• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI

AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU,

KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

NINA YULIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2009

(3)

ABSTRACT

NINA YULIANTI. Carbon Stock of Peatland in Oil Palm Agroecosystem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatra. Under direction of SUPIANDI SABIHAM and M. ARDIANSYAH.

Carbon stock of peatland in the oil palm agroecosystem plays an important role in balancing global climate to support sustainable management of oil palm plantation. The study was carried out in oil palm agroecosytem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatera. The aims of the study were to calculate carbon stock of peatland, to calculate carbon biomass based on destructive method and to develop allometric equation for estimating carbon biomass of oil palm. Data were collected by field measurement and laboratory analysis. Peat carbon stock calculation was based on weight of peat in one hectar that was calculated by using multiply of area extent x bulk density x organic carbon content x peat depth, whereas carbon biomass of oil palm calculation was based on destructive method. Thereafter, based on its calculation, biomass of oil palm was correlated to its dimensions using regression equation to develop the allometric equations used to estimate C biomass. The result showed that peat C stock ranged from 799-4 516 ton/ha. It seems that at the same peat thick, sapric C stock was larger than hemic and fibric C stock because bulk density of sapric was larger than that

of hemic and fibric. Moreover, based on destructive method calculation, C biomass of oil palm was obtained ranging from 0.7-16.43 ton/ha. Finally, to determine C biomass of oil palm, the best model found developed using allometric equations was Ŷ = β0Dβ1Hβ2 with R2 of 0.99. To obtain its model

there were used several parameters : (i) stem diameter including rachis measured at natural angle (D1) combined by total height (H1), (ii) stem diameter including rachis measured at uphill side (D2) combined by the height of the stem without branch (H2) , and (iii) stem diameter without rachis (D3) combined by the height of the stem without branch (H2).

(4)

RINGKASAN

NINA YULIANTI. Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM dan M. ARDIANSYAH.

Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Cadangan karbon pada ekosistem daratan terbagi menjadi karbon di atas permukaan dan karbon di bawah permukaan. Cadangan karbon di atas permukaan berasal dari biomassa vegetasi yang tumbuh, sedangkan cadangan karbon di bawah permukaan berasal dari bahan organik di dalam tanah. Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon besar yang menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar. Sementara itu, mengenai cadangan karbon pada biomassa kelapa sawit yang berada di lahan gambut belum banyak data yang dikumpulkan karena besarnya biaya dan memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan pada tingkat detil sehingga dapat memberi informasi tentang cadangan karbon pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit. Selain itu data yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan lahan gambut dan pengembangan agroekosistem kelapa sawit yang berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan di masa mendatang.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk : (1) menghitung cadangan karbon (C) gambut pada lahan gambut yang sudah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit, (2) menghitung cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit berdasarkan pengukuran secara destruktif, dan (3) menyusun persamaan alometrik sebagai dasar untuk menduga cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit.

Penelitian ini dilaksanakan pada agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari (2) dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui cadangan C dalam gambut adalah berdasarkan pada berat gambut per hektar yang dihitung menggunakan perkalian dari luas area penelitian x bobot isi x C organik x ketebalan gambut. Sementara, perhitungan yang digunakan untuk mengetahui biomassa dan C biomassa kelapa sawit adalah berdasarkan pada metode destruktif yang dilakukan dengan penebangan contoh pohon kelapa sawit dengan berbagai keragaman umur tanam. Kemudian biomassa kelapa sawit dengan dimensinya dihubungkan melalui persamaan regresi untuk menyusun persamaan alometrik sebagai dasar pendugaan C biomassa.

Cadangan C gambut dari agroekosistem kelapa sawit yang terletak pada Kebun Meranti Paham dan Kebun Panai Jaya, PTPN IV Ajamu berada pada kisaran antara 799–4 516 ton/ha. Nilai tersebut akan berkurang akibat dari kehilangan C. Pada ketebalan gambut yang sama, saprik menunjukkan cadangan C lebih tinggi dibandingkan cadangan C hemik dan fibrik.

(5)

terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda C biomassa terakumulasi pada pelepah. Hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan C biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi (konstan).

Model persamaan alometrik terbaik yang diperoleh dari hubungan

biomassa kelapa sawit dan dimensinya adalah model III dengan bentuk

Ŷ = β0Dβ1Hβ2. Peubah yang digunakan adalah kombinasi (i) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) antara diameter batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dimana R2 masing-masing persamaan adalah 0.99.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelititan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI

AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU,

KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

NINA YULIANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara

Nama : Nina Yulianti NRP : A351060031 Program Studi : Ilmu Tanah (TNH)

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Tanah (TNH)

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 adalah Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. M.Ardiansyah sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, saran, dorongan, pengertian, kesabaran dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atas kesediaannya untuk membiayai penelitian ini, juga kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono,MS selaku koordinator penelitian kerjasama IPB-PPKS. Demikian juga diucapkan terima kasih kepada PTPN IV Ajamu dan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Depertemen Pertanian atas kesediaannya untuk bekerjasama selama pelaksanaan penelitian ini. Tidak lupa ungkapan terimakasih dan hormat yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya yang begitu besar dan juga kepada teman-teman atas dukungan dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Pebruari 2009

(11)

CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI

AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU,

KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

NINA YULIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2009

(13)

ABSTRACT

NINA YULIANTI. Carbon Stock of Peatland in Oil Palm Agroecosystem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatra. Under direction of SUPIANDI SABIHAM and M. ARDIANSYAH.

Carbon stock of peatland in the oil palm agroecosystem plays an important role in balancing global climate to support sustainable management of oil palm plantation. The study was carried out in oil palm agroecosytem of PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu, North Sumatera. The aims of the study were to calculate carbon stock of peatland, to calculate carbon biomass based on destructive method and to develop allometric equation for estimating carbon biomass of oil palm. Data were collected by field measurement and laboratory analysis. Peat carbon stock calculation was based on weight of peat in one hectar that was calculated by using multiply of area extent x bulk density x organic carbon content x peat depth, whereas carbon biomass of oil palm calculation was based on destructive method. Thereafter, based on its calculation, biomass of oil palm was correlated to its dimensions using regression equation to develop the allometric equations used to estimate C biomass. The result showed that peat C stock ranged from 799-4 516 ton/ha. It seems that at the same peat thick, sapric C stock was larger than hemic and fibric C stock because bulk density of sapric was larger than that

of hemic and fibric. Moreover, based on destructive method calculation, C biomass of oil palm was obtained ranging from 0.7-16.43 ton/ha. Finally, to determine C biomass of oil palm, the best model found developed using allometric equations was Ŷ = β0Dβ1Hβ2 with R2 of 0.99. To obtain its model

there were used several parameters : (i) stem diameter including rachis measured at natural angle (D1) combined by total height (H1), (ii) stem diameter including rachis measured at uphill side (D2) combined by the height of the stem without branch (H2) , and (iii) stem diameter without rachis (D3) combined by the height of the stem without branch (H2).

(14)

RINGKASAN

NINA YULIANTI. Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM dan M. ARDIANSYAH.

Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Cadangan karbon pada ekosistem daratan terbagi menjadi karbon di atas permukaan dan karbon di bawah permukaan. Cadangan karbon di atas permukaan berasal dari biomassa vegetasi yang tumbuh, sedangkan cadangan karbon di bawah permukaan berasal dari bahan organik di dalam tanah. Lahan gambut merupakan akumulasi bahan organik yang memiliki kandungan karbon besar yang menjadikannya sebagai sumber dan penyimpan karbon daratan terbesar. Sementara itu, mengenai cadangan karbon pada biomassa kelapa sawit yang berada di lahan gambut belum banyak data yang dikumpulkan karena besarnya biaya dan memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan pada tingkat detil sehingga dapat memberi informasi tentang cadangan karbon pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit. Selain itu data yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan lahan gambut dan pengembangan agroekosistem kelapa sawit yang berkelanjutan dengan berwawasan lingkungan di masa mendatang.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk : (1) menghitung cadangan karbon (C) gambut pada lahan gambut yang sudah dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit, (2) menghitung cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit berdasarkan pengukuran secara destruktif, dan (3) menyusun persamaan alometrik sebagai dasar untuk menduga cadangan karbon (C) biomassa kelapa sawit.

Penelitian ini dilaksanakan pada agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Labuhan Batu Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan berdasarkan dari (2) dua tahapan yaitu pengukuran lapangan dan analisis laboratorium. Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui cadangan C dalam gambut adalah berdasarkan pada berat gambut per hektar yang dihitung menggunakan perkalian dari luas area penelitian x bobot isi x C organik x ketebalan gambut. Sementara, perhitungan yang digunakan untuk mengetahui biomassa dan C biomassa kelapa sawit adalah berdasarkan pada metode destruktif yang dilakukan dengan penebangan contoh pohon kelapa sawit dengan berbagai keragaman umur tanam. Kemudian biomassa kelapa sawit dengan dimensinya dihubungkan melalui persamaan regresi untuk menyusun persamaan alometrik sebagai dasar pendugaan C biomassa.

Cadangan C gambut dari agroekosistem kelapa sawit yang terletak pada Kebun Meranti Paham dan Kebun Panai Jaya, PTPN IV Ajamu berada pada kisaran antara 799–4 516 ton/ha. Nilai tersebut akan berkurang akibat dari kehilangan C. Pada ketebalan gambut yang sama, saprik menunjukkan cadangan C lebih tinggi dibandingkan cadangan C hemik dan fibrik.

(15)

terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda C biomassa terakumulasi pada pelepah. Hubungan antara umur tanam kelapa sawit dengan C biomassanya menunjukkan pola sigmoid yaitu terjadi peningkatan secara perlahan pada awal pertumbuhan kemudian akan terus meningkat dan pada umur tertentu cenderung tidak mengalami perubahan lagi (konstan).

Model persamaan alometrik terbaik yang diperoleh dari hubungan

biomassa kelapa sawit dan dimensinya adalah model III dengan bentuk

Ŷ = β0Dβ1Hβ2. Peubah yang digunakan adalah kombinasi (i) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur sejajar tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii) antara diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) antara diameter batang tanpa pelepah (D3) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dimana R2 masing-masing persamaan adalah 0.99.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelititan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

CADANGAN KARBON LAHAN GAMBUT DARI

AGROEKOSISTEM KELAPA SAWIT PTPN IV AJAMU,

KABUPATEN LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

NINA YULIANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Cadangan Karbon Lahan Gambut Dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu Kabupaten Labuhan Batu Sumatera Utara

Nama : Nina Yulianti NRP : A351060031 Program Studi : Ilmu Tanah (TNH)

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Tanah (TNH)

Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.

(19)
(20)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 adalah Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. M.Ardiansyah sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, saran, dorongan, pengertian, kesabaran dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atas kesediaannya untuk membiayai penelitian ini, juga kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono,MS selaku koordinator penelitian kerjasama IPB-PPKS. Demikian juga diucapkan terima kasih kepada PTPN IV Ajamu dan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Depertemen Pertanian atas kesediaannya untuk bekerjasama selama pelaksanaan penelitian ini. Tidak lupa ungkapan terimakasih dan hormat yang tak terhingga kepada keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya yang begitu besar dan juga kepada teman-teman atas dukungan dan bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Pebruari 2009

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sampit pada tanggal 30 Juni 1982 sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Agus Tabela.Y.Salomo,S.Sos dan Ibu Weyeni, SAP. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Dusun Timur (Kalimantan Tengah) dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada pendidikan Sarjana Pertanian pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat dan lulus dengan predikat terbaik dari Program Studi Ilmu Tanah pada tahun 2004.

(22)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

1 PENDAHULUAN ... ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 5

1.3 Hipotesis Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Cadangan Karbon dan Metode Pendugaannya ... 6

2.2 Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) dan Fungsi Ekologisnya.... 8

2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon ... 12

3 METODOLOGI ... 16

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 16

3.2 Bahan dan Alat... 19

3.3 Metode dan Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 19

3. 3. 1 Pengukuran Lapangan ... 21

3.3.1.1 Persiapan ... 21

3.3.1.2 Pengukuran Karbon Biomassa Kelapa Sawit ... 21

3.3.1.3 Pengukuran Ketebalan Gambut ... 23

3.3.1.4 Pengukuran Persentase Pasir Semu (Psedousand).. 25

3.3.1.5 Penentuan Tingkat Kematangan Gambut ... 25

3.3.2 Analisis Sifat-Sifat Kelapa Sawit dan Gambut ... 26

3.3.2.1 Penetapan C Kelapa Sawit ... 27

3.3.2.2 Penentuan Kadar Air dan Bobot Isi Gambut ... 27

3.3.2.3 Penetapan C Organik Gambut ... 28

3.3.2.4 Penetapan Kadar Air Batas Kritis dengan Peluang

(23)

3.3.2.5 Pendugaan C Biomassa Kelapa Sawit

(C Atas Permukaan)... 29

3.3.2.6 Pendugaan C dalam Gambut (C Bawah Permukaan) 30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4.1 Deskripsi Sifat-Sifat Gambut di Lokasi Penelitian ... 31

4.2 Kandungan C Organik dan Kadar Abu Gambut ... 33

4.3 Cadangan C dalam Gambut ... 35

4.4 Biomassa Kelapa Sawit... 37

4.5 Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit ... 40

4.6 Dimensi-Dimensi Kelapa Sawit dan Hubungannya dengan

Biomassa ... 42

4.7 Persamaan Alometrik... 45

4.8 Pendugaan Cadangan C Biomassa Kelapa Sawit ... 50

5 KESIMPULAN DAN SARAN... 52

5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sifat-Sifat Kelapa Sawit dan Gambut yang Diamati Beserta

Metode Pengukurannya... 27

2 Klasifikasi Bahan Menolak Air Berdasarkan Metode WDPT ... 29

3 Kandungan Kadar Abu Pada 2 (Dua) Lokasi Kebun PTPN IV

Ajamu... 33

4 Cadangan Karbon Pada Berbagai Plot Umur Tanam... 36

5 Biomassa Kelapa Sawit Pada Berbagai Dimensi ... 37

6 Pendugaan Biomassa dan C Biomassa Hasil Pemotongan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Selama Pertumbuhan Tanaman yang Diukur

Setelah Umur 3 Tahun ... 39

7 Produksi Kelapa Sawit Pada Umur Tanam 9-18 Tahun ... 40

8 Cadangan C Biomassa Pada Berbagai Dimensi Kelapa Sawit ... 41

9 Diameter (D) dan tinggi (H) Rata-Rata Pada Berbagai Umur Tanam

Kelapa Sawit ... 43

10 Konstanta Regresi dari Berbagai Model Persamaan Alometrik untuk

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram dari Siklus Karbon Global... 6

2 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006 11

3 Peta Tahun Tanam Kebun Meranti Paham ... 17

4 Peta Tahun Tanam Kebun Panai Jaya... 18

5 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 20

6 Plot Pengukuran Ketebalan Gambut ... 24

7 Hubungan Cadangan C dengan (a) Ketebalan Gambut dan

(b) Bobot Isi ... 35

8 Persentase Rata-Rata Biomassa Berbagai Dimensi Kelapa Sawit.... 38

9 Cadangan C Biomassa (kg/pohon) Pada Berbagai Umur Tanam ... 41

10 Pola C Biomassa Berdasarkan Umur Tanam ... 42

11 Diameter Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam ... 43

12 Tinggi Kelapa Sawit Sesuai dengan Umur Tanam ... 44

13 Kelapa Sawit yang Terserang Hama Rayap dan Tumbuh Miring di

Lahan Gambut ... 45

14 Hubungan antara Biomassa Kering dengan Diameter Batang... 47

15 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi

Total (Berdasarkan Model Persamaan II) ... 47

16 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Tinggi

Bebas Percabangan (Berdasarkan Model Persamaan II) ... 48

17 Hubungan Biomassa Kering dengan Diameter Batang dan Panjang

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Sifat-Sifat Gambut Pada Lokasi Penelitian... 60

2 Hubungan Persentase Pasir Semu (Psedousand) dengan Plot Umur

Tanam... 60

3 Hubungan Kadar Air (%) dengan Interval Waktu Pengeringan

(menit) ... 61

4 Hasil Uji Korelasi Beberapa Sifat Gambut dan Cadangan C dengan

SPSS Vers. 11 ... 61

5 Sampel Kelapa Sawit Umur 1 Tahun... 62

6 Sampel Kelapa Sawit Umur 2 Tahun... 62

7 Sampel Kelapa Sawit Umur 9 Tahun... 63

8 Sampel Kelapa Sawit Umur 11 Tahun... 63

9 Sampel Kelapa Sawit Umur 13 Tahun... 64

10 Sampel Kelapa Sawit Umur 17 Tahun... 64

(27)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah

lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi.

Peningkatan gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan energi radiasi matahari yang

terserap oleh permukaan bumi tidak mampu menembus atmosfer sehingga

memantul kembali ke bumi menyebabkan terjadinya pemanasan global. Menurut

laporan IPCC (2007), dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur

udara permukaan bumi rata-rata 0.74oC. Temperatur merupakan indikator

terjadinya pemanasan global. Dampak dari pemanasan global akan sangat besar

terhadap perubahan iklim dunia dan kenaikan air laut akibat mencairnya es di

kutub. Perubahan iklim tersebut akan mengganggu sistem pertanian baik dalam

skala mikro maupun makro. Sementara naiknya air laut kemungkinan dapat

mengakibatkan terendamnya sebagian wilayah-wilayah pesisir dan kepulauan di

masa datang.

Untuk mencegah terjadinya pemanasan global yang lebih parah maka pada

tahun 1997 dilakukan kesepakatan secara Internasional yaitu Protokol Kyoto.

Pada tanggal 16 Pebruari 2005, Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto.

Dengan ketentuan bahwa negara-negara maju harus mengurangi emisi paling

sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990, melalui mekanisme Emission Trading

(ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM).

Dalam kesepakatan tersebut ada kewajiban dari negara-negara maju memberi

kontribusi bagi negara-negara berkembang dengan pemberian kompensasi setara

dengan jumlah karbon yang mampu diperosotkan yang disebut sebagai kredit

karbon.

Keberadaan karbon penting bagi keseimbangan alam sehingga perlu

untuk diperhatikan. Pada lahan-lahan yang sudah terdegradasi berpotensi

untuk meningkatkan daerah penyerapan CO2 apabila dilakukan rehabilitasi

melalui aforestasi dan reforestasi. Namun dalam rangka pemanfaatan lahan

secara lebih maksimal maka dilakukan pembukaan perkebunan kelapa

(28)

2

primadona karena merupakan tanaman paling produktif dengan produksi

mencapai 6000 liter/ha biodiesel mentah sehingga sangat menguntungkan. Saat ini

Indonesia telah menjadi negara kedua terbesar pengekspor minyak kelapa sawit.

Bersama Malaysia mampu menguasai sekitar 86 % dari produksi minyak sawit

dunia. Tingkat kosumsi minyak sawit dunia mengalami pertumbuhan yang pesat

dari 13 259 ribu ton pada tahun 1993 menjadi 33 108 ribu ton pada tahun 2005.

Sementara produksi Indonesia mencapai 16 juta ton pada tahun 2006. Melihat

peluang ini maka pemerintah Indonesia merencanakan untuk membuka kebun

kelapa sawit baru dalam dekade ke depan. Kebun kelapa sawit dikembangkan

pada padang alang-alang atau lahan hutan tidak produktif. Namun tidak sedikit

pula kebun kelapa sawit yang telah dikembangkan di lahan gambut.

Luasan gambut di Indonesia bervariasi menurut beberapa peneliti

tergantung dari kriteria yang mereka pergunakan. Andrisse (1988) mengemukakan

bahwa luas lahan gambut di Indonesia adalah 17 juta ha. Pendapat lain, Furukawa

(1994) menyebutkan luas lahan gambut tersebut sekitar 16 juta ha. Kemudian,

Rieley et al. (1997a) mengatakan bahwa luasan lahan gambut di Indonesia

berkisar antara 17-27 juta hektar. Setiap 1 m lapisan gambut diperkirakan

mampu menyimpan sekitar 7x102 ton C tahun-1 hektar-1 (Notohadiprawiro 1997).

Potensi tersebut menyebabkan lahan gambut memiliki fungsi penting sebagai

sumber karbon (carbon source) dan pemendaman karbon (carbon sink).

Namun lahan gambut mempunyai sifat yang sangat rapuh (fragile)

sehingga mudah terjadi degradasi apabila mengalami gangguan terhadap

ekosistemnya. Apabila terusik maka muka air tanah menjadi sangat cepat

menurun yang menyebabkan gambut mengalami kekeringan dan mengkerut

(subsidence). Penurunan muka air tanah gambut mendorong laju dekomposisi

bahan organik berjalan lebih cepat sehingga terjadi peningkatan emisi CO2 serta

N2O. Karakter gambut yang menentukan besarnya emisi meliputi ketebalan

gambut, tingkat kematangan dan kondisi pengelolaan tata air (Nyman and

DeLaune 1991). Degradasi lahan gambut di Indonesia pernah membuatnya

dituduh menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca ketiga di dunia setelah

USA dan RRC tetapi sampai sekarang belum ditemukan data-data yang cukup

(29)

3

Kondisi ini menimbulkan kontroversi antara pemanfaatan lahan gambut

untuk pertanian dan usaha untuk melestarikan lingkungan. Perkebunan kelapa

sawit di lahan gambut diduga memperburuk kerusakan lingkungan. Terutama

karena pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar akan melepaskan CO2

dalam jumlah besar. Selain itu, budidaya monokultur ini akan menurunkan

keanekaragaman hayati, perubahan iklim mikro, penurunan kesuburan tanah,

peningkatan aliran permukaan (runoff) dan erosi serta dapat menimbulkan konflik

sosial budaya. Namun di pihak lain adanya peningkatan harga dan juga

kebutuhan terhadap minyak sawit yang dapat meningkatkan pendapatan (income)

Indonesia sebagai negara eksportir. Disamping itu juga adanya isu perdagangan

karbon yang sangat menjanjikan dari segi lingkungan menyebabkan perkebunan

kelapa sawit tetap dipertahankan bahkan terus dikembangkan.

Data Direktorat Perlindungan Perkebunan Deptan (2007), areal

perkebunan kelapa sawit secara nasional tahun 2007 yang telah mencapai

6 513 ribu ha, mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Menurut Henson

(1999), kemampuan penyerapan karbon tahunan kelapa sawit di Malaysia sebesar

46.4 ton ha-1. Sementara itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurut data

Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam Lasco (2002) rata-rata mampu

menyimpan sekitar 5 MgC ha-1.

Saat ini Indonesia sedang melalukan negosiasi mekanisme REDD

(Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries), yang dapat

memicu kebijakan-kebijakan yang berfokus pada pengurangan gas rumah kaca.

Niles et al. (2002) memprediksikan Indonesia bisa memperoleh 14.3 juta US$

dari total kemampuan rosot C. Dana digunakan untuk menjaga hutan tropis dan

keanekaragaman hayati di Indonesia serta untuk tujuan nasional lainnya. Oleh

karena itu, penelitian tentang cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit

sangat diperlukan untuk meninjau berapa sebenarnya karbon yang mampu

diserap. Serta menduga berapa cadangan karbon yang terdapat di lahan gambut

yang digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Hasilnya mungkin mampu

untuk menilai keuntungan dan kerugian pengembangan perkebunan kelapa sawit

(30)

4

Adapun komponen cadangan karbon yang dapat diukur terdiri dari

cadangan karbon di atas permukaan tanah, yaitu tanaman hidup (batang, cabang,

daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati

(pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah

yang gugur, arang sisa pembakaran). Sementara cadangan karbon di bawah

pemukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan

bahan organik tanah. Potensi penyerapan karbon pada gambut secara maksimum

dimiliki oleh biomassa di atas permukaan tanah dan di dalam tanah yang

merupakan kumpulan bahan organik.

Pengukuran karbon di gambut merupakan cara untuk mengetahui

cadangan karbon di bawah permukaan (belowground). Metode yang digunakan

dalam pengukuran gambut berbeda dengan pengukuran pada tanah mineral. Bobot

isi merupakan penentu dalam pengukuran karbon. Pentingnya faktor bobot isi ini

dimaksudkan untuk menghitung banyaknya karbon di atmosfer yang diikat dalam

biomassa apabila tanaman mati maka akan diakumulasi sebagai endapan gambut

(Sabiham 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Page et al. (2002) menggunakan

bobot isi 0.1 g cm-3 untuk pendugaan karbon gambut di lahan gambut, Kalimantan

Tengah. Sementara penelitian dari Driessen dan Rochimah (1976) menunjukkan

bobot isi sebesar 0.08 sampai 0.18 g cm-3. Bervariasinya nilai ini bergantung pada

metode yang digunakan.

Seringkali berbagai penelitian tidak mengakumulasikan cadangan karbon

biomassa dan tanah karena besarnya biaya yang diperlukan dan memerlukan

waktu yang lama. Oleh karena itu, penelitian tentang cadangan karbon sangat

diperlukan untuk meninjau berapa karbon yang mampu diserap dari besarnya

cadangan karbon yang terdapat pada agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut.

Penelitian tentang karbon gambut sebelumnya telah dilakukan tapi kurang detail

karena menggunakan ketebalan gambut hasil interpolasi dalam skala luas

(Page et al. 2002; Wahyunto dan Ritung 2003; Boehm and Sulistiyanto 2006).

Lahan gambut bersifat yang sangat heterogen sehingga perbedaan jarak akan

sangat berpengaruh. Sementara itu untuk penyusunan persamaan alometrik yang

digunakan sebagai dasar pendugaan karbon biomassa kelapa sawit telah dilakukan

(31)

5

menggunakan persamaan yang sudah ada sebelumnya (Htut 2004). Jadi,

pengumpulan data mengenai cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit

masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini mencoba mengkombinasikan

pengukuran lapangan pada tingkat detil dan menyusun persamaan alometrik

spesifik untuk kelapa sawit yang tumbuh di lahan gambut, sehingga diperoleh

cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menghitung berapa cadangan karbon gambut pada lahan gambut yang sudah

dikonversi menjadi agroekosistem kelapa sawit.

2. Menghitung cadangan karbon biomassa berdasarkan pengukuran secara

destruktif.

3. Menyusun persamaan alometrik sebagai dasar untuk menduga cadangan

karbon biomassa kelapa sawit.

1.3 Hipotesis Penelitian

Pengukuran lapang dan persamaan alometrik dapat menghitung besarnya

cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit yang berada di lahan gambut.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberi informasi

tentang berapa cadangan karbon pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi

agroekosistem kelapa sawit. Selain itu data yang diperoleh dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk pengelolaan lahan gambut dan pengembangan sektor

(32)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cadangan Karbon dan Metode Pendugaannya

Keberadaan karbon merupakan bagian penting dari siklus kehidupan di

bumi. Ada empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial

(daratan), lautan, dan sedimen (Gambar 1). Beberapa dekade terakhir terjadi

ketidakseimbangan neraca karbon global diakibatkan semakin bertambahnya

populasi manusia. Pemanenan karbon melalui perubahan penggunaan lahan,

pembakaran biomassa, penambangan bahan bakar fosil dan pencemaran di laut

menyebabkan peningkatan jumlah karbon di atmosfer. Bagian terbesar dari

karbon yang berada di atmosfer adalah gas karbon dioksida (CO2), metan (CH4)

dan kloroflorokarbon (CFC merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas

tersebut adalah gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global.

Ket : angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen

Gambar 1. Diagram dari Siklus Karbon Global

( Sumber : www. id.wikipedia.org, diunduh 22 Juni 2008).

Sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto maka Indonesia

(33)

7

dengan jumlah karbon yang mampu diperosotkan. Mekanisme ini dapat

digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan

pelepasan gas rumah kaca di atmosfer. Pada COP 13 di Bali tahun 2007

disepakati mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in

Developing Countries). Mekanisme ini berfokus pada pengurangan penebangan

hutan. Hutan merupakan ekosistem terbesar dari berbagai keanekaragaman

vegetasi yang mampu mengendalikan besarnya emisi karbondioksida di atmosfer.

Vegetasi hidup memerlukan karbondioksida dalam proses fotosintesis sehingga

mampu mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam

bentuk cadangan karbon biomassa sampai akhirnya mati dan terakumulasi

menjadi bahan organik.

Isu pemanasan global telah menjadikan potensi cadangan karbon pada

suatu areal dapat digunakan dalam mekanisme perdagangan karbon. Permintaan

pasar karbon global sekitar 800 juta ton CO2/tahun dan sekitar 125 juta yang

dilakukan melalui Clean Development Mechanism (Murdiyarso 2003). Beberapa

negara maju sudah menciptakan pasar CDM diantaranya Belanda dengan nama

CERUPT yang memiliki dana sebesar 1 milyar Euro. Kemudian Bank Dunia juga

menjadi fasilitator melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community

Development Carbon Fund dan Bio Carbon Fund. Peluang investasi ini bisa

menguntungkan bagi negara berkembang seperti Indonesia apabila manajemen

dan implementasinya dilakukan secara tepat.

Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi

karbon diatas permukaan (above ground carbon) dan karbon di bawah permukaan

atau dalam tanah (below ground carbon). Karbon di atas permukaan tanah,

meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter

< 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman

yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan

ranting). Karbon bawah permukaan, meliputi biomassa akar dan bahan organik

tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta

gambut pada hamparan lahan gambut (Hairiah dan Rahayu 2007).

Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas

(34)

8

destruktif dan menggunakan persamaan alometrik. Penggunaan metode destruktif

sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika

dilakukan terhadap vegetasi hutan. Salah satu pemecahannya maka dapat

digunakan persamaan alometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis.

Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi

tanaman (Pearson et al. 2007). Karbon atas permukaaan dapat diduga jika

biomassa telah diketahui. Beberapa tahun terakhir dengan berkembangnya

teknologi maka dikembangkan berbagai teknik pendugaan karbon atas permukaan

menggunakan bantuan data penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi

tinggi, foto udara, citra radar dan laser (Gibbs et al. 2007). Sementara teknik

pendugaan karbon bawah permukaan dilakukan dengan menganalisis C organik

tanah dan C dari bahan organik yang berada dipermukaan tanah. Jenis tanah dan

metode analisis harus diperhatikan dalam penentuan C bawah permukaan agar

penilaiannya lebih akurat.

2.2 Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) dan Fungsi Ekologisnya

Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) adalah jenis tanaman dari famili

palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati.

Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i) nigrrescent dengan buah

berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada

buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua

pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan

ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8 mm),

Pisifera (tidak bercangkang) dan Tenera (tebal 0.5-4 mm). Buah sawit

bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang

terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna

kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskarp yang menjadi

cangkang pelindung inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma

dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi

(Ditjenbun Deptan 2006).

Pohon kelapa sawit berbentuk silinder berdiameter 25-75 cm yang

(35)

9

juga jenis tertentu yang mempunyai ketinggian hanya 2 m. Memiliki akar serabut

yang mengarah ke samping dan bawah. Akar primer berdiameter 6-10 mm, akar

sekunder berdiameter 2-4 mm, sedangkan akar tersier dan kuarter membentuk

ikatan pada 30 cm lapisan atas tanah pada radius 1.5-2 m dari pokok sawit. Daun

sawit mempunyai panjang antar 5 sampai 9 m dengan jumlah anakan daun sekitar

125-200 helai dan panjang 1.2 m. Umumnya jumlah daun yang tumbuh adalah

20-30 daun setiap tahun. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna hijau

muda. Pada setiap ketiak daun akan tumbuh bunga, baik jantan, betina maupun

banci tetapi tidak semua menjadi buah karena sebagian akan gugur. Letak bunga

jantan dan betina terpisah meskipun masih pada satu pohon (monoecious diclin)

dengan waktu matang berbeda sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri.

Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina lebih besar

dan mekar. Bunga betina terdiri dari ribuan bunga apabila mengalami

penyerbukan akan menjadi tandan dengan buah sekitar 500-2000 buah.

Perkembangbiakan kelapa sawit secara generatif. Jika buah sawit telah matang

maka embrionya akan berkecambah dan menghasilkan tunas (plumula) dan bakal

akar atau radikula (Hartley 1967).

Hasil dari kelapa sawit berupa minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit

dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan emulsifier, margarine, miyak goreng,

minyak makan merah, shortening, susu kental manis, es krim, yogurt. Sementara

manfaatnya di bidang non pangan sebagai senyawa ester, lilin, kosmetik,f armasi,

biodiesel, pelumas, asam lemak sawit, fatty alkohol bahkan pada industri baja.

Produk sampingan (limbah) berupa tandan kosong sawit digunakan untuk pulp

dan kertas, kompos, karbon dan rayon; cangkangnya digunakan untuk bahan

bakar dan karbon ; serat sawit sebagai medium density atau fibre board dan bahan

bakar; pelepah dan batang sawit untuk funitur, pulp dan kertas juga pakan ternak;

bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak; dan sludge untuk bahan pakan

ternak dan pupuk organik (www.FitAgri.com, diunduh 27 April 2008). Sejak

tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari

bahan bakar fosil (fossilfuel) maka pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan

(36)

10

Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika.

P

ertama kali

didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848.

Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor dan sisa benihnya ditanam di

tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an.

Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat

Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide

membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan

Deli, maka dikenallah jenis sawit Deli Dura. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai

diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia

Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt.

Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan

Aceh dengan luas areal mencapai 5 123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran

(terkenal sebagai AVROS dan sekarang menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit)

kemudian didirikan di Marihat Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala

Selangor, Malaya (sekarang Malaysia) pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan

pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor

menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri

penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1911. Hingga

menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama

minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga

tinggal seperlima dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik

dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil

meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaysia. Baru

semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan

dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus

berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati

meningkat sebagai energi alternatif (www.id.wikipedia.org, diunduh

27 April 2008).

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan isu lingkungan

meningkat yaitu perubahan dari pemanfaat minyak bumi menjadi minyak nabati

(biofuel) maka kebutuhan minyak sawit dunia semakin meningkat. Pertumbuhan

(37)

11

minyak nabati lainnya hanya sekitar 4.5 %. Luas areal perkebunan kelapa sawit

secara nasional tahun 2006 mencapai 6 075 ribu ha (Gambar 2). Selama beberapa

dekade terakhir produksi minyak sawit nasional meningkat mencapai

14 691 ribu ton, menjadi Indonesia sebagai eksportir terbesar kedua. Tahun 2006,

pengusahaan perkebunan kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan besar

swasta (PBS) sebesar 45.1 %, diikuti perkebunan rakyat (PR) sebesar 43.4 % dan

terakhir oleh perkebunan besar negara (PBN) sebesar 11.5%. Kondisi ini

merupakan dampak dari pembukaan lahan baru, rehabilitasi kebun inti rakyat dan

penciptaan iklim investasi yang cukup kondusif (Ditjebun Deptan 2006).

0

1979 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

L

Gambar 2. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006 (diolah dari data Ditjenbun Deptan , 2006)

Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi

bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa

sawit di Indonesia mencapai US $ 4 513 (Ditjenbun Deptan 2006). Dari segi daya

saing kelapa sawit cukup menjanjikan dilihat dari produktivitasnya yang tinggi

dan merupakan tanaman yang tahan terhadap berbagai kondisi agroklimat. Selain

itu didorong juga oleh adanya era otonomi daerah yang sehingga daerah tersebut

berusaha meningkatkan pemberdayaan sumber daerahnya dengan pembukaan

(38)

12

kelapa sawit memiliki prospek untuk terus dikembangkan. Terus meningkatnya

luasan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun maka fungsinya secara

ekologis menjadi penting (Gambar 2).

Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO2 dari udara dan

akan melepas O2 ke udara. Proses ini akan terus berlansung selama pertumbuhan

dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari

25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Ditjenbun, perkebunan

kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi

ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari IOPRI (Indonesia Oil Palm

Research Institute) bahwa fiksasi CO2 adalah 25.71 ton/ha/tahun (Htut 2004).

Penelitian oleh Tjitrosemito dan Mawardi (2001) mengemukakan kandungan

karbon kelapa sawit pada umur 19 tahun sekitar 40.28 ton/ha. Jika dilihat dari

hasil tersebut maka diduga perkebunan kelapa sawit berada pada lahan mineral

yang subur. Hasil penelitian lainnya oleh Htut (2004) menyatakan kandungan

karbon di Salim Indoplantation Riau adalah 1.66 ton/ha/tahun. Penelitian serupa

di Malaysia yang dilkakukan oleh Henson (1999) mengemukakan bahwa karbon

biomassa meningkat dengan peningkatan umur. Kondisi maksimum pada umur

19-24 tahun dengan kandungan karbon sebesar 27.168 ton setiap hektarnya.

Variasi nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan luasan lokasi penelitian dan

umur kelapa sawit. Namun, pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan dan

konversi lahan gambut menjadi perkebunan terbukti melepaskan CO2 sebesar

20–55 ton/ha/tahun (Hooijer et al. 2006). Oleh karena itu, jika dilakukan

pengembangan perkebunan di lahan gambut maka harus dengan pengelolaan yang

tepat untuk mencegah terjadinya degradasi terhadap lahan gambut.

2.3 Lahan Gambut dan Fungsi Penyimpanan Karbon

Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun

secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat mampat dan tidak atau

hanya sedikit mengalami perombakan. Menurut Andriesse (1988), gambut

sebagai jaringan tanaman dan organisme mati lainnya yang sebagian

(39)

13

Sementara petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena

warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya(Noor 2001).

Beberapa peneliti lain dari berbagai negara mendefinisikan gambut atau

umumnya disebut peat dengan berbagai nama. Peneliti dari Amerika utara Mitsch

dan Gosselink (1993) menyebutnya fen, di Kanada menggunakan istilah musked,

di Irlandia, Rusia dan Amerika disebut bog, di Finlandia disebut mire dan moor

dikenal di Jerman. Dengan timbulnya perbedaan tersebut maka memberikan

panduan dalam sistem taksonomi tanah. Dalam kunci taksonomi tanah

(Soil Survey Staff 1999) maka gambut dikelaskan Order Histosol. Gambut

merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi

mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut :

1) Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan

mengandung > 20 % karbon organik, atau

2) Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun

normal dan, tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon

organik sebesar :

a) 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau

lebih, atau

b) 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau

c) 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya

mengandung < 60 % liat.

Pada umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk,

seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah berlumpur

dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di

daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur hara

kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman. Sisa-sisa tanaman

terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan

berdrainase buruk sehingga perombakan terjadi tidak berjalan sempurna Proses

permulaan sehingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi , yaitu proses

geogenik (bukan pedogenik), yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik

mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik

(40)

14

Proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya bahan induk

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik,

kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu (Hardjowigeno 1993).

Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya

gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang. Kondisi

hidrologi pada lahan gambut merupakan fungsi dari : (i) keseimbangan antara air

masuk dan air keluar, (ii) topografi tanah mineral yang menopang endapan

gambut, dan (iii) keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi

permukaan air genangan (Mitsch and Gosselink 1993). Apabila tidak terdapat

kondisi anaerob yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka

tidak akan terbentuk gambut.

Berdasarkan tempat akumulasinya maka gambut dapat dibedakan

menjadi tiga jenis yaitu pertama, gambut diendapkan pada daerah cekungan, yaitu

di atas tanah tua (Pleistocene terrace) yang berkembang karena pengaruh air

hujan atau air tawar dari sungai (ekosistem air tawar). Kedua, gambut pada

daerah depresi (tanah alluvial) yang berkembang dalam pengaruh marin

(ekosistem marin). Ketiga, gambut yang diendapkan pada daerah di bawah

pengaruh antara lingkungan air tawar dan marin (ekosistem payau). Perbedaan

tersebut mempengaruhi ketebalan gambut. Jika terdapat di ekosistem air tawar

umumnya ketebalan gambut lebih dari 3 m. Sedangkan pada daerah payau atau

marin mempunyai ketebalan kurang dari 3 m.

Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan

permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H. Idak, perbedaan tinggi antara

permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2.5 m

(Sabiham 2006). Umumnya topografi lahan gambut memang membentuk kubah

(dome). Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m.

Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di

Kalimantan Tengah sepanjang 24.5 km serta puncak kubah berjarak 16.5 m.

Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1–3 km dari pinggir Sungai

Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah

(41)

15

ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai

antara 6.25–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka

ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m(Noor 2001)

Luasan gambut di Indonesia adalah terluas di daerah tropik. Bahan gambut

tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit

untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk menjadi sangat tebal.

Neuzil dalam Noor (2001) menyatakan bahwa laju penimbunan gambut

dikawasan tropik lebih cepat 3 – 6 kali dibandingkan dengan gambut di kawasan

subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H

dan O. Suhardjo dan Widjaja Adhi (1976 dalam Noor 2001) melaporkan bahwa

kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada

gambut yang sangat dalam (>3 m) mengandung C organik sebesar 54.11 %,

sedangkan gambut dangkal (0.5–1 m) mengandung C organik sebesar 49.80 %.

Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53.1–57.8 % (Salampak 1999).

Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO2

dan H2O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk

menjaga iklim global terutama pada era holosin.

Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus C. Sekitar 50 % total

C akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses

fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke dalam

sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer dalam

bentuk CO2. Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan

karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam pemendaman karbon

akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Menurut Gorham (1991),

fraksi karbon di lahan gambut tropika mencapai 528 000 Mt. Wojick (1999)

menyatakan C sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara

0.1–0.7 Gt. Simpanan C bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C

mencapai 240-480 Gt atau sekitar 20 % dari total secara global

(Rieley et al. 1997b). Hasil penelitian cadangan karbon yang dilakukan pada

gambut dalam di Malaysia oleh Melling et al (2008) yaitu sebesar 3 771 ton C/ha.

Besarnya C yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber

(42)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai Desember 2008. Pelaksanaan meliputi kegiatan lapang, analisis laboratorium dan pengolahan data. Lokasi penelitian ini terletak pada Agroekosistem Kelapa Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara yang berada di 2 (dua) lokasi kebun yaitu Kebun Meranti Paham (Ajamu 2) dan Panai Jaya (Ajamu 3).

Kebun Meranti Paham terletak di Kelurahan Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Sebelumnya bernama Kebun Ajamu II. Terletak pada koordinat 02o11’18”–02o21’24” LU dan 100o09’13”-100o12’02” BT (Gambar 3). Kebun ini berada pada hamparan lahan gambut dan mineral dengan luasan total sekitar 4 811 ha yang memiliki 215 blok yang terbagi menjadi 6 (enam) afdeling. Pembukaan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dimulai sejak tahun 1970-an. Lokasi ini terdiri atas tahun tanam antara tahun 1980 sampai tahun 1999 dan direncanakan replanting pada tanaman yang mulai tidak produktif. Varietas yang mendominasi adalah Varietas Marihat. Lokasi ini pada bagian utara, barat dan selatan berbatasan dengan Perkebunan Kelapa Sawit PT. Cisadane Sawit Raya, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Sungai Barumun.

(43)

17

Peta Kebun PTPN IV Ajamu Umur Tanam Kelapa Sawit

(44)

18

Peta Kebun PTPN IV Ajamu

4 0 4 8 Kilometers

Gambar 4. Peta Tahun Tanam Kebun Panai Jaya

(45)

19

Analisis sifat kimia tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah sedangkan analisis sifat fisika tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pengukuran lapangan dan hasil analisis laboratorium digunakan sebagai data primer untuk menghitung cadangan karbon. Data sekunder yang digunakan berasal dari peta blok kebun kelapa sawit PTPN IV Ajamu.

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini berupa bor gambut untuk deskripsi keragaman kematangan dan ketebalan gambut. Munssel Soil

Colour Chart untuk menentukan warna gambut dan identifikasi tingkat

kematangan gambut. GPS (Global Positioning System) digunakan untuk menentukan titik plot pengambilan sampel dari biomassa maupun gambut. Vertex

Transponder untuk mengukur tinggi pohon. Pita ukur diameter Hultafors untuk

mengukur diameter setinggi dada (DBH). Chainsaw sebagai alat menebang kelapa sawit. Meteran sebagai alat ukur. Timbangan untuk menimbang berat dimensi sawit. Alat-alat laboratorium untuk menghitung dari sifat kimia gambut dan tanaman, serta sifat fisika gambut.

3.3 Metode dan Tahapan Pelaksanaan Penelitian

(46)

20

(47)

21

3.3.3 Pengukuran Lapangan 3.3.3.1 Persiapan

Tahapan dalam kegiatan persiapan di lapangan yang dilakukan sebelum kegiatan penelitian dimulai terhadap plot pengukuran kelapa sawit dan gambut terdiri atas beberapa tahapan penting sebagai berikut :

1. Orientasi, dilakukan supaya diperoleh kondisi umum dari lokasi penelitian. 2. Penetapan plot/training area di lapangan yang mewakili kedalaman gambut

dan umur tanam perkebunan kelapa sawit.

3. Penentuan posisi titik sampel penelitian dengan GPS.

3.3.1.2 Pengukuran Karbon Biomassa Kelapa Sawit

Karbon tersimpan pada tegakan pohon sebagian besar berasal dari biomassa pohon, oleh karena itu pengukuran biomassa pohon dalam suatu hamparan atau kawasan merupakan tahap terpenting dalam pendugaan karbon tersimpan. Pengukuran biomassa pohon dapat dilakukan secara langsung dengan mengukur berat basah tegakan pohon di lapangan dengan cara menebang dan menimbang setiap bagian pohon, atau secara tidak langsung dengan persamaan alometrik biomassa pohon (Pearson et al. 2005). Pada penelitian ini akan dibuat persamaan alometrik biomassa kelapa sawit.

Persamaan alometrik biomassa kelapa sawit dibuat dengan metode destruktif, yaitu pohon akan diukur biomassanya ditetapkan dengan cara menebang. Sebanyak 34 pohon contoh dipilih secara sengaja dan seluruh pohon tersebut ditebang untuk diukur dimensinya secara teliti.

Tahapan kerja yang akan dilakukan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa kelapa sawit adalah sebagai berikut:

1) Kelapa sawit yang dipilih harus tumbuh sehat, mencakup kelompok umur 1, 2, 9, 11, 13, 17 dan 18 tahun (Lampiran 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11).

2) Pengukuran dimensi kelapa sawit. Pengukuran ini mencakup diameter dengan pelepah sejajar tanah (khusus tanaman miring), diameter dengan pelepah tegak lurus batang, diameter tanpa pelepah, tinggi total sampai pucuk, tinggi bebas percabangan dan panjang batang miring.

(48)

22

tandan buah dan bunga (apabila ada) dipanen agar tidak ada bagian yang rusak ketika kelapa sawit ditebang/dipotong. Kelapa sawit ditebang sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Kelapa sawit dipisahkan dalam kelompok batang, pelepah, daun, dan tandan buah.

4) Pengukuran dan penimbangan bagian-bagian kelapa sawit. Batang dipotong sependek 30-40 cm dan pada panjang 1.3 m diukur diameternya tetapi untuk kelapa sawit umur tanam muda maka yang diukur adalah batang bagian tengah saja. Seluruh batang, pelepah, daun dan tandan buah ditimbang untuk menetapkan bobot basahnya.

5) Pengambilan contoh uji bagian kelapa sawit. Bagian kelapa sawit yang diambil contoh ujinya mencakup bagian tengah batang, pelepah, dan daun. Contoh uji bagian batang diambil dengan ukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm sedangkan daun dan pelepah diambil sekitar 0.5 kg. Setiap contoh uji dikemas ke dalam plastik tertutup rapat untuk mencegah berkurangnya kandungan air pada contoh uji.

6) Pengeringan contoh uji. Seluruh contoh uji dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C di laboratorium untuk memperoleh kadar air. Contoh uji yang telah dikeringkan ditimbang untuk mendapatkan bobot keringnya.

7) Penetapan bobot kering biomassa kelapa sawit contoh dan bagian-bagian kelapa sawit. Bobot kering ditentukan dengan mengkonversi bobot basah kelapa sawit contoh dan kadar air dari contoh uji setiap kelapa sawit.

8) Analisis hubungan antara bobot kering biomassa seluruh kelapa sawit contoh dengan dimensi kelapa sawit contoh. Analisis hubungan dilakukan dengan pendekatan analisis regresi yang menghasilkan persamaan alometrik terbaik untuk pendugaan biomassa kelapa sawit.

Hubungan antara dimensi-dimensi kelapa sawit dengan bobot kering biomassanya disusun dengan beberapa model seperti di bawah ini:

Ŷ = β0Dβ1(Brown 1997)... (1)

Ŷ = β0 + β1D2H (Ogawa et al. 1965)... (2)

(49)

23

dengan:

Ŷ adalah dugaan biomassa pohon atau bagian pohon (kg/pohon)

D adalah diameter kelapa sawit/DBH (cm)

H adalah tinggi kelapa sawit (cm)

β0,β1,β2 adalah konstanta regresi

Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model hipotetik di atas dengan menggunakan koefisien determinasi R2. Data diolah menggunakan SPSS Ver 11 dan Minitab Ver 13.

Kerapatan rata-rata kelapa sawit adalah 130 pohon/ha. Faktor ini digunakaan untuk konversi biomassa per hektar.

3.3.1.3 Pengukuran Ketebalan Gambut

Pembagian plot dilakukan berdasarkan lokasi kebun dan blok tahun tanam, yaitu pada kebun Meranti Paham terdapat 4 (empat) plot yang mewakili tahun tanam yaitu 9, 11, 13, 17 dan 18 tahun. Sedangkan pada kebun Panai Jaya terdapat 3 (tiga) plot yang mewakili tahun tanam yaitu <1, 1 dan 2 tahun. Pengukuran ketebalan gambut pada masing-masing plot penelitian tersebut dilakukan setiap titik boring.

Langkah pertama yaitu untuk mengetahui ketebalan gambut maka dibuat

plot seluas 1 ha. Kemudian dilakukan pembuatan grid (sub plot) yang berukuran 10 m x 10 m (Gambar 6). Pada titik grid dilakukan pengeboran diukur berapa

ketebalan pada tingkat dekomposisi saprik, fibrik dan hemik. Apabila saat pengeboran terkena kayu maka kedalamannya diukur sebagai catatan khusus. Jika ternyata bor gambut belum mencapai lapisan mineral maka digunakan galah/bambu untuk menembus sampai mencapai tanah mineral.

(50)

24

(51)

25

3.3.1.4 Pengukuran Persentase Pasir Semu (Psedousand)

Untuk mengetahui persentase terjadinya pasir semu (psedousand) pada lahan gambut di lokasi penelitian maka diambil gambut di atas permukaan dengan ukuran plot 10 cm x 10 cm x 2 cm dari beberapa titik. Jika contoh pasir semu telah diperoleh kemudian ditimbang agar diketahui beratnya. Selanjutnya gambut tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air dan diaduk sampai larut dalam air. Selama beberapa menit dibiarkan sampai terlihat bahan gambut yang mengapung diatas air. Langkah berikutnya, bahan gambut yang mengapung tersebut diambil dan ditiriskan diatas kertas saring kasar. Setelah kering kemudian ditimbang untuk menghitung berapa persentase gambut yang telah menjadi pasir semu (psedousand).

3.3.1.5 Penentuan Tingkat Kematangan Gambut

Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) tingkat kematangan gambut dapat dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan bahan (serat) tanaman asalnya. Ketiga macam tingkat kematangan tersebut adalah saprik, hemik dan fibrik. Karena pentingnya tingkat kematangan ini untuk diketahui, maka untuk memudahkan penciriannya di lapangan, definisi tentang serat-serat ini harus ditetapkan terlebih dahulu. Serat-serat diartikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tanaman yang sudah mulai melapuk atau melapuk (tidak termasuk akar-akar yang masih hidup) dengan memperlihatkan adanya struktur sel dari tanaman asalnya. Potongan-potongan serat mempunyai ukuran diameter ≤ 2 cm, sehingga dapat diremas dan mudah dipisahkan dengan jari akan diamati tingkat kematangannya. Sementara untuk potongan-potongan kayu berdiameter >2 cm dan belum melapuk sehingga sulit untuk dipisahkan dengan jari, seperti potongan-potongan cabang kayu besar, batang kayu dan tunggul tidak dianggap sebagai serat-serat tetapi digolongkan sebagai fragmen kasar.

(52)

26

i. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah tiga perempat bagian atau lebih (≥3/4), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis fibrik.

ii. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperenam bagian atau lebih (<3/4 - ≥1/6), maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis hemik

iii. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan, adalah kurang dari seperenam bagian, maka tanah gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik.

Cara lain untuk mendukung penggolongan tingkat kematangan gambut diatas adalah dengan memperhatikan warnanya menggunakan Munssel Soil

Colour Chart. Jika gambut digolongkan pada kematangan fibrik maka akan

memperlihatkan warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap. Apabila lahan gambut tersebut pernah terjadi kebakaran maka warna gambut akan lebih hitam terutama pada bagian permukaan, sehingga dalam pengamatan hal ini harus diperhatikan juga agar tidak terjadi kesalahan penafsiran.

3.3.2 Analisis Tanaman Kelapa Sawit dan Sifat- Sifat Gambut

(53)

27

Tabel 1. Sifat – Sifat Kelapa Sawit dan Gambut yang Diamati Beserta Metode Pengukurannya

No Sifat yang Dianalisis Metode pengukuran A. Sifat Fisika dan Kimia 3. Kadar Air Kritis dengan

Peluang 60-80% Terjadinya Kering Tidak Balik

Water Drop Penetration Time

(Bisdom et al. 1993)

C. Sifat Kimia Tanah

1. C Organik Pengabuan Kering (Blakemore et al. 1987) 2. Kadar Abu Pengabuan Kering (Blakemore et al. 1987) 3. pH H2O (1:5) pH meter (Black 1965)

3.3.2.1 Penetapan C Kelapa Sawit

Penetapan C organik dari biomassa kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan metode pengabuan kering. Bagian-bagian dimensi kelapa sawit yang dianalisis adalah batang, pelepah dan daun.

3.3.2.2 Penentuan Kadar Air dan Bobot Isi Gambut

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada plot penelitian dengan kedalaman antara 0-100 cm menggunakan metode ring sampel dengan tahapan

berikut ini :

1) Lapisan atas tanah diratakan dan dibersihkan. Kemudian ring ditempatkan pada lapisan tanah tersebut.

Gambar

Gambar  1.     Diagram dari Siklus Karbon Global
Gambar 2.  Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, Tahun 1979-2006
Gambar  3.  Peta Tahun Tanam Kebun Meranti Paham
Gambar  4.  Peta Tahun Tanam Kebun Panai Jaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam mem- bentuk tanah gambut merupakan

Skripsi ini berjudul “Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pemanfaatan lahan gambut yang telah rusak ( degraded peat land ) untuk pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit dapat

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam mem- bentuk tanah gambut merupakan

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan

Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah “Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk

Telah dilakukan penelitian tentang cadangan karbon tanah gambut pada lahan yang telah direklamasi yang terdiri dari lahan perkebunan kelapa sawit dan lahan

Hilir dengan pengelolaan yang berbeda menyebab laju subsidensi juga berbeda. Laju subsidensi pada penggunaan lahan dengan kelapa sawit lebih besar daripada di lokasi