SKRIPSI
ALASAN TURKI DI BAWAH PEMERINTAHAN ERDOGAN SEPAKAT BEKERJA SAMA DENGAN UNI EROPA DALAM
PENANGANAN IMIGRAN
The Reason of Turkey under Erdogan Government to Approve the European Union Collaboration in Hadling the Immigrants
Disusun Oleh :
Itsnaini Permata Hati
20130510104
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ALASAN TURKI DI BAWAH PEMERINTAHAN ERDOGAN SEPAKAT BEKERJA SAMA DENGAN UNI EROPA DALAM PENANGANAN
IMIGRAN
The Reason of Turkey under Erdogan Government to Approve the European Union Collaboration in Hadling the Immigrants
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Studi pada
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : Itsnaini Permata Hati
20130510104
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum
pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain. Dalam skripsi ini
tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang
lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah
dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta, 23 Desember 2016
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Alasan Turki di bawah Pemerintahan Erdogan Sepakat Bekerja Sama dengan Uni Eropa dalam Penanganan Imigran” dengan baik dan lancar.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana Strata-1 (S1) dari Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, dan sekaligus sebagai penerapan dari teori-teori, dan model yang
telah penulis peroleh selama berada di bangku kuliah. Ucapan terima kasih
penulis dedikasikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses
studi dan penulisan skripsi ini. Tentunya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A selaku Rektor Universitas
Muhammmadiyah Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Ali Muhammad, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Ibu Dr. Nur Azizah M.Si, selaku Kepala Prodi Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Ibu Siti Muslikhati, S.IP., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang
dengan sabar selalu meluangkan waktunya untuk membimbing,
mengarahkan, serta memberi masukan kepada penulis.
5. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si. selaku Penguji I yang telah menguji dan
v
6. Bapak Takdir Ali Mukti, S.Sos., M.Si selaku Penguji II yang telah
memberikan saran dan masukkan yang membuat skripsi ini menjadi lebih
baik.
7. Bapak Dr. Surwandono, M.Si. selaku salah satu tim Penguji Proposal
Skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang bermanfaat.
9. Bapak Jumari, Pak Waluyo, dan Pak Ayub yang siap dan sabar melayani
pertanyaan mahasiswa.
Terima kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan
yang berlipat ganda. Amin.
Yogyakarta, 23 Desember 2016
vi MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” ( QS. Al-Insyirah 94 : 6)
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini sebagai bentuk rasa syukur penulis kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta penulis persembahkan kepada :
Kedua orang tua, Ibu Siti Mutmainah dan Bapak Joko Sugianto, terima kasih Buk, Pak, atas do’a dan dzikirnya yang tak pernah putus, pengorbanannya, motivator, konsultan fisik maupun psikis serta sponsor utamanya. Terima kasih
atas segala kesabaran Ayah dan Ibu dalam menghadapiku selama ini.
Kakakku Muh. Misbahul Munir Arip Pratama dan kakak iparku Anita Fitriyanti yang telah memberikan semangat dan kebahagiaan untukku.
Seluruh keluarga yang ada di Solo dan Boyolali, terima kasih atas semangatnya selama ini.
Dini Oktavia, Ramita Paraswati, Laila Rezvina B., Mawwadah Fauziah, Sulis, Nurani Anggi Sagita, Annisa Fauziyyah Islami, Elsa Fahmi Wijayanti,
Tata Septin Meisinta, Indah Fitria Dewi, Arina Nuri Alfi Rosyada, Wahyunanda, Firtya Maha Putri, Nanda Harahap, Aat Rif’ati, Wayan Triana yang selama ini telah menjadi saudariku selama di Yogyakarta. Terima
kasih karena kalian mau menemaniku bahkan di saat kondisi paling buruk
sekalipun. Terima kasih karena telah memberikan warna dalam kehidupanku di bangku perkuliahan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan kebaikan untuk kalian dan yang belum wisuda untuk segera dimudahkan dalam menyelesaikan
S1-nya. Semoga persahabatan kita tak berhenti sampai di sini. Amin.
Kresna Budhi Samboda, Hilmi Prabowo, Bryan Bimantoro, Ahmad Muarif, Adhi Sudrajat, Andi Muhammad Ibnu Aqil, yang selama ini telah menjadi
kakak maupun saudara yang bisa diandalkan dalam bidang apapun selama di Yogyakarta. Semoga kemudahan dalam menyelesaikan segala urusan selalu menyelimuti kalian. Semoga persahabatan kita tak berhenti sampai di sini. Amin.
Teman-teman dari HI kelas B Reguler, terima kasih kalian semua yang telah
viii
Muhammad 2014 yang telah memberikanku banyak pelajaran berharga dan
partner terbaikku dalam belajar hidup mandiri di Yogyakarta. Teman-teman dan
matesdelegasi Costa Rica2013 sekalian yang telah menjadi teman-teman
pertamaku. Teman, kakak, dan adik Divisi Redaksi pada khususnya dan LPPM Nuansa pada umumnya, terima kasih atas support, saran, dan kegilaanya selama
ini, aku terhibur dan bangga belajar bersama kalian. Teman, kakak,dan adik Divisi Pers Mahasiswa pada khususnya dan KOMAHI pada umumnya yang telah
memberikanku banyak pelajaran hidup dan pengalaman yang sangat berharga, aku bangga pernah bekerja sama dengan kalian. Adik-adik dan partnermates delegasi
Thailand 2014 yang telah mau menerimaku apa adanya. Teman-teman KKN Kelompok 44 2016 Dusun Karanganyar yang telah mengajariku banyak hal berharga, terima kasih untuk mau berproses bersama. Terima kasih kepada
teman-teman seperjuangan HI 2013 dan bimbingan Bu Siti Muslikhati, semoga kalian sukses selalu. Amin.
Terima kasih kepada Motor Beat Biru kecil yang sudah tak pernah lelah mengantarkanku dari pagi buta hingga tengah malam baik rapat, nugas, sekolah maupun main. Terima kasih kepada laptop Lenovo Hitam yang dengan senantiasa tidak pernah rewel walaupun sering kutinggal tidur, dan menjadi tempat bermain,
tempat menuntut ilmu dan teman pelipur lara yang setia.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRACT ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Kerangka Berpikir ... 7
D. Hipotesis ... 12
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Jangkauan Penelitian ... 12
G. Metode Penelitian... 13
1. Jenis Penelitian ... 13
2. Teknik Pengumpulan Data ... 13
3. Teknik Analisis Data ... 14
H. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II POLITIK LUAR NEGERI TURKI SEBELUM PEMERINTAHAN ERDOGAN ... 16
A. Politik Luar Negeri Sebelum Masa Erdogan (Sekularisme) ... 17
B. Hubungan Turki dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization) .... 25
C. Hubungan Turki Dalam Upayanya Menjadi Anggota Uni Eropa ... 27
BAB III POLITIK LUAR NEGERI ERDOGAN DAN KERJA SAMA PENANGANAN IMIGRAN TURKI & UNI EROPA ... 32
A. Sikap Erdogan Terhadap Timur Tengah ... 32
x
C. Penanganan Imigran di Negara Timur Tengah yang Lain ... 44
D. Kerja Sama Turki – Uni Eropa dalam Penanganan Imigran ... 52
BAB IV KEUNTUNGAN TURKI DALAM KERJA SAMA PENANGANAN IMIGRAN DENGAN UNI EROPA ... 70
A. Peluang Turki Dinegosiasikan Menjadi Calon Anggota Uni Eropa ... 80
B. Keuntungan Janji Ekonomi dengan Fasilitas Perjalanan Tanpa Visa (mendapatkan visa Schengen) ke Uni Eropa ... 87
C. Bantuan Perbaikan Kondisi Perbatasan Turki - Suriah ... 99
BAB V KESIMPULAN ... 103
Daftar Pustaka ... 108
ABSTRACT
Collaboration between Turkey and European Union in handling immigrants became a
controversial cooperation for Turkey under Erdogan government. Erdogan based who are
leader that makes Turkey’s foreign policy Islam oriented. When Syria conflict exploded in 2011,
Syrian came out from their countries and became refugee in Middle East and European Union
Countries. Turkey welcomed Syrian refugees with Open Door Diplomacy. This study will explain
why Turkey under Erdogan Government approved the European Union collaboration in hadling
the immigrant using the model of rational actor in order to calculate the benefit from the
collaboration. The preliminary results of the research show that Turkey approved the
collaboration because Turkey wanted European Union actualize three points in that
cooperation. First, Turkey will take benefit from European Union to re-energise the accession
process for full membership Turkey in European Union. Second, Turkey will take a benefit from
the fulfilment of the visa liberalisation roadmap will be accelerated by European Union for
Turkish citizen. Third, Turkey will take a benefit from the point that The EU and its Member
States will work with Turkey in any joint endeavour to improve humanitarian conditions inside
Syria, in particular in certain areas near the Turkish border.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Turki pada masa Mustafa Kemal Atatürk tahun 1923 ingin melepaskan
segala hal yang berhubungan dengan unsur Islam di Turki. Mustafa Kemal
Atatürk membuang semua unsur di Era Ottoman, kecuali beberapa unsur
kemegahan masa lalu, dan memperbaharuinya dengan Westernisasi dan
sekularisme. Pada dekade pertama setelah berdirinya republik, Kemalis
melakukan serangkaian reformasi yang memutuskan hubungan Turki dengan
masa lalu Islam dan untuk dunia Islam secara lebih luas. Kekhalifahan yang
dipimpin oleh pemimpin spiritual dunia Muslim Sunni dihapuskan. Abjad
Latin (dimodifikasi untuk mengakomodasi suara Turki) diperkenalkan
menggantikan tulisan Arab, dan usaha dibuat untuk membersihkan bahasa
Turki kata-kata dari bahasa Arab. Kemal juga mengganti agar jas daripada
pakaian tradisional. Semua lembaga keagamaan dan sumber daya dibawa di
bawah kendali negara (Rabasa, 2008).
Pada masa sebelum Erdogan, perjalinan mitra antara Negara Turki dan
Uni Eropa secara resmi terjadi pada tahun 1959. Pada saat itu, Turki
mengajukan diri menjadi anggota dalam Masyarakat Ekonomi Eropa
(European Economic Community/ EEC) (Chronology of Turkey – European
Union Relatios (1959-2015), 2015). Lalu Perjanjian Ankara yang
2
tanggal 1 Desember 1964. Perjanjian Ankara juga secara eksplisit ditentukan
bahwa kemitraan rezim yang dibentuk akan memfasilitasi masuknya Turki ke
Uni Eropa. Ada pula perjanjian Turki dengan The Custums Union, yang
merupakan tahap penting dari integrasi Turki dengan Uni Eropa, mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1996 (Turkey-EU Relations). Selama ini,
hubungan antara Turki dan Uni Eropa selalu baik. Hanya mengenai masalah
keanggotaan Uni Eropa saja yang menjadi ganjalan hubungan antara Turki –
Uni Eropa. Pun keanggotaan Turki dalam NATO yang sampai sekarang masih
terbilang baik dan Turki juga berkontribusi banyak di NATO.
Pada saat Erdogan mulai menjabat di tahun 2003, Erdogan mulai
menerapkan zero problem neighbor yang pro ke Timur Tengah. Turki
mengalami berbagai perkembangan hubungan diplomatis dengan
negara-negara yang sebelumnya bersengketa dengan Turki yakni dengan negara-negara
Timur Tengah. Beberapa diantaranya antara lain adalah, normalisasi
hubungan diplomatis dengan Iraq yang sebelumnya mengalami pembekuan
akibat adanya KRG (Kurdistan Regional Government) di wilayah Iraq akibat
adanya keterkaitan langsung dengan gerakan gerilya suku Kurdi di wilayah
Turki. Hubungan diplomatis dengan Syria yang telah bersitegang semenjak
peristiwa aneksasi provinsi Hatay ke dalam wilayah Turki serta keterlibatan
pemerintah Syria dalam mendukung gerakan separatis suku Kurdi oleh partai
3
Namun serangkaian perkembangan positif tersebut di sisi lain tidak
diikuti dengan perkembangan yang terjadi dalam negosiasi keanggotaan Turki
ke dalam Uni Eropa. Negosiasi yang berjalan semenjak tahun 2004 tersebut
mengalami stagnasi, dari 35 poin Acquis Communaitaire, yang diajukan
hanya satu bab yang telah disetujui dan dianggap telah memadai yaitu dalam
bab kebijakan industri dan firma perusahaan. Sedangkan 31 bab yang lain
masih dinegosiasikan dengan 17 diantaranya telah dibekukan untuk waktu
yang belum ditentukan (Putra, 2013).
Pada saat perang Suriah pecah pada tahun 2011, Turki menjadi salah satu
negara yang menjadi tujuan para warga sipil Suriah untuk mengungsi dari
negaranya. Akibat letaknya yang berbatasan dengan Suriah, Turki merasakan
dampak langsung dari adanya Perang Saudara yang masih terjadi di Suriah.
Serangkaian bentrokan sengit yang terjadi antara pasukan pemerintahan
Presiden Bashar al-Assad dengan kubu pemberontak berlangsung dekat Kota
Aleppo bagian utara Suriah. Akibat pertempuran itu, ribuan pengungsi
melarikan diri ke perbatasan Suriah-Turki. Turki merupakan pintu pertama
bagi para pengungsi dari Suriah yang mencari aman dari perang di negara
mereka (Bentrokan sengit di Suriah, ribuan pengungsi berkumpul dekat Turki,
2016)
Untuk menghadapi pengungsi yang melarikan diri ke Turki, pada Maret
2011 Turki menerapkan kebijakan Open Door Policy dalam menangani
4
continue). Melalui kebijakan ini, Turki mengambil sikap untuk tidak menolak
atau mengusir para pengungsi asal Suriah karena lari dari peperangan. Tidak
hanya menampung, pemerintah Turki juga memberikan mereka kesempatan
untuk dapat membaur dan bekerja di negara tersebut (Armandhanu, 2015).
Menteri Tenaga Kerja dan Keamanan Sosial Turki, Ahmet Erdem
mengatakan, Turki telah mengantisipasi segala dampak buruk yang mungkin
timbul, salah satunya tingginya angka pengangguran. Karena itulah Turki
memberikan kesempatan kerja bagi warga Suriah yang memasuki negara itu
dengan izin. Bagi kelompok pengungsi yang memasuki Turki dengan
dokumen lengkap seperti paspor dan mendaftarkan dirinya, diberikan izin
kerja di Turki dan memulai usaha sendiri. Namun bagi pengungsi yang masuk
secara ilegal akan ditampung di kamp pengungsi di dekat perbatasan,
diberikan nomor pengungsi, dan pelatihan agar bisa berbaur dengan
masyarakat sekitar. Turki telah meningkatkan kemampuan dalam mengatasi
pengangguran, salah satunya dengan memberikan insentif dan subsidi bagi
pengungsi yang ingin mencari kerja. Hal ini diharapkan dapat meredam
kecemburuan sosial dalam masyarakat Turki terhadap warga pengungsi yang
bekerja (Armandhanu, 2015) Ini merupakan alasan Kebanyakan pengungsi
melarikan diri ke arah Turki karena perlakuan Turki kepada para pengungsi
korban perang disebut lebih baik dibandingkan negara-negara sekitar yang
lain. Kebijakan Open Door Policy inilah yang tidak dimiliki negara lain di
5
Sejak Oktober 2013, jumlah pengungsi Suriah telah meningkat lebih dari
tiga kali lipat angka dan sekarang hampir dua juta pengungsi yang terdaftar.
Sejumlah besar orang Kurdi juga telah melarikan diri ke Turki sebagai akibat
dari serangan ISIS di kota Suriah utara Ayn al-Arab. Hanya 10 persen dari
pengungsi tinggal di kamp-kamp yang dikelola pemerintah, mayoritas hidup
tersebar di antara kota-kota di sepanjang perbatasan Suriah, meskipun
pengungsi dapat ditemukan di seluruh negeri (Armandhanu, 2015). Turki
telah membangun 26 kamp pengungsian sementara sebagai bagian dari
kebijakan Open Door Diplomacy untuk menerima pengungsi yang mereka
sebut sebagai “saudara kami dari Suriah”. Menurut data yang
diperoleh Anadolu Agency dari Badan Manajeman Bencana dan Kedaruratan
Turki (AFAD), Turki telah menghabiskan hampir 9 milyar dollar US kepada
pengungsi Suriah sementara organisasi bantuan internasional termasuk PBB
menghabiskan sekitar 455 Juta dollar US. Bantuan ini masih kurang
dibandingkan dengan yang sudah dikeluarkan pemerintah Turki untuk
pengungsi (Administrator, 2016).
Sekitar 135.000 warga Suriah telah terdaftar di Badan Pengungsi PBB
(UNHCR) di Mesir. Perkiraan oleh UNHCR dan organisasi kemanusiaan
lainnya menunjukkan bahwa populasi pengungsi Suriah di negara itu bisa
menjadi dua kali angka itu. Pengungsi tinggal di seluruh Lebanon di lebih dari
1.700 daerah. Banyak pengungsi yang tinggal di daerah yang miskin di
Libanon. Awalnya, para pengungsi Suriah yang tiba di Mesir disambut
6
solidaritas antara Suriah dan Mesir. organisasi bantuan Mesir baru
bermunculan untuk menawarkan bantuan kepada para pengungsi, dan secara
umum ada tingkat tinggi kepedulian terhadap kesejahteraan para pendatang
baru. Salah satu orang di Kairo mengatakan dengan revolusi mereka sendiri
masih segar dalam pikiran mereka.
Permasalahan mengenai membludaknya imigran juga dialami oleh negara
Timur Tengah yang lain. Namun, kehadiran mereka juga tidak begitu layak,
walaupun UNHCR ikut menanganinya. Begitu pula di Uni Eropa. Ini
disebabkan imigran yang berada di Turki banyak yang mengadu nasibnya ke
Uni Eropa yang diyakini memberikan kesempatan hidup lebih baik dibanding
Turki. (Nugraha, 2015). Namun sambutan di berbagai negara Eropa tidak
semuanya ramah, beberapa menolak. (AP/AFP/MYR, 2016 ) Ada
kekhawatiran di masyarakat Eropa bahwa kehadiran para pengungsi akan
menimbulkan permasalahan sosial di negara mereka. (Uni Eropa dan Turki
teken kesepakatan bendung imigran, 2015). Hingga akhirnya diadakan
Konferensi Brussel tanggal 7 Maret 2016 untuk menangani krisis pengungsi
dihadiri 28 negara termasuk Turki (Wesel, 2016). Menurut Komisaris Uni
Eropa untuk urusan imigrasi, Dimitris Avramopoulos, kerja sama dengan
Turki adalah tema kunci – sebuah kalimat yang bisa menjadi moto untuk
pertemuan kali ini. Namun, Turki tidak langsung mau menyepakati
kesepakatan dengan Uni Eropa. Salah satu alasannya karena kompensasi yang
7
(Kesepakatan Uni Eropa dan Turki soal migran resmi berlaku, 2016), padahal
Turki sudah menghabiskan 7.3 miliar poundsterling (Administrator, 2016).
Meskipun begitu, kesepakatan Turki dan Uni Eropa mengenai
penanganan imigran Suriah akhirnya mencapai tahap akhir pada 20 Maret
2016 (Dema, 2016). Perjanjian ini secara singkat berisi, yang pertama, semua
migran tak berdokumen resmi yang menyeberang dari Turki ke Yunani mulai
20 Maret akan dikirim kembali ke Turki. Setiap migran yang datang akan
ditinjau secara menyeluruh oleh aparat Yunani. Yang kedua, untuk setiap
migran asal Suriah yang dikembalikan ke Turki, migran Suriah yang telah
berada di Turki akan dikirim ke Uni Eropa. Prioritas akan diberikan bagi
mereka yang belum mencoba masuk Uni Eropa secara ilegal dan jumlahnya
dibatasi hingga 72.000 orang (Kesepakatan Uni Eropa dan Turki soal migran
resmi berlaku, 2016).
Turki pada masa Erdogan sangat kental dengan kebijakan yang lebih ke
arah Islam di negara-negara Timur Tengah, justru lebih berniat untuk bekerja
sama menangani imigran dengan Uni Eropa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, bisa ditarik rumusan
masalahnya sebagai berikut :
Mengapa Turki di Bawah Erdogan menerima kerja sama penanganan imigran dengan Uni Eropa, sedangkan di bawah Erdogan Turki PLN
8 C. Kerangka Berpikir
Teoretisasi hubungan internasional yang mempelajari politik luar
negeri, yaitu Graham T Allison, mengajukan tiga model untuk
mendeskripsikan proses pembuatan keputusan politik luar negeri. Ketiga
model tersebut adalah : Model Aktor Rasional, Model Proses Organisasi dan
Model Organisasi. Untuk menjawab pertanyaan alasan Turki menyepakati
penanganan imigran dengan Uni Eropa, maka saya akan menggunakan Model
Aktor Rasional
Di model ini, Graham T. Allison menjabarkan bahwa politik luar
negeri dipandang sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional,
terutama pemerintahan yang monolit, yang dilakukan dengan sengaja untuk
mencapai suatu tujuan. Pembuatan keputusan politik luar negeri digambarkan
sebagai proses intelektual. Perilaku pemerintah dianalogikan dengan perilaku
yang bernalar dan terkoodinasi. (Mas'oed, 1994). Politik luar negeri bisa
diartikan sebagai tindakan rasional (aktor rasional) suatu negara dalam usaha
memenuhi kepentingan nasionalnya di lingkungan internasional, dapat juga
berarti hanya sebagai pernyataan gramatik yang diucapkan oleh para
pemimpin atau penguasa suatu negara terhadap masyarakat internasional,
Aktor Rasional (Proses Intelektual)
9
dapat pula sebagai agregasi seluruh kepentingan dalam negeri suatu negara
atau bangsa. (Warsito, 1998, p. 73)
Pemerintah sudah mempertimbangkan secara baik dan rasional pada
penelaahan kepentingan nasional dan tujuan dari suatu bangsa,
alternatif-alternatif haluan kebijaksanaan yang bisa diambil oleh pemerintahnya, dan
perhitungan untung-rugi atas masing-masing alternatif itu dalam suatu
kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan. Para pembuat keputusan dalam
melakukan pilihan alternatif-alternatifnya dengan menggunakan “optimalisasi
hasil”. Ini dimaksudkan bahwa para pembuat keputusan memiliki informasi
yang cukup banyak sehingga optimal dalam melakukan penelusuran dan
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Allison mengungkapkan bahwa
model ini paling sering digunakan untuk menjelaskan politik luar negeri.
Model ini juga ingin menunjukkan bahwa jika kita ingin mencoba mengetahui
apa kira-kira kebijakan negara lain, kita harus menempatkan diri kita di posisi
mereka. (Mas'oed, 1994). Meyakini bahwa kebijakan pemerintah negara lain
dibuat karena memang ada suatu kejadian penting dan dipertimbangkan secara
rasional.
Dalam mengimplementasikan “optimalisasi hasil” tersebut,
pemerintah dalam menentukan kebijakan luar negeri menggunakan cara
dengan mempertimbangkan untung rugi dari masing-masing alternatif
kebijakan yang akan diambil. Pertimbangan ini bisa dilihat dalam table
10 Tabel 1.1 Tabel Untung Rugi
Opsi Keuntungan Kerugian
1. Alternatif A Ada Ada
2. Alternatif B Ada Ada
3. Alternatif C Ada Ada
Sumber : Graham T. Alison, “The Essence Of Decision”, dikutip dari diktat
perkuliahan Teori Hubungan Internasional, Nur Azizah, Fisipol-UMY, 2005.
Menurut model yang dijelaskan Graham T. Allison bahwa Turki pasti
sudah mempertimbangkan untung ruginya dalam kebijakan luar negerinya
memilih sepakat bekerja sama dengan Uni Eropa dalam penanganan imigran
dengan Uni Eropa. Hal ini bisa dijelaskan dalam tabel untung-rugi sebagai
11 Tabel 1.2
Aplikasi dari Tabel Untung Rugi Kerja sama Turki dengan Uni Eropa terhadap Penanganan Imigran
Opsi Keuntungan Kerugian
Kerja sama
Mendapatkan
peluang lebih untuk dipertimbangkan menjadi anggota Uni Eropa
Janji keuntungan
akses untuk
keuntungan ekonomi dengan fasilitas perjalanan tanpa visa
Bantuan Perbaikan Kondisi Perbatasan Turki - Suriah
Semakin banyak
12
Dari tabel di atas kita bisa melihat kerja sama penanganan imigran
antara Turki dan Uni Eropa lebih banyak memberikan keuntungan bagi Turki
dibandingkan ketika Turki menolak kerja sama tersebut. Walaupun itu berarti
harus menambah panjang daftar imigran yang berada di Turki. Keteguhan
Turki untuk mendapatkan banyak peluang menjadi anggota Uni Eropa tetap
menjadi pertimbangan yang sangat besar bagi Turki (Turkey-EU Relations).
D. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah serta kerangka pemikiran di atas, maka
dapat dijelaskan bahwa kepentingan Turki di bawah pemerintahan Erdogan
menerima kerja sama penanganan imigran dengan Uni Eropa karena
mendapatkan keuntungan :
1. Mendapatkan peluang lebih untuk dipertimbangkan menjadi anggota Uni
Eropa
2. Akses untuk keuntungan ekonomi dengan fasilitas perjalanan tanpa visa
(mendapatkan visa Schengen) ke Uni Eropa
3. Bantuan Perbaikan Kondisi Perbatasan Turki - Suriah
Opsi Keuntungan Kerugian
Menolak
Mengurangi jumlah imigran yang membludak di Turki
13 E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab Turki di Bawah
Erdogan menerima kerja sama penanganan imigran dengan Uni Eropa,
sedangkan di bawah Erdogan Turki PLN Turki berorientasi ke Islam.
F. Jangkauan Penelitian
Jangkauan penulisan dalam sebuah penelitian sangat diperlukan untuk
menghindari terjadinya penyimpangan pembahasan, dan juga untuk
membantu pembuktian terhadap hipotesa dan pokok permasalahan yang telah
ditentukan. Lebih jauh lagi, pembatasan dalam sebuah penelitian
dimaksudkan agar objek penelitian lebih jelas dan spesifik, sehingga
permasalahan dan kajian tidak keluar dari wacana yang telah ditetapkan.
Dalam penelitian ini peneliti akan membatasi penelitian dari Tahun 2003
sejak Partai AKP menang dan Recep Tayyip Erdogan menjadi Perdana
Menteri hingga Maret 2016 saat perjanjian antara Turki dan Uni Eropa dalam
penanganan imigran resmi berlaku. Jadi, batas penelitian yang dilakukan
peneliti melihat politik Erdogan pada negara-negara Timur Tengah hingga
kerja sama antara Turki dan Uni Eropa dalam penanganan imigran resmi
14 G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksplanatif, yang bertujuan
menjelaskan kepentingan Turki bekerja sama dengan Uni Eropa dalam
penanganan imigran.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah telaah
pustaka (library research), yaitu pengumpulan data dengan menelaah
sejumlah literatur baik berupa buku, jurnal, dokumen, artikel, dan makalah
yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis gunakan bersifat kualitatif, di mana
data yang penulis dapatkan bukan berbentuk angka, melainkan melalui
faktor-faktor yang relevan dengan topik penelitian.
H. Sistematika Penulisan
BAB I menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
kerangka teori, metode penelitian, tujuan penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II menjabarkan mengenai Politik Luar Negeri Turki sebelum
15
meliputi hubungan Turki dan NATO, lalu menjelaskan
mengenai upaya Turki masuk ke Uni Eropa sebelum
kepemumpinan Erdogan.
BAB III menjelaskan mengenai politik luar negeri pada masa Erdogan
dan kerja sama penanganan imigran Turki dan Uni Eropa. Di
sini penulis akan memaparkan mengenai sikap erdogan
terhadap Timur Tengah, penanganan imigran di Turki, negara
Timur Tengah yang lain dan Uni Eropa. Setelah itu, penulis
mengungkapkan kerja sama penanganan imigran di kawasan
Turki dan Uni Eropa.
BAB IV Menjelaskan mengenai keuntungan dari adanya kerjasama Uni
Eropa dan Turki dalam penanganan imigran. Keuntungan itu
meliputi mendapatkan peluang lebih untuk dipertimbangkan
menjadi anggota Uni Eropa. Lalu akses untuk keuntungan
ekonomi dengan fasilitas perjalanan tanpa visa (mendapatkan
visa Schengen) ke Uni Eropa, dan Bantuan Perbaikan Kondisi
Perbatasan Turki - Suriah
BAB V Menjelaskan mengenai Penutup atau Kesimpulan, berisi ringkasan singkat tentang penelitian yang disusun oleh penulis
dari seluruh hal-hal yang dikemukakan pada bab-bab
16 BAB II
POLITIK LUAR NEGERI TURKI SEBELUM PEMERINTAHAN
ERDOGAN
Hubungan Turki dan Uni Eropa adalah hubungan antara sebuah negara
dan sebuah lembaga yang berjalan secara baik. Mereka saling berbagi
prinsip-prinsip dan norma yang sama. Keduanya adalah partner yang sebenarnya
sama-sama saling mempengaruhi. Bagi Turki, hubungannya dengan cikal
bakal Uni Eropa merupakan sebuah ikatan sejarah yang sudah terhubung
sejak lama sekali. Turki mengakui bahwa mereka sama-sama saling
mempengaruhi dalam perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya
(Turkey-EU Relations). Sedangkan bagi Uni Eropa, keberadaan Negara Turki
dinilai sangat penting. Jika dikomparasikan, maka dalam lingkungannya
sebagai Negara tetangga, Turki setara dengan Rusia. Dalam kancah global,
Uni Eropa menempatkan Turki pada posisi setelah Amerika dan Cina (Tocci,
2014, p. 1).
Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai hubungan Turki
dengan Uni Eropa sebelum pemerintahan Erdogan. Dimulai dengan hubungan
Kerajaan Ottoman dengan negara anggota Uni Eropa yang memulai sebuah
persahabatan. Dilanjutkan dengan hubungan Turki saat menjadi Republik
Turki yang diisi dengan hubungan Turki dengan NATO dan upayanya
menjadi anggota Uni Eropa. Para pemimpin sebelum Erdogan setelah
17
A. Politik Luar Negeri Sebelum Masa Erdogan (Sekularisme)
Keputusan Kekaisaran Ottoman untuk memasuki Perang Dunia
Pertama pada tahun 1914 ternyata menjadi suatu kesalahan yang besar.
Kekaisaran yang dijalankan oleh kediktatoran dipimpin oleh “Tiga Pasha”
yang secara sepihak memasuki perang di pihak Jerman, melawan Inggris,
Prancis, dan Rusia. Kekaisaran Ottoman diserbu dari selatan dengan
Inggris, dari Timur oleh Rusia, dan oleh orang Yunani di Barat. Pada
tahun 1918 ketika perang berakhir, kekaisaran dibagi dan diduduki oleh
sekutu menang, hanya menyisakan dataran tinggi Anatolia pusat di bawah
kendali Turki asli (Alkhateeb, 2013).
Mustafa Kemal dilihat dari sejarah Islam membantu mendorong
agenda nasionalisnya. Menggunakan identitas Turki sebagai titik kumpul,
ia berhasil menyatukan mantan perwira Ottoman di bawah komandonya
dalam Perang Kemerdekaan Turki pada awal tahun 1920 dan mengusir
pasukan pendudukan orang-orang Yunani, Inggris, dan Perancis, yang
telah menjajah tanah Turki setelah Perang Dunia I. Dengan 1922, Kemal
berhasil sepenuhnya membebaskan Turki dari pendudukan asing dan
menggunakan kesempatan untuk mendirikan Republik modern Turki,
dipimpin oleh Majelis Nasional Grand (GNA) di Ankara. Pada kepala
pemerintah Turki yang baru adalah presiden, dipilih oleh GNA. Pilihan
alami adalah Mustafa Kemal, pahlawan Perang Kemerdekaan, yang diberi
julukan “Atatürk”, yang berarti “Bapak Turki”. Pada awalnya, pemerintah
Turki yang baru tampak mewarisi peran pemerintah Ottoman sebagai
18
bahwa Islam adalah agama resmi negara Turki dan bahwa semua hukum
harus diperiksa oleh panel ahli hukum Islam, untuk memastikan mereka
tidak bertentangan dengan syariat (Alkhateeb, 2013).
Sistem pemerintah yang baru ini ternyata tidak bisa digunakan, jadi
selama berjalan, Turki menjalankan dua kepemimpinan, di Ankara dan di
Istanbul, yang dipimpin oleh Sultan Ottoman. Ankara dan Istanbul
mengklaim kedaulatan atas Turki, dan memiliki tujuan terus terang
bertentangan. Atatürk memecahkan masalah ini pada tanggal 1 November
1922. Atatürk menghapuskan kesultanan Ottoman yang telah ada sejak
1299, dan secara resmi ditransfer kekuatannya ke GNA. Namun, ia tidak
segera menghapuskan kekhalifahan. Ia mengizinkan kekhalifahan
Ottoman untuk terus eksis, meskipun tanpa kekuasaan resmi, hanya
sebagai figur simbolik (Alkhateeb, 2013).
Kebangkitan politik Islam di Turki berakar pada reformasi yang
dilakukan pada periode Ottoman akhir dan dalam transformasi politik
dilakukan setelah berdirinya Republik Turki oleh Mustafa Kemal Atatürk
dalam upaya 1923. Atatürk mengubah Turki menjadi negara yang modern,
bergaya Western, negara sekuler pada dasarnya merupakan “revolusi dari
atas”. Dalam melaksanakan transformasi ini, elit membuat sedikit usaha
membujuk penduduk juga oposisi. Dogu Ergil mencatat, "Baik sekularisasi
maupun Turkification bangsa dinegosiasikan dengan orang-orang dengan
cara yang serius.
Mustafa Kemal Atatürk sepertinya ingin melepaskan segala hal
19
membuang semua unsur di Era Ottoman, kecuali beberapa unsur
kemegahan masa lalu, dan memperbaharuinya dengan Westernisasi dan
sekularisme. Pada dekade pertama setelah berdirinya republik, Kemalis
melakukan serangkaian reformasi yang memutuskan hubungan Turki
dengan masa lalu Islam dan untuk dunia Islam secara lebih luas.
Kekhalifahan yang dipimpin oleh pemimpin spiritual dunia Muslim Sunni
dihapuskan. Abjad Latin (dimodifikasi untuk mengakomodasi suara Turki)
diperkenalkan menggantikan tulisan Arab, dan usaha dibuat untuk
membersihkan bahasa Turki kata-kata dari bahasa Arab. Kemal juga
mengganti agar jas daripada pakaian tradisional. Semua lembaga
keagamaan dan sumber daya dibawa di bawah kendali negara (Rabasa,
2008). Di bawah komando Mustafa Kemal Attaturk, Turki mengadopsi
nilai-nilai ideologi Barat dalam sendi-sendi pemerintahannya melalui
progam reformasi politik yang berwacanakan westernisasi dan
modernisasi.
Namun, sebagian besar dari reformasi tersebut terbatas pada
pusat-pusat kota; pedesaan sebagian besar tetap tak tersentuh. Sampai tahun
1950-an, sebagian besar penduduk Turki tetap terisolasi dan tradisional,
sementara pusat-pusat perkotaan yang modern dan sekuler. Selain itu,
agama tidak sepenuhnya ditekan atau dihilangkan. Ia hanya dibuang dari
ruang publik dan diawasi oleh negara, melalui Direktorat Urusan Agama
(Diyanet). Akibatnya, lembaga keagamaan menjadi pelengkap negara,
dengan personil mereka bertindak sebagai PNS. Di pedesaan,
20
sebagian besar di luar kontrol negara meskipun larangan perintah agama
(tarikatlar) diperkenalkan pada tahun 1925. Efek lainnya adalah
dimulainya penggunaan Kalender Masehi seperti di negara-negara Barat
dibandingkan Kalender Hijriyah, dan penggunaan kata Tanri ketimbang
Allah. Kemudian Hagia Sophia yang diubah lagi menjadi museum,
pelarangan pengajaran agama Islam, dan pembatasan jumlah masjid
(Rabasa, 2008).
Republik Turki pada awal berdiri memiliki kebijakan luar negeri
Turki yang didasarkan pada prinsip Atatürk “damai di rumah, damai di
dunia”. Sebagai negara yang baru merdeka, tujuan utama Turki adalah
untuk diakui oleh Barat. Selama periode ini, upaya dilakukan untuk
mengakhiri masalah warisan dari Kekaisaran Ottoman dan yang tidak
dapat diselesaikan dengan Perjanjian Lausanne.
Ini termasuk sengketa perbatasan dengan Suriah atas Hatay,
masalah Provinsi Mosul dengan Inggris, kepastian sekolah-sekolah
misionaris dengan Perancis, dan isu Selat. Hatay bergabung wilayah Turki
pada tahun 1939 setelah perselisihan panjang dan negosiasi antara Turki
dan Perancis. Demikian pula, ada sengketa yang berlarut-larut lebih dari
Mosul antara Inggris dan Turki. Namun, tidak seperti Hatay, Mosul tetap
berada di luar wilayah Turki. Akhirnya, masalah dengan Selat disimpulkan
dengan Konvensi Montreux pada tahun 1936, yang memberikan kontrol
dan kedaulatan Selat ke Turki (Foreign Policy of the Turkish Republic,
21
Sikap Turki sebelum dan selama Perang Dunia Kedua memilih
untuk tetap netral. Meskipun tekanan yang cukup banyak, Turki mengikuti
kebijakan netralitas dan keseimbangan untuk tetap keluar dari perang.
Kondisi selama tahun bipolaritas dalam kondisi sistem dunia mendorong
Turki ke arah bergerak dengan Blok Barat. Aspirasi Uni Soviet untuk
mengubah sistem yang ditetapkan oleh Konvensi Montreux mengenai
rezim Selat Turki dan tuntutan Soviet bersamaan memaksa Turki untuk
bergabung dengan Blok Barat. Berada di garis depan pertempuran
melawan ancaman komunis, Turki menerima bantuan militer dan
keuangan dari Amerika Serikat di bawah Doktrin Truman dan kemudian
Marshall Plan.
Turki mengakui negara Israel tak lama setelah berdirinya pada
tahun 1949 dan menjadi negara Muslim pertama yang melakukannya.
Langkah politik ini tidak disambut baik oleh negara-negara Timur Tengah
dan hubungan Turki dengan Timur Tengah tetap dingin. Pentingnya posisi
geografis dan militer kunci menyebabkan Turki menjadi anggota NATO
pada tanggal 18 Februari 1952. Sebagai jaminan keanggotaan ini, Turki
mengirim pasukan untuk Perang Korea dengan Amerika Serikat. Pada
tahun-tahun antara tahun 1960 dan 1980, isu Siprus berada di pusat agenda
kebijakan luar negeri Turki dan Turki mengikuti jalan yang relatif otonom
dalam menangani masalah ini. pentingnya peningkatan militer Turki
memukul semua waktu tinggi dengan insiden U-2 pada tahun 1960 dan
22
risiko utama dari bentrok, tapi akhirnya datang ke kesepakatan atas timbal
balik menghapus semua rudal yang terletak di Turki dan Kuba
Pada tanggal 27 Mei, bersamaan dengan berkembang bermuatan
militer, ada kudeta militer di Turki. Sementara ekonomi Turki mulai
menjadi tergantung pada bantuan yang datang dari Barat Blok, politik
domestik negara itu juga menjadi militer. Namun, surat Presiden Johnson
pada tahun 1964 memperburuk hubungan dengan Amerika Serikat dan
wajib Turki untuk mencari cara diversifikasi hubungan internasional
dengan Uni Soviet dan negara-negara lain di dunia. Surat ini dirumuskan
memiliki tujuan mencegah intervensi Turki di Siprus, juga menyiratkan
bahwa Blok Barat tidak akan mendukung Turki melawan serangan Soviet
mungkin harus intervensi terjadi. Meskipun surat itu, Angkatan Bersenjata
Turki melaksanakan Operasi Siprus pada tahun 1974, makhluk ini diikuti
oleh embargo Amerika di Turki antara tahun 1975 dan 1978.
Hubungan dengan Yunani telah sangat tegang dari awal dan daftar
masalah adalah satu panjang, di samping masalah Siprus antara tahun
1975 dan 1980. Masalah-masalah lain konflik muncul antara Yunani dan
Turki atas hak-hak kedaulatan di Laut Aegea, mengenai misalnya lebar
wilayah perairan, wilayah udara nasional, penetapan batas landas
kontinen, kontrol penerbangan internasional, dan kedaulatan beberapa
pulau kecil tak berpenghuni. Proyek Uni Eropa Turki pertama dimulai
dengan permohonan keanggotaan asosiasi di Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE) pada tahun 1959, dan ini ternyata menjadi kontes dengan Yunani.
23
juga dikenal sebagai “Perjanjian Membuat Asosiasi antara Republik Turki
dan Masyarakat Ekonomi Eropa”. Namun, pada tahun 1981 Yunani
menjadi anggota penuh EEC dan Turki kehilangan kontes.
Proses menciptakan Turki Bea Cukai Uni disela oleh kudeta militer
pada 12 September 1980, dan Angkatan Bersenjata Turki diatur negara
selama tiga tahun ke depan. Pada tahun-tahun pasca-kudeta catatan buruk
ekonomi mulai berubah. Hal ini dikreditkan ke Turgut Özal, Wakil
Perdana Menteri yang bertanggung jawab atas urusan ekonomi. Ia
mendukung kebijakan IMF dan tujuan utamanya adalah integrasi Turki
dalam ekonomi global melalui privatisasi dan perusahaan bisnis besar.
Pada tahun 1989, Özal menjadi Presiden kedelapan Turki dan mengambil
alih kebijakan luar negeri sendiri, menempatkan parameter ekonomi di
jantung kebijakan luar negeri negara itu (Foreign Policy of the Turkish
Republic, 2011).
Dengan runtuhnya Uni Soviet dan di usia dunia unipolar,
geopolitik pentingnya Turki menurun. Negara-negara yang baru merdeka
di Asia Tengah dan Kaukasus dipandang sebagai subjek kepentingan yang
potensial di bawah Presidensi Özal. Sampai kematiannya pada tahun 1993,
ia berusaha untuk membuat Union Turki tapi percaya diri dan kata-kata
tentang peran Turki dalam tatanan dunia baru yang jauh dari yang
didasarkan pada realitas apapun dan menciptakan harapan ilusi. Dia juga
melakukan upaya-upaya untuk menormalkan hubungan internasional
dengan Uni Eropa. Namun demikian, ini terganggu oleh kudeta militer.
24
negara-negara seperti Rusia dengan menekankan pentingnya perdagangan
dan kepentingan ekonomi.
Pada tahun 1987, Turki mengajukan permohonan untuk
keanggotaan resmi untuk Masyarakat Eropa. Pada bulan Desember 1989,
Komisi Eropa menanggapi dengan menegaskan keanggotaan akhirnya
Ankara, tetapi juga menyatakan keprihatinan atas kinerja ekonomi dan
politik situasi miskin Turki, serta hubungan bermasalah dengan Yunani
dan konflik atas Siprus. Posisi ini dilanjutkan dengan Dewan Eropa
Luksemburg pada tahun 1997. pembicaraan Aksesi yang berlangsung
dengan Siprus dan beberapa Tengah dan negara-negara Eropa Timur,
tetapi Turki dikeluarkan dari proses, yang adalah kekecewaan besar bagi
Turki. Namun, Dewan Summit Eropa Helsinki pada tahun 1999
merupakan tonggak sejak Uni Eropa diakui Turki sebagai kandidat.
Masalah yang sedang berlangsung dengan Yunani di atas Laut
Aegea dan Siprus diserahkan ke Uni Eropa dan langsung terhubung ke
jadwal, dalam rangka pencalonan Turki untuk keanggotaan Uni Eropa, di
Helsinki Summit 1999. Hubungan dengan Amerika Serikat terus menjadi
dekat. Penggunaan pangkalan militer Turki oleh Amerika Serikat terus
selama pemboman Irak pada tahun 1991. AS dipandang sebagai sekutu
strategis dan Turki berafiliasi dengan kebijakan penahanan Iran dan Irak.
Takut penyebaran Islam radikal dari Iran dan proyek untuk memastikan
bahwa PKK tidak memiliki kemungkinan untuk mendirikan sebuah negara
Kurdi merdeka di wilayah Tenggara membuat Turki bekerja sama dengan
25
NATO, memainkan peran kunci dalam proses perdamaian di Somalia,
Bosnia, Kosovo dan Afghanistan sementara fungsi NATO berubah selama
periode ini setelah pembubaran Blok Komunis. Hubungan dengan
negara-negara Timur Tengah yang tenang karena pengakuan Turki Israel tetapi
dalam proses perdamaian Arab-Israel Turki mencoba untuk memainkan
peran perantara (Foreign Policy of the Turkish Republic, 2011). Namun,
hubungan dengan Timur Tengah masih sangat tidak begitu baik.
B. Hubungan Turki dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization)
NATO adalah sebuah organisasi internasional yang didirikan pada
tahun 1949 yang bertujuan untuk keamanan bersama. NATO didirikan
sebagai bentuk dukungan Persetujuan Atlantik Utara yang ditandatangani
di Washington DC pada 4 April 1949. Sampai sekarang NATO
beranggotakan 28 negara (What is NATO?).
Turki resmi bergabung dengan keanggotaan NATO pada tahun
1952. Turki menjadi anggota NATO karena krisis selat-selat Turki
(Dardanelles dan Bosphorus) yang merupakan bagian dari konflik
teritorial masa Perang Dingin (Cold War) antara Uni Soviet dan Turki.
Turki yang pada saat akhir Perang Dunia II di posisi netral mendapatkan
tekanan dari pemerintah Uni Soviet untuk membebaskan pelayarannya
melalui kedua selat yang menghubungkan antara Laut Hitam dan Laut
Tengah (Mediterania). Padahal kedua selat penghubung Laut Hitam dan
Laut Mediterania ini sangat penting untuk akses perdagangan Turki
negara-negara lain. Pemerintah Turki hanya diam menanggapi tekanan
26
membalas sikap Turki dengan menempatkan kekuatan laut di dekat
perbatasannya. Pada puncak krisis Turki meminta bantuan Amerika
Serikat dengan menjadi anggota NATO. Bagi Amerika Serikat, insiden ini
menjadi faktor penting dalam pelaksanaan Doktrin Truman yang akan
memperluas hegemoni Amerika Serikat pada waktu itu. Amerika Serikat
akhirnya memuluskan langkah Turki menjadi anggota NATO.
Keputusan Turki meminta bantuan Amerika Serikat sangat tepat
ketika dihadapkan pada peluang akses luas untuk ekonomi Turki yang
hampir diambil Uni Soviet. Karena waktu itu Uni Soviet, Romania, dan
Bulgaria berada pada satu pihak Pakta Warsawa yang berlawanan arah
dengan NATO. Posisi kedua selat ini menjadi sangat strategis dalam
menempatkan militer NATO dan Pakta Warsawa dimana kendalinya akan
mempengaruhi strategi perang di wilayah tersebut. Keputusan Turki dalam
menjadi anggota NATO ini akhirnya terus mempengaruhi politik luar
negeri Turki hingga kini (Waspodo, 2015).
Turki termasuk negara yang berperan penting di NATO. Militer
Turki juga militer terbesar kedua di NATO setelah Amerika Serikat, dan
selama ini Turki telah terlibat dalam semua operasi NATO di Afghanistan,
Balkan, Suriah dan Libya. Sebuah Komando tingkat tinggi juga didirikan
di Istanbul. Turki juga mendukung The Partnership for Peace Training
Center yang dimulai pada tahun 1998. Dalam partnership ini, Turki
dengan Turkish General Staff berupaya untuk berkontribusi pada upaya
pelatihan dari negara-negara mitra NATO. Turki juga menyediakan
27
sekitar 2.000 tentara di Bandara Incirlik Turki dekat kota Adana. Incirlik
sendiri memainkan peran penting dalam perang di Teluk Persia dan misi
Afghanistan NATO. Sekitar 250 tentara Jerman dengan Tornado pesawat
pengintai dan pesawat pengisian bahan bakar juga sementara ditempatkan
di sana. Turki juga menjadi salah satu host dari lima markas NATO yang
bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan operasi besar pasukan darat
di kota pelabuhan barat Izmir. Secara keseluruhan, diperkirakan 20 lokasi
di Turki digunakan oleh pasukan NATO. Terakhir, NATO memasang
rudal sistem radar pertahanan Eropanya di Turki. (Riegert, NATO and
Turkey: Allies, not friends, 2016).
Turki juga mendukung kemitraan strategis NATO dengan Uni
Eropa, dan negara Balkan Barat seperti Kosovo ataupun Makedonia. Turki
menyatakan dengan adanya mitra NATO dengan negara Balkan Barat ini
akan menciptakan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut. Turki
dalam bentuk dukungannya dengan NATO berpendapat bahwa keamanan
Eropa tidak dapat dipisahkan dari keamanan Mediterania, sehingga Dialog
Mediterania dengan NATO harus diperkuat. Turki setuju untuk
meningkatkan hubungan dengan negara-negara Teluk melalui Istanbul
Cooperation (Turkey’s Relations with NATO).
C. Hubungan Turki Dalam Upayanya Menjadi Anggota Uni Eropa
Upaya Turki menjadi anggota Uni Eropa sebenarnya jauh sebelum
adanya Uni Eropa seperti sekarang. Pada tanggal 31 Juli 1959, Turki
sudah mengajukan diri untuk menjadi anggota European Economic
28
antara EEC dan Turki, dan pada tahun 1965 dilakukan penambahan
protokol di perjanjian Ankara mempersiapkan Turki masuk Custum Union
bersama EEC (Chronology of Turkey – European Union Relatios
(1959-2015), 2015). Protokol tambahan ini berisi kesepakatan kawasan
perdagangan bebas antara Turki dan Uni Eropa itu diperluas ke sembilan
negara anggota baru Uni Eropa termasuk Siprus dan Yunani (Turki
Kandidat Anggota "Abadi" Uni Eropa?, 2010). Pada 14 Maret 1987, Turki
mengajukan diri menjadi anggota penuh di Uni Eropa (Chronology of
Turkey – European Union Relatios (1959-2015), 2015).
Prospek keanggotaan Uni Eropa pada Turki berpeluang besar di
tahun 1996, ketika Turki masuk di EU (European Union) Customs Union.
Ini menandai bahwa kedudukan Turki menjadi lebih tinggi daripada
integrasi ekonomi dan merupakan awal keanggotaan Uni Eropa secara
penuh. Meskipun begitu, aksesi untuk Turki menjadi anggota Uni Eropa
tidak segera dilaksanakan. Hingga pada tahun 1997, Dewan Eropa di
Luxemburg memberikan keputusan bahwa Turki untuk sementara belum
memenuhi standar masuk dalam calon kandidat keanggotaan Uni Eropa
(Tocci, 2014, p. 2). Pada tahun 1999 dalam Helsinki Summit, akhirnya
Turki disebut sebagai kandidat dalam kenggotaan Uni Eropa dan memulai
untuk melakukan negosiasi (Turkey-EU Relations). Namun, pembicaraan
mengenai aksesi untuk Turki dalam keanggotaan Uni Eropa masih jauh
dari kenyataan.
Turki diminta Dewan Uni Eropa untuk memenuhi Kriteria Politik
29
berisi 35 bab aturan yang harus dipenuhi negara apabila negara tersebut
menginginkan untuk menjadi anggota Uni Eropa. Kriteria yang ditetapkan
Dewan Eropa pada Juni 1993 di Kopenhagen Denmark ini mengharuskan
negara memiliki lembaga untuk mempertahankan pemerintahan yang
demokratis dan hak asasi manusia, memiliki mekanisme ekonomi pasar,
dan mematuhi kewajiban dan tujuan dari Uni Eropa. Dalam hal ini, Turki
diminta untuk menyelesaikan masalah Siprus (Tocci, 2014, p. 2). Sebagai
gantinya, Komisi diberi mandat untuk memantau kemajuan kinerja
domestik Turki juga menyusun dokumen Aksesi Kemitraan bagi Turki
dalam kaitannya merekomendasikan Turki. Uni Eropa juga menaikkan
bantuan keuangan ke Turki, hal ini untuk memberikan dukungan yang
lebih eksplisit untuk reformasi Turki agar bisa menjadi anggota Uni Eropa
(Tocci, 2014, p. 2).
Setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya, upaya Turki menjadi
anggota Uni Eropa diisi dengan negosiasi Turki untuk menyesuaikan
dengan Kriteria Kopenhagen. Percepatan reformasi Turki diawali pada
akhir tahun 2001, yang banyak disebut sebagai silent revolution . Disebut
silent revolution karena revolusi yang dimaksud lebih kepada penyesuaian
Undang-Undang dengan Kriteria Kopenhagen (Tocci, 2014, p. 2). Pada
tahun 2002 Turki mengeluarkan Harmonization Package. Harmonization
Package merupakan istilah acuan untuk RUU yang terdiri dari kumpulan
amandemen berbagai hukum yang disetujui atau ditolak dalam sesi voting
tunggal di parlemen. Bidang-bidang hukum yang disesuaikan sebagai
30
kesetaraan gender (Turkey M. o., 2007, p. 4). Pada tahun 2001, Turki
mengenalkan ketentuan baru yang sesuai dengan National Programme for
the Adoption of the Acquis (NPAA), yakni Undang-Undang tentang
perlawanan terhadap teroris, kebebasan berpikir dan berekspresi,
pencegahan terhadap penyiksaan, penguatan demokrasi dan otoritas sipil,
kebebasan dan keamanan individu, hak privasi, kebebasan bertempat
tinggal (the inviolability of the domicile), kebebasan komunikasi,
kebebasan tinggal dan bergerak (movement) , kebebasan berserikat dan
kesetaraan gender. Turki juga menghapuskan hukuman mati dalam
konstitusinya pada tahun 2004 (Turkey M. o., 2007). Turki sebenarnya
sudah mendapatkan lampu hijau untuk menjadi anggota Uni Eropa pada
bulan Desember 2002 karena Dewan Eropa Kopenhagen menyatakan akan
menentukan apakah dan kapan untuk membuka pembicaraan aksesi
dengan Turki pada bulan Desember 2004.
Turki berhasil membuka 12 bab dalam Chapter of the Aquis yang
harus dipenuhi sebagai calon anggota Uni Eropa. Bab tersebut antara lain :
bab 4 tentang Gerakan Modal (Free Movement of Capital); bab 6 tentang
Hukum Perusahaan (Company Law); bab 7 tentang Hukum Kekayaan
Intelektual (Intellectual Property Law); bab 10 tentang Masyarakat yang
Berwawasan dan Media (Information Society and Media); bab 12 tentang
Keamanan Pangan, Kedokteran Hewan dan Kebijakan Phytosanitary
(Food Safety, Veterinary and Phytosanitary Policy); bab 16 tentang
Perpajakan (Taxation); bab 18 tentang Statistik (Statistics); bab 20 tentang
31
21 tentang Jaringan Trans-Eropa (Trans-European Networks); bab 27
tentang Lingkungan (Environment); bab 28 tentang konsumen dan
Perlindungan Kesehatan (Consumer and Health Protection); bab 32
tentang Kontrol Keuangan (Financial and Budgetary Provisions),
sedangkan bab 25 tentang Ilmu Pengetahuan dan Penelitian (Science and
Research) yang juga diajukan belum disetujui untuk dibuka. Ini terjadi
32 BAB III
POLITIK LUAR NEGERI ERDOGAN DAN KERJA SAMA
PENANGANAN IMIGRAN TURKI & UNI EROPA
Pada bab III ini, penulis akan menjabarkan sedikit mengenai
kepemimpinan Erdogan dan sikapnya yang lebih banyak pro kepada Timur
Tengah. Kemudian, penulis mulai menjabarkan permasalahan imigran yang
ada di Timur Tengah yang dialami oleh beberapa negara di Timur Tengah
selain Turki. Ini termasuk penanganan imigran yang ada di Turki. Setelah itu,
penulis juga menuliskan sedikit pengungsi yang ada di Uni Eropa sekaligus
terciptanya kerja sama Uni Eropa dan Turki dalam penanganan imigran.
A.Sikap Erdogan Terhadap Timur Tengah
Setelah terpilihnya partai AKP (Justice and Developmet Party)
Partai Konsevatif Islam memenangi pemilu pada tahun 2003, keadaan
Turki berubah. Recep Tayyib Erdogan memulai perubahan dengan
menjadikan Turki menjadi lebih Islam. Pemimpin-pemimpin Turki
terdahulu yang banyak dari mereka adalah dari pihak militer telah
merubah Turki dari Kerajaan Ottoman yang merupakan Kerajaan Islam
menjadi negara yang sangat sekuler. Pelarangan memakai jilbab bagi
wanita muslimah di tempat-tempat umum, hingga pembatasan umur untuk
belajar Al-Qur’an adalah suatu peraturan yang ada sejak pemerintahan
Mustafa Kemal Atatürk. Saat Recep Tayyib Erdogan terpilih dan menjadi
Perdana Menteri di Turki, pelarangan ini dihapus. Akhirnya, sampai
33
menjalankan aktivitas biasa baik di tempat umum maupun saat bekerja.
Erdogan juga menggagas pembangunan banyak masjid di Turki,
pembatasan iklan dalam minuman keras, dan memberikan ruang
meningkatnya ekonomi syariah di Turki (Akşam, 2013).
Timur Tengah telah menempati tempat yang semakin signifikan
dalam kerangka kebijakan luar negeri Turki sejak berdirinya Republik.
Meskipun ada beberapa perubahan terhadap mengutamakan Timur Tengah
pada 1990-an, titik balik dalam hal hubungan Turki-Timur Tengah
sebenarnya ada di kebijakan luar negeri rezim AKP. Ketika krisis politik
di Timur Tengah, respon Turki dalam posisi penting untuk Timur Tengah
dapat dipahami lebih positif. Sementara kemajuan juga bisa dilihat dengan
hubungan dengan Iran, Irak dan Suriah. Sementara hubungan dengan
Israel justru memburuk.
Turki pada era Erdogan menerapkan politik zero policy with
neighbor untuk menerapkan kebijakan politiknya di negara-negara
sekitarnya. Terutama dalam hal ini adalah negara-negara Timur Tengah
yang dahulu pada masa sebelum Erdogan tidak tersentuh. Dalam website
resminya, Turki menjelaskan :
34
Dalam uraiannya, Turki menjelaskan bahwa kebijakan zero
problem with neighbor telah memperoleh arti tambahan dan penting
sebagai Timur Tengah dalam ambang transformasi sejarah. Turki
mengharapkan bahwa dinamika saat ini reformasi kemajuan dengan cara
yang akan memenuhi harapan rakyat sementara juga berkontribusi
terhadap perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Dalam buku Ahmet Davutoglu yang menjabat sebagai Perdana
Menteri dari tahun 2014 yang berjudul Strategic Depth: Turkey’s
International Position (Stratejik Derinlik: Türkiye’nin Uluslararası
Konumu), ia mengkonfirmasi pergeseran poros politik luar negeri Turki
dengan menekankan sebagai “pembenahan” politik luar negeri Turki dari
yang sebelumnya berafiliasi dan mengisolasi diri dari segala bentuk
afiliasi politik dengan negara-negara tetangganya menjadi politik luar
negeri yang mengutamakan idealisme dengan latar belakang sisi budaya
dan historis Turki yang memiliki kesamaan dalam kawasan regional timur
tengah dan kaukasia.
Sebagai negara Muslim pertama yang diakui Israel, Israel telah
menjadi pemasok utama senjata ke Turki. Militer, strategis, dan diplomatik
kerja sama antara kedua negara maju di kawasan ini. Namun, hubungan
dengan Israel justru memasuki tahap yang sedang tidak begitu baik. Ini
dimulai dengan kunjungan ke Turki dari pemimpin Hamas pada tahun
2006, meningkat dengan sebutan "Satu Menit". Ini terjadi saat Erdogan
35
Ekonomi Dunia di Davos pada bulan Januari 2009 atas penyerangan
Palestina, dan dilanjutkan dengan kejadian penyerangan pada Mavi
Marmara dari Gaza Freedom Flotilla pada Mei 2010. (Foreign Policy of
the Turkish Republic, 2011).
Sejak Erdogan menjabat sebagai Perdana Menteri, ia sudah aktif
dalam membela kemerdekaan Palestina dan menyalahkan Israel. Erdogan
menyebut dukungan bagi Palestina merdeka bukanklah sebuah pilihan,
melainkan kewajiban. Pidato Erdogan di Mesir pada 2011 tiga hari setelah
massa merusak kantor kedutaan besar Israel di Kairo menyerukan untuk
segera mungkin mengibarkan bendera Palestina di Timur Tengah, sebagai
simbol perdamaian. Tak hanya itu, dalam pidatonya Erdogan juga
menyinggung lagi insiden berdarah terhadap bantuan kemanusiaan lewat
kapal Mavi Marmara yang terjadi tahun 2010 lalu. Penyerbuan yang
dilakukan tentara Israel saat itu atas Mavi Marmara menyebabkan
sembilan aktivis Turki tewas. Erdogan menyebut Israel tidak
bertanggungjawab dan melanggar hukum internasional dengan menyerang
konvoi, yang hanya membawa bahan pangan dan mainan anak-anak.
Erdogan juga menyatakan Israel harus membayar tindakan mereka
(Budiman, 2011 ). Erdogan menyerukan mengecam masyarakat
internasional yang diam dengan keadaan Palestina masih berlangsung
operasi militer dengan Israel (Turkish PM Erdoğan hits out at Egypt for
‘silence’ over Palestine, 2014).
Tindakan Erdogan yang mendukung Palestina dan mengecam
36
Israel, Jerman dan Amerika adalah tiga negara yang menentang rencana
Palestina meminta pengakuan merdeka dari PBB. Mereka menganggap
rencana itu justru akan merusak upaya perundingan damai. Namun, sikap
itu mendapat kritikan dari Turki. Perdana Menteri Erdogan menilai
Amerika sebagai sekutu dekat Israel telah menunjukkan prasangka usang
dalam soal Palestina. Charles Kupchan, seorang think tank anggota Dewan
Hubungan Luar Negeri di International Politics menilai, Erdogan dengan
partai konservatif AKP yang sedang berkuasa di Turki ingin mengambil
peran lebih besar di dunia Islam. Erdogan pada tahun 2011 melakukan tur
di kawasan Arab. Setelah Mesir, Perdana Menteri Turki itu juga
mengunjungi Tunisia dan Libya (Budiman, 2011 ).
Hubungan dengan Iran membaik dalam rangka keterlibatan ulang
dengan dunia Muslim di wilayah tersebut. Kolaborasi energi bergerak di
luar pembelian dan transportasi gas alam Iran melalui Turki untuk
pengembangan bidang hidrokarbon Iran oleh perusahaan Turki. Selain itu,
dalam sengketa nuklir Iran Turki, bersama dengan Brasil, memediasiantara
AS dan Iran. Mereka telah mendorong sesama anggota Dewan Keamanan
PBB untuk mencapai kesepakatan dengan Iran atas program nuklirnya,
dalam upaya terakhir untuk memblokir suara sanksi terhadap Teheran.
Hubungan Turki dengan Irak telah membaik ke sebuah periode
baru setelah invasi ke Irak. Selama waktu itu, integritas Irak dan mencegah
munculnya sebuah negara Kurdi merdeka di Irak utara yang prioritas
Turki. Dengan daya dorong Davutoglu dalam membuka kebijakan luar
37
federal di Irak dan Davutoglu bertemu Barzani. Baru-baru ini, konsulat
Turki di Erbil dibuka oleh Erdogan pada 31 Maret 2011. Hubungan
Suriah-Turki juga telah mengalami perubahan. Permasalahan air dan
dukungan Suriah untuk PKK (Partai Pekerja Kurdistan) yang utama
masalah berpotensi meledak antara kedua negara pada akhir 1990-an
(membawa mereka ke ambang perang atas penangkapan pada tahun 1998
dari pemimpin PKK Abdullah Ocalan) berubah ke arah yang positif.
Penolakan Parlemen Turki untuk bekerja sama militer dengan AS
dalam invasi ke Irak adalah titik balik dalam hubungan bilateral
Suriah-Turki sejak persepsi Suriah dari Suriah-Turki diubah. Suriah-Turki adalah mediator
antara Suriah dan Israel pada tahun 2008, selama pembicaraan Golan
Heights. Walaupun pda tahun 2011 Turki mengecam Bashar Al Assad
karena tidak mau mereformasi negaranya. Kerjasama politik dan ekonomi
tumbuh kuat dengan negara Islam di Timur Tengah juga membaik.
Bahkan, pada tahun 2009, turis persyaratan visa pada turis bahkan timbal
balik terangkat (Foreign Policy of the Turkish Republic, 2011).
B.Penanganan Imigran di Turki
Permasalahan awal dari adanya pengugsi adalah karena terjadinya
konflik internal yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Mulanya hal ini
dialami oleh Tunisia yang ingin merobohkan kekuasaan otoriter
pemerintah Ben Ali yang sudah menjabat selama 23 tahun. Mulanya,
hanya Tunisia yang berkonflik pada tahun 2010. Akhirnya, konflik ini
juga meluas terjadi di negara-negara Timur Tengah lainnya. (Sari A. K.,
38
pemerintah otoriter Bashar Al-Assad pecah. Isu yang berkembang konflik
ini terjadi antara Sunni Syiah. Namun, semakin lama permasalahan di
dalamnya menjadi semakin kompleks dan melibatkan banyak aktor.
Dampaknya, penduduk sipil menjadi korban perang yang belum
jelas kapan mereda. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk keluar
dari negaranya. Penduduk sipil Suriah mau tak mau harus mengungsi ke
negara lain karena di Suriah tidak ada daerah yang disepakati sebagai safe
zone dan non-fly zone oleh pihak yang saling bertikai. Awalnya mereka
mengungsi ke negara-negara terdekat yang memang berbatasan langsung
dengan Suriah. Pilihan yang ada adalah Turki di sebelah utara, Libanon di
sebelah barat, Mesir lewat jalur laut dari sebelah barat, Israel dan Yordania
di sebelah selatan, kemudian Irak di sebelah Tenggara. Bagi para
pengungsi korban perang ini, migrasi ke arah tenggara kecuali di daerah
yang dikuasai etnik Kurdi jelas tidak memungkinkan karena daerah Irak
sama-sama sedang berkonflik. Dengan demikian, pilihan yang mungkin
akan diambil oleh para pengungsi ini keluar dari negara mereka adalah
hanya Turki, Libanon, Mesir, dan Yordania. Negara-negara lain di Timur
Tengah, tidak mudah ditempuh oleh mereka yang mengungsi dari
peperangan lewat jalan darat yang mungkin mereka lakukan. Jalur lain
yang biasa dipakai para pengungsi dari Suriah adalah biasanya lewat
bandara Damaskus untuk terbang ke Turki (Nugraha, 2015).
Kebanyakan pengungsi melarikan diri ke Turki karena perlakuan
Turki yang disebut lebih baik dari negara lainnya di sekitar Suriah. Turki
39
Policy yang dicetuskan oleh Erdogan. Kebijakan ini disebut tidak dimiliki
oleh negara lain di sekitar Suriah seperti Israel, Kuwait, dan Arab Saudi