• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Gambar 2. Kelapa Sawit Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledonae Family : Palmaceae Sub Family : Cocoideae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodisel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (Simatauw, 2012).

(2)

Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang (Samhadi, 2006).

Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanah hitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911 (Samhadi, 2006).

(3)

Namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan perkebunan karet. Bila pemilikan perkebunan karet didominasi perkebunan rakyat yakni sebesar 83%, maka perkebunan kelapa sawit perusahaan besar milik negara maupun milik swasta mendominasi luas areal dengan pangsa 66%. Di masa mendatang, proporsi kepemilikan perkebunan kelapa sawit antara pengusaha besar dengan kepemilikan rakyat, selisihnya makin membesar seiring dengan pesatnya investasi dari kalangan swasta dan peningkatan permintaan areal perkebunan besar kelapa sawit melalui konversi hutan (Basyar, 1999).

Berdasarkan definisi hutan dengan konsep land cover change yang dianut banyak negara maupun definisi hutan yang dianut FAO, perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan sebagai hutan (berfungsi ekologis hutan), meskipun secara administratif tidak berada dalam kawasan hutan. Alasannya adalah sebagai berikut :

1. Perkebunan kelapa sawit merupakan penumbuhan land cover (afforestasi menurut konsep land cover change); memiliki canopy cover hampir/mendekati 100 persen pada umur dewasa (syarat FAO, lebih besar dari 10 persen); dan memiliki ketinggian pohon setelah dewasa lebih dari 5 meter dan luas sehamparan diatas 0,5 hektar (FAO mensyaratkan tinggi pohon 5 meter dan luas lebih dari 0,5 hektar). Dengan demikian memenuhi kriteria minimal (threshold) bahkan diatas definisi hutan FAO.

(4)

memiliki perakaran yang massif/padat, berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (pelepah daun, batang) yang berfungsi sebagai bagian dari konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air permukaan (water run-off) sebagaimana salah satu fungsi hutan.

3. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari pelestarian fungsi ekologis seperti pelestarian daur CO2, daur O2 dan daur air (H2O) melalui mekanisme

fotosintesis dan respirasi tanaman kelapa sawit. Fungsi ini juga merupakan bagian dari fungsi hutan secara ekologis.

4. Pembudidayaan kelapa sawit melalui perkebunan merupakan suatu mekanisme efektif melestarikan plasma nutfah (biodiversity), yakni tanaman kelapa sawit beserta organisme yang ada, fungsi ekologis dan fungsi ekonomi secara lintas generasi. Kelapa sawit yang pada awalnya (tahun 1870) hanya empat varietas di Kebun Raya Bogor, melalui perkebunan kelapa sawit, plasma nutfah tersebut terlestarikan secara lintas generasi dan bahkan berhasil dikembangkan menjadi puluhan varietas baru. Fungsi pelestarian plasma nutfah seperti ini juga merupakan fungsi hutan.

Berdasarkan alasan diatas maka perkebunan kelapa sawit secara ekologis dapat dikategorikan sebagai hutan. Apalagi dikaitkan dengan upaya penyerapan CO2

(untuk mengurangi pemanasan global) perkebunan kelapa sawit lebih unggul dibanding hutan alam (TP GAPKI, 2013).

Perkebunan Kelapa Sawit dan Isu Lingkungan

(5)

bakar dari biomassa fosil. Konsentrasi GRK di atmosfer dari waktu ke waktu terus meningkat yang telah dilepas ke atmosfer dalam kurun waktu 148 tahun yaitu dari tahun 1850 sampai 1998. Penyumbang pemanasan global yang terbesar adalah karbon dioksida sebesar 61%, diikuti oleh metana (CH4) sebesar 15%,

chlorofluorocarbon (CFC) sebesar 12%, dinitrogen monoksida (N2O) sebesar 4%

dan sumber lain sebesar 8% (Muhdi, 2008).

Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia

terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang

disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini mempunyai rasio 3:1 (Yuliasmara dkk, 2009).

Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran ('tebas dan bakar') atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990 - 1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 ton/ha/tahun dari total emisis CO2

(6)

Peningkatan harga dan permintaan untuk biofuel dan minyak goreng dari negara-negara importir telah menyebabkan ekspansi luar biasa dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memantau perluasan perkebunan kelapa sawit di atas lahan gambut dan hutan tropis. Penulis mengukur emisi gas rumah kaca dari kegiatan konversi lahan dalam skala provinsi. Menggunakan citra Landsat dari tiga periode yang berbeda (1990, 2000 dan 2012), penulis mengklasifikasi LULCF Provinsi Riau, yang merupakan daerah terbesar penghasil minyak kelapa sawit di Indonesia (Ramdani dan Masateru, 2013).

Sebuah metode hibrida integrasi, yang dihasilkan dengan menggabungkan proses otomatis dan analisis manual, menghasilkan hasil terbaik. Penulis menemukan bahwa penutup hutan hujan tropis menurun dari 63% pada tahun 1990 menjadi 37% pada tahun 2000-an. Pada tahun 2012, penutup hutan hujan tropis yang tersisa hanya 22%. Dari tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, konversi hutan dan lahan gambut merupakan sumber utama emisi, jumlah CO2

yang dipancarkan ke atmosfer diperkirakan 26,6 juta tCO2/ha/tahun, dengan

40,62% dan 59.38% emisi dari konversi lahan dan hutan gambut. Antara tahun 2000 dan 2012, total emisi CO2 ke atmosfer diperkirakan 5,2 juta tCO2/ha/tahun,

dengan 69,94% dan 27,62% emisi dari lahan gambut dan konversi hutan (Ramdani dan Masateru, 2013).

(7)

adalah mungkin karena penegakan moratorium deforestasi (Ramdani dan Masateru, 2013).

Peningkatan konsentrasi Green House Gase (GHG) atmosfir bumi terkait dengan kegiatan masyarakat dunia sejak era pra-industri (tahun 1800-an) sampai sekarang. Menurut United Nation Frame Work Convention on Climate Change

(UNFCCC) dan International Energy Agency (2011), sumber emisi GHG global berdasarkan jenis gas GHG, urutan terbesar (Gambar 2) berasal dari emisi CO2 (92

persen), kemudian disusul CH4 (7%) dan N2O (1%). Sedangkan secara sektoral

(diluar Land use change), kontributor emisi GHG terbesar adalah energi (83%), pertanian (8%), industri (6%) dan limbah (3%). Bila diperhitungkan emisi dari land use change (Gambar 3) maka share dari masing-masing sumber emisi GHG adalah: Energi (56,1%), pertanian (13,8%), industri (14,7%), land use change (12,2%), dan limbah (3,2%) (TP GAPKI, 2013).

Gambar 3. Grafik Komposisi dan Sumber Emisi GHG Global Sumber: IPCC (2007), IEA (2010)

Green House Gase

(8)

Gambar 4. Grafik Sumber Emisi GHG Global menurut Sektor Sumber: IPCC (2007)

Dengan demikian sangat jelas bahwa kontributor emisi GHG terbesar adalah dari konsumsi energi (BBF). Share pertanian, maupun land use change

dalam emisi total GHG jauh lebih rendah dari share konsumsi BBF. Jika masyarakat global ingin mengatasi pemanasan global maka cara yang paling efektif adalah mengurangi konsumsi BBF secara global dan revolusioner. Gaya hidup dan kemewahan yang diperoleh dengan mengkonsumsi BBF yang terlalu tinggi, perlu dikurangi secara revolusioner. Mempersoalkan emisi GHG dari pertanian, land use change tidak berpengaruh signifikan jika tidak didahului pengurangan konsumsi BBF (TP GAPKI, 2013).

Karbon dapat dijumpai di atmosfer sebagai karbon dioksida, di dalam jaringan tubuh makhluk hidup, dan terbesar dijumpai dalam batuan endapan serta bahan bakar fosil yang terdapat di dalam perut bumi. Karbon masuk ke dalam tubuh suatu organisme melalui rantai makanan. Karbon dioksida diserap oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis dan disimpan sebagai biomassa pada berbagai organ, diantaranya daun. Karbon dioksida dalam dedaunan hijau kemudian masuk ke tubuh organisme melalui proses pencernaan dan kembali ke udara melalui proses

Sumber GHG Global

Energi (56,10%) Industri (14,70%) Pertanian (13,80%) Land Use Change (12,2%)

(9)

respirasi. Rangkaian proses ini menghasilkan siklus yang lengkap yang disebut dengan siklus karbon (Gambar 5). Meskipun demikian, tidak semua karbon pada tubuh organisme kembali ke atmosfer, sebagian ada yang terikat membentuk biomassa tubuh (Wirakusumah, 2003).

Jumlah karbon di atmosfer dipengaruhi oleh besarnya hasil proses fotosintesis, respirasi tegakan, respirasi serasah, dan respirasi tanah. Jumlah karbon dalam bentuk karbon bebas juga sangat dipengaruhi oleh tambahan dari luar sistem seperti kebakaran hutan, letusan gunung dan sebagainya (Muhdi, 2008).

Gambar 5. Siklus Karbon

(10)

1982-2005. Sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih akan tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan tanaman kelapa sawit melalui penambahan 5-8 juta ha sampai tahun 2020. Hal ini berimplikasi pada penambahan tanaman sawit sebesar 4-500.000 ha per tahun. Sebagai catatan, rata-rata 3-400,000 ha tanaman sawit telah dibangun setiap tahunnya pada periode tahun 2000 sampai 2006. Perkembangan tanaman sawit akan banyak terjadi di terutama Sumatera karena wilayah ini memiliki kondisi tanah dan iklim yang baik untuk pengembangan sawit, disamping infrastruktur yang sudah berkembang. Meskipun demikian, perkembangan tanaman sawit juga terjadi di Kalimantan dan Papua karena lahan yang layak di Sumatera semakin jarang. Pembangunan kelapa sawit juga terjadi di lahan gambut. Saat ini kerusakan lahan gambut terus berlanjut, pengalih fungsian menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 2,8 juta hektar dan diperkirakan terus bertambah. Terakhir, dari hutan gambut 8 juta hektar di Papua, sudah banyak yang dibuka untuk sawit, meski penanamannya belum terlaksana karena terkendala masalah hukum adat (Suryadiputra, 2009).

Data yang dikumpulkan IFCA (2007) menunjukkan bahwa ijin lokasi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit telah dikeluarkan untuk areal seluas 5,5 juta ha hanya untuk Kalimantan. Sedikitnya 1,7 juta ha dari lahan ini berhutan dan hampir 1 juta ha adalah lahan gambut. Jika seluruh lahan berhutan ditebang habis dan dikonversi menjadi sawit, sebanyak 255 juta ton karbon (~918 juta ton C02) akan dilepaskan ke atmosfer hanya berasal dari biomas di atas permukaan

(11)

Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah fenomena global yang telah menjadi perhatian berbagai pihak baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ini mendorong komunitas internasional untuk mengatasi penyebabnya dan mengantisipasi akibatnya. Penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2) yang terjadi karena alih guna lahan dan pembakaran bahan bakar

fosil. Konversi atau alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri dewasa ini berkembang sangat pesat, terutama konversi menjadi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit memanfaatkan lahannya untuk areal tanaman kelapa sawit, areal tanaman bambu, perumahan – kantor, pabrik kelapa sawit dan prasarana jalan (Suprihatno dkk, 2012).

Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upaya menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Konvensi kerangka kerja PBB tentang

perubahan iklim (UNFCC), melalui Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara industri untuk menurunkan emisinya sebesar 5% dari level tahun 1990. Dalam protokol ini, afforestasi dan reforestasi diperhitungkan sebagai sumber rosot karbon yang kegiatannya termasuk dalam rangka CDM (Clean Development Mechanism) (Muhdi, 2012).

(12)

oleh suatu tanaman yang dinyatakan dalam satuan ton berat kering persatuan luas (Brown, 1997). Dalam perkembangannya, pengukuran biomassa mencakup seluruh biomassa yang hidup ada di atas dan di bawah permukaan. Biomassa diatas permukaan mencakup batang, tunggul, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon dan strata tumbuhan bawah di lantai hutan, sedangkan biomassa bawah permukaan mencakup semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup (Sutaryo, 2009).

Pemanasan global terjadi karena lonjakan tajam dalam peningkatan gas-rumah-kaca, terutama yang bersumber dari emisi karbondiokasida akibat pembakaran bahan bakar fosil serta konversi hutan dan lahan gambut. Emisi neto karbondioksida ke atmosfer dapat dikurangi dengan mempertahankan sisa cadangan karbon terestrial secara efektif, atau melalui pengikatan karbon oleh pertumbuhan vegetasi baru, dimana karbon disimpan sebagai biomasa. Sistem sirkulasi atmosfer global adalah 'tanggung jawab bersama', sehingga dampak global dari emisi karbon lokal maupun cadangan karbon netonya mendasari diskusi-diskusi yang dilakukan saat ini mengenai pengendalian emisi dan Mekanisme Pembangunan Bersih. Hutan tropis merupakan gudang utama karbon yang nasibnya berada di ujung tanduk, karena konversi kapital sumberdaya alam menjadi kapital finansial (baik dalam bentuk pembalakan maupun bentuk-bentuk degradasi lanjutannya) masih merupakan pilihan sumber penghidupan yang paling setimpal, bila ditinjau dari pengorbanannya (Waterloo, 1995).

Perdagangan Karbon

(13)

pembeli dan penjual "jasa lingkungan" termasuk pengurangan gas rumah kaca dari atmosfer, yang diidentifikasi dan dibeli oleh perusahaan dan kemudian dijual kepada nasabah perorangan atau perusahaan untuk mengatur mengurangi emisi polusi mereka. Sementara beberapa LSM dan pebisnis mendukung perdagangan karbon dan melihatnya sebagai solusi yang menyatukan perlindungan lingkungan dengan kemakmuran ekonomi. Lingkungan dan organisasi mengklaim bahwa kegiatan perdagangan karbon adalah kegiatan yang tidak menjadi solusi untuk masalah lingkungan seperti pemanasan global (Sada, 2007).

Perdagangan karbon adalah suatu gagasan yang muncul sebagai tanggapan terhadap Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian di mana negara-negara industri akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka antara tahun 2008 sampai 2012 ke tingkat yang lebih rendah 5,2% dibandingkan tahun 1990. Gagasan di balik perdagangan karbon sangat mirip dengan perdagangan efek atau komoditi di pasar. Karbon akan diberi nilai ekonomi, memungkinkan orang, perusahaan atau negara untuk perdagangan. Nilai karbon akan didasarkan pada kemampuan negara yang memiliki karbon untuk menyimpan atau untuk mencegah dari yang dilepaskan ke atmosfer. Suatu pasar akan dibuat untuk memfasilitasi pembelian dan penjualan karbon untuk mengurangi efek gas rumah kaca. Negara-negara industri yang mengurangi emisi adalah tugas yang menakutkan bisa membeli hak emisi dari negara lain yang industrinya tidak menghasilkan emisi sebanyak gas ini. Pasar untuk karbon ini dimungkinkan karena tujuan dari Protokol Kyoto adalah mengurangi emisi secara kolektif (Sada, 2007).

Secara Netto Penyerap CO2 Perkebunan Kelapa Sawit

(14)

CO2. Tumbuhan seperti perkebunan, memiliki mekanisme proses fotosintesis

(asimilasi) yang menyerap CO2 atmosfir bumi dan energi matahari dan disimpan

dalam bentuk biomass (stok karbon). Selain proses fotosintesis, tumbuhan juga melakukan pernafasan/respirasi yang menghasilkan CO2 ke atmosfir bumi. Oleh

sebab itu, yang perlu dilihat adalah penyerapan netto-nya yakni CO2 diserap

dikurangi CO2 yang dilepas (TP GAPKI, 2013).

Berdasarkan penelitian Muhdi (2013) di areal hutan alam tropika IUPHHK-HA PT Inhutani II, Malinau, Kalimantan Timur, yang menyatakan bahwa kadar karbon berdasarkan kelas diameter memiliki kadar karbon bervariasi yakni kadar karbon terbesar terdapat pada bagian batang sebesar 45,75% dengan kisaran kadar karbon rata-rata 40,29%-53,12%. Kadar karbon terkecil yakni pada daun sebesar 19,61% dengan kisaran kadar karbon antara 15,31%-22,58% dikarenakan daun memiliki kadar zat terbang dan kadar abu yang tinggi. Besarnya kadar karbon tergantung pada kadar abu dan zat terbang dimana semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka kadar karbon juga semakin rendah.

Henson (1999) menghitung penyerapan netto CO2 perkebunan kelapa sawit

dibandingkan dengan hutan alam tropis (Tabel 1). Data empiris tersebut menunjukkan bahwa secara netto kelapa sawit dan hutan alam tropis adalah penyerap CO2 dari atmosfir bumi. Namun kemampuan perkebunan kelapa sawit

dalam menyerap CO2 (secara netto) lebih besar dibandingkan hutan alam tropis.

Tabel 1. Perbandingan Penyerapan Karbon dioksida antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Alam Tropis

Indikator Perkebunan Kelapa Sawit Hutan Alam Tropis

(15)

Perbedaan penyerapan netto CO2 tersebut disebabkan perbedaan laju

fotosintesis dan respirasi. Pada perkebunan (kelapa sawit) pertumbuhan biomas (termasuk produksinya) masih terjadi sampai sawit ditebang (umur 25 tahun), sehingga laju fotosintesis lebih besar dari laju respirasi. Sedangkan hutan alam tropis yang sudah mencapai umur dewasa (mature) pertumbuhan biomas sudah berhenti atau sangat kecil, sehingga laju fotosintesis sudah sama (mendekati) laju respirasi (TP GAPKI, 2013).

Dengan demikian untuk penyerapan CO2 dari atmosfir bumi, konversi hutan

dewasa menjadi perkebunan bukanlah bentuk deforestasi tetapi bersifat reforestasi. Adapun afforestasi yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar (administratif) kawasan hutan (Soemarwoto, 1992).

Selama ini berkembang pandangan bahwa dengan membuka lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan stok karbon (carbon stock) pada lapisan atas gambut akan terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon. Pandangan tersebut ternyata tidak selalu benar (Tabel 2). Stok karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada umur 14-15 tahun ternyata stok karbon dalam tanah justru melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan mendekati stok karbon pada hutan gambut primer (TP GAPKI, 2013).

Tabel 2. Perbandingan Stok Karbon Bagian Atas Lahan Gambut pada Hutan Gambut dan Perkebunan Kelapa Sawit Gambut

Land Use Gambut Stok Karbon (ton C/ha)

Hutan Gambut Primer 81,8

Hutan Gambut Sekunder 57,3

Kelapa Sawit :

(16)

Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, pemanfaatan lahan gambut yang telah rusak (degraded peat land) untuk pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi GHG, asalkan dilakukan dengan cara-cara/kultur teknis yang benar. Atas dasar itulah pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan tidak dilarang di Indonesia. Kultur teknis pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Kemudian, untuk memastikan penerapan kultur teknis tersebut dievaluasi melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) (TP GAPKI, 2013).

Cadangan Karbon pada Tegakan Sawit

Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan. Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau dikembangkan dengan persamaan alometrik yang telah disusun sebelumnya (Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter tinggi dan diameter pohon (Johnsen dkk, 2001).

Lahan yang terdegradasi dapat direhabilitasi dengan metode konservasi yang tepat bukan tidak mungkin areal yang terdegradasi dapat digunakan sebagai media pengurangan emisi dengan membangun tempat penyimpanan (carbon sink) yang baru. Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer terutama CO2, tidak

(17)

penyerapan GRK tersebut. Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh

tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa. Kandungan karbon dalam biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah cadangan karbon (carbon stock) (Noor’ dkk, 2010).

Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah. Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting) (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Berdasarkan penelitian Purba (2013), biomassa kelapa sawit diukur dengan menggunakan metode allometrik. Perhitungan cadangan carbon dapat di lihat pada Tabel 3, yaitu pengukuran secara allometrik dengan pengambilan sample plot di lapangan.

Tabel 3. Hasil dugaan cadangan karbon pada berbagai perkebunan di Kabupaten Langkat dengan menggunakan metode allometrik tahun 2012

No. Perusahaan Tahun Tanam Umur Total Cadangan

Karbon ton/ha

(18)

kelapa sawit, yaitu pada umur 3 tahun yaitu pada PT. Kinar Lapiga nilai karbonya 25.18 ton/ha, PT. PTPN II nilai karbonnya 19.93, dan PT. Mopoly Raya nilai karbonnya 19.20 ton/ha. Perbedaan nilai karbon pada umur yang sama disebabkan oleh total kandungan karbon di atas permukaan tanah dipengaruhi oleh jenis vegetasi, kesuburan tanah dan gangguan (termasuk pencurian dan hama penyakit). Bahwa semakin tinggi kesuburan tanahnya maka semakin tinggi biomassa yang dihasilkan (Purba, 2013).

Berat basah tanaman contoh pada penelitian Muhdi dkk (2014) di areal perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara, sebanyak 13 tanaman dari berbagai kelas diameter dipilih sebagai tanaman contoh untuk mnyusun persamaan allometrik pendugaan biomassa tanaman. Tanaman contoh terpilih merupakan tanaman yang berdiameter rata-rata 70,64 cm pada kisaran diameter 52,8-88,8 cm. Rekapitulasi hasil pengukuran 13 tanaman contoh dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Karakteristik tanaman contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan

allometrik berat basah tanaman.

No. Dimensi Tanaman Rata-Rata Kisaran

1 Diameter (cm) 70,6 52,8-88,8

2 Tinggi Total (m) 8,5 5,7-13,7

3 Berat Basah Batang (kg) 1400,4 558,0-2954,0

4 Berat Basah Daun (kg) 72,4 28,0-124,5

5 Berat Basah Pelepah (kg) 157,9 76,5-276,1

6 Berat Basah Buah (kg) 27,5 0-51,3

Pada Tabel 4. Memperlihatkan bahwa rata-rata berat basah terbesar tanaman berasal dari batang yakni 1400,4 kg (84,45%) dari total biomassa tanaman. Selanjutnya berat basah pelepah sebesar 157,9 kg (9,52%), daun 72,4 kg (4,37%), dan buah 27,5 kg (1,66%).

(19)

dibandingkan kayu hutan. Struktur serat batang sawit pada arah melintang batang tersusun dalam vascular bundle system, dimana setiap vaskular dikelilingi oleh jaringan parenkim yang bersifat sangat higroskopis. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa populasi komponen vaskular semakin berkurang dari pangkal sampai ujung batang dan dari zona luar (peripheral zone) sampai zona dalam (inner zone).

Berdasarkan hasil penelitian Erwinsyah (2009) di kebun Bukit Sentang, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, diketahui bahwa kadar air akar, pelepah dan batang kelapa sawit yaitu masing-masing sebesar 4,8%, 233%, dan 304%. Selanjutnya persentasi kandungan biomassa per berat bahan untuk akar, pelepah dan batang kelapa sawit yaitu masing-masing sebesar 95%, 30% dan 26% dengan kandungan biomassa sebesar 97 kg, 99 kg dan 538 kg per tanaman kelapa sawit. Semakin tinggi posisi batang maka kadar air kayu semakin menurun. Kadar air semakin menurun dari pusat batang menuju bagian luar, sedangkan kandungan biomassa semakin meningkat. Berat basah batang sawit semakin menurun dari pangkal sampai ujung batang. Kandungan kadar air kayu dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban.

(20)

rongga stomata yang diisi oleh sedikit bahan penyusun kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

Tabel 5. Rata-rata kadar air setiap bagian tanaman contoh berdasarkan kelas diameter

No. Kelas Diameter Kadar Air (%)

Berdasarkan penelitian Yulianti, dkk (2009), biomassa kering kelapa sawit terdapat paling besar pada bagian batang, kemudian diikuti pada bagian pelepah dan daun. Biomassa kering kelapa sawit pada batang dapat mencapai 67% diikuti pelepah kemudian daun, berturut-turut 18% dan 15%. Hasil serupa juga ditunjukkan pada agro-ekosistem kelapa sawit yang berada di Nigeria pada lahan berpasir yang masam. Biomassa kelapa sawit antara umur 10 sampai 17 tahun terakumulasi pada batang berkisar antara 57-69%, kemudian diikuti pada pelepah berkisar antara 14-20% dan daun berkisar antara 8-10%. Berdasarkan jumlah kerapatan kelapa sawit maksimal maka dihitung biomassa dari masing-masing umur tanam untuk setiap hektar. Tabel 6 menunjukkan biomassa kering tanaman kelapa sawit pada lokasi penelitian di kebun Meranti Paham dan Panai Jaya PT. Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV), Labuhan Batu Sumatera Utara.

Tabel 6. Biomassa kelapa sawit pada berbagai dimensi

Umur Tanam Biomassa Kering (kg/pohon) Biomassa Kering

(21)

Berdasarkan penelitian Yulianti, dkk (2009) di agroekosistem kelapa sawit yaitu di kebun Meranti Paham dan Panai Jaya milik PTPN IV di daerah Negeri Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, perhitungan cadangan karbon biomassa kelapa sawit ditentukan berdasarkan persentasi kandungan C dalam biomassa. Konversi cadangan C biomassa dilakukan dengan menggunakan faktor konversi yang berasal dari hasil perhitungan rata-rata kandungan C pada bagian batang, pada pelepah, dan pada daun. Kandungan massa karbon yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Cadangan C Biomassa pada berbagai dimensi kelapa sawit

Umur Tanam Biomassa Kering (kg/pohon)

(tahun) Batang Pelepah Daun Total

18 10,59 2,41 1,87 14,88

17 12,47 2,05 1,92 16,43

13 8,65 2,20 1,65 12,49

11 8,45 2,25 2,37 13,07

9 6,24 3,29 2,35 11,88

2 0,28 0,44 0,27 1,00

1 0,19 0,30 0,22 0,70

(22)

Model Pendugaan Cadangan Karbon Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Konsep keseimbangan morfologi merupakan yang paling sering digunakan sebagaimana yang dilakukan dalam hubungan allometrik. Konsep ini yang mempunyai pengertian bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan pertumbuhan bagian lain. Hubungan allometrik merupakan hubungan antara suatu peubah tak bebas yang diduga oleh satu atau lebih peubah bebas yang dalam hal ini diwakili oleh karakteristik yang berbeda dalam pohon. Contohnya adalah hubungan antara volume pohon atau biomassa pohon dengan diameter dan tinggi total pohon. Dalam hubungan ini, volume pohon atau biomassa pohon merupakan peubah tak bebas yang nilainya diduga oleh diameter dan tinggi total pohon, yang disebut sebagai peubah bebas. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam suatu persamaan allometrik. Persamaan allometrik dapat disusun dengan cara pengambilan contoh dengan melakukan penebangan dan perujukan dari berbagai sumber pustaka yang mempunyai tipe hutan yang dapat diperbandingkan (Sitompul dan Bambang, 1995).

Penelitian Yulianti, dkk (2010) di agroekosistem kelapa sawit milik PT. Perkebunan Nusantara IV, Negeri Lama, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara yang menunjukkan bahwa model persamaan allometrik terbaik adalah W = ß0

Dß1Hß2 dimana W = dugaan biomassa pohon (Kg per pohon); ß0, ß1, ß2 = konstanta

regresi; D = diameter batang kelapa sawit (cm), dan H = tinggi kelapa sawit (cm). Model ini disusun berdasarkan : (i) peubah kombinasi diameter batang dengan pelepah yang diukur sejajar permukaan tanah (D1) dengan tinggi total (H1), (ii)

peubah kombinasi diameter batang dengan pelepah yang diukur tegak lurus batang (D2) dengan tinggi bebas percabangan (H2), dan (iii) kombinasi peubah diameter

Gambar

Gambar 2. Kelapa Sawit
Gambar 3. Grafik Komposisi dan Sumber Emisi GHG Global Sumber: IPCC (2007), IEA (2010)
Gambar 4. Grafik Sumber Emisi GHG Global menurut Sektor Sumber: IPCC (2007)
Gambar 5. Siklus Karbon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Approved and ratified the Annual Report for the fiscal year ended on 31 December 2016 including within it the Report on the Company’s Activity, Supervision Report of the Board

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXVIII-5/W16, 2011 ISPRS Trento 2011 Workshop, 2-4 March 2011,

In the third step the predicted models from the Coarse Classification including the ratings and the new found edges from Image Based Verification are used together to do a

KNP mencerminkan bagian atas laba rugi dan aset neto dari Entitas Anak yang tidak dapat diatribusikan secara langsung maupun tidak langsung pada entitas induk, yang

To find more homogenous regions of the segmentation output, each band of the fused Kompsat-2 image is overlaid with the segments and some simple statistical

Berdasarkan persyaratan-persyaratan dalam perjanjian pinjaman, Perusahaan dan Entitas Anak debitur diharuskan untuk mempertahankan rasio- rasio keuangan tertentu dan

The method manipulates the redundancy inherent in line pair-relations to generate artificial 3D point entities and utilize those entities during the estimation process to improve

Menyetujui dan mengesahkan Laporan Keuangan Perseroan untuk Tahun Buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2015, yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Osman Bing