IJMA’ DI B
IDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK
PIDANA ZINA DALAM
KITAB AL MAJMU’)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh
SITI HAJAR BINTI HALIM NIM: 109045200028
K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R ’I Y Y A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Maret 2011 M
6 Rabiul Akhir 1432 H
Penulis,
KATA PENGANTAR
ه
Subhanallah Sungguh hanya Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha
Mengetahui, serta segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan taufik, hidayah, dan rahmat-Nya kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam untuk junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, para sahabat, keluarga dan seluruh pengikut yang menyeru dengan seruannya,
berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh dengan talinya
(hablullah) sampai akhir zaman.
Alhamdulilah berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis juga menyadari bahwa
selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata atas usaha penulis, tak luput dari bantuan
teman, keluarga dan dari berbagai pihak lainnya. Untuk itu sebagai ungkapan rasa
hormat yang dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga
kepada yth:
1. Pihak pimpinan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah mengizinkan penulis untuk menimba ilmu di sini.
2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan penulis izin tinggal
3. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, sebagai Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada
penulis untuk menyusun skripsi ini.
5. Bapak Dr. Asmawi MA.g dan Afwan Faizin MA. selaku ketua dan
Seketaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak memberi
motivasi dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi
penulis yang dengan sabar telah memberi bimbingan, arahan, dan
masukan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. Hanya Allah SWT
yang membalas jasa baiknya kepada penulis.
7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, pimpinan dan staf Perpustakaan Syariah dan
Hukum, Perpustakaan Utama serta staf yang ada di Internasional Office
yang telah memberikan fasilitas berupa kemudahan tempat penulis
memperolehi berbagai informasi dan sumber-sumber skripsi.
8. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan
yang mengambil alih peranan menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di
9. Teristimewa buat ayahanda Halim Bin Ismail dan Ibunda Rodziyah Binti
Saidon, nenek dan datuk ayahanda dan ibunda serta saudara mara. Terima
kasih yang tidak terkira atas segala curahan kasih sayang, yang menemani,
merawat, kesabaran mengasuh, membesarkan, mendidik, memberikan
motivasi, mendoakan dan mengorbankan segala hal terutama dari segi
keuangan kepada ananda tanpa bosan sehingga ananda dapat
menyelesaikan studi di sini dengan selamat dan sebaik-baiknya.
10.Tidak dilupakan untuk seluruh saudaraku, kakanda Khairul Anwar Bin
Halim dan Siti Sarah Binti halim, dan adinda-adindaku, Siti Balqis Binti
Halim, Siti Khadijah Binti Halim, Khairul Fikri Bin Halim dan Siti Aisyah
Binti Halim. Semoga kalian menjadi anak yang soleh solehah dan insan
yang berguna di dunia dan akhirat.
11.Pihak IPA (Institut Pengajian Al-Azhar) yang telah banyak memberi
pengarahan kepada penulis, yaitu Ustaz Muhammad Zain, Ustaz
Muhaiyat, Sir Haji Wan, Ustaz Zailani, dan Ustazah Hassanah.
12.Pihak KUDQI (Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah) yang telah
memberi kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dan banyak
kepada penulis yaitu Ustaz Mahmod Sulaiman selaku Rektor Kudqi, dan
yang lainnya ustaz dan ustazah.
13.Teman- teman seperjuangan angkatan 2009 yang sama-sama menimba
Rozilawati, Azidah, Al-Suwibah, An-Nur Hidayah, Shaidah, Zudeena,
Najihah, Tuan Syazwani, Syazwani, Aminah, Khadijah, Nasrullah,
Ridzuan Muhamad, Mu‟az, Najmi, Hanzalah, Sukri, Munir, Syammil,
Khalil, Riduan Abd Hamid, Farid, Azahari, Ramadhan, Ukasyah, Sabri,
Zalani, Saifuddin dan Hadi. Serta teman- teman senior dan junior baik dari
KUDQI, APID, atau IPA yang juga sama-sama menimba ilmu di Negeri
Indonesia ini bersama saya. Terima kasih saya ucapkan karena turut
mendoakan kesuksesan, memberi dukungan, turut berpartisipasi, dan
semangat kepada saya demi keberhasilan penulisan karya ilmiah ini. Tidak
lupa ucapan terima kasih kepada sahabat karib saya Muhammad Zulfa Bin
Abd Malek dan keluarganya, terima kasih banyak karena senantiasa
memberi semangat, bimbingan, dukungan, nasihat dan sebagainya kepada
saya. Semoga hubungan yang terjalin ini mendapat rahmat dan ridha dari
Allah SWT selamanya.
14.Teman–teman yang senantiasa terukir dalam memori yakni: Husna,
Elyana, Anis Syamiza, Anis Madihah, Linda, Mumtaz, Imra‟tun, Not
(sakinah), Ca‟un, Zahidah, Sopiah, Syakila, Nisa‟, Nor Naim, Ummi
Kalsum, Saadiah, Hanifah, Saidah, Hamizah, Maziah, Kak Ina, Kak
Saadiah, Munirah, Wani Halim, Islahana, Abdan, Faiz, Kak long, Kak
Hajar Wahab, Kak Hajar Mohamed Taib, Ce‟mi, Kak Ummi, zulaikha,
KUDQI, teman-teman dari Yayasan Khairiah, Timor Leste, Filipina,
Somalia, Thailand, sahabat UIN Bandung, UIN Lampung, UIN Malang,
teman-teman Indonesia yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Ali Fahmi, Abd Karim
Munthe dan teman seperjuangan menuntut ilmu bersama penulis, dan
ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas doa kalian, tidak lupa
juga teman-teman di Indonesia yang juga banyak membantu penulis untuk
memahami, dan shering lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam dan
membantu penulis dalam menerjemahkan skripsi ini ke dalam bahasa
Indonesia.
15.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
sepanjang penyusunan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan niat baik
tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik dari semua yang telah kalian berikan dan lakukan untuk penulis, semoga
penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca.
Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan, kekhilafan,
dan kesalahan, oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat
Kepada Allah SWT jugalah penulis memohon, semoga amal baik yang telah
kalian sumbangkan menjadi amal soleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari
Allah SWT Amin.
Jakarta, 8 Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah……….. 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………... 5
D. Tinjauan Pustaka……….. 6
E. Metode Penelitian………... 6
F. Sistematika Penulisan………... 8
2. Rukun Ijma‟………. 12
3. Syarat-syarat Ijmā‟……….. 14
4. Macam-macam Ijma‟………... 17
5. Kedudukan Ijma‟………. 18
B. HUKUM PIDANA ISLAM 1. Pengertian Hukum Pidana Islam………..……….. 22
2. Asas-asas Hukum Islam……….… 23
3. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam……….… 24
4. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam………... 24
5. Tujuan Hukum Pidana islam……….. 25
BAB III JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’ A. Biografi Imam Nawawi………... 26
B. Pengenalan Kitab Majmu‟………... 31
C. Pembahasan Bab Jinayah dalam Kitab Majmu‟……….. 32
BAB IV IJMA’ MENURUT KITAB MAJMU’ DALAM HAD ZINA A. Hukuman Zina Bagi Orang Yang Telah Bernikah……..….... 38
B. Hukuman Bina Bagi Yang Belum Bernikah……… 42
C. Pensabitan Zina……… 44
D. Terhalang Had Karena Subha………. 46
F. Liwat……… 48
G. Memelihara Kemaluan………. 50
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………... 52
B. Rekomendasi……… 53
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih sayang dan kesetaraan.
Tidak hanya kesamaan di depan hukum, tetapi hukum Islam memberikan hak yang
setara kepada setiap orang berdasarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat.
Dari kutipan rifqy yatunnisa dalam pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu “Asas
dan pijakan syari‟at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan, kehidupan
duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan
dan hikmah kehidupan masyarakat; dan (syari‟at Islam) sebaliknya yang menentang
segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan.”1
Sepertimana diketahui Islam sangat menitik beratkan mengenai lima Hak
Asasi dasar manusia
(
)
yaitu agama, nyawa, akal, martabat danharta. Islam memerintahkan umatnya untuk menikah dan melahirkan anak bukan
melakukan perbuatan zina, dan juga menganjurkan untuk tidak hidup sendiri. Secara
fitrah, menikah akan memberikan ketenangan bagi setiap manusia, asalkan
pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah SWT. Hampir setiap mukmin
mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakinah,
1
mawaddah, warahmah.2 Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan
keluarga yang sesuai dengan tujuan pernikahan adalah suatu hal yang tidak
gampang.3
Zina (bahasa Arab: , kata dasar masdar daripada zana-yazni) adalah
perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan,4 atau hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang belum atau tidak ada ikatan nikah, yang ada ikatan nikah
yakni (seperti nikah tanpa wali, nikah mut‟ah, dan hubungan beberapa laki-laki
terhadap hamba perempuan yang dimiliki secara bersama) atau ikatan pemilikan
(tuan atas hamba sahaja). Zina termasuk salah satu daripada tujuh dosa besar yang
diancam hukuman hadd (hukuman yang ditentukan macam dan jenisnya oleh syarak
dan merupa akan hak Allah Swt).5
Sebagaimana firman Allah tidak akan menjadikan manusia itu seperti makluk
lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan hubungan antara laki-laki dengan
perempuan secara anarkis. Tetapi untuk menjaga kehormatan dan martabatnya,
sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan atas
saling ridho-meridhoi. Di dalam kehidupan masyarakat banyak orang yang tidak
kenal dengan dosa, banyak perzinaan terjadi dimana-mana baik di kota maupun di
desa karena pergaulan bebas dan tidak ada bimbingan orang tua kepada anak,
2
Ibid, h. 2.
3
Afif Waldy, Wanita-Wanita yang Dilarang Dinikahi dalam Prespektif al-Quran dan Adat di Minangkabau, 2010, h. 1.
4
http://id.wikipedia.org/wiki/Zina
5
terutama pada kaum remaja yang harapannya masih panjang namun masa remaja
digunakan untuk bermaksiat sehingga banyak free sex (sex bebas) terjadi di kalangan
remaja, padahal itu termasuk perbuatan perzinaan yang dilarang oleh Allah dan
termasuk dosa besar. Bahkan wanita hamil di luar pernikahan mereka anggap itu
peerbuatan yang biasa karena dilakukan suka sama suka, akan tetapi itu menentukan
keabsahan seorang anak yang dikandungnya. Untuk menjaga keluarga bahkan
masyarakat agar tetap utuh dan damai, salah satu larangan dalam Islam adalah
larangan berbuat zina, Islam melarang zina dengan hukuman bagi pelanggarnya,
karena zina dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara
individu maupun masyarakat. Sebagaimana Allah SWT dengan tegas melarang zina
dengan firman-Nya:
Artinya: “Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat (yang membawa kerosakan). (32 :ء ا)
Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina
muhshan dan ghairu muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki
pasangan sah (menikah). Sedangkan pezina ghairu muhshan adalah pelaku yang
belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Di bawah hukum Islam,
perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, hubungan seksual
oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan laki-laki atau perempuan
Islam untuk para penzina adalah jika pelakunya muhshan, mukallaf (sudah baligh dan
berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dirajam sampai dengan batu
sehingga mati. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali,
dan buang daerah atau diasingkan selama setahun.6 Jika seorang hamba, laki-laki atau
wanita berzina dan mereka telah disabitkan melakukan jenayah tersebut mereka akan
dihukum. Hukuman zina bagi hamba wanita dan laki-laki separuh yaitu 50 kali
cambuk dan dibuang negeri selama setengah tahun, tidak dikira sama ada mereka
muhshan atau ghairu muhshan. Kedudukan hamba laki-laki boleh disamakan dengan
hamba wanita karena mereka mempunyai status yang sama yaitu hamba.7
Penulis mengkaji kitab ini adalah kitab al-Majmu‟ karya An-Nawawi
merupakan referensi fikih terbesar yang penuh dengan pendapat-pendapat fikih
keempat imam madzhab dan lain-lainnya, sekalipun fokus pembahasannya di tingkat
pertama madzhab Asy-Syafi'i secara khusus dan fikih Islam, kitab al-Majmu' juga
merupakan khazanah terbesar bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan
konsep-konsep dasar dari hukum Islam yang membuat para ulama setelahnya kagum. Kitab
Al-Majmu ' berbeda dari kitab-kitab fikih induk lainnya, dimana cakupan isinya
memuat seluruh pendapat-pendapat madzhab berikut dalil-dalilnya disamping
menyebutkan pentarjihan diantara pendapat-pendapat ini. 8
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Zina.
7
Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 1978.
8
Secara umum untuk mengetahui secara mendalam berkaitan dengan
penggunaan ijmā‟ dalam kitab al-majmū‟ yang tertumpu dalam bab jināyah
khususnya dalam bab zina. Secara umumnya, seperti yang diketahui ijmā‟ merupakan
salah satu sumber undang-undang Islam yang tergolong di dalam sumber yang tidak
bertentangan. Ijma‟ adalah sumber yang ketiga selepas al-Quran dan as-Sunnah. Oleh
yang demikian, ijmā‟ diistilahkan sebagai salah satu kaedah hukum yang digunakan
untuk menetapkan sesuatu hukum yang boleh disepakati jika berlaku perselisihan dan
hukum tersebut tidak terdapat dalam al-Quran atau as-Sunnah.9
Berdasarkan latar belakang dan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk
melakukan kajian tentang jinayah khususnya jarimah zina dalam sebuah skripsi
dengan judul: “IJMA’ DI BIDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK
PIDANA ZINA DALAM KITAB Al-MAJMU’)”
B.Pembatasan dan Perumusan masalah
Untuk menghindari kesalah pahaman serta mencapai suatu persepsi dalam
masalah yang hendak penulis bahas dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu
untuk memberikan suatu batasan dan perumusan terhadap masalah yang akan dikaji.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan
di bahas dalam skripsi ini adalah apa yang telah menjadi ijma‟ dalam kitab majmu‟
dalam tindak pidana zina.
9
C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui hal-hal
yang telah diijma‟kan dalam kasus pidana zina dalam kitab majmu‟.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat kita simpulkan manfaat adalah
dari penelitian ini:
1. Memberi pengetahuan dan informasi tentang Ijma‟ dalam kitab al-Majmu‟
khusus zina.
2. Menambah wawasan bagi para akademis dan pembaca tentang Ijma‟ satu kajian
kitab Al-Majmu‟ yang menjadi fokus dalam zina.
3. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dan
sekaligus pengembangkan khazanah keilmuan di bidang fiqh jinayah.
D.Tinjauan Pustaka
Dalam menentukan kajian tinjauan pustaka, penulis melakukan rujukan di
dalam kitab majmu‟ seperti buku karangan Imam al-Hafizh Syaikhul Islam
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad
ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi. Ada juga yang membahas kitab majmu‟ siti
hajar mohd taib dalam tesis di Malaysia yang berjudul ijma‟ dalam bab jinayah dan
E. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), yaitu kajian melalui penelitian pembacaan berbagai literatur karena sumber
penelitian dan data hendaklah lebih di fokuskan pada studi pustaka.
2. Sumber Data
Adapun sumber-sumber data yang di gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
sebagai :
a. Data Primer: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data langsung
diperoleh dari sumber yang asli atau data utama di lokasi atau objek penelitian.
b. Data Sekunder: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data diperoleh
dari sumber kedua atau pendukung dari data yang dibutuhkan. Data ini akan
didapatkan dalam bentuk buku-buku, dokumen dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan objek penelitian.
c. Data Tertier: Data tertier merupakan data pelengkap yang terdiri dari kamus,
jurnal, artikel dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih bersifat faktual, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara yaitu teknik pengumpulan data melalui metode Penelitian
4. Metode Dokumentasi
Dalam metode ini, penulis mengambil informasi yang berasal dari buku-buku
fiqh, jurnal, majalah, dan juga contoh yang berasal dari latihan ilmiah yang di jadikan
sebagai rujukan. Keadaan ini sedikit banyak dapat membantu penulis untuk
menguraikan dan menambahkan informasi dengan lebih terperinci, penulis
mengaplikasikan metode ini dalam bab dua.
5. Metode Analisis Data
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan
menggunakan metode analisis data untuk menganalisis semua data-data tersebut satu
persatu yang diperoleh dari hasil kajian tersebut. Ketika menganalisis data, penulis
melibatkan proses penelitian, penilaian dan penyusunan bagi keseluruhan data yang
diperoleh.
6. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudahkan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh,
penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas sub-sub bab yang
menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab kedua pada skripsi ini penulis memberikan gambaran terlebih dahulu
landasan teori terbagi kepada dua yaitu ijma‟ dan hukum pidana Islam. Ijma‟ terbagi
dari pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat-syarat ijmā‟, macam-macam ijma‟,
kedudukan ijma‟. Hukum pidana Islam terbagi kepada pengertian hukum pidana
Islam, asas-asas hukum Islam, unsur-unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup
hukum pidana Islam, tujuan hukum pidana islam.
Bab ketiga pada skripsi ini yang membahaskan tentang jinayah dalam kitab
majmu‟, uraian tentang biografi imam nawawi, pengenalan kitab majmu‟,
pembahasan bab jinayah dalam kitab majmu‟.
Bab keempat pada skripsi ini yang membahaskan ijma‟ menurut kitab majmu‟
dalam had zina terbagi kepada beberapa bagian adalah hukuman zina bagi orang yang
telah bernikah, hukuman zina bagi yang belum bernikah, pembuktian zina, terhalang
had karena syubhat, menyetubuhi dalam akad nikah yang fasid (rusak), liwat, dan
memelihara kemaluan.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi
BAB II
LANDASAN TEORI A. IJMA’
Ijma merupakan salah satu sumber hukum Islam yang tergolong dalam
sumber yang disepakati oleh seluruh ulama mazhab, walaupun berbeda dalam
memposisikan atau porsi penggunaan ijma‟. Seperti mazhab Syafi‟i yang
memposisikan pada urutan yang ketiga.
Penulis akan membahas dalam bab kedua ini terbagi kepada dua macam yaitu
ijma, dan hukum pidana Islam. Dalam pembahasan ijma‟ terbagi beberapa macam
yaitu dari sudut pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat ijma‟, macam ijma‟, kedudukan
ijma‟ terbagi (Al-Qur‟an, Hadis, dan dalil akal), dan menurut hukum pidana Islam
pula terbagi beberapa macam yaitu pengertian hukum pidana islam, asas hukum
Islam, unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup hukum pidana Islam, tujuan hukum
pidana Islam.
1. Pengertian Ijma’
a. Ijmā’ Menurut Bahasa
Dalam bahasa arab kata ijma‟ berasal dari
ْ
-
ْ
memiliki dua arti:ijma‟ kesepakatan.10 Pengertian ijma‟ menurut
kamus muhid karangan Fairuz Abadi,
ijmā‟ ialah:
"
ْ إّْ
:"
ْ ْ ْ أْ
، ْ
ف ْخّ ص
إّْ
ْإْ فْ ْ
ْ إْ
."
11Artiya: “Persepakatan dalam menyelesaikan perkara yang menjadi perselisihan”.
Sedangkan pengertian ijma‟ menurut kitab Mu‟jam al-Thullab karangan Dr
Yusuf Shukri Farhad ialah:
"
ْ ّ
-ْفإْ ْإ
ْ إْ ْكْأ إ ْش ْ
."
12Artinya: “Lafaz yang menunjukkan kepada persepakatan dan mengelakkan
perselisihan”.
b. Ijmā’ Menurut Istilah
Pengertian ijma‟ menurut istilah syed Muhammad Bakira as-Sadri ialah:
"
ْ إْ
:
ْ
ْ ف ْ ْ ْ ْ ّ ْ ْ ك
إ
ْ ش ْ
ْ إ
."
13Artinya: “Persepakatan daripada sebilangan besar golongan mujtahid dan
mengeluarkan fatwa di dalam hukum yang berkaitan dengan syara‟”.
Pengertian ijmā‟ dari sudut istilah ini juga banyak diambil dari berbagai kitab,
di mana penggunaannya banyak digunakan oleh para pengarang kitab usul.
" ش
"
ّ ْ ْ ْ ْ ْ
إ
)
ص
(
ْص ف ف ْ
ْ ش ْ
ْ ص ْ ْ
."
14 10Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 112.
11
Fairuz Abadi. KamusMuhid. Muasasah Risalah. h. 917.
12
Yusuf Shukri Farhad. Mu‟jam Al-Thullab.(Lubnan: Darul Kitab Al-Ilmiah), h. 101.
13
Artinya: “Adalah kesepakatan seleuruh ulama mujtahid dari umat nabi muhammad SAW setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap hukum
syari‟at”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ijma‟ merupakan consensus
atau kesepakatan seluruh mujtahid Muslim, tentang satu kasus hukum yang berlaku
pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum
syara‟.15 Hukum syara‟ adalah kesepatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum
amaliah dan tidak menjangkau kepada masalah aqidah. Pada suatu permasalahan
terhadap hukum syari‟at, jelaslah bahwa tidak dapat dikatakan ijma‟ kalau yang
berpendapat hanya sebagian Mujtahid sahaja, juga tidak dikatan ijma‟ yang
diputuskan sahabat pada saat Nabi masih hidup, karena setiap permasalahan yang
belum ditemukan hukumnya akan dikembalikan kepada Nabi. Kemudian Nabilah
yang akan memutuskan hukumnya. Pada hakikatnya ijma‟ itu mesti bersandar kepada
ketentuan-ketentuan yang berdasarkan al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
permasalahan yang terjadi.16
2. Rukun Ijma’
Dengan demikian yang menjadi unsur pokok ijma‟ sekaligus merupakan suatu
tonggak yang akan menentukan pendapat itu dikatakan ijma‟ atau bukan. Dengan
demikian suatu pendapat dapat dikatakan sebagai ijma‟ apabila memenuhi syarat dan
14
Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. (Damaskus: Daar Fikr. 1994 M) cet 1 h. 46.
15
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115.
16
rukun-rukun dari ijma‟ tersebut, jumhur Ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa
rukun ijma‟ yaitu:17
a. Seluruh mujtahid sepakat dengan apa yang mereka putuskan, apabila ada di
antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum
yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukuman ijma‟.
b. Mujtahid yang terlibat dalam memutuskan perkara tersebut adalah seluruh
mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
d. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan
tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Quran.
e. Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Quran dan hadits Rasulullah
SAW.
Apabila sudah tercapai rukun-rukun di atas yaitu bila telah berkumpul dan
bertemu semua ulama Mujtahid Muslim dan dihadapkan kepada mereka suatu kasus
yang memerlukan putusan hukum, kemudian setiap mujtahid mengemukakan
pendapat dengan alasan yang terang dan jelas, baik dengan ucapan perkataan dan
perbuatan, secara bersama-sama atau secara terpisah, ternyata pendapat mereka
17
tentang hukum tersebut sama tanpa ada perbedaan perndapat, maka hukum syara‟
yang disepakati tersebut menjadi wajib dan mengikat bagi seluruh umat muslim.18
3. Syarat-syarat Ijmā’
Selain kelima rukun yang dikemukakan di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh
mengemukakan bahwa juga mensyarat ijma‟ yaitu:
a. Ijmā‟merupakan dasar hukum syara‟ yang hanya boleh dilaksanakan sesudah
wafatnya Rasulullah SAW.
b. Ahli ijtihad ataupun mujtahid hendaklah memenuhi syarat-syarat seperti
mengetahui bahasa arab, menguasai al-Quran dan nasikh mansukh, menguasai
sunnah, mengetahui yang disepakati dan diperdebatkan, mengetahui qiyas dan
macam-macamnya, menguasai tujuan hukum, baik pemahamannya, dan baik
niat aqidahnya.19
c. Persepakatan itu hendaklah dilahirkan oleh setiap orang dari pada mereka
secara tegas terhadap peristiwa itu.20
d. Di waktu terjadinya peristiwa (persepakatan) itu, harus ada beberapa orang
mujtahid dan seluruh mujtahid kaum muslimin menyetujui hukum syara‟ yang
telah mereka putuskan. 21
18
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115.
19
Abu Zahrah, Ushul fiqh, (Kairo: Darul fikr al-Arabi, tt), h.302-309.
20
Muhammad Hassan Haitu, Al-Wajiz fi Usul Al-Tasyri' Al-Islami, (Muassasah Al-Risalah, 1984) Cet. 2, h.314; Drs. Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), Cet. 1. H. 84-85.
21
Syarat di atas ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat
lain, tetapi tidak disepakati para ulama, di antaranya:22
a) Para mujtahid itu adalah sahabat.
b) Mujtahid itu kerabat Rasulullah SAW.
c) Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
d) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya
seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
e) Tidak terdapat hukum ijma‟ sebelum yang berkaitan dengan masalah yang
sama.
Syarat di atas memberikan penjelasan bahwa yang dikatakan syarat ijma‟
dikategorikan dua yaitu, disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh dan tidak disepakati
para ulama. Apabila yang tidak disepakati para ulama syarat pertama dan kedua ini,
para ulama ushul fiqh menyebut dengan ijma‟ sahabat. Sebagian para ulama ushul
fiqh pendapat bahwa ijma‟ klasik dan modern telah membahas persoalan
kemungkinan terjadinya ijma‟, dan kebanyakan pendapat ulama atau jumhur Ulama
meyakini bahwa akan terjadinya ijma‟, terutama pada zaman sahabat karena
kedekatan tempat tinggal dan emosional mereka.
Sebagian pengikut Syi‟ah di antaranya Al-Nazham mengatakan bahwa apabila
mengikuti syarat dan rukun ijma‟ diatas tidak mungkin ijma‟ terjadi menurut
lazimnya. Karena tidak mungkin merealisasikan rukun dan syarat ijma‟ secara
22
penuh, ketentuan ijma‟ yang telah ditetapkan itu tidak mungkin terbentuk
berdasarkan adat. Disebabkan sulitnya melakukan ijtihad dengan pemenuhan
unsur-unsur yang telah ada23, maka banyak penyebab mereka mengatakan bahwa ijma‟ ini
tidak mungkin atau sulit untuk dilaksanakan diantaranya, yaitu:24
1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah
seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan
seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal tidak ada lembaga
pendidikan yang menghasilkan mujtahid.
2. Kalau pun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk
menyatakan seseorang telah mencapai derajat serta dapat pula diketahui
mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun pendapat
mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara
menyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka
berada dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta
berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. Tidak mungkin
mengumpulkan mereka secara fisik atau mengumpulkan pendapat mereka
secara kolektif atau secara perorangan.
3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh
dunia ini dan dapat menghimpun pendapat mereka menurut cara yang
meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap mujtahid yang
23
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu usul fiqh. (Bandung: Gema Risalah Press. 1968) terj. Cet. 7 h. 87
24
telah mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah itu tetap
pada pendiriannya sampai terkumpul pendapat mereka semua, karena syarat
melangsungkan ijma‟ itu ialah bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu
masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma‟ tersebut.
4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu adalah
sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi, sedangkan hakikat ijma‟ itu adalah
kebulatan pendapat atau kesepakatan.
Kemungkinan terjadinya ijma‟ jumhur Ulama mengatakan bahwa itu sangat
mungkin terjadi, terutama di zaman sekarang ini yang semua komunikasi semakin
memudahkan dalam melacak siapa sahaja yang sanggup untuk menjadi mujtahid.
Adapun ijma‟ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad
Abu Zahrah, Khudari Bek, „Abdul Wahhab Khalaf, Fathi al-Duraini (guru besar fiqh
dan ushul fiqh di Universitas Damaskus, Syria) dan Wahbah al-Zuhaili, mengatakan
bahwa ijma‟ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat
masih berada pada satu daerah.25
4. Macam-macam ijma’
Apabila Mujtahid telah berkumpul dan mereka mengemukakan pendapatnya,
dan ada sebagian Mujtahid memberikan pandangannya sedangkan yang lain tidak
25
memberikan pandangannya. Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap
hukum syara‟ para ulama ushul fiqh membagiijma‟ kepada dua bagian yaitu:26
a. Ijma‟ shorih
Ijama‟ shorih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui dalam pendapat
maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan
dalam forum ijma‟ yang setiap mujtahid memberikan alasan yang jelas dan semuanya
sepakat dalam memutuskan hukum tersebut.
b. Ijma‟ sukuti
Ijama‟ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang
hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan ijma‟ yang sebagian ulama
memberikan pendapatnya dan sebagian yang lain tidak memberikan pandangan
apa-apa hanya diam.
5. Kedudukan Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma‟ menempati salah satu
sumber atau dalil hukum sesudah al-Quran dan Sunnah, ini berarti ijma‟ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah. Menurut syar‟i pada urutan
yang ketiga setelah al-quran dan sunnah yang berdiri sendiri, untuk menguatkan
pendapatnya jumhur mengemukakan beberapa dalil yang menguatkan. Dasar hukum
ijmā‟ bersumber dari al-Quran, al-Hadits dan dalil akal.
26
a. Al-Quran
Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 115
Artinya: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu27 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Dalam ayat ini, “jalan yang bukan orang mukmin” ini diartikan sebagai yang
telah kesepakatan untuk dilakukan orang-orang mukmin.
Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 59
)
أ ّ
/
۵۹
(
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman , taatlah kamu kepada Allah dan
taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada “ Uli‟l-Amri” (orang-orang yang
berkuasa) dari kalangan kamu..”
Perintah mentaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti
perintah untuk mematuhi ijma‟, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang
mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam
hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu
hukum, inilah yang disebut ijma‟.
27
Firman Allah SWT dalam Surah Ali „Imran: 103
)
-/
۳.۱
(
Artinya: “ Dan berpegang teguhlah kamu sekelian kepada tali Allah (agama Islam), dan jangan kamu bercerai-berai.”
Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah, usaha menentang
ijma‟ berarti berpecah belah. Hal itu adalah terlarang, tidak ada arti kedudukan ijma‟
sebagai hujah kecuali larangan untuk menyalahinya.
b. Al-Hadits
Apabila para mujtahid telah melakukan ijmā‟tentang hukum syara‟ dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijmā‟ tersebut harus diikuti karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan, maksiat atau berdusta.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda:
"
ْ
ْ ه ص ه ْ ْ
:
ْ ْ ا إ إ
اض
"
Artinya: “Aku (Anas bin Malik) telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat melakukan kesesatan”28 (Riwayat Ibn Majah).
28 Ali Mohammad Mua‟wwidh,& Adil Ahmad Abdul Majid.
c. Dalil Akal
Yakni apabila sahabat menghukum salah seseorang yang melanggar hukum
yang telah dipersepakati, mengikuti hukum yang disepakati itu adalah wajib karena
sahabat tidak akan menghukum seseorang itu kecuali seseorang tersebut telah terbukti
melanggar suatu hukum yang bertentangan dengan hukum syarak. Maka melanggar
hukum yang telah disepakati adalah menyalahi syarak dan perkara yang disepakati itu
adalah kehujjahan.29
Akan tetapi Ulama Syi‟ah berbeda pendapat dengan ahl al-sunnah, mereka
tidak menganggap ijma‟ sebagai dalil yang berdiri sendiri seperti pendapat Ahl al
-Sunnah. Syi‟ah mendudukkan ijma sebagai penyingkap atau penjelas adanya ijma‟
dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Ulama
Khawarij menerima ijma‟ dalam waktu terbatas, yaitu sebelum terjadi perpecahan
umat Muslim mulai masa umar. Karena setelah masa perpecahan sangat sulit untuk
mendapatkan kesepakatan.
B. Hukum Pidana Islam
Dalam bab kedua ini, penulis akan membahas secara umum tentang hukum
pidana Islam (jinayah). Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang
mengandungi kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.
Syariat Islam dimaksudkan, secara materiil mengandungi kewajiban asasi bagi setiap
29
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu
menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri
sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang
kewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT yang dimaksudkan,
harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fikih
jinayah terdiri dari dua kata fikih dan jinayah. Kata fikih secara bahasa berarti faham.
Sedangkan menurut istilah:
ّ ص
ّ
ش
أ
ص
ّ
ش
أ
.
Artinya: “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”30
Sedangkan kata jinayah secara bahasa berarti nama dari perbuatan yang
buruk, sedangkan menurut istilah:
غ
ء ش
ف
ك
Artinya: jinayah adalah sebuah nama dari perbuatan yang diharamkan syariat, baik dalam bentuk tindakan terhadap tubuh (jasmani), atau terhadap harta, dll.31
30
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. II, 2006, h. 1.
31
Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al „Araby, Beirut,
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud dari kalimat
Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari
Al-quran dan hadits.32 Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam
yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah SAW. Oleh karenanya, pada zaman
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum
publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa
yang sah atau ulil amri. Pada masa itu diterapkan oleh Rasulullah SWT sendiri dan
kemudian diganti oleh Khulafaur Rasyidin.
2. Asas-Asas Hukum Islam
Asas-asas hukum Islam berasal dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad
SAW baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Diantara asas-asas yang
ada dalam nash sebagai berikut:
a. Asas keadilan, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58.
b. Asas manfaat, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 92. Yang
menentukan sanksi (sanksi yang mengandung manfaat) bagi pelaku
pembunuhan tidak sengaja berupa memerdekakan budak, diyat atau kafarat.
c. Asas keseimbangan, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat
178-179 dan surat an-Nisa‟ ayat 92-93.
32
d. Asas kepastian hukum, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15.
e. Asas dilarang memindahkan kesalahan kepada orang lain, sebagaimana
termaktub dalam surat al-Isra ayat 15, an-Najm ayat 38-39, al-Fathir ayat 18
dan Luqman ayat 33.
f. Asas praduga tidak bersalah.
g. Asas legalitas, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58-59 dan
105, surat al-Hasyr ayat 7, al-Isra ayat 15.
h. Asas tidak berlaku surut, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15
dan al-Anfal ayat 38.
i. Asas pemberian maaf, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat
178 dan 109, an-Nisa‟ ayat 92, dan Ali Imran ayat 134.
j. Asas musyawarah, sebagimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 159,
Asy-Syura ayat 38.
k. Asas taubat dan asas kondisiona sebagimana termaktub dalam surat
al-Baqarah ayat 178 dan an-Nisa‟ 92.
l. Asas ekualitas (equality before the law), sebagaimana termaktub dalam surat
al-Hujurat ayat 13, an-Nisa‟ ayat 58 dan 135.
c. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam
Menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam,
a. Secara yuridis normatif adalah mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang
dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu yang diperintahkan oleh
Allah SWT. (Pencipta manusia).
b. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang
secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
d. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam
Ruang lingkup hukum pidana Islam adalah meliputi perzinaan (termasuk
homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf),
pencurian, meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh atau melukai
seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan
semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
e. Tujuan Hukum Pidana Islam
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan
kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman
masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar
dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai
keadilan, namun tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat
oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Baik yang termuat di dalam al-Quran
maupun yang terdapat di dalam hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil segala yang bermafaat dan
BAB III
JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’
A.Biografi Imam Nawawi
Imam al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf
ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi.
Nama beliau dikaitkan dengan Nawa, sebuah desa yang terletak antara daerah Hauran
dan Syiria yang kemudian berubah menjadi Damaskus. An-Nawawi lahir pada bulan
Muharram tahun 631 H (1233 M) di Desa Nawa. Memasuki usia sepuluh tahun,
an-Nawawi mulai belajar menghafal al-Qur‟an dan belajar ilmu fikih kepada salah
seorang guru di sana. Kebetulan pada waktu itu ada seorang guru besar bernama
Yasin ibnu Yusuf al-Marakisyi sedang berada di desa tersebut, guru menemui orang
tua an-Nawawi dan memberikan nasihat supaya anaknya menghabiskan waktunya
untuk menuntut ilmu. Dengan senang hati, orang tua an-Nawawi menerima nasihat
tersebut.33
Pada tahun 649 H (1251 M) an-Nawawi merantau ke kota Damaskus untuk
menuntut ilmu di lembaga pendidikan Dârul Haîts, beliau memilih untuk tinggal di
asrama Madrasah ar-Rawahiah yang terletaknya berdekatan dengan masjid
Umawiyah di sebelah timur. Pada tahun 651 H, an-Nawawi menunaikan ibadah haji
bersama ayahnya, kemudian imam an-Nawawi kembali pulang ke Damaskus. Pada
33
tahun 665 H (1266 M), an-Nawawi diberi tugas mengajar di Madrasah Darul Hadits
pada bidang studi ilmu pendidikan, pada ketika itu usianya baru memasuki 34 tahun.
Beliau menghabiskan waktunya di lembaga tersebut sampai wafat. Selama berada di
Damaskus, kehidupan intelektual an-Nawawi sangat menonjol. Pada masa remaja,
an-Nawawi gigih menuntut ilmu dan berusaha mempelajari semua bidang ilmu.
Beliau sangat ahli di bidang bacaan dan hafalan, dalam kurun waktu empat setengah
bulan hafal kitab Tanbiih dan di penghujung tahun yang sama hafal seperempat
bagian ibadah dari kitab al-Muhadzab.34 Beliau sering menghafal kitab-kitab matan,
dan setiap hari beliau mampu membaca dua belas mata kuliah. Beliau juga mampu
memberikaan komentar dalam bentuk syarah (penjelasan para ulama tentang
kitab-kitab) yang sulit, menjelaskan ungkapan-ungkapan, dan mengedit bahasa.35 Ada
seorang guru yang bernama Syaikh Abu Ibrahim Ishaq ibnu Ahmad al-Maghribi
merasa sangat senang dengn an-Nawawi karena beliau dalam waktu relatif singkat
berhasil menjaring banyak ilmu yang sangat mengagumkan sehingga gurunya
mempercayai untuk mengajar di forum pengajiannya.
Para penulis biografi sepakat bahwa sosok an-Nawawi adalah seorang yang
terkenal sangat zuhud dan wara‟ (berhati-hati), selain dikenal piawi dalam
memberikan pandangan tentang masalah-masalah hukum beliau juga sangat rajin
mengamalkan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar. Sikap zuhud an-Nawawi terlihat
dengan jelas dari pola hidupnya yang sangat sederhana, beliau seakan-akan tidak
34
Ibid, h. 16.
35
pernah tenggelam dalam kenikmatan makanan, pakaian, dan perkawinan. Sebagai
ganti dari semua itu beliau sudah merasa cukup dengan kenikmatan ilmu, sebagai
penduduk desa an-Nawawi memang pernah merantau ke kota metropolitan Damaskus
yang penuh dengan kenikmatan serta saranan-saranan kesenangan duniawi. Tetapi,
beliau sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal tersebut, padahal saat itu usianya
masih cukup muda. An-Nawawi memilih dalam di dunia keilmuan dengan tetap
mempertahankan gaya hidupnya sebagai orang desa yang lugu dan sangat bersahaja.
Sikap wara‟ an-Nawawi tidak mau memakan sayuran yang berasal dari kota
Damaskus. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Soalnya di Damaskus
banyak tanah waqaf berupa lahan-lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang
menyalahgunakan fungsinya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan
umum.” Itulah yang membuatnya harus berhati-hati. Selama di Damaskus beliau
lebih senang tinggal di asrama Madrasah ar-Rawahiah daripada di tempat-tempat
lain, karena para donator madrasah ini adalah kaum pedagang yang terkenal sangat
jujur.36
An-Nawawi sebagai guru di lembaga pendidikan Dârul Hadîts mendapat gaji
yang cukup besar. Namun, beliau tidak pernah mengambil gajinya. Beliau sengaja
mengumpulkan gajinya di tangan bendahara madrasah setelah gajinya terkumpul
setahun kemudian mengambilnya, sebagian beliau gunakan untuk membeli sebidang
tanah dan diwaqafkan kepada lembaga tempat di mana beliau mengajar dan sebagian
36
lagi beliau gunakan untuk membeli beberapa kitab diwaqafkan kepada perpustakaan
lembaga yang sama. An-Nawawi tidak pernah meminta bayaran dari orang lain atas
jasanya, bahkan beliau tidak pernah mau menerima pemberian atau hadiah dari orang
tua, kerabatnya dan siapa pun. Kedua orang tuanya sering mengirimnya pakaian,
makanan, dan keperluan-keperluan yang lain. Kamar di asrama Madrasah
ar-Rawahiah yang beliau tempati sungguh sangat sederhana dan selama tinggal di
Damaskus beliau tidak pernah punya keinginan untuk pindah ke tempat lain, beliau
adalah orang yang sangat sederhana dan tidak banyak menuntut. An-Nawawi belajar
kepada banyak guru. Di antaranya adalah Ar-Anshari, Zainuddin Abdul Da‟im, dan
Imaduddin Abdul Karim Al-Harastani. Beliau juga membacakan sebuah kitab
karyanya sendiri kepada Ibnu Malik. An-Nawawi berhasil mencetak sejumlah ulama
besar, di antara anak muridnya adalah Al-Khathib Shadaruddin Sulaiman Al-Ja‟fari,
Syihabuddin Ahmad bin Ja‟wan, Syihabuddin Al-Arbadi, dan Ala‟uddin bin Al-Ath
thar. Ibnu Abul Fattah, Al-Mazi, dan Ibnu Al-Ath thar biasa meriwayatkan darinya.37
Selain sebagai ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, an-Nawawi juga
dikenal sebagai sosok yang gigih dan pemberani dalam memberikan nasihat. Beliau
berani melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar dengan menggunakan
lisannya. Dan itu beliau lakukan demi berjuang di jalan Allah, dan dengan niat yang
tulus ikhlas tanpa ada pamrih apa pun atau kepentingan pribadi. Karena itulah
an-nawawi dikenal sebagai seorang tokoh yang pemberani dan tidak pernah takut atau
37
celaan siapa pun, beliau punya argument tersendiri dalam setiap tindakannya. Banyak
orang yang datang kepadanya untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah hukum
dan meminta fatwa, beliau selalu menerima mereka dengan ramah dan membantu
mereka memberikan jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi.
Setelah pertempuran melawan pasukan Tartar, Raja Zhahir Baibaras tiba di
kota Damaskus. Seorang menteri ekonomi melaporkan sang Raja tentang banyaknya
lahan perkebunan dari hasil waqaf di kota ini yang tidak digarap, sang Raja segera
mengeluarkan perintah untuk menguasai tanah-tanah itu untuk dijadikan asset milik
kerajaan. Melihat tindakan itu, orang-orang mengadu kepada an-Nawawi. Beliau
segera menulis surat singkat kepada sang Raja: “Apa yang Anda lakukan dengan
menguasai tanah milik kaum muslimin ini jelas sangat merugikan mereka, dan
menurut ulama dari mana pun tindakan Anda itu tidak bisa dibenarkan oleh syariat.”
Karuan saja sang Raja menjadi sangat marah setelah membaca surut itu, beliau segera
mengeluarkan perintah untuk menghapus gaji an-Nawawi dari Negara dab
memecatnya dari jabatannya. Tetapi banyak penduduk yang memberanikan diri
menghadap sang Raja, mereka mengatakan, “Beliau itu guru yang tidak pernah
mendapatkan gaji dan jabatan dari pemerintah.” Mendengar isi suratnya tidak
digubris dan protes mereka pun tidak didengar, dengan berani an-Nawawi
menghadap sang Raja sendiri. Beliau mengucapkan kata-kata yang sangat keras,
kemudian sang Raja bermaksud untuk menghukum Imam an-Nawawi. Tetapi Allah
Pada tahun 676 H (1277 M) an-Nawawi pulang ke Desa Nawa. Setelah
mengembalikan semua kitab yang dipinjamnya dari perpustakaan, beliau berziarah ke
makam gurunya. Di sana beliau berdoa dan menangis, beliau juga mengunjungi
temannya yang masih hidup dan berpamitan kepada mereka. An-Nawawi banyak
menyusun kitab-kitab fikih dan hadits yang amat bermanfaat. Antara lain ialah
Al-Majmu‟, Ar-Raudhah, Minhaj, Syarah Shahiih Muslim, Riyaadhus Shaalihiin,
Al-Adzkaar, Al-Arba‟iin an-Nawawi, Tahdzibul Asmaa‟ wal Lughat, Al-Tibyan dan
kitab-kitab yang berbobot lainnya.38 Beliau bahkan menulis kitab Syarah al-Bukhari
(Fathul Bâri). Tetapi sayang sekali. Sebelum sempat menyelesaikannya, beliau lebih
dulu dipanggil oleh Allah untuk selamanya. Terakhir, setelah menemui orang tuanya
untuk pamit, beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina dan Al-Khalil. Setiba di
desanya kembali, an-Nawawi jatuh sakit dan wafat pada tanggal 24 Rajab tahun 676
H.39 Ketika berita duka ini sampai ke Damaskus, seluruh penduduk kota ini menangis
sedih. Begitu pula dengan penduduk kota sekitarnya, umat Islam berkabung. Menteri
kehakiman Izzuddin Muhammad ibnush Shaigh bersama rombongan datang melayat
ke Desa Nawa untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang ulama
besar. Beliau wafat dalam usia 48 tahun tanpa meninggalkan harta dan anak, karena
selama hidupnya beliau belum sempat menikah demi pengabdiannya di dunia
keilmuan.40
38
Ibid, h. 6.
39
Ibid, h. 7.
40
B. Pengenalan Kitab Majmu’
Kitab al-Majmū‟ adalah kitab yang dikarang oleh Muhyiddin Abu Zakaria
Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu
Hizam an-Nawawi yang lebih dikenal dengan sebutan dengan gelaran Imam Nawawi.
Kitab al-Majmu‟ terdiri dari 26 jilid, kitab ini merupakan salah satu sumber rujukan
utama dalam bidang fiqh karena didalamnya terkandung pendapat empat mazhab
yang terkemuka beserta dengan dalil-dalil yang kuat untuk bagi menjelaskan dan
mengukuhkan pendapat-pendapat mazhab. Kitab al-Majmū‟ ini juga membahas
mengenai pengetahuan yang umum dalam fiqh perundangan, tafsir dan hadits.
Hukum utama yang dibicarakan dalam kitab ini berkaitan dengan lima bab terbesar
dalam fiqh yaitu bab taharah, muamalat, jinayah, munakahat dan ibadah. Penulisan
Imam Nawawi tertumpu kepada konsep penggunaan ijmā‟ yang bersandarkan kepada
dalil al-Quran dan al-Sunnah.41
C.Pembahasan Bab Jinayah
Adapun macam-macam jarimah sebagai berikut:
1. Murtad (keluar dari Islam)
Murtad atau riddah dalam bahasa arab adalah beralih daripada memeluk
Islam kepada memeluk agama lain atau anutan lain, murtad merupakan jenis kufur
41Mohd Najib Mut‟I, Pengenalan ringkas kitab
yang paling keji dan membabitkan hukuman dan implikasi yang amat berat. Dalil
ialah sebagai mana yang dinyatakan oleh firman Allah Taala;
Artinya: Dan sesiapa di antara kamu Yang murtad (berpaling tadah) dari ugamanya (ugama Islam), lalu ia mati sedang ia tetap kafir, maka orang-orang Yang demikian, rosak binasalah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, kekal mereka di dalamnya (selama-lamanya).
Murtad boleh berlaku melalui tiga perkara adalah menolak hukum yang telah
disepakati, melakukan sesuatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh rang kafir,
mengucapkan sesuatu yang bercanggah dengan pegangan Islam.42 Hukuman bagi
kesalahan murtad yang dikenakan kepada laki-laki dan perempuan adalah sama,
apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan berakal melakukan
sesuatu sehingga membawa kepada kemurtadan. Maka mereka tertakluk kepada
hukum adalah pesalah murtad wajib diminta segera bertaubat, pesalah diberi amaran
tentang akibat buruk jika dia masih kekal murtad dan tidak menerima pelawaan
supaya bertaubat, pelasah wajib dibunuh jika masih mempertahankan
kemurtadaannya dan tidak mahu bertaubat.43
42
Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 2042.
43
2. Memberontak
Menurut para imam mazhab sepakat bahwa mengangkat pemimpin
hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim
mempunyai pemimpin yang dapat menegakkan syiar-syiar agama Islam dan dapat
menyelamatkan orang yang teraniaya dari orang-orang dzalim, tidak boleh bagi kaum
Muslim di dunia ini dalam satu waktu mempunyai dua pemimpin. Dan pemimpin itu
tidak boleh seorang perempuan, orang kafir, dan anak yang belum dewasa, dan orang
gila.44 Pemimpin yang sah wajib ditaati perintahnya selama tidak bertentangan
dengan syariat Islam, menghukum mati orang yang tidak taat kepada pemimpin yang
baik hukumnya adalah wajib. Apabila sekelompok orang yang memberontak atau
tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka tidak mempunyai alasan yang jelas,
maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah SWT. Jika
mereka kembali ke dalam jamaah kaum Muslim maka dilarang memerangi mereka,
seperti tidakan terorisme dll.45
3. Zina
Para imam mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar,
yang wajibkan had atasnya. Orang-orang yang berzina dikategorikan dua golongan:
muhshan dan ghairu muhshan, sanksi bagi pezina muhshan adalah rajam. Sedangkan
hukuman bagi ghairu muhshan adalah seratus kali cambuk dan diasingkan selama
44
Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi‟i, (Jawa Tengah: Media Zikir), h. 430.
45
setahun sejauh jarak diperbolehkannya mengqashar shalat, hukuman bagi budak-
laki-laki atau wanita adalah setengah hukuman bagi orang yang merdeka. Hukuman
had itu berbeda-beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina
terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka atau gadis,
dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhshan, seperti orang yang sudah menikah,
duda, atau janda.46
4. Qadzaf (tuduhan zina)
Para imam mazhab sepakat bahwa laki-laki yang berakal, merdeka, dewasa
dan mempunyai hak melakukan pekerjaan berdasarkan kemauannya, apabila
menuduh berzina kepada orang lain yang merdeka, dewasa, berakal, muslimah,
terpelihara, bukan perempuan yang pernah melakukan li‟an, tidak pernah dikenai had
zina dengan zina yang jelas. Bahwa ada lima syarat pada pihak yang dituduh adalah
Islam, baligh, berakal, berakhlak yaitu tidak pernah disabitkan dengan kesalahan zina
sebelum itu, tidak memberi keizinan kepada penuduh untuk menuduh.47 Dan
keduanya tidak di dar al-harb, dan dituntut orang yang dituduh agar dijatuhi
hukuman had, maka yang menuduhnya dikenai hukuman jilid (cambuk) sebanyak
delapan puluh kali tidak boleh lebih. Menuduh dengan sindiran tidak mewajibkan
had, walaupun diniatkan untuk menuduh zina. Menurut pendapat Imam Hanafi dan
46
Ibid, h. 445.
47
Imam Maliki bahwa wajib had, menurut pendapat Imam Syafi‟i bahwa jika diniatkan
menuduh zina dan diterangkan pengertiannya maka yang menyindir dikenai had.
5. Mencuri
Para imam mazhab sepakat bahwa pencuri yang wajib dipotong tangannya
adalah pencurian pertama yang dilakukannya dan orang yang mempunyai anggota
badan yang lengkap. Oleh karena itu, memotong tangannya dimulai dari tangan kiri
pada persendian telapak tangan. Jika mencuri lagi maka dipotong kaki kirinya di
persendian telapak kaki, sedangkan jika termasuk orang yang tidak mempunyai
telapak tangan atau telapak kaki maka dipotong bagian atasnya. Demikian pula jika
kedua anggota badan tersebut lumpuh. Menurut pendapat Abu Hanifah bahwa tetap
dipotong anggota badan yang lumpuh, menurut pendapat Syafi‟i bahwa pencuri yang
tangan kanannya lumpuh dan menurut orang yang ahli bahwa jika tangan tersebut
dipotong, maka tidak ada darahnya tetap dipotong. Sedangkan jika menurut
keterangan orang ahli bahwa bagian tersebut tidak mengeluarkan darah dan dapat
merusak maka yang dipotong adalah bagian atasnya.48
6. Penyamun
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang pernah membunuh dan
merampas harta wajib dikenai hukuman had, walaupun wali korban memaafkan hal
ini dapat membebaskan orang tersebut dari hukuman. Sedangkan orang yang mati
48
sebelum ditangkap tidak dikenai had, adalah hak Allah „Azza wa Jalla, dan yang
dapat dituntut manusia adalah hak manusia saja, seperti jiwa, harta, dan pelukan,
kecuali mereka memaafkannya. Apabila di antara para perampok tersebut terdapat
seorang perempuan, yang ikut membunuh dan merampas harta, lalu tertangkap maka
dikenai hukum bunuh sebagai had atasnya. Menurut pendapat Maliki, Hanifah,
Syafi‟i, Hambali bahwa dibunuh sebagai qishas dan dikenai pertanggungan. Apabila
di antara para perampok terdapat seorang kafir atau budak, atau anak kecil, maka dia
tidak dibunuh. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali tidak dibunuh tetapi
menurut pendapat Maliki dan Syafi‟i bahwa dibunuh.49
7. Minum minuman keras (khamar).
Menurut para imam mazhab sepakat bahwa atas keharaman khamar, Orang
yang menghalalkannya dihukumi kafir. Mereka sepakat bahwa apabila khamar
berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Menurut
pendapat Syafi‟i dan Hanbali bahwa jika khamar berubah menjadi cuka karena
dicampuri dengan sesuatu adalah tidak suci, menurut pendapat Malik bahwa
mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar
menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Menurut pendapat
Hanafi bahwa khamar boleh dibuat cuka, dan apab