EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR
DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL
KERINCI SEBLAT
MUHAMMAD RIDWANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul:
EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR DAERAH PENYANGGA
TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT
merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis
di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2007
MUHAMMAD RIDWANSYAH. Evaluasi Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (BUNASOR SANIM sebagai Ketua, MUHAMMAD NUR AIDI dan YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penelitian ini secara umum bertujuan mengetahui dampak ekonomi penggunaan lahan eks-areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (2) mengetahui biaya imbangan total (total opportunity cost) yang diakibatkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, (3) mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS, dan (4) mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS mengalami pengurangan luasan tutupan hutan dari waktu ke waktu. Pola alih fungsi hutan bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit dan ladang/kebun masyarakat merupakan jenis-jenis penggunaan lahan yang paling dominan dilakukan. Biaya imbangan total penggunaan lahan menjadi perkebunan sawit yang dikelola swasta merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp 191 427 700/ha/tahun. Selanjutnya diikuti penggunaan lahan menjadi ladang/kebun masyarakat, yakni mencapai Rp 118 842 600/ha/tahun. Dari total biaya imbangan, kehilangan unsur hara merupakan kerugian paling besar, rata-rata 80 hingga 90%. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit swasta memberikan dampak yang negatif, sedangkan pengusahaan kebun karet rakyat baik secara finansial maupun ekonomi menunjukkan penampilan yang baik.
Penelitian ini merekomendasikan penerapan sistem agroforestri dalam upaya pengelolaan kerusakan hutan dan lahan di eks-areal hutan konsesi. Sistem ini, secara ekonomis menunjukkan kelayakan untuk dikembangkan, tidak saja karena memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan. Dalam upaya pengembangan sistem agroforestri ini, langkah-langkah yang perlu diupayakan antara lain mendorong rehabilitasi lahan kritis dengan areal yang lebih luas (ekstensifikasi), mengupayakan stabilitas harga output, mencegah peningkatan biaya produksi, dan mengupayakan penurunan suku bunga kredit pertanian.
MUHAMMAD RIDWANSYAH. Economic Evaluation on Land Uses in Ex Forest Concession Areas Around Buffer Zone of Kerinci Seblat National
Park (BUNASOR SANIM as Chairman, MUHAMMAD NUR AIDI and
YUSMAN SYAUKAT as Members of Advisory Committee).
This research generally aims at identifying economic land use effects in ex-forest concession areas around buffer zone of Kerinci Seblat National Park (KSNP). In particular, the objectives of this research are: (1) to evaluate the change of land cover and land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (2) to find out total opportunity cost resulted by land uses on ex-area HPH around KSNP buffer zone, (3) to evaluate the economic effects of environmental cost internalization on the performance of commercial crop farming which use land ex-area HPH around KSNP buffer zone, and (4) to evaluate economic effects of alternative activities for handling critical area as the impact of land use on ex-area HPH around KSNP buffer zone.
Research findings show that ex-area HPH around KSNP buffer zone has experienced reduction on forest coverage extent. Pattern of land uses from former extracting forest to palm plantation and public plantation are dominant types of land uses carried on. Total opportunity cost of land uses into palm plantation
managed by private companies is the greatest, that is up to Rp 191 427 700/ha/year. It is then followed by land use into public farming land
or plantation, that is up to Rp 118 842 600/ha/year. The reduction of the loss of fertile soil substance is the greatest loss which is about 80-90%. The economic analyses shows that palm plantation creates negative impact while the exertion of public rubber plantation financially or economically shows good performance.
The research recommends application of agroforestry system in seeking for critical land management on former acceptable forest concession areas not only because of its potential to promote the service rendered by forest ecosystem but also for its potential to increase public income in the surrounding area. In the attempt of agroforestry system development, actions that are highly sought are (1) encouraging critical land rehabilitation through extensification, (2) seeking for output price stability, (3) preventing increase of production cost, and (4) seeking for decreasing of interest rate of agricultural credit.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
EVALUASI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN
EKS-AREAL HUTAN KONSESI DI SEKITAR
DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL
KERINCI SEBLAT
MUHAMMAD RIDWANSYAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Hutan Konsesi Di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat
Nama Mahasiswa : Muhammad Ridwansyah
Nomor Pokok : A161020031
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc. Ketua
Dr. Ir. Muhamad Nur Aidi, MS. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc.
Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Penulis dilahirkan di Kabupaten Sarolangun Bangko (sekarang Kabupaten
Merangin), Provinsi Jambi pada tanggal 14 Juni 1968. Penulis adalah anak ketiga
dari enam bersaudara dari pasangan H. Mohd Sareh (Ayah) dan Hj. Rohana (Ibu).
Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi (1991).
Penulis melanjutkan pendidikan di University of Philippines Los Banos (UPLB)
dengan beasiswa ADB-SEARCA, Higher Education Project (HEP) ADB Loan
INO dan memperoleh gelar Master of Science (M.Sc) dalam bidang Agricultural
Economics (1998). Kesempatan melanjutkan S3 pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN) diperoleh tahun 2002 dengan beasiswa penuh BPPS.
Ketika penulis sebagai mahasiswa S1, penulis menerima penghargaan dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I sebagai Mahasiswa Teladan/Berprestasi
tingkat nasional dari Universitas Jambi (1990). Penulis menjadi Ketua Senat
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jambi (1990 s.d 1991). Ketika
menempuh pendidikan di UPLB, penulis aktif sebagai pengurus Internasional
Muslim Students Association (IMSA) sebagai koordinator social affair
(1997-1998). Selama menempuh pendidikan S3, penulis aktif berpartisipasi dalam
kegiatan konservasi yang dikoordinir oleh beberapa LSM/NGO diantaranya:
Birdlife Indonesia, Yayasan Mangrove dan Greenomics Indonesia.
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana hingga saat ini, penulis bekerja
sebagai staf pengajar pada Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi. Penulis banyak
terlibat sebagai konsultan pada berbagai proyek konservasi sumberdaya alam dan
Jambi Province Indonesia (1999-2000); Project of the ICDP- KSNP (Kerinci Seblat National Park) Component C: Integrating Biodiversity Conservation and Non Timber Forest Product Utilization in Concession Area Management (2000-2002); Conservation of Key Forests in Sangihe-Talaud Islands (2003); Resource Valuation of Lorentz National Park, Papua Province (2005). Pada tahun 2006 penulis dipercaya sebagai Lead Trainer pada Environmental Law Enforcement Training, Indonesia-Australia Spesialised Training Project, Phase III (IASTP III) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan PT. Sucofindo Indonesia.
Penulis telah berkeluarga dengan Linda Susanti, SE dan dikaruniai 2 orang
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga disertasi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Doktor pada
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini dapat diselesaikan. Dengan
tersusunnya disertasi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing
yang dengan tulus dan sabar telah banyak memberikan arahan akademik dan
secara khusus bimbingan dalam penyusunan disertasi.
2. Dr. Ir. H. Muhammad Nur Aidi, M.S dan Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec
sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan
pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan disertasi penulis.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, yang sejak awal telah memotivasi penulis
mengembangkan gagasan penelitian ini. Beliau juga telah memberikan
masukan penting ketika bertindak sebagai penguji luar komisi baik pada ujian
tertutup maupun terbuka. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada beliau
selaku Ketua Progaram Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah
mengakomodasi upaya penulis selama menimba ilmu di Program Studi ini.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang
telah mendanai penelitian disertasi ini melalui program Hibah Pasca Sarjana –
HPTP (Hibah Pasca).
5. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S yang telah memberikan koreksi ketika
bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, Dr. Ir. Yetty Rusli,
luar komisi pada ujian terbuka.
6. BPTIC Dataport (Biotrop), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Badan
Planologi, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, yang telah
memberikan kemudahan dalam pengadaan data spasial.
7. Rekan-rekan mahasiswa yang terlibat dalam penelitian Hibah Pasca antara
lain: Saudara Idham Khalid, SP; Ir. Hutwan Syaifuddin, M.P; Samsuri, S.Hut;
Sunarti, S.P M.P; Haryanto, S.Hut dan Dr. Ir. Ardi Novra, M.P, atas
bantuannya dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian dan
sumbangan pemikiran yang telah diberikan.
8. Saudara Bambang Tetuko, S.Si dan Ambrosius Ari Waspodo, S.Si yang telah
membantu dalam pengolahan data spasial.
9. Saudara Yeri Pasoma, Restuwardi, Ali dan Sefti yeng telah membantu dalam
data entry.
10.Orang tua penulis Hj. Rohana (ibu), H. Mohd. Sareh (ayah), Hj. Fatmah (ibu
mertua), dan istri penulis Nyonya Linda Susanti, SE serta anak-anak penulis
Achmad Farras Kanzil dan Farren Athasari, atas dorongan motivasi dan
pengertiannya selama penulis menyusun disertasi.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesian disertasi ini.
Sulit kiranya penulis dapat membalas budi baik atas bantuan-bantuan
tersebut, untuk itu dengan tulus hati penulis memohonkan kepada Tuhan Yang
pengelolaan eks-areal HPH di Indonesia, khususnya yang berdekatan dengan
kawasan konservasi. Selain itu, temuan-temuan yang telah diperoleh dalam
penelitian ini dapat bermanfaat pula bagi pengembangan ilmu ekonomi
lingkungan, khususnya tentang integrasi sistem informasi geografi atau
geographical informatian system (GIS) dengan penilaian atau valuasi kerusakan lingkungan.
Disadari bahwa disertasi ini masih mengandung kekurangan-kekurangan,
untuk itu saran dan arahan perbaikan sangat diharapkan. Terima kasih.
Bogor, Mei 2007
i
Halaman
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ... 8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9
1.6. Definisi Operasional ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan ... 14
2.2. Nilai Ekonomi Hutan Tropika ... 15
2.3. Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya ... 19
2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan ... 28
2.5. Telaah Penelitian Terdahulu ... 30
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 38
3.1. Penyusunan Model Teoritis... 41
3.2. Kerangka Pemikiran ... 47
IV. METODE PENELITIAN ... 57
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57
4.2. Jenis Data yang Digunakan ... 59
4.2.1. Data Spasial ... 59
4.2.2. Data Sosial-Ekonomi ... 61
4.3. Metode Pengumpulan Data ... 61
4.4. Penentuan Sampel ... 65
ii
4.5.2. Pengolahan Data Sosial dan Ekonomi ... 75
4.6. Metode Analisis ... 75
4.6.1. Analisis Citra ... 75
4.6.2. Valuasi Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH 76
4.6.3. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan ... 80
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 94
5.1. Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 94
5.1.1. Letak dan Lokasi ... 94
5.1.2. Sejarah Pengelolaan ... 94
5.1.3. Kondisi Penutupan Lahan ... 96
5.1.4. Kondisi Tanah, Kelerengan dan Kekritisan Lahan . ... 98
5.1.5. Kondisi Iklim ... 101
5.1.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan ... 101
5.2. Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 107
5.2.1. Letak dan Lokasi ... 107
5.2.2. Sejarah Pengelolaan ... 108
5.2.3. Kondisi Penutupan Lahan ... 110
5.2.4. Kondisi Tanah dan Kekritisan lahan ... 111
5.2.5. Kondisi Iklim ... 113
5.2.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan ... 114
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 127
6.1. Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan ... 127
6.1.1. Eks HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 127
6.1.2. Eks HPH PT. Rimba Karya Indah ... 133
6.2. Biaya Imbangan Penggunaan Lahan ... 143
6.2.1. Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 143
6.2.1.1. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit ... 144
iii
Menjadi Semak Belukar ... 149
6.2.1.4. Kerugian Ekonomi Penggunaan Hingga Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka... 151
6.2.2. Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 152
6.2.2.1. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit ... 153
6.2.2.2. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Untuk Kebun/Ladang Masyarakat ... 154
6.2.2.3. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Semak Belukar ... 156
6.2.2.4. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Menjadi Lahan Kosong/ Tanah Terbuka... 157
6.3. Dampak Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH 159 6.3.1. Perkebunan Kelapa Sawit yang Dikelola Swasta ... 160
6.3.2. Pengusahaan Kebun Kelapa Sawit yang Dikelola Masyarakat ... 162
6.3.3. Pengusahaan Kebun Karet yang Dikelola Masyarakat 163
6.4. Dampak Ekonomi Alternatif Rehabilitasi Eks-Areal HPH ... 164
6.4.1. Alternatif Kegiatan ... 164
6.4.2. Maksud dan Tujuan ... 168
6.4.3. Lokasi ... 169
6.4.4. Ketentuan Umum ... 169
6.4.5. Kelayakan Finansial ... 171
6.4.6. Kelayakan Ekonomi ... 172
6.4.6.1. Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi ... 172
6.4.6.2. Nilai Manfaat Rehabilitasi ... 173
6.4.6.3. Kriteria Kelayakan ... 176
6.4.6.4. Hasil Analisis Sensitivitas ... 177
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 183
iv
7.2.1. Implikasi dan Rekomendasi ... 185
7.2.2. Penelitian Lanjutan ……... 188
DAFTAR PUSTAKA ... 190
v
Nomor Halaman
1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar
Kawasan Penyangga TNKS ... 4
2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan ... 16
3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan
Environmental Cost Benefit Analysis ... 29
4. Rekapitulasi Ground Control Point dari Seluruh Citra Landsat Tematik Mapper dan Enhance Tematic Mapper di Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah ... 71
5. Rancangan Skenario Analisis Sesitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS ... 93
6. Kondisi Penutupan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2003 ... 97
7. Jenis Tanah di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 99
8. Kondisi Kelerengan Lapangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 99
9. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005 ... 100
10. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 2005 ... 101
11. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber ... 102
12. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga ... 104
13. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian... 106
14. Fungsi hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan ... 109
15. Fungsi Hutan Eks-Areal Kerja HPH PT. Rimba Karya Indah
vi
Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan ... 110
17. Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah ... 112
18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 2005 ... 113
19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun 2002 ... 113
20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah ... 114
21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga ... 117
22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat ... 119
23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat . 120
24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di
Desa Sekitar Lokasi Penelitian... 125
25. Penutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber,
Tahun 1988-2005 ... 127
26. Rata-rata Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju
Jaya Raya Timber, Tahun 1988-2005 ... 128
27. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 1988-2005 ... 131
28. Rata-rata Penggunaan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber, Tahun 1988-2005 ... 131
29. Perubahan Rata-rata Tutupan Hutan Eks-Areal PT. Rimba Karya Indah ... 134
30. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 1988-1999 ... 136
31. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 1999-2002 ... 138
32. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 1988-2002 ... 141
vii
PT. Maju Jaya Raya Timber Menurut Pola dan Periode Penggunaan Lahan yang Terjadi ... 144
35. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 2001-2003 ... 145
36. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1988-2001 ... 146
37. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun 2003-2005 ... 147
38. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Untuk Kebun\Ladang Masyarakat, Tahun 1988-2003 ... 148
39. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Menjadi Semak Belukar, Tahun 2001-2003 ... 149
40. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal
HPH PT. Maju Jaya Raya Timber Hingga Menjadi Semak Belukar, Tahun 1988-2003 ... 150
41. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju
Jaya Raya Timber Menjadi Tanah Terbuka, Tahun 1988-2003 ... 151
42. Kerugian Ekonomi Akibat Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menurut Periode ... 152
43. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1999-2002 ... 153
44. Dampak Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal HPH PT.
Rimba Karya Indah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Swasta, Tahun 1988-2002 ... 154
45. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan
Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Kebun/Ladang Masyarakat, Tahun 1999-2002 ... 155
46. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal
viii
Karya Indah Menjadi Semak Belukar, Tahun 1988-1999 ... 157
48. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Bekas Tebangan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun 1999-2002 ... 158
49. Kerugian Ekonomi Penggunaan Lahan Hutan Primer Eks-Areal
HPH PT. Rimba Karya Indah Menjadi Lahan Kosong/Tanah Terbuka, Tahun 1988-2002 ... 159
50. Ringkasan Hasil Analisis Finansial dan Ekonomi Praktik Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH Menjadi Usahatani Tanaman Komersial ... 161
51. Respon dan Harapan Masyarakat Terhadap Rencana Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH. PT. Maju Jaya Raya Timber dan Rimba Karya Indah ... 165
52. Partisipasi Masyarakat Tentang Sistem Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 166
53. Harapan Masyarakat dalam Sistem Pengelolaan Lahan Eks-HPH
PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 167
54. Jenis Komoditi yang Diharapkan dapat Dikembangkan dalam Rencana Pengelolaan Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya Timber dan PT. Rimba Karya Indah ... 168
55. Ringkasan Kelayakan Hasil Analisis Finansial Alternatif Pengelolaan Lahan pada Eks-Areal HPH. ... 172
56. Nilai Ekonomi Rehabilitasi Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS, Gabungan Penyangga-1 & Penyangga-2 ... 174
57. Ringkasan Hasil Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS... 176
ix
Nomor Halaman
1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan:
Nilai Ekonomi Total ... 14
2. Manfaat Sosial Hutan Tropis ... 17
3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu .. 18
4. Keuntungan Penebangan Kayu dengan Penilaian Sosial yang Baik… ... 18
5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal ... 20
6. Representasi Surplus Konsumen dan Produsen ... 22
7. Representasi Diagram Surplus Sosial ... 23
8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ... 25
9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi ... 26
10. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)) ... 27
11. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD<BCE)) ... 28
12. Kerangka Pemikiran Evaluasi Ekonomi Kegiatan Penggunaan Lahan Hutan Eks-Areal HPH di Sekitar Derah Penyangga TNKS ... 48
13. Kerangka Penilaian Dampak Penggunaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS ... 50
14. Kawasan Areal dan Eks Hutan Konsesi di Sekitar Daerah Penyangga TNKS dan Lokasi Penelitian ... 60
15. Kerangka Sampel ... 66
16. Skema Pengolahan dan Analisis Data Spasial ... 68
17.1. Bagan A: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Langkah-Langkah Utama ... 84
17.2. Bagan B: Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Pembayaran Transfer Langsung ... 85
17.3. Bagan C: Diagram Pengambilan Keputusan Untuk Menentukan Nilai Ekonomi: Komoditi yang Diperdagangkan ... 85
x
Timber, Tahun 1988-2005 ... 130 19. Perubahan Tutupan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Maju Jaya Raya
Timber, Tahun 1988-2005 ... 132
20. Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah, Tahun
1988, 1999 dan 2002 ... 133 21. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 1988-1999 ... 136 22. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun1999-2002 ... 137 23. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
Indah, Tahun 1988-2002 ... 139 24. Perubahan Tutupan Lahan Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan salah satu taman
nasional di Indonesia yang memiliki peranan ekologi penting. Kawasan seluas
1.37 juta ha ini, membentang di tengah Pulau Sumatera, di empat wilayah
Provinsi. Disamping berperan penting dalam melindungi flora dan fauna yang ada
di dalamnya, kawasan yang telah menjadi warisan dunia (world heritage) ini berjasa dalam pengatur tata air, konservasi tanah, dan iklim bagi wilayah
sekitarnya. Dalam kaitannya dengan pengaturan tata air, Purnajaya dalam BTNKS
(2006), melaporkan ekosistem TNKS merupakan hulu air penting bagi Daerah
Aliran Sungai (DAS) utama di Sumatera Bagian Tengah yang memberikan
kontribusi hidrologis bagi areal persawahan seluas ± 10 000 000 ha.
Selain memiliki peranan ekologi yang tinggi, ekosistem TNKS memiliki
peranan ekonomi bagi wilayah sekitarnya. Greenomics Indonesia (2001),
mempublikasikan nilai jasa ekosistem yang diberikan kepada wilayah kabupaten
perbatasan1 mencapai 63 persen dari total nilai ekonomi utamanya atau sekitar
Rp 5.9 trilyun selama 10 tahun. Sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang
memiliki ketergantungan paling tinggi terhadap jasa ekosositem TNKS yakni
mencapai Rp 624.64 milyar/tahun atau dengan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV) sebesar Rp 3.84 trilyun. Konsekuensi logisnya, kerusakan pada ekosistem TNKS berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat,
khususnya terhadap perekonomian lokal kabupaten yang berbatasan.
1 Ke-sebelas kabupaten yang berbatasan dengan TNKS, meliputi Kabupaten: Kerinci, Bungo, Sarolangun,
Sayangnya, ekosistem TNKS hingga dewasa ini mendapat tekanan dari
berbagai kegiatan ekstraktif yang berlangsung di sekitar kawasan ini. Tekanan
yang paling menonjol berasal dari penggunaan lahan eks-areal hutan konsesi atau
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di daerah penyangga TNKS. Pembukaan Wilayah
Hutan (PWH) maupun kegiatan eksploitasi kayu yang telah dilakukan oleh
perusahaan HPH, selanjutnya diikuti oleh penggunaan lahan eks-areal HPH.
Seperti dilaporkan oleh Hernawan (2001), bahwa kasus PWH yang dilakukan oleh
perusahaan HPH di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu telah
mengakibatkan tingkat mobilitas masyarakat ke dalam daerah penyangga TNKS
untuk berusahatani, pasca pengelolaan HPH meningkat drastis. Indrizal (1995),
menyatakan bahwa ladang/kebun tanaman komersial seperti di kawasan
penyangga TNKS secara kompleks – cepat atau lambat namun pasti – memiliki
kecenderungan mendorong ekspansi penduduk dan penetrasi perambahan lahan:
‘maju terus ke arah hutan tanpa mengenal titik balik’. Akibatnya, tekanan
terhadap hutan dan degradasi ekosistem TNKS dapat terus berlanjut.
Pasca diterapkannya kebijakan otonomi daerah, praktik penggunaan lahan
eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS semakin meningkat.
Pilihan-pilihan pengelolaan beralih orientasi menyediakan lahan untuk para investor
perkebunan – setidaknya dimulai secara de facto di lapangan – terhadap upaya-upaya untuk mendapatkan penerimaan finansial dalam jangka pendek. Hal ini
terlihat dari banyaknya Izin Pemanfaatan Kawasan (IPK) yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya penerima izin atau perusahaan,
melakukan kegiatan alih fungsi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit,
dilakukan, pihak perusahaan meninggalkan begitu saja lahan yang sudah dibuka,
sehingga menambah proporsi areal lahan kosong atau terbuka.
Sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP)
No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam,
maka hutan yang ada dalam kawasan eks-HPH tersebut baik berupa hutan bekas
tebangan maupun hutan primer seharusnya dipertahankan karena memiliki
peranan ekologis yang penting. Selain dapat melindungi TNKS dari perambahan
dan kebakaran, juga dapat berperan sebagai daerah tangkapan air yang sangat
penting bagi wilayah sekitarnya. Keberadaan kawasan hutan di eks-areal HPH
diharapkan dapat pula mendukung kehidupan keanekaragaman hayati yang
memiliki nilai penting dalam skala global, yakni memiliki sisa-sisa ekosistem
hutan hujan tropis Sumatra (yang saat ini sudah mulai menuju kepunahan).
Tanpa adanya langkah-langkah nyata dan program yang konsisten dalam
mengendalikan penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga
TNKS tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan lenyapnya hutan alami di
daerah penyangga TNKS. Secara ekologis hal ini tidak saja akan mengakibatkan
masa depan beberapa bagian TNKS akan menghadapi ancaman serius tetapi juga
berdampak negatif bagi perekonomian lokal dan kesejahteraan masyarakat di
wilayah sekitarnya.
Oleh karena itu diperlukan evaluasi yang seksama mengenai persoalan
penggunaan lahan pada eks-areal HPH dimaksud dalam upaya pengambilan
keputusan yang tepat dan bijaksana. Data dan informasi yang diperoleh dari kajian
ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menyusun alternatif pengelolaan
1.2. Perumusan Masalah
Di sekitar daerah penyangga TNKS terdapat kawasan hutan produksi
dengan jarak yang relatif dekat dengan kawasan TNKS. Pengelolaan kawasan ini
diserahkan kepada sembilan perusahaan HPH dimana enam diantaranya sudah
tidak aktif lagi melakukan kegiatan produksi yakni: PT. Duta Maju Timber, PT.
Serestra I, PT. Rimba Karya Indah, PT. Maju Jaya Raya Timber, PT. Bina
Samaktha, dan PT. Dirgahayu Rimba (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Areal Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Eks HPH di Sekitar Kawasan
Penyangga TNKS
Nama HPH/Eks HPH Lokasi Status Jarak ke
TNKS
Luas (Ha)
PT. Duta Maju Timber Sumbar Non aktif < 1 km 56 534
PT. Injapsin Jambi Aktif < 1 km 51 610
PT. Serestra I Jambi Non aktif < 1 km 60 000
PT. Serestra II Jambi Aktif < 1 km 96 000
PT. Nursa Lease Timber Co Jambi Aktif < 1 km 60 443
PT. Rimba Karya Indah Jambi Non aktif < 1 km 87 000
PT. Maju Jaya Raya Timber Bengkulu Non aktif >3 km 80 000
PT. Bina Samaktha Bengkulu Non aktif > 3 km 72 900
PT. Dirgahayu Rimba Bengkulu Non aktif > 3 km 126 000
Sumber: Laporan Teknis ICDP-TNKS, 2002
TNKS-ICDP, Komponen C1 (2002), melaporkan bahwa pada ke-enam eks
areal HPH tersebut telah terjadi perubahan tutupan hutan yang cukup pesat
terutama dari hutan bekas tebangan menjadi kawasan non-hutan. Pada eks-areal
HPH di Provinsi Bengkulu, hingga tahun 2001 tercatat seluas 4 749 ha telah
dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Mulyanto (2004), yang
melakukan studi di areal konsesi PT. Duta Maju Timber (DMT) melaporkan
dari hutan primer yang ada pada tahun 1999, seluas 2 046 ha telah berubah,
diantaranya seluas 1 449 ha mengalami degradasi (dari hutan primer menjadi
hutan bekas tebangan). Sementara sisanya telah menjadi semak belukar, tanah
kosong dan lahan pertanian dengan perubahan mencapai 4.6 persen atau sekitar
1.5 persen/tahun.
Menurut Sunderlin dan Ida (1999), tindakan ekstraktif terhadap kawasan
hutan, tidak terlepas dari persepsi yang melihat kawasan hutan hanya terbatas
pada lahan dan tegakan kayu semata. Padahal kawasan hutan memiliki fungsi
ekologis, seperti pengendali banjir dan erosi, hasil hutan non-kayu dan
keanekaragaman hayati yang sangat diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan.
Manakala fungsi ekologis ini diabaikan akan mendorong terjadinya kegiatan
ekonomi ekspansif yang menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan
fungsi-fungsi pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Persepsi seperti itu mengemuka dalam opsi penggunaan lahan (land use options) eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Selain untuk pembangunan perkebunan besar, penggunaan lahan eks-areal HPH yang banyak
dilakukan antara lain adalah pembukaan ladang oleh masyarakat terutama untuk
usahatani tanaman komersial. Pengembangan usahatani tersebut memanfaatkan
kawasan hutan bekas tebangan maupun hutan primer dengan mengenyampingkan
fungsi ekologis hutan. Dengan kata lain, praktik penggunaan lahan eks-areal HPH
di daerah penyangga TNKS telah mengabaikan biaya imbangan (opportunity cost)2 yang terkandung di dalamnya.
2
Situasi ini merupakan faktor kuat yang menekan posisi tawar (bargaining position) eks-areal HPH berada pada posisi yang lemah jika dihadapkan dengan kepentingan konservasi. Artinya, manakala pilihan penggunaan lahan yang
mengejar penerimaan finansial jangka pendek berhadapan dengan kepentingan
untuk melindungi kawasan TNKS, maka keputusan untuk menggunakan lahan
eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS menjadi pilihan. Hal ini pada
gilirannya mendorong terjadinya “ekonomi ekspansif” dimana target peningkatan
produksi yang maksimal dilakukan melalui ekstensifikasi lahan tanpa
mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pada sisi yang lain, penanganan terhadap lahan kritis akibat praktik
penggunaan lahan eks-areal HPH menyisakan masalah sosial ekonomi. Program
rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilaksanakan ternyata belum mampu
melakukan “rekonsilitasi” antara kepentingan rehabilitasi dengan kepentingan
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya dalam jangka pendek.
Kurang diakomodasikannya akses dan preferensi masyarakat dalam pelaksanaan
program kerap menjadi sumber penolakan dan konflik. Persoalan seperti ini
mengakibatkan program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak efektif dalam
menangani kerusakan hutan dan lahan termasuk pada eks-areal HPH yang
terdapat di daerah penyangga TNKS.
Pokok permasalahan yang dapat disarikan dari identifikasi masalah di atas
adalah sebagai berikut: (1) meningkatnya perubahan tutupan lahan yang demikian
cepat dikhawatirkan menimbulkan tekanan serius terhadap ekosistem TNKS, (2)
penggunaan lahan eks-areal HPH telah mengakibatkan kehilangan nilai jasa
mengutamakan penerimaan finansial dalam jangka pendek, namun tidak
memperhitungkan biaya imbangan yang ditimbulkan, dan (4) kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan yang mengalami kerusakan sebagai akibat praktik alih fungsi
belum mengakomodasi akses dan preferensi masyarakat sekitarnya.
Sehubungan dengan pokok persoalan tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS,
menimbulkan tekanan yang serius terhadap keutuhan kawasan ini?
2. Berapa biaya imbangan total (total opportunity cost) kegiatan penggunaan lahan eks- areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS?
3. Bagaimana dampak ekonomi praktik penggunaan lahan eks-areal tersebut,
dilihat dari sudut pandang ekonomi lingkungan?
4. Bagaimana dampak ekonomi alternatif penanganan kerusakan hutan dan
lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak ekonomi
penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Sementara,
secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Mengevaluasi perubahan tutupan hutan dan penggunaan lahan pada eks-areal
HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.
3. Mengevaluasi dampak ekonomi internalisasi biaya lingkungan terhadap
penampilan usahatani tanaman komersial yang menggunakan lahan eks-areal
HPH, di sekitar daerah penyangga TNKS.
4. Mengevaluasi dampak ekonomi alternatif kegiatan penanganan kerusakan
hutan dan lahan yang disebabkan oleh penggunaan lahan eks-areal HPH di
sekitar daerah penyangga TNKS.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk hal-hal berikut ini:
1. Hasil evaluasi perubahan tutupan lahan yang dilakukan dalam penelitian ini
dapat digunakan oleh pihak-pihak seperti: Balai Taman Nasional Kerinci
Seblat (BTNKS), Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten, Departemen
Kehutanan dan Departemen Pertanian dalam menyusun rencana pengelolaan
eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS.
2. Biaya imbangan total penggunaan lahan eks-areal HPH yang didapatkan dari
penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan komitmen multi pihak
dalam rangka rehabilitasi eks-areal HPH, sehingga mencegah terjadinya
underpricing terhadap harga sumberdaya hutan dan memberikan kesadaran bahwa nilainya bukanlah sesuatu yang murah dan tak terbatas. Hal ini pada
gilirannya akan lebih mendorong efisiensi dan sikap konservatif dalam
menggunakan/mengalihfungsikan eks-areal HPH di daerah penyangga TNKS.
3. Menyajikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola di
bidang kehutanan dan pertanian mengenai kelayakan ekonomi pengusahaan
alih fungsi lahan eks-areal HPH sehingga para pengambil kebijakan tersebut
masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk memanfaatkan
sumberdaya eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.
4. Memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan dan pengelola hutan
di tingkat operasional lapangan mengenai alokasi sumberdaya eks-areal HPH
yang dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan tingkat kepuasan tertentu
pada berbagai kelompok yang saling berkepentingan.
5. Dari penelitian ini dapat disampaikan rekomendasi untuk meningkatkan
ketepatan setiap penggunaan lahan eks-areal HPH, dengan demikian
rencana-rencana untuk pelaksanaan kegiatan dapat diperbaiki bilamana kegiatan
sedang berjalan dan juga kegiatan-kegiatan yang akan datang dapat
direncanakan lebih baik lagi jika kegiatan yang dievaluasi sudah selesai.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Secara umum, penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian. Pada bagian
pertama dilakukan evaluasi tutupan lahan terhadap eks-areal HPH di daerah
penyangga TNKS yang meliputi kegiatan analisis perubahan tutupan lahan (land cover change) yang selanjutnya difokuskan pada kegiatan penggunaan lahan eks-areal HPH. Evaluasi perubahan penutupan lahan dilakukan di dua eks-eks-areal HPH,
yakni di Kabupaten Bungo (Provinsi Jambi) dan Kabupaten Bengkulu Utara
(Provinsi Bengkulu). Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode analisis
citra digital untuk memperoleh hasil interprestasi citra satelit Landsat terhadap
klasifikasi perubahan penggunaan eks-areal HPH dimaksud. Adapun klasifikasi
perubahan tutupan lahan yang diteliti meliputi lima kegiatan alih fungsi lahan
over area atau LOA) menjadi perkebunan besar; kebun/ladang masyarakat; semak belukar, alang-alang dan lahan kosong atau tanah terbuka.
Kegiatan penggunaan lahan yang diteliti meliputi kegiatan yang dilakukan
oleh swasta dan masyarakat di sekitar kawasan yang memanfaatkan kawasan
hutan yang terdapat pada eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS untuk
dijadikan lahan perkebunan. Pada penelitian ini, areal perkebunan yang dievaluasi
dibatasi pada studi kasus areal tanaman yang dominan diusahakan pada eks-areal
HPH, yakni perkebunan kelapa sawit dan karet.
Bagian kedua dari penelitian ini adalah evaluasi ekonomi, meliputi
kegiatan valuasi ekonomi dan penentuan kelayakan ekonomi praktik penggunaan
lahan. Valuasi ekonomi dalam penelitian ini meliputi kegiatan menghitung nilai
kerugian yang ditimbulkan akibat praktik penggunaa lahan eks-areal HPH berupa
kehilangan biaya sosial: (1) kehilangan nilai kegunaan langsung (direct use value losses), antara lain kehilangan kayu komersial dan hasil hutan non-kayu, (2) kehilangan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value losses), seperti: kehilangan pengontrol banjir, unsur hara tanah, karbon, (3) kehilangan nilai
pilihan (option value losses), terdiri dari nilai pilihan dan nilai warisan, dan (4) nilai bukan kegunaan (non use value) yakni: nilai keberadaan (existence value).
Mengingat manfaat dari usaha perkebunaan demikian beragam, maka
dibatasi pada total nilai manfaat yang diterima dari usahatani (on farm). Sementara, pendugaan biaya meliputi: biaya investasi, biaya produksi, biaya
pemeliharaan dan biaya sosial yang terjadi di lokasi penggunaan lahan (on site). Selanjutnya dilakukan estimasi dampak penggunaan lahan pada tataran proyek
ekonomi meliputi tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan penggunaan lahan. Tingkat pengembalian ini diperoleh dari hasil analisis finansial
dan analisis ekonomi meliputi: tingkat pengembalian internal atau internal rate return (IRR), rasio manfaat-biaya atau benefit-cost ratio (B/C ratio), dan nilai bersih sekarang atau net present value (NPV).
1.6. Definisi Operasional
(1) Evaluasi ekonomi merupakan suatu pendekatan yang didasarkan kepada
biaya dan manfaat kegiatan/proyek terhadap ekonomi secara keseluruhan,
diukur dengan nilai ekonomi. Evaluasi ini mengkaji seluruh dampak
kegiatan ekonomi, termasuk konsekuensi lingkungan (Asian Development
Bank, 1996).
(2) Dampak ekonomi (economic effects) merujuk pada pengertian yang
dikembangkan oleh Gittinger (1982). Dalam penelitian ini dampak ekonomi
didefinisikan sebagai tingkat pengembalian (rate of return) suatu kegiatan alih fungsi lahan di eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS.
(3) Valuasi ekonomi adalah proses mengenakan nilai (atau harga) kepada
sumberdaya dan lingkungan eks-areal HPH di sekitar penyangga TNKS
yang tidak diperjualbelikan di pasar atau tidak dihargai secara benar.
(4) Perubahan tutupan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS
yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keadaan lahan yang karena
manusia, mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda.
(5) Pilihan penggunaan lahan (land use options) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk memanfaatkan lahan eks-areal HPH di sekitar
(6) Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukan bumi.
(7) Lahan perkebunan diartikan sebagai lahan yang penggunaannya untuk
menghasilkan komoditas komersial, meliputi penggunaan lahan untuk
tanaman kelapa sawit, karet, kopi, kayu manis dan sebagainya.
(8) Lahan hutan merupakan daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentase
penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonnya dapat menghasilkan
kayu atau produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim dan tata air lokal.
Lahan yang tutupan tajuknya kurang dari 10 persen, tetapi lahan tersebut
belum dimanfaatkan untuk penggunaan yang lain, maka lahan tersebut
masih termasuk hutan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi
dan Rehabilitasi Lahan, Nomor: 041/Kpts/V/1998).
(9) Biaya imbangan (opportunity cost) adalah manfaat yang dikorbankan apabila memilih melakukan alih fungsi lahan pada eks-areal HPH di sekitar
daerah penyangga TNKS (Schmid, 1993).
(10) Pengertian daerah penyangga dalam penelitian ini mengacu pada pasal 16
ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, bahwa daerah penyangga
TNKS adalah wilayah yang berada di luar kawasan TNKS, baik kawasan
hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang
diperlukan dan mampu menjaga keutuhan TNKS.
(11) Reboisasi adalah upaya penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi lahan
kritis pada eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. (Pengertian
ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Nomor:
(12) Reboisasi partisipatif adalah melibatkan peran serta masyarakat setempat
dalam pengelolaan hutan dengan melakukan penanaman kembali pada lahan
hutan yang rusak di dalam kawasan hutan dalam rangka meningkatkan
penggunaan lahan kritis di eks-areal HPH.
(13) Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga
kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan
atau yang diharapkan. (Pengertian ini mengacu pada SK. Dirjen Reboisasi
2.1. Pengukuran Dampak Lingkungan
Setiap kegiatan yang menggunakan sumberdaya alam, disamping
menimbulkan manfaat, dapat pula menimbulkan biaya dalam bentuk penurunan
aliran jasa lainnya atau disebut sebagai dampak dari kegiatan tersebut.
Dikemukakan oleh Freeman III (1992), nilai dampak yang ditimbulkan dari suatu
kegiatan ekonomi dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan nilai
ekonomi total atau total economic value (TEV)1.
Pagiola, Ritter and Bishop (2004), menyusun representasi TEV seperti
disajikan pada Gambar 1. Nilai penggunaan (use value) adalah nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tak langsung. Nilai
penggunaan langsung (direct use value) adalahbarang dan jasasumberdaya dan lingkungan yang digunakan langsung oleh manusia2.
Sumber: Pagiola, Ritter and Bishop, 2004
Gambar 1. Tipologi Barang dan Jasa Sistem Sumberdaya dan Lingkungan: Nilai Ekonomi Total
1
Freeman III (1992), mendefinisikan nilai ekonomi total sistem sumberdaya dan lingkungan merupakan
penjumlahan dari nilai sekarang yang terdiskon (discounted presentvalue) dari aliran semua jasa.
2 Pagiola, Ritter and Bishop (2004), membedakan nilai penggunaan langsung menjadi
consumptive use dan non-consumptive use. Consumptive use misalnya adalah pemanenan produk makanan, kayu bakar, kayu untuk
konstruksi, tanaman obat-obatan dan satwa buruan untuk dimakan, dan non-consumptive use seperti kegiatan
wisata alam dan aktivitas budaya yang tidak memerlukan pemanenan produk.
Total Economic Value (TEV)
Use value Non- use value
Direct use value: 1. Consumptive 2. Non- consumptive
Indirect use value Option Value 1. Option 2. Bequest
Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) adalah nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan
secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan sebagai pengatur tata
air, penyerapan karbon, iklim mikro dan pencegah erosi. Nilai pilihan (option
value) diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan
barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan di masa yang akan datang yang tidak
dapat digunakan pada saat sekarang, baik bagi dirinya sendiri (option value)
maupun bagi yang lainnya/ahli warisnya (bequest value).
Nilai bukan penggunaan (non use value) merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam
dan lingkungan. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan tanpa
bermaksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka
memberikan nilai secara murni pada sumberdaya alam, dengan harapan
keberadaan sumberdaya hutan dapat dipertahankan terus-menerus. Nilai ini juga
tercermin dari banyak pihak ingin memberi uang, waktu, ataupun barang untuk
membantu melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah.
2.2. Nilai Ekonomi Hutan Tropika
Kim (2002), menjelaskan hutan tropika sangat berperan terhadap
keberadaan manusia di bumi ini, yaitu dapat menjamin dan meningkatkan
kesejahteraan manusia. Karena pemanfaatan hutan tropika selama ini lebih banyak
berorientasi pada kayu, memacu kerusakan dan kehilangan sumberdaya lainnya
seperti keanekaragaman hayati dan penurunan fungsi hutan.
Tabel 2 menjelaskan jenis-jenis ekosistem dan jasa lingkungan yang
dikonversi menjadi peruntukan lainnya, mengakibatkan jasa ekosistem hutan
terbatas atau tidak lengkap. Sebagai contoh konversi hutan menjadi ladang
mengakibatkan kehilangan sumberdaya dan lingkungan antara lain: penyediaan
air bersih, kayu dan hasil hutan non-kayu, serta pencegah bencana alam.
Tabel 2. Jenis-Jenis Ekosistem yang Utama dan Jasa Lingkungan yang Disediakan
Sumber : Millenium Ecosystem Assesment dalam Pagiola, Ritter and Bishop, 2004
Suparmoko (2002), mengidentifikasi beberapa dampak negatif dari
penebangan hutan tropika, diantaranya adalah hilangnya kayu hutan dan hasil
ikutannya, dan ada kemungkinan timbulnya erosi tanah sehingga beberapa jenis
tanaman ikut hilang atau menurun produktivitasnya. Untuk menghitung nilai kayu
yang hilang digunakan angka volume kayu yang hilang dikalikan dengan rente
ekonomi per unit (unit rent)3.
3 Rente ekonomi (economic rent) adalah nilai yang harus dibayarkan kembali kepada pemerintah
Untuk keperluan evaluasi penggunaan lahan hutan tropika, perlu
diidentifikasi terlebih dahulu sumberdaya apa saja yang disediakan oleh suatu
hutan tropis. Hutan tropis diibaratkan oleh Godoy (1992), sebagai kue lapis yang
terdiri atas berbagai tipe manfaat. Pada Gambar 2, garis vertikal (aksis Y)
merupakan nilai dollar untuk barang-barang dan jasa hutan meliputi: (1) rente
kayu komersial, (2) hasil hutan non-kayu, (3) eksternalitas, (4) wisata, dan (5)
keanekaragaman hayati. Garis horizontal (aksis X) menunjukkan dimensi waktu.
5. Keanekaragaman hayati 4. wisata
3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial
Gambar 2. Manfaat Sosial Hutan Tropis
Suatu perusahaan akan melakukan investasi untuk menggunakan lahan
hutan jika nilai sekarang atau net present value (NPV) adalah positif yang
ditunjukkan dalam Gambar 3 dimana area A lebih besar dari area B. Area B
merepresentasikan biaya investasi awal seperti pembangunan jalan, pembelian
mesin, dan lain sebagainya. A merepresentasikan manfaat finansial bersih yang
diperoleh perusahaan dari satu kali produksi. (-)
waktu 0
Gambar 3. Keputusan Investasi Swasta dalam Melakukan Penebangan Kayu
Seperti diilustrasikan pada Gambar 4, perusahaan hanya akan
menanamkan modalnya jika A’>B+B merupakan biaya investasi dan B’ atau
(X1, X5, X6, X4) merupakan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan kepada
pemerintah sebelum produksi dimulai. Segi empat (X5, X2, X3, X6)
merepresentasikan pemindahan manfaat dari perusahaan kepada pemerintah. Oleh
karena itu, keuntungan bersih (net gain) perusahaan adalah sebesar
A’(keuntungan) dikurangi B (biaya investasi), sementara kerugian bersih (net
losses) perusahaan sebesar B’ (pembayaran bersih kepada pemerintah).
5. Keanekaragaman hayati 4. Wisata
3. Eksternalitas positif 2. Hasil hutan non-kayu 1. Kayu komersial
2.3. Eksternalitas dan Tindakan Penanggulangannya
Umumnya para ekonom menggunakan kriteria efisiensi untuk
mengevaluasi alokasi sumberdaya dan prioritas kegiatan pada suatu proyek atau
kebijakan. Konsep efisiensi yang menjadi dasar adalah pareto efficiency atau
pareto optimal. Suatu kegiatan ekonomi atau proyek dikatakan memiliki alokasi
sumberdaya yang efisien atau optimal menurut Just and Schmitz (1982), jika
tidak ada lagi alternatif pengalokasian yang akan meningkatkan
sekurang-kurangnya satu orang menjadi lebih baik (better off) situasinya tanpa membuat
pihak lainnya lebih buruk (worse off).
Namun dalam kenyataannya kondisi optimal ini jarang ditemui, tetap saja
ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan suatu kegiatan ekonomi atau
disebut juga dengan pareto-inferior. Keadaan ini dapat dilihat dari timbulnya
eksternalitas atau dampak eksternal bagi pihak lain. Secara umum eksternalitas
didefinisikan sebagai pengaruh yang diterima oleh pihak lain sebagai akibat dari
kegiatan ekonomi. Lebih spesifik lagi disampaikan oleh Fauzi (2004), bahwa
eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi (produksi atau konsumsi) dari satu
pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) pihak lain secara tidak diinginkan, dan
pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang
terkena dampak.
Intervensi pemerintah paling tidak ditujukan untuk menghilangkan
eksternalitas dan menciptakan alokasi sumberdaya dengan kondisi
pareto-superior. Pada kondisi pareto-improvement ini paling tidak, terdapat seorang yang
kedudukannya menjadi lebih baik, sedangkan tidak seorangpun yang
Teori ekonomi standar mengenai ekternalitas diilustrasikan seperti Gambar
5 dimana Q merepresentasikan kegiatan ekonomi; MNPB (marginal net private
benefit) merupakan tambahan manfaat bersih dari perubahan satu unit tingkat
kegiatan ekonomi; dan MEC (marginal external cost) adalah nilai tambahan
kerusakan lingkungan dari kegiatan ekonomi. Saat kegiatan ekonomi berada pada
Q* merupakan kondisi sosial yang diinginkan dimana tingkat eksternalitas berada
dalam kondisi yang optimal yakni sebesar area B. Namun, kondisi ini sulit dicapai
karena pihak swasta sebagai operator kegiatan ekonomi, melakukan intensitas
kegiatan ekonomi yang lebih tinggi, yakni pada tingkat QΠ. Pada tingkat ini
manfaat bersih yang diperoleh swasta sebesar area A+B, namun menimbulkan
tingkat eksternalitas yang merugikan (cost) sebesar area C + D.
Sumber: Pearce and Turner, 1990
Ilustrasi pada Gambar 5 ini memberikan proposisi penting bahwa konsep
eksternalitas tidak lain adalah perbedaan antara biaya swasta (private cost) dan
biaya sosial (social costs). Pearce and Turner (1990) mengatakan, jika perbedaan Gambar 5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal
Q* O
Cost, benefit
QΠ
MEC
D MNPB
A X
C Y
ini tidak diatur, maka pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan
(eksternalitas negatif) akan terus beroperasi pada titik QΠdimana manfaat yang
diterima sebesar area A + B + C, namun biaya eksternalitas (negative externality)
yang ditimbulkan adalah sebesar area B + C + D, sehingga manfaat sosial bersih
atau net social benefit (NSB) yang diterima = (A + B + C) – (B + C + D).
Panoyotou (1997), memahami bahwa NSB merupakan selisih antara
manfaat kotor yang diterima dengan manfaat yang diabaikan (opportunity costs).
Manfaat bersih yang diterima konsumen disebut dengan consumer surplus (CS).
Sedangkan manfaat bersih yang diterima oleh produsen disebut dengan producer
surplus (PS). Dengan demikian NSB adalah penjumlahan antara perubahan
consumer surplus dan producer surplus Δ (CS + PS) yang disebut juga dengan
social surplus (pengertian ini diringkas seperti terlihat pada Kotak 1).
Kotak 1. Ringkasan: Net Social Benefit (Panayotou, 1997)
Dalam bentuk grafik, CS ditunjukkan dengan area di bawah kurva
permintaan (demand curve) yang sekaligus mengekspresikan marginal benefit
(MB) dari output kebijakan atau proyek. Sedangkan PS ditunjukkan dengan area
di atas kurva penawaran (yang mengekspresikan marginal opportunity cost) dan
di bawah tingkat harga (Gambar 6).
Dari penjelasan di atas diperoleh pengetahuan penting bahwa dalam
kaitannya dengan sumberdaya alam, biaya eksternalitas identik dengan total biaya
imbangan atau total opportunity cost (diindikasikan dalam Gambar 6). Ini Net Social Benefits:
= Benefit gained (added) – benefit given up (opportunity cost) = Δ(net benefit to consumer) + Δ (net benefit to producers)
diperkuat oleh Pearce and Turner (1990), yang menyatakan opportunity cost dan
eksternalitas merupakan dua cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah
yang sama.
Sumber: Panayotou, 1997
Jika kedua kurva pada Gambar 6 digabung, maka diperoleh diagram
representasi surplus sosial (social surplus) seperti terlihat pada Gambar 7. Pada
pasar persaingan yang berfungsi dengan baik dan tidak ada kegagalan pasar
(market failure), pasar berada pada kondisi keseimbangan, yakni: (1)
memaksimumkan surplus sosial, dan (2) mencapai pareto efisien.
Q* adalah tingkat kegiatan ekonomi yang mengalami efisiensi alokatif.
Gangguan terhadap proses keseimbangan ini akan merubah alokasi sumberdaya,
selanjutnya akan menurunkan surplus sosial sehingga terjadi distorsi ekonomi.
Sebaliknya, adanya eksternalitas negatif atau manfaat yang diabaikan
menyebabkan terjadinya suatu alokasi yang tidak efisien. 0
Q Q
Rp
P
Q* CS
Actual Payment
Rp
0 P
Q* PS
Total willingnes to pay
Total opportunity cost
D=MB=MWTP
S=MC
Sumber: Panayotou, 1997
Secara konsepsual, alternatif pengendalian eksternalitas negatif yang ideal
dikenal dengan the first best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui
”bargaining” dan”negotiation” antara pihak perusahaan yang menimbulkan
dampak (pollutant) dengan masyarakat yang terkena polusi (suffer). Mekanisme
yang digunakan dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini adalah pemberian
kompensasi sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
Mengingat target the first best policy ini sulit dicapai, maka telah
dikembangkan konsep the second best policy dimana pengendalian polusi
dilakukan melalui intervensi pemerintah. Penerapan tindakan ini tidak akan
menghilangkan dampak negatif polusi tetapi dalam konteks mengupayakan agar
masyarakat menerima manfaat yang lebih besar dari dampak negatif yang
ditimbulkan atau dikenal dengan prinsip society benefit > society cost.
Dalam upaya menerapkan prinsip kemasyarakatan ini kedalam
pengelolaan hutan, Fauzi (2004), mengedepankan pentingnya pengukuhan hak Gambar 7 Representasi Diagram Surplus Sosial
Q Q*
O Rp
S=MC
D=MB=MWTP
P
Allocative Efficiency Net Social Benefit
= Social Surplus = CS + PS
PS CS
kepemilikan (assigning property rights)4 dan pemberian akses kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengukuhan hak akan meningkatkan
manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pengukuhan hak
kepemilikan akan efektif, hanya jika diketahui persis pihak mana yang melakukan
eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa dihitung dan
tawar-menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Hal ini
dimungkinkan karena pemberian hak akan meningkatkan gains (manfaat
ekonomi) dari salah satu pihak dengan menurunkan gains dari pihak lain.
Fauzi (2004), mengembangkan empat kemungkinan kombinasi yang dapat
digunakan untuk memberikan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
dapat menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Tipe pertama, hak kepemilikan sumberdaya berada pada komunal atau negara dengan akses yang
terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari;
Tipe kedua, sumberdaya dimiliki secara individu (private) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakterteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas
dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe ini akan
melahirkan ”the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang
dihasilkan dari sumberdaya alam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa
yang dimanfaatkan oleh pengguna; Tipe keempat, suatu kombinasi yang jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan
terbuka. Pengelolaan seperti ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap
4 Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004), menjelaskan bahwa hak kepemilikan akan terkukuhkan dengan
baik (well-define property right) jika memenuhi karakteristik: (1) hak milik tersebut dikukuhkan
pemilikannya baik secara individu maupun kolektif, (2) eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya
penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya, (3) transferable
(dapat dipindah-tangankan) karena hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk
mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut, dan (4) terjamin (secure), dengan adanya jaminan
intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah, sehingga sumberdaya akan cepat terkuras
habis.
Hubungan antara hak kepemilikan dan akses dalam pengelolaan
sumberdaya alam digambarkan Fauzi (2204), dalam bentuk bagan. Sayangnya
bagan yang ditampilkan belum sepenuhnya menggambarkan konsekuensi dari
masing-masing akses (terbuka dan terbatas). Hal ini perlu diketengahkan karena
setiap keputusan pengelolan yang dipilih harus mempertimbangkan dampak yang
ditimbulkan. Oleh karena itu dilakukan modifikasi gambar Fauzi (2004), menjadi
sebagai berikut.
Sumber: Fauzi, 2004 (dimodifikasi)
Gambar 8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Selain mengupayakan pengukuhan hak kepemilikan, tindakan lainnya
yang dapat dilakukan adalah ’menginternalkan’ dampak yang ditimbulkan, yakni
memasukkan komponen biaya eksternal sehingga diperoleh output yang optimal.
Teori ekonomi standar untuk menentukan ouput optimal adalah ’Coase Theorem’
(Coase, 1960 dalam Pearce and Turner, 1990). Pada kasus produksi komoditas
yang menimbulkan eksternalitas negatif, dapat dijelaskan dalam Gambar 9. Hak
Kepemilikan
Komunal
Negara
Individu
Akses terbatas (Limited acces)
Akses terbuka (Open acces)
Kerusakan sumberdaya alam tidak terkendali
Gambar 9 pada prinsipnya menjelaskan tentang pengaruh internalisasi
biaya eksternal terhadap tingkat keluaran (output) suatu kegiatan ekonomi. Tanpa
memasukkan biaya eksternal (internalisasi) tingkat output optimal terjadi pada
saat MNPB=MEC atau pada tingkat Q2. Namun jika biaya eksternal tidak
diperhitungkan, tingkat output yang diusahakan pada tingkat Q1. Hal inilah yang Gambar 9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas
pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi Q Polusi
Polusi yang belum mengeluarkan biaya eksternal untuk
menghilangkan polusi yang sama dengan batas ambang polusi
Q3=tingkat output yang polusinya
belum memerlukan biaya eksternal
Q1=tingkat output tanpa
memperhitungkan biaya eksternal
Q2=tingkat output optimal yang telah
pada gilirannya memicu terjadinya ’ekonomi ekspansif’ yang mengabaikan
pelestarian sumberdaya alam.
Intervensi pemerintah dalam pengendalian dampak negatif suatu kegiatan
ekonomi dapat pula melalui koreksi pajak dengan menerapkan: kebijakan pajak
dan kebijakan standar. Pada kebijakan pajak, diterapkannya strategi instrumen
ekonomi atau economic instrument strategy, dimana setiap dampak yang
ditimbulkan dikenakan pajak lingkungan (green tax), sedangkan pada kebijakan
standar, pengendalian dampak negatif dilakukan melalui common and control
(CAC) strategy. Pemerintah menetapkan standar emisi yang diperbolehkan, jika
melebihi batas standar, polluter akan dikenakan sanksi/hukuman.
Efektivitas kedua kebijakan ini tergantung dari magnitude kurva MNPB
dan MEC. Jika kurva MNPB lebih curam dibanding kurva MEC, maka kebijakan
standar akan lebih efektif. Sebaliknya, jika kurva MNPB lebih landai dibanding
kurva MEC, maka kebijakan pajak akan terpilih (Gambar 10 dan 11).
Pajak (T) MNPB;
MEC
Q2
MEC
D
Standard (S)
A MNPB1
O
C B MNPB2
E
Q1 Q* Output
(Polusi)
2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan
Panayotou (1997), menjelaskan bahwa Cost-Benefit Analysis (CBA)
sebagai skenario yang meliputi perubahan yang diinginkan, penyusunan baselines,
pengestimasian (prediksi) dampak fisik, penilaian dampak tersebut (untuk
memperoleh manfaat), dan estimasi biaya untuk mencapai perubahan yang
diinginkan. CBA bertujuan untuk membantu pembuatan keputusan sosial dan
memfasilitasi alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Karena sumberdaya terbatas,
sementara kebutuhan tidak terbatas, maka CBA merupakan sangat diperlukan
dalam rangka penyusunan prioritas menurut manfaat bersih suatu kebijakan atau
proyek. CBA memiliki kelebihan dalam menyeimbangkan aspek-aspek manfaat
suatu kebijakan atau proyek berkenaan dengan sumberdaya rill masyarakat yang
harus dikorbankan untuk implementasi kebijakan atau proyek itu. Paja
Q2
O Q1 Q*
MNPB; MEC
MEC
D
Standard (S)
A MNPB1
C B
MNPB2
E
Output (Polusi)
Pendekatan CBA yang paling mutakhir dalam banyak literatur disebut
dengan extended CBA. Menurut Panayoutou (1997), extended CBA adalah
pengintegrasian nilai lingkungan kedalam CBA. Tiwari (2000), menjelaskan
perbandingan prinsip CBA konvensional dengan extended CBA yang ia sebut
sebagai Environmental CBA5, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan Environmental Cost Benefit Analysis
Cost Benefit Analysis Konvensional Environmental Benefit Cost Analysis
1. Hanya total manfaat kegiatan ekonomi yang dihitung
1. Total manfaat kegiatan ekonomi melampaui total biaya, tetapi juga mempertimbangkan kriteria
lingkungan dan sustainabilitas sosial 2. Perubahan kesejahteraan
ditentukan oleh perbedaan with dan
without kegiatan ekonomi atau proyek
2. Perubahan kesejahteraan ditentukan sebelum (before) dan setelah (after) proyek
3. Pengukuran biaya didapat pada biaya opportunitas sosial, tetapi hanya biaya langsung yang dipertimbangkan
3. Pengukuran biaya diperoleh dari biaya lingkungan dan harga kelangkaan sumberdaya yang secara bersama-sama disebut dengan biaya imbangan sosial (social opportunity cost). 4. Manfaat produser diukur sebagai
perubahan surplus produsen
4. Manfaat produser diukur dari
perubahan surplus produsen dan dalam waktu bersamaan dengan
membandingkan WTP dengan harga supplai sumberdaya
5. Menggunakan suku bunga temporal aggregasi
5. Tingkat preferensi waktu atau suku bunga (discount rate) yang diterapkan biasanya lebih rendah dibandingkan CBA konvensional
6. Perubahan kesejahteraan tidak dinilai dengan uang (unmonetized)
6. Sedapat mungkin dampak-dampak dinilai dengan uang (monetized) 7. Analisis sensitivitas dibuat dengan
menggunakan asumsi yang berbeda
7. Analisis sensitifitas menggunakan NPV yang dihitung dari pespektif yang berbeda.
Sumber: Tiwari, 2000
5 Untuk keperluan penjelasan yang praktis maka pada uraian selanjutnya sering digunakan