• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat

(TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada

Penggunaan Injeksi Intramuskular

SKRIPSI

SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM

108102000025

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat

(TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada

Penggunaan Injeksi Intramuskular

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SIVIA NURULLIANA SEPTIANINGRUM

108102000025

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum

NIM : 108102000025

Tanda Tangan :

(4)

iv

HALAMAN PERSERUJUAN PEMBIMBING

Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum

NIM : 108102000025

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat

(TU)

dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada

Penggunaan

Injeksi Intramuskular

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Azifitria, M.Si., Apt. Yuni Anggraeni, M.farm., Apt. NIP. 197211272005012004 NIP. 198310282009012008

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum NIM : 108102000025

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU)

dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan

Injeksi Intramuskular

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Azifitria, M.Si., Apt. ( )

Pembimbing II : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. ( )

Penguji I : Sabrina, M.Farm., Apt. ( )

Penguji II : Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. ( )

Penguji III : Supandi, M.Si., Apt. ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 21 Januari 2013

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(6)

vi ABSTRAK

Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum pada Penggunaan Injeksi Intramuskular.

Mikroemulsi dipilih sebagai pembawa testosteron undekanoat dalam rangka mencari formula alternatif injeksi intramuskular TU. Pada penelitian ini perbandingan campuran minyak (isopropil miristat : minyak jarak : benzil bezoat) untuk meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat diinvestigasi. Selanjutnya, dibuat sediaan mikroemulsi dengan berbagai komposisi minyak, air dan surfaktan dengan perbandingan campuran minyak (20 : 8 : 41) lalu dimasukan ke dalam diagram fase pseudoterner. Formula yang paling stabil dievaluasi meliputi cycling test, uji sentrifugasi, uji pH dan uji ukuran partikel serta dilakukan uji difusi dan dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran. Uji difusi menggunakan sel difusi Franz dengan membran otot tikus galur Sprague dawley bagaian biceps femoris serta kompartemen reseptor berisi

phosphate buffer saline pH 7,4. Hasil evaluasi menunjukan sediaan mikroemulsi terpilih adalah formula J yang terdiri dari fase air 3% air dan surfaktan (Tween 80) 28%, serta campuran fase minyak 69% memberikan stabilitas fisik yang baik dengan range pH 6-7 dan ukuran partikel 90,1 nm. Setelah 8 jam pengujian difusi didapatkan Persen TU terpenetrasi pada mikroemulsi dan kosolvensi yang beredar dipasaran secara berturut–turut adalah 1,026 % ; 2,698% dan fluks secara berturut-turut yaitu 63,95 μg/cm2.jam ; 170,476 μg/cm2.jam. Dari hasil uji difusi secara in vitro menunjukan mikroemulsi mempunyai penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran.

Kata kunci : Testosteron Undekanoat, Mikroemulsi, Diagram fase

pseudoterner, sel difusi Franz

(7)

vii ABSTRACT

Nama : Sivia Nurulliana Septianingrum Program Study : Pharmacy

Tittle : Optimization and Preparation Testosterone Undecanoate (TU) Microemulsions with Optimum Strength Intramuscular Injection Administration

Microemulsion chosen as the carrier of undekanoat testosterone in order to find an alternative formula of TU intramuscular injection. In this study the mixing ratio of oil (isopropyl myristate: castor oil: benzyl bezoat) to increase solubilization undekanoat testosterone was investigated. Furthermore, microemulsions were made with various compositions of oil, water and surfactant with oil mixture ratio (20: 8: 41) and then inserted into the pseudoterner phase diagram. The most stable formula was evaluated include cycling test, centrifugation test, pH test, particle size test, and then difussion test and compared with cosolvensi preparations in the marketplace. Diffusion test using Franz diffusion cells with membrane strain of

Sprague Dawley rat muscle biceps femoris and the receptor compartment is containing phosphate buffered saline pH 7.4. The result of evaluations shown formula J as the selected microemulsion preparation comprising water phase 3%, and surfactant (Tween 80) 28%, also 69% oil phase mixture gave good physical stability with pH range 6-7 and particle size 90.1 nm. After 8 hours of diffusion tested, percentation of TU in microemulsion and cosolvensi in the marketplace

respectively were 1.026%, 2.698% and flux respectively were 63.95 μg/cm2

.hour; 170.476 μg/cm2.hour. The result of in vitro diffusion test shown that microemulsion had a lower penetration than cosolvensi preparations in the marketplace.

Key Word : Testosterone Undecanoate, Microemulsions, Pseudo-Ternary Phase Diagrams, Franz Diffusions Cell

(8)

viii KATA PENGANTAR

ِميِحَرلا ِنم ْحَرلاِه ِمْسِب

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia-Nya yang tidak terhimgga sehimgga saya dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi.

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari segala pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan

skripsi ini, kiranya sulit bagi saya untuk menyelesaikan penulisan ini tepat pada

waktunya. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati saya

menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1) Ibu Dr. Azifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing pertama dan Yuni

Anggraeni, M.farm, Apt. sebagai pembimbing kedua yang selalu sabar

membimbing dan memberi saran dalam penyusunan skripsi dan teknis

pengerjaan selama penelitian berlangsung sampai tersusunnya skripsi ini.

2) Bapak Prof. (hc) dr. MK. Tadjudin s.and., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3) Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4) Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan bantuan

selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5) Kedua orang tua saya tercinta Bapak Suroso dan Ibu Rosmalarita atas doa,

nasehat, perhatian, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan baik moral

maupun materil yang diberikan kepada saya.

6) Adik-adik tersayang Hafina Rehana Jannah dan Shalscha Fatimah Az Zahra

yang selalu mendoakan dan menyemangati selama ini.

(9)

ix

7) Seluruh karyawan dan laboran khususnya Eris Risenti Amd. yang telah

membantu saya selama penelitian di dalam laboratorium.

8) Ilham Adraviatma S.Kom. atas segala bantuan, saran, semangat dan doa yang

tiada henti kepada saya agar skripsi ini selesai tepat pada waktunya.

9) Teman-teman terbaik (Widya dwi arini, RR. Alvira Widjaya, Indah

Prihandini, Amalia Khairunnisa, Ade Fithrotinnadhiroh, Septi Purnamasari,

Yosseane Widia Kristi) yang tidak bosan untuk memberikan saran dan

semangat dan selalu mendorong saya untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.

10)Teman-teman satu perjuangan dalam labolatorium Dina Haryani, Dwi Nur

Astria, dan Mahmudah yang selalu membuat suasana di labolatorium menjadi

hangat seperti keluarga.

11)Teman-teman ALCOOLIQUE yang selalu mewarnai hari-hari selama masa

kuliah (yuni, endah, sinthi, nia, dian, fitri, dewa, ikhsan) dan semuanya yang

tidak dapat disebutkan satu per satu.

12)Seluruh teman-teman farmasi 2008 yang banyak membantu selama masa

perkuliahan maupun selama penelitian serta atas kebersamaan yang tidak akan

terlupa.

Saya berharap Allah SWT, berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari

sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk

kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

(10)

x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sivia Nurulliana Septianiingrum NIM : 108102000025

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya yang berjudul :

Optimasi Formula Mikroemulsi Testosteron Undekanoat (TU) dengan Kekuatan Sediaan yang Optimum Pada Penggunaan Injeksi Intramuskular.

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang menyatakan,

(Sivia Nurulliana Septianingrum)

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISININALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

2.4 Sediaan Parenteral Intramuskular ... 14

2.5 Uji Difusi ... 15

(12)

xii

3.3.2 Bahan ... 23

3.4 Prosedur Kerja ... 23

3.4.1 Percobaan Pendahuluan ... 23

3.4.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi ... 24

3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi ... 26

3.4.5.1 Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT ... 28

3.4.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 28

4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi .. 31

4.1.3 Pembuatan Mikroemulsi ... 32

4.1.4 Evaluasi Mikroemulsi Lanjutan ... 32

4.1.4.1 Cycling Test ... 32

4.1.4.2 Uji Sentrifugasi ... 33

4.1.4.3 Uji pH ... 33

4.1.4.4 Uji Ukuran Partikel ... 33

4.1.5 Uji Difusi ... 33

4.1.5.1 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat untuk Cuplikan Uji Difusi ... 33

4.1.5.2 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34

4.1.5.3 Hasil Uji Difusi Sediaan Mikroemulsi dibandingkan Sediaan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34

4.2. PEMBAHASAN ... 36

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(13)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut ... 6

Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik ... 12

Tabel 3.1 Perbandingan Campuarn Minyak ... 24

Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi ... 25

Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak ... 30

Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan ... 30

Tabel 4.3 Hasil Pengukuran Partikel Mikroemulsi ... 33

Tabel 4.4 Penetapan kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 34

Tabel 4.5 Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran ... 35

Tabel 4.6 Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan ... 36

(14)

xiv DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat ... 5

Gambar 2.2 Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat ... 6

Gambar 2.3 Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi ... 9

Gambar 2.4 Molekul Surfaktan ... 9

Gambar 2.5 Rumus Bangun Benzil Benzoat ... 11

Gambar 2.6 Rumus Bangun Isopropil Miristat ... 12

Gambar 2.7 Ketidakstabilan Emulsi ... 14

Gambar 2.8 Franz Diffusion Cell ... 17

Gambar 2.9 Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan ... 21

Gambar 4.1 Diagram Fase pseudoterner ... 31

Gambar 4.2 Hasil Uji Cycling Test Mikroemulsi ... 32

Gambar 4.3 Mikroemulsi Setelah Sentrifugasi ... 33

Gambar 4.4 Kurva Kalibrasi Testosteron Undekanoat ... 34

Gambar 4.5 Grafik Persen Jumlah Kumulatif Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dalam Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Bereadar di Pasaran ... 35

Gambar 4.6. Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Kosolvensi yang beredar di Pasaran Selama 8 jam ... 36

(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Konsentrasi dan AUC dari Kurva Kalibrasi ... 51

Lampiran 2 Contoh Perhitungan Jumlah Testosteron Undekanoat yang Terpenetrasi dari Sediaan Komersil Jam ke-3 ... 52

Lampiran 3 Contoh Perhitungan persen Zat Aktif yang Terpenetrasi dari Sediaan Kosolvensi Terhadap Kadar yang diaplikasikannya ... 52

Lampiran 4 Contoh Perhitungan Fluks Testosteron Undekanoat dari Sediaan Mikroemulsi ... 53

Lampiran 5 Perhitungan Kadar testosteron Undekanoat Sebenarnya yang dimasukan ke Dalam Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi 1 ... 54

Lampiran 6 Hasil Uji Penetrasi Testosteron Undekanoat dalam Larutan Phosphate Buffer Saline pH 7,4 dari Sediaan Mikroemulsi dan Sediaan Komersi yang Beredar ... 55

Lampiran 7 Gambar Hasil Optimasi Formula ... 56

Lampiran 8 Gambar Alat dan Bahan yang Digunakan ... 57

Lampiran 9 Gambar Hasil Distribusi Ukuran Partikel Sediaan Sebelum Cycling Test ... 58

Lampiran 10 Kromatogram TU dalam Sediaan Mikroemulsi ... 59

Lampiran 11 Kromatogram TU dalam Sediaan Kosolvensi yang Beredar ... 59

Lampiran 12 Kromatogram TU dalam PBS ... 60

Lampiran 13 Kromatogram Blangko Medium PBS ... 60

Lampiran 14 Certificate of Analysis Testosteron Undekanoat ... 61

Lampiran 15 Certificate of Analysis Benzil Benzoat ... 62

Lampiran 16 Certificate of Analysis Minyak Jarak ... 63

(16)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelarutan suatu zat berkhasiat memerankan peran penting dalam formulasi

suatu sediaan farmasi (Kim CK, & Park KM, 1999 dalam Rahmawati J., 2004).

Rendahnya kelarutan suatu zat hidrofobik menyebabkan kecilnya penetrasi obat

tersebut dalam tubuh sehingga kegunaan obat menjadi tidak efisien (Lawrence, &

Ress, 2000).

Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate) bersifat hidrofobik dengan nilai kelarutan dalam air 0,00052 mg/ml (Saraswati A., 2012)

dan nilai koefisien partisi [n-oktanol/air] (log P) sebesar 6,91+ 0,49 (Azifitria,

2012). Secara klinik testosteron undekanoat (TU) digunakan untuk pengobatan

hypogonadism dan sedang dikembangkan sebagai kontrasepsi hormonal pada pria

(Kamischke A., 2005 dalam Wistuba J., 2005).

Sifat testosteron undekanoat yang sangat hidrofobik menyebabkan

tantangan dalam memformulasikannya. Salah satu sediaan komersil TU yang

beredar di pasaran adalah dalam bentuk kapsul lunak dengan dosis 40 mg tetapi

dosis yang dibutuhkan 80 mg sehingga pasien harus meminum 2 kapsul. Setiap

kapsul mempunyai berat sekitar 777 mg sehingga jika diminum 2 kapsul

menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Muchow M., 2011). Pemberian

secara oral mempunyai kelemahan dalam hal mempunyai waktu paruh yang

pendek setelah dikonsumsi (Nieschlag E., 2006).

Berdasarkan keterbatasan sediaan oral tersebut maka dikembangkan

formula testosteron undekanoat dalam bentuk injeksi intramuskular. Pemberian

Injeksi intramuskular testosteron undekanoat mempunyai waktu paruh yang

panjang (+ 70 hari) sehingga pemberianya dapat dilakukan setiap 3 bulan

(Zitzmann M., 2006). Pengembangan formulasi obat-obat hidrofobik yang

ditujukan untuk penggunaan parenteral lebih sulit dibanding dengan

pengembangan obat hidrofobik untuk penggunaan oral (Date, A.A. &

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Injeksi intramuskular testosteron undekanoat yang beredar di pasaran

diformulasi dalam bentuk kosolvensi minyak jarak. Formula testosteron

undekanoat belum berkembang banyak, hanya sebatas penggantian minyak yang

menjadi pembawanya. Di negara China minyak yang digunakan adalah minyak

biji teh. Akan tetapi, penggunaan minyak biji teh mengharuskan penyuntikan

dalam volume besar karena kelarutan testosteron undekanoat kecil pada minyak

biji teh.

Formulasi dengan pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu dapat

menimbulkan nyeri saat disuntikan. Oleh karena itu, formula injeksi testosteron

undekanoat perlu dikembangkan lebih lanjut untuk menghasilkan sediaan yang

dapat mengurangi rasa nyeri saat penyuntikan.

Salah satu teknologi formulasi yang dapat dijadikan sebagai sediaan

parenteral adalah mikroemulsi. Mikroemulsi mempunyai kelebihan yaitu dapat

meningkatkan solubilisasi zat aktif lipofilik dan meningkatkan bioavailibilitas

obat dalam sirkulasi sistemik. Mikroemulsi stabil secara termodinamika,

transparan, viskositasnya rendah, preparasi mudah (Date, A.A. & Nagarsenker,

M.S., 2008) serta mempunyai ukuran partikel yang kecil (10-100 nm) (Myers D.,

2006). Selain itu, peningkatan profil farmakokinetik terlihat pada pengembangan

formulasi paclitaxel yang dibuat dalam bentuk mikroemulsi dibandingkan dengan

kosolven. Nilai Area Under Curve (AUC) mikroemulsi paclitaxel adalah 34,98

gmL-1.h sedangkan dalam kosolven 21,98 gmL-1.h (He L et al., 2003).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Retno Kemala Dewi

(2010), testosteron undekanoat dapat dijadikan dalam bentuk mikroemulsi yang

stabil selama 2 bulan penyimpanan. Namun, mikroemulsi yang dibuat

menggunakan ko-surfaktan etanol. Azrifitria (2011) membuat mikroemulsi

testosteron undekanoat dalam bentuk kombinasi dengan MPA. Namun dalam

mikroemulsi tersebut belum diketahui kapasitas maksimal testosteron undekanoat

yang dapat tersolubilisasi. Kemampuan mikroemulsi dalam mensolubilisasi zat

aktif berhubungan dengan volume pemberian. Hal ini dikarenakan pemberian

secara intramuskular harus memenuhi syarat pemberian maksimal untuk sediaan

(18)

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

volume maksimal akan mengakibatkan nyeri bahkan dapat menyebabkan

nekrosis.

Penelitian yang dilakukan Afrini (2012) memperlihatkan kelarutan

testosteron undekanoat pada beberapa pelarut antara lain isopropil miristat,

minyak jarak, benzil benzoat, tween 80, dan air. Hasilnya menunjukan kelarutan

testosteron undekanoat paling besar pada benzil benzoat dan peningkatan benzil

benzoat dalam sediaan mikroemulsi dapat meningkatkan kelarutan testosteron

undekanoat.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk membuat

mikroemulsi TU sesuai dosis klinis 1000 mg dengan memperhatikan volume

maksimal pemberian intramuskular (4 mL) mikroemulsi yang dibuat dengan

komponen isopropil miristat, minyak jarak, benzil benzoat sebagai fase minyak,

tween 80 sebagai surfaktan dan air sebagai fase airnya dengan variasi konsentrasi

fase minyak dan surfaktan. Selanjutnya, mikroemulsi yang dibuat dievaluasi

meliputi cycling test, uji pH, uji sentrifugasi, uji ukuran partikel serta dilakukan

uji difusi secara in vitro yang dibandingkan dengan uji difusi sediaan kosolvensi

yang beredar di pasaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah mikroemulsi yang dibuat dapat meningkatkan solubilisasi

testosteron undekanoat di dalamnya?

2. Bagaimanakah profil uji difusi testosteron undekanoat dalam sediaan

mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di pasaran?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan formula mikroemulsi TU yang dapat meningkatkan

solubilisasi TU.

2. Membandingkan laju difusi hormon testosteron undekanoat dari sediaan

mikroemulsi yang dibuat dengan sediaan kosolvensi yang beredar di

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mendapatkan formula mikroemulsi testosteron

undekanoat yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat

sehingga dapat dibuat sesuai dosis klinis serta mengetahui profil difusi

(20)

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Testosteron Undekanoat

Gambar 2.1. Rumus Bangun Testosteron Undekanoat

(H.M Behre et al., 2000)

Testosteron undekanoat (3-Oxoandrost-4-en-17β-yl undecanoate; 17β -Hydroxyandrost-4-en-3-one undecanoate) mempunyai 30 atom C, 48 atom H dan

3 atom O (C30H48O3) serta mempunyai bobot molekul 456,7. Secara organoleptis

testosteron undekanoat berbentuk kristal atau serbuk kristal tidak berbau dan tidak

berwarna atau putih serta tidak berasa. Testosteron undekanoat merupakan derivat

testosteron yang berbentuk ester yang dihasilkan melalui esterifikasi testosteron

alami pada posisi 17β.

Panjangnya rantai atom karbon yang dimiliki testosteron undekanoat

menyebabkan hormon ini bersifat sangat hidrofobik. Estserifikasi mengurangi

kepolaran suatu zat namun meningkatkan kelarutan terhadap minyak/lemak.

Kelarutan testosteron undekanoat yaitu sangat mudah larut dalam metanol dan

larut dalam minyak nabati dan etanol. Testosteron undecanoat stabil di bawah

suhu dan temperatur normal.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Saraswati 2012

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut

Pelarut TU (mg/mL)*

Benzil Benzoat 544,17096 ± 19,52971 Isopropil Miristat 289,59857 ± 16,90818 Minyak jarak 162,06436 ± 55,68066 Tween 80 37,95878 ± 4,72130

Air 0,00052 ± 0,00012

Mekanisme kerja TU berawal dari hidrolisis terhadap gugus ester. Hasil

hidrolisis kemudian berikatan dengan reseptor spesifik dari hormon testosteron

membentuk kompleks. Kompleks hormon-resrptor tersebut masuk ke dalam inti

sel dimana ia akan memodulasi transkripsi gen-gen tertentu setelah terikat dengan

DNA.

Gambar 2.2. Mekanisme Aksi Testosteron Undekanoat

(Ilyas, 2008)

Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan

tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam

kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga

terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama

namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008).

Spermatogenesis memerlukan kerja stimulasi dari kedua hormon

gonadotropin di hipofisis yaitu LH dan FSH. LH berfungsi untuk menstimulasi sel

(22)

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

agar tetap tinggi di dalam testis yang dibutuhkan untuk spermatogenesis.

Sedangkan FSH berfungsi untuk menginisiasi proses spermatogenesis.

Kontrasepsi hormonal bekerja menghambat sekresi GnRH yang ada pada

hipotalamus sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah yang

mengakibatkan mengurangi atau mencegah spermatogenesis. Pemberian

testosteron dari luar menyebabkan kadar testosteron dalam darah tetap tinggi

menyebabkan reaksi umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi

FSH dan LH menurun sehingga proses spermatogenesis terhambat.

Bioavailibilitas TU hanya sekitar 7% di dalam tubuh (Muchow, Maincent,

Muller, & Keck 2011) Testosteron ester lambat diabsorbsi ke dalam peredaran

darah dan secara cepat berubah menjadi metabolit aktif yang tidak teresterifikasi.

Ekskresi testosteron 90% melalui urin, 6% melalui feses dalam bentuk asal,

metabolit dan konjugat. Hanya 30% dari 17-ketosteroid yang diekskresi melalui

urin, dengan demikian kadar 17-ketosteroid urin tidak menggambarkan jumlah

sekresi androgen oleh testis tetapi terutama oleh korteks adrenal (Katzung, 2004;

Ilyas, 2008).

2.2 Mikroemulsi

Mikroemulsi adalah sistem dispersi minyak dan air yang secara

termodinamika stabil, transparan atau jernih yang distabilkan oleh lapisan

antarmuka dari molekul surfaktan (El-Laithy, 2003). Mikroemulsi terdiri dari

empat komponen yaitu minyak, air, surfaktan dan kosurfaktan. Hampir semua

penggunaan tunggal surfaktan baik ionik maupun nonionik tidak dapat

menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air yang mendekati nol. Oleh

karena itu, kosurfaktan dibutuhkan dalam pembuatan mikroemulsi (Kim, &

Cherng-ju, 2004).

Dalam prakteknya, kunci perbedaan antara emulsi dan mikroemulsi adalah

pembentukannya. Emulsi cenderung membentuk dua lapisan di fasa awal

sedangkan mikroemulsi tidak dan mikroemulsi bersifat stabil secara

termodinamik. Selain itu, secara penampilan emulsi terlihat keruh sedangkan

mikroemulsi terlihat jernih dan transparan (Lawrence et al., 2000). Penggunaan

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dari segi ukuran droplet (tetesan), emulsi memiliki ukuran diatas 103 nm

sedangkan mikroemulsi memiliki ukuran 10 nm–100 nm (Myers D., 2006).

Mikroemulsi terbentuk dari dua cairan tak tercampurkan yang saling

menguntungkan dimana salah satunya secara spontan terdispersi ke dalam cairan

lainnya dengan bantuan satu atau lebih surfaktan dan kosurfaktan (Rakshit dan

Satya, 2008). Hubungan perilaku fase di dalam mikroemulsi dapat terlihat dengan

bantuan diagram fase (Phase Diagram). Diagram fase ini berguna untuk

menentukan komposisi yang tepat dari fase air, minyak dan surfaktan yang akan

membentuk suatu sistem mikroemulsi. Perilaku fase sederhana sistem

mikroemulsi dapat dipelajari dengan bantuan diagram tiga fase (pseudo-ternary

phase diagram) yang setiap sudut diagram mewakili 100 % tiap komponen

mikroemulsi (air, minyak,surfaktan) (Bakan, J.A., 1995).

Mikroemulsi dapat diberikan secara parenteral. Kelebihan mikroemulsi

jika digunakan untuk parenteral adalah sebagai berikut: a) ukuran droplet yang

kecil sehingga jika masuk ke dalam sirkulasi darah tidak menghambat peredaran

darah, b) stabil secara termodinamika, c) kemampuan mensolubilisasi yang besar,

d) viskositas yang rendah, e) dapat disterilkan dengan filtrasi, f) mengurangi rasa

sakit pada injeksi jika dibandingkan dengan sediaan pelarut campur, g)

mikroemulsi air dalam minyak dapat digunakan untuk penghantaran obat

terkontrol.

2.2.1 Tipe-Tipe Mikroemulsi

Ada tiga tipe sistem dispersi yang dibentuk oleh mikroemulsi yaitu tipe

minyak dalam air (M/A atau O/W), tipe air dalam minyak (A/M atau W/O) dan

tipe kesetimbangan air dan minyak (bicountinous structure). Tipe sistem dispersi

mikroemulsi tersebut terbentuk tergantung komposisi dari komponen mikroemulsi

(24)

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.3. Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi

(Lawrence dan Rees, 2000)

Mikroemulsi tipe M/A atau O/W akan terbentuk jika volume fraksi

minyak lebih sedikit dari volume fraksi air. Sebaliknya, mikroemulsi tipe A/M

atau W/O akan terbentuk jika volume fraksi minyak lebih banyak dari volume

fraksi air. Sedangkan mikroemulsi tipe kesetimbangan air dan minyak

(bicountinous structure) akan terbentuk jika volume fraksi minyak sama banyak

dengan volume fraksi air (Lawrence dan Rees, 2000).

2.2.2 Surfaktan

Surfaktan atau zat aktif antarmuka adalah suatu zat yang dapat

menurunkan tegangan antarmuka (Martin, 1993). Surfaktan mempunyai struktur

bipolar yaitu bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik.

Hal ini menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase

yang berbeda derajat polaritasnya.

Gambar 2.4. Molekul Surfaktan

(Gevarsio,1996)

Ada empat jenis surfaktan berdasarkan ionisasinya dalam larutan air yaitu

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus

hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active), seperti gugus karboksilat sulfat

atau sulfonat. Secara luas, surfaktan ini banyak digunakan karena harganya yang

murah. Namun, surfaktan ini dapat menyebabkan iritasi dan toksik sehingga

hanya digunakan untuk sediaan luar. Surfaktan ini hanya menghasilkan emulsi

A/M. Contoh surfaktan ionik yaitu: Garam Na, K, atau ammonium dari asam

lemak rantai panjang seperti sodium stearat, Sodium lauril sulfat dan sebagainya

(Matheson, 1996; Rosen, 2004).

Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus

hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface active). Surfaktan ini memiliki

sifat toksik sehingga cenderung digunakan untuk formula krim antiseptik.

Contohnya surfaktan kationik yaitu cetrimide, cetrimonium bromide

benzalkonium klorida dan quarternery ammonium salt (QUAT) (Matheson, 1996;

Rosen, 2004).

Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif

pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah

akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson,

1996; Rosen, 2004).

Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak

terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus

oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan nonionik mempunyai kemampuan

melarutkan senyawa yang kurang larut dan memiliki toksisitas rendah. Contoh

surfaktan nonionik yaitu: Glikol dan gliserol ester, Sorbitan ester, Polysorbate,

PEG, Poloxalkol (Matheson, 1996; Rosen, 2004).

Surfaktan membantu pembentukan emulsi dengan mengabsorpsi pada

antar muka, dengan menurunkan tegangan interfasial dan bekerja sebagai

pelindung agar butir-butir tetesan tidak bersatu. Emulgator membantu

terbentuknya emulsi dengan 3 jalan yaitu (Mayers D., 2006): 1) penurunan

tegangan antar muka (stabilisasi termodinamik), 2) terbentuknya film antar muka

yang kaku (pelindung mekanik terhadap koalesen), 3)Terbentuknya lapisan ganda

(26)

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.3 Ko – Surfaktan

Kosurfaktan merupakan molekul kecil bersifat amfifilik, sebuah alkohol

rantai pendek hingga medium (C2-C10). Surfaktan dalam keadaan sendiri tidak

dapat menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk

menghasilkan sebuah mikroemulsi. Penambahan kosurfaktan dapat membantu

menghasilkan tegangan antarmuka mendekati nol. Tegangan antarmuka yang

mendekati nol mengakibatkan diameter globul menjadi sangat kecil. Secara luas

molekul yang dapat berfungsi sebagai kosurfaktan meliputi surfaktan nonionik,

alkohol, asam alkanoat, alkanediol dan alkil amina (Lawrence, 2000).

2.2.4 Komponen Mikroemulsi

2.2.4.1Benzil Benzoat

Benzil benzoat adalah ester dari benzil alkohol dan asam benzoat, dengan

rumus C14H12O2. Sinonim benzil benzoat adalah benzil ester, benzyl benzene

carboxylate, benzylis benzoas, benzil phenylformate, phenylmethyl benzoate.

Benzil benzoat adalah larutan yang jernih dengan bau yang khas. Untuk menjaga

kejernihannya maka benzil benzoat disimpan pada suhu 17oC. Benzil benzoat

larut dalam aseton dan benzen, praktis tidak larut dalam gliserin dan air dan dapat

bercampur dalam kloroform, etanol (95%), eter dan minyak esensial. Benzil

Benzoat merupakan pelarut yang non polar dengan nilai logP 3.7. Benzil benzoat

terutama digunakan sebagai pelarut yang banyak digunakan untuk sediaan

intramuskular dengan kadar 0,01-46% v/v. Selain itu benzil benzoat digunakan

juga pada berbagai macam produk kosmetik seperti sampo, kondisioner, parfum,

pelembab dan cat kuku (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Penggunaan benzyl benzot

tidak boleh terlalu tinggi karena akan menyebabkan reaksi anafilaksis.

Gambar 2.5. Rumus Bangun Benzil Benzoat

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.4.2Isopropil Miristat (IPM)

Gambar 2.6. Rumus Bangun Isopropil Miristat

(Rowe, Paul, & Marian, 2009)

Isopropil Miristat atau 1-Methylethyl tetradecanoate merupakan sebuah

solven yang bersifat lipofilik dengan bobot jenis sama dengan 0,846 – 0,854

g/cm3. Isopropil miristat (IPM) berbentuk cairan bening atau jernih berbau lemah.

IPM larut dalam aseton, kloroform, etanol, etil asetat, lemak, lemak alkohol,

campuran minyak, larutan hidrokarbon, toluen dan lilin. Praktis tidak larut dalam

gliserin, propilenglikol dan air (Rowe, Paul, & Marian, 2009).

Tabel 2.2 Kegunaan IPM dalam Formulasi Farmasetik

Kegunaan IPM Konsentrasi (%)

Deterjen 0,003-0,03

Olic Suspension 0,024

Mikroemulsi < 50

Krim dan Lotio Topikal 1,0 – 10,0

Isopropil miristat (IPM) merupakan pelarut non air pada sediaan parenteral

yang memiliki toksisitas rendah (Rowe, Paul, & Marian, 2009). Selain itu, IPM

tidak menimbulkan aktivitas karsinogenik, mutagenik dan toksisitas akut rendah

dari studi toksisitas secara oral, dermal, inhalasi atau parenteral. IPM tunggal

dapat meningkatkan solubilisasi progesteron 3300 kali dibanding kelarutanya

dalam air. Solubilisasi progesteron dalam IPM dan air berturut – turut adalah 17,0

(28)

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.4.3Minyak Jarak (Castrol Oil )

Minyak jarak adalah minyak kental yang berwarna kuning pucat dengan

bau yang sedikit khas dan mempunyai rasa yang sedikit tajam. Minyak jarak

sedikit larut di dalam kloroform, etanol, eter, metanol, sangat mudah larut dalam

etanol (95%) dan petroleum eter, tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau

dicampur dengan minyak nabati. Minyak jarak harus disimpan pada wadah kedap

udara pada suhu tidak lebih dari 15º C (Rowe, Paul, & Marian, 2009).

Minyak jarak biasanya digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan

formulasi farmasetik. Dalam formulasi farmasetik, minyak jarak umumnya

digunakan untuk krim dan salep sediaan topical dengan konsentrasi 5-12,5%.

Namun, minyak jarak juga digunakan pada tablet oral dan formulasi berbentuk

kapsul serta digunakan juga sebagai pelarut pada sediaan injeksi intramuskular.

Penggunaan minyak jarak dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi

farmasi umumnya tidak toksik dan tidak mengiritasi jika digunakan sebagai zat

tambahan.

2.2.4.4Tween 80

Tween 80 atau polisorbat 80 merupakan surfaktan nonionik yang memiliki

toksisitas rendah sehingga dapat digunakan untuk penggunaan oral dan parenteral.

Tween 80 berbentuk cairan berwarna kuning dengan bau khas lemah. Tween 80

memiliki bobot jenis 1,08 g/cm3 dan nilai HLB 15 . Nilai HLBnya 14,9. Tween 80

larut dalam etanol dan air. Selain itu, tidak larut dalam minyak mineral dan

minyak nabati. Dalam sediaan farmasetik tween 80 digunakan sebagai agen

pengemulsi, solubilisator, pembasah, dan agen pensuspensi atau pendispersi.

Dosis tween 80 yang dapat digunakan di dalam tubuh selama sehari (acceptable

daily intake) yaitu 25 mg/kgbb (Rowe, Paul, & Marian, 2009).

2.3 Kestabilan Mikroemulsi

Ada empat fenomena yang terjadi jika sebuah emulsi tidak stabil yaitu

flokulasi, creaming, koalesen dan pemisahan sempurna (breaking). Hal tersebut

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Flokulasi terjadi jika partikel-partikel terdispersi saling berikatan

membentuk kelompok lebih besar, tapi jika dengan pengocokan yang cukup

sediaan akan kembali terdispersi. Terjadinya flokulasi disebabkan oleh kurangnya

jumlah surfaktan dan volume fase terdispersi yang terlalu tinggi.

Creaming adalah pemisahan suatu emulsi ke dalam dua daerah yang

berbeda dimana salah satunya lebih kaya dengan fase dispersi dibandingkan yang

lain. Creaming ini tidak begitu serius karena mudah dihomogen lagi dengan

pengocokan. Creaming mengindikasikan ketidakstabilan pada emulsi sehingga

harus dicegah pembentukanya.

Koalesen terjadi pada kelompok partikel terdispersi yang membentuk

kelompok yang lebih besar lagi dan bersifat irreversibel, hal ini dapat terjadi

akibat keringnya air yang terdapat pada lapisan tipis antarmuka atau pecahnya

lapisan tipis antarmuka.

Breaking adalah proses pemisahan sempurna dari emulsi menjadi

masing-masing komponen cair. Proses pemisahan tersebut terjadi dalam 2 tahap yaitu

flokulasi dan koalesen.

Gambar 2.7. Ketidakstabilan Emulsi

(Im-Emsap W, 2002)

2.4 Sediaan Parenteral Intramuskular

Injeksi intramuskular adalah injeksi volume kecil yang diinjeksikan ke

dalam otot rangka, biasanya pada otot deltoid di bahu atau otot gluteal di bokong.

Suspensi dan larutan berminyak serta injeksi dengan pembawa air dapat diberikan

melalui rute ini. Perbedaan tempat injeksi membuat menyebabkan perbedaan

(30)

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

volume pemberian maksimal 2ml sedangkan jika diberikan pada otot bagian

gluteeal volume pemberian maksimal adalah 5ml (TPC,92; Lachman 1992) tetapi

biasanya 4 ml.

Persyaratan injeksi intramuskular yaitu dapat diberikan sediaan injeksi

dengan pembawa air ataupun non-air yang dapat bercampur atau tidak dengan air,

suspensi atau larutan koloid, dan emulsi. Tujuan suatu obat diberikan secara

intramuskular adalah mendapatkan efek obat yang tidak terlalu cepat ataupun

untuk sistem depo dimana obat dilepaskan secara lambat sehingga obat dapat

bertahan lama di dalam tubuh seperti contohnya obat-obat KB.

2.5 Uji Difusi

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul

suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan

dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas,

misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk

menyelidiki proses difusi (Martin, 1983).

Difusi adalah proses menjadi difus atau tersebar luas, gerakan molekul

spontan atau partikel dalam larutan, disebabkan gerakan acak suhunya, sehingga

kadarnya sama di seluruh larutan, proses itu tidak memerlukan penambahan

energi terhadap sistem. Pada dasarnya difusi ada 2 macam yaitu difusi aktif dan

difusi pasif. Perbedaan dari keduanya ada pada penggunaan energi. Difusi aktif

memerlukan energy dalam perpindahanya sedangkan difusi pasif tidak

memerlukan energi untuk perpindahan zat. Difusi bebas atau traspor pasif suatu

zat melalui cairan, zat padat, atau melalui membran adalah suatu proses yang

sangat penting dalam ilmu farmasi (Martin, 1983).

2.6 Hukum Fick

Mengacu kepada hukum Fick tentang difusi, jumlah materi M (satuan =

gram atau mol) yang melintasi suatu unit area (satuan = cm2) per satuan waktu

(satuan = detik) dikenal sebagai aliran J, digambarkan sebagai berikut :

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada gilirannya, aliran bersifat proposional terhadap gradien konsentrasi

= −

Di mana dC/dx adalah perubahan konsentrasi dalam sebuah jarak kecil tak

berhingga. Untuk merubah tanda proporsional menjadi tanda sama dengan maka

sebuah konstanta ditambahkan

=−

Yang mana D diketahui sebagai koefisien difusi atau difusifitas (satuan =

cm2/det). Koefisien difusi adalah ukuran laju permeabilitas dari molekul melintasi

suatu area. Tanda negatif menunjukkan bahwa konsentrasi berkurang sebagai

fungsi dari jarak. Bagaimanapun, aliran selalu memiliki nilai positif (Amiji, M.

M., 2003).

2.7 Sel Difusi Statis (Franz Cell)

Franz Cell/ sel difusi statis dengan satu ruang (One Chambered Cell)

pertama kali dibuat oleh Franz. Difusi Franz Cell mungkin adalah sel difusi yang

paling banyak digunakan dan telah tersedia secara komersil (Crown Glass

company, Somerville, New Jersey) selama bertahun-tahun. Hal-hal yang perlu

diperhatikan tentang Sel Difusi Franz adalah sebagai berikut (Bronaugh and

Raymond, 1984):

a) Volume Reseptor

Volume reseptornya dapat dibuat bervariasi dengan diameter peletakan membran.

Volume reseptor Sel Franz tidak harus dimodifikasi seperti pada Flow Through

Cell karena volume reseptor yang relaitf besar (Bronaugh and Raymond, 1984).

b) Pemeliharaan Suhu

Air yang dipanaskan biasanya digunakan untuk mempertahankan suhu fisiologis,

meskipun ada perdebatan mengenai suhu yang sesuai untuk studi difusi. Sel harus

(32)

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

suhu 37oC disirkulasikan melalui sel Franz untuk menjaga suhu sesuai dengan

keadaan fisiologis tubuh (Bronaugh and Raymond, 1984).

c) Tempat Peletakan Membran

Membran diletakkan diantara pertemuan dua bagian gelas utama dan direkatkan

dengan penjepit logam. Biasanya pada pertemuan kedua gelas utama ini terdapat

karet O ring. Pada saat pengujian karet ini harus dilepas karena dapat

mengabsorbsi bahan-bahan yang bersifat lipofil (Bronaugh and Raymond, 1984).

d) Pencampuran Isi Reseptor

Magnetic stirrer biasanya digunakan untuk mengaduk medium reseptor pada sel

Franz. Magnetic stirrer ini digunakan agar senyawa yang ada dalam medium

difusi tetap tercampur homogen (Bronaugh and Raymond, 1984).

Gambar 2.8. Franz Diffusion Cell

(Pjanovic, Rada, 2009)

2.8 Prosedur dan Alat Pengujian Difusi

Sel dengan konstruksi yang sederhana, seperti yang telah dilaporkan oleh

Aguiar dan Weiner, diduga paling baik untuk pekerjaan difusi. Sel tersebut dibuat

dari gelas atau plastik terang, yang mudah untuk dirakit dan dibersihkan, dan

memberikan kemudahan untuk melihat cairan dan pengaduk yang berputar.

Alat-alat seperti itu dilengkapi dengan Alat-alat untuk mengumpulkan sampel dan uji secara

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

larutan obat. Larutan reseptor dipompa dari tempat yang lebih rendah. Sampel

dikumpulkan dalam suatu tabung di dalam alat pengumpul fraksi otomatis,

kemudian berturut-turut ditentukan kadarnya secara spektrofotometri. Percobaan

bisa dilakukan selama berjam-jam pada kondisi yang terkontrol ini (Martin,

Swarbrick, Cammarata, 1983).

Biber dan Rhodes membuat suatu konstruksi sel difusi tiga kompartemen

dari pleksiglas untuk penggunaan baik dengan membran sintetis maupun

membran biologis yang diisolasi. Obat tersebut dibiarkan berdifusi dari kedua

kompartemen donor sebelah luar ke dalam suatu ruang reseptor pusat. Hasilnya

dapat direproduksi dan dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Sel dengan

desain tiga-kompartemen menciptakan pemukaan membran yang lebih besar dan

memperbaiki sensitivitas analitik (Martin, 1983).

Permeasi uap air dan senyawa organik aromatik dari larutan air melalui

lapisan (film) plastik bisa diselidiki dalam sel gelas dengan dua-ruang serupa

dengan desain yang digunakan untuk menyelidiki larutan obat pada umumnya.

Nasim et al. melaporkan tentang permeasi senyawa 19 aromatik dari larutan

dalam air melalui lapisan (film) polietilena. Higuchi dan Auguiar menyelidiki

permeabilitas uap air melalui bahan yang bersalut enterik dengan menggunakan

sel difusi gelas dan ukuran McLeod untuk mengukur perubahan tekanan melewati

lapisan tersebut (Martin, 1983).

Dalam menyelidiki absorpsi melalui kulit, yang biasanya diperoleh dengan

cara autopsi, digunakan kulit manusia atau hewan. Scheuplein menerangkan suatu

sel untuk percobaan penetrasi kulit, dibuat dari Pireks dan terdiri dari dua belahan.

Ruang donor dan ruang reseptor dipisahkan oleh sampel kulit yang ditunjang pada

piring berlubang-lubang dan disekrup kencang di tempatnya. Cairan dalam

reseptor diaduk dengan batang magnet yang dilapis teflon. Alat ini direndam

dalam bejana yang mempunyai temperatur konstan. Sampel diambil secara

periodik dan diuji dengan cara yang sesuai. Untuk senyawa seperti steroida,

penetrasinya lambat. Telah ditemukan metode radioaktif yang diperlukan untuk

menentukan konsentrasi yang rendah tersebut (Martin, 1983).

Wurster et al. mengembangkan suatu sel permeabilitas untuk menyelidiki

(34)

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

zat yang berpermeasi, termasuk gas, cairan dan gel. Selama percobaan difusi alat

tersebut dijaga pada temperatur konstan dan perlahan-lahan diaduk pada daerah

sekitar membran. Sampel diambil dari ruang reseptor pada waktu-waktu tertentu

dan dianalisis zat yang berpermeasi melalui mebran tersebut (Martin, 1983).

2.9 Solubilisasi

Istilah 'solubilisasi' diperkenalkan oleh McBain untuk menunjukkan

peningkatan kelarutan dari senyawa tertentu, terkait dengan kehadiran surfaktan

misel atau kebalikannya misel dalam larutan. Proses solubilisasi yang paling

populer adalah transfer molekul minyak ke dalam inti surfaktan misel. Dengan

demikian, minyak yang tidak memiliki kelarutan (atau kelarutan terbatas) dalam

fasa air menjadi larut dalam air dalam bentuk tersolubilisasi di dalam misel.

Proses ini memiliki kepentingan khusus untuk menghilangkan kumpulan

minyak dari permukaan padat dan media berpori, dan untuk menghilangkan

campuran minyak yang tersebar di air. Praktik paling penting dari solubilisasi

berkaitan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari: detergen dalam

merawat diri dan rumah tangga, juga sama pentingnya dalam berbagai proses

industri (Christian DD., Scamehorn, 1995 dalam Kralchevsk, Peter A., 2005).

Pelaku utama dalam proses solubilisasi yaitu misel dari surfaktan ataupun

kopolimer. Kemampuan mereka untuk menyelimuti minyak adalah hal yang

sangat penting. Penambahan kopolimer yang membentuk campuran misel dengan

surfaktan, adalah cara untuk mengontrol dan meningkatkan kinerja solubilisasi

oleh misel. Mekanisme utama kinetik dari solubilisasi telah dibangun, dengan

keefektifan yang tergantung pada sistem tertentu (Kralchevsk, Peter A., 2005).

Solubilisasi sebagai reaksi massal: disolusi molekul dan difusi minyak

ke dalam fasa air terjadi, dengan penyerapan molekul minyak oleh surfaktan dan

selanjutnya menjadi misel. Mekanisme ini Operatif untuk minyak (seperti

benzena, heksana, dll), yang menunjukkan kelarutan cukup tinggi dalam air

murni. Pertama, molekul minyak larut dari permukaan tetesan minyak ke dalam

air. Kinetika, proses ini dapat ditandai dengan koefisien perpindahan massa.

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mereka bereaksi dengan misel. Dengan demikian, konsentrasi molekul minyak

bebas berkurang dengan jarak dari antarmuka minyak-air. Dengan kata lain,

solubilisasi terjadi dalam zona terbatas di sekitar tetesan (Kralchevsk, Peter A.,

2005).

Solubilisasi sebagai reaksi permukaan. Ini adalah mekanisme utama

solubilisasi untuk minyak yang tidak larut dalam air. Pengambilan minyak

tersebut tidak dapat terjadi dalam sebagian besar fasa air. Solubilisasi dapat terjadi

hanya pada antarmuka minyak-air. Mekanisme yang mungkin terjadi termasuk (i)

misel adsorpsi, (ii) minyak yang terselimuti, dan (iii) desorption dari misel yang

mengembang. Sejalan dengan itu, secara teoritis proses ini dapat digambarkan

dengan 3 langkah berturut-turut. Jika misel kosong agregat seperti batang panjang,

di atas solubilisasi mereka biasanya berhenti sejenak untuk agreagat lebih kecil

bulat. Untuk beberapa sistem (terutama solubilizates padat), tahap menengah di

solubilisasi proses mungkin melibatkan penetrasi surfaktan solusi ke fase

berminyak dan pembentukan kristal fase cair pada antarmuka. Untuk beberapa

sistem (kebanyakan solubilisasi padat), tahap menengah dari proses solubilisasi

mungkin melibatkan penetrasi larutan surfaktan ke fase berminyak dan

pembentukan fase kristal cair pada antarmuka (Kralchevsk, Peter A., 2005).

Dalam kasus solubilisasi sebagai reaksi permukaan, mekanisme kinetik

rinci bisa menjadi beraneka ragam. Beberapa penulis mengharapkan bahwa

surfaktan berada di antarmuka sebagai bentuk monomernya. Kemudian, pada fase

pengikatan campuran (atau menggembang) agregat misel terbentuk, akhirnya

terjadi desorbsi. Model ini tampaknya cocok untuk solubilisasi padat, karena

hemimisel dapat terbentuk pada permukanya, bahkan pada konsentrasi surfaktan

di bawah konsentrasi misel kritis (cmc). Konsep lainnya disajikan oleh Plucinski

dan Nitsch, termasuk langkah parsial fusi misel dengan antarmuka dari

minyak-air, diikuti oleh langkah pemisahan. Mekanisme tersebut bisa berlangsung pada

kasus droplet microemulsion, bukan misel, yang bertanggung jawab untuk

(36)

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.9. Solubilisasi Sebagai Reaksi Permukaan: Proses dapat dimodelkan Sebagai Urutan Tiga Langkah: (A) Adsorpsi Misel Kosong Pada Antarmuka Minyak-Air; (B) Pengambilan Minyak dicapai Sebagai Reaksi Permukaan: Misel Kosong Mengambil Minyak dan Terbagi Menjadi Beberapa Gembung Misel; (C) Desorption Misel Gembung. Molekul Dengan Tiga Ekor (Solubilizate) Menurut

(37)

22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Alur Penelitian

Formulasi Mikroemulsi Testosteron Undekanoat.

Uji Ukuran Partikel Uji Sentrifugasi

Uji Cyling Test

Mikroemulsi TU Kosolvensi (Produk Pasaran) Pengujian Laju Difusi dengan Franz Diffusion

Cell dengan Medium Posphate Buffer Saline

Dianalisis dengan KCKT Evaluasi Sediaan Mikroemulsi

Uji pH

1.Variasi Konsentrasi Pelarut 2.Diagram fase

(38)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioavailability Bioequivalence

(PBB), dan Laboratorium Medical Research, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium

Balai Inkubator Teknologi (BIT) kawasan PUSPIPTEK Serpong. Penelitian

berlangsung selama 8 bulan, terhitung dari bulan Mei 2012 sampai dengan

Desember 2012.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Ultimate 3000 Dionex®) yang terdiri

dari pompa, kolom (Dionex®), injektor dan ultraviolet detektor, penyaring

membran 0,45 µ m (Filtrex®), alat-alat gelas (Iwaki Pyrex®), timbangan analitik

(AND GH-202®), pipet mikro (Eppendorf®), lemari pendingin (Sanyo

Medicool®), Oven (France Etuves C 3000®), pengaduk magnetik (Nuova

Stirrer®), hot plate (Advantec SRS710HA), Centrifuge (Eppendrof SH7R),

perangkat alat uji difusi Franz, potongan melintang otot tikus.

3.3.2 Bahan

Testosteron Undekanoat (Jinan Yunxiang Co. Ltd), Benzil Benzoat

(Aldrich Chemistry), Isopropil Miristat (Merck), Castor Oil (Aldrich Chemistry),

Tween 80 (Merck), Aquabidestilata (PT. Ikapharmindo Putramas), Aquadest for

HPLC (Merck), Asetonitril (Merck), Methanol (Merck), Posphate Buffer Saline

(PBS).

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran

minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan yang

paling besar. Selain itu, dilakukan optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi yaitu

(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pencarian konsentrasi campuran minyak dilakukan dengan mencampurkan

semua komponen minyak hingga tercampur homogen. Setelah itu ke dalam

campuran minyak ditambahkan zat aktif sedikit demi sedikit hingga jenuh. Setiap

penambahan zat aktif dilakukan pencatatan jumlah yang ditambahkan. Jumlah zat

aktif yang dapat tersolubilisasi oleh perbandingan campuran minyak adalah

jumlah zat aktif hingga sebelum jenuh. Perbandingan campuran minyak yang

dipilih adalah yang dapat mensolubilisasi zat aktif paling besar. Perbandingan

campuran minyak dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perbandingan Campuran Minyak

No IPM Minyak Jarak BB

1 20 8 43

2 20 8 41

3 22 5 44

4 25 5 41

Perbandingan campuran minyak ini didapatkan dari hasil optimasi formula

yang akan jadi mikroemulsi. Formula pada tabel 3.1 merupakan formula yang

dapat membentuk mikroemulsi sehingga selanjutnya ditentukan formula mana

yang dapat meningkatkan solubilisasi testosteron undekanoat paling besar.

Optimasi kondisi yang dilakukan yaitu kecepatan penggadukan dilakukan

pada kecepatan yaitu 100-200rpm, 750 rpm dan 1000-1500rpm. Waktu percobaan

dihitung setelah penambahan air lalu terbentuk mikroemulsi dan dilanjutkan

hingga terlihat adanya kabut-kabut putih yang menandakan pada waktu tersebut

mikroemulsi sudah tidak stabil. Waktu yang terpilih adalah waktu yang dapat

menghasilkan mikroemulsi yang jernih, transparan dan stabil.

3.4.2 Optimasi FormulaMikroemulsi dengan Variasi Kosentrasi

Setelah mendapatkan persentase fase minyak maka dilakukan optimasi dan

digambarkan dengan diagram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner

membantu mendapatkan konsentrasi optimum fase minyak, surfaktan, kosurfaktan

(40)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

stabil. Diagram Fase dibuat dengan variasi konsentrasi minyak dan surfaktan.

Persamaan yang digunakan untuk komposisi diagram fase adalah :

% A (Tween 80)+% B (minyak jarak + IPM + benzil benzoat)+% C (Air) = 100%

% A = Surfaktan %B = Fase minyak %C = Air

Tabel 3.2 Optimasi Formula Mikroemulsi

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi

Prosedur pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan cara benzil benzoat

dimasukan ke dalam gelas piala, kemudian ke dalamnya ditambahkan IPM dan

minyak jarak. Campuran tersebut diaduk hingga homogen (+ 2 menit). Lalu

ditambahkan komponen lain (Tween 80) sambil diaduk dengan menggunakan

pengaduk magnetik hingga homogen. Aqua bidestilata kemudian ditambahkan ke

dalam campuran sedikit demi sedikit hingga didapatkan larutan yang jernih dan

transparan. Awal penambahan air akan terbentuk gumpalan-gumpalan putih yang

lama kelamaan akan menghilang dan terbentuk mikroemulsi yang jernih.

Penambahan zat aktif dilakukan sebelum penambahan surfaktan. Mikroemulsi

dibuat dengan kekuatan sediaan Testosteron Undekanoat 250 mg/ml.

3.4.4 Evaluasi Mikroemulsi

3.4.4.1 Cycling Test

Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin 4°C selama 24 jam lalu

dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam (1 siklus). Percobaan

ini dilakukan sebanyak 6 siklus. Kejernihan dan kekeruhan mikroemulsi selama

percobaan dibandingkan dengan sediaan sebelumnya (Azrifitria, 2012).

3.4.4.2 Uji Sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian

dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm selama 20 menit (Moreno, MA.,

2001).

3.4.4.3 Uji pH

pH diukur dengan menggunakan pH meter. Pengukuran dilakukan pada

(42)

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.4.4 Uji Ukuran Partikel

Ukuran partikel diukur dengan alat DelsaTMNano C (Particle Analyzer).

Sampel yang akan diukur adalah sediaan mikroemulsi suhu ruang dan sediaan

yang telah diuji cycling test. Mikroemulsi didilusi 1:100 dengan aquades sebelum

pengukuran

3.4.5 Uji Difusi

Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat uji difusi statis Franz

Cell. Sebanyak 0,5 mL sampel ditempatkan pada kompartemen donor.

Temperatur pada saat pengujian diatur konstan pada suhu 37 + 0,5oC dengan

menggunakan thermostat.

Sebagai barier digunakan potongan melintang otot bagian Biceps Femoris

tikus jantan Sprague-Dawley dengan berat + 380 gram dengan ketebalan otot

yang digunakan 2mm + 0,3 mm dan luas membran 2,46 cm2. Untuk mendapatkan

otot tikus terlebih dahulu tikus dilakukan anestesi menggunakan eter. Selanjutnya

kulit yang melapisi otot dipisahkan dengan perlahan agar otot tidak terluka karena

ditakutkan akan berpengaruh kepada penetrasi zat aktif. Lemak dan pembuluh

darah yang ada pada bagian dalam ataupun luar otot dibersihkan agar tidak

mengganggu penetrasi obat melalui otot. Otot disimpan di dalam lemari pendingin

sebelum digunakan tetapi sebaiknya digunakan otot yang masih segar, otot dapat

digunakan dalam rentan waktu kurang dari 24 jam agar otot masih segar dan tidak

mempengaruhi penetrasi obat

Untuk menciptakan kondisi sink, digunakan medium difusi Phosphate

Buffer Saline sebanyak 21 mL dan diaduk dengan pengaduk magnetik dengan

kecepatan 1500 rpm. Pada interval waktu yang telah ditentukan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,

8 jam) diambil cuplikan sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe dan segera

digantikan dengan larutan Phosphate Buffer Saline sejumlah volume yang sama.

Uji difusi dilakukan terhadap mikroemulsi dan sediaan kosolvensi yang beredar di

pasaran. Penentuan kadar TU pada sampel dilakukan dengan menggunakan

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.5.1Preparasi Cuplikan Uji Difusi dan Penetapan Kadar Sampel Menggunakan KCKT

Preparasi sampel cuplikan uji difusi dan penetapan kadar sampel dilakukan

menggunakan KCKT. Cuplikan dari medium uji difusi diambil sebanyak 100 μL,

dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase gerak hingga 5

ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu dimasukkan ke dalam vial

HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT

dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10) waktu alir 1,2 mL/menit.

Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL. Detektor UV-Vis diatur pada

panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).

3.4.5.2 Penetapan Kadar Zat Aktif pada Sediaan Mikroemulsi dan Kosolvensi yang Beredar di Pasaran

Penetapan kadar zat aktif dilakukan menggunakan KCKT. Sampel diambil

sebanyak 5 µL dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan larutan fase

gerak hingga 5 ml. Kemudian disaring menggunakan syringe filter lalu

dimasukkan ke dalam vial HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diinjeksikan ke

dalam instrumen KCKT dengan fase gerak (Metanol dan Acetonitril (90:10)

waktu alir 1,2 mL/menit. Temperatur kolom ± 25oC. Volume injeksi 20 µL.

Detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm (Irma, 2010).

3.4.5.3Pembuatan Kurva Kalibrasi

Larutan induk standar testosteron undekanoat dibuat dengan konsentrasi

50 ppm yang dilarutkan di dalam fase gerak Metanol dan Asetonitril (90:10).

Larutan induk dibuat dalam volume 25 mL. Ditimbang 1,25 mg testosteron

undekanoat dan dilarutkan dalam larutan fase gerak metanol dan asetonitril

(90:10) digenapkan hingga 25 mL.

Kurva kalibrasi testosteron undekanoat dibuat dengan mengencerkan

larutan induk testosteron undekanoat 50 ppm menjadi 8 seri konsentrasi yaitu 0,3

– 2,4 ppm lalu diinjeksikan ke dalam instrumen KCKT dengan fase gerak Metanol : Asetonitril (90:10), laju alir 1,2 mL/menit, temperatur kolom 25oC,

volume injeksi 20 µL. detektor UV-Vis diatur pada panjang gelombang 245 nm

(44)

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.6 Analisis Data

Data yang dianalisis pada penelitian ini yaitu persentase testosteron

undekanoat yang terakumulasi dan Fluks laju difusi (J).

Persen testosteron undekanoat yang terpenetrasi didapatkan dari jumlah

akumulasi testosteron undekanoat yang terpenetrasi dibagi dengan dosis yang

diplikasikan (125mg) dikali 100%. Jumlah testosteron undekanoat yang

terpenetrasi dihitung dengan rumus:

= { . + =1−1 . }

(Raditya, Iswandana., 2012)

Q = Jumlah akumulatif testosteron undekanoat yang terpenetrasi Cn = Konsentrasi TU(μg/ml) pada sampling Jam ke-n

V = Volume sel difusi Franz = 21 ml

−1

=1 = Jumlah konsentrasi testosteron undekanoat (μg/ml) pada sampling

pertama (jam ke-1) hingga sebelum jam ke-n

S = Volume sampling 2 ml

Kemudian dilakukan perhitungan fluks (kecepatan penetrasi obat tiap

satuan waktu) dengan rumus :

= ×

(Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983)

Dimana:

J = Fluks (μg cm-2 jam-1)

M = Jumlah kumulatif testosteron undekanoat yang melalui membran (μg)

S = Luas area difusi (cm2)

(45)

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

4.1.1 Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi campuran

minyak yang dapat mensolubilisasi testosteron undekanoat sesuai kekuatan

sediaan yang paling besar. Selain itu, optimasi kondisi pembuatan mikroemulsi

yaitu suhu, kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan.

Hasil percobaan pendahuluan kali ini didapatkan perbandingan konsentrasi

campuran minyak yang mensolubilisasi testosteron undekanoat paling besar yaitu

formula 2 dengan perbandingan 20:8:41 (IPM : Minyak Jarak : BB).

Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan Testosteron Undekanoat dalam Campuran Minyak

Formula IPM Minyak Jarak BB TU yang dapat terlarut (mg)

1 20 8 43 310

2 20 8 41 340

3 22 5 44 331

4 25 5 41 330

Berdasarkan optimasi kondisi pembuatan didapatkan kondisi optimal

pembuatan mikroemulsi yang jernih dan stabil adalah, kecepatan pengadukan +

750 rpm, dengan lama pengadukan + 30 menit.

Tabel 4.2 Hasil Optimasi Kecepatan Pengadukan

Kecepatan (Rpm) Hasil

100-200 Tidak terbentuk mikroemulsi

750 Mikroemulsi yang terbentuk jenih dan transparan

(46)

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.2 Optimasi Formula Mikroemulsi dengan Variasi Konsentrasi

Optimasi formula mikroemulsi dilakukan dengan variasi konsentrasi tetapi

persen fase minyak dihitung berdasarkan perbandingan campuran minyak yang

paling besar kemampuan mensolubilisasi testosteron undekanoat yaitu formula 2

(20 : 8 : 41). Besarnya perbandingan lalu dijadikan dalam bentuk 100% sehingga

didapatkan pesentase masing-masing yaitu 12% untuk minyak jarak, 29% untuk

isopropil miristat dan 59% untuk benzil benzoat. Persentase ini digunakan untuk

menghitung jumlah masing-masing minyak dari jumlah minyak yang dibutuhkan

dalam pembuatan mikroemulsi.

Hasil optimasi formula digambarkan dengan digram fase pseudoterner.

Diagram fase pseudoterner dibaut dengan komposisi: A. Surfaktan; Tween 80, B.

Fase minyak; minyak jarak, IPM, benzil benzoat, dan C. air. Diagram fase

pseudoterner dapat dilihat pada Gambar 4.1.

60 70 80 90 100

Gambar 4.1. Diagram fase pseudoterner

Keterangan: Surfaktan (Tween 80) + Minyak (benzil benzoat + IPM + minyak jarak) + Air dengan perbandingan konsentrasi benzil benzoate : IPM : minyak jarak =

41:20:8

Gambar

Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut .................
Gambar 2.1. Rumus Bangun Testosteron Undekanoat
Tabel 2.1 Kelarutan Testosteron Undekanoat pada Beberapa Pelarut
Gambar 2.3. Tipe Sistem Dispersi Mikroemulsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rusma Edi : Optimasi Fase Gerak Metanol : Campuran Air-Asam Fosfat Pada Penentuan Kadar Sediaan Tablet Simetidin Dengan Metode Krometografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), 2009. Tabel

Penelitian tentang optimasi formula sediaan krim sunscreen ekstrak kering polifenol teh hijau dengan asam stearat dan Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai fase minyak dilakukan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menentukan proporsi minyak, surfaktan dan air yang dapat menghasilkan mikroemulsi minyak dalam air yang stabil dengan menggu-

Solusi untuk mengatasi hal tersebut, dalam penelitian ini ekstrak kloroform daun salam dengan olive oil, Tween 80, dan PEG 400 diformulasikan menjadi sediaan SNEDDS yang homogen,

Skripsi dengan judul : OPTIMASI FORMULA SEDIAAN SMEDDS ( SELF- MICROEMULSIFYING DRUG DELIVERY SYSTEM ) EKSTRAK KLOROFORM DAUN SIRSAK ( Annona Muricata L.) DENGAN

Penelitian tentang optimasi formula sediaan krim sunscreen ekstrak kering polifenol teh hijau dengan asam stearat dan Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai fase minyak dilakukan

Solusi untuk mengatasi hal tersebut, dalam penelitian ini ekstrak kloroform daun salam dengan olive oil, Tween 80, dan PEG 400 diformulasikan menjadi sediaan SNEDDS yang homogen,