DAFTAR PUSTAKA
Budhisantoso, S. 1988. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta: PT. Pustaka Grafika Kita.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta: Grafiti.
Hassan, Khwaja Arif dan B. G. Prassad. 1957. Journal of Indian Medical Assosiation. A Note on The Contributions on Anthropology to Medical Sciene. Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan obor.
James, Spadley. 1987. Readings in Culture Antrhoropology. Brown and Company.
Koentjaraningrat. 1984. Papua Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Jambatan.
Marwanti. 2000. Pengetahuan Masakan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Mintargo, Bambang S. 2000. Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Muchadi, D. 2012. Pangan Fungsional dan Senyawa Bioaktif. Bandung: Alfabeta.
Nasaruddin/Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persepektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal. Hakikat, Peran, Dan Metode Lisan. Jakarta: bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan.
Suhadjo. 1988. Perencanan Pangan dan Gizi. Bogor: Bumi Aksara berkerja sama dengan Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Tarwotjo, Soejoeti C. 2000. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wahono, Francis, AB. Widyanta, dkk. 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Sumber Lain :
Antropologi, Laboratorium. “Jurnal Antropologi Papua”. 2002.
http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf
Aritonang, ULM. “Kebiasaan Minum Tuak”. Tinjauan Pustaka. 2013. http://e-journal.uajy.ac.id/5870/1/Jurnal%20BL01161.pdf
http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/12/tuo-nifar-tuak-suling-minuman-khas-nias-524681.html 12 Oktober 2014 15:40 wib.
Sartini. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”. 2009. http://dgiindonesia.com/wpcontent/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusant ara1.pdf
Shigehiro, IKEGAMI. “Tuak dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat tentang Aspek Sosial Budaya Penggunaan Nira”. 1997.
http://e-journal.uajy.ac.id/5870/1/Jurnal%20BL01161.pdf
Syahrun. “Pengobatan Tradisional Orang Buton (Studi Tentang Pandangan
Masyarakat Terhadap Penyakit di Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau Provinsi
Sulawesi Tenggara)”.
http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf
Wagiran. “Pengembangan Model Pendidikan Kearifan Lokal Dalam Mendukung Pembangunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2010”.
BAB III
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN TUO NIFARÖ
DI DESA SIRETE
3.1. Pengetahuan Lokal dalam Pemilihan Pohon Kelapa di Desa Sirete.
Petani adalah orang yang melakukan pekerjaan bercocok tanam secara
terus-menerus untuk memenuhi kebutuhannya. Jenis-jenis petani juga sangat
bervariasi yakni: petani padi, petani sayuran, petani karet, petani kopi, petani teh,
petani buah-buahan, petani tuak, dan sebagainya. Seperti petani padi, sudah bisa
dikatakan sebagai pekerjaan tetap karena, pekerjaan untuk menanam padi harus
dilakukan secara bertahap dan memerlukan waktu yang lama. Petani harus tetap
berjaga-jaga untuk menghasilkan padi yang terbaik. Begitu juga dengan petani
sayuran, petani buah-buahan pekerjaannya menetap dan rutin dilakukan seharian.
Dalam menyadap nira petani digunakan sebagai media dalam
pengambilan/memanen nira. Petani lebih tahu, bagaimana cara memanen nira
dengan baik dan benar, hanya saja petani tuak kerap dianggap pekerjaan usaha
sampingan namun, harus terus diproduksi. Hal ini dikarenakan nira harus disadap
dan dipanen begitu juga dengan bambu penyaring (koro) harus digunakan sekali
dua hari, karena kalau tidak digunakan lebih dari 3 hari maka bambu penyaring
(koro) akan pecah. Apabila bambu penyaring (koro) pecah, menjadi kesulitan lagi
Bunga kelapa/pelepah kelapa atau yang biasa disebut sigaru dalam bahasa
Nias adalah penghasil nira pada kelapa. Perlu diketahui bahwa sigaru yang sudah
disadap, petani wajib untuk memanen nira sekali dua hari dan harus berkelanjutan.
Sigaru harus disadap kembali karena apabila sigaru tidak disadap kembali, maka sigaru susah untuk mengeluarkan nira. Jadi, petani mau tidak mau harus menyadap nira sekali dua hari. Petani pasti mengalami kesulitan apabila sigaru susah mengeluarkan nira, karena ia harus menunggu kurang lebih 2 minggu (dua
minggu) agar sigaru kembali mengeluarkan nira. Petani mengaku bahwa keuntungan untuk memproduksi tuo nifarö lumayan membantu untuk memenuhi kebutuhan.
Kebanyakkan penduduk di Desa Sirete mengakui bahwa dalam
memproduksi tuo nifarö harus mempunyai teknik khusus baik dalam menyadap nira, memasak nira, menyuling tuak. Memang memproduksi tuak dianggap
pekerjaan sampingan, karena untuk memasaknya dibutuhkan sejam untuk satu
botol. Namun harus tetap dikerjakan karena mempertimbangkan sigaru, koro, dan
sumbu bambu. untuk menghasilkan 5 botol tuo nifarö diperlukan waktu 5 jam. Dan syaratnya untuk, memasak tuo nifarö harus menggunakan api yang kecil (dalam artian ini, api yang temperaturnya tidak terlalu tinggi).
Setiap kelapa pasti memiliki sigaru. Sigaru merupakan bunga kelapa/pelepah kelapa penghasil nira. Namun tidak semua pohon kelapa memiliki
nira, ada juga kelapa yang tidak memiliki cairan nira. Ciri-ciri pohon kelapa yang
bagus dan mempunyai nira bisa dilihat dari fisiknya seperti: daunnya lebat,
halus/mengkilap, dan bentuk yang pohon tidak terlalu kuat (kokoh). Namun
dan menyadap nira, apabila ketika dipanen nira mengeluarkan nira maka pohon
tersebut bisa digunakan untuk produksi pembuatan tuo nifarö. Kepercayaan ini diperoleh oleh pengalaman petani dalam menyadap maupun memanen nira.
Sedangkan, pohon kelapa yang sudah di pastikan niranya tidak ada yakni
memiliki ciri-ciri seperti: daunnya kurang lebat dan bentuk pohon kokoh (keras).
Dengan ciri-ciri fisik sudah bisa disimpulkan bahwa kelapa tersebut tidak
memiliki nira.
Gambar 01 : Contoh pohon kelapa yang memungkinkan bisa menghasilkan nira. Ciri-ciri fisiknya, daunnya lebat, lemas, dan mengkilap.
Dari ciri-ciri tersebut petani mendapatkan pengetahuan berdasarkan pengalaman sebelumnya.
Gambar 02 : Contoh pohon kelapa yang diprediksikan tidak ada niranya.
Dari ciri-ciri fisiknya, daunnya tidak begitu lebat, dahan pohon banyak, dan sela antara dahan yang satu dengan dahan yang lainnya dan bentuk pohonnya kokoh.
Sumber : Dokumen Pribadi.
3.1.1. Pengetahuan Lokal Untuk Mengasah Pisau Yang Baik.
Untuk menyadap nira dari sigaru harus menggunakan pisau yang tajam. Untuk mendapatkan pisau yang tajam, maka pisau seharusnya diasah di kayu.
Pisau biasanya disebut dalam bahasa daerah nias yakni balatu. Selama ini yang diketahui oleh penulis balatu biasanya diasah dibatu. Namun berdasarkan pengalaman informan, balatu lebih bagus diasah di kayu daripada di batu. Karena
hasilnya lebih tajam dan ketajamannya lebih tahan lama. Berikut keterangan dari
informan bapatalu Ama Risda Ndraha (berusia 42 tahun), yakni:
ketajamannya, tapi kalau saya mengasah balatu dikayu ketajamannya bisa sampai 4 atau 5 pohon.”
Dari keterangan bapatalu Ama Risda, bisa disimpulkan bahwa balatu lebih baik diasah di kayu lebih tajam dibandingkan diasah di batu karena
ketajamannya lebih tahan lama.
Gambar 03 : tampak 2 buah balatu (parang kecil) yang sering diasah dengan kayu. Salah satu balatu disimpan didalam tempatnya. Tampak juga tali berwarna orange sebagai pengikat dipinggang petani. Apabila petani hendak menyadap nira, ia meletakkan balatu dipinggang agar kedua tangan petani bisa memanjat pohon dan balatu tetap aman.
Sumber : Dokumen pribadi.
3.1.2. Pengetahuan Lokal Untuk Menyadap Nira di Desa Sirete.
Menyadap sigaru merupakan langkah untuk memanen nira. Nira terdapat di dalam sigaru. Sigaru adalah pelepah pohon/bunga kelapa yang dapat mengeluarkan cairan nira. Nira adalah air dari pelepah kelapa tersebut. Nira
tersebut tidak bagus (busuk), efek apabila sigaru tidak diambil niranya sekitar dua
hari maka, sigaru itu bisa busuk dan tidak produktif. Kalaupun sigaru produktif kembali dibutuhkan waktu sekitar dua minggu paling cepat, baru niranya bisa
keluar. Untuk menyadap sigaru petani harus menyadapnya dua kali sehari yakni pada pagi hari dan sore hari. Sedangkan untuk memanen nira sekali dua hari
dengan menggunakan jerigen yang digantung di bawah sigaru.
Untuk menyadap nira, biasanya petani memberi nomor setiap pelepah.
Sigaru (pelepah) yang paling kecil diberi nomor 3 (tiga), sigaru yang agak besar di beri nomor 2 (dua), dan sigaru yang besar diberi nomor 1 (satu). Setiap pohon
kelapa memiliki sigaru (pelepah) minimal 3 buah, kalaupun lebih sigaru yang paling kecil itulah yang dijadikan nomor 3. Petani tidak mengenal adanya sigaru no. 4 (empat). Petani biasanya memberi nomor sampai nomor 3 saja. Dan sigaru nomor 3 itulah yang biasanya duluan disadap, karena pelepah yang masih muda
dan banyak menghasilkan nira meskipun secara fisik sigaru nomor 3 memiliki
ukuran yang paling kecil. Namun sigaru nomor 1 dan nomor 2 tetap disadap. Tujuan dari penomoran ini yakni agar petani bisa mengetahui sigaru nomor ketiga, kedua dan pertama yang ingin dipanen. Penomoran dilakukan petani tidak
dicoret dengan dengan spidol melainkan petani menghafal betul bentuknya.
Untuk menyadap nira disetiap pohon, biasanya petani memulai menyadap
dari sigaru nomor 3 karena lebih muda dan segar. Cara menyadapnya harus memakai teknik yang khusus dan berhati-hati. Setelah sigaru nomor 3 siap disadap, nomor 2 juga wajib untuk disadap begitu juga nomor 1. Hanya, saja
Contohnya, hari pertama, menyadap sigaru nomor 3, dua hari kemudian menyadap sigaru nomor 2 dan empat hari kemudian sigaru nomor 1 bisa untuk disadap. Sigaru yang belum pernah disadap (dan akan disadap) harus diikat dengan tali rafia. Posisi sigaru yang belum disadap biasanya berdiri tegak. Namun, untuk menyadap sigaru petani harus berupaya mengikat sigaru menunduk ke bawah dan mengikatkan tali pada pohon kelapa. Petani tidak boleh
asal-asalan untuk menundukkan sigaru dan jangan memaksakan sigaru untuk tunduk ke bawah karena untuk memperlakukan sigaru tidak boleh kasar dan harus
pelan-pelan agar batangnya tidak patah.
Cara menundukkan sigaru harus bertahap. Pertama-tama sigaru diikatkan ke pohon kelapa selama seharian kira-kira sekitar 7 cm kebawah, besoknya ditarik
lagi kira-kira sekitar 7cm. sampai sigaru melengkung ke bawah dan mengeluarkan
nira. Untuk menampung nira, petani biasanya menggunakan bambu buku ataupun
jerigen. Dahulu, petani rata-rata menggunakan bambu untuk menampung nira
diatas pohon. Namun resiko memakai bambu, terkadang bambu bisa pecah dan
bocor, dan sekarang para petani lebih suka menggunakan jerigen. Setiap nira yang
dipanen, petani wajib membawa cadangan jerigen, agar nira dapat ditampung
kembali.
Petani harus tahu betul bagaimana cara memperlakukan sigaru dengan baik, karena apabila tidak diperlakukan secara baik, maka hal yang ditakutkan
yakni sigaru tidak dapat mengeluarkan nira. Dibutuhkan kesabaran untuk menyadap sigaru tidak boleh kasar, jangan sampai uratnya (isi batangnya) sampai
mengeluarkan nira ataupun bisa jadi tidak mengeluarkan nira. Jadi, petani harus
telaten dalam menyadap sigaru jangan sampai sigaru terluka karena dampaknya petani susah mendapatkan nira, apalagi tidak semua pohon kelapa bisa
menghasilkan nira. Seorang petani berusia (42 tahun) biasa dipanggil dengan
bapatalu Ama Risda Ndraha mengatakan bahwa :
“harus hati-hati menyadap nira, karena sigaru agak sensitif tidak bisa diperlakukan kasar, harus punya trik khusus. Kalau salah-salah payah kita, sigaru susah mengeluarkan air nira. Itupun syukur kalau keluar kira-kira 2 minggu kalau enggak keluar sama sekali bahaya kita, harus menyadap sigaru yang lain kita.”
Kesimpulan diatas menunjukkan bahwa dalam menyadap nira, dibutuhkan
kemampuan khusus agar tidak melukai sigaru. Karena apabila sembarangan menyadapnya maka sangat disayangkan apabila sigaru tidak mengeluarkan nira. Hal ini bisa membuat petani, kewalahan dan memerlukan waktu untuk mencari
pohon kelapa yang baru. Perlu diketahui bahwa pohon kelapa yang sering disadap
dan diambil niranya, sudah dipastikan tidak memiliki buah kelapa, karena sigaru atau bunga kelapa terus-menerus disadap dan otomatis pohon kelapa tersebut
lebih produktif menghasilkan nira daripada menghasilkan buah kelapa. Dan
Gambar 04 : Sigaru yang baru disadap diikat kuat dengan tali rafia, tampak ada 3 ikatan tali agar uratnya (isi batang) tidak keluar dan pecah. Petani baru saja melepaskan kulit sigaru dengan menggunakan balatu (parang kecil).
Namun perlu diperhatikan bahwa petani harus hati-hati dalam menyadap dan melepaskan kulitnya. Untuk menyadap sigaru dipotong ujung batangnya dan dari situlah nira keluar dan ditampung di jerigen.
Sumber : Dokumen Pribadi.
3.1.3. Pengetahuan Lokal Untuk Pemilihan Bambu Penyalur (Koro) dan Sumbu Bambu.
Informan menyebutkan bahwa “bambu yang bagus adalah bambu yang tidak banyak mengandung banyak air, kadar bambu dan rumpun bambu”. Untuk proses memasak tuo nifarö diperlukan bambu yakni sebagai sumbu bambu dan koro. Dalam artian ini, sumbu bambu adalah tiang bambu yang menghubungkan dengan koro yakni bambu penyalur.
Kedua bambu ini sangat penting dan harus harus melewati proses
pengeringan. Proses pengeringan ini diartikan sebagai proses peseleksian dimana tidak semua jenis bambu bisa digunakan sebagai sumbu bambu dan koro. Sumbu bambu berfungsi menjadi tiang bagi koro untuk menyuling tuak. Apabila bambu yang baru ingin dijadikan sebagai penyuling, harus dilakukan percobaan selama 2
bulan, dengan proses penyulingan tuo nifarö. Percobaan ini membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang, serta kerugian yang lumanyan banyak karena
proses penyulingan tuak terus-menerus dilakukan dalam percobaan, dan tuak itu
Tujuan dari melakukan percobaan agar petani bisa mengetahui kualitas
dari bambu tersebut. Semakin sering digunakan, maka semakin bagus dan tidak
pecah. Apabila bambunya pecah pada proses “percobaan” maka bambu tersebut
tidak layak digunakan. Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa, apabila petani
tidak rutin untuk memasak tuak, maka bambu bisa rusak (pecah). Contohnya saja
lewat dari 3 hari tuak tidak disuling maka, bambu akan pecah, itu sebabnya sumbu
bambu dan koro yang sudah digunakan untuk penyulingan, harus terus menerus digunakan agar bambu tidak pecah.
Cara penyeleksian bambu yakni bambu yang diambil harus dicocokkan
dulu ukuran lubang antara sumbu bambu dan koro. Petani sudah mengetahui perkiraan antara ukuran lubang koro dan sumbu bambu. Apabila ada ketidakcocokan antara ukuran maka, petani memotong dan membereskan bambu
agar ukurannya sesuai. Kemudian bambu dikeringkan di sinar matahari selama
seharian dan dibersihkan, digodok, dan dijemur kembali di sinar matahari selama
setengah hari. Setelah itu, barulah petani memasang sumbu bambu dan koro
secara berdampingan. Setelah pemasangan selesai, petani memasak tuak dan
melakukan proses penyulingan pada koro. Melalui percobaan ini petani bisa mengetahui kualitas bambu. Untuk percobaan hari pertama menurut pengalaman
bapatalu Ama Risda koro dan sumbu bambu agak membengkak, namun lama-kelamaan bambu tersebut terbiasa dalam menyuling dan tidak membengkak lagi
dihari selanjutnya.
Ukuran sumbu bambu berukuran kira-kira sekitar 1,5 meter dan koro (bambu penyalur) kira-kira memiliki panjang kurang lebih 6 meter. Ukuran
menyatu. Ukuran lubang pada bagian atas koro dan sumbu bambu yakni 3cm, dan
memiliki diameter 1,5 cm. Ukuran lubang sumbu bambu sekitar 3 cm ukuran atas
dan bawah. Bagian atas sumbu bambu sengaja dibolongi sebagai titik temu antara
sumbu bambu dan koro.
Ukuran lubang diameter koro bagian atas sekitar 3 cm dan ukuran lubang
koro bagian bawah sekitar 1,5 cm. Ukuran atas bawah koro memang sengaja berbeda karena bagian atas sebagai penyatu antara koro dan sumbu bambu. Dan bagian bawah sebagai penyuling tuak, itu sebabnya dibutuhkan ujung bawah
lingkarannya lebih kecil.
Ukuran lubang lingkaran antara sumbu bambu dan lubang atas koro harus
bisa disesuaikan, agar seimbang. Tujuannya agar tuak yang dimasak tidak keluar
dari sumbu bambu dan koro. Apabila lingkaran lubang atas koro berukuran 3 cm,
maka lubang lingkaran sumbu bambu juga harus berukuran 3 cm.
Ada mitos yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan bambu yang
bagus pada saat akömita (terang bulan), dan pada hitungan minggu ke 6, dan jangan diambil pada hitungan minggu ke 10, karena akan ada penyakit bambu.
Ikan-ikan kecil mugu-mugu menyerang bambu, sehingga bambu rusak dan tidak bagus.
Sebagian petani percaya bahwa mitos ini memang benar dan seiring
dengan pengalaman, informan berpendapat bahwa bambu yang bagus ialah bambu
yang tidak banyak mengandung banyak air, kadar bambu dan tergantung pada
Gambar 05 : tampak (dari kiri) koro yakni bambu penyalur, dan (sebelah kanan)
sumbu bambu yakni tiang penyangga bambu.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
3.2. Peralatan yang digunakan untuk membuat Tuo Nifarö
1. Parang/pisau (balatu) untuk menyadap sigaru. 2. Kayu bakar/tungku untuk memasak.
3. Korek api
4. Kaleng minyak bekas (blek). 5. Koro (bambu penyambung). 6. Sumbu Bambu
7. Jeringen. 8. Saringan.
9. Pisang untuk melem/daun talas. 10.Batok kelapa.
11.Penumbuk.
3.2.1. Cara Membuat Tuo Nifarö.
Nira yang sudah disadap kemudian dipanen dan didiamkan selama dua hari
didalam jeringen yang tujuannya agar nira membusuk. Kalau sudah membusuk
nira berwarna putih agak kental seperti susu dan namanya bukan nira lagi, yakni
tuak. Sebelum menjadi tuak, nira kelapa berwarna putih namun kurang kental dan
rasanya manis, dan nira yang sudah dibusukkan tidak dikatakan nira lagi
melainkan berubah nama menjadi tuak, karena rasanya sudah menjadi asam.
Untuk memasak dan menyuling tuak, diperlukan bambu penyalur koro, sumbu
bambu dan peralatan yang lain. Sumbu bambu berfungsi sebagai tiang yang menangkap uap dari tuak, sedangkan bambu penyalur koro adalah bambu yang menyalurkan uap tuak dan menyuling uap tuak. Ukuran lubang koro dan lubang sumbu bambu harus berdiameter seimbang begitu juga dengan lubang dari blek/kaleng. Bagian ujung bawah koro semakin mengerucut agar bisa menyuling tuak dengan baik. Ukuran lubang sumbu bambu dan lubang koro harus sesuai agar
ketika tuak dimasak tidak tumpah dan tidak terjadi kebocoran atau pun air tuak
keluar lubang-lubang lingkaran koro, sumbu bambu dan blek..
Memasak tuak petani mempergunakan blek/kaleng minyak bekas yang biasa digunakan informan sebagai penampung tuak. Blek dapat menampung 22 botol tuak didalamnya. Ukuran ini disesuaikan dengan ukuran kapasitas blek. Sebelum tuak dimasukkan didalam blek, tuak terlebih dahulu harus disaring dengan saringan agar binatang seperti semut, maupun serangga lainnya tidak ikut masuk
Teknik penuangan juga harus diperhatikan, jangan sampai blek kepenuhan, hal
ini sangat dihindarkan karena apabila blek kepenuhan ketika dimasak pasti
berbuih dan kemudian tumpah karena terlalu penuh. Blek juga tidak boleh ditutup
ketika tuak dimasak karena apabila ditutup tuak bisa meledak karena kadar
alkohol pada nira sangat tinggi.
Setelah penyaringan sudah dilakukan, sumbu api sudah bisa dinyalakan dengan ukuran sumbu api yang kecil dan membakar kayu menggunakan korek api
ditempat pembakaran. Dalam hal ini petani menghidupkan 2 sumbu api. Pertama,
sumbu api untuk memasak nira kemudian sumbu api untuk membakar pisang
guna sebagai perekat bagi sumbu bambu dan koro.
Setelah sumbu api dihidupkan, blek/kaleng diletakkan di atas penyangga sumbu api pertama pada tempat pembakaran khusus memasak nira. Kemudian,
pisang dibakar bersama kulitnya ditempat pembakaran sumbu api kedua. Setelah pisangnya lunak, pisang diambil lalu di letakkan diatas batok kelapa lalu
ditumbuk/digiling hingga seperti bubur lem. Kegunaan dari pisang yang dibakar
ini adalah agar menutupi lubang-lubang kecil diantara sumbu bambu, bambu penyalur serta blek/kaleng. Pisang yang ditumbuk tadi, diolesi antara sela-sela lubang pada kaleng/blek sumbu bambu, dan bambu penyalur (koro). Kemudian
diolesi sedikit air agar lebih merekat.
Sangat ditakutkan apabila terjadi kebocoran ataupun ketika tuak dimasak tuak
bisa tumpah dalam proses pemasakan. Itu sebabnya pengeleman sangat penting
Gambar 06 : tampak petani mengolesi pisang yang sudah ditumbuk tadi, di antara celah-celah lubang blek, dan sumbu bambu. Setelah petani mengolesi pisang, kemudian petani mengolesi air agar pisang tambah merekat pada blek, sumbu bambu, serta koro.
Sumber : Dokumentasi Pribadi.
Diperlukan waktu selama 1 (satu) jam agar tuak bisa masak dengan baik. Dan
membutuhkan waktu yang tepat untuk memasaknya. Jangan memasak tuak
dengan terburu-buru agar cepat masak karena bisa jadi hasilnya nanti tidak enak
(asam). Begitu juga dengan baunya berbeda dari biasanya. Tanda apabila tuaknya
sudah masak bisa dicium dari baunya ataupun memegang ujung sumbu bambu.
Apabila terasa panas mendidih diujungnya bisa diketahui bahwa tuaknya masak.
Begitu juga apabila terciumnya aroma tuak yang menyengat menandakan
bahwa tuak sudah masak. Dan sumbatan koro yang berada ujung, harus dilepaskan agar tetes tuak bisa keluar dan masuk ke dalam botol tuak. Botol kaca
Gambar 07 : tampak tetesan pertama tuo nifarö yangberwarna bening seperti air mineral, ditampung dibotol kaca.
Sumber : Dokumentasi Pribadi.
Apabila botol pertama penuh, maka botol itu diambil dan digantikan dengan
botol tuak yang kosong (botol kedua). Begitu juga dengan botol ketiga, keempat
dan kelima. Sampai botol kelima berhenti, karena tuak sudah habis. Setelah
semuanya masak, botol pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dimasukkan ke
wadah yang agak besar, lalu di campur dengan botol pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima kemudian diaduk. Apabila ingin membeli högö duo harus di pesan telebihi dahulu, agar tidak perlu dicampur dengan tuak lainnya. Tujuan
pencampuan ialah agar alkoholnya seimbang, karena apabila nomornya semakin
kebawah maka alkohol juga semakin rendah, untuk itu perlu dilakukan
pencampuran.
Untuk mengukur kadar alkohol menggunakan alat. Pada tuo nifarö bisa dilakukan pengukuran. Melalui alat ini bisa diketahui berapa persen kadar alkohol
dikenal dengan nama alkohol meter atau hydrometer alkohol. Alat ini digunakan
dalam industri minuman keras (bir, wine) untuk mengukur kandungan alkohol
dalam minuman tersebut.12 Di bagian atas alkohol meter tersebut dilengkapi
dengan skala yang menunjukkan kadar alkohol. Prinsip kerjanya berdasarkan
berat jenis campuran antara alkohol dengan air.
3.3. Wawancara Tentang Sejarah Tuo Nifarö
Kalau ditelusuri secara historis, asal usul pengetahuan akan pembuatan tuo
nifarö tidak bisa diketahui dengan pasti. Hal ini, dikarenakan belum ada orang Nias, yang meneliti asal mula tuo nifarö. Kesadaran bagi orang nias sendiri untuk
mengangakat budaya Nias masih kurang. Selama berada dilokasi penelitian,
peneliti berupaya mendapatkan data dari dinas perpustakaan daerah, namun tidak
ditemukan adanya penulis yang menulis tentang sejarah ataupun asal mula tuo nifarö bisa terbentuk, sementara orang Nias mengklaim bahwa tuo nifarö asli dari Nias. Peneliti juga, singgah di perpustakaan museum pusaka nias, namun tidak
ada juga penelitian yang menyinggung tentang tuo nifarö. Peneliti kaget bahwa penelitian yang meneliti tentang pulau nias, banyakkan buatan orang jerman.
Seperti asal mulanya, terbentuknya museum pusaka Nias yang dibangun oleh
missionaris jerman.
12
Namun, meskipun demikian peneliti mewawancarai niha meföna yakni “orang dulu” yang kondisinya sudah tua, namun secara fisik ia tidak begitu
tampak begitu lemah, yakni kakek Ferry, ia bercerita bahwa tuo nifarö bukan berasal dari pengetahuan orang Nias asli, namun pengetahuan itu berasal dari
missionaris dari jerman, yang datang ke Nias. Pada zaman dulu, missionaris dan
tim medis kesehatan datang ke Nias, untuk memberikan kabar baik “injil”
(perkiraan sekitar 1865 ketika Denninger menginjakkan kaki di Pulau Nias) dan
sekaligus merangkap menjadi tim medis bagi orang yang sakit.
Ketika masa itu, minuman zaman dulu tidak bervariasi ataupun tidak
menggunakan kopi, ataupun teh sebagai minuman, karena belum
ditemukan/belum berkembang. Di Nias aren tumbuh sendirinya, berbeda dengan
kelapa. Kelapa pada zaman dulu ditanam disisi pantai namun sampai sekarang
kelapa banyak berkembang dan tumbuh dengan sendirinya. Dan dari sinilah, aren
sering dikonsumsi sebagai minuman, kemudian berkembang sebagai minuman
kehormatan bagi tamu, dan lama-kelamaan nira diolah dan didapati adanya
kandungan alkohol dalam nira, dan menjadi minuman “penenang” yang
alkoholnya bisa digunakan untuk menyembuhkan luka.
Kemudian pengetahuan ini, berkembang menjadi tuak, dan diwarisi oleh
orang Nias, dan cerita ini hanya tidak tersebar kemana-mana karena tidak
dianggap begitu penting, namun sampai sekarang sejarah kebenaran bagaimana
dan kapan penemuan ini masih belum terkuak, karena belum ada yang mau
meneliti tentang tuak ini, buku-buku yang ada cuma segentir membahas tentang
tradisional, kalau berbicara tentang sejarah belum ada yang sampai sekarang
meneliti kapan dan bagaimana tuo nifarö bisa ada sampai sekarang.
3.4. Alasan Memilih Nira Kelapa Sebagai Bahan Dasar Tuo Nifarö
Nama latin dari kelapa yakni Cocos nucifera. Dalam pengelolaan tuo nifarö petani lebih memilih nira kelapa dari pada nira aren karena kadar alkohol nira kelapa lebih tinggi daripada nira aren. Meskipun nira aren lebih banyak
dibandingkan nira kelapa namun, petani tetap menggunakan nira kelapa sebagai
bahan dasar untuk pembuatan tuo nifarö. Penikmat tuo nifarö juga lebih suka apabila tuo nifarö dibuat dari bahan dasar kelapa, hal ini dikarenakan rasa alkoholnya sangat berbeda.
Bapatalu Ama Risda mengatakan bahwa “pernah saya coba menggunakan nira aren ketika awal-awal memasak tuak, banyak teman-teman yang bilang rasanya sepertinya kurang enak lain dari yang biasanya, itu sebabnya saya tidak pakai lagi nira aren, saya tetap menggunakan nira kelapa”.
Selain rasa, perbedaan yang sangat jelas antara nira aren dan nira kelapa
bisa dilihat pada saat menyadapnya. Sigaru pada kelapa tidak boleh diputar ataupun diperlakukan secara kasar, karena apabila kalau sigaru patah maka sigaru
susah mengeluarkan nira dan fatalnya tidak akan mengeluarkan nira lagi.
Sedangkan nira aren sengaja diputar, ataupun sengaja digoyang, agar urat dari
dahan aren bisa keluar dengan baik.
weto. Konon, setiap satu rumpun aren ada gurunya yang membacakan mantra. Begitu juga dengan mitos untuk menyadap nira aren orang dulu wajib melakukan
beberapa gerakan wajib dalam menyadap seperti: digoyang 9 biji kekanan,
digoyang 9 biji kekiri, digoyang 9 biji kebawah pada ujung paling bawah diputar,
sebagian dibuang dahan dari biji dan sebagian disadap.
Kalau difikir secara logika, beberapa gerakan mempermudah pekerjaan
dalam menyadap. Sehingga urat dari dahan (batang dahan) tidak terlalu keras dan
sengaja digoyang agar gampang disadap. Cara menyadap nira aren dari atas ke
bawah dan cara menyadap nira kelapa yakni dari bawah ke atas. Dan proses untuk
menjadikannya nira aren menjadi tuo nifarö sama seperti memasak nira dari kelapa, hanya cara menyadapnya saja yang berbeda, kadar alkohol, dan aren
kelapa lebih banyak peminatnya.
Dari proses penyadapannya nira kelapa memang agak susah menyadapnya,
dan airnya tidak begitu banyak dibanding dengan nira aren, namun dari segi rasa,
maupun alkohol sepertinya nira kelapa masih lebih unggul dan karena masyarakat
sudah terbiasa meminum tuo nifarö dengan menggunakan bahan dasar nira kelapa
3.4.1. Nira Kelapa dan Komposisi
Nira kelapa adalah cairan yang diperoleh dengan menyadap
(bunga/pelepah kelapa atau biasa disebut dalam bahasa Nias dengan sigaru) yang
belum terbuka. Nira yang masih segar memperhatikan penampakan yang jernih,
hampir tidak berwarna dan sangat manis.
Kandungan komposisi nira kelapa sama dengan kandungan komposisi tuo nifarö karena dalam penyadapan, pemasakan, maupun penyulingan dalam pembuatan tuo nifarö tidak ada sedikitpun larutan yang dicampurkan selain nira, jadi minuman ini benar-benar asli 100% dari nira kelapa.
Tabel 3.1. Komposisi Kimia Nira Kelapa.
Menurut Suhardiyono (1988), nira kelapa segar mempunyai komposisi
3.4.2. Perubahan yang Terjadi Pada Nira Segar
Nira segar sangat mudah mengalami proses fermentasi karena didalamnya
terkandung ragi Saccharomayces yang sangat aktif. Nira hasil penyadapan akan langsung dikendalikan sampai satu hari kemudian. Keadaan ini terjadi karena
substrat (gula) dalam nira belum habis dikonveksi. Perubahan yang terjadi pada
kandungan gula didalam nira sebagai aktivitas mikroorganisme dapat dilihat pada
rantai perubahan sebagai berikut:
Sukrosa→ Glukosa dan Fruktosa→ Alkohol (etanol)→Asam Asetat→CO2 dan H20
Aktivitas ragi yang aktif akan mempengaruhi proses dari sukrosa sampai
alkohol dan aktivitas bakteri akan mempengaruhi proses dari alkohol sampai asam
asetat (Awang,1999).
3.5. Sistem Sewa Pohon Kelapa di Desa Sirete.
Di kabupaten Nias, jumlah pohon kelapa sangat banyak, dan pohon kelapa
tubuh subur di wilayah Pulau Nias. Hampir diberbagai tempat di wilayah Pulau
Nias, pohon kelapa bisa tumbuh seperti di pantai, sawah, ladang, dan
pergunungan. Konon, pohon kelapa ditanam oleh nenek moyang Suku Nias,
Namun zaman sekarang pohon kelapa tidak ditanam lagi, dan sekarang sudah bisa
tumbuh sendiri dan di Nias tidak ada budidaya pohon kelapa. Jadi pohon kelapa
yang tumbuh bisa didampingi dengan tanaman jenis tumbuhan yang lain karena
pohon kelapa tumbuh sendiri dan tidak menggunakan perawatan khusus untuk
pertumbuhannya.
Jenis pohon kelapa dapat dibedakan menjadi 2 yakni : pohon kelapa yang
memiliki nira dan pohon kelapa yang tidak memiliki nira. Hal ini, memang
petani. Sama halnya seperti bapatalu Ama Risda, beliau memiliki beberapa lahan
pohon kelapa, namun tidak semua pohon kelapa yang memiliki nira.
Untuk mengatasi hal itu, beliau menyewa pohon kelapa tetangganya yang
memiliki nira. Biaya sewa pohon dihargai seharga 1 botol perbulan. Harga tuo nifarö biasanya Rp. 12.000 perbotol, namun ada musimnya harga tuo nifarö naik hingga Rp. 16.000 perbotol, seperti kalau menjelang hari natal permintaan tuak
sangat tinggi sehingga harga tuak melambung tinggi. Kebanyakkan petani nira
menyewa pohon kelapa untuk mengambil nira, karena pohon kelapa yang
memiliki nira agak susah didapati. Biasanya petani menyewa pohon kelapa
kepada tetangga ataupun sanak saudara. Pohon kelapa apabila niranya sudah
pernah disadap maka, pohon kelapa itu produktif dan bisa digunakan kembali.
Begitu juga apabila petani menemukan pohon kelapa yang dari ciri-ciri
fisiknya memungkinkan terdapat nira, namun ketika dicek pohon kelapa tersebut
setelah kurang lebih 2 minggu, tidak mengeluarkan nira sama sekali, maka petani
tidak akan melanjutkan penyadapan dan meninggalkan pohon kelapa tersebut.
Petani beralih mencari pohon kelapa yang baru (pohon kelapa yang dapat
menghasilkan nira).
Perlu diketahui, pohon kelapa yang memiliki nira pasti tidak akan
memiliki buah selagi niranya masih disadap. Hal ini dikarenakan buahnya tidak bisa terbentuk lantaran sigaru terus disadap sehingga pohon kelapa tersebut tidak memiliki buah. Pohon kelapa yang tidak terdapat nira, difungsikan sebagai
BAB IV
MAKNA DAN FUNGSI TUO NIFARÖ
4.1. Manfaat Tuo Nifarö
Nama “tuak” sudah tidak asing lagi didengar, apalagi di Sumatera.
Mengkomsumsi tuak sudah menjadi kebiasaan yang sering dilakukan kaum muda,
dimana-mana tuak berfungsi sebagai hiburan, yang dikomsumsi bersama-sama
teman-teman sambil cerita-cerita dan bersantai.
Menurut Malinowski (1884-1942) ia beranggapan bahwa semua unsur
kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat13. Dengan kata
lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa
setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, kepercayaan, dan sikap yang
merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat yang memenuhi
beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan.
Malinowski percaya bahwa pendekatan yang fungsional mempunyai suatu
nilai praktis yang penting. Sebagai contoh “teori fungsionalisme adalah teori ini
mengajarkan tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beragam
itu, bagaimana kebiasaan-kebiasaan manusia tergantung satu dengan yang
lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh penyiar agama contohnya, oleh penguasa,
dan yang lainnya”.
13
Brownislaw Malinowski, “The Group and the Individual in Functional Analysisis”, American
Jadi inti dari teori ini pendekatan fungsional dapat menerangkan bahwa semua
masyarakat membutuhkan pengurusan soal mendapatkan makanan dimana
kebutuhan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau
hendak hidup. Itu sebabnya budaya minum tuak dianggap memiliki banyak fungsi
dan setiap orang relatif dalam merespon. Ada yang beranggapan bahwa minum
tuak itu harus mabuk, namun disisi lain ada orang yang beranggapan minum tuak
sebagai tradisi ajang kumpul bersama teman-teman.
Penulis beranggapan bahwa sama seperti halnya orang-orang yang berada di
cafe maupun tempat hiburan, mereka bersenang-senang sambil memesan
minuman seperti bir, wine, red lebel, dan jenis minuman alkohol, begitu juga
suasana di kedai tuak, hanya bedanya kedai tuak lebih transparan tempatnya
layaknya kedai biasa. Sedangkan cafe atau tempat hiburan lainnya suasana pada
lokasinya lebih tertutup dan kebanyakkan kaum elite.
Banyak orang beranggapan bahwa meminum tuak adalah perbuatan tabuh,
melanggar norma agama, atau berimage buruk, namun minum tuak ataupun
minum alkohol bukan berarti harus mabuk. Persepsi inilah yang mungkin
membuat orang takut untuk mengkomsumsi alkohol. Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan meminum alkohol ataupun tuak, asalkan, peminum harus tahu
takaran meminum alkohol seperti apa. Bagi orang Nias yang biasa
mengkomsumsi tuak, satu atau pun dua gelas tidak berefek. Namun disisi lain ada
juga orang Nias yang mengkomsumsi tuak segelas saja sudah mabuk. Jadi ini
semua tergantung ketahanan tubuh seseorang, seberapa tahan seseorang tersebut
Di kota Gunung Sitoli dan sekitarnya, cukup banyak jumlah pedagang tuak.
Seperti Pasar beringin, Pasar Nou dan Pasar Pagi, merupakan sentral penjualan
tuak selain di pinggir-pinggir jalanan, desa-desa dan pekan-pekan lainnya. Tuak
adalah minuman beralkohol yang dibuat dari nira aren, kelapa yang telah
diragikan, Ada 2 jenis tuak:
a. Tuo Mbanua atau Tuo Sataha (tuak mentah, belum diolah), kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi.
b. Tuo Nifarö (tuak yang sudah diolah melalui proses penyulingan), kadar alkoholnya sangat tinggi, bahkan bisa menyala kalau dipercikan api
(dalam hal ini högö duo).
Tuo nifarö dipercaya sebagai minuman tradisional yang bersifat alami dan dijadikan atas nama tradisi minuman ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat suku nias. Berikut fungsi tuo nifarö yakni:
4.1.1. Fungsi Högö Duo Sebagai Obat.
Högö duo dipercaya sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakit gula (bahasa medisnya diabetes), dan sebagai minyak urut bagi penderita stroke. Pernyataan ini, ada sebagian yang menentang dan ada juga yang setuju. Hal ini
dikarenakan karena belum ada yang meneliti tentang tuak ini. Benar atau
tidaknya, nyatanya sampai sekarang tuo nifarö tetap dikomsumsi oleh masyarakat
nias, walaupun mereka mengetahui efek samping apabila mengkomsumsinya
Di dalam unsur budaya terdapat 7 unsur budaya, dan salah satu yakni sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan bukan hanya menyangkut religi/ritus keagaman semata, namun kepercayaan akan suatu benda, ataupun makanan/minuman dapat
berkhasiat menyembuhkan penyakit masuk dalam sistem kepercayaan. Seperti
agama, apabila seseorang percaya akan suatu agama maka apapun yang terjadi
seorang yang beragama berusaha untuk tidak goyah, namun malah sebaliknya ia
mengganggap bahwa kepercayaannya itu ada, dan semakin mendekatkan diri
kepada tuhannya. Begitu juga dengan masyarakat Nias, banyak orang medis
berkata bahwa tuo nifarö tidak baik untuk dikomsumsi namun kenyataannya minuman ini selalu dikomsumsi sebagai obat penyakit gula serta minyak urut.
Peneliti mengganggap bahwa kepercayaan itu adalah harapan, sama halnya
apabila masyarakat nias percaya dengan minum tuak,bisa menyembuhkan dari
penyakit gula, maka harapan itu bisa terjadi, dan bisa sembuh karena sudah
“percaya” dan “menyakini”.
Peneliti juga mewawancarai seputar makna dan fungsi tuo nifarö, dari beberapa kalangan masyarakat yakni:
1. Ama Abe Zebua (39 tahun) berpendapat bahwa: “tuo nifarö merupakan minuman yang beralkohol yang dikelola dari proses penyulingan. Tuak botol pertama, berbeda dengan botol kedua, ketiga dan keempat.
Untuk pengalaman pribadi, teman saya kepala sekolah SMP. N 4 Lahemo menderita penyakit gula dan ia, meminum tuo nifarö, ketika dicek ternyata kadar gulanya berkurang.
Efek negatif dari tuo nifarö ialah terlalu banyak meminum menjadicerewet, tidak mau bekerja dan ekonomi berkurang.
Saran dari narasumber yakni: bagusnya dikomsumsi jangan terlalu banyak (disesuaikan), minum tuak bukan berarti mabuk”.
2. Fatoro Ndraha (49 tahun) Kepala Desa Sirete berpendapat bahwa: “tuo nifarö merupakan sejenis minuman beralkohol, alkoholnya orang Nias. Rata-rata laki-laki suku nias pasti pernah meminumnya. Tuo nifarö aman untuk dikomsumsi karena minuman tradisional ciri khas orang Nias, dan dengan adanya produksi ini dapat membantu petani untuk berdagang tuak. Apalagi masyarakat Desa Sirete tergolong masyarakat yang memiliki pendidikan rendah dan miskin, nah dengan adanya usaha ini dapat meningkatkan perhasilan rumah tangga.
Tuo nifarö bisa dikonsumsi sebagai obat penyakit gula dan orang nias percaya tuo nifarö bisa sebagai supelemen menambah nafsu makan.
Saran dari narasumber yakni: apabila berlebihan diminum mengakhibatkan mabuk untuk itu dikomsumsi sedikit saja seperti acara pesta dan jumpa teman-teman”.
3. Alfriend Harefa (50 tahun) berpendapat bahwa: “semenjak bapa, meminum högö duo secara rutin di pagi hari, ketika cek gula darah pada dokter, gula darah bapa menurun dan minuman ini sudah lama dipercaya sebagai obat tradisional”
4. Ibu Ina Yaso (49) berpendapat bahwa: “högö duo itu adalah obat urut, saya penderita stroke dan secara rutin diurut sama saudara, dan sembuh. Ketika diurut aromanya memang bau, namun saya sudah merasakan manfaat högö duo”
Dari pernyataan-pernyataan tersebut bisa dikatakan usaha produksi tuo nifarö bisa dianggap sah, karena masyarakat suku Nias sendiri merasakan manfaat dari tuo nifarö. Walaupun ada pihak-pihak yang memang tidak setuju dengan adanya lafo tuak dan produksi tuak. Memang dulunya ada larangan, namun ketika
dihapuskan karena mengingat otonomi daerah diurus oleh daerah itu sendiri,
sehingga kebijakkan itu diberhentikan, mengingat tuo nifarö bisa dijadikan sebagai usaha sampingan masyarakat Suku Nias.
Sama halnya, ketika peneliti datang ke RSU (Rumah Sakit Umum) di
Gunung Sitoli mewawancarai seorang dokter dibidang RPD (Rawat Penyakit
Dalam) yakni Dr. Albertinus Daeli, Sp.PD.
Peneliti menanyakan “bahwa ada beberapa pasien ketika ia, meminum högö duo, ia bisa sembuh dari penyakit gula, apakah hal itu betul pak”?
Jawab dokter : “secara medis memang tidak ada hubungan dengan minum tuak penyakit diabetes bisa sembuh, namun ada beberapa orang yang memberikan pernyataan seperti itu, namun sampai sekarang belum bisa diketahui pasti karena belum ada yang mau meneliti kandungan tuo nifarö.”
Dari penyataan diatas bahwa secara medis tuo nifarö memang tidak diakui
karena belum ada yang mau meneliti tuak ini, namun kenyataannya tuo nifarö tetap dikomsumsi oleh masyarakat suku nias, karena alasan tradisi dan sebagian
orang mengganggap bahwa tuo nifarö adalah minuman tradisional, yang bersifat alami ini yang menyebabkan orang nias nyaman mengkomsumsi tuo nifarö.
Sebagian dari Antropologi kesehatan berpendapat bahwa antropologi
kesehatan berhubungan dengan pemahaman biobudaya manusia dan
karya-karyanya yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan (Hochstrasser dan
Tapp 1970:245)
Namun penulis setuju bahwa aktivitas formal antropologi berhubungan
mendeskripsikan: (1). Penelitian antropologi tujuannnya adalah: defenisi
komprehensif dan interpretasi tentang hubungan timbale balik biobudaya, antara
tingkah laku manusia di masa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan
penyakit tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut, (2). Partisipasi professional mereka dalam
program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang
lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan,
serta melalui perubahan tingkahlaku sehat ke arah yang diyakini akan
meningkatkan kesehatan yang lebih baik. Foster/Andeson (1986:11).
4.1.2. Fungsi Tuo Nifarö Pada Pesta Adat Pernikahan Suku Nias.
Pada pesta perkawinan (falöwa), perkumpulan dan acara-acara lainnya, sering ditemui botol tuak atau minuman keras lainnya. Bahkan pada acara Möi mamaola ba Nuwu (Tradisi Nias Utara untuk memberitahukan hari pesta perkawinan dan mengatar jatah böwö (Mas Kawin) kepada pihak paman calon mempelai perempuan), di dalam makanan yang akan berikan kepada Uwu (daging
babi rebus dan nasi) juga diikut sertakan satu botol tuak. Dalam acara Suruduo (acara penghormatan terhadap pihak Uwu yang hendak pergi pada pesta perkawinan, tetapi melewati perkampungan tempat tinggal saudarinya
perempuan), Tuo harus disuguhkan bersama daging babi rebus untuk dimakan
bersama. Penulis mewawancarai sejumlah orangtua untuk mengetahui
Pernyataan ini memang ada benarnya, walaupun tidak ada yang
menegaskan bahwa ada bahaya (dampak negatif yang berpengaruh pada
kehidupan), kalau tuak tidak diberikan pada saat Möi mamaola ba Nuwu dan Suruduo. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penyuguhan tuak bukan tradisi absolut, tetapi lebih merupakan tradisi pelengkap, karena banyak juga acara dan keputusan yang tanpa tuak bisa dianggap resmi, kuat dan sah.
Dari sudut religi (kepercayaan masyarakat) tidak adanya resiko baik
langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan pelanggar, kalau minuman
beralkohol tidak ada. Apalagi tuak bukan hanya ditemukan di Nias, di Jawa, di
Tapanuli, dan daerah lainnya, juga terdapat banyak tuak.
Seorang budayawan Nias sekaligus juga sebagai rohaniawan bernama Pdt.
Dal. Zendratö, S. Th, beliau mengatakan bahwa: “penyuguhan tuak dalam setiap pesta memang sudah tradisi. Pada acara Möi mamaola ba uwu, itu selalu diberikan. Namun, jikalau tidak diberikan, maka tidak ada resikonya atau
hukuman dilihat dari sisi religi, hanya saja pemberian itu terasa kurang lengkap14
Sebenarnya, yang meminum tuak hanya Si dadao barö gare atau Niha sangaroro yaitu orang-orang yang duduk pada posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan pada upacara adat atau orahua (musyawarah resmi). Tidak banyak diminum, paling seperempat gelas bagi yang tidak biasa meminum,
karena kalau diminum terlalu banyak, malu dicap sebagai solu’a-lu’a (rakus) atau si löngaroro (tidak becus).
Penyuguhan tuak, merupakan fangetu’ö huhuo (pengesahaan keputusan)
yang ditandai dengan minum bersama dari minuman yang berbeda dengan
minuman biasa. Karena dahulu hanya tuak yang mudah didapat di Nias, maka
tuaklah yang disajikan. Namun harus diketahui bahwa penyuguhan tuak
(minuman yang beralkohol) tersebut tidak dipraktekkan di seluruh wilayah di
Nias. Di Nias Selatan umpamanya, hal ini merupakan hal yang asing.
Setelah prosesi pesta adat perkawinan selesai, atas nama tradisi inilah
makanya tuo nifarö disuguhkan kembali dan atas nama tradisi (hada) dan pergaulan (fahuwusa/fariawösa) para pemuda ataupun pihak saudara menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang di malam hari dan biasanya
mereka menyanyi-menyanyi sambil diiringi musik kibot, (musik keyboard). Dan kerabat ataupun tetangga bisa melantunkan lagu di depan bergabung dalam acara
malam ini.
Acara seusai pesta, pasti selalu ada karena sudah menjadi tradisi.
Perkawinan adalah hal yang pasti istimewa di Nias, perkawinan dianggap bukan
hanya kedua belah pihak yang berbahagia, namun semua kampung itu turut
berbahagia, itu sebabnya seusai acara adat pernikahan selesai, ada semacam acara
tambahan untuk para kerabat dan tetangga, semua orang disana harus berbahagia.
Untuk menambah meriahnya malam, maka makanan dan kue disajikan kembali
4.1.3. Fungsi Tuo Nifarö Sebagai Mata Pencahariaan Masyarakat.
Sebagai petani nira dan sekaligus memproduksi tuo nifarö bisa dijadikan mata pencahariaan sampingan dimana, hasilnya lumayan menjanjikan karena
selalu mempunyai langganan tetap. Dalam unsur kebudayaan salah satunya yakni
sistem mata pencaharian sangat berhubungan dengan pengelolaan tuo nifarö. Dimana usaha ini, bisa dijadikan usaha untuk memenuhi kehidupan.
Di Desa Sirete sekitar 10 orang petani pembuat tuo nifarö, dan sekitar 8 lafo tuak. Jarak antara warung dengan warung lainnya ada beberapa yang berdekatan, ada juga yang berjauhan. Persaingan antara lafo tuak dengan lafo tuak
tampaknya tidak begitu kelihatan karena masyarakat Desa Sirete terbilang
masyarakat yang tentram dan mereka menyadari bahwa setiap masyarakat wajib
mencari dapatkan nafkah, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jadi persaingan
tidak begitu nampak. Hal ini, dinyatakan oleh Bapatalu Ama Risda selaku petani
dan pemilik lafo tuak.
Penghasilan dari Bapatalu Ama Risda, tidak menentu namun setiap hari
pasti ada yang membeli tuak minimal 1 botol. 1 botol tuo nifarö dihargai biasanya
Rp.12.000.- dalam kemasan botol air mineral. Penghasilan tuo nifarö tergantung situasi dan kondisi, namun apabila ada permintaan pesta bisa dipesan dan petani
mendapat penghasilan 1 blek Rp.65.000.- per hari (dalam 5 botol) apabila
dicampur dengan högö duo. Namun apabila tidak dicampur tuo nifarö dihargai Rp.50.000.- (dalam 4 botol). Dan 1 botol högö duo tidak dicampur Rp. 50.000.-
Produksi tuak bisa dilakukan di rumah tanpa harus menyewa tempat, dan
memproduksi sekaligus lafo tuak sangat menjanjikan, karena bisa dilakukan oleh generasi selanjutnya (usaha jangka panjang). Dibandingkan dengan petani karet
contohnya, usaha ini memilki keuntungan yang kecil yakni 1kg karet dihargai
cuma Rp.5.000, begitu juga dengan petani sayur contohnya harus memiliki lahan
untuk menanam sayur, belum lagi resiko menanam sayur terkadang ada saja orang
usil yang mencuri sayur.
Apabila memproduksi tuak tidak memerlukan, lahan yang besar dan warga
pun tidak takut untuk memproduksi tuak, karena di Nias pengawasan yang seperti
ini masih terbilang tidak ketat. Dikarenakan, atas nama tradisi ini, tuo nifarö bisa dijual dengan bebas.
Walaupun, kenyataannya ada saja pihak-pihak (dalam hal ini biasanya
Polisi) sengaja memeras orang yang memproduksi tuak, dikarenakan kepentingan
pribadi. Walaupun demikian dari keterangan Kepala Desa Sirete dan Seketaris
Desa Sirete, mereka setuju bahwa memproduksi tuo nifarö dianggap suatu pekerjaan yang sah, dan bisa dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya. Berikut keterangan bapatalu Ama Santi Seketaris
Desa Sirete (36 tahun) mengenai fungsi tuo nifarö sebagai mata pencaharian di Desa Sirete:
“Tuo Nifarö ibarat minuman keras, masyarakat terinspirasi berdasarkan warisan turun temurun dari kakek, nenek, saudara dan meneruskan kegenerasi berikutnya. Sebagian masyarakat Nias mengkomsumsi högö duo sesuai dengan aturan yakni 1 (satu) sendok untuk menghangatkan tubuh. Högö duo juga bisa digunakan sebagai campuran minyak urut
mahal sedangkan tuo nifarö pas untuk kantong pemuda dan lainnya, (c). berfungsi ketika pesta adat nias, sumange simbi salogötö yakni pemberian penghormatan yang dibawa pihak laki-laki sebagai makanannya dan tuo nifarö harus ada dibotol “molöwö” saat löwö-löwö didalam bungkusan harus ada tuak (minuman ciri khas).
Saran dari narasumber yakni : (a). pihak pemerintah harus bisa melindungi orang yang memproduksi tuak. Begitu juga dengan departemen kesehatan agar bisa meneliti kandungan dari tuak agar bisa diakui dan izin produksi biar ada. (b). bagi peminum: dikonsumsi dalam keadaan utuh, artinya jangan dicampur dengan suplemen minuman lainnya yang dapat mengakibatkan racun dan bahaya bagi pengguna itu sendiri. Seperti M-150, Sprite, Fruty, dan apabila diminum secukupnya saja. Bagi pemula jangan mencoba-coba mengkomsumsi banyak, cukup seperempat gelas saja nanti bisa teler”.
4.1.4. Fungsi Tuo Nifarö Sebagai Minuman Keakraban
Tradisi minum tuak di Nias tidak merupakan hal yang asing bagi
masyarakat Suku Nias. Anak muda, bapak-bapak, maupun ibu-ibu sekalipun bisa
didapati gemar meminum tuak. Masyarakat Nias percaya bahwa tuo nifarö merupakan minum khas tradisional suku Nias. Maka tak jarang juga orang di lafo tuak ketika bertemu teman lama, titik kumpulnya yakni di lafo tuak. Berikut keterangan Ama Abe Zebua (39) tahun ketika diwawancarai di lafo tuak yakni:
“kebanyakkan bercerita pastilah kita merasa haus, itulah sebabnya bila berjumpa teman enaknya di lafo tuak, agar lebih lancar ngomongnya. Di lafo tuak pasti banyak yang diceritakan, dari keluarga, pekerjaan, masa kecil, masalah-masalah lingkungan, struktur organisasi, dan banyak hal.”
Di lafo tuak, para bapak-bapak kebanyakkan lebih transparan berbicara kepada teman-temannya. Ketika mereka lagi ditimpa musibah atau ketika mereka
teman-temannya dan dapat menenangkan diri sejenak dari masalah yang mereka hadapi.
Kemungkinan untuk mabuk memang ada, tapi kalau sekedar untuk berjumpa
teman lama, ngobrol-ngobrol sebentar kemungkinan untuk mabuk sangat kecil,
karena teman-teman di lafo tuak pasti mengingatkan agar mereka jangan terlalu banyak meminum tuak. Mitosnya, untuk penawar rasa mabuk yakni dengan
meminum air beras, mengunyah ajinamoto/terigu dan memuntahkannya, ataupun
meminum minyak kelapa, namun hal ini tidak bisa diketahui dengan pasti karena
tergantung orangnya apakah dia sanggup menakhlukkan rasa mabuknya dengan
cara itu, dan hal ini dipercaya hanya bisa mengurangi rasa mabuk.
Gambar 08 : tampak peneliti mewawancarai informan Ama Abe Zebua dan Ama Siska Ndraha dikedai tuak.
Sumber : Dokumentasi Pribadi.
4.2. Wawancara dengan Pemilik Lafo Duo Mbanua (Tuak Mentah)
4.2.1. Proses Pengelolaan Duo Mbanua (Tuak Mentah)
Tuak mentah terbuat dari nira aren dan nira kelapa, namun yang sering
enak dan apabila dijadikan tuak mentah nira aren lebih banyak peminatnya. Cara
menyadap nira aren hampir sama dengan nira kelapa, namun perlakuan untuk nira
aren dan nira kelapa agak berbeda. Nira aren apabila disadap diperlakukan secara
kasar karena mempunyai banyak urat dan keras. Namun, nira kelapa tidak boleh
diperlakukan secara kasar karena agak sensitif.
Cara menyadap aren yakni sigaru pada aren diayunkan ke kanan dan ke kiri, kemudian dipotong dan sekitar 50cm yang ditampung. Diiris 1 potong untuk
pagi, dan kemudian ditampung airnya di dalam jerigen, ataupun bambu yang
mempunyai buku. Buku yakni sekat-sekat yang terdapat dalam bambu. Namun jaman sekarang orang jarang menggunakan bambu karena susah mencari bambu
yang berbuku yang ukurannya besar, dan risiko kebocoran itu yang sangat
dikuatirkan. Jadi, kebanyakkan petani mempergunakan jerigen untuk menampung
air aren.
Sama halnya seperti menyadap nira dari kelapa, pagi disadap, sore sudah
bisa dipanen. Untuk membuat tuak mentah dari air nira, tidak perlu dibusukkan.
Ketika nira dipanen, petani langsung membuat raru yakni olikhe atau kulit durian
sebagai bahan alami yang menambah rasa mabuk. Raru adalah bahan campuran
yang berfungsi untuk memabukkan. Raru yang sering digunakan ialah olikhe. Karena kekuatan “rasa mabuknya” lebih terasa daripada raru kulit durian.
Orang yang membeli di lafo tuak mengakui bahwa kekuatan rasa mabuk kulit olikhe 2 kali dari raru kulit durian. Olikhe adalah nama pohon yang kulit pohon olikhenya yang digunakan sebagai campuran larutan tuak mentah. Larutan
ada juga yang menjual tuak mentah dengan raru kulit durian dan berwarna merah
muda.
Tuak mentah atau duo mbanua berbeda dengan tuo nifarö karena alkohol tuo nifarö lebih tinggi. Tuo nifarö dimasak dan disuling itu sebabnya alkoholnya lebih tinggi. Sedangkan tuak mentah, dibuat untuk minum sehari-hari dan
kandungan alkoholnya sangat kecil dibanding dengan tuo nifarö.
Gambar 09 : Duo mbanua yang sudah dicampurkan raru yakni kulit olikhe dan siap untuk di jual.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Petani biasanya menjual tuak mentah kepada pemilik lafo tuak seharga Rp.
2.000.- perbotol. Dan pemilik lafo tuak menjual tuak mentah kepada pembeli seharga Rp. 4000.- Transaksi antara petani dan pemilik lafo tuak biasanya terjadi
di pagi hari. Tuak yang dijual pada pagi hari, harus bisa terjual dalam satu hari itu
juga, Apabila tidak laku ataupun tidak habis maka tuak itu dibuang dan tidak bisa
digunakan lagi, dikarenakan basi. Berbeda dengan tuo nifarö bisa bertahan lama, sampai setengah tahun dikarenakan proses pengolahannya niranya difermentasi,
Tuak mentah bagusnya dikomsumsi di pagi hari, karena rasanya masih
manis, dan di siang hari rasanya kurang manis menuju asam. Namun perubahan
rasa ini, tidak mempengaruhi orang yang gemar meminum tuak, tetap saja ada
pelanggan tetap yang tiap hari membeli tuak ini. Malahan bagi orang yang sudah
biasa mengkomsumsi tuak, sudah seperti minuman biasa.
Kebanyakkan lafo tuak yang menjual tuak mentah pasti menjual tambol sebagai makanannya. Tambol adalah daging anjing yang disaksang. Saksang merupakan nama makanan masakkan khas batak. Dan kemudian berkembang di
Nias, dan biasanya orang menyebut tambol agar memperhalus bahasa. Bila ada
lafo yang menuliskan B1 di dalam lafo itu berarti tuak mentah juga dijual.
“Bagi orang Nias meminum tuak mentah duo mbanua tidak nikmati bila cuma minum tuak, bagusnya ada makanannya” ujar bapak mendröfa salah satu pembeli di lafo Ama Dalia ini. Bapak ini gemar mengkomsumsi B1 dan tuak mentah sebagai makan siang disela-sela jam istirahat.
Gambar 10 : suasana di lafo tuak Ama Dalia Zebua yang menjual Duo mbanua beserta tambol (B1). Tambak ibu-ibu yang berbaju merah sedang sibuk melayani pelanggan di dalam lafo.
Dampak mengkonsumsi tuak mentah, sepertinya tidak ada karena sampai
sekarang belum pernah ada orang yang mengeluh dan ataupun mabuk yang
berlebihan, karena kadang alkoholnya tidak terlalu tinggi. Fungsi dari tuak mentah
ini melalui wawancara beberapa orang ialah:
1. Duo Mbanua tuak mentah sering dikomsumsi apabila kumpul-kumpul arisan,
karena harganya lebih murah dari tuo nifarö.
2. Tuak aren digunakan sebagai cuci perut, dan dipercaya sebagai mempelancar
buang air kecil.
Perbedaan tuo nifarö dengan duo mbanua adalah : tuo nifarö, tuak yang dimasak dan disuling kadar alkoholnya tinggi, serta bertahan lama, sedangkan tuo mbanua adalah nira yang mentah yang tidak dimasak, kemudian diolah menjadi tuak dicampur raru untuk penambah alkohol dalam duo mbanua. Berikut keterangan wawancara peneliti dengan pemilik lafo duo mbanua Ama Dalia Zebua (49 tahun) yakni:
“Kalau tuo nifarö, memiliki kandungan alkohol 35%-50%, sedangkan duo mbanua cuma mengandung alkohol 5%-10%, itu sebabnya duo mbanua lebih murah dan memang dikomsumsi untuk sehari-hari, makanya tuak mentah apabila dijual dalam sehari target perjualan harus habis tidak seperti tuo nifarö yang dimasak lalu disuling bisa bertahan lama dan harganya berbeda.”
Tuo nifarö lebih terkenal daripada duo mbanua, karena kadar alkoholnya yang tinggi dan lebih digemari oleh masyarakat luar, karena sering menjadi buah
tangan (oleh-oleh) yang dapat bertahan lama. Sedangkan duo mbanua, tidak bisa diketahui oleh masyarakat luar karena tidak bertahan lama karena mentah, dan
alkoholnya rendah. Namun, duo mbanua sering dikonsumsi sebagai minuman tambol bagi peminat.
4.3. Högö Duo Sama Seperti Spritus.
Tuak nomor 1 (satu) atau högö duo warna bening sekali, dan dipercayai bahwa semakin lama, semakin kuat kadar alkoholnya. Kadar alkohol mencapai
40% keatas. Högö duo, sama seperti spritus yang apabila högö duo diberikan api,
bisa menyala namun sebentar. Ketika informan bapatalu Ama Risda
menampakkan bahwa högö duo bisa membakar benda sama halnya seperti spitus.
Peneliti terkejut, dan memang benar ketika petani menuangkan tetesan högö duo di meja dan dihidupkan api, meja tersebut terbakar dan bolong namun Cuma
sebentar, karena apinya langsung mengecil. Ketika peneliti mencoba hal demikian
pada meja tanpa menggunakan tetesan högö duo tampaknya meja tersebut tidak terbakar.
Kemudian percobaan kedua dilakukan oleh petani, pada serbuk
potongan kayu. Ketika petani mencoba menghidupkan api pada
potongan-potongan kayu tersebut, kayu tersebut susah untuk terbakar butuh waktu lama
baru bisa menghidupi api pada potongan-potongan kayu tersebut. Kemudian,
petani menumpahkan sedikit tetesan högö duo pada potongan-potongan kayu tersebut, lalu kembali menghidupkan mancis dan alhasil apinya mengembang dan
lama kelaman-lamaan apinya mengecil dan berwarna biru. Perlahan-lahan apinya
Dari percobaan diatas bisa disimpulkan bahwa kandungan alkohol pada
högö duo sangat tinggi, karena tampak potongan-potongan kayu yang ketika diberikan tetesan-tetesan högö duo api tersebut langsung besar dan apabila meja tersebut tidak dijaga maka bisa menimbulkan kebakaran.
Begitu juga tuo nifarö dan högö duo apabila dikomsumsi terlalu banyak, bisa mengalami gangguan pada kesehatan dikarena kadar alkoholnya tinggi. Itu
sebabnya tradisi minum tuak di Nias tidak salah namun, takaran untuk
mengkomsumsi tuak cukup seperempat gelas saja. Peminum tuak tidak selamanya
harus mabuk harus tau takaran minum alkohol.
Gambar 11: tampak kayu-kayu kecil yang terdahulu sudah disiram dengan högö duo (tuak nomor 1), dengan takaran setengah sendok makan, dibakar dengan api. Tampak pada gambar api menyala. Api yang menyala tersebut cuma sebentar
seperti spritus. Tidak seperti bensin.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Tradisi minum tuak sudah ada sejak dahulu kala di kabupaten nias. Tuo nifarö adalah minuman yang berasal dari nira kelapa yang difermentasi, dimasak dan disuling. Tuo Nifarö dianggap sebagai minuman tradisional dan minuman kebanggaan, yang disajikan ketika moment-moment tertentu. Seperti pesta
pernikahan suku adat Nias, kedatangan tamu dari luar daerah, pelantikan, dan
acara penyambutan lainnya. Tuo nifarö juga sering di berikan sebagai oleh-oleh atau buah tangan kepada sanak saudara yang berbeda daerah.
Minum tuak terkadang dipandang negatif bagi sebagian masyarakat,
namun tidak dipungkiri minuman ini tidak bisa dihapuskan di acara pesta adat di
nias. Minum tuak bisa mengakibatkan mabuk apabila dikonsumsi terlalu banyak.
Namun tujuan minum tuak bukan berarti mabuk, minum tuak bisa dijadikan ajang
jumpa teman lama dan sekedar berbicara dengan orang yang beda generasi.
Kebersamaan ini, hanya didapati apabila ada moment yang tertentu, itu sebabnya
anak muda ataupun orangtua tidak melewati kesempatan dimana mereka bisa
duduk bersama sambil minum tuak, dan bercerita banyak hal dan membangun
keakraban.
Högö Duo (kepala tuak), berfungsi sebagai obat yang dipercaya bisa mengobati penyakit gula yang bahasa medisnya (diabetes) dan minyak urut.
Högö Duo bisa menyembuhkan penyakit gula, namun masyarakat suku Nias percaya högö duo bisa menyembuhkan penyakit dan tetap mengkonsumsi högö duo. Hal ini terbukti ketika bapa sa’a saya sakit diabetes, beliau berada di Kota Medan, ia meminta agar saudara yang di Nias mengirim högö duo untuk diminumnya.
Kepercayaan ini masih melekat bagi orang Nias meskipun ia sudah berada
diluar daerah ataupun orang yang berpendidikan. Namun kepercayaan akan tuak
bisa menyembuhkan penyakit, masih melekat di pikirannya. Terkadang orang
yang berada diluar daerah mengatakan: “minum tuak itu membahayakan” namun
bagi orang Nias minum tuak itu sudah menjadi tradisi.
Tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala. Bagi orang Nias tidak ada yang
salah apabila meminumnya, namun apabila dikonsumsi secara berlebihan,
pastinya akan mengalami mabuk. Dampak dari mabuk ialah merugikan diri
sendiri dan oranglain. Itu sebabnya meminum tuo nifarö cukup seperempat (1/4) saja, agar tidak mengalami mabuk. Namun bagi orang yang sudah terbiasa,
minum segelas tuak saja tidak berasa. Itu semuanya bergantung kekebalan tubuh
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana diatas, maka penelitian ini
menyampaikan saran bagi masyarakat sebagai berikut: bagi orang yang belum
terbiasa meminum tuo nifarö disarankan untuk tidak banyak mengkomsumsinya karena kadar alkohol yang terdapat pada tuo nifarö sangat tinggi. Bagi pemula disarankan cukup ¼ (seperempat gelas kecil saja). Sebelum hendak meminum
tuak, ada baiknya diminum setelah makan karena apabila tuak diminum sebelum
makan dapat menimbulkan penyakit maag.
Saran buat tim medis kesehatan yakni agar bisa dilakukan penelitian
tentang kandungan pada tuo nifarö, karena selama ini tim medis sepertinya menutup diri untuk tidak mau tahu tentang minuman tradisional ini. Sementara
faktanya dilapangan ada beberapa orang yang mengatakan semenjak ia meminum
högö duo (kepala tuak) dipagi hari secara rutin, ketika hendak mengecek kadar gula darah di rumah sakit, kadar gula darahnya menurun. Hal ini adalah penemuan
lama yang sampai sekarang belum diketahui secara ilmiah. Peneliti berharap agar