• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ijma' di bidang hukum pidana islam (kajian tindak pidana zina dalam kitab al-Majmu')

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ijma' di bidang hukum pidana islam (kajian tindak pidana zina dalam kitab al-Majmu')"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

IJMA’ DI B

IDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK

PIDANA ZINA DALAM

KITAB AL MAJMU’)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh

SITI HAJAR BINTI HALIM NIM: 109045200028

K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R ’I Y Y A H PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Maret 2011 M

6 Rabiul Akhir 1432 H

Penulis,

(3)

KATA PENGANTAR

ه

Subhanallah Sungguh hanya Allah Dzat yang Maha Suci dan Maha

Mengetahui, serta segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang

telah memberikan taufik, hidayah, dan rahmat-Nya kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam untuk junjungan kita, Nabi Muhammad

SAW, para sahabat, keluarga dan seluruh pengikut yang menyeru dengan seruannya,

berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh dengan talinya

(hablullah) sampai akhir zaman.

Alhamdulilah berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis juga menyadari bahwa

selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata atas usaha penulis, tak luput dari bantuan

teman, keluarga dan dari berbagai pihak lainnya. Untuk itu sebagai ungkapan rasa

hormat yang dalam, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga

kepada yth:

1. Pihak pimpinan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah mengizinkan penulis untuk menimba ilmu di sini.

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan penulis izin tinggal

(4)

3. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, sebagai Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Selaku

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada

penulis untuk menyusun skripsi ini.

5. Bapak Dr. Asmawi MA.g dan Afwan Faizin MA. selaku ketua dan

Seketaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak memberi

motivasi dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi

penulis yang dengan sabar telah memberi bimbingan, arahan, dan

masukan kepada penulis hingga skripsi ini selesai. Hanya Allah SWT

yang membalas jasa baiknya kepada penulis.

7. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, pimpinan dan staf Perpustakaan Syariah dan

Hukum, Perpustakaan Utama serta staf yang ada di Internasional Office

yang telah memberikan fasilitas berupa kemudahan tempat penulis

memperolehi berbagai informasi dan sumber-sumber skripsi.

8. Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia atas pengawasan dan kebajikan

yang mengambil alih peranan menjaga seluruh mahasiswa Malaysia di

(5)

9. Teristimewa buat ayahanda Halim Bin Ismail dan Ibunda Rodziyah Binti

Saidon, nenek dan datuk ayahanda dan ibunda serta saudara mara. Terima

kasih yang tidak terkira atas segala curahan kasih sayang, yang menemani,

merawat, kesabaran mengasuh, membesarkan, mendidik, memberikan

motivasi, mendoakan dan mengorbankan segala hal terutama dari segi

keuangan kepada ananda tanpa bosan sehingga ananda dapat

menyelesaikan studi di sini dengan selamat dan sebaik-baiknya.

10.Tidak dilupakan untuk seluruh saudaraku, kakanda Khairul Anwar Bin

Halim dan Siti Sarah Binti halim, dan adinda-adindaku, Siti Balqis Binti

Halim, Siti Khadijah Binti Halim, Khairul Fikri Bin Halim dan Siti Aisyah

Binti Halim. Semoga kalian menjadi anak yang soleh solehah dan insan

yang berguna di dunia dan akhirat.

11.Pihak IPA (Institut Pengajian Al-Azhar) yang telah banyak memberi

pengarahan kepada penulis, yaitu Ustaz Muhammad Zain, Ustaz

Muhaiyat, Sir Haji Wan, Ustaz Zailani, dan Ustazah Hassanah.

12.Pihak KUDQI (Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah) yang telah

memberi kesempatan untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dan banyak

kepada penulis yaitu Ustaz Mahmod Sulaiman selaku Rektor Kudqi, dan

yang lainnya ustaz dan ustazah.

13.Teman- teman seperjuangan angkatan 2009 yang sama-sama menimba

(6)

Rozilawati, Azidah, Al-Suwibah, An-Nur Hidayah, Shaidah, Zudeena,

Najihah, Tuan Syazwani, Syazwani, Aminah, Khadijah, Nasrullah,

Ridzuan Muhamad, Mu‟az, Najmi, Hanzalah, Sukri, Munir, Syammil,

Khalil, Riduan Abd Hamid, Farid, Azahari, Ramadhan, Ukasyah, Sabri,

Zalani, Saifuddin dan Hadi. Serta teman- teman senior dan junior baik dari

KUDQI, APID, atau IPA yang juga sama-sama menimba ilmu di Negeri

Indonesia ini bersama saya. Terima kasih saya ucapkan karena turut

mendoakan kesuksesan, memberi dukungan, turut berpartisipasi, dan

semangat kepada saya demi keberhasilan penulisan karya ilmiah ini. Tidak

lupa ucapan terima kasih kepada sahabat karib saya Muhammad Zulfa Bin

Abd Malek dan keluarganya, terima kasih banyak karena senantiasa

memberi semangat, bimbingan, dukungan, nasihat dan sebagainya kepada

saya. Semoga hubungan yang terjalin ini mendapat rahmat dan ridha dari

Allah SWT selamanya.

14.Teman–teman yang senantiasa terukir dalam memori yakni: Husna,

Elyana, Anis Syamiza, Anis Madihah, Linda, Mumtaz, Imra‟tun, Not

(sakinah), Ca‟un, Zahidah, Sopiah, Syakila, Nisa‟, Nor Naim, Ummi

Kalsum, Saadiah, Hanifah, Saidah, Hamizah, Maziah, Kak Ina, Kak

Saadiah, Munirah, Wani Halim, Islahana, Abdan, Faiz, Kak long, Kak

Hajar Wahab, Kak Hajar Mohamed Taib, Ce‟mi, Kak Ummi, zulaikha,

(7)

KUDQI, teman-teman dari Yayasan Khairiah, Timor Leste, Filipina,

Somalia, Thailand, sahabat UIN Bandung, UIN Lampung, UIN Malang,

teman-teman Indonesia yang telah banyak membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Ali Fahmi, Abd Karim

Munthe dan teman seperjuangan menuntut ilmu bersama penulis, dan

ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas doa kalian, tidak lupa

juga teman-teman di Indonesia yang juga banyak membantu penulis untuk

memahami, dan shering lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam dan

membantu penulis dalam menerjemahkan skripsi ini ke dalam bahasa

Indonesia.

15.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung

maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

sepanjang penyusunan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan niat baik

tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang

lebih baik dari semua yang telah kalian berikan dan lakukan untuk penulis, semoga

penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca.

Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan, kekhilafan,

dan kesalahan, oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat

(8)

Kepada Allah SWT jugalah penulis memohon, semoga amal baik yang telah

kalian sumbangkan menjadi amal soleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari

Allah SWT Amin.

Jakarta, 8 Februari 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah……….. 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………... 5

D. Tinjauan Pustaka……….. 6

E. Metode Penelitian………... 6

F. Sistematika Penulisan………... 8

(9)

2. Rukun Ijma‟………. 12

3. Syarat-syarat Ijmā‟……….. 14

4. Macam-macam Ijma‟………... 17

5. Kedudukan Ijma‟………. 18

B. HUKUM PIDANA ISLAM 1. Pengertian Hukum Pidana Islam………..……….. 22

2. Asas-asas Hukum Islam……….… 23

3. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam……….… 24

4. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam………... 24

5. Tujuan Hukum Pidana islam……….. 25

BAB III JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’ A. Biografi Imam Nawawi………... 26

B. Pengenalan Kitab Majmu‟………... 31

C. Pembahasan Bab Jinayah dalam Kitab Majmu‟……….. 32

BAB IV IJMA’ MENURUT KITAB MAJMU’ DALAM HAD ZINA A. Hukuman Zina Bagi Orang Yang Telah Bernikah……..….... 38

B. Hukuman Bina Bagi Yang Belum Bernikah……… 42

C. Pensabitan Zina……… 44

D. Terhalang Had Karena Subha………. 46

(10)

F. Liwat……… 48

G. Memelihara Kemaluan………. 50

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………... 52

B. Rekomendasi……… 53

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah keadilan, kepedulian, kasih sayang dan kesetaraan.

Tidak hanya kesamaan di depan hukum, tetapi hukum Islam memberikan hak yang

setara kepada setiap orang berdasarkan norma hidup yang berlaku di masyarakat.

Dari kutipan rifqy yatunnisa dalam pernyataan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu “Asas

dan pijakan syari‟at Islam adalah hikmah dan kemaslahatan, kebaikan, kehidupan

duniawi dan ukhrawi umat manusia; semuanya bercitrakan keadilan, kemaslahatan

dan hikmah kehidupan masyarakat; dan (syari‟at Islam) sebaliknya yang menentang

segala bentuk kerusakan, kedzoliman dan kesia-siaan.”1

Sepertimana diketahui Islam sangat menitik beratkan mengenai lima Hak

Asasi dasar manusia

(

)

yaitu agama, nyawa, akal, martabat dan

harta. Islam memerintahkan umatnya untuk menikah dan melahirkan anak bukan

melakukan perbuatan zina, dan juga menganjurkan untuk tidak hidup sendiri. Secara

fitrah, menikah akan memberikan ketenangan bagi setiap manusia, asalkan

pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah SWT. Hampir setiap mukmin

mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakinah,

1

(12)

mawaddah, warahmah.2 Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan

keluarga yang sesuai dengan tujuan pernikahan adalah suatu hal yang tidak

gampang.3

Zina (bahasa Arab: , kata dasar masdar daripada zana-yazni) adalah

perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh

hubungan pernikahan,4 atau hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang belum atau tidak ada ikatan nikah, yang ada ikatan nikah

yakni (seperti nikah tanpa wali, nikah mut‟ah, dan hubungan beberapa laki-laki

terhadap hamba perempuan yang dimiliki secara bersama) atau ikatan pemilikan

(tuan atas hamba sahaja). Zina termasuk salah satu daripada tujuh dosa besar yang

diancam hukuman hadd (hukuman yang ditentukan macam dan jenisnya oleh syarak

dan merupa akan hak Allah Swt).5

Sebagaimana firman Allah tidak akan menjadikan manusia itu seperti makluk

lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan hubungan antara laki-laki dengan

perempuan secara anarkis. Tetapi untuk menjaga kehormatan dan martabatnya,

sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan atas

saling ridho-meridhoi. Di dalam kehidupan masyarakat banyak orang yang tidak

kenal dengan dosa, banyak perzinaan terjadi dimana-mana baik di kota maupun di

desa karena pergaulan bebas dan tidak ada bimbingan orang tua kepada anak,

2

Ibid, h. 2.

3

Afif Waldy, Wanita-Wanita yang Dilarang Dinikahi dalam Prespektif al-Quran dan Adat di Minangkabau, 2010, h. 1.

4

http://id.wikipedia.org/wiki/Zina

5

(13)

terutama pada kaum remaja yang harapannya masih panjang namun masa remaja

digunakan untuk bermaksiat sehingga banyak free sex (sex bebas) terjadi di kalangan

remaja, padahal itu termasuk perbuatan perzinaan yang dilarang oleh Allah dan

termasuk dosa besar. Bahkan wanita hamil di luar pernikahan mereka anggap itu

peerbuatan yang biasa karena dilakukan suka sama suka, akan tetapi itu menentukan

keabsahan seorang anak yang dikandungnya. Untuk menjaga keluarga bahkan

masyarakat agar tetap utuh dan damai, salah satu larangan dalam Islam adalah

larangan berbuat zina, Islam melarang zina dengan hukuman bagi pelanggarnya,

karena zina dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara

individu maupun masyarakat. Sebagaimana Allah SWT dengan tegas melarang zina

dengan firman-Nya:



















Artinya: “Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat (yang membawa kerosakan). (32 :ء ا)

Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina

muhshan dan ghairu muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki

pasangan sah (menikah). Sedangkan pezina ghairu muhshan adalah pelaku yang

belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Di bawah hukum Islam,

perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, hubungan seksual

oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan laki-laki atau perempuan

(14)

Islam untuk para penzina adalah jika pelakunya muhshan, mukallaf (sudah baligh dan

berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dirajam sampai dengan batu

sehingga mati. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali,

dan buang daerah atau diasingkan selama setahun.6 Jika seorang hamba, laki-laki atau

wanita berzina dan mereka telah disabitkan melakukan jenayah tersebut mereka akan

dihukum. Hukuman zina bagi hamba wanita dan laki-laki separuh yaitu 50 kali

cambuk dan dibuang negeri selama setengah tahun, tidak dikira sama ada mereka

muhshan atau ghairu muhshan. Kedudukan hamba laki-laki boleh disamakan dengan

hamba wanita karena mereka mempunyai status yang sama yaitu hamba.7

Penulis mengkaji kitab ini adalah kitab al-Majmu‟ karya An-Nawawi

merupakan referensi fikih terbesar yang penuh dengan pendapat-pendapat fikih

keempat imam madzhab dan lain-lainnya, sekalipun fokus pembahasannya di tingkat

pertama madzhab Asy-Syafi'i secara khusus dan fikih Islam, kitab al-Majmu' juga

merupakan khazanah terbesar bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan

konsep-konsep dasar dari hukum Islam yang membuat para ulama setelahnya kagum. Kitab

Al-Majmu ' berbeda dari kitab-kitab fikih induk lainnya, dimana cakupan isinya

memuat seluruh pendapat-pendapat madzhab berikut dalil-dalilnya disamping

menyebutkan pentarjihan diantara pendapat-pendapat ini. 8

6

http://id.wikipedia.org/wiki/Zina.

7

Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 1978.

8

(15)

Secara umum untuk mengetahui secara mendalam berkaitan dengan

penggunaan ijmā‟ dalam kitab al-majmū‟ yang tertumpu dalam bab jināyah

khususnya dalam bab zina. Secara umumnya, seperti yang diketahui ijmā‟ merupakan

salah satu sumber undang-undang Islam yang tergolong di dalam sumber yang tidak

bertentangan. Ijma‟ adalah sumber yang ketiga selepas al-Quran dan as-Sunnah. Oleh

yang demikian, ijmā‟ diistilahkan sebagai salah satu kaedah hukum yang digunakan

untuk menetapkan sesuatu hukum yang boleh disepakati jika berlaku perselisihan dan

hukum tersebut tidak terdapat dalam al-Quran atau as-Sunnah.9

Berdasarkan latar belakang dan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk

melakukan kajian tentang jinayah khususnya jarimah zina dalam sebuah skripsi

dengan judul: “IJMA’ DI BIDANG HUKUM PIDANA ISLAM (KAJIAN TINDAK

PIDANA ZINA DALAM KITAB Al-MAJMU’)”

B.Pembatasan dan Perumusan masalah

Untuk menghindari kesalah pahaman serta mencapai suatu persepsi dalam

masalah yang hendak penulis bahas dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu

untuk memberikan suatu batasan dan perumusan terhadap masalah yang akan dikaji.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan

di bahas dalam skripsi ini adalah apa yang telah menjadi ijma‟ dalam kitab majmu‟

dalam tindak pidana zina.

9

(16)

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka untuk

mencapai tujuan yang diinginkan dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui hal-hal

yang telah diijma‟kan dalam kasus pidana zina dalam kitab majmu‟.

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat kita simpulkan manfaat adalah

dari penelitian ini:

1. Memberi pengetahuan dan informasi tentang Ijma‟ dalam kitab al-Majmu‟

khusus zina.

2. Menambah wawasan bagi para akademis dan pembaca tentang Ijma‟ satu kajian

kitab Al-Majmu‟ yang menjadi fokus dalam zina.

3. Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dan

sekaligus pengembangkan khazanah keilmuan di bidang fiqh jinayah.

D.Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan kajian tinjauan pustaka, penulis melakukan rujukan di

dalam kitab majmu‟ seperti buku karangan Imam al-Hafizh Syaikhul Islam

Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad

ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi. Ada juga yang membahas kitab majmu‟ siti

hajar mohd taib dalam tesis di Malaysia yang berjudul ijma‟ dalam bab jinayah dan

(17)

E. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research), yaitu kajian melalui penelitian pembacaan berbagai literatur karena sumber

penelitian dan data hendaklah lebih di fokuskan pada studi pustaka.

2. Sumber Data

Adapun sumber-sumber data yang di gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah

sebagai :

a. Data Primer: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data langsung

diperoleh dari sumber yang asli atau data utama di lokasi atau objek penelitian.

b. Data Sekunder: adalah suatu metode penelitian dimana sumber data diperoleh

dari sumber kedua atau pendukung dari data yang dibutuhkan. Data ini akan

didapatkan dalam bentuk buku-buku, dokumen dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan objek penelitian.

c. Data Tertier: Data tertier merupakan data pelengkap yang terdiri dari kamus,

jurnal, artikel dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih bersifat faktual, teknik pengumpulan data

dilakukan dengan cara yaitu teknik pengumpulan data melalui metode Penelitian

(18)

4. Metode Dokumentasi

Dalam metode ini, penulis mengambil informasi yang berasal dari buku-buku

fiqh, jurnal, majalah, dan juga contoh yang berasal dari latihan ilmiah yang di jadikan

sebagai rujukan. Keadaan ini sedikit banyak dapat membantu penulis untuk

menguraikan dan menambahkan informasi dengan lebih terperinci, penulis

mengaplikasikan metode ini dalam bab dua.

5. Metode Analisis Data

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan

menggunakan metode analisis data untuk menganalisis semua data-data tersebut satu

persatu yang diperoleh dari hasil kajian tersebut. Ketika menganalisis data, penulis

melibatkan proses penelitian, penilaian dan penyusunan bagi keseluruhan data yang

diperoleh.

6. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudahkan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh,

penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai

(19)

Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri atas sub-sub bab yang

menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab kedua pada skripsi ini penulis memberikan gambaran terlebih dahulu

landasan teori terbagi kepada dua yaitu ijma‟ dan hukum pidana Islam. Ijma‟ terbagi

dari pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat-syarat ijmā‟, macam-macam ijma‟,

kedudukan ijma‟. Hukum pidana Islam terbagi kepada pengertian hukum pidana

Islam, asas-asas hukum Islam, unsur-unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup

hukum pidana Islam, tujuan hukum pidana islam.

Bab ketiga pada skripsi ini yang membahaskan tentang jinayah dalam kitab

majmu‟, uraian tentang biografi imam nawawi, pengenalan kitab majmu‟,

pembahasan bab jinayah dalam kitab majmu‟.

Bab keempat pada skripsi ini yang membahaskan ijma‟ menurut kitab majmu‟

dalam had zina terbagi kepada beberapa bagian adalah hukuman zina bagi orang yang

telah bernikah, hukuman zina bagi yang belum bernikah, pembuktian zina, terhalang

had karena syubhat, menyetubuhi dalam akad nikah yang fasid (rusak), liwat, dan

memelihara kemaluan.

Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi

(20)

BAB II

LANDASAN TEORI A. IJMA’

Ijma merupakan salah satu sumber hukum Islam yang tergolong dalam

sumber yang disepakati oleh seluruh ulama mazhab, walaupun berbeda dalam

memposisikan atau porsi penggunaan ijma‟. Seperti mazhab Syafi‟i yang

memposisikan pada urutan yang ketiga.

Penulis akan membahas dalam bab kedua ini terbagi kepada dua macam yaitu

ijma, dan hukum pidana Islam. Dalam pembahasan ijma‟ terbagi beberapa macam

yaitu dari sudut pengertian ijma‟, rukun ijma‟, syarat ijma‟, macam ijma‟, kedudukan

ijma‟ terbagi (Al-Qur‟an, Hadis, dan dalil akal), dan menurut hukum pidana Islam

pula terbagi beberapa macam yaitu pengertian hukum pidana islam, asas hukum

Islam, unsur hukum pidana Islam, ruang lingkup hukum pidana Islam, tujuan hukum

pidana Islam.

1. Pengertian Ijma’

a. Ijmā’ Menurut Bahasa

Dalam bahasa arab kata ijma‟ berasal dari

ْ

-

ْ

memiliki dua arti:
(21)

ijma‟ kesepakatan.10 Pengertian ijma‟ menurut

kamus muhid karangan Fairuz Abadi,

ijmā‟ ialah:

"

ْ إّْ

:"

ْ ْ ْ أْ

، ْ

ف ْخّ ص

إّْ

ْإْ فْ ْ

ْ إْ

."

11

Artiya: “Persepakatan dalam menyelesaikan perkara yang menjadi perselisihan”.

Sedangkan pengertian ijma‟ menurut kitab Mu‟jam al-Thullab karangan Dr

Yusuf Shukri Farhad ialah:

"

ْ ّ

-ْفإْ ْإ

ْ إْ ْكْأ إ ْش ْ

."

12

Artinya: “Lafaz yang menunjukkan kepada persepakatan dan mengelakkan

perselisihan”.

b. Ijmā’ Menurut Istilah

Pengertian ijma‟ menurut istilah syed Muhammad Bakira as-Sadri ialah:

"

ْ إْ

:

ْ

ْ ف ْ ْ ْ ْ ّ ْ ْ ك

إ

ْ ش ْ

ْ إ

."

13

Artinya: “Persepakatan daripada sebilangan besar golongan mujtahid dan

mengeluarkan fatwa di dalam hukum yang berkaitan dengan syara‟”.

Pengertian ijmā‟ dari sudut istilah ini juga banyak diambil dari berbagai kitab,

di mana penggunaannya banyak digunakan oleh para pengarang kitab usul.

" ش

"

ّ ْ ْ ْ ْ ْ

إ

)

ص

(

ْص ف ف ْ

ْ ش ْ

ْ ص ْ ْ

."

14 10

Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 112.

11

Fairuz Abadi. KamusMuhid. Muasasah Risalah. h. 917.

12

Yusuf Shukri Farhad. Mu‟jam Al-Thullab.(Lubnan: Darul Kitab Al-Ilmiah), h. 101.

13

(22)

Artinya: “Adalah kesepakatan seleuruh ulama mujtahid dari umat nabi muhammad SAW setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa terhadap hukum

syari‟at”.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ijma‟ merupakan consensus

atau kesepakatan seluruh mujtahid Muslim, tentang satu kasus hukum yang berlaku

pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum

syara‟.15 Hukum syara‟ adalah kesepatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum

amaliah dan tidak menjangkau kepada masalah aqidah. Pada suatu permasalahan

terhadap hukum syari‟at, jelaslah bahwa tidak dapat dikatakan ijma‟ kalau yang

berpendapat hanya sebagian Mujtahid sahaja, juga tidak dikatan ijma‟ yang

diputuskan sahabat pada saat Nabi masih hidup, karena setiap permasalahan yang

belum ditemukan hukumnya akan dikembalikan kepada Nabi. Kemudian Nabilah

yang akan memutuskan hukumnya. Pada hakikatnya ijma‟ itu mesti bersandar kepada

ketentuan-ketentuan yang berdasarkan al-Qur'an dan Hadits dalam suatu

permasalahan yang terjadi.16

2. Rukun Ijma’

Dengan demikian yang menjadi unsur pokok ijma‟ sekaligus merupakan suatu

tonggak yang akan menentukan pendapat itu dikatakan ijma‟ atau bukan. Dengan

demikian suatu pendapat dapat dikatakan sebagai ijma‟ apabila memenuhi syarat dan

14

Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. (Damaskus: Daar Fikr. 1994 M) cet 1 h. 46.

15

Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115.

16

(23)

rukun-rukun dari ijma‟ tersebut, jumhur Ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa

rukun ijma‟ yaitu:17

a. Seluruh mujtahid sepakat dengan apa yang mereka putuskan, apabila ada di

antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum

yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukuman ijma‟.

b. Mujtahid yang terlibat dalam memutuskan perkara tersebut adalah seluruh

mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.

c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan

pandangannya.

d. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟ yang bersifat aktual dan

tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Quran.

e. Sandaran hukum ijma‟ tersebut haruslah al-Quran dan hadits Rasulullah

SAW.

Apabila sudah tercapai rukun-rukun di atas yaitu bila telah berkumpul dan

bertemu semua ulama Mujtahid Muslim dan dihadapkan kepada mereka suatu kasus

yang memerlukan putusan hukum, kemudian setiap mujtahid mengemukakan

pendapat dengan alasan yang terang dan jelas, baik dengan ucapan perkataan dan

perbuatan, secara bersama-sama atau secara terpisah, ternyata pendapat mereka

17

(24)

tentang hukum tersebut sama tanpa ada perbedaan perndapat, maka hukum syara‟

yang disepakati tersebut menjadi wajib dan mengikat bagi seluruh umat muslim.18

3. Syarat-syarat Ijmā’

Selain kelima rukun yang dikemukakan di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh

mengemukakan bahwa juga mensyarat ijma‟ yaitu:

a. Ijmā‟merupakan dasar hukum syara‟ yang hanya boleh dilaksanakan sesudah

wafatnya Rasulullah SAW.

b. Ahli ijtihad ataupun mujtahid hendaklah memenuhi syarat-syarat seperti

mengetahui bahasa arab, menguasai al-Quran dan nasikh mansukh, menguasai

sunnah, mengetahui yang disepakati dan diperdebatkan, mengetahui qiyas dan

macam-macamnya, menguasai tujuan hukum, baik pemahamannya, dan baik

niat aqidahnya.19

c. Persepakatan itu hendaklah dilahirkan oleh setiap orang dari pada mereka

secara tegas terhadap peristiwa itu.20

d. Di waktu terjadinya peristiwa (persepakatan) itu, harus ada beberapa orang

mujtahid dan seluruh mujtahid kaum muslimin menyetujui hukum syara‟ yang

telah mereka putuskan. 21

18

Amir Syarifuddin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), jild. 1, h. 115.

19

Abu Zahrah, Ushul fiqh, (Kairo: Darul fikr al-Arabi, tt), h.302-309.

20

Muhammad Hassan Haitu, Al-Wajiz fi Usul Al-Tasyri' Al-Islami, (Muassasah Al-Risalah, 1984) Cet. 2, h.314; Drs. Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), Cet. 1. H. 84-85.

21

(25)

Syarat di atas ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat

lain, tetapi tidak disepakati para ulama, di antaranya:22

a) Para mujtahid itu adalah sahabat.

b) Mujtahid itu kerabat Rasulullah SAW.

c) Mujtahid itu adalah ulama Madinah.

d) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya

seluruh mujtahid yang menyepakatinya.

e) Tidak terdapat hukum ijma‟ sebelum yang berkaitan dengan masalah yang

sama.

Syarat di atas memberikan penjelasan bahwa yang dikatakan syarat ijma‟

dikategorikan dua yaitu, disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh dan tidak disepakati

para ulama. Apabila yang tidak disepakati para ulama syarat pertama dan kedua ini,

para ulama ushul fiqh menyebut dengan ijma‟ sahabat. Sebagian para ulama ushul

fiqh pendapat bahwa ijma‟ klasik dan modern telah membahas persoalan

kemungkinan terjadinya ijma‟, dan kebanyakan pendapat ulama atau jumhur Ulama

meyakini bahwa akan terjadinya ijma‟, terutama pada zaman sahabat karena

kedekatan tempat tinggal dan emosional mereka.

Sebagian pengikut Syi‟ah di antaranya Al-Nazham mengatakan bahwa apabila

mengikuti syarat dan rukun ijma‟ diatas tidak mungkin ijma‟ terjadi menurut

lazimnya. Karena tidak mungkin merealisasikan rukun dan syarat ijma‟ secara

22

(26)

penuh, ketentuan ijma‟ yang telah ditetapkan itu tidak mungkin terbentuk

berdasarkan adat. Disebabkan sulitnya melakukan ijtihad dengan pemenuhan

unsur-unsur yang telah ada23, maka banyak penyebab mereka mengatakan bahwa ijma‟ ini

tidak mungkin atau sulit untuk dilaksanakan diantaranya, yaitu:24

1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah

seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan

seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal tidak ada lembaga

pendidikan yang menghasilkan mujtahid.

2. Kalau pun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk

menyatakan seseorang telah mencapai derajat serta dapat pula diketahui

mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun pendapat

mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara

menyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka

berada dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta

berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. Tidak mungkin

mengumpulkan mereka secara fisik atau mengumpulkan pendapat mereka

secara kolektif atau secara perorangan.

3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh

dunia ini dan dapat menghimpun pendapat mereka menurut cara yang

meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap mujtahid yang

23

Abdul Wahab Khalaf. Ilmu usul fiqh. (Bandung: Gema Risalah Press. 1968) terj. Cet. 7 h. 87

24

(27)

telah mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah itu tetap

pada pendiriannya sampai terkumpul pendapat mereka semua, karena syarat

melangsungkan ijma‟ itu ialah bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu

masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma‟ tersebut.

4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massal itu adalah

sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi, sedangkan hakikat ijma‟ itu adalah

kebulatan pendapat atau kesepakatan.

Kemungkinan terjadinya ijma‟ jumhur Ulama mengatakan bahwa itu sangat

mungkin terjadi, terutama di zaman sekarang ini yang semua komunikasi semakin

memudahkan dalam melacak siapa sahaja yang sanggup untuk menjadi mujtahid.

Adapun ijma‟ dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad

Abu Zahrah, Khudari Bek, „Abdul Wahhab Khalaf, Fathi al-Duraini (guru besar fiqh

dan ushul fiqh di Universitas Damaskus, Syria) dan Wahbah al-Zuhaili, mengatakan

bahwa ijma‟ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat

masih berada pada satu daerah.25

4. Macam-macam ijma’

Apabila Mujtahid telah berkumpul dan mereka mengemukakan pendapatnya,

dan ada sebagian Mujtahid memberikan pandangannya sedangkan yang lain tidak

25

(28)

memberikan pandangannya. Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap

hukum syara‟ para ulama ushul fiqh membagiijma‟ kepada dua bagian yaitu:26

a. Ijma‟ shorih

Ijama‟ shorih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui dalam pendapat

maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan

dalam forum ijma‟ yang setiap mujtahid memberikan alasan yang jelas dan semuanya

sepakat dalam memutuskan hukum tersebut.

b. Ijma‟ sukuti

Ijama‟ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang

hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan ijma‟ yang sebagian ulama

memberikan pendapatnya dan sebagian yang lain tidak memberikan pandangan

apa-apa hanya diam.

5. Kedudukan Ijma’

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma‟ menempati salah satu

sumber atau dalil hukum sesudah al-Quran dan Sunnah, ini berarti ijma‟ dapat

menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam apabila tidak ada

ketetapan hukumnya dalam al-Quran maupun Sunnah. Menurut syar‟i pada urutan

yang ketiga setelah al-quran dan sunnah yang berdiri sendiri, untuk menguatkan

pendapatnya jumhur mengemukakan beberapa dalil yang menguatkan. Dasar hukum

ijmā‟ bersumber dari al-Quran, al-Hadits dan dalil akal.

26

(29)

a. Al-Quran

Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 115











































Artinya: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu27 dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Dalam ayat ini, “jalan yang bukan orang mukmin” ini diartikan sebagai yang

telah kesepakatan untuk dilakukan orang-orang mukmin.

Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa‟: 59

























)

أ ّ

/

۵۹

(

Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman , taatlah kamu kepada Allah dan

taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada “ Uli‟l-Amri” (orang-orang yang

berkuasa) dari kalangan kamu..”

Perintah mentaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti

perintah untuk mematuhi ijma‟, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang

mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam

hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang suatu

hukum, inilah yang disebut ijma‟.

27

(30)

Firman Allah SWT dalam Surah Ali „Imran: 103















)

-/

۳.۱

(

Artinya: “ Dan berpegang teguhlah kamu sekelian kepada tali Allah (agama Islam), dan jangan kamu bercerai-berai.”

Dalam ayat ini Allah SWT melarang umat berpecah belah, usaha menentang

ijma‟ berarti berpecah belah. Hal itu adalah terlarang, tidak ada arti kedudukan ijma‟

sebagai hujah kecuali larangan untuk menyalahinya.

b. Al-Hadits

Apabila para mujtahid telah melakukan ijmā‟tentang hukum syara‟ dari suatu

peristiwa atau kejadian, maka ijmā‟ tersebut harus diikuti karena mereka tidak

mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan, maksiat atau berdusta.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Rasulullah SAW telah

bersabda:

"

ْ

ْ ه ص ه ْ ْ

:

ْ ْ ا إ إ

اض

"

Artinya: “Aku (Anas bin Malik) telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: sesungguhnya Umatku tidak akan bersepakat melakukan kesesatan”28 (Riwayat Ibn Majah).

28 Ali Mohammad Mua‟wwidh,& Adil Ahmad Abdul Majid.

(31)

c. Dalil Akal

Yakni apabila sahabat menghukum salah seseorang yang melanggar hukum

yang telah dipersepakati, mengikuti hukum yang disepakati itu adalah wajib karena

sahabat tidak akan menghukum seseorang itu kecuali seseorang tersebut telah terbukti

melanggar suatu hukum yang bertentangan dengan hukum syarak. Maka melanggar

hukum yang telah disepakati adalah menyalahi syarak dan perkara yang disepakati itu

adalah kehujjahan.29

Akan tetapi Ulama Syi‟ah berbeda pendapat dengan ahl al-sunnah, mereka

tidak menganggap ijma‟ sebagai dalil yang berdiri sendiri seperti pendapat Ahl al

-Sunnah. Syi‟ah mendudukkan ijma sebagai penyingkap atau penjelas adanya ijma‟

dalam arti ucapan atau perbuatan orang-orang yang terpelihara dari kesalahan. Ulama

Khawarij menerima ijma‟ dalam waktu terbatas, yaitu sebelum terjadi perpecahan

umat Muslim mulai masa umar. Karena setelah masa perpecahan sangat sulit untuk

mendapatkan kesepakatan.

B. Hukum Pidana Islam

Dalam bab kedua ini, penulis akan membahas secara umum tentang hukum

pidana Islam (jinayah). Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang

mengandungi kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.

Syariat Islam dimaksudkan, secara materiil mengandungi kewajiban asasi bagi setiap

29

(32)

manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu

menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri

sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang

kewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT yang dimaksudkan,

harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fikih

jinayah terdiri dari dua kata fikih dan jinayah. Kata fikih secara bahasa berarti faham.

Sedangkan menurut istilah:

ّ ص

ّ

ش

أ

ص

ّ

ش

أ

.

Artinya: “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.”30

Sedangkan kata jinayah secara bahasa berarti nama dari perbuatan yang

buruk, sedangkan menurut istilah:

غ

ء ش

ف

ك

Artinya: jinayah adalah sebuah nama dari perbuatan yang diharamkan syariat, baik dalam bentuk tindakan terhadap tubuh (jasmani), atau terhadap harta, dll.31

30

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, cet. II, 2006, h. 1.

31

Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al „Araby, Beirut,

(33)

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud dari kalimat

Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan

kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani

kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari

Al-quran dan hadits.32 Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam

yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah SAW. Oleh karenanya, pada zaman

Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum

publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa

yang sah atau ulil amri. Pada masa itu diterapkan oleh Rasulullah SWT sendiri dan

kemudian diganti oleh Khulafaur Rasyidin.

2. Asas-Asas Hukum Islam

Asas-asas hukum Islam berasal dari al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad

SAW baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Diantara asas-asas yang

ada dalam nash sebagai berikut:

a. Asas keadilan, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58.

b. Asas manfaat, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 92. Yang

menentukan sanksi (sanksi yang mengandung manfaat) bagi pelaku

pembunuhan tidak sengaja berupa memerdekakan budak, diyat atau kafarat.

c. Asas keseimbangan, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat

178-179 dan surat an-Nisa‟ ayat 92-93.

32

(34)

d. Asas kepastian hukum, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15.

e. Asas dilarang memindahkan kesalahan kepada orang lain, sebagaimana

termaktub dalam surat al-Isra ayat 15, an-Najm ayat 38-39, al-Fathir ayat 18

dan Luqman ayat 33.

f. Asas praduga tidak bersalah.

g. Asas legalitas, sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa‟ ayat 58-59 dan

105, surat al-Hasyr ayat 7, al-Isra ayat 15.

h. Asas tidak berlaku surut, sebagaimana termaktub dalam surat al-Isra ayat 15

dan al-Anfal ayat 38.

i. Asas pemberian maaf, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat

178 dan 109, an-Nisa‟ ayat 92, dan Ali Imran ayat 134.

j. Asas musyawarah, sebagimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 159,

Asy-Syura ayat 38.

k. Asas taubat dan asas kondisiona sebagimana termaktub dalam surat

al-Baqarah ayat 178 dan an-Nisa‟ 92.

l. Asas ekualitas (equality before the law), sebagaimana termaktub dalam surat

al-Hujurat ayat 13, an-Nisa‟ ayat 58 dan 135.

c. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam

Menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam,

(35)

a. Secara yuridis normatif adalah mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang

dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu yang diperintahkan oleh

Allah SWT. (Pencipta manusia).

b. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang

secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.

d. Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam adalah meliputi perzinaan (termasuk

homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf),

pencurian, meminum minuman memabukkan (khamar), membunuh atau melukai

seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan

semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.

e. Tujuan Hukum Pidana Islam

Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan

kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketenteraman

masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar

dipatuhi oleh masyarakat. Masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai

keadilan, namun tujuan hukum Islam itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat

oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Baik yang termuat di dalam al-Quran

maupun yang terdapat di dalam hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia di

dunia dan di akhirat kelak dengan jalan mengambil segala yang bermafaat dan

(36)

BAB III

JINAYAH DALAM KITAB MAJMU’

A.Biografi Imam Nawawi

Imam al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf

ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu Hizam an-Nawawi.

Nama beliau dikaitkan dengan Nawa, sebuah desa yang terletak antara daerah Hauran

dan Syiria yang kemudian berubah menjadi Damaskus. An-Nawawi lahir pada bulan

Muharram tahun 631 H (1233 M) di Desa Nawa. Memasuki usia sepuluh tahun,

an-Nawawi mulai belajar menghafal al-Qur‟an dan belajar ilmu fikih kepada salah

seorang guru di sana. Kebetulan pada waktu itu ada seorang guru besar bernama

Yasin ibnu Yusuf al-Marakisyi sedang berada di desa tersebut, guru menemui orang

tua an-Nawawi dan memberikan nasihat supaya anaknya menghabiskan waktunya

untuk menuntut ilmu. Dengan senang hati, orang tua an-Nawawi menerima nasihat

tersebut.33

Pada tahun 649 H (1251 M) an-Nawawi merantau ke kota Damaskus untuk

menuntut ilmu di lembaga pendidikan Dârul Haîts, beliau memilih untuk tinggal di

asrama Madrasah ar-Rawahiah yang terletaknya berdekatan dengan masjid

Umawiyah di sebelah timur. Pada tahun 651 H, an-Nawawi menunaikan ibadah haji

bersama ayahnya, kemudian imam an-Nawawi kembali pulang ke Damaskus. Pada

33

(37)

tahun 665 H (1266 M), an-Nawawi diberi tugas mengajar di Madrasah Darul Hadits

pada bidang studi ilmu pendidikan, pada ketika itu usianya baru memasuki 34 tahun.

Beliau menghabiskan waktunya di lembaga tersebut sampai wafat. Selama berada di

Damaskus, kehidupan intelektual an-Nawawi sangat menonjol. Pada masa remaja,

an-Nawawi gigih menuntut ilmu dan berusaha mempelajari semua bidang ilmu.

Beliau sangat ahli di bidang bacaan dan hafalan, dalam kurun waktu empat setengah

bulan hafal kitab Tanbiih dan di penghujung tahun yang sama hafal seperempat

bagian ibadah dari kitab al-Muhadzab.34 Beliau sering menghafal kitab-kitab matan,

dan setiap hari beliau mampu membaca dua belas mata kuliah. Beliau juga mampu

memberikaan komentar dalam bentuk syarah (penjelasan para ulama tentang

kitab-kitab) yang sulit, menjelaskan ungkapan-ungkapan, dan mengedit bahasa.35 Ada

seorang guru yang bernama Syaikh Abu Ibrahim Ishaq ibnu Ahmad al-Maghribi

merasa sangat senang dengn an-Nawawi karena beliau dalam waktu relatif singkat

berhasil menjaring banyak ilmu yang sangat mengagumkan sehingga gurunya

mempercayai untuk mengajar di forum pengajiannya.

Para penulis biografi sepakat bahwa sosok an-Nawawi adalah seorang yang

terkenal sangat zuhud dan wara‟ (berhati-hati), selain dikenal piawi dalam

memberikan pandangan tentang masalah-masalah hukum beliau juga sangat rajin

mengamalkan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar. Sikap zuhud an-Nawawi terlihat

dengan jelas dari pola hidupnya yang sangat sederhana, beliau seakan-akan tidak

34

Ibid, h. 16.

35

(38)

pernah tenggelam dalam kenikmatan makanan, pakaian, dan perkawinan. Sebagai

ganti dari semua itu beliau sudah merasa cukup dengan kenikmatan ilmu, sebagai

penduduk desa an-Nawawi memang pernah merantau ke kota metropolitan Damaskus

yang penuh dengan kenikmatan serta saranan-saranan kesenangan duniawi. Tetapi,

beliau sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal tersebut, padahal saat itu usianya

masih cukup muda. An-Nawawi memilih dalam di dunia keilmuan dengan tetap

mempertahankan gaya hidupnya sebagai orang desa yang lugu dan sangat bersahaja.

Sikap wara‟ an-Nawawi tidak mau memakan sayuran yang berasal dari kota

Damaskus. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Soalnya di Damaskus

banyak tanah waqaf berupa lahan-lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang

menyalahgunakan fungsinya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan

umum.” Itulah yang membuatnya harus berhati-hati. Selama di Damaskus beliau

lebih senang tinggal di asrama Madrasah ar-Rawahiah daripada di tempat-tempat

lain, karena para donator madrasah ini adalah kaum pedagang yang terkenal sangat

jujur.36

An-Nawawi sebagai guru di lembaga pendidikan Dârul Hadîts mendapat gaji

yang cukup besar. Namun, beliau tidak pernah mengambil gajinya. Beliau sengaja

mengumpulkan gajinya di tangan bendahara madrasah setelah gajinya terkumpul

setahun kemudian mengambilnya, sebagian beliau gunakan untuk membeli sebidang

tanah dan diwaqafkan kepada lembaga tempat di mana beliau mengajar dan sebagian

36

(39)

lagi beliau gunakan untuk membeli beberapa kitab diwaqafkan kepada perpustakaan

lembaga yang sama. An-Nawawi tidak pernah meminta bayaran dari orang lain atas

jasanya, bahkan beliau tidak pernah mau menerima pemberian atau hadiah dari orang

tua, kerabatnya dan siapa pun. Kedua orang tuanya sering mengirimnya pakaian,

makanan, dan keperluan-keperluan yang lain. Kamar di asrama Madrasah

ar-Rawahiah yang beliau tempati sungguh sangat sederhana dan selama tinggal di

Damaskus beliau tidak pernah punya keinginan untuk pindah ke tempat lain, beliau

adalah orang yang sangat sederhana dan tidak banyak menuntut. An-Nawawi belajar

kepada banyak guru. Di antaranya adalah Ar-Anshari, Zainuddin Abdul Da‟im, dan

Imaduddin Abdul Karim Al-Harastani. Beliau juga membacakan sebuah kitab

karyanya sendiri kepada Ibnu Malik. An-Nawawi berhasil mencetak sejumlah ulama

besar, di antara anak muridnya adalah Al-Khathib Shadaruddin Sulaiman Al-Ja‟fari,

Syihabuddin Ahmad bin Ja‟wan, Syihabuddin Al-Arbadi, dan Ala‟uddin bin Al-Ath

thar. Ibnu Abul Fattah, Al-Mazi, dan Ibnu Al-Ath thar biasa meriwayatkan darinya.37

Selain sebagai ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, an-Nawawi juga

dikenal sebagai sosok yang gigih dan pemberani dalam memberikan nasihat. Beliau

berani melaksanakan kewajiban amar ma‟ruf nahi mungkar dengan menggunakan

lisannya. Dan itu beliau lakukan demi berjuang di jalan Allah, dan dengan niat yang

tulus ikhlas tanpa ada pamrih apa pun atau kepentingan pribadi. Karena itulah

an-nawawi dikenal sebagai seorang tokoh yang pemberani dan tidak pernah takut atau

37

(40)

celaan siapa pun, beliau punya argument tersendiri dalam setiap tindakannya. Banyak

orang yang datang kepadanya untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah hukum

dan meminta fatwa, beliau selalu menerima mereka dengan ramah dan membantu

mereka memberikan jalan keluar dari kesulitan yang mereka hadapi.

Setelah pertempuran melawan pasukan Tartar, Raja Zhahir Baibaras tiba di

kota Damaskus. Seorang menteri ekonomi melaporkan sang Raja tentang banyaknya

lahan perkebunan dari hasil waqaf di kota ini yang tidak digarap, sang Raja segera

mengeluarkan perintah untuk menguasai tanah-tanah itu untuk dijadikan asset milik

kerajaan. Melihat tindakan itu, orang-orang mengadu kepada an-Nawawi. Beliau

segera menulis surat singkat kepada sang Raja: “Apa yang Anda lakukan dengan

menguasai tanah milik kaum muslimin ini jelas sangat merugikan mereka, dan

menurut ulama dari mana pun tindakan Anda itu tidak bisa dibenarkan oleh syariat.

Karuan saja sang Raja menjadi sangat marah setelah membaca surut itu, beliau segera

mengeluarkan perintah untuk menghapus gaji an-Nawawi dari Negara dab

memecatnya dari jabatannya. Tetapi banyak penduduk yang memberanikan diri

menghadap sang Raja, mereka mengatakan, “Beliau itu guru yang tidak pernah

mendapatkan gaji dan jabatan dari pemerintah.” Mendengar isi suratnya tidak

digubris dan protes mereka pun tidak didengar, dengan berani an-Nawawi

menghadap sang Raja sendiri. Beliau mengucapkan kata-kata yang sangat keras,

kemudian sang Raja bermaksud untuk menghukum Imam an-Nawawi. Tetapi Allah

(41)

Pada tahun 676 H (1277 M) an-Nawawi pulang ke Desa Nawa. Setelah

mengembalikan semua kitab yang dipinjamnya dari perpustakaan, beliau berziarah ke

makam gurunya. Di sana beliau berdoa dan menangis, beliau juga mengunjungi

temannya yang masih hidup dan berpamitan kepada mereka. An-Nawawi banyak

menyusun kitab-kitab fikih dan hadits yang amat bermanfaat. Antara lain ialah

Al-Majmu‟, Ar-Raudhah, Minhaj, Syarah Shahiih Muslim, Riyaadhus Shaalihiin,

Al-Adzkaar, Al-Arba‟iin an-Nawawi, Tahdzibul Asmaa‟ wal Lughat, Al-Tibyan dan

kitab-kitab yang berbobot lainnya.38 Beliau bahkan menulis kitab Syarah al-Bukhari

(Fathul Bâri). Tetapi sayang sekali. Sebelum sempat menyelesaikannya, beliau lebih

dulu dipanggil oleh Allah untuk selamanya. Terakhir, setelah menemui orang tuanya

untuk pamit, beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina dan Al-Khalil. Setiba di

desanya kembali, an-Nawawi jatuh sakit dan wafat pada tanggal 24 Rajab tahun 676

H.39 Ketika berita duka ini sampai ke Damaskus, seluruh penduduk kota ini menangis

sedih. Begitu pula dengan penduduk kota sekitarnya, umat Islam berkabung. Menteri

kehakiman Izzuddin Muhammad ibnush Shaigh bersama rombongan datang melayat

ke Desa Nawa untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang ulama

besar. Beliau wafat dalam usia 48 tahun tanpa meninggalkan harta dan anak, karena

selama hidupnya beliau belum sempat menikah demi pengabdiannya di dunia

keilmuan.40

38

Ibid, h. 6.

39

Ibid, h. 7.

40

(42)

B. Pengenalan Kitab Majmu’

Kitab al-Majmū‟ adalah kitab yang dikarang oleh Muhyiddin Abu Zakaria

Yahya ibnu Syaraf ibnu Muri ibnu Husain ibnu Muhammad ibnu Jumu‟ah ibnu

Hizam an-Nawawi yang lebih dikenal dengan sebutan dengan gelaran Imam Nawawi.

Kitab al-Majmu‟ terdiri dari 26 jilid, kitab ini merupakan salah satu sumber rujukan

utama dalam bidang fiqh karena didalamnya terkandung pendapat empat mazhab

yang terkemuka beserta dengan dalil-dalil yang kuat untuk bagi menjelaskan dan

mengukuhkan pendapat-pendapat mazhab. Kitab al-Majmū‟ ini juga membahas

mengenai pengetahuan yang umum dalam fiqh perundangan, tafsir dan hadits.

Hukum utama yang dibicarakan dalam kitab ini berkaitan dengan lima bab terbesar

dalam fiqh yaitu bab taharah, muamalat, jinayah, munakahat dan ibadah. Penulisan

Imam Nawawi tertumpu kepada konsep penggunaan ijmā‟ yang bersandarkan kepada

dalil al-Quran dan al-Sunnah.41

C.Pembahasan Bab Jinayah

Adapun macam-macam jarimah sebagai berikut:

1. Murtad (keluar dari Islam)

Murtad atau riddah dalam bahasa arab adalah beralih daripada memeluk

Islam kepada memeluk agama lain atau anutan lain, murtad merupakan jenis kufur

41Mohd Najib Mut‟I, Pengenalan ringkas kitab

(43)

yang paling keji dan membabitkan hukuman dan implikasi yang amat berat. Dalil

ialah sebagai mana yang dinyatakan oleh firman Allah Taala;





















































Artinya: Dan sesiapa di antara kamu Yang murtad (berpaling tadah) dari ugamanya (ugama Islam), lalu ia mati sedang ia tetap kafir, maka orang-orang Yang demikian, rosak binasalah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, kekal mereka di dalamnya (selama-lamanya).

Murtad boleh berlaku melalui tiga perkara adalah menolak hukum yang telah

disepakati, melakukan sesuatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh rang kafir,

mengucapkan sesuatu yang bercanggah dengan pegangan Islam.42 Hukuman bagi

kesalahan murtad yang dikenakan kepada laki-laki dan perempuan adalah sama,

apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan berakal melakukan

sesuatu sehingga membawa kepada kemurtadan. Maka mereka tertakluk kepada

hukum adalah pesalah murtad wajib diminta segera bertaubat, pesalah diberi amaran

tentang akibat buruk jika dia masih kekal murtad dan tidak menerima pelawaan

supaya bertaubat, pelasah wajib dibunuh jika masih mempertahankan

kemurtadaannya dan tidak mahu bertaubat.43

42

Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Prospecta Printers), h. 2042.

43

(44)

2. Memberontak

Menurut para imam mazhab sepakat bahwa mengangkat pemimpin

hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim

mempunyai pemimpin yang dapat menegakkan syiar-syiar agama Islam dan dapat

menyelamatkan orang yang teraniaya dari orang-orang dzalim, tidak boleh bagi kaum

Muslim di dunia ini dalam satu waktu mempunyai dua pemimpin. Dan pemimpin itu

tidak boleh seorang perempuan, orang kafir, dan anak yang belum dewasa, dan orang

gila.44 Pemimpin yang sah wajib ditaati perintahnya selama tidak bertentangan

dengan syariat Islam, menghukum mati orang yang tidak taat kepada pemimpin yang

baik hukumnya adalah wajib. Apabila sekelompok orang yang memberontak atau

tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka tidak mempunyai alasan yang jelas,

maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah SWT. Jika

mereka kembali ke dalam jamaah kaum Muslim maka dilarang memerangi mereka,

seperti tidakan terorisme dll.45

3. Zina

Para imam mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar,

yang wajibkan had atasnya. Orang-orang yang berzina dikategorikan dua golongan:

muhshan dan ghairu muhshan, sanksi bagi pezina muhshan adalah rajam. Sedangkan

hukuman bagi ghairu muhshan adalah seratus kali cambuk dan diasingkan selama

44

Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi‟i, (Jawa Tengah: Media Zikir), h. 430.

45

(45)

setahun sejauh jarak diperbolehkannya mengqashar shalat, hukuman bagi budak-

laki-laki atau wanita adalah setengah hukuman bagi orang yang merdeka. Hukuman

had itu berbeda-beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina

terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka atau gadis,

dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhshan, seperti orang yang sudah menikah,

duda, atau janda.46

4. Qadzaf (tuduhan zina)

Para imam mazhab sepakat bahwa laki-laki yang berakal, merdeka, dewasa

dan mempunyai hak melakukan pekerjaan berdasarkan kemauannya, apabila

menuduh berzina kepada orang lain yang merdeka, dewasa, berakal, muslimah,

terpelihara, bukan perempuan yang pernah melakukan li‟an, tidak pernah dikenai had

zina dengan zina yang jelas. Bahwa ada lima syarat pada pihak yang dituduh adalah

Islam, baligh, berakal, berakhlak yaitu tidak pernah disabitkan dengan kesalahan zina

sebelum itu, tidak memberi keizinan kepada penuduh untuk menuduh.47 Dan

keduanya tidak di dar al-harb, dan dituntut orang yang dituduh agar dijatuhi

hukuman had, maka yang menuduhnya dikenai hukuman jilid (cambuk) sebanyak

delapan puluh kali tidak boleh lebih. Menuduh dengan sindiran tidak mewajibkan

had, walaupun diniatkan untuk menuduh zina. Menurut pendapat Imam Hanafi dan

46

Ibid, h. 445.

47

(46)

Imam Maliki bahwa wajib had, menurut pendapat Imam Syafi‟i bahwa jika diniatkan

menuduh zina dan diterangkan pengertiannya maka yang menyindir dikenai had.

5. Mencuri

Para imam mazhab sepakat bahwa pencuri yang wajib dipotong tangannya

adalah pencurian pertama yang dilakukannya dan orang yang mempunyai anggota

badan yang lengkap. Oleh karena itu, memotong tangannya dimulai dari tangan kiri

pada persendian telapak tangan. Jika mencuri lagi maka dipotong kaki kirinya di

persendian telapak kaki, sedangkan jika termasuk orang yang tidak mempunyai

telapak tangan atau telapak kaki maka dipotong bagian atasnya. Demikian pula jika

kedua anggota badan tersebut lumpuh. Menurut pendapat Abu Hanifah bahwa tetap

dipotong anggota badan yang lumpuh, menurut pendapat Syafi‟i bahwa pencuri yang

tangan kanannya lumpuh dan menurut orang yang ahli bahwa jika tangan tersebut

dipotong, maka tidak ada darahnya tetap dipotong. Sedangkan jika menurut

keterangan orang ahli bahwa bagian tersebut tidak mengeluarkan darah dan dapat

merusak maka yang dipotong adalah bagian atasnya.48

6. Penyamun

Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang pernah membunuh dan

merampas harta wajib dikenai hukuman had, walaupun wali korban memaafkan hal

ini dapat membebaskan orang tersebut dari hukuman. Sedangkan orang yang mati

48

(47)

sebelum ditangkap tidak dikenai had, adalah hak Allah „Azza wa Jalla, dan yang

dapat dituntut manusia adalah hak manusia saja, seperti jiwa, harta, dan pelukan,

kecuali mereka memaafkannya. Apabila di antara para perampok tersebut terdapat

seorang perempuan, yang ikut membunuh dan merampas harta, lalu tertangkap maka

dikenai hukum bunuh sebagai had atasnya. Menurut pendapat Maliki, Hanifah,

Syafi‟i, Hambali bahwa dibunuh sebagai qishas dan dikenai pertanggungan. Apabila

di antara para perampok terdapat seorang kafir atau budak, atau anak kecil, maka dia

tidak dibunuh. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali tidak dibunuh tetapi

menurut pendapat Maliki dan Syafi‟i bahwa dibunuh.49

7. Minum minuman keras (khamar).

Menurut para imam mazhab sepakat bahwa atas keharaman khamar, Orang

yang menghalalkannya dihukumi kafir. Mereka sepakat bahwa apabila khamar

berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Menurut

pendapat Syafi‟i dan Hanbali bahwa jika khamar berubah menjadi cuka karena

dicampuri dengan sesuatu adalah tidak suci, menurut pendapat Malik bahwa

mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar

menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Menurut pendapat

Hanafi bahwa khamar boleh dibuat cuka, dan apab

Referensi

Dokumen terkait

Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang

Kepercayaan dalam kekuatan supranatural ini tidak lepas dari budaya masyarakat yang percaya pada kekuatan dari sebuah objek, ³ religio magis ´ alam di hukum adat

Adanya sanksi pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia menjadi perdebatan diberbagai kalangan, ada yang berpendapat bahwa pidana mati tidak cocok lagi dengan keadaan zaman

Artinya: "Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai

“Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri

Pembunuhan disengaja menurut mereka adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan didasari niat melawan hukum dan mendatangkan kematian, baik pelaku sengaja

Bagi sebagian kalangan hukum Islam dinilai sebagai sebuah sistem hukum yang kaku bahkan menakutkan bagi sebagian kalangan apalagi sikap militansi (jihad) yang

Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang