi (Dramaga, Jasinga, Sukamantri dan Sindangbarang). Kedua, penelitian laboratorium dengan menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Ketiga, analisis data yang dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kekerasan pada tanah sawah lebih tinggi dibandingkan tanah pada lahan kering terutama di bawah lapisan olah. Nilai tingkat kekerasan tanah di bawah lapisan topsoil berkisar 2.75 kg/cm2 - 4.5 kg/cm2 lebih tinggi dari lapisan olah dan lapisan bawah dengan kisaran antara 0 kg/cm2 – 2.5 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa adanya proses pembentukan tapak bajak dalam kondisi penggenangan. Nilai pH tanah sawah cenderung lebih tinggi daripada nilai pH tanah kering. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam nutrisi lain seperti C-organik, fosfor dan nitrogen. Sedangkan nilai Fe, Mn dan Al diekstraksi dengan dithionite meningkat pada tanah sawah daripada tanah kering. Begitupula ekstraksi dengan pirofosfat dan oksalat, cenderung lebih tinggi dibandingkan tanah pada lahan kering. Pada keempat tanah jenis tanah sawah yang diamati menunjukkan tingkat kekerasan tanah di lapisan tapak bajak lebih tinggi dari lapisan atas (olah) atau lapisan lainnya. Tanah sawah memiliki sifat yang unik dengan proses reaksi oksidasi-reduksi sehingga memberikan warna tanah menjadi lebih gelap karena kelarutan Fe, Mn, dan Al tinggi.

Klasifikasi tanah berdasarkan Soil Taksonomy antara tanah kering dan tanah sawah berubah mulai dari kategori suborder sampai kategori subgrup. Tanah Latosol dari Typic Distrudepts menjadi Aeric Epiaquepts. Tanah Podsolik dari Typic Hapludults menjadi Aeric Endoaquults. Tanah Andosol dari Thaptic Hapludands menjadi Typic Epiaquands. Tanah Regosol dari Typic Udorthents menjadi Mollic Epiaquents.

(5)

SUMMARY

KURNIATI. Pedogenesis for Several Paddy Soil Types in Bogor. Supervised by SUDARSONO and SUWARDI.

Paddy soil has different morphological and pedogenesis characteristics than dry land. Process of paddy soil formation was originated from flooding which occurs continuously during rice cultivation. Subsequently these process will change soil conditions and reaction of oxidative become reductive. This reaction involved Fe and Mn which directly impact to concretion of Fe and Mn and affects to the soil color in paddy soil. Concretion of Fe and Mn will harden if oxidized again. Change of oxidation-reduction processes in the long term, will lead to the layers formation that were pan and hard, commonly known as a plow pan layer.

The purposes of this study are to understand the changing of morphological, physical and chemical properties of paddy soil and soil at dry land; to understand pedogenesis process in Podsolic, Latosol, Regosol and Andosol, then to classify them based on Soil Taxonomy 1999’s classification system. This research was conducted in three phases. First, was field research in four locations (Dramaga, Jasinga, Sukamantri and Sindangbarang). Second was laboratories research to analyze the physical and chemicals of soil properties. Third was the data analysis descriptively and quantitatively to classify the soil.

The results showed that level of hardness in paddy soil was higher than soil in dry land especially on the under processing layer. The number of hardness level on the soil below topsoil about 2.75 kg/cm2 - 4.5 kg/cm2 was higher than the topsoil and layers below it with range between 0 kg/cm2 - 2.5 kg/cm2. This was indicated that there was plow pan layer formation processes in inundated situation. The values of pH in paddy soil tended to be higher than pH values of dry land. No significant differences in other nutrients such as C-organic, phosphorus and nitrogen. While the content of Fe, Mn and Al were extracted with dithionite increased in paddy soil than dry soil as well as extracted with pyrophosphate and oxalate, tended to be higher compared to dry land. In fourth type of paddy soils that had been observed shows the soil hardness level was higher than topsoil or other layers. Paddy soil has unique properties by a process of oxidation-reduction reaction thereby providing soil discoloration becomes darker due to the high solubility of Fe, Mn, and Al.

Soil classification based on soil taxonomy between soil at dry land and paddy soil changed in the sub-ordo until sub-group category. Latosol soil of Typic Distrudepts be Aeric Epiaquepts. Podsolic soil of Typic Hapludults be Aeric Endoaquults. Andosol soil of Thaptic Hapludands be Typic Epiaquands. Regosol soil of Typic Udorthents be Molliic Epiaquents.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Tanah

PEDOGENESIS PADA BEBERAPA JENIS TANAH YANG

DISAWAHKAN DI BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Pedogenesis pada Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor

Nama : Kurniati

NIM : A151130011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof.Dr Ir Sudarsono, MSc. Ketua

Dr Ir Suwardi, MAgr. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Ir Atang Sutandi, MSi.PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pedegenesis tanah sawah, dengan judul Pedogenesis Beberapa Jenis Tanah yang Disawahkan di Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Sudarsono, M.Sc dan Dr Ir Suwardi, M.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran selama penulis melaksanakan penelitian hingga menjadi suatu bentuk karya ilmiah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta, ayahanda H. Muhammad Nur Hasan dan ibunda Mahani Muhammad, kakak Suryani, Rostinah dan adik Mahfud atas segala doa dan kasih sayang yang tulus dan tak ternilai harganya kepada penulis. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada adek tersayang Arini Lukita Ismiranti yang selalu menemani penulis dalam memberikan dukungan materi maupun moril serta semangat yang tidak ternilai harganya. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada tim survey pengambil sampel tanah Dicky, Aida, Ria, Ranti, Inda, Aan dan Yaya. Terima kasih kepada murobbiyah tercinta Dewi Maghfirah atas nasehat dan doanya. Terima kasih kepada sahabat saya Fauziah, Rahma, Khairiah, Ajab, Kurnia, Hamda, Aryani, Rosita yang selalu memberikan dukungan dan doanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ditjen Dikti atas pemberian beasiswa selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor.Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran dan anggota Laboratorium Fisika dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.Teman-teman Ilmu Tanah SPs IPB angkatan 2013 Sri, Asdiq, Fuadi, Prily, Lusi, Aci, Gilang, Syamsul, Dadan, kak Septi, yuyun dan intan atas kebersamaannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di kost Bu Roma atas segala perhatian yang tulus layaknya keluarga bagi penulis.Ungkapan terima kasih penulis sampaikan khusus kepada teman seperjuangan Nirmala Juita. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yaya, Rika, Mas Anto, Ibu mimin yang telah membantu selama penyelesaian tugas akhir ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Tanah Sawah 3

Morfologi Tanah Sawah 4

Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Profil Tanah Sawah 5

Tapak Bajak 6

Padas Besi/Mangan 7

Fe, Mn dan Al yang Diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat 7

Klasifikasi Tanah Sawah 8

3 METODE 10

Waktu dan Tempat 10

Alat dan Bahan 10

Metode 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Sifat Morgologi dan Fisik 14

Sifat Kimia Tanah 20

Pedogenesis 29

Pembahasan Umum Tanah Sawah 31

Klasifikasi Tanah 32

5 SIMPULAN 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 38

(12)

DAFTAR TABEL

1 Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah 13 2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol, Dramaga 22 3 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik, Jasinga 23 4 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol, Sukamantri 24 5 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol, Sindangbarang 25 6 Klasifikasi tanah Latosol dan Podsolik berdasarkan Soil Taxonomy 32 7 Klasifikasi tanah Andosol dan Regosol berdasarkan Soil Taxonomy 33

DAFTAR GAMBAR

1 Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah 12

2 Penampang profil tanah Latosol Dramaga 15

3 Penampang profil tanah Podsolik Jasinga 16

4 Penampang profil tanah Andosol Sukamantri 17

5 Penampang profil tanah Regosol Sindangbarang 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi profil tanah Latosol yang disawah 38

2 Deskripsi profil tanah Latosol pada lahan kering 39

3 Deskripsi profil tanah Podsolik yang disawah 40

4 Deskripsi profil tanah Podsolik pada lahan kering 41

5 Deskripsi profil tanah Andosol yang disawah 41

6 Deskripsi profil tanah Andosol pada lahan kering 42

7 Deskripsi profil tanah Regosol yang disawah 43

(13)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah sawah merupakan tanah yang terbentuk akibat adanya aktivitas manusia yang mengubah sesuai syarat pertumbuhan tanaman padi. Tanah sawah memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bukan tanah sawah. Tanah sawah mempunyai sifat morfologik dan pedogenik yang berbeda dibandingkan tanah pada lahan kering, akibat pengaruh penggunaan tanah dimana terjadi penggenangan selama beberapa bulan dalam satu tahun (Kawaguchi dan Kyuma 1977). Penggenangan dan pengeringan yang terjadi secara silih berganti (siklus oksidasi-reduksi) pada tanah sawah dapat menimbulkan terbentuknya konkresi atau karatan besi (Fe) dan mangan (Mn). Konkresi besi dan mangan ini terbentuk sebagai akibat terlarutnya besi dan mangan pada saat penggenangan (reduksi) dan kemudian terakumulasi pada horison B, selanjutnya pada saat tanah sawah dikeringkan (re-oksidasi), akumulasi mangan tersebut akan membentuk kerak yang kemudian disebut konkresi atau karatan. Bila proses penyawahan telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, maka pada profil tanah sawah dapat dijumpai adanya lapisan tapak bajak.

Lapisan tapak bajak, merupakan lapisan padat dengan indeks pemadatan lebih tinggi dari lapisan lainnya. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 5 – 10 cm yang terletak di antara kedalaman 10 dan 40 cm (Kanno 1978). Pemadatan ini tidak hanya disebabkan oleh penggunaan bajak, tetapi juga oleh adanya faktor-faktor lain seperti penggenangan yang terus menerus dilakukan dan siklus oksidasi-reduksi yang terjadi di dalamnya. Lapisan tapak bajak ini bisa terdiri dari horison eluviasi A dan illuviasi B atau kedua-duanya (Moormann dan Van Breemen 1978).

Sifat morfologik dan pedogenik yang terdapat pada tanah yang disawahkan, mungkin dapat menimbulkan masalah bagi tanaman lahan kering, bila penanamannya menggunakan sistem pergiliran tanaman. Seperti yang dikemukakan oleh Dei dan Maeda (1973) bahwa pada umumnya, lapisan atas tanah sawah (10–20 cm) mempunyai sifat fisik yang kurang baik bagi pertumbuhan tanaman lahan kering, karena struktur tanah pada lapisan atas tersebut adalah pejal atau bersudut dan lempeng. Demikian pula dengan lapisan tapak bajak. Meskipun lapisan tapak bajak mempunyai pengaruh positif terhadap pengelolaan air dan pertumbuhan padi pada budidaya padi sawah, namun hal ini tidak benar, bila pada lahan sawah tersebut digunakan untuk budidaya tanaman lahan kering. Lapisan tapak bajak akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan akar dan ketersediaan hara bagi tanaman lahan kering.

(14)

2

tekstur tanah dan elevasi tidak menyebabkan terjadinya perubahan morfologi tanah. Faktor utama perbedaan sifat fisik tanah sawah bukan tekstur tetapi intensitas penanaman padi. semakin intensif tanah sawah diolah sepanjang tahaun maka akan semakin tipis pembentukan tapak bajak, dan sebaliknya semakin tidak intensif (1 kali/tahun) tanah disawahkan maka akan semakin tebal lapisan tapak bajak yang terbentuk karena lamanya proses oksidasi terjadi. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan susunan mineral fraksi pasir dalam tanah tetapi tidak menyebabkan perubahan mineralnya. Tidak semua tanah yang disawahkan memiliki subordo akuik.

Penelitian yang banyak dilakukan para peneliti umumnya hanya fokus pada satu jenis tanah sawah saja atau hanya meneliti tentang tanah sawah yang berasal dari bahan induk yang sama seperti yang dilakukan oleh Rayes (2000), Winoto (1985), Sutrisno (1988), Saswita (2000). Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan empat jenis tanah yang berbeda yaitu tanah Podsolik tanah Latosol, tanah Andosol yang berbahan amorf, dan tanah dengan tingkat kekasaran teksturnya yang tinggi yaitu tanah Regosol. Dari empat jenis tanah yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda apakah memperlihatkan perbedaan pula ketika tanah tersebut disawahkan, juga sejauh mana pengaruh proses pedogenesis terhadap sifat-sifat tanah sawah tersebut.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari perubahan sifat-sifat morfologi, fisik dan kimia tanah sawah dan tanah pada lahan kering.

2. Mempelajari proses pedogenesis pada Podsolik, Latosol, Regosol, dan Andosol

(15)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Sawah

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum yang digunakan oleh masyarakat seperti halnya penyebutan untuk tanah pada penggunaan-penggunaan tertentu, misalnya tanah hutan, tanah perkebunan dan lain sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan, asalkan yang menjadi syarat utama terbentuknya tanah sawah itu terpenuhi yaitu dengan adanya ketersediaan air yang cukup bagi tanaman padi (Rayes 2000).

Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau tanah yang sebelumnya adalah berasal dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan cara membuatkan saluran drainase sehingga membentuk tanah sawah sesuai dengan syarat tumbuhnya tanaman padi. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah lebak. Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pada saat melakukan pengolahan tanah pada tanah kering yang akan dikonversi ke tanah sawah, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain, sehingga sifat-sifat tanah akan berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya atau sifat tanah sebelum disawahkan tersebut (Rayes 2000).

(16)

4

Morfologi Tanah Sawah

Perubahan sifat morfologi tanah

Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat yang khas dari morfologi tanah itu sendiri. Pada awal tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama masa pertumbuhan tanaman padi, melalui perataan, pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses pembentukan tanah secara alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, di mana air genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia atau man-made soil, anthropogenic soil (Prasetyo et al. 1996).

Apabila tanah yang disawahkan tersebut pada awalnya berasal dari tanah kering, maka akan terjadi perubahan-perubahan sifat morfologi tanah yang cukup jelas, tetapi bila berasal dari tanah basah seperti pada tanah rawa-rawa, maka perubahan-perubahan tersebut umumnya tidak begitu terlihat dengan jelas. Terkecuali karena penggunaan tanah sebagai sawah umumnya, tidak dilakukan sepanjang tahun tetapi dilakukan rotasi/pergiliran tanaman dengan tanaman palawija (tanah kering) atau dibera-kan setelah tanaman padi, maka perubahan-perubahan tersebut dapat dibedakan menjadi: a) perubahan-perubahan sementara dan b) perubahan permanen (Prasetyo et al.1996).

Perubahan sementara

Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi dan kimia tanah sebagai akibat penggenangan tanah yang dilakukan secara musiman, baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan tanaman padi sawah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di permukaan tanah atau lapisan olah dan hanya bersifat sementara, karena setelah penyawahan selesai dan kemudian diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifat-sifat tanah tersebut akibat pengeringan tanah. Perubahan sifat-sifat sementara ini berlaku pada tanah yang disawahkan 1 kali dalam setahun. Perubahan sementara sifat fisik dan morfologi tanah sewaktu penyawahan, adalah berkaitan dengan pelumpuran/pengolahan tanah dalam keadaan tergenang, sedangkan perubahan-perubahan dalam sifat kimia adalah berkaitan dengan proses reduksi dan oksidasi. Perubahan-perubahan sementara sifat-sifat kimia tanah tersebut secara kumulatif, dapat menyebabkan perubahan yang permanen terhadap sifat morfologi tanah (Prasetyo et al. 1996).

Perubahan permanen

(17)

5 morfologi dari penampang profil tanahnya, yang seringkali menjadi berbeda dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan. Praktek pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang, dapat menyebabkan terbentuknya lapisan tapak bajak di bawah lapisan olah. Sedangkan penggenangan tanah selama pertumbuhan padi, dapat mereduksi Fe dan Mn sehingga menjadi lebih larut dan meresap bersama air perkolasi ke lapisan-lapisan bawah, sehingga terbentuk horison iluviasi Fe di atas horison iluviasi Mn (Prasetyo 1995).

Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang terus berlangsung tersebut, dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama di lapisan permukaan. Menurut Hardjowigeno et al (2004) dalam keadaan tergenang, tanah menjadi berwarna abu-abu (gley) akibat reduksi feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah pasir atau tanah lain yang permeabel, warna reduksi tersebut tidak terjadi, terkecuali pada penggenangan yang sangat lama. Di lapisan permukaan horison tereduksi tersebut, dalam keadaan tergenang, ditemukan lapisan tipis yang tetap teroksidasi berwarna kecokelatan, karena difusi O2 dari udara, atau dari fotosintesis algae yang terus berlangsung.

Bila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi kembali yaitu (besi-fero) menjadi (besi-feri), sehingga terbentuklah karatan coklat pada rekahan-rekahan, bekas saluran akar, atau tempat-tempat lain di mana udara dapat masuk. Pada tanah pasir, karatan coklat pada bekas-bekas akar tidak terlalu jelas terlihat. Pada tanah masam yang dalam keadaan tergenang mengandung besi-fero tinggi, karatan besi menjadi lebih jelas setelah tanah dikeringkan. Kecuali, akibat proses penyawahan yang berulang-ulang, dapat terbentuk horison baru yang khas terdapat pada tanah sawah, seperti lapisan tapak bajak, horison iluviasi Fe, horison iluviasi Mn, dan lain-lain (Prasetyo 1995).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan profil tanah sawah

Relief

Bila relief/topografi tanah asal berombak atau berlereng, maka terlebih dahulu harus dibuat teras bangku. Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan teras adalah dengan jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya, susunan horison tanah asalnya dapat hilang sama sekali. Makin curam lereng, maka teras semakin sempit dan penggalian serta penimbunan semakin dalam. Dalam satu petak sawah yang baru dibuat dengan cara ini, mungkin akan ditemukan lebih dari satu jenis tanah, yaitu Entisol atau Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun atau digali, selain tanah aslinya di bagian tengah petakan (Prasetyo 1995).

(18)

6

Hidrologi

Pembuatan sawah dari tanah rawa dilakukan dengan membuat saluran-saluran drainase, agar tanah menjadi lebih kering, atau tidak terus-menerus tergenang. Karena itu, sifat tanah akan berubah karena terjadi proses “pengeringan” tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya, pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses “pembasahan” dari lapisan atas ke lapisan bawah. Apabila tanah rawa yang “dikeringkan” tersebut banyak mengandung bahan sulfidik (seperti pirit, FeS2), maka profil tanah sawah yang terbentuk banyak mengandung karatan jarosit (KFe3 (SO4)2 (OH)6) pada pola tanam dengan padi – palawija, setiap tahunnya mengalami masa tergenang yang lebih lama dibandingkan dengan masa kering. Sedangkan sawah dengan pola tanam padi – palawija – bera, mengalami masa tergenang lebih singkat dibandingkan masa keringnya. Akibat adanya perbedaan pola tanam, yang menyebabkan perbedaan lamanya penggenangan tersebut, maka terjadilah perbedaan sifat-sifat morfologi tanah sawah. Sifat-sifat tanah sawah, termasuk sifat morfologinya, juga berubah setiap musim akibat penggunaan tanah yang berbeda. Dalam hal ini, sifat tanah pada saat ditanami padi sawah (basah), berbeda dengan waktu ditanami palawija atau bera (Hardjowigeno, et al. 2004). Namun demikian, sawah-sawah yang mempunyai profil tanah yang khas yang telah dikeringkan puluhan tahun, seperti halnya (bekas) tanah sawah di sekitar Bogor, masih menunjukkan adanya lapisan tapak bajak, lapisan Fe, dan lapisan Mn, meskipun lapisan atas tidak lagi berwarna pucat, melainkan kecoklatan mendekati warna tanah asalnya. Sifat-sifat tanah sawah yang tidak berubah, baik sewaktu digunakan untuk bertanam padi sawah maupun waktu digunakan untuk bertanam palawija atau bera, disebut sifat tanah sawah permanen (Rayes 2000)

Tapak Bajak

(19)

7 Padas Besi/Mangan

Menurut Mormann dan van Breemen (1978) padas besi/mangan terbentuk dalam tanah sawah di bawah lapisan olah. Pada tanah sawah dengan kandungan air tanah yang relatif dangkal, terbentuk horison iluviasi Fe dan iluviasi Mn di atas garis permukaan air tanah, akibat naik turunnya permukaan air tanah sesuai dengan musim. Pada waktu permukaan air tanah naik ke lapisan yang lebih oksidatif di atasnya, maka Fe2+ dan Mn2+ juga ikut terbawa. Fe lebih sukar larut daripada Mn, maka Fe akan mengendap lebih dulu. Akibatnya, terbentuklah horison Bir (padas besi) di bawah horison Bmn (padas mangan). Kedua horison ini kadang dapat terpisah dengan jelas, tetapi kadang-kadang juga tidak jelas terpisah.

Fe, Mn dan Al yang diekstrak dengan Dithionit, Oksalat dan Pirofosfat

Menurut Mizota dan van Reeuwijk (1989), ekstraksi dengan larutan Na-dithionit + Na-sitrat + Na-bikarbonat digunakan untuk menentukan oksida-oksida besi bebas yang terkandung dalam tanah. Oksida-oksida besi bebas terdiri dari: ferihidrit dan kristal goethite serta partikel-partikel hematit. Komponen tanah lain yang dilarutkan dengan ektraksi ini adalah kompleks dan Fe-humus dan Al-(oksi) hidroksida yang tersusun buruk (poorly ordered). Alofan dan imogolit sedikit terpengaruh. Keuntungan dari ekstraksi ini adalah dimungkinkan untuk menduga tingkat pelapukan dalam tanah dengan membandingkan Fe-terekstrak dithionit (Fed) dengan Fe terekstraksi oksalat masam (Feo).

Nisbah Feo/Fed atau disebut nisbah aktivitas digunakan sebagai indeks tingkat kristalinitas atau umur dari oksida besi. Andisol muda mempunyai nilai yang tinggi (>0.75), tanah-tanah yang lebih tua jauh lebih rendah dari 0.75 dan oxisol mempunyai nisbah <0.1 (Mizota dan Reeuwijk 1989)

Menurut Mizota dan Reeuwijk 1989, ekstraksi dengan larutan 0.2 M amonium oksalat masam pH (3.0) selama 4 jam dengan nisbah tanah: larutan – 1:50, mengekstrak semua Al-aktif dan Fe-aktif dan Mn yang berikatan, meliputi: alofan, imogolit, kompleks Al- dan Fe-humus, oksida-oksida bersusunan buruk seperti ferihidrit. Jadi tidak termasuk gibbsite, goethite, hematit dan lempeng silikat.

(20)

8

Klasifikasi Tanah Sawah

Berdasarkan penelitian lain di berbagai daerah di Indonesia seperti Winoto (1985), Sutrisno (1988), Rayes (2000), Saswita (2000), terlihat bahwa meskipun tanah sawah semuanya terjadi karena pengaruh perbuatan manusia, dan selalu mendapat genangan air di permukaan, tetapi sifat-sifat morfologi dan sifat-sifat lain yang dihasilkan berbeda-beda tergantung dari sifat tanah asalnya. Menurut Rayes (2000) tanah sawah mempunyai beberapa nama dalam sistem klasifikasi tanah secara umum yaitu: “Rice soils”, “Paddy soils”, “Lowland paddy soils”, “Artificial hydromorphic soils”, dan “Aquorizem

Dalam klasisifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) tanah sawah termasuk grup tanah “Anthrosols” (FAO 1998). Tanah sawah dicirikan oleh horizon “anthraquic”, yaitu adanya lapisan olah dan lapisan tapak bajak (Rayes 2000).

Dalam Kunci Taksonomi Tanah 1992 (Soil Survey Staff 1992) tidak terdapat klasifikasi (nama) untuk tanah sawah, pada tiga kategori tertinggi yaitu pada tingkat ordo, subordo, maupun great group. Sifat-sifat khas tanah sawah baru muncul pada Kunci Taksonomi Tanah tahun (1996; 1999; 2003), berdasarkan rekomendasi dari ICOMAQ (International committee on aquic soil moistur regime) yang mengusulkan adanya “saturasi anthrik”, dan “kondisi anthrakuik”, untuk mewadahi sifat-sifat khas tanah sawah, akibat pelumpuran dan penggenangan terus-menerus selama pertumbuhan tanaman padi sawah. Dalam dua edisi Taksonomi Tanah yang terakhir (Soil Survey Staff 2003), klasifikasi (nama) tanah sawah ditempatkan pada tingkat subgrup, dengan menggunakan awalan “anthraquic”, untuk mencerminkan adanya “kondisi anthrakuik” pada tanah sawah. Terdapat sebelas subgrup “anthraquic”, yaitu masing-masing dua subgrup pada ordo Alfisol, Andisol, Entisol, Inceptisol, dan Ultisol, serta satu subgrup pada ordo Mollisol. Masing-masing subgrup tersebut adalah pada Alfisol (Anthraquic Hapludalf dan Anthraquic Paleudalf), Andisol (Anthraquic Hapludand dan Anthraquic Melanudand); Entisol (Anthraquic Ustifluvent dan Anthraquic Ustorthent); Inceptisol (Anthraquic Eutrudept dan Anthraquic Haplustept), Ultisol (Anthraquic Kanhaplohumult dan Anthraquic Paleudult), dan Mollisol (Anthraquic Haplustoll).

(21)

9 morfologi dan sifat-sifat lain secara permanen, meskipun sebagian terbatas di bagian permukaan profil tanah. Perubahan yang menghasilkan sifat morfologi dan sifat-sifat lain yang permanen dalam suatu pedon, menghasilkan horizon penciri atau sifat penciri baru, yang pada kategori klasifikasi tertentu, dapat mengubah klasifikasi tanah asal ke dalam klasifikasi tanah baru.

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978), diperkirakan bahwa sekitar 70% tanah sawah di dataran rendah di Indonesia termasuk dalam ordo Inceptisol, Entisol, dan Vertisol (sepadan dengan: Aluvial, tanah Glei, Regosol, dan Grumusol). Sekitar 22% merupakan pesawahan “uplands” di daerah volkan, yang termasuk dalam ordo Ultisol, Inceptisol, Andisol, dan Alfisol (Latosol, Regosol, Andosol, dan Mediteran). Sedangkan sekitar 6% merupakan pesawahan pada tanah-tanah masam, yang termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning). Sementara menurut (Fahmudin dan Irawan 2004) beberapa tanah sawah bukaan baru di daerah “uplands” di luar Jawa, umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning, Lateritik, Latosol). Tanah sawah yang termasuk Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit, diperkirakan <1% dari seluruh tanah sawah yang ada.

(22)

10

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini terdiri atas penelitian lapang dan laboratorium. Penelitian lapang dilakukan di wilayah Bogor (Jasinga, Sindang Barang, Sukamantri, dan Dramaga) dengan informasi penyebaran tanah sawah diperoleh dari peta jenis tanah sumber peta Atlas sumberdaya tanah tingkat eksplorasi skala 1:1.000.000, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Kementrian Pertanian tahun 2000.

Penelitian laboratorium untuk mengetahui sifat fisika dan kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Agustus 2015.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi kelengkapan pengamatan dan pengambilan sampel tanah. Bahan yang digunakan dalam melakukan analisis sifat fisik dan kimia tanah serta alat pengukuran untuk analisis sifat-sifat tanah yang menjadi variabel pengamatan.

Terkhusus untuk analisis Fe, Mn dan Al ada tiga metode ekstraksi yang dilakukan dalam pelarutan selektif yaitu, 0.1 M natrium pirofosfat, 0.2 M ammonium oksalat pH 3.0, dan Na-dithionit sitrat pH 7.3 (Blakemore et al. 1987). Aplikasi analisis pelarutan selektif yang dilakukan adalah sebagai berikut: ekstraksi pirofosfat menggambarkan Fe, Mn dan Al yang berikatan dengan bahan organik dalam tanah, ekstraksi oksalat menggambarkan Fe, Mn dan Al dalam bentuk amorf/non kristalin (poorly crystalline) dan yang berikatan dengan bahan organik, sedangkan ekstraksi dithionit menggambarkan Fe, Mn dan Al dalam bentuk kristalin, yang berikatan dengan mineral amorf dan yang berikatan dengan bahan organik (McKeague et al. 1971). Kekuatan ekstrak adalah: asam kuat >dithionit > oksalat > pirofosfat. Berdasarkan urutan kekuatan ekstraksi tersebut maka diasumsikan bahwa: (Fe, Mn) ekstrak oksalat - (Fe, Mn) ekstrak pirofosfat = oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat amorf, sedangkan (Fe, Mn) ditionit - (Fe, Mn) oksalat = oksida-oksida (Fe, Mn) bebas yang bersifat kristalin.

Metode

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu: 1) penelitian lapangan, 2) penelitian laboratorium dengan menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah, 3) analisis data yang dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif.

(23)

11 penggunaan lahan sebelumnya dengan mencari informasi dari pemilik lahan, untuk 1 jenis tanah pada penggunaan lahan sawah dan lahan kering yang berdekatan lokasinya, selengkapnya (Gambar 1).

1. Tanah Latosol, Dramaga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah dilakukan pada koordinat 6o32‟58.9” LS – 106o43‟50.3” BT, di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga. Sedangkan untuk tanah pada lahan kering pada koordinat 6o32‟44.3” LS – 106o43‟27.9” BT, di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga.

2. Tanah Podsolik Jasinga: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah dilakukan pada koordinat 6o27‟35.9”LS – 106o27‟34.6” BT, di Desa Cikopo Mayang, kampung Ranca Buntung, Kecamatan Jasinga. Sedangkan tanah tanah pada lahan kering pada koordinat 6o29‟14.3”LS – 106o28‟49.1” BT, di Desa Sifak, Kecamatan Jasinga.

3. Tanah Andosol, Sukamantri: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah dilakukan pada koordinat 6o38‟55.9”LS – 106o46‟23.3” BT, di Desa Sukamantri Kecamatan Tamansari. Sedangkan tanah tanah pada lahan kering dilakukan pada koordinat 6o39‟17.9”LS – 106o45‟51.0” BT, Desa Sukamantri Kecamatan Tamansari.

4. Tanah Regosol, Sindangbarang: pengamatan dan pengambilan sampel tanah sawah dilakukan pada koordinat 6o37‟13.7”LS – 106o45‟47.9” BT, di Desa Ciomas Rahayu, Kecamatan Sindangbarang. Sedangkan tanah tanah pada lahan kering dilakukan pada koordinat 6o35‟20.9”LS – 106o46‟03.4” BT, di Desa Sindangbarang (kebun percobaan IPB).

Setelah penentuan lokasi, kemudian dilakukan pembuatan profil tanah. Profil tanah digali berdasarkan ketentuan standar pembuatan profil tanah untuk pengamatan proses genesis tanah, yaitu dengan kedalaman 1,5 meter – 2 meter dan panjang profil ± 1 meter. Untuk kedalaman profil tidak selamanya berpatokan pada kedalaman tersebut, tetapi jika dijumpai bahan induk atau air tanahnya dangkal maka dicukupkan sampai pada bahan induk itu saja.

Kemudian pembuatan profil tanah, dilanjutkan dengan melakukan pengamatan profil tanah. Hal-hal yang diamati pada pengamatan ini disesuaikan dengan mengumpulkan data terkait keperluan genesis tanah.

Khusus untuk pengamatan tapak bajak atau mengidentifikasi adanya tapak bajak dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer yang berfungsi untuk mengukur tingkat kekerasan pada setiap lapisan tanah.

Setelah melakukan deskripsi profil tanah, maka kegiatan selanjutnya adalah pengambilan contoh tanah untuk keperluan analisis sifat fisik maupun kimia tanah. Contoh tanah untuk kajian genesis, morfologi dan klasifikasi tanah, diambil dari lubang profil tanah tiap horison. Contoh tanah dibedakan atas contoh tanah terganggu (disturbed soil sample) yang digunakan untuk menganalisis sifat fisika dan kimia seperti tekstur, pH, kapasitas tukar kation (KTK), dan lain-lain, dan contoh tanah tidak terganggu (undisturbed sample) untuk penentuan sifat fisika khusus seperti bobot isi (BI). Pengambilan contoh tanah ini dilakukan dengan ketentuan pengambilan contoh tanah yang sudah ada.

(24)

12

Gambar 1 Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah 2

2

1 1

4 4

(25)

13

Tabel 1 Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah

No. Variabel analisis Metode/ Alat

1 Kekerasan Penetrometer

2 Bobot isi Gravimetrik/ Ring

3 Tekstur 3 fraksi Pipet

4 pH (H2O & KCl) pH meter

5 C-Organik Walkley dan Black

6 N-Total Kjeldhal

7 P-tersedia Bray I / Spektrofotometer

8 Ca dan Mg NH4OAc 1 N pH 7.0 / AAS

9 K dan Na NH4OAc 1 N pH 7.0 / Flamefotometer

10 KTK NH4OAc 1 N pH 7.0 / Titrasi

(26)

14

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Morfologi dan Fisik

Morfologi dan sifat fisik tanah merupakan sifat yang diamati secara langsung di lapangan dalam bentuk pengamatan profil tanah. Di antara sifat-sifat tersebut adalah susunan horison, warna tanah dan bobot isi. Sifat-sifat tersebut berbeda antara tanah yang disawahkan dan tanah pada lahan kering. Penggenangan yang terjadi secara terus-menerus dan silih bergantinya reaksi oksidasi dan reduksi memperlihatkan susunan horison yang berbeda, begitu pula dengan warna dan bobot isi tanah juga ikut berubah.

Susunan Horison

Secara umum, terdapat perbedaan sifat morfologi, fisik serta kimia antara tanah sawah dengan tanah pada lahan kering. Perubahan secara morfologi dan fisik meliputi susunan horison tanah (Gambar 2, 3, 4 dan 5), warna, struktur, tekstur (Lampiran 1, 2, 3 dan 4). Susunan horison pada tanah sawah berubah karena ada penambahan horison Adg (tapak bajak). Warna tanah sawah lebih terang dibandingkan tanah yang tidak disawahkan.

Tanah pada lahan kering mempunyai susunan A, B dan C, sedangkan tanah sawah secara umum mempunyai susunan horison Apg, Adg, Bwg dan Cg (Gambar 2, 3, 4 dan 5). Terdapat horison yang tidak ditemukan pada tanah lahan kering, yaitu horison Adg atau biasa dikenal dengan lapisan tapak bajak. Perubahan susunan horison tanah disebabkan karena terbentuknya lapisan tapak bajak yang diakibatkan karena pengolahan tanah dalam kondisi tergenang (pelumpuran). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Munir (1987) bahwa selain proses pelumpuran selama pengolahan tanah juga penggunaan traktor untuk pengolahan tanah sawah dapat mempercepat pembentukan lapisan tapak bajak. Kondisi tanah yang tergenang menjadikan tanah yang awalnya oksidatif berubah menjadi reduktif. Sejalan dengan proses ini mengakibatkan kelarutan Fe dan Mn meningkat pula. Apabila padi telah panen (kondisi bera) kembali oksidasi lagi, sehingga terbentuk karatan besi dan mangan yang keras. Jika proses ini berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama akan terbentuklah lapisan tapak bajak.

Warna Tanah

(27)

15 lapisan cenderung sama ya itu berwarna cokelat, hal ini disebabkan karena tanah pada lahan kering mengalami oksidasi sepanjang tahun pada seluruh profil tanah.

Hasil pengamatan warna tanah sawah Latosol menunjukkan bahwa pada lapisan pertama dan ke-dua bebeda, sementara pada lapisan ke-tiga sampai lapisan ke-delapan warna tanahnya sama (Lampiran 1). Pada lapisan pertama 2.5 YR 3/2 (dusky red) sedangkan lapisan ke-dua 2.5 YR 2.5/1 (reddish black). Terjadi penurunan nilai value dan chroma, hal ini mengindikasikan bahwa warna tanah di lapisan pertama lebih terang dibandingkan lapisan ke-dua. Hal ini disebabkan oleh adanya proses reduksi pada lapisan olah sehingga menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang dibandingkan lapisan di bawahnya. Dilihat dari keterangan warna, pada lapisan ini proses reduksinya tidak begitu kuat karena proses penanaman padi maksimal 2 kali saja dilakukan dalam setahun dan lebih sering 1 kali saja dalam setahun, jadi proses oksidasi masih lebih dominan terjadi dalam setahun dibandingkan kondisi reduksinya. Sedangkan pada lapisan ke-tiga 2.5YR 4/4 (reddish brown) mengalami peningkatan value dan chroma. Lapisan ke-empat sampai lapisan ke-delapan yaitu 10YR 3/4 (dark yellowish brown). Warna tanah mulai dari lapisan ke-tiga sampai lapisan ke-delapan jika dilihat dari keterangan warna cenderung berwarna cokelat, hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan yang berada di bawah lapisan tapak bajak tidak terjadi lagi proses reduksi karena sulitya air untuk menembus lapisan tersebut dan juga karena tidak adanya pengaruh air tanah (air tanahnya dalam). Sementara pada tanah lahan kering nilai value dan chroma lapisan pertama lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya (Lampiran 1). Semakin meningkat kedalaman tanah nilai value dan chroma tidak berubah, perbedaan hanya terjadi pada lapisan atas saja. Hal ini erat kaitannya dengan kandungan bahan organik tanah pada lapisan pertama lebih tinggi dibandingkan lapisan yang ada di bawahnya (Gambar 2 dan Lampiran 9).

A1 Apg

A2 Adg

B1

Bwg Cg

B2

Gambar 2 Penampang profil tanah Latosol: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.

(28)

16

Tanah Podsolik pada lahan kering lapisan satu sampai lapisan empat warnanya cokelat. Walaupun nilai value mengalami peningkatan 1 digit pada lapisan tiga dan empat, tetapi tidak mempengaruhi keterangan pada warna yang dihasilkan. Lapisan pertama dan ke-dua 7.5YR 4/6 (strong brown), lapisan ke-tiga dan empat 7.5YR 5/6 (strong brown). Hal ini menjelaskan bahwa pada seluruh profil tanah ini terjadi proses oksidasi sepanjang tahun.

Pada tanah sawah nilai hue, value dan chroma hanya berbeda pada lapisan 1 saja. Lapisan satu 2.5 YR 4/1 (dark reddish gley), sedangkan lapisan dua sampai lapisan empat Gley2 4/1 (dark grenish grey). Perbedaan hue, value dan chroma antara lapisan satu dengan lapisan lainnya karena pada lapisan satu masih ada pengaruh kemungkinan oksidasi dapat terjadi karena difusi oksigen dari udara, atau dari fotosintesis algae. Yoshida (1981) mengemukakan, tanah tergenang tidak tereduksi secara keseluruhan. Lapisan dibawahnya merupakan lapisan tereduksi kecuali daerah perakaran yang aktif, karena daerah ini teroksidasi akibat dikeluarkannya senyawa teroksidasi oleh akar yang memperoleh oksigen dibagian atas melalui aerenkhima. Hal ini dibuktikan bahwa pada lapisan satu dijumpai banyak karatan Fe sehingga memberikan pengaruh terhadap warna tanah. Pada lapisan dua sampai lapisan empat dapat dilihat bahwa warna tanah hampir seluruh pedon keabu-abuan (Gambar 3), selain karena pengaruh air irigasi yang digunakan untuk menggenangi tanah, juga hal ini disebabkan karena adanya pengaruh air tanah yang dangkal, sehingga proses reduksi terjadi pada seluruh pedon (lapisan tanah).

Apg

A1

Adg A2

B Bwg

Cg

C

Gambar 3 Penampang profil tanah Podsolik: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.

(29)

17 Pada tanah Andosol yang disawahkan tidak menunjukkan adanya perbedaan warna antara 2 lapisan pada profil tanah tersebut yaitu 2.5 YR 3/1 (dark reddish gray) (Lampiran 5, Gambar 4) tidak ada perubahan warna antara lapisan 1 dan lapisan 2. Warna tanah yang mengarah ke warna abu-abu membuktikan terjadinya proses reduksi yang lebih dominan dibanding proses oksidasi. Hal ini dibuktikan juga dari informasi pemilik lahan bahwa tanah disawahkan sebanyak 2 kali dalam setahun dan satu musim selanjutnya dilanjutkan dengan tanaman palawija. Sementara pada tanah lahan kering menunjukkan bahwa nilai chroma dan value bertambah dengan bertambahnya kedalaman tanah. Warna tanah pada lapisan satu 10YR 2/1 (black), lapisan dua dan tiga 10YR 3/3 (dark brown), lapisan empat dan lima 10YR 3/4 (dark yellowish brown). Dilihat dari keterangan warna pada setiap lapisan tanah menunjukkan bahwa pada lapisan pertama lebih gelap, semakin bertambah kedalaman tanah warnanya semakin terang, hal ini dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah yang cukup tinggi pada lapisan tersebut (Lampiran 11).

A1 Apg

A2

Adg

B

C

Gambar 4 Penampang profil tanah Andosol Sukamantri: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.

Pada tanah Regosol sawah nilai value tanah hanya berbeda pada lapisan satu saja 2.5 YR 3/2 (dusky red) sedangkan lapisan dua dan lapisan tiga sama yaitu 2.5 YR 2.5/2 (very dusky red). Lapisan satu lebih tinggi nilai chroma dibandingkan lapisan di bawahnya (Lampiran 7, Gambar 5). Lapisan satu lebih terang dibandingkan lapisa dua dan tiga, hal ini disebabkan karena pada lapisan satu merupakan lapisan yang sering diolah dan tentunya selalu terjadi proses reduksi selama penanaman padi. Sedangkan pada tanah lahan kering warna tanah cenderung sama antara lapisan 1 dan lapisan 2, yaitu 5YR 4/4 (reddish brown),

(30)

18

warna cokelat kemerahan menjelaskan kalau pada tanah tersebut mengalami proses oksidasi sepanjang tahun, sesuai dengan penggunaan lahan yaitu kebun.

A Apg

Adg

C Cg

Gambar 5 Penampang profil tanah Regosol: (a) tanah sawah, (b) tanah kering

Berdasarkan gambar kenampakan semua profil tanah yang diamati, pada profil tanah Latosol, Andosol dan Regosol (gambar 2, 4 dan 5) tidak signifikan terlihat perbedaan warnanya dibandingkan dengan tanah Podsolik (gambar 3). Hal ini disebabkan karena ketiga tanah tersebut hanya disawahkan sebanyak 2 kali dalam setahun, sedangkan pada tanah Podsolik disawahkan sepanjang tahun (berdasarkan hasil interview pada pemilik tanah). Terjadi proses gleisasi yang kuat sepanjang tahun pada tanah Podsolik, sedangkan pada ketiga tanah yang lainnya proses gleisasi hanya terjadi dalam beberapa waktu saja. Sehingga pada tanah Podsolik warnanya lebih abu-abu dibandingkan tanah yang lainnya.

Warna karatan pada tanah sawah umumnya adalah 2.5 YR 4/8 (red) Fe dan 2.5 YR 2.5/1 (reddish black) Mn (Lampiran 1, 2, 3 dan 4). Umumnya karatan Fe berada pada lapisan atas yaitu lapisan 1 atau 2 sedangkan Mn cenderung berada di lapisan di bawah lapisan yang terdapat karatan Fe. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Koenigs (1950) bahwa kelarutan Mn2+ lebih cepat dibandingan Fe2+, maka Mn membutuhkan waktu yang lama untuk mengendap. Sehingga Fe yang tingkat kelarutannya rendah akan lebih cepat mengendap, maka karatan Fe sering dijumpai berada di bagian atas, sedangkan karatan Mn menempati lapisan lebih dalam. Rayes (2000) menjelaskan bahwa, Fe2+ dioksidasi pada potensial redoks yang lebih rendah daripada Mn2+. Karena adanya peningkatan gradien redoks di bawah horison pelumpuran, maka Fe2+ pertama kali mencapai kondisi untuk terjadi oksidasi dan kemudian diendapkan. Mn2+ bergerak lebih dalam, hingga tercapai kondisi redoks cukup untuk terjadinya oksidasi dan pengendapan.

(31)

19 Mn2+ membutuhkan potensial redoks yang lebih tinggi untuk dapat teroksidasi menjadi Mn4+, dibandingkan dengan perubahan Fe2+ menjadi Fe3+.

Bobot Isi dan Kekerasan Tanah

Bobot isi antara tanah sawah dengan tanah pada lahan kering tentu saja berbeda karena penggunaan lahannya berbeda (Tabel 2, 3, 4 dan 5). Tanah Latosol dan Podsolik memiliki nilai bobot isi yang hampir sama sama yaitu, pada tanah sawah berkisar dari 0.8 – 1.0 g/cm3 sedangkan tanah pada lahan kering berkisar dari 0.7 – 1.0 g/cm3. Tanah Andosol sawah 0.8 – 0.9 g/cm3 sedangkan tanah pada lahan kering berkisar dari 0.6 – 0.7 g/cm3.Sedangkan pada tanah Regosol bobot isi tanah sawah berkisar dari 0.9 – 1.1 g/cm3, tanah pada lahan kering 0.8 – 0.9 g/cm3. Penggunaan lahan yang berbeda mengakibatkan teknik pengolahan yang berbeda pula. Tanah sawah yang lebih dikenal dengan kondisi yang selalu tergenang atau selalu jenuh air serta pengolahan yang intensif sehingga menjadikan agregat tanah juga akan ikut rusak. Ketika struktur tanah rusak, maka partikel-partikel tanah akan terpisah satu dengan yang lainnya. Partikel yang paling kecil kurannya yaitu klei akan lebih dulu terdispersi. Klei yang terdispersi akan menutup ruang pori-pori tanah sehingga pori tanah menjadi tersumbat dan lama-kelamaan akan membentuk struktur tanah yang massif, (Lampiran 1, 3, 5 dan 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Prasetyo (2004) bahwa tanah bertekstur halus bila terdispersi akan mampu menutup pori di bawah lapisan olah.

Tanah Latosol sawah lapisan olah nilai bobot isi 0.9 g/cm3 sementara pada lapisan tapak bajak 1.0 g/cm3. Lapisan di bawah tapak bajak sampai pada kedalaman 120 cm bobot isi tanah cenderung sama yaitu 0.9 g/cm3. Tanah Podsolik sawah lapisan olah 0.8 g/cm3, pada lapisan dua dan tiga bobot isinya sama 1.0 g/cm3, kemudian pada lapisan empat mengalami penurunan bobot isi 0.9 g/cm3. Tanah Andosol sawah nilai bobot isi pada lapisan olah 0.8 g/cm3, sedangkan pada lapisan tapak bajak bobot isinya meningkat 0.9 g/cm3. Pada tanah Regosol sawah lapisan olah bobot isinya 0.9 g/cm3, kemudian meningkat pada lapisan tapak bajak 1.1 g/cm3, dan di bawah lapisan tapak bajak kembali mengalami penurunan bobot isi menjadi 1.0 g/cm3. Dilihat ke-empat jenis tanah yang disawahkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai bobot isi tanah antara lapisan tapak bajak lebih tinggi dibandingkan bobot isi pada lapisan olah ataupun lapisan di bawah tapak bajak.Bobot isi tanah yang tinggi ini semakin memperjelas adanya atau terbentuknya lapisan tapak bajak di bawah lapisan olah. Hal ini disebabkan proses pelumpuran yang dilakukan selama pengolahan tanah dan juga karena pengolahan tanah dengan menggunakan alat-alat berat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munir (1987) bahwa penggunaan traktor untuk pengolahan tanah sawah dapat mempercepat pembentukan lapisan tapak bajak.

(32)

20

kg/cm2. Berbeda halnya dengan tanah Podsolik, karena pada saat pengamatan kondisi tanah yang tidak sama, sehingga nilainya bertolak belakang dengan tanah yang lainnya. Tanah sawah berada dalam kondisi basah sementara tanah pada lahan kering dalam keadaan lembab. Nilai kekerasan 0.25 – 2.00 kg/cm2, sedangkan pada tanah sawah lapisan olahnya tidak memperlihatkan adanya daya penetrasi. Di bawah lapisan olah kekerasannya mencapai 1.00 kg/cm2, kemudian semakin ke bawah indeks kekerasannya semakin menurun. Walaupun demikian nilai kekerasan tanah pada lapisan kedua lebih tinggi dibandingkan lapisan yang lainnya, hal ini dapat dikatakan bahwa pada profil tanah ini dijumpai adanya lapisan tapak bajak, karena nilai kekerasan di bawah lapisan olah lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya.

Dilihat dari nilai kekerasan antara tanah pada lahan kering dan tanah sawah, serta nilai kekerasan tanah sawah pada setiap lapisan bervariasi. Perbedaan yang paling signifikan yaitu pada lapisan tapak bajak kekerasannya jauh lebih tinggi dibandingkan lapisan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pengolahan tanah dengan melakukan pelumpuran, kondisi tanah sawah yang selalu jenuh air selama penanaman padi sehingga menyebabkan reaksi reduksi lebih dominan terjadi. Tetapi setelah padi panen atau pergiliran tanaman atau dibiarkan dalam kondisi bera, maka akan terjadi proses re-oksidasi kembali. Proses ini akan terjadi secara terus menerus sepanjang tahun terutama pada ke-tiga jenis tanah (Latosol, Andosol dan Regosol) yang ditanami padi maksimal 2 kali dalam setahun. Tapak bajak akan cepat terbentuk jika proses oksidasi reduksi silih berganti. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rayes (2000) bahwa tidak semua tanah yang disawah dapat terbentuk lapisan tapak bajak. Tapak bajak cepat terbentuk pada tanah yang hanya disawahkan 1 kali dalam setahun. Pada tanah Podsolik selain kondisi tanah yang jenuh air pada saat pengamatan, hal lain yang menyebabkan nilai kekerasan rendah dibandingkan tanah pada lahan kering ataupun dibandingkan dengan ke-tiga jenis tanah sawah yang lainnya karena tanah tersebut disawahkan sepanjang tahun (3 kali tanam), ini berdasarkan pernyataan dari pemilik lahan. Menurut Moormann dan van Breemen (1978), pengolahan dalam keadaan tergenang menyebabkan perubahan sifat fisik tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, pori-pori kasar berkurang sedangkan pori halus meningkat, tanah dalam keadaan melumpur sehingga partikel-partikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak, di bawah lapisan olah sehingga bobot isi pada lapisan ini meningkat.

Sifat Kimia Tanah

(33)

21 Hasil analisis sifat-sifat tanah Podsolik (Tabel 3). Tabel ini menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kejenuhan basa tanah sawah lebih tinggi 59.9 %, diikuti oleh pH yaitu 5.1. Analisis Fe, Mn dan Al memperlihatkan bahwa, pengekstrak dithionit nilainya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.

Hasil analisis sifat-sifat tanah Andosol disajikan pada Tabel 4. Menunjukkan nilai kejenuhan basa pada tanah yang disawahkan mencapai 42.1% dan pH 5.1. Sementara untuk analisis kandungan Fe, Mn dan Al menunjukkan pengekstrak dithionit mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Hasil analisis sifat-sifat tanah Regosol disajikan pada Tabel 5. Tabel ini menunjukkan kejenuhan basa dan pH pada tanah sawah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pada lahan kering. Nilai pH 5.5 dan kejenuhan basa meningkat sampai 86.9%. Analisis Fe, Mn dan Al pengekstrak dithionit nilainya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.

pH Tanah

Penggenangan pada sistem usaha tani tanah sawah secara nyata akan mempengaruhi kemasaman tanah (pH). Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pH tanah sawah lebih tinggi dibandingkan pH tanah pada lahan kering (Tabel 2, 3, 4 dan 5). Tanah Latosol pada lahan kering pHnya berkisar dari 4.6 – 5.3. Nilai pH tanah pada lapisan olah 5.3, mengalami penurunan pada lapisan kedua dan semakin ke bawah pHnya konstan. Sedangkan pada tanah sawah pH tanah meningkat berkisar dari 5.3 – 5.9. Nilai pH tertinggi berada pada kedalaman 20 – 41 cm yang merupakan lapisan tapak bajak, dimana terjadi penumpukkan hasil kelarutan dari Fe, Mn, Al dan juga berdasarkan nilai kejenuhan basa pada lapisan tersebut tinggi sehingga ikut mempengaruhi pH tanah.

Tanah Podsolik pada lahan kering memiliki nilai pH yang berkisar 4.0 – 4.2. Nilai pH pada tanah ini cukup stabil mulai dari lapisan satu sampai lapisan empat. sementara pada tanah sawah meningkat 4.3 – 5.1. Berbeda dengan tanah Latosol, tanah Podsolik sawah semakin ke bawah nilai pH tanah justru semakin meningkat, hal ini dipengaruhi oleh lapisan tapak bajak yang terbentuk tidak seperti pada tanah Latosol yang memiliki nilai kekerasan yang tinggi, sehingga hasil kelarutan dari basa-basa tercuci ke lapisan yang lebih dalam. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengukuran kejenuhan basa yang meningkat pada lapisan keempat.

Pada tanah Andosol lahan kering pHnya adalah 3.9 – 4.6. Pada lapisan satu pHnya 4.6, mengalami penurunan pada lapisan kedua dan selanjutnya pada lapisan ketiga dan keempat pH tanah sama dengan lapisan satu. Hal yang sama terjadi setelah disawahkan meningkat nilainya berkisar 4.9 – 5.1. Nilai pH pada lapisan satu lebih tinggi dari lapisan dua, hal ini disebabkan oleh basa-basa dapat tukar lebih tinggi pada lapisan satu dibandingkan lapisan dua.

Tanah Regosol pada lahan kering pHnya berkisar dari 4.6 – 4.9, lapisan dua lebih tinggi dibandingkan lapisan satu, hal ini sejalan juga dengan kejenuhan basa pada lapisan dua yang lebih tinggi dibandingkan lapisan satu. Setelah disawahkan pH meningkat dan berkisar dari 5.3 – 5.5.

(34)

22

Tabel 2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Latosol Horison Kedalaman

(cm)

Kekerasan (kg/cm2)

BI (g/cm3)

pH (H2O)

KB (%)

Fe (%) Mn (%) Al (%)

Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Sawah

Apg 0-20 1.00 0.9 5.6 54.9 3.26 1.51 2.22 2.15 0.89 1.48 2.25 1.94 1.08

Adg 20-32 4.50 1.0 5.9 96.4 2.78 2.39 3.13 1.06 0.26 1.72 1.84 1.76 1.02

Bwg1 32-41 4.00 0.9 5.9 51.9 2.92 2.06 3.50 2.29 0.6 1.78 2.16 1.75 1.01 Bwg2 41-51 2.00 0.9 5.7 60.9 2.80 0.99 5.78 1.05 0.55 0.63 2.46 2.31 1.07 Bwg3 51-70 0.75 0.9 5.3 54.1 1.93 1.26 2.45 0.87 0.32 0.51 1.77 1.21 0.85 Bwg4 70-87 0.50 0.9 5.8 28.0 2.24 1.29 2.56 0.89 0.34 0.30 2.03 1.35 1.28 Bwg5 87-105 0.50 0.8 5.6 56.6 2.24 1.29 2.56 0.89 0.34 0.30 2.03 1.35 1.28 Cg 105-120 0.50 0.9 5.6 50.8 2.24 1.29 2.56 0.89 0.34 0.30 2.03 1.35 1.28

Tanah kering

A1 0-20 0.50 0.7 5.3 43.3 2.78 0.61 2.80 0.90 0.34 0.37 2.21 1.41 1.20

A2 20-42 1.50 1.0 4.5 41.4 1.60 0.91 1.57 0.52 0.10 0.32 1.56 1.44 0.80

B1 42-64 0.50 0.8 4.5 27.0 1.62 0.83 1.52 0.48 0.14 0.30 1.73 1.72 0.74

B2 64-80 0.25 0.8 4.5 20.0 1.63 0.81 1.30 0.52 0.17 0.29 1.31 0.99 0.89

B3 80-110 0.55 0.8 4.5 14.9 1.79 0.90 1.29 0.20 0.14 0.33 1.97 0.99 0.76

C 110-160 0.55 0.8 4.6 14.9 3.03 3.00 2.67 0.47 0.45 0.82 1.58 0.94 0.54

(35)

23 Tabel 3 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Podsolik

Horison Kedalaman (cm)

Kekerasan (kg/cm2)

BI (g/cm3)

pH (H2O)

KB (%)

Fe (%) Mn (%) Al (%)

Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Sawah

Apg 0-20 0.00 0.8 4.3 50.4 0.47 1.87 1.14 1.30 0.54 0.31 0.49 0.69 0.32

Adg 20-43 1.00 1.0 4.6 45.7 0.55 0.57 2.39 1.10 0.52 0.19 0.20 0.31 1.10

Bwg 43-75 0.50 1.0 4.7 39.0 1.13 0.04 1.35 1.18 0.92 0.12 0.41 0.77 0.60

Cg 75-110 0.25 0.9 5.1 59.9 1.07 0.47 0.64 0.94 0.97 0.23 2.43 0.92 0.72

Tanah kering

A1 0-20 0.25 0.7 4.1 20.8 1.55 0.24 0.39 2.90 0.34 0.19 0.02 1.53 0.88

A2 20-45 1.00 1.0 4.2 21.1 0.65 1.25 0.57 1.70 0.47 0.27 1.06 1.06 0.73

B 45-87 1.00 0.8 4.0 20.3 0.60 1.44 0.47 1.04 0.60 0.11 1.40 0.80 1.07

C 87-150 2.00 0.7 4.1 12.2 1.48 0.41 0.48 1.60 0.08 0.16 5.34 0.55 0.51

(36)

24

Tabel 4 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Andosol

Horison Kedalaman (cm)

Kekerasan (kg/cm2)

BI (g/cm3)

pH (H2O)

KB (%)

Fe (%) Mn (%) Al (%)

Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Sawah

Apg 0-18 1.50 0.8 5.1 42.1 2.21 0.19 0.91 0.61 4.34 0.29 0.21 1.50 0.46

Adg 18-50 3.50 0.9 4.9 37.2 0.75 0.43 1.84 0.09 0.74 0.20 0.67 1.32 0.51

Tanah kering

A1 0-34 1.50 0.7 4.6 5.3 0.33 0.66 0.45 0.67 0.37 0.08 2.92 0.60 0.26

A2 34-49 1.50 0.6 3.9 8.6 0.38 0.65 0.27 0.23 0.31 0.03 2.48 0.57 0.25

B 49-66 1.50 0.7 4.6 8.9 0.44 0.63 0.20 0.43 0.03 0.05 2.06 0.47 0.33

C 66-86 1.50 0.7 4.6 13.8 0.20 0.87 0.27 0.08 0.49 0.05 1.31 0.87 0.31

(37)

25 Tabel 5 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah Regosol

Horison

Kedalaman (cm)

Kekerasan (kg/cm2)

BI (g/cm3)

pH (H2O)

KB (%)

Fe (%) Mn (%) Al (%)

Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Kristalin Amorf B.O Sawah

Apg 0-20 1.00 0.9 5.3 83.2 1.96 0.94 0.43 0.99 0.62 0.49 2.74 0.01 0.72

Adg 20-53 2.75 1.1 5.5 80.7 2.70 0.12 1.69 1.09 0.99 0.07 0.95 0.42 0.22

Cg 53-85 2.50 1.0 5.3 86.9 0.79 0.47 0.64 0.28 0.45 0.16 0.02 1.49 0.14

Tanah kering

A 0-30 1.25 0.9 4.6 34.1 1.08 3.18 0.25 2.08 0.51 0.18 0.74 1.32 0.14

C 30-60 1.00 0.8 4.9 37.8 0.16 0.86 0.53 1.56 0.02 0.15 2.17 0.04 1.01

(38)

26

tergenang mengakibatkan proses reduksi dari Fe dan Mn meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Rayes (2001) bahwa penggenangan menyebabkan pH semua tanah mendekati 6.5 – 7.0, kecuali pada tanah gambut masam atau tanah dengan kadar Fe aktif (Fe2+) yang rendah dalam tanah. Peningkatan pH pada tanah masam akibat penggenangan dikontrol oleh sistem Fe2+ - Fe(OH)3 dimana terjadi konsumsi H+. Penggenangan tanah yang masam sama saja dengan tindakan pengapuran sendiri yaitu menyebabkan tercapainya kisaran pH optimum yang memungkinkan tersedianya hara secara optimum. Hal ini berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi di dalam tanah, terutama reaksi yang lebih dominan pada tanah yang tergenang adalah reaksi reduksi. Pada keempat jenis tanah yang diamati memiliki nilai pH yang bervariasi pada setiap lapisan tanah.

Kejenuhan Basa (KB)

Nilai kejenuhan basa dinyatakan dalam persen keempat unsur basa-basa yaitu Ca, Mg, Na dan K dalam tanah. Secara keseluruhan bahwa kadar keempat unsur ini memiliki nilai yang tinggi pada tanah sawah dibandingkan pada tanah lahan kering (Tabel 2, 3, 4 dan 5). Tingginya kadar kation-kation tersebut dalam tanah yang disawahkan disebabkan oleh rendahnya pencucian yang terjadi sebagai akibat dari adanya lapisan tapak bajak yang menghambat perkolasi air, sedangkan pada tanah lahan kering jumlah kation basa cenderung rendah.

Tanah Latosol pada lahan kering memiliki nilai kejenuhan basa pada lapisan satu 43.3%, semakin dalam lapisan tanah kejenuhan basa semakin menurun. Pada lapisan satu lebih tinggi disebabkan oleh adanya pengaruh bahan organik yang telah mengalami pelapukan sehingga berkontribusi dalam meningkatkan jumlah basa dalam tanah. Sementara pada tanah sawah kejenuhan basa pada lapisan tapak bajak lebih tinggi dibandingkan lapisan yang lainnya, yaitu 96.4%. Lapisan olah lebih rendah nilainya karena basa-basa tercuci dan kemudian menumpuk pada lapisan tapak bajak sehingga nilai pada lapisan di bawah tapak bajak pun juga rendah karena tertahan oleh lapisan tapak bajak tersebut.

Tanah Podsolik pada lahan kering untuk lapisan satu sampai lapisan tiga tidak terlalu berbeda kisaran nilainya 20%, nilai paling rendah terdapat pada lapisan empat. Jadi secara keseluruhan nilai kejenuhan basa mengalami penurunan berdasarkan kedalaman tanah. Sementara pada tanah sawah kejenuhan basa lapisan satu yaitu 50.4% , kemudian mengalami penurunan sampai pada lapisan ketiga, tetapi kembali meningkat pada lapisan keempat. Hal ini diduga berdasarkan kenampakkan profil tanah sawah, terdapat pengaruh air tanah yang dangkal sehingga kelarutan basa-basa cukup tinggi pada lapisan tersebut.

(39)

27 tapak bajak. Juga pada lapisan olah mendapat pengaruh dari adanya air irigasi yang membawa unsur-unsur hara.

Tanah Regosol pada lahan kering sama halnya pada tanah Latosol maupun Podsolik, yaitu tinggi pada lapisan satu 34.1% dan menurun pada lapisan kedua. Sedangkan pada tanah yang disawahkan kejenuhan basa lapisan satu 83.2% tetapi pada lapisan kedua (tapak bajak) mengalami penurunan, tetapi pada lapisan ketiga justru mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh lapisan tapak bajak pada tanah Regosol berbeda nilai kekerasannya dibandingkan pada tanah Latosol. Kekerasan tanah Latosol jauh lebih tinggi dibandingkan tanah Regosol sehingga masih ada kemungkinan basa-basa dapat tercuci ke lapisan bawah.

Secara umum tanah sawah mempunyai kejenuhan basa lebih tinggi dari tanah pada lahan kering, ini terjadi pada empat jenis tanah yang diteliti tersebut. Tingginya kejenuhan basa pada tanah sawah dipengaruhi oleh adanya lapisan tapak bajak yang dapat menahan basa-basa tersebut. Kondisi ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Munir (1987) bahwa lapisan tapak bajak pada umumnya mempuyai kejenuhan basa relatif lebih tinggi daripada lapisan olah, karena banyaknya kation-kation seperti Ca, Mg, K, Na dan kation lainnya tertimbun di atas lapisan tapak bajak. Hal lain juga yang dapat menyebabkan kejenuhan basa tanah sawah lebih tinggi karena pengaruh air irigasi yang digunakan selama proses penanaman padi. Air irigasi membawa sejumlah unsur hara, sehingga lama-kelamaan akan menumpuk dan tertimbun pada lapisan tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno et al (2004) bahwa pemberian air irigasi dapat menambah lumpur dan penambahan bahan kimia/unsur hara.

Hal lain yang menyebabkan kejenuhan basa tanah sawah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah pada lahan kering adalah karena tanah sawah intensif diolah dibandingkan tanah pada lahan kering. Oleh karena intensif diolah, sehingga pemberian pupuk sering dilakukan, berbeda dengan tanah pada lahan kering yang berdasarkan hasil pengamatan di lapang dijadikan sebagai lahan untuk tanaman perkebunan yang tidak intensif diolah dan tentu saja pemupukannya pun tidak seperti pada tanah sawah.

Bentuk Fe, Mn dan Al dalam Tanah

Secara umum unsur Fe dan Mn yang terdapat pada tanah lahan kering lebih rendah dibandingkan dengan tanah sawah, baik yang berada dalam bentuk oksida kristalin, oksida yang bersifat amorf maupun yang berikatan dengan bahan organik. Hal ini disebabkan oleh proses oksidasi yang terjadi secara terus menerus sehingga untuk mengubah Fe, dan Mn berada dalam bentuk mineral sekunder terjadi sangat lambat karena tidak adanya proses reduksi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukanan oleh Brinkman (1970), bahwa komposisi mineral klei di dalam tanah tidak mudah berubah akibat pengolahan. Namun tanah sawah yang mengalami kondisi basah dan kering secara bergantian dalam jangka panjang dapat mengubah susunan atau jenis mineral klei yang ada. Sebagai contoh, mineral kristalin haloisit akan berubah menjadi mineral amorf dalam beberapa tahun apabila terjadi pembasahan dan pengeringan secara terus-menerus.

Gambar

Gambar 1 Letak titik pengamatan dan pengambilan sampel tanah
Tabel 1  Analisis dan metode analisis sifat-sifat tanah
Gambar 3    Penampang profil tanah Podsolik: (a) tanah sawah, (b) tanah kering.
Gambar 4    Penampang profil tanah Andosol Sukamantri: (a) tanah sawah,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan umum pada tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam adalah reaksi tanah masam, kandungan bahan organik rendah, ketersediaan dan cadangan hara rendah,

Tanah sawah dari tanah kering umumnya terdapat di daerah dataran rendah, dataran tinggi vokan atau nonvolkan yang pada awalnya merupakan tanah kering yang tidak pernah jenuh

Jumlah bakteri lebih tinggi pada lahan budidaya dibandingkan tanah yang belum ditanami, pada tanah dengan suhu tinggi dibandingkan tanah.. dengan suhu rendah dan begitu juga pada

Selain itu serasah yang terdapat pada permukaan tanah di lahan Hutan Sekunder lebih tebal dibandingkan serasah yang terdapat pada lahan Karst sehingga dapat

Karakterstik, potensi dan teknologi pengelolaan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering Indonesia.. Jurnal

Pengambilan sampel tanah pada lahan kelapa sawit dengan vegetasi kacang- kacangan( Mucuna bracteata ). Pengambilan sampel tanah pada lahan kelapa sawit dengan

Lahan tegalan merupakan lahan kering yang telah menyebabkan tanah pertanian menjadi rusak karena pada lahan ini telah terjadi pengolahan tanah secara

Lahan kering yang pada saat awal musim penghujan banyak dimanfaatkan oleh petani untuk budidaya tanaman palawija (jagung, kacang tanah dan kedelai) akan