• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi bibit Eucalyptus pellita F. Muell dari beberapa asal sumber benih terhadap cekaman kekeringan di Persemaian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi bibit Eucalyptus pellita F. Muell dari beberapa asal sumber benih terhadap cekaman kekeringan di Persemaian"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

AGUS WAHYUDI

FTAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Adaptasi Bibit Eucalyptus pellita

F. Muell dari Beberapa Asal Sumber Benih Terhadap Cekaman Kekeringan di Persemaian adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

(3)

AGUS WAHYUDI. Adaptation of Eucalyptus pellita F. Muell seedling from several seed sources for condition of drought stress in nursery. Under direction of Sri Wilarso Budi R and Omo Rusdiana

The low rate of success in rehabilitation of critical land is the results of various aspects, which among other things is the limited availability of superior planting stocks which are adaptive and productive in such area. Drought stress is one of the limiting factor for the survival and establishment of planting stocks in the field. This research was conducted for (1) obtaining information concerning

groups of E. pellita seed sources which are resistant to drought, (2) learning the

adaptation mechanism of E. pellita seedlings from 10 groups of seed sources for

drought stress condition, (3) learning the role of arbucular mycorrhizae in adaptation mechanism of the plant. Drought stress caused reduction in growth of

height, diameter and total biomass of E. pellita seedlings for all groups of seed

sources which were either inoculated or not inoculated by mycorrhizae. Arbuscular mycorrhizae played some role in increasing plant growth at all condition of drought stresss and also decreasing growth reduction due to drought

stress. The use of arbuscular mycorrhizae in E. pellita seedlings in general,

increased resistance to drought. The highest increase occurred in KBS site I and KBK Perawang. Based on growth parameters and adaptation mechanism, it could

be suggested that groups of E. pellita seed source group which were resistant to

drought condition, were those of KBS Site II, KBK Perawang and APB Bupul Muting.

Keywords : Eucalyptus pellita, survival, drought stress, seed orchard, arbuscular

(4)

RINGKASAN

AGUS WAHYUDI. Adaptasi Bibit Eucalyptus pellita F. Muell dari Beberapa

Asal Sumber Benih Terhadap Cekaman Kekeringan di Persemaian. Dibimbing oleh Sri Wilarso Budi R dan Omo Rusdiana.

Salah satu faktor pembatas rendahnya keberhasilan di dalam rehabilitasi lahan kritis kering adalah cekaman kekeringan. Rendahnya keberhasilan tersebut, diperparah lagi dengan adanya pemanasan global yang mengakibatkan tidak

menentunya batas antara musim penghujan dan musim kemarau. E. pellita

merupakan salah satu jenis cepat tumbuh yang multi manfaat dan cocok digunakan sebagai salah satu jenis pilihan dalam rehabilitasi lahan kritis. Sumber benih yang unggul dan pemanfaatan mikoriza merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan tersebut. Penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi asal sumber benih E. pellita yang adaptif

terhadap cekaman kekeringan, mengkaji mekanisme adaptasi bibit tanaman E.

pellita dari 10 kelompok sumber benih unggul yang telah dibangun, dan mengetahui peranan mikoriza arbuskula dalam mengatasi cekaman kekeringan.

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Percobaan menggunakan rancangan faktorial tiga faktor dalam lingkunga n acak lengkap. Faktor pertama asal sumber benih sebanyak 10 kelompok sumber benih, faktor kedua inokulasi mikoriza arbuskula (tanpa mycofer dan dengan mycofer) dan faktor ketiga taraf cekaman kekeringan (100%, 75%, 50% dan 25% air tersedia).

Persentase derajat infeksi akar oleh mikoriza arbuskula pada bibit tanaman E. pellita tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok sumber benih. Besarnya derajat infeksi akar mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya taraf cekaman kekeringan. Hal ini kemungkinan disebabkan pendeknya periode cekaman dan semakin menurunnya suplai karbon hasil fotosintat tanaman kepada mikoriza arbuskula.

Cekaman kekeringan memberikan pengaruh penurunan pertumbuhan bibit

tanaman E. pellita dari 10 kelompok sumber benih ya ng bersimbiosis mikoriza

maupun tanpa mikoriza. Namun demikian, pemberian mikoriza arbuskula membantu tanaman meningkatkan pertumbuhan pada semua tingkatan taraf cekaman kekeringan dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza. Mikoriza

arbuskula mampu mengurangi laju penurunan pertumbuhan bibit E. pellita akibat

meningkatnya cekaman kekeringan sampai pada taraf cekaman 75%.

Rata-rata pertumbuhan bibit E. pellita yang tidak bersimbiosis dengan

mikoriza menunjukkan respon berbeda-beda antar kelompok sumber benih. Pada kondisi kapasitas lapang, pertumbuhan bibit yang paling baik berasal dari KBS group D, KBS site II dan KBK Perawang. Sedangkan kelompok sumber benih lainnya sama dalam satu kelompok pertumbuhannya. Cekaman kekeringan

mengakibatkan penurunan pertumbuhan bibit tanaman E. pellita sebesar 60% –

75%. Penurunan pertumbuhan pada sumber benih KBS site II, KBK Perawang dan APB Bupul Muting lebih kecil dibandingkan kelompok sumber benih lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa bibit tanaman E. pellita dari ketiga sumber benih

(5)

kondisi kapasitas lapang dan taraf cekaman 75% adalah bibit tanaman yang berasal dari sumber benih KBS group B, KBS group D, KBS site I dan KBK Perawang. Semakin meningkatnya cekaman kekeringan ke taraf cekaman 50% dan 25%, hanya bibit dari KBS site I, KBK Perawang dan APB Bupul-Muting yang masih lebih tinggi dibandingkan sumber benih lainnya.

Mekanisme adaptasi bibit E. pellita terhadap cekaman kekeringan melalui

mekanisme toleransi yaitu pengaturan osmoregulasi dengan peningkatan kadar prolina daun. Kadar prolina daun meningkat seiring dengan meningkatnya taraf cekaman kekeringan. Peningkatan kadar prolina daun akibat meningkatnya taraf

cekaman kekeringan pada bibit tanaman E. pellita bermikoriza lebih rendah

dibandingkan bibit tidak bermikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa mikoriza

arbuskula membatu bibit tanamaan E. pellita dalam menghadapi cekaman

kekeringan dengan meningkatkan osmotic adjustment dan juga meningkatkan penyerapan air tanah dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza.

Selain me lalui mekanisme toleransi, juga melalui mekanisme penghindaran dengan menjaga status air jaringan. Mekanisme yang muncul dengan meningkatkan penyerapan air tanah oleh akar tanaman dan mengurangi kehilangan air oleh transpirasi. Peningkatan penyerapan air tanah oleh tanaman dengan cara menurunkan nisbah tajuk akar tanaman seiring dengan meningkatnya cekaman kekeringan. Hal ini menunjukkan perkembangan akar tanaman lebih

besar dari perkembangan tajuknya. Selain peningkatan akar tanaman, bibit E.

pellita juga melakukan pengurangan laju transpirasi dengan meningkatkan ketebalan daun.

Kata kunci : Eucalyptus pellita, rehabilitasi, cekaman kekeringan, mikoriza

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

AGUS WAHYUDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Agus Wahyudi

NIM : E451070091

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, M.S Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Silvikultur Tropika

Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2009 ini adalah tentang cekaman

kekeringan, dengan judul Adaptasi Bibit Eucalyptus pellita F. Muell dari

Beberapa Asal Sumber Benih Terhadap Cekaman Kekeringan di Persemaian.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,

M.S dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr.

Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis

sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Arif Nirsatmanto, M. Agr dari Balai Besar

Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta yang telah

membantu menyediakan benih E. pellita, serta berbagai pihak yang membantu

dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan

kepada istri dan anak-anakku serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan

kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1977

dari pasangan Sriyanto (alm) dan Wartini. Penulis merupakan putra pertama dari

dua bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas

Kehutanan UGM, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2007, penulis diterima di

Mayor Silvikultur Tropika pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan

pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat

Kuok-Riau sejak tahun 2004. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ……… 1

Tujuan Penelitian ……… 3

Hipotesis ... 3

Manfaat Penelitian ……….. 4

TINJAUAN PUSTAKA Cekaman Kekeringan Tanaman ... 5

Eucalyptus pellita ………..………. 8

Fungi Mikoriza Arbuskula ……….. 10

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ………. 12

Bahan dan Alat ……… 12

Metodologi ……….. 13

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Analisa Data ……… 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat infeksi akar bibit E. pellita ...…… 19

Respon pertumbuhan bibit E. pellita terhadap cekaman kekeringan…... 22

Mekanisme adaptasi bibit E. pellita terhadap cekaman kekeringan ... 37

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………. 47

Saran ……….. 47

DAFTAR PUSTAKA ………. 48

(13)

Halaman

1. Rata-rata pertumbuhan Eucalyptus pellita di beberapa lokasi HTI di

Indonesia ... 8

2. Data informasi asal sumber benih Eucalyptus pellita ... 12

3. Kondisi tempat tumbuh asal provenan Eucalyptus pellita ... 13

4. Respon derajat infeksi akar bibit E. pellita dari 10 sumber benih

terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan ... 21

5. Respon pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dari 10 sumber benih

terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringa n ... 26

6. Persentase peningkatan pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dengan

adanya pemberian mikoriza arbuskula ... 27

7. Respon pertumbuhan diameter bibit E. pellita dari 10 sumber benih

terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan ... 29

8. Persentase peningkatan pertumbuhan diameter bibit E. pellita dengan

adanya pemberian mikoriza arbuskula ... 31

9. Respon pertumbuhan biomass total bibit E. pellita dari 10 sumber

benih terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan ... 34

10. Persentase peningkatan pertumbuhan biomass total bibit E. pellita

dengan adanya pemberian mikoriza arbuskula ... 35

11. Respon prolina daun dan kadar air relatif daun bibit E. pellita dari 10

sumber benih terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan ... 39

12. Respon nisbah tajuk akar dan berat daun spesifik bibit E. pellita dari

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kisaran kadar air tanah tersedia pada sepuluh tekstur tanah ... 6

2. Hubungan kisaran kadar air tersedia dengan bahan organik ... 6

3. Peta sebaran alami Eucalyptus pellita ... 8

4. Derajat infeksi akar bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 20

5. Akar bibit tanaman E. pellita yang terinfeksi mikoriza arbuskula ... 22

6. Tanggap morfologi bibit E. pellita umur 5 bulan dari 10 sumber benih

terhadap perlakuan mikoriza dan cekaman kekeringan ... 23

7. Pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 25

8. Pertumbuhan diameter bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 30

9. Pertumbuhan biomass total bibit E. pellita dari 10 suber benih yang

diberi mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 33

10. Kadar prolina daun bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 40

11. Kadar air relatif daun bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 41

12. Berat daun spesifik bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

mycofer dan tanpa mycofer pada beberapa tingkat cekaman kekeringan ... 45

13. Nisbah tajuk akar bibit E. pellita dari 10 suber benih yang diberi

(15)

Halaman

1. Tabel hasil analisis anova pada variable pertumbuhan tinggi dan

diameter ……… 53

2. Tabel hasil analisis anova pada variable biomasa total dan nisbah

tajuk akar ………..……… 54

3. Tabel hasil analisis anova pada variable kadar air relatif daun dan

berat daun spesifik ……… 55

4. Tabel hasil analisis anova pada variable kadar prolina daun dan

derajat infeksi akar ………..………. 56

5. Hasil analisis sifat fisik dan kimia media tanam ………..……..…….. 57

6. Hasil perhitungan berat tanah yang harus dipertahankan pada

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan kritis atau lahan yang terdegradasi di Indonesia dewasa ini luasnya

telah mencapai 77.8 juta ha, terdiri dari 50 juta ha lahan kritis dalam kawasan

hutan, 27.8 juta ha lahan kritis di luar kawasan hutan (RLPS 2007). Laju

percepatan pertambahan lahan kritis sebesar 1.08 juta ha per tahun sedangkan

realisasi dari kegiatan rehabilitasi lahan kritis selama ini hanya mencapai 700.000

ha per tahun (RLPS 2007). Berdasarkan kondisi tersebut di atas, ada

kecenderungan pertambahan lahan kritis lebih cepat dibandingkan dengan

realisasi rehabilitasinya. Apabila kondisi di atas berlangsung terus maka akan

menimbulkan pengaruh buruk yang luas meliputi aspek lingkungan atau ekologis

maupun aspek ekonomi karena lahan merupakan penyangga kehidupan.

Menurut Njurumana dan Susila (2006) tingginya kegagalan rehabilitasi

lahan kritis merupakan satu kesatuan yang simultan dari berbagai aspek,

diantaranya adalah terbatasnya ketersediaan bibit unggul dan dukungan teknologi

tepat guna yang sesuai dengan kondisi tapak dan agroklimat. Upaya rehabilitasi

lahan kritis banyak mendapatkan kendala berupa kematian jenis-jenis terpilih pada

tingkat awal pertumbuhan (establishment) di lapangan karena kondisi lingkungan

yang panas dan kering (Farida 2000).

Menurut Surata (2007) rehabilitasi lahan kritis di Indonesia Bagian Timur,

khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang umumnya savana kering

mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah yaitu kurang dari 20% karena

tingginya tingkat kematian tanaman pada awal penanaman di lapangan. Kematian

ini karena tanaman mengalami kegagalan beradaptasi akibat masalah kekurangan

air, kualitas bibit yang rendah dan kondisi lahan marginal.

Persoalan cekaman kekeringan dan terbatasnya ketersediaan hara bagi

tanaman merupakan realitas permasalahan yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi

lahan kritis. Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa

tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya

yaitu media tanam. Cekaman kekeringan pada tanaman dapat disebabkan

(17)

oleh daun akibat laju evapotransporasi melebihi laju absorpsi air walaupun

keadaan air tanah tersedia cukup.

Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan meliputi perubahan

pada tingkat seluler dan molekuler seperti perubahan akumulasi senyawa

metabolit osmotik terlarut, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen sebagai

respon biokimia, dan perubahan ekspresi gen sebagai respon molekuler (Muller &

Whitsitt 1996). Mekanisme adaptasi tanaman untuk mengatasi cekaman

kekeringan adalah dengan pengaturan osmotik sel. Pada mekanisme ini terjadi

sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat menurunkan potensial

osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa membatasi fungsi

enzim serta menjaga turgor sel.

Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mencari jenis-jenis yang

toleran dan prospektif pada areal tersebut. Solusi lain yang dapat ditempuh yaitu

memanfaatkan jasad saprofit bagi tanaman yang mampu membantu peningkatan

serapan air dan hara tanaman diantaranya fungi mikoriza arbuskula (FMA).

Penggunaan mikoriza untuk membantu tanaman dalam proses penyerapan air dan

hara yang menjadi faktor pembatas dalam rehabilitasi lahan kritis. Menurut

George et al. (1992) keberadaan mikoriza memberikan kontribusi peningkatan

serapan air oleh tanaman inang selain peran pokoknya meningkatkan serapan

fosfat. Selain itu mikorisa juga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air

oleh tanaman baik pada kondisi kecuk upan air maupun kondisi tercekam

kekeringan (Al Karaki 1998).

Eucalyptus pellita F. Muell (red mahagony) merupakan salah satu jenis

tanaman yang prospektif untuk digunakan dalam rehabilitasi lahan kritis. Produk

hasil dari jenis kayu ini digunakan sebagai kayu pulp, kayu pertukangan dan

daunnya dapat dimanfa atkan sebagai bahan baku minyak atsiri. Jenis ekaliptus ini

dikenal oleh pasar dunia, mempunyai beberapa kelebihan seperti pertumbuhan

cepat, bentuk batang tunggal dan lurus, kualitas kayu bagus dengan berat jenis

yang tinggi dan mudah diolah. Sifat-sifat unggul lainnya yaitu kemampuan

bertunas dan propagasi yang tinggi, toleran terhadap kondisi lingkungan yang

spesifik seperti salinitas, keasaman, hama dan penyakit, suhu rendah (Leksono

(18)

3

Untuk me menuhi akan kebutuhan bibit unggul dari jenis-jenis terpilih,

maka perlu dilakukan pembangunan kebun benih. Pembangunan sumber benih E.

pellita dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan bibit dalam skala yang

besar dan berkualitas genetik unggul. Keunggulan genetik tersebut adalah dalam

produktivitas tanaman dan daya adaptasinya pada berbagai stress baik biotik dan

abiotik di lapangan. Kebun benih-kebun benih yang telah terbangun berasal dari

beberapa provenan E. pellita yang mempunyai sifat dan karakter lingkungan yang

berbeda-beda untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, sehingga perlu

dilakukan suatu penelitian untuk memperoleh informasi dasar tentang pola

kesesuaian lingkungan tempat tumbuh dengan benih-benih yang dihasilkan dari

beberapa kebun benih yang ada.

Tujuan

Untuk memenuhi harapan di atas, penelitian dirancang dengan tujuan

sebagai berikut:

1. Mendapatkan informasi asal sumber benih E. pellita yang toleran terhadap

cekaman kekeringan sebagai sumber benih dalam rehabilitasi lahan kritis di

lahan kering.

2. Mengkaji mekanisme adaptasi bibit tanaman E. pellita terhadap cekaman

kekeringan.

3. Menjelaskan peranan fungi mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi

bibit tanaman E. pellita terhadap cekaman kekeringan.

Hipotesis

Hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

1. Adaptasi tanaman E. pellita terhadap cekaman kekeringan ditandai oleh

perubahan pertumbuhan tanaman.

2. Terdapat perbedaan karakter adaptasi tanaman E. pellita dari beberapa asal

sumber benih terhadap cekaman kekeringan.

3. Fungi mikoriza arbuskula meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman E.

pellita terhadap cekaman kekeringan melalui peranannya dalam peningkatan

(19)

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Pengetahuan mekanisme adaptasi tanaman E. pellita terhadap cekaman

kekeringan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam pemuliaan

tanaman tersebut dan informasi kesesuaian sumber benih E. pellita yang

telah dibangun terhadap rencana lokasi penanaman di lapangan.

2. Peran fungi mikoriza arbuskula dalam meningkatkan serapan air dan hara

bagi tanaman E. pellita akan bermanfaat untuk meningkatkan tingkat

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Cekaman Kekeringan Tanaman

Cekaman kekeringan merupakan suatu istilah untuk menyatakan tanaman

mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media

tanam. Air merupakan komponen utama tanaman, yaitu membentuk 80 – 90%

bobot segar jaringan yang sedang tumbuh aktif. Air sebagai komponen esensial

tanaman memiliki peranan antara lain : (1) sebagai pelarut, didalamnya terdapat

gas- gas, garam- garam dan zat terlarut lainnya yang bergerak keluar masuk sel, (2)

sebagai pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis, (3) air

esensial untuk menjaga turgiditas yaitu pembesaran sel, pembukaan stomata dan

menyangga bentuk daun-daun muda atau struktur lainnya yang berlignin sedikit

(Levitt 1980).

Cekaman kekeringan akan mengakibatkan rendahnya laju penyerapan air

oleh akar tanaman. Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan

kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Cekaman

kekeringan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu : (a) tingginya kecepatan

evaporasi yang melebihi persediaan air tanah ke akar yang akan mengakibatkan

penurunan potensial air, (b) adanya senyawa yang bersifat osmotik, seperti pada

tanah garam, yang dapat menurunkan pengambilan air sehingga terjadi penurunan

potensial osmosis dan tidak cukupnya pengambilan air oleh tanaman yang diserap

dari tanah (Borges 2003).

Status air tanaman pada lingkungan yang mengalami kekeringan dapat

dinyatakan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan secara kuantitatif dapat

dilakukan yaitu dengan pengukuran potensial air, potensial osmotik dan

kandungan air pada tanaman misalnya kadar air relatif daun (Repellin et al. 1997).

Pendekatan kualitatif dapat dilakukan dengan pengamatan perubahan warna yang

berkaitan dengan turgor, penggulungan daun, kematian ujung daun, keluarnya

eksudat, penutupan stomata secara prematur di pagi hari dan temperatur kanopi

(Wijana 2001).

Air tersedia adalah air yang ditahan tanah pada kondisi kapasitas lapang

(21)

ketersediaannya makin rendah. Air yang ditahan di atas koefisien layu merupakan

air tidak tersedia, terdiri dari sebagian air kapiler dan seluruh air hidroskopis.

Kapasitas lapang merupakan kondisi dimana tebal lapisan air dalam pori-pori

tanah mulai menipis, sehingga tegangan antar air – udara meningkat hingga lebih

besar dari gaya gravitasi, air gravitasi habis dan air tersedia bagi tanaman dalam

keadaan optimal. Kondisi ini terjadi pada tegangan permukaan lapisan air sekitar

1/3 atm atau pF 2,54. Kadar air tersedia umumnya bervariasi tergantung kepada :

tekstur tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi, kedalam solum,

faktor iklim dan tanaman. Hubungan ketersediaan air bagi tanaman dengan tekstur

tanah dan bahan organik, terlihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Kisaran kadar air tanah tersedia pada sepuluh tekstur tanah

(22)

7

Menurut Blum (1996) potensial turgor merupakan faktor utama yang

mempengaruhi pertumbuhan atau perluasan sel. Jika terjadi akumulasi senyawa

osmotik atau perpindahan K+, maka potensial osmotik menurun, sehingga air

berdifusi kedalam sel sehingga potensial turgor meningkat. Beberapa tanaman

dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi juga pada potensial air yang

agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik melalui akumulasi zat

terlarut yang meningkat didalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik

(osmotic adjustment) atau regulasi osmotik. Adanya penyesuaian osmotik, berarti

menjaga turgor sel sehingga integritas dan proses fisiologi sitoplasma terjaga.

Penyesuaian osmotik pada tanaman terhadap kondisi kekeringan berperanan

dalam memelihara pemanjangan sel atau perluasan sel melalui pemeliharaan

turgor, memelihara pembukaan stomata, memelihara fotosintesis, sehingga

menjadikan tanaman tetap dapat bertahan hidup pada kondisi kekeringan.

Penyesuaian osmotik terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman

kekeringan secara perlahan dan juga pada cekaman medium, namun tidak semua

tanaman dapat mengembangkan penyesuaian osmotik. Penyesuaian osmotik

dipengaruhi oleh laju perkembangan cekaman, tingkat cekaman, kondisi

lingkungan dan perbedaan genotif tanaman. Penyesuaian osmotik melalui

perubahan potensial osmotik dipengaruhi oleh akumulasi senyawa terlarut, ukuran

sel, volume senyawa terlarut, dan ketebalan dinding sel.

Senyawa metabolit yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap

kondisi kekeringan dan berperan dalam penyesuaian osmotik telah banyak

dilaporkan yang dapat digunakan untuk membedakan tingkat toleransi tanaman

terhadap kekeringan. Nguyen et al. (1997) menyatakan senyawa osmotik terlarut

yang terlibat pada penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula- gula, asam

organik, asam amino, dan senyawa terlarut kompatibel lainnya. Senyawa osmotik

terlarut yang disintesis dan ditimbun tersebut umumnya segera terjadi ketika

tanaman mengalami kekeringan dengan tingkat kecepatan tergantung pada tingkat

toleransi tanaman terhadap kekeringan tersebut (Kirkham 1990).

Komponen-komponen yang terlibat dalam akumulasi senyawa osmotik tersebut dapat

digunakan sebagai uji sederhana secara kimiawi yang bertujuan untuk mengetahui

(23)

Eucalyptus pellita

Eucalyptus pellita F. Muell merupakan pohon yang dapat tumbuh tinggi

mencapai 40 m dan diameter 1 m. Tumbuh alami di Australia yaitu Semenanjung

Cape York, Queensland sampai Cairns dan Townsville bagian utara (12° - 18°

LS) dan bagian selatan Brisbane sampai daerah Batemen, New South Wales (27° -

36° LS). Selain itu juga di Papua Nugini (PNG) dan Papua Tenggara (Hall and

Brooker 1974). Di Indonesia sebaran alaminya terdapat di Merauke (Papua),

antara kecamatan Bupul dan Muting. Jenis ini tumbuh di daerah iklim basah

dengan elevasi 0 – 750 m dpl, curah hujan pertahun 900 – 2300 mm dan suhu 6° -

16°C (NAS 1983).

Gambar 3. Peta sebaran alami Eucalyptus pellita

Jenis eucalyptus yang telah dikenal oleh pasar dunia, mempunyai beberapa

kelebihan seperti pertumbuhan cepat, bentuk batang tunggal dan lurus, kualitas

kayu bagus dengan berat jenis yang tinggi dan mudah diolah. Berat jenis E. pellita

adalah sebesar 0,55 – 0,68 dengan panjang serat 0,75 – 1,08 mm, mempunyai

kelas kuat dan awet II - IV. Sifat-sifat unggul lainnya yaitu kemampuan bertunas

(24)

9

(salinitas, keasaman, hama dan penyakit, suhu rendah dll), serta kemudahan dalam

melakukan persilangan untuk program pemuliaan pohon.

E. pellita (red mahagony) merupakan salah satu jenis eucalyptus

mempunyai riap tinggi dan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit lebih

baik dibandingkan dengan jenis-jenis eucalyptus lain, tumbuh baik dan tahan

terhadap pembusuk batang Cryphonectria cubensis (NAS 1983). Di derah tropis,

jenis ini lebih tahan serangan jamur dan serangga pemakan daun dibandingkan

jenis eucalyptus lainnya (Haines and Harwood 1992).

Leksono (2003) menyatakan bahwa E. pellita mempunyai adaptasi yang

tinggi berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman di Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Riau. Sementara jenis E. urophylla, E.

alba dan E. deglupta pada beberapa lokasi HTI menunjukkan pertumbuhan yang

mengecewakan, karena berhenti tumbuh pada umur 2 tahun secara perlahan mati

karena terserang hama dan penyakit. Pertumbuhan dari hasil pengukuran pada

populasi pemuliaan (breeding population) di beberapa lokasi HTI, menunj ukkan

hasil seperti pada Tabel 1. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa E. pellita

mempunyai riap diameter 2.5 – 3.5 cm jika digunakan untuk tujuan pengusahaan

kayu berdaur pendek (4-8 tahun) untuk pulp, kertas atau kayu berdimensi kecil.

Kayu dengan diameter > 20 cm yang dibuat vinir kayu lapis memberikan hasil

yang menggembirakan karena ornamen dan warna kayunya yang bagus (merah

sampai merah tua) meski masih terdapat mata kayu yang cukup banyak karena

umur pohon muda.

Tebel 1. Rata-rata pertumbuhan E. pellita di beberapa lokasi HTI di Indonesia

Lokasi Umur (th) Tinggi (m) Dbh (cm)

Pelaihari, Kalsel 2.0 7.1 7.6

Pulau laut, Kalsel 2.0 7.8 8.0

Pelaihari, Kalsel 2.0

6.0

7.6 20.0

7.7 16.6

Pendopo, Sumsel 2.0

5.0

(25)

Fungi Mikoriza Arbuskula

Mikoriza merupakan suatu struktur khas pada sistem perakaran yang

terbentuk karena adanya simbiosis mutualistis antara fungi (myces) dan akar

(rhiza) dari tumbuhan tingkat tinggi (Setiadi 2000). Asosiasi ini saling

menguntungkan bagi kedua pihak, karena fungi memperoleh makanannya dari

tanaman dan sebaliknya tanaman terbantu oleh fungi dalam hal meningkatkan

penyerapan air dan hara.

Mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar berdasarkan

cara infeksinya dan struktur tumbuh pada perakaran tanaman inang, yaitu : (1)

endomikoriza, merupakan struktur mikoriza yang terbentuk sampai ke dalam sel

korteks akar, (2) ektomikoriza, merupakan struktur mikoriza pada lapisan luar

akar yang bentuknya berupa jala hartig. Didalam kelompok endomikoriza terdapat

enam subtipe yaitu mikoriza arbuskula, ektendo, monotropoid, ericoid, dan

orchid.

Fungi mikoriza arbuskula dicirikan oleh adanya pembentukan struktur

haustorial yang bercabang (arbuskula) dalam sel korteks, dan oleh adanya

miselium yang menyebar sampai ke tanah disekitar akar yang disebut sebagai hifa

eksternal atau miselium ekstraradikal. FMA menghasilkan beberapa struktur yaitu

: (a) arbuskula, adalah percabangan dikotomus yang intensif dari hifa intraseluler,

berperan dalam transfer nutrisi antara fungi dan tanaman inang. (b) vesikula,

adalah struktur yang berdinding tipis berisi lipid yang biasanya terbentuk dalam

ruang interseluler, berfungsi sebagai cadangan makanan dan sebagai propagul

reproduktif, (c) sel-sel auksilar yang terbentuk didalam tanah dan dapat

membentuk ”coiled atau knobby” yang fungsinya belum diketahui, (d) spora

aseksual yang berasal dari diferensiasi hifa vegetatif, berupa spora reproduktif

yang dapat dibentuk baik di dalam akar maupun didalam tanah (Brundett et al.

1996).

Asosiasi simbiotik antara fungi mikoriza arbuskula dengan tanaman inang

dimulai dengan berkecambahnya spora yang terdapat dipermukaan akar atau

didaerah rhizoplane atau dengan bertemunya miselium aseptat fungi dengan

sistem perakaran tanaman yang cocok didalam tanah, kemudian melakukan

(26)

11

1999). Hifa inter dan intraseluler terbentuk didaerah korteks akar, arbuskula

terbentuk didalam sel, dan vesikel dapat terbentuk baik secara inter maupun

intraseluler. Hifa yang tumbuh didalam akar disebut struktur intraradikal,

sedangkan yang tumbuh diluar akar disebut struktur ekstraradikal. Struktur

ekstraradikal tumbuh menjauhi akar, mengeksplorasi rhizofer, serta melakukan

penye rapan air dan nutrisi (Sukarno 2003).

FMA mempunyai berbagai peran penting dalam peningkatan produktivitas

tanaman melalui peningkatan penyerapan unsur hara, toleransi terhadap kondisi

stress air, toksisitas logam berat dan resistensi terhadap patogen tanah (Killham

1999). Menurut George et al. (1992) bahwa hifa mikoriza dapat menyokong

serapan air oleh tanaman inang. Peningkatan serapan air tersebut diduga

merupakan efek tidak langsung dari mikoriza yakni pengaruhnya terhadap

perbaikan sifat fisik tanah. Keberadaan FMA pada akar tanaman mempengaruhi

kondisi agregasi tanah yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan tanah

menahan air, diperoleh bukti bahwa akar tanaman yang terkontaminasi mikoriza

arbuskula mampu meningkatkan penyerapan air menjadi tiga kali lipat (Thomas et

al. 1993). FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan

memproduk si jalinan hifa eksternal yang dapat tumbuh secara ekspansif dan

menembus lapisan subsoil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam

penyerapan hara dan air. Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh 1 cm akar

bermikoriza dapat mencapai 12-15 cm3 atau 6 -15 kali lebih banyak dibandingkan

akar tanaman yang tak bermikoriza yang hanya sekitar 1-2 cm3 (Cruz et al. 2004).

Menurut Fakuara (1988), bahwa infeksi FMA dipengaruhi oleh berbagai

faktor meliputi : pemupukan, nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim

dan kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan kerentanan tanaman.

Efektivitas FMA tergantung pada kekesuaian antara faktor jenis FMA, tanaman

dan tanah, serta interaksi ketiga faktor tersebut. Kondisi tanah sangat

mempengaruhi perkembangan FMA, dimana perkembangan asosiasi antara FMA

dengan tanaman inang sangat tertekan pada kondisi ketersediaan N dan P yang

tinggi, demikian juga pH tanah yang dapat mengubah ketersediaan hara maupun

(27)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Silvikultur, Fakultas

Kehutanan IPB, sedangkan untuk analisis tanah di Laboratorium Ilmu Tanah IPB.

Analisis peubah pertumbuhan, derajat infeksi akar dan kadar prolina daun

dilakukan di Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium

RGCI (Research Group of Crop Improvement), Fakultas Pertanian IPB. Penelitian

dilakukan dari bulan Januari 2009 sampai bulan Juni 2009.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan tanam yang digunakan adalah benih E. pellita yang berasal dari 10

sumber benih, koleksi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulian

Tanaman Hutan, Yogyakarta. Rincian asal sumber benih E. pellita disajikan pada

Tabel 2, dan kondisi tempat tumbuh asal provenan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Data informasi asal sumber benih Eucalyptus pellita

No Sumber Benih Provenan Keterangan

1 KBS Grup A, Lipat Kain, Riau South of Kiriwo

5 KBS Pelaihari, Kalsel AUST, IND, PNG Pop tunggal

6 KBS Wonogiri, Jateng AUST, IND, PNG Pop tunggal

7 KBS Site 1, Perawang AUST, IND, PNG Pop tunggal

8 KBS Site 2, Perawang AUST, IND, PNG Pop tunggal

9 KBK, Perawang AUST, IND, PNG Pop tunggal

10 APB Bupul Muting, Merauke – Indonesia

Bupul – Muting ( IND )

Pop tunggal

(28)

13

Tabel 3. Kondisi tempat tumbuh asal provenan Eucalyptus pellita

No Provenan Lintang Garis Garis Bujur ( m dpl ) Altitude Curah hujan

( mm/th )

1 Bupul-Muting

(IND)

Media tanam yang digunakan adalah tanah Ultisol yang berasal dari Hutan

Penelitian Haurbentes, Jasinga, Bogor. Sifat-sifat fisika dan kimia media tanah

Ultisol (Lampiran 5). Fungi mikoriza arbuskula yang digunakan adalah Mycofer

berupa campuran jenis Glomus manihotis, Glomus etunicatum, Acaulospora sp

dan Gigaspora sp. Tanaman dipupuk menggunakan pupuk NPK dengan dosis 0,5

g/polybag. Bahan-bahan kimia untuk analisis prolina ( asam sulfosalisilat 3%,

asam ninhidrin, asam glasial, toluen ) dan pengamatan derajat infeksi akar ( KOH

10% w/v, HCl 2%, trypan blue 0.05% w/v, asam laktat, gliserol, dan aquades ).

Alat

Alat yang digunakan adalah polibag ukuran 15 cm x 25 cm, oven,

mikroskop, objek glass, cover glass, spektrofotometer SHIMADZU UV-1201,

penangas air, timbangan 2 kg, timbangan analitik, meteran, kalifer, gelas ukur,

tabung reaksi, mortar, cawan porselin, cutter, kamera dan alat tulis.

Metodologi

Percobaan menggunakan rancangan faktorial tiga faktor dalam lingkungan

acak lengkap. Faktor pertama adalah asal sumber benih E. pellita yang terdiri 10

kelompok sumber benih yaitu : KBS Grup A, Lipat Kain - Riau (A), KBS Grup B,

Lipat Kain - Riau (B), KBS Grup C, Lipat Kain - Riau (C), KBS Grup D, Lipat

(29)

1, Perawang (G), KBS Site 2, Perawang (H), KBK, Perawang (I), APB Bupul

Muting, Merauke – Indonesia (J). Faktor kedua adalah cekaman air yang terdiri

atas empat taraf yaitu : 100% kapasitas lapang (K1), 75% kapasitas lapang (K2),

50% kapasitas lapang (K3) dan 25% kapasitas lapang (K4). Faktor ketiga adalah

inokulasi FMA, meliputi : tanpa inokulasi mycofer (M0) dan inokulasi mycofer

(M1). Sehingga diperoleh 80 kombinasi perlakuan dengan 5 ulangan, sehingga

terdapat 400 unit percobaan, masing- masing unit percobaan terdiri 1 tanaman.

Pelaksanaan Penelitian Persemaian benih

Benih E. pellita dikecambahkan dalam bak perkecambahan dengan media

pasir halus yang telah disterilkan dan dipelihara dalam rumah kaca. Pemeliharaan

dilakukan dengan melakukan penyiangan gulma, pembebasan dari hama penyakit

dan penyiraman sampai berumur ± 20 hari, kemudian dipindahkan kedalam

polibag yang berisi tanah Ultisol.

Persiapan media tanam

Tanah Ultisol digunakan sebagai media tanam diambil dari Hutan

Penelitian Haurbentes, Jasinga, Bogor. Tanah disaring dengan menggunakan

saringan berdiameter lubang ± 0,5 cm dan dicampur sampai homogen. Tanah

disterilkan dengan penguapan selama 6 – 7 jam, dikering anginkan selama 1

minggu, kemudian dimasukkan kedalam polibag ukuran 15 cm x 25 cm sebanyak

@ 1 kg/polibag.

Penentuan air tesedia

Air tesedia dalam tanah ditentukan dengan cara mencari selisih antara

kadar air tanah kapasitas lapang dan titik layu permanen. Penetapan kadar air

kapasitas lapang (pF 2,54) menggunakan alat Pressure plate apparatus, dan untuk

penetapan kadar air titik layu permanen (pF 4,20) menggunakan alat Pressure

(30)

15

Berdasarkan kadar air tersedia tersebut, penentuan tingkat kadar air dari

masing-masing perlakuan adalah :

Ø 100% air tersedia

Kadar air = (100/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Ø 75% air tersedia

Kadar air = (75/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Ø 50% air tersedia

Kadar air = (50/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Ø 25% air tersedia

Kadar air = (25/100 x kadar air tersedia) + KA titik layu permanen

Penentuan berat tanah dalam polibag

Untuk menentukan jumlah air yang diberikan pada masing- masing

perlakuan, terlebih dahulu dilakukan penetapan berat kering mutlak tanah.

Kemudian dapat ditentukan berat basah tanah masing- masing perlakuan sesuai

dengan persentase kadar air tersedianya, dengan menggunakan rumus :

BB - BK

Kadar air perlakuan ( %) = x 100%

BK

Keterangan : BB = berat basah tanah

BK = berat tanah kering mutlak.

Penyesuaian kadar air tanah untuk masing- masing perlakuan dilakukan setiap 2

hari sekali dan dilakukan koreksi menggunakan pertambahan berat tanaman setiap

2 minggu sekali. Perhitungan berat tanah yang harus dipertahankan pada

masing-masing perlakuan cekaman kekeringan ( Lampiran 6 ).

Penanaman dan Aplikasi FMA

Tanah Ultisol kering udara yang telah disterilkan sebanyak 1 kg tiap

polibag disiapkan sebagai media tanam. Penanaman dilakukan setelah umur

kecambah E. pellita sekitar ± 20 hari, sedangkan pemberian FMA dilakukan

bersamaan dengan pemindahan kecambah kedalam polibag dengan cara

(31)

Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan,

serta pengendalian hama penyakit. Penyiraman dilakukan setiap 2 hari sekali pada

waktu pagi hari dengan cara disiram langsung secara merata pada permukaan pot

sesuai dengan perlakuan taraf kadar air tersedia.

Perlakuan dan pengamatan

Pengamatan dimulai pada saat akan dimulainya perlakuan cekaman

kekeringan yaitu setelah bibit berumur 3 bulan, pengamatan selanjutnya dilakukan

pada waktu bibit berumur 5 bulan.

Peubah atau parameter yang diamati adalah :

1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dengan penggaris dari permukaan tanah sampai tunas

apikal tanaman.

2. Diameter tanaman (mm)

Pengukuran diameter tanaman menggunakan kalifer pada posisi 2 cm dari

permukaan tanah.

3. Biomass total ( g )

Biomass total diukur berdasarkan berat kering konstan setelah dilakukan

pengovenan selama 48 jam dengan suhu 80°C.

4. Nisbah tajuk akar

Pengukuran panjang batang dan akar dilakukan dari pangkal batang.

5. Berat daun spesifik (g/cm2)

Berat daun spesifik merupakan nisbah antara berat daun kering konstan

dengan luasnya daun tersebut.

6. Derajat infeksi akar (%).

Pengamatan infeksi akar dilakukan dibawah mikroskop dengan preparat akar

yang telah dipersiapkan dengan metode pewarnaan trypan blue (Brundrett et

al. 1996). Kuantifikasi derajat infeksi FMA dihitung dengan rumus :

Jumlah bidang pandang bermikoriza

Derajat infeksi = x 100%

(32)

17

7. Kadar air relatif daun

Pengukuran kadar air relatif dilakukan dengan mengambil bagian daun

tanaman menggunakan pisau dengan ukuran daun 1 cm x 1 cm sebanyak 10

lembar. Bagian daun ini ditimbang berat basahnya, lalu dilakukan perendaman

dalam air selama 24 jam dan kemudian ditimbang berat jenuhnya. Selanjutnya

daun dikering oven pada suhu 80°C selama 48 jam dan diukur bobot

keringnya. Nilai kadar air relatif menggunakan persamaan Prochazkova et al.

(2001) yaitu :

( Wdaun segar – Wdaun kering)

KAR (%) = x 100%

(Wdaun turgit – Wdaun kering)

8. Kadar prolina daun

Prosedur analisis prolina daun dengan metode Bates et al. (1973).

Ø Potongan daun ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian digerus dan

dihomogenasi dengan 10 mL asam sulfosalisilat 3%.

Ø Bahan tersebut kemudian disentrifugasi pada 9000 rpm selama 15 menit

sehingga diperoleh supernatan.

Ø Supernatan dipipet sebanyak 2 mL, kemudian direaksikan dengan 2 mL

larutan asam ninhidrin dan 2 mL asam asetat glacial dalam tabung

reaksi, kemudian dipanaskan pada penangas air suhu 100oC selama 5

menit.

Ø Setelah 1 jam, kemudian diinkubasi dalam es curah selama 5 menit.

Hasil reaksi selanjutnya diekstraksi dengan 4 mL toluene sehingga

terbentuk kromoform.

Ø Kromoform yang terbentuk diukur absorbsinya dg SHIMADZU

UV-1201 Spectrophotometer pd panjang gelombang 520 nm.

Ø Kandungan prolina dapat dihitung berdasarkan persamaan :

(µg prolina/ml x ml toluen)

Prolina =

(gr contoh)/5

(33)

Analisa Data

Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis sidik

ragam. Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan ya ng nyata, maka

dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test

DMRT). Model linier aditif dalam penelitian ini sebagai berikut :

dimana :

Y ijkl = Nilai pengamatan pada faktor asal sumber benih ke-i, faktor taraf

cekaman air ke-j, inokulasi FMA ke-k dan ulangan ke- l.

µ = Rataan umum

Ai = Pengaruh utama faktor asal sumber benih ke-i

Bj = Pengaruh utama faktor taraf cekaman air ke-j

Mk = Pengaruh utama faktor inokulasi FMA ke-k

(AB)ij = Pengaruh interaksi faktor asal sumber benih ke-i dan faktor taraf

cekaman air ke-j.

(AM)ik = Pengaruh interaksi faktor asal sumber benih ke-i dan faktor

inokulasi FMA ke-k

(BM)jk = Pengaruh interaksi faktor taraf cekaman air ke-j dan faktor inokulasi

FMA ke-k

(ABM)ijk = Pengaruh interaksi faktor asal sumber benih ke-i dan faktor taraf

cekaman air ke-j danfaktor inokulasi FMA ke-k

e

ijk l = Galat percobaan pada faktor asal sumber benih ke-i, faktor taraf

cekaman air ke-j, faktor inokulasi FMA ke-k dan ulangan l

( ) ( ) ( ) (

ij ik jk

)

ijk ijkl

k j

i

ijkl

A

B

M

AB

AM

BM

ABM

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Derajat infeksi akar bibit Eucalyptus pellita

Cekaman kekeringan memberikan dampak penurunan derajat infeksi akar

bibit tanaman E. pellita (Gambar 4), namun pada taraf cekaman kekeringan 75%

dan 50% penurunannya tidak berbeda nyata (Tabel 4). Persentase penurunan

derajat infeksi akar akibat meningkatnya taraf cekaman kekeringan sebesar 38%

(cekaman kekeringan 75% dan 50%) dan 67% (cekaman kekeringan 25%).

Perlakuan tanpa inokulasi mikoriza arbuskula (mycofer) pada media tanam bibit

tanaman E. pellita, ditemukan adanya derajat infeksi akar pada taraf cekaman

kekeringan 100% dan 75%, meskipun infeksi akar tidak terjadi pada semua

kelompok sumber benih. Hal ini kemungkinan disebabkan kurang sterilnya media

tanah dan air yang digunakan dalam penelitian.

Menurut Auge (2000) cekaman kekeringan dapat memberikan pengaruh

peningkatan dan atau penurunan derajat infeksi akar tanaman oleh mikoriza

arbuskula. Derajat infeksi akar suatu tanaman oleh mikoriza dipengaruhi berbagai

faktor meliputi : pemupukan, nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim

dan kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan kerentanan tanaman (Fakuara

1988). Penurunan derajat infeksi akar seiring meningkatnya cekaman kekeringan

juga terjadi pada tanaman gandum (Al Karaki et al. 1997), tanaman Citrullus

lanatus (Kaya et al. 2003) dan tanaman Citrus tangerine (Wu and Xia 2006).

Penurunan derajat infeksi akar oleh mikoriza arbuskula pada bibit E.

pellita seiring dengan meningkatnya taraf cekaman kekeringan, kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor pendeknya periode cekaman kekeringan dan rendahnya

suplai karbon hasil fotosintesis tanaman kepada mikoriza akibat menurunnya

proses fotosintesis. Menurut Bolgiano et al. (1983) singkatnya periode defisit air

dapat menurunkan kolo nisasi pada suatu hubungan asosiasi.

Perbedaan persentase derajat infeksi akar pada bibit E. pellita tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata antar kelompok sumber benih pada taraf

cekaman kekeringan 100%, 75% dan 50%. Namun, pada taraf cekaman

kekeringan 25% terdapat bibit yang tidak terinfeksi mikoriza yaitu bibit yang

(35)

KBS Group A

Gambar 4 Derajat infeksi akar bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi mycofer

(36)

Tabel 4 Respon derajat infeksi akar bibit E. pellita dari 10 sumber benih terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan.

Inokulasi Taraf Asal Kebun Benih Rata

Mikoriza Kadar Air KBS Grp A KBS Grp B KBS Grp C KBS Grp D KBS Pelaihr KBS Wongr KBS St I KBS St II KBK Prwg APB Bl-Mtg Rata

--- Derajat infeksi akar ( % ) ---

Mycofer 100% 20 20 10 20 30 20 20 20 30 20

tn

21a

75% 10 20 10 20 20 10 10 10 10 10tn 13b

50% 10 10 10 10 10 10 10 10 20 20tn 12b

25% 10a 10a 10a 10a 10a 0b 10a 0b 0b 10a 7c

Tanpa Mycofer

100% 10a 0b 10a 10a 10a 0b 0b 0b 0b 0b 4a

75% 0b 0b 0b 10a 0b 0b 0b 10a 10a 0b 3a

50% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0tn 0b

25% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0tn 0b

(37)

infeksi akar bibit tanaman E. pellita yang diinokulasi dengan mikoriza arbuskula

(mycofer) tersebut, menurut O’Connor et al. (2001) masuk dalam katagori sedang.

Terdapatnya derajat infeksi akar oleh mikoriza arbuskula pada bibit E.

pellita yang tidak diinokulasi mikoriza pada kelompok sumber benih KBS group

A, KBS group C, KBS group D, KBS site II dan KBK Perawang, kemungkinan

ada bagian propagul dari mikoriza arbuskula yang masuk pada media tanam.

Perbedaan prosentase derajat infeksi akar antar sumber benih E. pellita pada

perlakuan mycofer kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan jumlah

eksudat yang dikeluarkan dari masing- masing bibit tanaman. Akar bibit tanaman

E. pellita yang terinfeksi oleh mikoriza arbuskula dapat dilihat pada Gambar 5.

Infeksi yang terjadi dapat berupa adanya hifa dan atau vesikel dalam jaringan

korteks akar bibit tanaman E. pellita tersebut.

Gambar 5 Akar bibit tanaman E. pellita yang terinfeksi mikoriza arbuskula

Respon pertumbuhan bibit E. pellita terhadap cekaman kekeringan

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor sangat penting pada fase

pertumbuhan awal bibit dan pemantapan tanaman di lapangan. Pertumbuhan

tanaman pada kondisi cekaman kekeringan adalah signal utama adaptasi suatu

tanaman terhadap cekaman kekeringan. Pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari

beberapa parameter, diantaranya : tinggi, diameter dan biomass total tanaman.

Cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan pertumbuhan bibit tanaman E.

pellita dari semua kelompok sumber benih, baik yang diinokulasi mikoriza

maupun tidak diinokulasi mikoriza. Tanggap morfologi bibit tanaman E. pellita

umur 5 bulan yang diberi mycofer maupun tanpa mycofer dari beberapa sumber

benih terhadap cekaman kekeringan disajikan pada Gambar 6.

(38)

23

(39)

Tanggap pertumbuhan tinggi bibit E. pellita terhadap cekaman kekeringan

mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya taraf cekaman, pada bibit

yang diinokulasi mikoriza maupun tidak diinokulasi mikoriza (Gambar 7). Bibit

yang diinokulasi mikoriza, pertumbuhan tinggi tanaman pada cekaman kekeringan

50% dan 25% air tersedia menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Pertumbuhan

tinggi bibit yang diinokulasi mikoriza pada umumnya lebih baik dibandingkan

bibit yang tidak diinokulasi mikoriza disemua kondisi cekaman kekeringan,

kecuali taraf cekaman 50% pada beberapa sumber benih (Tabel 5).

Pada kondisi kapasitas lapang, pertumbuhan tinggi bibit E. pellita

menunjukkan tanggap yang berbeda-beda antar kelompok sumber benih. Sumber

benih dari KBS group D, KBS site I, II dan KBK Perawang memiliki

pertumbuhan lebih baik dibandingkan kelompok sumber benih lainnya. Kelompok

sumber benih yang dibangun dari campuran 3 provenan, umumnya lebih baik

pertumbuhannya pada kondisi kapasitas lapang dibandingkan sumber benih dari 1

provenan.

Pemberian mikoriza arbuskula, memberikan peningkatan rata-rata

pertumbuhan tinggi bibit sekitar 9,57% dibanding tanpa mikoriza (Tabel 6).

Peningkatan tetinggi berasal dari KBS group B dan KBS group A masing- masing

sebesar 21,39% dan 14,05%. Rata-rata pertumbuhan tinggi bibit E. pellita setelah

diinokulasi mikoriza, tertinggi berasal dari KBS group B, KBS group D, KBS site

I dan KBK Perawang.

Pertumbuhan tinggi bibit E. pellita pada taraf cekaman kekeringan 75%

mengalami penurunan 50% dibandingkan kondisi kapasitas lapang. Mikoriza

arbuskula membantu tanaman meningkatkan pertumbuhan tinggi di semua

kelompok sumber benih, peningkatan tertinggi berasal dari bibit KBS group B dan

KBS site I masing- masing sebesar 62,39% dan 73,63%. Pertumbuhan tinggi bibit

tanaman E. pellita yang berasal dari KBS group D, KBS site II dan KBK

Perawang menunjukkan lebih baik dibanding kelompok sumber benih lainnya.

Sedangkan pada bibit yang diinokulasi mikoriza KBS group B, KBS site I dan

(40)

46

Gambar 7 Pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi mycofer

(41)

Tabel 5 Respon pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dari 10 sumber benih terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan.

NO Sumber Benih

Taraf Kadar Air

Ranking

100% 75% 50% 25%

Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa

mycofer mycofer mycofer mycofer mycofer

--- Tinggi ( cm ) ---

1 KBS Group A 61,7b 54,1b 30,6b 26,7b 17,3b 14,1c 15,8c 13,0bc 9 10

2 KBS Group B 66,4a 54,7b 35,4a 21,8c 21,0ab 14,4c 16,3bc 11,4c 6 9

3 KBS Group C 59,7b 55,5ab 28,7bc 26,7b 18,5b 18,3b 14,4c 13,6bc 10 7

4 KBS Group D 65,9a 59,0a 30,1b 29,7ab 18,6b 14,2c 17,2b 13,9bc 7 8

5 KBS Pelaihari 58,9b 53,6b 25,7c 22,7bc 21,4ab 20,1b 15,0c 11,0c 8 6

6 KBS Wonogiri 49,6b 47,9b 27,6c 25,9bc 21,4ab 20,7b 17,4b 14,0bc 4 5

7 KBS Site I 63,3a 57,7a 34,9a 20,1c 23,0ab 23,2ab 19,4a 11,9c 1 4

8 KBS Site II 62,2ab 61,9a 33,2ab 32,1a 20,8b 25,1a 18,0a 16,1ab 3 2

9 KBK Perawang 65,0a 59,5a 31,3b 30,5a 24,1a 27,0a 18,4a 16,8a 2 1

10 APB Bupul-Muting 58,6b 54,2b 29,5bc 25,9bc 21,3ab 22,9ab 17,6b 19,3a 5 3

Rata-rata 61,1 55,8 30,7 26,2 20,7 20,0 16,9 14,1

(42)

27

Cekaman kekeringan 50% menurunkan rata-rata pertumbuhan tinggi

tanaman E. pellita sebesar 65%, baik bibit yang diinokulasi mikoriza maupun

tidak diinokulasi mikoriza. Mikoriza arbuskula tidak dapat mengatasi penurunan

pertumbuhan tinggi akibat meningkatnya cekaman kekeringan. Sekilas mikoriza

membantu tanaman meningkatkan pertumbuhan tinggi dari beberapa kelompok

sumber benih, namun pada sumber benih KBS site I, KBS site II, KBK Perawang

dan APB Bupul-Muting menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi

bibit dari sumber benih KBS site II dan KBK Perawang lebih baik dibandingkan

sumber benih lainnya, sedangkan bibit yang diinokulasi mikoriza sumber benih

KBS site I dan KBK Perawang yang paling baik pertumbuhannya.

Cekaman kekeringan 25% secara nyata menurunkan pertumbuhan tinggi

bibit tanaman E. pellita sebesar 70% pada bibit yang bermikoriza maupun tidak

bermikoriza. Namun, rata-rata pertumbuhan bibit bermikoriza lebih tinggi 20%

dibandingkan bibit tidak bermikoriza, kecuali bibit dari APB Bupul Muting.

Pertumbuhan bibit yang berasal dari KBS site II, KBK Perawang dan APB Bupul

Muting memperlihatkan lebih baik dibandingkan lainnya, sedangkan setela h

diberi mikoriza arbuskula bibit dari KBS site I, KBS site II dan KBK Perawang

menunjukkan pertumbuhan lebih baik. Peningkatan pertumbuhan tinggi akibat

pemberian mikoriza arbuskula tertinggi berasal dari sumber benih KBS group B

dan KBS site I masing- masing sebesar 42,98% dan 63,03%.

Tabel 6 Persentase peningkatan pertumbuhan tinggi bibit E. pellita dengan

adanya pemberian mikoriza arbuskula

Sumber Benih Taraf Kadar Air Tersedia

(43)

Tanggap pertumbuhan diameter bibit tanaman E. pellita terhadap cekaman

kekeringan menunjukkan penurunan pertumbuhan seiring dengan meningkatnya

taraf cekaman kekeringan yaitu sebesar 50%, 60% dan 70% terhadap kondisi

kapasitas lapang (Tabel 7). Penurunan pertumbuhan ini terjadi pada bibit yang

bermikoriza maupun tidak bermikoriza, namun bila dilihat dari rata-rata

pertumbuhan diameter pada masing- masing taraf cekaman kekeringan, bibit

bermikoriza lebih baik dibandingkan bibit tidak bermikoriza (Gambar 8).

Pertumbuhan diameter pada kapasitas lapang merupakan kondisi optimum

pertumbuhan bibit E. pellita dari 10 kelompok sumber benih. Kelompok sumber

benih KBS group D, KBS site II dan KBK Perawang memiliki pertumbuhan

diameter paling baik dibandingkan kelompok sumber benih yang lainnya. Pada

bibit yang diinokulasi mikoriza pertumbuhan terbaik berasal dari KBS group B,

KBS group D, KBS site I dan KBK Perawang. Peningkatan pertumbuhan

diameter dengan adanya mikoriza arbuskula tertinggi pada KBS group B dan KBS

Pelaihari masing- masing sebesar 27,85% dan 14,97% (Tabel 8).

Pada kondisi cekaman kekeringan 75% kelompok sumber benih yang

pertumbuhannya baik dikondisi kapasitas lapang masih memperlihatkan

pertumbuhan yang baik juga dibandingkan kelompok sumber benih lain.

Kelompok APB Bupul Muting yang pertumbuhannya dibawah KBS group D pada

kondisi kapasitas lapang, memperlihatkan pertumbuhan yang sama baik dikondisi

cekaman kekeringan 75%. Pemberian mikoriza arbuskula meningkatkan

pertumbuhan diameter bibit E. pellita pada semua kelompok sumber benih,

peningkatan tertinggi berasal dari KBS group B dan KBS site I masing- masing

sebesar 43,21% dan 27,85%.

Pertumbuhan diameter bibit E. pellita pada taraf cekaman kekeringan 50%

tidak menunjukkan perbedaan nyata antara bibit yang bermikoriza dengan tidak

bermikoriza. Peningkatan pertumbuhan dengan adanya mikoriza arbuskula

tertinggi berasal dari KBS group B dan KBS group A masing- masing sebesar

62,5% dan 15,69%. Kelompok sumber benih dari KBS group D, KBS Pelaihari,

KBS site II dan APB Bupul-Muting mempunyai pertumbuhan diameter lebih

(44)

Tabel 7 Respon pertumbuhan diameter bibit E. pellita dari 10 sumber benih terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan.

NO Sumber Benih

Taraf Kadar Air

Ranking

100% 75% 50% 25%

Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa

mycofer mycofer mycofer mycofer mycofer

--- Diameter ( mm ) ---

1 KBS Group A 1,60b 1,59c 0,84c 0,82ab 0,59c 0,51c 0,53b 0,40c 9 10

2 KBS Group B 2,02a 1,58c 1,16a 0,81ab 0,78ab 0,48c 0,64a 0,48bc 2 9

3 KBS Group C 1,84c 1,72b 0,88bc 0,85ab 0,64bc 0,62b 0,54b 0,51b 8 7

4 KBS Group D 2,06a 1,86a 1,03a 0,95a 0,65bc 0,70b 0,60ab 0,53b 7 5

5 KBS Pelaihari 1,69c 1,47c 0,77c 0,71b 0,53c 0,61b 0,41b 0,50b 10 8

6 KBS Wonogiri 1,71bc 1,70bc 0,87bc 0,81ab 0,74ab 0,72ab 0,60a 0,51b 4 6

7 KBS Site I 1,87a 1,71b 1,01a 0,79b 0,87a 0,78ab 0,64a 0,50ab 1 4

8 KBS Site II 1,77c 1,78a 0,89b 0,87a 0,68bc 0,83a 0,60a 0,55ab 6 3

9 KBK Perawang 1,89a 1,77ab 0,90b 0,86ab 0,78ab 0,78ab 0,61ab 0,58a 3 2

10 APB Bupul-Muting 1,83b 1,72b 0,95ab 0,95a 0,69bc 0,80a 0,62a 0,65a 5 1

Rata-rata 1,83 1,69 0,93 0,84 0,69 0,68 0,58 0,52

(45)

KBS Group A

Gambar 8 Pertumbuhan diameter bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi

(46)

31

Cekaman kekeringan 25% mengakibatkan penurunan rata-rata

pertumbuhan diameter bibit E. pellita yang diinokulasi mikoriza maupun tidak

sebesar 70% dibandingkan kondisi kapasitas lapang. Mikoriza arbuskula tidak

mampu mengurangi penurunan pertumbuhan diameter bibit E. pellita, namun

secara umum pertumbuhan bibit bermikoriza lebih tinggi dibanding bibit tidak

bermikoriza. Kelompok sumber benih yang pertumbuhan diameternya lebih baik

dibandingkan sumber benih lainnya adalah KBS site II, KBK Perawang dan APB

Bupul Muting. Selanjutnya, untuk bibit yang diinokulasi mikoriza pertumbuhan

terbaik pada taraf cekaman kekeringan 25% adalah KBS group B, KBS site I,

KBK Perawang dan APB Bupul Muting.

Tabel 8 Persentase peningkatan pertumbuhan diameter bibit E. pellita dengan

adanya pemberian mikoriza arbuskula

Sumber Benih Taraf Kadar Air Tersedia

100% 75% 50% 25%

KBS Group A 0,63 2,44 15,69 32,50

KBS Group B 27,85 43,21 62,50 33,33

KBS Group C 6,98 3,53 3,23 5,88

KBS Group D 10,75 8,42 -7,14 13,21

KBS Pelaihari 14,97 8,45 -13,11 -18,00

KBS Wonogiri 0,59 7,41 2,78 17,65

KBS Site I 9,36 27,85 11,54 28,00

KBS Site II -0,56 2,30 -18,07 9,09

KBK Perawang 6,78 4,65 0,00 5,17

APB Bupul-Muting 6,40 0,00 -13,75 -4,62

Tanggap pertumbuhan biomass total tanaman terhadap cekaman

kekeringan pada 10 kelompok sumber benih, baik pada bibit yang bermikoriza

maupun tidak bermikoriza menunjukkan berbeda-beda (Tabel 9). Namun, secara

umum bibit yang bermikoriza mempunyai pertumbuhan biomass total lebih tinggi

dibandingkan bibit yang tidak bermikoriza, pada semua tingkatan cekaman

kekeringan (Gambar 9). Pada bibit yang diinokulasi mikoriza arbuskula, rata-rata

pertumbuhan biomass total pada taraf cekaman kekeringan 50% dan 25% tidak

(47)

rata-rata pertumbuhan biomass total pada bibit yang tidak diinokulasi mikoriza

pada taraf cekaman kekeringan 75% dengan 50% dan taraf cekaman kekeringan

50% dengan 25%.

Pertumbuhan biomass total bibit E. pellita pada kondisi kapasitas lapang

(cekaman kekeringan 100%) berbeda-beda setiap asal sumber benih. Bibit yang

berasal dari KBS group D, KBS site II dan KBK Perawang mempunyai

pertumbuhan tertinggi dibandingkan bibit dari kelompok sumber benih lainnya.

Pertumbuhan bibit KBS group B terendah dari semua kelompok sumber benih,

namun tidak berbeda nyata pada kelompok sumber benih dari satu asal provenan

(KBS group A dan C). Bibit E. pellita yang berasal dari KBS group D

pertumbuhannya lebih baik dari APB Bupul Muting meskipun berasal dari

provenan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kebun benih lebih unggul

genetiknya dibandingkan tegakan benih didalam pertumbuhan biomass total.

Pemberian mikoriza arbuskula secara nyata meningkatkan pertumbuhan

biomass total bibit E. pellita pada semua kelompok sumber benih di kondisi

kapasitas lapang (Tabel 10). Peningkatan pertumbuhan tertinggi berasal dari bibit

KBS group B dan KBS group A, masing- masing sebesar 80,56% dan 39,65%.

Pertumbuhan biomass total setelah diinokulasi mikoriza tidak menunjukkan

perbedaan antar kelompok sumber benih, namun KBS site I dan KBS group D

memiliki nilai tertinggi dibanding lainnya.

Pada taraf cekaman kekeringan 75%, rata-rata pertumbuhan biomass total

mengalami penurunan sebesar 73,89% dibandingkan kondisi kapasitas lapang,

sedangkan bibit yang diinokulasi mikoriza penurunannya 67,72%. Kelompok

sumber benih yang berasal dari provenan campuran memiliki pertumbuhan lebih

tinggi dibandingkan provenan tunggal. Kelompok KBS site II dan KBK Perawang

mempunyai pertumbuha n biomass total lebih baik dibandingkan kelompok

sumber benih lainnya. Pertumbuhan bibit E. pellita setelah diinokulasi mikoriza

pada taraf cekaman kekeringan 75%, secara umum meningkat dibandingkan tanpa

diinokulasi mikoriza. Peningkatan pertumbuhan tertinggi berasal dari KBS group

B sebesar 141,18%, sedangkan bibit dari KBS site II peningkatannya hanya

(48)

46

Gambar 9 Pertumbuhan biomass total bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi

(49)

Tabel 9 Respon pertumbuhan biomass total bibit E. pellita dari 10 sumber benih terhadap mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan.

NO Sumber Benih

Taraf Kadar Air

Ranking

100% 75% 50% 25%

Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa Mycofer Tanpa

mycofer mycofer mycofer mycofer mycofer

--- Biomass total ( g ) ---

1 KBS Group A 3,17tn 2,27c 0,94tn 0,52b 0,45tn 0,34c 0,42tn 0,30c 7 9

2 KBS Group B 3,25 1,80c 1,23 0,51b 0,56 0,38c 0,48 0,31c 4 8

3 KBS Group C 2,54 2,40bc 0,84 0,54b 0,45 0,39c 0,36 0,37b 10 7

4 KBS Group D 3,55 3,46a 1,21 0,65b 0,49 0,47bc 0,47 0,33c 6 6

5 KBS Pelaihari 2,66 2,62b 0,78 0,57b 0,56 0,53b 0,38 0,34bc 5 5

6 KBS Wonogiri 2,37 2,02c 0,93 0,77ab 0,52 0,49bc 0,33 0,23d 9 10

7 KBS Site I 3,55 2,55bc 1,00 0,70ab 0,68 0,55b 0,51 0,35bc 1 4

8 KBS Site II 3,26 3,10a 0,93 0,92a 0,50 0,76a 0,35 0,44b 8 3

9 KBK Perawang 3,46 3,03a 1,03 0,86a 0,66 0,71a 0,52 0,55a 2 2

10 APB Bupul-Muting 2,84 2,63b 0,94 0,61b 0,60 0,74a 0,52 0,55a 3 1

Rata-rata 3,02 2,58 0,98 0,66 0,55 0,54 0,43 0,38

(50)

Tabel 11 Respon prolina daun dan kadar air relatif daun bibit E. pellita dari 10 sumber benih terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan cekaman kekeringan.

Inokulasi Taraf Asal Kebun Benih Rata

Mikoriza Kadar Air KBS Grp A KBS Grp B KBS Grp C KBS Grp D KBS Pelaihr KBS Wongr KBS St I KBS St II KBK Prwg APB Bl-Mtg Rata

--- Kadar air re latif daun ( % ) ---

Mycofer 100% 94,35

bcd

88,96d 94,37bcd 91,08cd 95,54abc 96,46ab 96,47ab 97,85a 95,75abc 91,59cd 94,24a

75% 93,06a 86,36b 93,74a 89,85b 86,72b 90,01b 88,45b 88,83b 90,18b 90,92b 89,81ab

50% 91,71a 86,12b 93,51a 87,29b 85,40b 88,34b 86,14b 86,51b 87,87b 82,70b 87,56ab

25% 90,50ab 86,08bc 93,10a 86,71bc 84,70bc 86,68bc 84,75bc 83,94c 86,16bc 81,86c 86,45b

Tanpa Mycofer

100% 93,27ab 87,66c 93,67ab 90,62bc 93,85ab 93,95ab 92,94ab 95,25a 91,03bc 90,30bc 92,25a

75% 90,88bc 84,49c 92,38ab 85,25c 89,64bc 93,16a 89,43bc 92,09ab 86,92c 87,47bc 89,37a

50% 87,09b 82,03c 89,92a 83,55c 83,88c 88,68ab 87,66ab 88,74ab 86,43bc 81,98c 85,99b

25% 86,39a 80,83c 82,69bc 81,96bc 81,98bc 84,70ab 82,73bc 86,29a 81,62c 81,77bc 83,09b

Keterangan : angka yang diikuti satu atau lebih huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT)

--- Kadar prolina daun ( mg/g berat basah ) ---

Mycofer 100% 0,80

bc

0,67bc 0,61c 0,62c 0,80bc 1,08a 0,91ab 0,74bc 0,77bc 0,86b 0,79d

75% 1,10ab 0,92bc 0,61c 0,96bc 1,06ab 1,24a 1,23a 1,11ab 1,01ab 1,03ab 1,03c

50% 1,31ab 1,50a 1,30ab 1,02b 1,09b 1,43a 1,31ab 1,34ab 1,34ab 1,59a 1,32b

25% 1,74b 1,66bc 1,68bc 1,22c 1,93ab 2,03ab 1,88b 2,20a 2,02ab 2,22a 1,86a

Tanpa Mycofer

100% 1,05bc 1,36ab 1,34ab 0,95bc 0,77c 1,03bc 1,41a 1,08abc 1,29ab 1,32ab 1,16d

75% 1,34abc 1,68a 1,57ab 1,32bc 0,98c 1,40abc 1,51ab 1,52ab 1,36abc 1,63a 1,43c

50% 2,07a 1,71bc 1,58bc 2,05a 1,90ab 1,40c 1,70bc 1,85ab 1,55bc 1,76abc 1,76b

Gambar

Gambar 2. Hubungan kisaran kadar air tersedia dengan bahan organik
Gambar 3. Peta sebaran alami Eucalyptus pellita
Tabel 3. Kondisi tempat tumbuh asal provenan Eucalyptus pellita
Gambar 4  Derajat infeksi akar bibit E. pellita dari 10 sumber benih yang diberi mycofer
+7

Referensi

Dokumen terkait

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2015) menyimpulkan variabel utang luar negeri dalam jangka pendek tidak berpengaruh signifikan terhadap

Biro Administrasi Pembangunan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan dan mengkoordinasikan bidang perhubungan, pekerjaan umum, energi dan sumberdaya

Lip balm merupakan sediaan kosmetik dengan komponen utama seperti lilin, lemak dan minyak dari ekstrak alami atau yang disintesis dengan tujuan untuk mencegah

Pada keluarga Bapak Saim, yang mana dalam orientasi bertaninya telah mengalami pergeseran dikarenakan bahwa tidak ingin mengganggu pendidikan anaknya, bapak Saim

Terimakasih untuk kerjasama yang luar biasa sehingga dapat menyelesaikan Program Magang 14. Saya berharap semoga apa yang dilakukan dan disampaikan, dapat

[r]

Oleh sebab itu, adanya kekhawatiran dari sebagian warga kampus terhadap marginalisasi 5 fakultas yang eksistink tidak beralasan, bahkan dalam rangka transformasi IAIN menjadi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap rumah tangga buruh pengolah kerupuk kulit ikan skala industri rumah tangga di Desa Kenanga Kabupaten