ASAP CAIR LIMBAH CANGKANG KEMIRI SEBAGAI PENGAWET KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) TERHADAP
RAYAP TANAH (Macrotermes gilvus Hagen)
SKRIPSI
Oleh :
ALBERT RAYMOND P 081203025
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Asap Cair Limbah Cangkang Kemiri sebagai Pengawet Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) terhadap Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen).
Nama : Albert Raymond Panggabean
NIM : 081203025
Program Studi : Kehutanan
Disetujui Oleh,
Komisi Pembimbing :
Dr. Rudi Hartono, S. Hut, M. Si R
Ketua Anggota
idwanti Batubara, S.Hut, M. P
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
ABSTRACT
Albert Raymond Panggabean. Liquid Smoke Hazelnut Shells Waste as Sengon Wood(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Preservative on Subterranean
Termite (Macrotermes gilvus Hagen). Supervised by Rudi Hartono and Ridwanti Batubara
Sengon wood (Paraserianthes falcataria) has low-grade durability and very
durable from biological attack, such as subterranean termites (Macrotermes gilvus). One way toincreasethe durability ofsengon wood is to
insert liquid smoke. Hazelnut shells waste is usedas araw materialliquid smoke. The aim of this research are to identify chemical compunds from hazelnut shells waste liquid smoke using Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) and to evaluate the effect of liquid smoke on sengon wood against subterranean termites with concentration of liquid smoke 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The method used is soaking the wood into liquid smoke.Thisresearchevaluated thedominant chemicalliquid smoke, yield, productivitypirolisator, retention, andweightloss ofwood caused subterranean termites.
The result of this research is this liquid smoke has 18 chemical compounds and 5 most dominant are guaiacol 45,62%, followed by 4-methyl guaiacol19.64%, furfural7.48%, 4-ehtylguaiacol5.46%, andlevoglucosan3.81%. Yield of liquid smoke is 11.30% and average productivity pirolisator can reach up to 0.18 litter/hour. Retention of this research is ranged from 0.29%-0.99%. The weight lost on sengon wood against subterranean termites ranged from 1.65%-9.49%. Keywords: sengon wood, liquid smoke, chemical compounds, subterranean
ABSTRAK
Albert Raymond Panggabean. Asap Cair Limbah Cangkang Kemiri sebagai Pengawet Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) terhadap Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen). Dibimbing oleh Rudi Hartono dan Ridwanti Batubara.
Kayu sengon memiliki kelas awet yang rendah dan sangat rentan terhadap faktor perusak biologis, seperti rayap tanah. Salah satu cara untuk meningkatkan keawetan kayu sengon adalah dengan memasukkan asap cair. Limbah cangkang kemiri digunakan sebagai bahan baku asap cair tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi senyawa kimia asap cair limbah cangkang kemiri menggunakan Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) dan mengevaluasi pengaruh konsentrasi asap cair pada kayu sengon terhadap serangan rayap tanah dengan konsentrasi asap cair 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Metode yang digunakan adalah merendam kayu sengon ke dalam asap cair. Penelitian menentukan senyawa kimia asap cair yang dominan, rendemen, produktivitas pirolisator, retensi dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah.
Hasil penelitian ini adalah asap cair mengandung 18 senyawa kimia dan 5 yang dominan adalah guaiakol paling tinggi dengan konsentrasi 45,62% diikuti dengan 4-metil guaiakol 19,64%, furfural 7,48%, 4-etilguaiakol 5,46%, dan levoglukosan 3,81%. Rendemen yang dihasilkan adalah 11,30% dan produktivitas
pirolisator mencapai rata-rata 0.18 liter/jam. Retensi penelitian ini berkisar antara 0,29%-0,99%. Kehilangan berat yang disebabkan serangan rayap tanah berkisar
1,65%-9,49%.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 24 Januari 1990
dari keluarga Bapak Rahman Panggabean dan Ibu Sondang Siregar. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD ST.ANTONIUS VI Medan dan lulus
pada tahun 2002 kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Medan.
Pada tahun 2008, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 5 Medan dan
pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Teknologi Hasil Hutan,
Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui
jalur Ujian Masuk Bersama (UMB).
Pada tahun 2009, penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengelolaan
Ekosistem Hutan (PEH) di Desa Kutagugung, Kecamatan Naman Teran,
Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Penulis melaksanakan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di PERUM Perhutani Unit III, KPH Bandung Selatan, Bandung,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian. Adapun judul dari
hasil penelitian ini adalah “Asap Cair Limbah Cangkang Kemiri sebagai
Pengawet Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) terhadap Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen)”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi komponen kimia asap cair
cangkang kemiri dengan menggunakan Gas Cromatography Mass Spectroscopy
(GCMS) sehingga mengetahui senyawa kimia yang dominan. Kemudian untuk
mengevaluasi pengaruh konsentrasi asap cair limbah cangkang kemiri pada kayu
sengon terhadapserangan rayap tanah (Macrotermes gilvus Hagen).
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang
telah banyak memberikan bantuan moril dan materil. Penulis juga menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si dan Ibu
Ridwanti Batubara, S.Hut, M.P selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
hasil penelitian ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang membantu penulis menyelesaikan hasil penelitian ini. Semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DARTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Kayu Sengon ... 4
Asap Cair ... 5
Cangkang Kemiri ... 7
Pengawetan Kayu ... 8
Rayap ... 9
Retensi ... 11
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 13
Bahan dan Alat Penelitian ... 13
Prosedur Penelitian Persiapan Pengawet 1. Pembuatan Pirolisator ... 13
2. Pembuatan Asap Cair ... 14
1. Persiapan Contoh Uji ... 16
2. Pengawetan Contoh Uji ... 16
3.Pengukuran Retensi ... 17
4. Pengujian Efektivitas Asap Cair terhadap Rayap Tanah ... 17
Analisa Data ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Komponen Kimia Asap Cair ... 20
Rendemen dan Produktivitas ... 24
Retensi ... 26
Pengujian Efektivitas Asap Cair terhadap Rayap Tanah ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Kandungan kimia cangkang kemiri ... 8
2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadaprayap tanah berdasarkan penurunan berat pada uji kubur ... 18
3. Senyawa kimia asap cair cangkang kimia asap cair melalui GCMS ... 20
4. Rendemen pengawet asap cair ... 24
5. Produktivitas pirolisator ... 25
6. Perbandingan retensi kayu sengon terhadap kayu karet ... 26
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Rancang bangun pirolisator ... 14
2. Diagram alir pembuatan asap cair ... 15
3. Penguburan contoh uji kubur ... 17
4. Diagram alir penelitian ... 19
5. Asap cair cangkang kemiri ... 26
6. Kehilangan berat kayu sengon setelah uji kubur ... 29
7. (a)Cangkang kemiri sebagai bahan baku asap cair ... 39
(b) Arang cangkang kemiri hasil pembakarn ... 39
8. (a) Pirolisator yang digunakan ... 39
(b) Asap cair yang dihasilkan ... 39
9. Perendaman contoh uji ... 39
10. Pengkondisian contoh uji ... 40
11. Contoh uji sebelum dilakukan uji kubur ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Nilai retensi dan kehilangan berat kayu sengon ... 37
2. Hasil analisis sidik ragam retensi ... 38
3. Notasi uji BNT(0,05) retensi ... 38
4. Hasil analisis sidik ragam kehilangan berat kayu sengon ... 38
5. Notasi uji BNT(0,05) kehilangan berat kayu sengon kayu sengon ... 38
ABSTRACT
Albert Raymond Panggabean. Liquid Smoke Hazelnut Shells Waste as Sengon Wood(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Preservative on Subterranean
Termite (Macrotermes gilvus Hagen). Supervised by Rudi Hartono and Ridwanti Batubara
Sengon wood (Paraserianthes falcataria) has low-grade durability and very
durable from biological attack, such as subterranean termites (Macrotermes gilvus). One way toincreasethe durability ofsengon wood is to
insert liquid smoke. Hazelnut shells waste is usedas araw materialliquid smoke. The aim of this research are to identify chemical compunds from hazelnut shells waste liquid smoke using Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) and to evaluate the effect of liquid smoke on sengon wood against subterranean termites with concentration of liquid smoke 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The method used is soaking the wood into liquid smoke.Thisresearchevaluated thedominant chemicalliquid smoke, yield, productivitypirolisator, retention, andweightloss ofwood caused subterranean termites.
The result of this research is this liquid smoke has 18 chemical compounds and 5 most dominant are guaiacol 45,62%, followed by 4-methyl guaiacol19.64%, furfural7.48%, 4-ehtylguaiacol5.46%, andlevoglucosan3.81%. Yield of liquid smoke is 11.30% and average productivity pirolisator can reach up to 0.18 litter/hour. Retention of this research is ranged from 0.29%-0.99%. The weight lost on sengon wood against subterranean termites ranged from 1.65%-9.49%. Keywords: sengon wood, liquid smoke, chemical compounds, subterranean
ABSTRAK
Albert Raymond Panggabean. Asap Cair Limbah Cangkang Kemiri sebagai Pengawet Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) terhadap Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen). Dibimbing oleh Rudi Hartono dan Ridwanti Batubara.
Kayu sengon memiliki kelas awet yang rendah dan sangat rentan terhadap faktor perusak biologis, seperti rayap tanah. Salah satu cara untuk meningkatkan keawetan kayu sengon adalah dengan memasukkan asap cair. Limbah cangkang kemiri digunakan sebagai bahan baku asap cair tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi senyawa kimia asap cair limbah cangkang kemiri menggunakan Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) dan mengevaluasi pengaruh konsentrasi asap cair pada kayu sengon terhadap serangan rayap tanah dengan konsentrasi asap cair 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Metode yang digunakan adalah merendam kayu sengon ke dalam asap cair. Penelitian menentukan senyawa kimia asap cair yang dominan, rendemen, produktivitas pirolisator, retensi dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah.
Hasil penelitian ini adalah asap cair mengandung 18 senyawa kimia dan 5 yang dominan adalah guaiakol paling tinggi dengan konsentrasi 45,62% diikuti dengan 4-metil guaiakol 19,64%, furfural 7,48%, 4-etilguaiakol 5,46%, dan levoglukosan 3,81%. Rendemen yang dihasilkan adalah 11,30% dan produktivitas
pirolisator mencapai rata-rata 0.18 liter/jam. Retensi penelitian ini berkisar antara 0,29%-0,99%. Kehilangan berat yang disebabkan serangan rayap tanah berkisar
1,65%-9,49%.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan kayu dari hutan alam mengalami penurunan seiring dengan
berkurangnya luas areal hutan. Pada tahun 1993 hutan alam luasnya 61,7 juta ha,
kemudian mengalami penurunan sehingga pada tahun 2011 luasnya 23,41 juta ha
(Statistik Kehutanan Indonesia, 2012). Seiring dengan berkurangnya luas hutan
alam, maka supply bahan baku untuk industri kehutanan juga mengalami penurunan. Upaya dalam memenuhi kebutuhan industri selain dari hutan alam,
juga berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat.
Salah satu jenis pohon yang diprioritaskan untuk pengusahaan HTI untuk
menyediakan bahan baku perindustrian Indonesia adalah sengon
(Siregaret al., 2008). Sifat sengon yang cepat tumbuh menjadi kelebihannya dalam memenuhi kebutuhan kayu di Indonesia. Namun kayu sengon ini memiliki
kelemahan pada keawetannya yang terletak pada kelas awet IV-V yang artinya
kayu sengon kurang awet dalam pemakaiannya.
Kayu-kayu dengan kelas awet rendah sangat rentan terhadap serangan
faktor perusak biologis, seperti rayap tanah. Rayap tanah merupakan salah satu
organisme perusak kayu yang menimbulkan kerusakan yang hebat dan kerugian
yang besar. Di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap bisa mencapai 224-236
milyar per tahun (Prasetiyo dan Yusuf, 2005). Upaya untuk mencegah dari
kerusakan dan kerugian tersebut adalah pengawetan agar memperpanjang umur
pakai kayu tersebut.
Pada umumnya bahan pengawet kayu yang digunakan pada saat ini
pengawet sintetis mempunyai dampak yang kurang menguntungkan, terutama
karena bahan kimia tersebut bersifat tidak dapat terdekomposisi (non-biodegradable). Perlu upaya untuk mencari bahan pengawet yang lebih ramah lingkungan, seperti bahan pengawet dari asap cair.
Menurut Agustina (2002), asap cair merupakan bahan pengawet yang
ramah lingkungan yang dapat mengendalikan hama rayap. Asap cair merupakan
suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang
diperoleh dari hasil pirolisis kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni
(Maga, 1987).Penggunaan asap cair sebagai bahan bioinsektisida alami lebih
ramah lingkungan (environmentally friendly) karena bersifat mudah terurai (biodegradable) dan terbaharui (renewable). Salah satu bahan baku untuk membuat asap cair adalah cangkang kemiri (Aleurites molucana).
Potensi cangkang kemiri dibeberapa daerah jumlahnya cukup banyak dan
belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Departemen Kehutanan dan Badan
Statistika Nasional (2004) dalam Krisnawati et al. (2011), provinsi dengan jumlah tanaman kemiri rakyat terbesar adalah Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara,
dimana jumlah pohon yang dibudidayakan rakyat di masing-masing provinsi
tersebut dilaporkan sebanyak lebih dari 2 juta pohon
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian yang
berjudul:“Asap Cair Limbah Cangkang Kemiri sebagai Pengawet Kayu
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengevaluasi pengaruh konsentrasi asap cair limbah cangkang kemiri pada
kayu sengon terhadapserangan rayap tanah (Macrotermes gilvus Hagen).
2. Identifikasi komponen kimia asap cair cangkang kemiri dengan menggunakan
Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS).
Manfaat Penellitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai sumber informasi tentang pemanfaatan limbah cangkang kemiri yang
selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
2. Mengetahui kelayakan asap cair limbah cangkang kemiri sebagai pengawet
kayu sengon (Paraserianthes falcataria).
Hipotesis
Hipotesis yang diuji adalah adanya pengaruh konsentrasi pengawet asap
cair limbah cangkang kemiri terhadap tingkat keawetan kayu pada serangan rayap
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Sengon
Sengon merupakan spesies asli dari kepulauan sebelah timur Indonesia
yakni di sekitar Maluku dan Irian Jaya. Penyebaran sengon terdapat di seluruh
Jawa, Maluku, dan Irian Jaya (Iskandar, 2006). Taksonomi pohon sengon
adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angyospermae
Klas : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Famili : Fabaceae
Subfamili : Mimosoideae
Genus : Paraserianthes
Spesies : Paraserianther falcataria
Nama Ilmiah : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen
Nama daerah : albasia, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah), sengon
sebrang (Jawa Timur), jing laut (Madura), tedehu pute
(Sulawesi), rawe, selawoku, merah, seka, sika, sikahm, tawasela
(Maluku), bae, wahogon, wai, wikie (Irian Jaya)
(Atmosuseno, 1998).
Saat ini, sengon banyak diusahakan untuk berbagai keperluan dalam
bentuk kayu olahan berupa papan dengan ukuran tertentu sebagai bahan baku
kayu sengon juga digunakan pada industri korek api, pensil, papan partikel, bahan
baku industri pulp kertas dan lain-lain (Siregar et al., 2008).
Santoso (1992) menyatakan bahwa sengon merupakan tanaman yang
termasuk anggota famili Mimosaceae (keluarga petai-petaian). Jenis tanaman dari
famili ini memiliki sifat pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhannya selama
25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm.
Mengingat pertumbuhannya yang cepat maka sengon kerap dijuluki sebagai
pohon ajaib (the miracle tree). Pada usia 6 tahun sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m³/ha.
Ciri umum dari kayu sengon ini adalah warna kayu teras hampir putih atau
coklat muda, dimana warna kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu
teras, teksturnya agak kasar dan merata, arah serat lurus, bergelombang lebar atau
berpadu dan kesan raba pada permukaan kayu agak licin atau licin. Kayu sengon
tergolong ringan (berat jenis 0,33), mempunyai kelas awet IV–V dan kelas kuat IV–V
(Martawijaya et al., 2005).
Asap Cair
Asap merupakan dispersi uap asap dalam udara, yang dihasilkan dari
proses distilasi kering atau pirolisa biomasa seperti kayu, kulit kayu, tempurung,
sabut, daun, dan lain sebagainya. Proses pirolisa ini berjalan secara bertahap
diawali dari tahap pertama penghilangan air biomasa pada suhu 120-150°C,
diikuti tahap kedua proses pirolisa hemiselulosa pada suhu 150-200°C, kemudian
tahap ketiga proses pirolisa selulosa pada suhu 250-300°C, dan dilanjutkan tahap
MenurutSunarsihet al.(2012), semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pirolisis, maka semakin banyak asap cair yang terbentuk, semakin banyak
jumlah tar yang diperoleh, semakin komplek komposisi yang terdapat dalam asap
cair, namun semakin sedikit residu arang yang terbentuk. Kadar air dalam limbah
basah berpengaruh volume asap cair yang terbentuk, kerapatan asap cairdan berat
residu arang, namun tidak terlalu berpengaruh pada komposisi asap cair.
Kualitas asap cair sangat ditentukan oleh komposisi komponen kimia yang
dikandungnya, sebab komponen tersebut dijadikan mutu cita rasa dan aroma
sebagai ciri khas yang dimiliki oleh asap. Komponen kimia penting yang
dihasilkan dalam proses pengasapan tergantung dari jenis bahan baku pengasap
yang terdiri dari balok, tatal, serutan, dan serbuk serta bahan yang dibakar seperti
hemiselulosa, selulosa dan lignin serta intensitas pirolisis berhubungan langsung
dengan suhu yang terdiri atas transfer panas dan keberadaan oksigen(Wijayaet al., 2008).
Zaitsev et al. (1969) dalam Luditama (2006) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapazat antimikroba, antara lain :
a. Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester.
b. Alkohol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.
c. Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural.
d. Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene.
e. Keton : aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propilketon.
f. Fenol
Cangkang Kemiri
Pohon kemiri (Aleurites molucana) merupakan jenis pohon serbaguna, hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan dengan produk utama biji kemiri.
Pohon kemiri (Aleurites mollucana L, Willd) merupakan jenis yang mudah ditanam, cepat tumbuh dan tidak begitu banyak menuntut persyaratan tempat
tumbuh (Sunanto,1994).
Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan (2008) dalam Krisnawati et al.
(2011) melaporkan daerah budidaya kemiri yang utama untuk wilayah Indonesia
dapat dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Departemen Kehutanan dan Badan Statistika Nasional (2004) juga melaporkan
provinsi dengan jumlah tanaman kemiri rakyat terbesar adalah Nusa Tenggara
Timur dan Sumatera Utara, dimana jumlah pohon yang dibudidayakan rakyat
masing-masing provinsi sebanyak lebih dari 2 juta pohon.
Menurut Hadad dan Suryana (1995), kemiri memiliki bobot biji
9,05-10,64 gr/butir yang terdiri dari 2,49-3,36 gr biji dan tempurung
6,56-7,24 gr/butir. Setiap pohon kemiri menghasilkan 1000-2000 biji atau
rata-rata sekitar 20 kg/pohon/tahun, pada umur 15 tahun. Produksi biji meningkat
sampai umur 20 tahun dan mulai menurun pada umur 70 tahun.
Tempurung kemiri beratnya dapat mencapai 65%-75% dari berat biji
seluruhnya dengan tebal tempurung adalah 3–5 mm. Persentase berat buah kemiri
antara kulit dengan inti adalah 60% berat inti dan 40% berat kulit (Sunanto,
aktif. Arang ini juga baik digunakan sebagai abu gosok dan bahan obat nyamuk
(Paimin, 1997).
Buah kemiri termasuk buah batu, berbentuk bulat telur dan ada bagian
yang menonjol ke samping. Daging buahnya kaku dan mengandung 1-2 biji yang
diselimuti oleh kulit biji yang keras. Hasil penelitian Lempang et al. (2011) kulit biji yang keras (cangkang kemiri) memiliki kandungan kimia seperti pada Tabel
1:
Tabel 1. Kandungan Kimia Cangkang Kemiri
No. Komponen (Component) Kadar (Content) % 1. Holoselulosa (Holosellulose) 49,22
2. Pentosa (Pentosan) 14,55
3. Lignin 54,46
4. Abu (Ash ) 8,73
Sumber: Lempang et al. (2011)
Pengawetan Kayu
Keawetan kayu adalah daya tahan alami suatu jenis kayu terhadap
organisme perusak kayu, seperti jamur, serangga dan penggerek di laut serta di
mana kayu tersebut dipergunakan (Martawijaya, 1996). Keawetan merupakan
sifat kayu yang penting karena walaupun kelas kuatnya tinggi, tetapi manfaatnya
akan banyak berkurang bila umur pakainya pendek. Umur pakai yang pendek
sangat merugikan, karena biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan umur
pakainya. Maka perlu dilakukan tindakan pengawetan untuk memperpanjang
umur pakai kayu tersebut.
Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk meningkatkan keawetan
kayuterhadap serangan faktor biologis penyebab kerusakan kayu. Caranya adalah
organisme dan usia pakainya menjadi lebih lama dari sebelum diawetkan
(Lusyani et al., 2008).
Persyaratan untuk bahan pengawet kayu yang ideal meliputi hal-hal
berikut: (1) beracun terhadap kisaran luas cendawan penyerang kayu; (2) tingkat
keabadiannya tinggi (penguapannya rendah, tahan pencucian, kestabilan kimia);
(3) kemampuan untuk menembus kayu dengan mudah; (4) tidak menyebabkan
karat pada logam dan tidak melukai kayunya; (5) aman penanganan dan
penggunaannya; dan (6) ekonomis. Bahan-bahan pengawet yang digunakan dalam
praktek komersial memenuhi sebagian besar, meskipun tidak semuanya,
persyaratan-persyaratan ini. Bahan pengawet yang ideal masih harus ditemukan
(Haygreen dan Bowyer, 1996).
Pencegahan terhadap rayap dan binatang perusak lainnya sebaiknya
dipertimbangkan sebelum gedung didirikan. Pembasmian rayap dengan bahan
kimia dan sebagainya selalu lebih mahal daripada pencegahan. Ada beberapa
macam tindakan pencegahan terhadap rayap, yaitu memperhatikan bahaya rayap
pada tahap perencanaan dan perincian pekerjaan; jika ada bahaya rayap,
menerapkan pencegahan konstruktif selama pembangunan berlangsung;
menggunakan bahan bangunan yang tahan rayap (Frick dan Moediartianto, 2004).
Rayap
Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera
dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Di Indonesia, rayap tergolong
dalam kelompok serangga perusak kayu utama. Kerusakan akibat serangan rayap
tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong ke dalam binatang sosial ini, mampu
yang besar pula (Tambunan dan Nandika, 1989). Kerugian akibat serangan rayap
bisa mencapai 224-236 milyar per tahun di Indonesia(Prasetiyo dan Yusuf, 2005).
Rayap Macrotermes gilvus disebut sebagai mahluk sosialyang hidup berkoloni di tempat gelap(Inward et al., 2007). Taksonomi dari rayap tanah M. gilvus adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Divisi : Avertebrata
Kelas : Insecta
Ordo : Isoptera
Famili : Termitidae
Sub famili : Macrotermitidae
Genus : Macrotermes
Spesies : Macrotermes gilvus Hagen.
Menurut Tarumingkeng (1992), kasta prajurit pada rayap ini memiliki dua
bentuk yaitu kasta prajurit berukuran besar dan kasta prajurit berukuran kecil.
Adapun ciri-ciri dua jenis kasta prajurit dari M. gilvus Hagen. adalah sebagai berikut:
1. Kasta prajurit berukuran besar. Berwarna coklat kemerahan, dengan lebar
2,88-3,10 mm, panjang kepala dengan mandibel 4,80-5,00 mm. Antena 17
ruas, ruas ketiga sama panjang dengan ruas kedua, ruas ketiga lebih panjang
dari ruas keempat.
2. Kasta prajurit berukuran kecil. Kepala berwarna coklat tua, dengan lebar
tanpa mandibel 1,84-2,08 mm. Antena 17 ruas, ruas kedua sama panjang
dengan ruas keempat.
Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk
seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet.
Mendibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan
fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan
memelihara sarang. Mereka mengatur efektivitas dari pada koloni dengan jalan
membunuh dan memakan individu-individu yang lemah atau mati untuk
menghemat energi dalam koloninya. Kasta reproduktif primer terdiri dari
serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan
ratu). Bila masa perkawinan telah tiba, imago-imago ini terbang keluar dari sarang
dalam jumlah yang besar. Saat seperti ini merupakan masa perkawinan dimana
sepasang imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayapnya
dan mencari tempat yang sesuai di dalam tanah atau di dalam kayu. Kasta prajurit
mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dengan sklerotisasi yang
nyata. Anggota-anggota dari kasta ini mempunyai mandibel atau rostrum yang
besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan
dari luar(Nandika et al.,2003).
Retensi
Menurut Duljapar (2001), kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap
bahan pengawet selama periode waktu tertentu disebut retensi. Retensi dihitung
berdasarkan selisih berat masing-masing contoh kayu sebelum dan sesudah
R = B1 – B0
V x K
Dimana : R = retensi bahan pengawet
B1 = berat contoh uji setelah diawetkan
B0 = berat contoh uji sebelum diawetkan
V = volume contoh uji setelah diawetkan K = konsentrasi larutan bahan pengawet
Susanto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan
tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet.
Retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya
(beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah
diawetkan. Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap
(terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar.
Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh
kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan
pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3 atau kg/m3.
Kayu perlu diawetkan dengan retensi yang berbeda-beda, bergantung pada
kondisi pemanfaatan kayu yang telah diawetkan. Bila kayu itu akan digunakan di
dalam ruangan (interior), retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.Bila kayu itu akan
digunakan di luar ruangan (eksterior) dan tidak bersentuhan dengan tanah, retensi
bahan pengawet minimal 8 kg/m3. Namun bila kayu digunakan dalam kondisi
bersentuhan dengan tanah maka perlu diawetkan dengan retensi 12 kg/m3. Kayu
yang digunakan dalam lingkungan yang basah dan lembab, pengawetannya perlu
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Oktober 2013 diArboretum
Tridharma USU, Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian USUdan Laboratorium Pengujiam Hasil Hutan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan baku pembuatan asap cair yang digunakan adalah limbah cangkang
kemiri yang diperoleh dari daerah Deli Serdang, kayu sengon (P. falcataria) dan air. Alat yang digunakan adalah pirolisator, penggaris, gergaji, kalifer, ember,
kalkulator, timbangan digital, oven, cat dan gelas ukur.
Prosedur Penelitian
Persiapan Pengawet
1. Pembuatan Pirolisator.
Pirolisator adalah alat yang digunakan dalam pembuatan asap cair dengan
metode pirolisis yaitu proses dekomposisi senyawa kimia dengan suhu tinggi
dengan pembakaran tidak sempurna atau suatu proses perubahan kimia melalui
Keterangan gambar : 1. Kompor
2. Tungku pembakar 3. Termometer 4. Pipa penghubung 5.Penampung fraksi berat 6. Kran
7. Destilator 8. Wadah pendingin 9. Sumber air 10. Pompa air
11. Penampung asap cair
Gambar 1. Rancang bangun alat pirolisator
2. Pembuatan Asap Cair.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan asap cair ini adalah limbah
cangkang kemiri. Cangkang kemiri dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran yang
menempel pada permukaan kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam
tungku pembakar. Pada proses pembakaran, suhu yang digunakan adalah 400°C
secara konstan hingga tidak menghasilkan asap cair lagi. Hasil pembakaran ini
nantinya adalah arang, sedangkan asap yang dihasilkan dari pembakaran akan
mengalir dari pipa penghubung menuju wadah pendingin hingga terjadi
kondensasi. Hasil kondensasi menjadi asap cair ditimbang dan diidentifikasi
komponen kimianya kemudian digunakan sebagai pengawet kayu. Diagram alir
Gambar 2. Diagram alir pembuatan asap cair
3. Rendemen dan Produkstivitas.
Rendemen adalah perbandingan antara asap cair yang dihasilkan dengan
bahan cangkang kemiri yang diolah. Perhitungan rendemen dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar rendemen yang dihasilkan oleh suatu alat dalam
memproduksi asap cair tiap satuan banyaknya bahan yang diolah. Rendemen
suatu produksi dihitung dengan rumus:
Keterangan: BN = banyak asap cair yang dihasilkan tiap satu satuan berat bahan yang diolah (liter).
BB = Berat bahan olahan (kg).
Cangkang Kemiri
Suhu: 400°C
Waktu: 5 jam Pembakaran/pirolisis
Asap
Kondensasi Asap
Asap Cair
Rendemen dan Produktivitas
Identifikasi Komponen Kimia
Arang
Produktivitas(%) = V x 100% T
Produktivitas adalah perbandingan asap cair yang dihasilkan dengan
satuan waktu selama proses pembuatan produk. Produktivitas asap cair dihitung
dengan rumus berikut:
Keterangan : V = Volume asap cair yang dihasilkan T = Waktu proses pembuatan asap cair
4. Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan.
Setelah melakukan pirolisis dan diperoleh asap cair, maka dilanjutkan
dengan pembuatan konsentrasi larutan dengan 5 taraf, yaitu 0%, 5%, 10%, 15%,
dan 20%. Penentuan konsentrasi larutan berdasarkan volume untuk perendaman
yang dibutuhkan.
Pengujian Contoh Uji
1. Persiapan Contoh Uji.
Contoh uji kayu sengon (P. falcataria) dengan ukuran 25 x 5 x 5 cm sebanyak 15 contoh uji yang terdiri dari 12 contoh uji untuk perlakuan, 3 contoh uji tanpa
perlakuan. Contoh uji keringovenkan hingga mencapai berat konstan kemudian
setiap contoh uji dicat ujungnya, diukur dimensi dan berat awalnya (B0).
2. Pengawetan Contoh Uji.
Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman, yaitu
contoh uji direndam dalam larutan asap cair selama 3 hari dengan diberi pemberat
agar contoh uji tidak terapung. Contoh uji diberi pemberatagar contoh uji
Retensi (g/cm3) = (B1-B0) x K
V 3. Pengukuran Retensi.
Contoh uji yang telah diawetkan kemudian dikeringanginkan hingga mencapai
berat konstan (B1). Retensi bahan pengawet setiap contoh uji dihitung dengan
rumus:
Keterangan: B1 = Berat sesudah diawetkan (g)
B0 = Berat sebelum diawetkan (g)
V = Volume contoh uji (cm3) K = Konsentrasi larutan (%)
4. Pengujian Efektivitas Asap Cair Terhadap Rayap Tanah
Pengujian terhadap rayap tanah dilakukan dengan metode uji kubur
(graveyard test) di Arboretum Tridharma USU. Contoh uji terlebih dahulu dikeringovenkan dan dicatat beratnya sebagai berat awal, kemudian dikubur ke
dalam sarang rayap tanah selama 100 hari. Contoh uji dikubur dalam tanah hingga
menyisakan kayu 5 cm dari permukaan tanah sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Penguburan contoh uji kubur
Pada akhir pengujian, contoh uji dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringovenkan kembali untuk mendapatkan berat akhirnya. Perhitungan
Kehilangan berat (%) = W1-W2 x 100%
W1
Keterangan: W1 = Berat contoh uji sebelum pengujian
W2 = Berat contoh uji setelah pengujian
Setelah dihitung kehilangan berat dari contoh uji kayu, maka skala
ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah dalam uji kubur dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat pada uji kubur
Kehilangan Berat (%) Tingkat Ketahanan Kayu
0
Analisa data dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh perlakuan
konsentrasi menggunakan statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana
dengan faktor perlakuan konsentrasi asap cair, terdiri dari 5 taraf yaitu 0%, 5%,
10%, 15%, dan 20%dengan ulangan sebanyak 3 kali. Model linear dari rancangan
tersebut adalah:
Yij= μ + αi+ ε i( j)
Keterangan: Yij = Respon pengamatan taraf ke-i ulangan ke-j
μ= Rata-rata umum
αi= Pengaruh konsentrasi asap cair ke-i
εi ( j)= Kesalahan (galad) percobaan
Analisis sidik ragam berupa uji F pada tingkat kepercayaan 95% (nyata)
maka Ho ditolak. Selanjutnya, untuk mengetahui perlakuan terbaik, maka
dilanjutkan dengan Uji fisher (Least SignificantDifference (LSD) atau biasa
disebut juga dengan BNT(0,05) (beda nyata terkecil).Secara umum, prosedur
penelitian tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir penelitian Kayu sengon
25 x 5 x 5 cm
Diovenkan
Cangkang kemiri
Rendemen Pirolisis
Asap cair
Dilarutkan pengawet
Asap cair: 0%, 5%, 10% 15%, 20%
Direndam selama 3 hari
Dikondisikan selama 2 minggu
Diuji kubur selama 100 hari
Dihitung:
•Kehilangan berat
•Derajat proteksi
Dihitung:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Komponen Kimia Asap Cair
Hasil identifikasi komponen kimia asap cair cangkang kemiri
dengan menggunakan Gas Cromatography Mass Spectroscopy (GCMS) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Senyawa kimia asap cair cangkang kemiri melalui GCMS No Kadar(%) Name
1 45.62 Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol 2 19.64 2-Methoxy-4-methylphenol
3 7.48 2-Furancarboxaldehyde (CAS) Furfural
4 5.46 Phenol, 4-ethyl-2-methoxy- (CAS) p-Ethylguaiacol
5 3.81 1,6-ANHYDRO-BETA-D-GLUCOPYRANOSE (LEVOGLUCOSAN) 6 3.34 Acetic acid (CAS) Ethylic acid
7 2.73 Benzenesulfonic acid, 4-hydroxy- (CAS) Benzenesulfonic acid, p-hydroxy- 8 2.59 2-Propanone, 1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)- (CAS)
1-(4-HYDROXY-3-METHOXY) 9 1.39 2-Propanone (CAS) Acetone
10 1.15 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene, 2,6,10,15,19,23-hexamethyl- (CAS) Squalene 634923848
11 1.02 2-Cyclopenten-1-one, 2-hydroxy-3-methyl- (CAS) Corylon 12 0.95 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol
13 0.85 Butanoic acid, 2-propenyl ester (CAS) ALLYL N-BUTANOATE 14 0.84 2-Cyclopenten-1-one, 2-methyl- (CAS) 2-Methyl-2-cyclopentenone 15 0.83 Phenol, 2-methyl- (CAS) o-Cresol
16 0.83 9,10-Anthracenedione, 2-methyl- (CAS) 2-METHYL ANTHRAQUINONE 17 0.77 Cyclopentanone (CAS) Dumasin
18 0.71 2(3H)-Furanone, dihydro- (CAS) Butyrolactone
Pada Tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 18 jenis senyawa yang
diperoleh dalam asap cair cangkang kemiri. Asap cair ini diperoleh melalui
pemasakan dengan suhu 400°C selama 5 jam. Hal yang sama ditemukan juga
pada Sunarsih et al. dalam pembuatan asap cair dari limbah pati aren melalui pemasakan dengan suhu 200°C mendapat 6 senyawa, 300°C mendapat 8 senyawa
dan 400°C mendapat 17 senyawa. Dengan demikian dapat disimpulkan
terbentuk, semakin banyak jumlah tar yang diperoleh, semakin komplek
komposisi yang terdapat dalam asap cair (Sunarsihet al.,2012).
Senyawa tertinggi dari asap cair cangkang kemiri adalah guaiakol dengan
konsentrasi 45,62%. Guaiakoladalah senyawafenolik yang terjadi secara
alamidengan rumusC6H4(OH)(OCH3). Girard (1992) menyatakan bahwa kuantitas
fenol pada kayu sangat bervariasi yaitu antara 10-200 mg/kg dan beberapa jenis
fenol yang biasanya terdapat dalam produk asapan adalah guaiakol. Pada asap cair
tempurung kelapa dihasilkan guaiakol sebesar 36,58% (Budijanto et al., 2008) dan cangkang kenari sebesar 10,99% (Yusnainiet al., 2012).
Girard melanjutkan bahwa guaiakolberperan sebagai
sumberpenyedapsepertieugenoldanvanilin. Menurut Gandjar dan Rohman (2007),
turunan guaiakol digunakandi bidang kesehatan sebagai ekspektoran, antiseptik,
dananestesi. Selain itu, dapatdigunakan sebagai indikatordalam reaksi kimiayang
menghasilkanoksigen. Apabila guaiakol berhubungan dengan oksigen, maka
guaiakol berubah warna menjadi coklatkekuningan.
Kandungan terbanyak setelah guaiakol adalah 2-Methoxy-4-methylphenol
atau yang biasa disebut Kreosol (C8H10O2) dengan konsentrasi 19,64%. Kreosol
adalah turunan berminyak yang banyak digunakan dalam struktur teknik, tetapi
karena aromanya, keberacunannya dan ketidakmampuan dalam melakukan cat,
kreosol ini tidak cocok untuk sebagian besar keperluan pada konstruksi bangunan.
Kreosol ini biasanya digunakan dalam pengawetan kayu yang dalam atau dekat
tanah, dan pada kayu yang digunakan pada struktur luar ruang yang terpapar
seperti dok laut, pagar, lantai terbuka, serambi masuk dengan metode tekanan
Furfural (C5H4O2) yang terkandung pada asap cair cangkang kemiri
berkonsentrasi 7,48%. Dalam bentuk bakumenurut Wijanarkoet al. (2006), furfural banyak digunakan sebagai pelarut dalam industri penyulingan minyak
bumi, industri pembuatan minyak-minyak pelumas, dan untuk mensintesis
senyawa turunan yang digunakan pada industri pembuatan nilon.
Witono(2003) menjelaskan furfural memiliki aplikasi yang cukup luas
dalam beberapa industri sebagai sumber senyawa-senyawa turunannya. Kegunaan
furfural antara lainsebagai pelarut (solvent) dalam bahan pembantu industri cat,plastik, serat sintesis dan juga sebagai bahan pembantu pada industri farmasi,
danherbisida.
Asap cair ini juga memiliki senyawa 4-Ethylguaiacol (C9H12O2)
terkandung sebesar 5,46%. Senyawa ini merupakan senyawa fenolik yang bersifat
berbau sehingga digunakan sebagai penyedap aroma. Pollnitz et al.
(2000)mengemukakan bahwa senyawa 4-Ethylguaiacol merupakan senyawaaroma
yang utama dalam minumanalkohol anggur merah. Senyawa ini juga dapat
digunakan untukmemantau keberadaan jenis ragiBrettanomyces dalam minumananggur merah.
Levoglukosan(C6H10O5) pada asap cair ini terkandung sebesar 3,81%
merupakan senyawa organikdenganstruktur cincinenamkarbon.Lakshmanandan
Hoelscher (1970) mengemukakan bahwa levoglukosan yang terbentuk
daripirolisiskarbohidrat, seperti patidan selulosa.Menurut Kehrwaldet al. (2012) levoglukosansering digunakansebagaiindikator kimia untukpembakaran
asetonitril, levoglukosantelah terbuktisangat berkorelasidengan apiregional.Hal ini
karenagasyang dihasilkan olehpirolisiskayu(biomassa) mengandung sejumlah
besarlevoglukosan.
Lakshmanandan Hoelschermelanjutkan bahwa
hidrolisalevoglukosanmenghasilkanglukosagulaberfermentasi, dankarenanya
bahanlignoselulosamenunjukkanpotensi besarsebagaibahan baku dapat
diperbaharuiuntuk produksibioetanol. Levoglukosandapat dimanfaatkandalam
sintesispolimerkiralseperti polimerglukosayang tidak dapat dihidrolisa.
Asap cair cangkang kemiri ini juga mengandung asam asetat (CH3COOH)
sebesar 3,34%. Menurut Darmadji (1996), asam asetat adalah senyawa asam yang
berperan sebagai antibakteri. Hasil penelitian Mitsuyoshi (2002) mengemukakan
bahwa kandungan asam asetat pada asap cair dapat mempercepat pertumbuhan
tanaman dan mencegah serangan penyakit pada tanaman, methanol dapat
mempercepat pertumbuhan, fenol dan turunannya mampu berperan sebagai
inhibitor atau pencegah hama dan penyakit serta senyawaan netral dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman.
Menurut Nurhayatiet al. (2006) asap cair merupakan cairan berwarna coklat pekat yang diperoleh dari proses destilasi asap dalam pembuatan arang
kayu. Komponen utama yang terdapat dalam asap cair adalah asam asetat dan
metanol. Zat ini pernah digunakan sebagai sumber komersial untuk asam asetat.
Senyawa yang sangat berperan sebagai antimikrobial di dalam asap cair ini
adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin meningkat
apabila kedua senyawa tersebut ada bersama–sama (Darmadji, 1995). Selain
bakteriosidal pada produk asap.Menurut Girard (1992), komponen kimia yang
terdapat pada asap cair antara lain senyawa-senyawa fenol, karbonil, asam-asam
organik, furan, hidrokarbon, alkohol dan lakton.
Rendemen dan Produktivitas
Dalam menentukan kinerja alat maka harus menghitung produktivitas alat
dan rendemen yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan dinyatakan dalam
persen, yang merupakan pembagianantara jumlah asap cair yang dihasilkan
dengan jumlah bahan yang dibakar dalamtabung pirolisis. Hasil rendemen asap
cair yang diperoleh dalam penelitian ini pada Tabel 4.
Tabel 4. Rendemen pengawet asap cair
Bahan Baku Rendemen(%) Sumber
Cangkang kemiri 11,30 -
Tempurung kelapa 11,83 Yuniningsih dan Anggraini, 2013
Sabut kelapa 28 Fatimah, 2011
Sekam 30,88 Novita, 2011
Sampah organik padat 32,87 Haji et al., 2007
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwarendemen asap cair cangkang kemiri
sebesar 11.30% dan hal ini tidak jauh berbeda dengan rendemen berbahan baku
cangkang kelapa sebesar 11,83% (Yuniningsih dan Anggraini, 2013). Namun
rendemen yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan rendemen sabut kelapa 28%,
sekam 30,88% dan sampah organik padat 32,87%. Hal ini disebabkan bahwa
bahan baku yang tipis dan kecil akan memiliki permukaan yang luas sehingga
memiliki luas permukaan yang luas untuk terkena panas sehingga komponen
kimia menjadi lebih banyak dan rendemen yang dihasilkan meningkat.
Novita(2011) menjelaskan bahwa rendemen asap cair dapat disebabkan oleh
bahanbaku; 3. Tungku pembakaran seharusnya ditutup dengan batu bata dan tanah
untukmenghindari panas keluar berlebih.
Produktivitas alat adalah banyaknya asap cair yang mampu dihasilkan
dalam per menit atau jam.Hasil produktivitas pirolisator dalam menghasilkan asap
cair yang diperoleh dalam penelitian ini pada Tabel 5
Tabel 5. Produktivitas pirolisator Pemasakan Cangkang
Kemiri
Asap cair (l) Rendemen Produktivitas
I 8 kg 0,90 11,25 0,18
Berdasarkan Tabel 5, produktivitas rata-rata asap cair yang dihasilkan
pada penelitian sebesar 0,18 l/jam. Pada tabel 5 dapat juga dilihat bahwa
produktivitas berbanding lurus terhadap rendemen asap cair sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi rendemen asap cair maka semakin tinggi pula
produktivitas pirolisator.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan bahan baku, cangkang
kemiri warna yang dihasilkan adalah warna kuning kehitaman seperti pada
Gambar 5. Hal ini disebabkan oleh proses yang dilakukan hanya satu kali destilasi
sehingga menghilangkan kadar karbon jenuh, ini sesuai dengan Himawati (2010)
yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kualitas dan warna asap cair yang
bagus dilakukan pemprosesan dengan destilasi berulang-ulang sehingga dapat
Gambar 5. Asap cair cangkang kemiri
Retensi
Keberhasilan suatu pengawetan dapat diukur berdasarkan besarnya retensi
atau banyaknya bahan pengawet yang masuk kedalam contoh uji. Grafik
pengukuran retensi bahan pengawet asap cair terhadap kayu sengon dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan retensi kayu sengon terhadap kayu karet
Jenis Kayu Asap Cair Retensi (g/cm³)
Sengon Cangkang kemiri Kontrol : 0
5% : 0,29 10% : 0,55 15% : 0,71 20% : 0,99
Karet Kayu laban Kontrol : 0
5% : 0,0095 10% : 0,018 15% : 0,0245
Karet Tempurung kelapa Kontrol : 0
20% : 0,04 30% : 0,05 40% : 0,07
Berdasarkan Tabel 6 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan nilai
retensi sejalan dengan bertambahnya konsentrasi asap cair sebagai bahan
penelitian menunjukkan bahwa nilai retensi bahan pengawet pada kayu sengon
berdasarkan perbedaan konsentrasi mempunyai nilai retensi yang berbeda pula.
Semakin besar konsentrasi bahan pengawet yang digunakan semakin tinggi nilai
retensi yang akan dicapai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suranto (2002) yaitu
semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi)
dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar. Sebaliknya, semakin
sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula
retensi pengawetan.
Tingginya daya serap kayu terhadap larutan bahan pengawet kemungkinan
terjadi karena pori-pori kayu dengan persentase rongga yang besar sehingga
mampu menyerap secara optimal dengan tingkat penyerapan larutan bahan
pengawet berbeda-beda, selain itu tingkat kadar selulosa dan lignin di dalam kayu
juga mempengaruhi tingkat penyerapan kayu terhadap bahan pengawet,
selanjutnya berat jenis kayu berhubungan langsung dengan porositas atau proporsi
volume rongga kosong (Haygreen dan Bowyer, 1996). Hal ini sesuai dengan perbedaan nilai retensi kayu karet menggunakan asap cair kayu laban
terendah pada konsentrasi 5% sebesar 0,0095g/cm³ dan tertinggi pada konsentrasi
15% sebesar 0,018g/cm³ (Prawira et al., 2013). Sama halnya dengan kayu karet yang menggunakan asap cair tempurung kelapa sebagai pengawet dengan nilai
retensi terendah pada konsentrasi 20% sebesar 0,04g/cm³ dan tertinggi pada 40%
sebesar 0,07g/cm³ (Sumediet al., 2011). Kerapatan kayu karet berkisar antara 0,43–0,65 g/cm³dengan berat jenis rata-rata 0,54 g/cm³ sehingga termasuk dalam
kelas berat kayu sedang dan kayu sengon tergolong ringan berat jenis
rongga dinding sel akan semakin besar, sehingga larutan bahan pengawet akan
semakin mudah untuk masuk jauh ke dalam kayu.
Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair
berpengaruh nyata terhadap nilai retensi pada contoh uji kayu sengon. Pada uji
lanjut BNT pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa pada masing-masing perlakuan
berbeda nyata terhadap semua perlakuan dan konsentrasi asap cair cangkang
kemiri yang cukup baik sebagai retensi adalah 20%.
Pengujian Efektivitas Asap Cair Terhadap Rayap Tanah
Kehilangan berat merupakan salah satu indikator untuk menentukan
keawetan suatu jenis kayu. Semakin tinggi kehilangan berat berarti kayu semakin
tidak awet yang ditunjukkan dengan adanya kerusakan di sekitar contoh uji.
Umumnya kerusakan kayu akan berkurang, sejalan dengan meningkatnya
konsentrasi bahan pengawet. Kehilangan berat menggambarkan penurunan
ketahanan kayu, karena rayap menyerang dinding sel kayu sehingga kekuatan
kayu juga semakin menurun. Sebagaimana diketahui bahwa selulosa merupakan
makanan utama rayap yang berarti semakin banyak selulosa yang terdegradasi
berart semakin banyak pula kehilangan beratnya, maka semakin rendah ketahanan
kayu.
Pengujian efektivitas asap cair terhadap rayap tanah dilakukan dengan
metode uji kubur yakni dengan mengumpankan contoh uji kayu di sekitar sarang
rayap tanah di lapangan untuk mengukur ketahanan kayu terhadap rayap tanah
berdasarkan kehilangan berat.Hasil pengujian kehilangan berat kayu pada uji
9.49
Gambar 6. Kehilangan berat kayu sengon setelah uji kubur
Pada Gambar 6. tampak jelas bahwa kehilangan berat cenderung menurun
seiring dengan meningkatnya konsentrasi bahan pengawet. Kehilangan berat yang
paling mencolok terlihat pada kontrol kayu sengon yang mencapai 9,49%.
Banyaknya berat kayu yang hilang disebabkan oleh kayu sengon mempunyai kelas
awet IV–V sehingga rayap tanah lebih banyak menyerang pada uji kayu ini. Berbeda
dengan halnya pada pengawetan kayu asap cair 5% kehilangan berat sebesar 3,53%
kategori tahan, asap cair 10% kehilangan berat sebesar 2,54% kategori tahan, asap
cair 15% kehilangan berat sebesar 1,96% kategori tahan dan asap cair 20%
kehilangan berat sebesar 1,65% kategori tahan. Semakin tinggi konsentrasi asap
cair cangkang kemiri pada kayu sengon maka kehilangan berat kayu tersebut semakin
kecil. Dapat diasumsikan bahwa kayu yang diberi pengawet asap cair cangkang
kemiri dengan konsentrasi meningkat merupakan suatu zat yang tidak disukai oleh
rayap atau mengandung racun. Perbedaan ini diyatakan oleh Darmadjiet al.(1999) bahwa kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap
serangan rayap daripada kayu yang tanpa diolesi asap cair.
Kehilangan berat kayu menurun diikuti dengan konsentrasi asap cair yang
semakin meningkat diakibatkan dari komponen senyawa yang dikandung asap
antibakteri dapat mencegah atau menghambat perkembangan bakteri di dalam
pencernaan rayap (Tranggono et al.,1997).
Asap cair ini juga mengandung senyawa turunan fenol dan asam organik
lainnya yang memungkinkan mengganggu sistem pencernaan rayap apabila
mengkonsumsi dan menyebabkan rayap menjauh. Tranggono et al. (1997) menyatakanbahwa fenol dan asam organik merupakan senyawa utama di dalam
asap cair yang bersifat bakteriostatik/bakteriosidal yang dapat mengganggu
bakteri di dalam sistem pencernaannya.
Guaiakol atau C6H4(OH)(OCH3) yang berkonsentrasi tertinggi hingga
45,62% dalam asap cair limbah cangkang kemiri ini memiliki peran penting
dalam mencegah serangan rayap. Guaiakol merupakan senyawa turunan fenol
yang bersifat antibakteri. Selain guaiakol, asap cair juga mengandung Kreosol
(C8H10O2) dengan konsentrasi 19,64% yang bersifat racun. Kreosol ini biasanya
digunakan dalam pengawetan kayu yang dalam atau dekat tanah, dan pada kayu
yang digunakan pada struktur luar ruang yang terpapar seperti dok laut, pagar,
lantai terbuka, serambi masuk dengan metode tekanan (Allen, 2005).
Asap cairyang direndam pada kayu sengon dengan berbagai konsentrasi
ini mengandungkomponen kimia yang bersifat racunseperti guaiakol, kreosol,
dan 4-Ethylguaiacol. Asap cair cair ini juga megandung asam asetat yang bersifat
bau asam sehingga rayap tidak suka dan menjauhi kayu tersebut. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Nuriyatin el al.(2003) bahwa orientasi makan dapat berlangsung secara acak dan dapat pula berlangsung karena pengaruh tertentu,
bagian permukaan. Bila bagian tersebut tidak cocok, mereka akan beralih ke
bagian lain sampai ditemukan bagian yang tidak sesuai dan memenuhi syarat
sebagai makanan. Jika makanan itu sesuai, rayap akan meneruskan proses
makannya, sebaliknya jika makanan itu tidak memenuhi syarat, rayap
meninggalkan makanan yang disediakan dan rayap memilih untuk tidak makan
kayu.Pada kondisi di alam, rayap mempunyai banyak pilihan makanan. Dalam
keadaan demikian rayap akan memilih makanan yang paling sesuai.
Penentuan kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah didasarkan
pada presentase kehilangan berat. Berdasarkan nilai kehilangan berat skala
lapangan bahwa dapat ditentukan ketahanan pada masing-masing kayu dengan
berbagai konsentrasi, dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai ketahanan kayu pada uji kubur.
Konsentrasi Kehilangan berat (%) Ketahanan kayu
Kontrol 9,49 Tidak tahan
5% 3,53 Tahan
10% 2,54 Tahan
15% 1,96 Tahan
20% 1,65 Tahan
Hasil analisis sidik ragam kehilangan berat menunjukkan bahwa
konsentrasi asap cair berpengaruh nyata terhadap nilai kehilangan berat pada
contoh uji kayu sengon. Pada uji lanjut BNT menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 20% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
tetapi pada kontrol menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa konsentrasi asap cair pada kayu sengon yang cukup baik untuk mencegah
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Semakin tinggi konsentrasi pengawet asap cair limbah cangkang kemiri
maka tingkat keawetan kayu meningkat terhadap serangan rayap tanah.
2. Komponen kimia yang diperoleh hasil identifikasi pada asap cair terdapat 18 jenis. Adapun 5 senyawa kimia dominan yaitu guaiakol paling tinggi
dengan konsentrasi 45,62% diikuti dengan 4-metil guaiakol 19,64%,
furfural 7,48%, etil guaiakol 5,46%, dan levoglukosan 3,81%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap organisme perusak kayu
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 2002. Pengujian daya racun cuka kayu laban terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Skripsi. Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Allen, E. 2005. Dasar-dasar Konstruksi Bangunan Bahan-bahan dan Metodenya Edisi Ketiga Jilid I. Erlangga. Jakarta.
Atmosuseno, B.S. 1998. Budidaya, Kegunaan, dan Prospek Sengon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Budijanto, S., R. Hasbullah, S. Prabawati, Setyadjit, Sukarno, dan I. Zuraida. 2008. Identifikasi dan uji keamanan asap cairtempurung kelapa untuk produk pangan. Pascapanen 5(1): 32-40.
Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. FakultasTeknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
__________. 1996. Antibakteri asap cair dari limbah pertanian.Agritech 16:19-22.
Darmadji, P., Supriyadi dan C. Hidayat. 1999. Produksi asap rempah cair dari limbah padat rempah dengan cara pirolisis. Agritech 19 : 11-15.
Duljapar, K. 2001. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Fatimah, F. 2011. Komposisi dan aktivitas antibakteria asap cair sabut kelapa
yang dibuat dengan teknik pembakaran non pirolisis.
Agritech 31(4):305-311.
Frick, H., dan Moediartianto. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu Seri Konstruksi Arsitektur Jilid 6. Kanisius. Yogyakarta.
Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat and Meat Products. Ellis Horwood. New York.
Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2007. Metode Kromatografi untuk Analisis Makanan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Hadad, M dan O.U. Suryana. 1995. Kemiri. Balittro 9:33-45.
Haji, A.G., Z.A.Mas’ud, B.W. Lay, S.H. Sutjahjo, dan G. Pari. 2007. Karakterisasi asap cair hasil pirolisis sampah organik padat. Tek. Ind. Pertanian 16 (3):111-118.
Himawati, E. 2010. Pengaruh penambahan asap cair tempurung kelapa destilasi dan redestilasi terhadap sifat kimia, mikrobiologi, dan sensoris ikan pindang layang (Decapterus Spp) selama penyimpanan. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Inward, D.J., G. Beccaloni, dan P. Eggleton. 2007. Death of an order: a comprehensive molecular phylogenetic study confirms that termites
are eusocial cockroaches.Biol. Lett. 3:331-335.
Iskandar, M.I. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) untuk kayu rakitan. Prosiding.Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor. hal 183-195.
Krisnawati, H., M. Kallio, dan M. Kanninen. 2011. Aleurites moluccana (L.) Willd. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR. Bogor.
Kehrwald, N., R. Zangrando, P. Gabrielli, J.L. Jaffrezo, C. Boutron, C. Barbante, A. Gambaro. 2012. Levoglucosan as a specific marker of fire events inGreenland snow. Tellus 2:64-72.
Lakshmanan, C.M. dan H.E. Hoelscher,. 1970. Production of levoglucosan by pyrolysis of carbohydrates. Industrial & Engineering Chemistry Product
Research and Development9:57.http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/i360033a011 [10
Mei 2014]
Lempang, M., W. Syafii, dan G. Pari. 2011. Struktur dan komponen arang serta
arang aktif tempurung kemiri. Penelitian Hasil Hutan 29 (3):278-294.
Luditama, C. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa secara Pirolisis dan Distilasi. IPB Press. Bogor.
Lusyani. Badarudin. dan I.N.A. Ratnadi. 2008. Daya tahan enam jenis kayu terhadap serangan rayap tanah tanpa pengawet dan dengan pengawet lentrek 400 EC. Prosiding.Seminar Nasional MAPEKI XI. 8–10 Agustus 2008. Palangkaraya. hal 555-556.
Maga, J.A. 1987. Smoke in Food Processing. CRC Press.Inc Boca Raton. Florida.
Martawijaya, A.I. 1996. Petunjuk Teknis Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhinya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Mitsuyoshi, Y. 2002. Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo. Tokyo.
Nandika, D., Y. Rismayadi, dan F. Diba. 2003. Rayap. Muhammadiyah University Press. Surakarta.
Novita, S.A. 2011. Kinerja dan analisis tekno-ekonomi alat penghasil asap cair dengan bahan baku limbah pertanian. Universitas Andalas Press. Padang.
Nurhayati, T., R.A. Pasaribu, dan D. Mulyadi. 2006. Produksi dan pemanfaatan cuka kayu dari serbuk gergaji kayu campuran. Penelitian Hasil Hutan 24 (5):395-411.
Nuriyatin, N., E. Apriyanto, N. Satriya, dan Saprinurdin. 2003. Ketahanan lima jenis kayu berdasarkan posisi kayu di pohon terhadap serangan rayap.
5(2):77-82.
Paimin, F.R., 1997. Kemiri: Budidaya dan Prospek Bisnis.Penebar Swadaya. Jakarta.
Pollnitz, A., K. Pardon, dan M. Selfon. 2000. 4-Etyhlphenol, 4-Ethylguaiacol and oak lactones in australian red wines.Australia Grapegrow Winemak 438(45): 47-50.
Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Prawira, H., H.A. Oramahi, D. Setyawati, dan F. Diba. 2013. Aplikasi asap cair
dari kayu laban (Vitex Pubescens Vahl) untuk pengawetan kayu karet.
Hutan Lestari 1(1):16-22.
Santoso, H. B. 1992. Budi Daya Sengon. Kanisius. Yogyakarta.
Siregar, I.Z., T. Yunanto, dan J. Ratnasari. 2008. Prospek Bisnis, Budidaya, Panen dan Pasca Panen Kayu Sengon.Penebar Swadaya. Jakarta.
Sumedi, A., E. Budiarso, dan I.W. Kusuma. 2011. Pemanfaatan asap cair dari tempurung kelapa sebagai bahan pengawet kayu karet(Hevea brasiliensis
Muell. Arg.). Prosiding. MAPEKI XIV. 2 November 2011. Yogyakarta. Hal. 515-522
Sunanto, H. 1994. Budidaya Kemiri, Komoditas Ekspor. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarsih, S., Y. Pratiwi, dan Y. Sunarto. 2012. Pengaruh suhu, waktu dan kadar air pada pembuatan asap cair dari limbah padat pati aren. Prosiding.
Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III. 3 November 2012. Yogyakarta. hal 290-297.
Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan dan Metode. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, Y. 2002. Pengawetan Kayu. Kanisius. Yogyakarta.
Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor.Bogor.
Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Tranggono, S., B. Setiadji, Darmadji, Supranto, Sudarmanto, & R. Arumanto. 1997. Identifikasi asap cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu III (1995-1997). Yogyakarta.
Wijanarko, A., J.A.Witono, dan M.S. Wiguna. 2006. Tinjauan komprehensif perancangan awal pabrik furfural berbasis ampas tebu di Indonesia.Jurnal Teknologi 20 (2): 1-10
Wijaya, M., E. Noor, T.T. Irawadi, dan G. Pari. 2008. Karakterisasi komponen kimia asap cair dan pemanfaatannya sebagai biopestisida. Bionature 9 (1):34-40.
Witono, J.A. 2003.Produksi Furfural dan turunannya; Alternatif Peningkatan Nilai Tambah Ampas Tebu Indonesia. Teknik Gas dan Petrokimia. Universitas Indonesia Jakarta.
Yuniningsih, S. dan S.P. Anggraini. 2013. Characterization of liquid smoke from coconut shell to be applicated as safe food preservatives for human health.
Agric. Food. Tech. 3(2):1-5.
smoke-LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai retensi dan kehilangan berat kayu sengon
Konsentrasi Ulangan Retensi
Lampiran 2. Hasil analisis sidik ragam retensi
SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel 5%
Konsentrasi 4 1.7471 0.43667 156.364* 3.478
Galat 10 0.0279 0.00279
Total 4 1.7750
Keterangan: *= menunjukkan berpengaruh nyata
Lampiran 3. Notasi uji BNT(0,05) retensi kayu sengon terhadap pengawet asap cair
cangkang kemiri
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom menunjukkantidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam kehilangan berat kayu sengon
SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel 5%
Konsentrasi 4 126.295 31.574 6.638* 3.478
Galat 10 47.57 4.757
Total 4 173.865
Keterangan: *= menunjukkan berpengaruh nyata
Lampiran 5. Notasi uji BNT(0,05) kehilangan berat kayu sengon kayu sengon
Asap Cair Rataan Notasi
Lampiran 6. Dokumentasi penelitian
(a) (b)
Gambar 7. (a) Cangkang kemiri sebagai bahan baku asap cair (b) Arang cangkang kemiri hasil pembakaran
(a) (b)
Gambar 8. (a) Pirolisator yang digunakan; (b) Asap cair yang dihasilkan
Gambar 10. Pengkondisian contoh uji
Gambar 11. Contoh uji sebelum dilakukan uji kubur