• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatalan Putusan Kppu Nomor 06/Kppu-L/2012 Tentang Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap Xi Tahun 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-Kppu/2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembatalan Putusan Kppu Nomor 06/Kppu-L/2012 Tentang Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap Xi Tahun 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-Kppu/2014)"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014) Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyatan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Sicco Satria Negara NIM : 1112048000015

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

SICCO SATRIA NEGARA. NIM 1112048000015. PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR 06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016 M. xii + 87 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang persekongkolan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota Pontianak dan mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menangani persekongkolan tender. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah, praktis, maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis atau pihak-pihak yang mempunyai keinginan kasus persekongkolan tender yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, dan pendapat ahli. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 berdasarkan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bahwa Mengacu kepada hubungan kekeluargaan, kesamaan dokumen, terjadinya pemalsuan tanda tangan ketika pendaftaan/ pengambilan dokumen, upaya membatasi peserta tender, dan pemberian fasilitas (keistimewaan) kepada pihak tertentu untuk memenangkan tender. Maka terpenuhi unsur-unsur pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Akibat hukum atas lahirnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Maka sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha tidak berlaku lagi dan proses Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 juga dinyatakan sah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Kata Kunci :Persaingan Usaha Tidak Sehat, PersekongkolanTender, Putusan Mahkamah Agung.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur senantiasa terpanjatkan

atas kehadirat Allah SWT dengan kenikmatan dan kesempatan yang diberikan

kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan

berbagai kemudahan. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan

Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang selalu memberi syafaat kepada umatnya

dari setiap lafadz shalawat yang terucap.

Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari

dukungan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan rasa

syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepuddin Jahar MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta

jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Drs. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MH

dan Bapak Drs. Abu Tamrin SH, M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum yang senantiasa memberikan bimbingan, saran dan banyak ilmu

kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

3. Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H. dan H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H. dosen

pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya

untuk memberikan saran, arahan, masukan dan bimbingan kepada penulis

(7)

vi

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa

perkuliahan. Seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan

Utama, Staff Perpustakaan Fakultas, atas segala pelayanan yang diberikan

kepada penulis.

5. Kepada Orang Tua Penulis. Ayahanda Anwar Mulyono dan Ibunda Eny

Kustini. Muhammad Figo Pahlevi adikku tercinta, tak terhingga memberikan

kasih sayang dan do’anya untuk kesuksesan penulis dan tidak lupa pula

untuk Mbah Darmi, Tante Tun, Mbak Indah, dan anggota keluarga lain yang

tinggal di Semarang. Terima kasih untuk suntikan motivasi dan semangatnya

selama ini.

6. Kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Hukum angkatan 2012, Choir, Aras,

Reinaldo, Milzam, Beny, Akbar, Bang Zul, Rama, Alif, Bang Dekur, Ucup,

Reinaldi, Bachdad, Deni Fernandes, BP, Malik, dan lain yang tidak mungkin

disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk ilmu, berbagai argument yang

terlontar, kerjasama membuat makalah dan kesediaan untuk menjadi

pennyanggah yang baik. Semoga sukses menyertai kita, dan hubungan

keluarga ini akan selalu terkenang sepanjang hayat.

7. Teman-teman yang tergabung dalam Delegasi Lomba Persidangan Semu

NMCC di Universitas Pancasila sekaligus anggota MCC (Mout Court

Community) di Fakultas Syariah dan Hukum, Reinaldo, Saul, Bang Rian,

Kak Novita, Kak Ummu, Akbar, Jannah, Yana, Nafis, Tresna dan anggota

(8)

vii

terlupakan dan berbagai hasil kajian yang sangat berharga untuk penulis

pribadi. Keluarga besar KKN Gemah Ripah 2015, semoga apa yang telah

dilakukan bisa jadi lumbung pahala di sisi Allah SWT, terus semangat dan

berharap komunikasi akan terus terjaga sampai nanti.

8. Segenap pengurus Musholla Al Hurriyah, terima kasih untuk ilmu dan

wejangan yang selalu menginspirasi penulis dalam kehidupan ini. Berbagai

kajian di bidang agama, dan sosial bisa menambah wawasan dan ilmu yang

bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Teman-teman seperjuangan di

Universitas Pamulang khususnya Prodi Sastra Inggris, untuk Julio, Bang

Pian, Savira, Thomas, Buyung, Rizal, Yudi, Topa, Mas Tom, Yophi, Uci dan

kawan lainnya. Tetep semangat menuntut ilmu, sampai jumpa di dunia kerja

sesungguhnya.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah membalasnya. Amiiin.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya terkhusus untuk

mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 26 September 2016

(9)

viii

Daftar Isi

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………..i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………ii

LEMBAR PERNYATAAN………iii

ABSTRAK………..…iv

KATA PENGANTAR………v

DAFTAR ISI………viii

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Identifikasi Masalah………..8

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah Masalah……….…..9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...10

E. Kerangka Konseptual……….12

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………..14

G. Metode Penelitian………16

H. Sistematika Penulisan………..19

(10)

ix

A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha………….23

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha………23

2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia……….24

3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia…………27

B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli………...29

C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………30

1. Pendekatan Per se Illegal………..31

2. Pendekatan Rule of Reason………...32

D. Pengertian Persekongkolan Tender………33

E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999……….36

BAB III PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA………...39

A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia………...39

B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha………...42

(11)

x

BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

241 K/PDT.SUS-KPPU/2014……….49

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………...49

1. Posisi Kasus Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal ALBN Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012………..49

2. Aspek Materiil dan Formil Perkara………...51

a. Aspek Materiil dan Unsur-Unsur Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999………..51

b. Aspek Formil Pelaku Usaha……….58

3. Analisis………..59

B. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………..…………78

BAB V PENUTUP……….81

A. Kesimpulan………...81

B. Saran………..82

(12)

xi

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 241

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya setiap manusia pasti memilki berbagai kebutuhan untuk

tetap dapat menjalankan kehidupannya. Kebutuhan manusia tersebut dapat

dipenuhi melalui berbagai barang dan jasa. Dalam era modern sekarang ini

setiap manusia tidak perlu memproduksi atau menghasilkan sendiri semua

barang/jasa yang dibutuhkan, melainkan dapat dilakukan dengan pertukaran,

perdagangan, jual-beli, dan penyewaan.1 Disisi lain dalam aktivitas bisnis terdapat persaingan di antara pelaku usaha yang akan berusaha menciptakan

serta memasarkan produk baik berupa barang dan atau jasa sebaik mungkin

agar diminati dan dibeli oleh konsumen.

Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara harus membuka pasar

dalam negerinya agar produk barang dan/ atau jasa dari luar negeri dapat

masuk dan bersaing dengan barang dan/ atau jasa dalam negeri.2 Oleh karena itu, harus didukung oleh kesiapan pelaku usaha dalam negeri untuk bersaing.

maka keadaan ini dapat saja mengancam kesinambungan kegiatan usaha dari

para pelaku usaha domestik bahkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

nasional. Lemahnya daya saing dalam negeri itu antara lain, disebabkan

1

Irma Nilasari dan Sri Wiludjeng, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h.1.

2

(14)

terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku

usaha.

Charles E. Mueller mengemukakan tiga pendekatan yang bisa diambil

oleh negara di dalam menangani bidang industrinya. Pertama,

negara-negara bisa memakai pendekatan “lasses-faire” (memiliki arti “biarkan

sendiri”) yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam

industri. Kedua Negara-negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision” ditandai dengan penguasaan negara atas industri-industri penting. Terakhir dapat juga digunakan pendekatan “antitrust”, yakni kebijakan yang

mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya persaingan sehat

di antara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang campur tangan di

dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output produksi.3

Masalah persaingan usaha sesungguhnya adalah merupakan urusan para

pelaku dunia usaha, dimana negara tidak ikut campur. Namun demikian,

dalam dunia usaha perlu diciptakan “level playing field” yang sama antara

pelaku usaha maka pada akhirnya negara sangat diperlukan untuk ikut campur.

Keterlibatan negara dibidang hukum termasuk masalah yang bersifat perdata,

untuk melindungi pihak yang lemah agar terhindar dari dari tindakan

eksploitasi oleh pihak yang kuat.4 Guna mendukung kondisi persaingan usaha yang sehat, terbuka dan dicita-citakan oleh banyak pelaku usaha, maka

3

Aris Siswanto, Hukum Persaingan Usaha,cetakan pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), h.10.

4

(15)

diperlukan kebijakan persaingan usaha. kebijakan persaingan usaha bertujuan

untuk meminimalkan inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku

pelaku usaha yang cenderung bersifat anti persaingan dan berkeinginan

melakukan praktek monopoli seenaknya.5

Untuk itu, pada tanggal 5 Maret 1999 dibuatlah Undang-Undang yang

mengatur persoalan antimonopoli, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.6 Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999, diharapkan Undang-undang tersebut menjadi sebuah instrumen hukum yang

bertujuan agar dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat,

kompetitif, serta mendorong terciptanya efisiensi yang menunjang

pertumbuhan ekonomi. Pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Anti

Monopoli di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk

pengejawantahan sikap bangsa Indonesia dalam rangka mencapai dan

mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Cita-cita itu merupakan arahan dan

sebagai penentu arah dari tujuan nasional Indonesia.

Terwujud atau tidaknya cita-cita bangsa Indonesia, tergantung pada

upaya seluruh komponen bangsa Indonesia yang bahu membahu antara

pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pembangunan secara

menyeluruh di semua sektor. Pembangunan nasional tersebut antara lain

mencakup aspek-aspek ekonomi, budaya, politik, demografi, psikologi,

5

Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, (Jakarta:Erlangga, 2002), h. 326.

6

(16)

hukum, intelektual maupun teknologi, dan industri.7 Pembangunan nasional secara menyeluruh tersebut merupakan pembangunan yang produktif,

mengutamakan perbaikan taraf hidup rakyatnya, mendistribusikan ke seluruh

wilayah tanpa terkecuali, menciptakan masyarakat adil dan makmur meliputi

segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apabila didasarkan pada sifat atau jenis perjanjian maka perjanjian

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal

Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga

termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai

kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya

dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian

berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen

dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan Barang/Jasa inipun

sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses

pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapan/formalitas yang

sudah ditentukan.8

Berbicara mengenai sejarah pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah

dimulai dari adanya transaksi pembelian atau penjualan barang di pasar secara

langsung (tunai). Kemudian berkembang kearah pembelian berjangka waktu

pembayaran, dengan membuat dokumen pertanggungjawaban (antara pembeli

dan penjual), dan pada akhirnya melalui pengadaan dengan cara proses

7

Dhaniswara K.Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2007) ,h.3.

8

(17)

pelelangan yang pemenangnya ditentukan oleh perwakilan Pemerintah

(Panitia Tender). Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa melibatkan

beberapa pihak terkait sehingga perlu ada etika, norma dan prinsip pengadaan

barang dan jasa untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar penetapan

kebijakan pengadaan barang dan jasa.9

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan kegiatan pemerintah yang

memiliki dampak luas terhadap perekonomian suatu daerah bahkan

perekonomian nasional. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

atau Daerah (APBN/APBD) dipercaya merupakan salah satu mesin pendorong

pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan semakin terasa dalam negara yang

mengalami krisis perekonomian sebagai dampak dari krisis global yang

mempengaruhi seluruh komponen-komponen perekonomian seperti halnya

negara Indonesia. Karena itu APBN/APBD memiliki peran yang sangat

signifikan dalam mendorong tercapainya target dan sasaran makro ekonomi

nasional maupun daerah. maka APBN/APBD seyogyanya diarahkan untuk

mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok, sekaligus mampu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Undang-Undang Anti Monopoli telah mengatur bahwa pelaku usaha

dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau

menentukan pemenang tender, melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan prinsip persaingan usaha yang sehat antara lain pembatasan akses

pasar dan kolusi. Selanjutnya, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan

9

(18)

pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang

diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, 10 dan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau

pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar

barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan

menjadi berkurang baik dari jumlah kualitas, maupun ketepatan waktu yang

dipersyaratkan.

Persekongkolan tender dapat saja terjadi dalam proses pengadaan barang

dan jasa di lingkungan pemerintah maupun swasta, dan tidak jaang pula

persekongkolan dalam tender melibatkan pihak Panitia Pengadaan Barang

dan Jasa itu sendiri. 11Hal demikian dapat terindikasi dari lemahnya penyaringan atau pemeriksaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa

tersebut terhadap dokumen para peserta tender, yang mana seharusnya

indikasi-indikasi persekongkolan tersebut dapat ditelaah secara dini sebelum

dikeluarkan penetapan pemenang tender. Namun faktanya, indikasi-indikasi

persekongkolan tender seringkali lolos dari pantauan dan penilaian Panitia

Pengadaan Barang dan Jasa. Terkesan seolah-olah ada unsur kesengajaan dari

Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk mengesampingkan fakta dan

indikasi yang menjurus pada persekongkolan tender.

10

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2004),h.80.

11Santy, ” Tinjauan Hukum Persekongkolan Tender Pengadaan Barang dan Jasa dalam

Pembangunan Rumah Dinas Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara Pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) Nomor

(19)

Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.5 Tahun

1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berkewajiban untuk

memastkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di

Indonesia. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah

dijalankan selama beberapa tahun dan sepanjang periode tersebut KPPU telah

menerima kurang lebih 4000 laporan dari masyarkat mengenai dugaan

persekongkolan tender.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang

dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, seperti

melakukan pembatasanpasar, praktik persekongkolan, serta melakukan kolusi

dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang. Namun

terkadang keinginan untuk menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar tidak

diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas barang

dan jasa yang dihasilkan, atau memperluas penjualan dan pemasaran

menggunakan alat yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam

pergaulan ekonomi.12

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan di

atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi

dengan judul: PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR

06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN

TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA

12 Maulana Ichsan Setiadi, ”

(20)

PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah

Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penelitian skripsi ini, penulis mengidentifikasi masalah

diantaranya:

a. Praktik Monopoli pemusatan kekuasaan oleh PT. Zuty Wijaya Sejati serta

Peserta Tender lainnya dan Panitia Lelang yang mengakibatkan

dikuasainya produksi atau pemasaran barang dan jasa dalam pelelangan

Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak

Tahap XI Tahun 2012 menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat

merugikan kepentingan umum.

b. Praktik Persekongkolan antara Peserta Tender dan Panitia Lelang yang di

fasilitasi dengan maksud untuk menjadikan PT. Zuty Wijaya Sejati

menjadi pemenang tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei

Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012. Bahwa dalam putusan

Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 PT. Zuty Wijaya

Sejati dinyatakan tidak bersalah melakukan persekongkolan tender baik

secara horizontal maupun vertikal.

c. Akibat Hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan serta menyatakan putusan KPPU Nomor

06/KPPU-L/2012 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak berlaku

(21)

tersebut terhadap proses Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei

Ambarawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi hanya membahas

mengenai praktik persekongkolan tender pembangunan Terminal

Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012

yang telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan

menganalisis putusan Mahkamah Agung No.241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014,

melihat substansi Undang-Undang dan Peraturan dalam bidang

pembatalan putusan KPPU, serta menguraikan aspek-aspek hukum

pembatalan putusan KPPU di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

tentang pembatalan putusan KPPU No.06/KPPU-L/2012 telah

sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999?

2. Bagaimana akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241

(22)

pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota

Pontianak Tahap XI Tahun 2012?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis praktik

persekongkolan tender di Indonesia dengan studi kasus putusan

Mahkamah Agung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang larang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung No. 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU

No.06/KPPU-L/2012.

b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU

No.06/KPPU-L/2012.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu :

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan

mengenai analisis yang dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung

(23)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bagi Akademis

Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak

dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam

pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai

bagian dari masyarakat internasional.

2) Bagi Masyarakat Umum

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada

masyarakat untuk mengetahui penerapan pasal-pasal yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung dalam menangani kasus persekongkolan

tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota

Pontianak Tahap XI Tahun 2012, dan memahami akibat dari

pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang dijadikan perkara

dalam putusan tersebut.

3) Bagi Pemerintah

Dapat memberikan saran kepada pemerintah dan KPPU untuk

(24)

tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota

Pontianak Tahap XI Tahun 2012 serta dalam pengawasan dan

penyelesaian persekongkolan tender di Indonesia dan memahami

akibat dari pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang

dijadikan perkara dalam putusan tersebut.

E. Kerangka Konseptual

Suatu Kerangka Konseptual merupakan kerangka pemikiran yang

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi

pegangan dalam proses penelitian. Suatu konsep bukanlah merupakan gejala

yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala disini

biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian penjelasan

mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.13 Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian

di bawah ini:

1. Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendir maupun bersama-sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi.

13

(25)

2. Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran

barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

3. Persekongkolan

Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama

yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan

maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku

usaha yang bersekongkol.

4. Tender

Tender merupakan suatu proses pengajuan penawaran yang

dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan di lapangan sesuai

dengan dokumen tender. Pengertian tender mencakup untuk

memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang atau

menyediakan jasa.

5. Dokumen Pengadaan

Dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang

memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak

dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.

(26)

No.

Nama penulis/Judul

Skripsi,

Jurnal/Tahun

Substansi Perbedaan

1. Omar

Mardhi/Analisis

Yuridis Kedudukan

Hukum Panitia

Tender Dalam

Kasus-Kasus

Persekongkolan

Tender Secara

Vertikal Di

Indonesia/Fakultas

Hukum, Universitas

Indonesia, 2011.

Skripsi ini menjelaskan

pandangan negara

Jepang dan Amerika

Serikat mengenai

persekongkolan tender

dan kedudukan hukum

panitia tender dalam

persekongkolan tender

secara vertikal ditinjau

dari The Sherman Act 1890 dan The Japanese Antimonopoly Act.

Peneliti menulis tentang

analisis putusan Mahkamah

Agung No. 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik

persekongkolan tender

pembangunan Terminal

Angkutan Jalan Sei

Ambawang Kota Pontianak

Tahap XI Tahun 2012.

Ditinjau dari Perpres No. 54

Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah dan Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak

(27)

2. Maulana Ichsan

Setiadi/Analisis

Yuridis Putusan

KPPU Nomor

16/KPPU-L/2009

Tentang

Persekongkolan

Tender Jasa Kebersihan

(Cleaning Service)

Di Bandara

Soekarno Hatta/

Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif

Hidayatullah,2014.

Skripsi ini membahas

mengenai

persekongkolan tender

proyek jasa kebersihan

di Bandara Soekarno

Hatta dengan

menganalisis putusan

KPPU

No.16/KPPU-L/2009, dan

perlindungan hukum

dan sanksi yang dapat

dilakukan untuk

menangani

persekongkolan tender

yang diatur dalam

Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik

Monopoli dan

Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Peneliti menulis tentang

analisis putusan Mahkamah

Agung No. 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik

persekongkolan tender

pembangunan Terminal

Angkutan Jalan Sei

Ambawang Kota Pontianak

Tahap XI Tahun 2012.

Ditinjau dari Perpres No. 54

Tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah dan Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak

(28)

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistemasis, dan

konsisten.14 Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti

adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Dari

definisi diatas, maka nyata bahwa penelitian adalah suatu penyelidikan

yang terorganisasi.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum

yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalah-makalah, keputusan pengadilan serta norma-norma yang

berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku

di masyarakat.15

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang

digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan

adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), Pendekatan

14

Moh Nazir, Metode Penelitian, Cet . VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 57.

15

(29)

Konspetual (conceptual approach), dan Pendekatan Kasus (Case approach).16 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), diterapkan guna memahami bagaimana persaingan usaha yang sehat dalam

monopoli suatu kegiatan pasar dimana dalam persaingan tender

pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak

Tahap XI Tahun 2012 terjadi pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

Pendekatan Konseptual (conceptual approach) diterapkan guna memahami konsep-konsep persaingan usaha tidak sehat, persekongkolan

tender, Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus yang sudah menjadi putusan pengadilan tetap yang

berhubungan dengan kasus Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai

kekuasaan hukum yang mengikat. Bahan hukum yang di gunakan

penulis dalam penelitian ini adalah:

16

(30)

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

3) Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah.

4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata

Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan

KPPU.

5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari

penelusuran buku dan artikel yang berkaitan dengan penjelasan

mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

diantaranya buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi mengenai hukum

persaingan usaha serta artikel ilmiah dan tulisan di internet.

c. Bahan non-hukum

Bahan non hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum

berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,

Filsafat, dan Kebudayaan

(31)

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih

sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap

bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana hasil dari

analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Penulisan skripsi mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum 2012. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab

serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan, isi dari bab ini menjelaskan alasan penulis memilih

tema atau masalah yang kemudian diangkat menjadi judul

penulisan hukum. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang

latar belakang, identifikasi dengan batasan dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan (review) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha dan Persekongolan

(32)

persekongkolan tender yang dijadikan bahan pertimbangan dalam

melakukan analisis. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai

pengertian dan sejarah persaingan usaha di Indonesia,

perkembangan dan peraturan Tentang persaingan usaha di

Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

konsep pendekatan per se illegal dan rule of reason dalam persaingan usaha, pengertian persekongkolan tender,

persekongkolan tender berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.

BAB III Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, pada

bab ini penulis akan membahas gambaran umum putusan yang

akan diteliti. Bab ini berisi Peranan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia,

Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan

Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB IV Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241

K/Pdt.Sus-KPPU/2014, pada bab ini akan dipaparkan hasil

penelitian yakni bagian pertama, menelaah Putusan Mahkamah

Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang terdiri dari posisi

kasus, aspek materil dan formil perkara. Bagian kedua,

mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan atas putusan

Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang

(33)

BAB V Penutup, berisi kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian

sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan

saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian

(34)

23 BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN

PERSEKONGKOLAN TENDER

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian hukum persaingan

usaha, baik dari segi perkembangannya maupun berbagai peraturan yang

mengikat di Indonesia. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai 2 pendekatan

yang menjadi acuan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, untuk

menanggulangi persaingan usaha tidak sehat yaitu pendekatan Per se Illegal

dan Rule of Reason. Di pembahasan terakhir bab akan dipaparkan pengertian persekongkolan tender dilihat dari segi teoritis dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.

A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Persaingan mensyaratkan suatu iklim usaha yang kondusif, baik

secara kuantitatif maupun kualitatif, di mana para pelaku dipandang saling

beroposisi.1 Hukum persaingan usaha bertujuan mengawal rivalitas tersebut. Persaingan (competition) dalam bahasa Inggris didefinisikan

sebagai “rivalry between two or more businesses striving for the same

customer or market”, (ada dua usaha atau lebih yang terlibat dalam upaya

saling mengungguli).

1

(35)

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha

adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan

persaingan usaha. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam,

perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan dari para ahli

hukum persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang

berjudul “Hukum Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan hukum

persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun

secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, mengatur persaingan

sedemikian rupa, sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan

monopoli.

Beranjak dari pengertian di atas,2 maka yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur

mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha,

mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang

dilakukan oleh pelaku usaha. Dari pernyataan tersebut, penulis melihat

berdasarkan teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum

Satjipto Rahardjo. Menurutnya hukum tidak akan dapat bekerja dan

menjadi kumpulan kata-kata kosong jika tidak diterapkan kepada

masyarakat. Tolak ukur suatu hukum telah bekerja di masyarakat dapat

dilihat dari fungsi hukum di masyarakat, yakni sebagai kontrol sosial dan

sebagai alat untuk mengubah masyarakat.

2

(36)

2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia

Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa

iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan,

dimana Indonesia telah membangun perekonomiannya tanpa memberikan

perhatian yang memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar

persaingan. 3Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab

rapuhnya perekonomian di Indonesia selama ini adalah para pelaku bisnis

yang tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah

bahwa Undang-Undang tersebut dibuat untuk menjaga kepentingan umum

dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif, mencegah

praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.4 Namun sering muncul kesan dikotomi (pemisahan) dalam mempersepsikan publik, yaitu

konsumen di satu pihak, yang dipersepsikan sebagai masyarakat umum/

kepentingan umum, dan dunia usaha berada di sisi yang lain. Pandangan

itu perlu dihilangkan karena undang-undang ini dilahirkan untuk menata

3

Agus Maulana, Pengantar Mikro Ekonomi, Jilid II (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 2000), h. 4.

4

(37)

dan melindungi kepentingan publik dalam arti keseluruhan.5 Secara yuridis tujuan persaingan usaha diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

usaha Tidak Sehat sebagai berikut :6

1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen

2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat

3. Menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap

orang

4. Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha

5. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai

salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemikiran yang demokrasi ekonomi perlu diwujudkan untuk

menciptakan ekonomi yang sehat, maka disusunlah Undang-Undang

tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dapat

menegakkan hukum dan dapat memberikan perlindungan yang sama bagi

setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang

sehat. Ketentuan hukum ini terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

5 Rakhmadewi Rosalifa Jihad, “Penanganan Persekongkolan Tender oleh Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Ilmiah, (Maret 2013): h.4.

6

(38)

1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu) tahun

sejak diundangkan.7

3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang pada dekade terakhir ini

mengalami kemajuan yang cukup pesat, walaupun kemajuan tersebut

ditandai masa-masa cukup sulit.8 Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan negara Indonesia merupakan pembangunan yang dilakukan

secara menyeluruh serta menyentuh segenap aspek hidup masyarakat,

dalam arti tidak hanya menitikberatkan pada satu bidang tertentu saja.

Pembangunan pada bidang ekonomi merupakan penggerak utama

pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus disertai upaya

saling memperkuat, serta terpadu dengan pembangunan bidang lainnya.

Dalam hal ini Hukum Anti Monopoli akan mengatur setidaknya

kelompok-kelompok praktik ataupun segala bentuk kondisi yang

menghalangi berlangsungnya kompetisi wajar di pasar, yaitu:9

a. Persekongkolan yang bersifat restriktif.

b. Praktik-praktik usaha tidak wajar yang merugikan konsumen.

7

Ningrum Natasya Sirait, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), hal. 1.

8

Johannes Ibrahim, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h.23.

9

(39)

c. Merger dan posisi dominan di pasar.

d. Perangkapan jabatan di berbagai perusahaan.

e. Penyalahgunaan posisi dominan di pasar.

f. Pengaturan tentang pengecualian-pengecualian

g. Badan pengawas yang independen.

h. Penalti atau hukuman.

Isi Undang-Undang Anti Monopoli (Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak

Sehat) ini sesuai dengan standar internasional, yaitu sebagai berikut:

a. Melarang perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli atau persaingan tidak sehat (Pasal 4, 7 s.d. 9, Pasal

10 s.d. 14, 22, 23).

b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga

konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi dan

know-how (Pasal 5, 6, 15, dan Pasal 50 huruf b).

c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang

menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau

persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s.d. 29).

d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau

penerima barang dengan cara menyalahgunakan posisi

dominan di pasar (Pasal 17 dan 18).

e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan

(40)

penolakan melakukan hubungan usaha Pasal 7, 8, 16, 19, s.d.

21)

B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli

Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam

persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan

dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan

melawan hukum.10 Istilah persekongkolan (conspiracy) pertama kali ditemukan pada Antitrust Law di USA yang didapat melalui Yurisprudensi

Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat, berkaitan dengan ketentuan Pasal 1

The Sherman Act 1890, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan ; “…..

persekongkolan untuk menghambat perdagangan ….. (….conspiracy in restraint of trade…..) ”. Mahkamah Tertinggi USA juga menciptakan istilah “concerted action” untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal

menghambat perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan

pada persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya

dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian di USA

itulah, maka persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang

konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan.

Secara yuridis pengertian persekongkolan usaha atau conspiracy ini

diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, yakni “sebagai bentuk kerjasama

10

(41)

yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud

untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang

bersekongkol“.11

Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan

dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak

mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian.

Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh UU

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha

Tidak Sehat, yaitu:

1. Persekongkolan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang

tender (Pasal 22),

2. Persekongkolan untuk memperoleh/membocorkan rahasia dagang

(Pasal 23),

3. Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran

produk (Pasal 24).

C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Secara prosedural, dalam melarang kegiatan yang mengakibatkan

timbulnya monopoli, dikenal dua pendekatan. Pertama, pendekatan per se

(dalam beberapa buku dikenal per-se illegal), yakni pendekatan yang melarangnya secara tegas, bahwa dengan hanya melakukan tindakan yang

11

(42)

dilarang, demi hukum tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan hukum

yang berlaku. Pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat

mengakibatkan…”.12

Kedua, pendekatan rule of reason, yaitu bahwa dengan telah terbukti dilakukannya tindakan yang dilarang tersebut saja, tidak otomatis tindakan

tersebut sudah bertentangan dengan hukum, tetapi harus dilihat dulu

sejauhmana akibat dari tindakan tersebut menimbulkan monopoli atau akan

mengakibatkan kepada persaingan tidak sehat.13 Kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menghindari terjadinya kerugian pada

konsumen dan berupaya agar tindakan pelaku usaha tidak menghambat

persaingan usaha.

1. Pendekatan Per se Illegal

Menurut Dr. Sutrisno Iwantono, MA dalam tulisannya yang berjudul

Per se Illegal dan Rule of Reasondalam Hukum Persaingan Usaha” yang

dimaksud dengan per se illegal adalah suatu perbuatan yang bersifat dilarang atau illegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan yang bersifat dilarang tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut.

Dengan kata lain Prinsip pendekatan per se illegal adalah suatu

12 (Hukum Online, “Pentingnya prinsip

per se illegal dan rule of reason di UU

Persaingan Usaha”, artikel diakses pada 3 Mei 2016 dari http : // www.Hukumonline.com /klinik /detail /lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha.

13

(43)

pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha,

dimana prinsip ini menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha

tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang

ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu.

Larangan-larangan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para

pelaku usaha.14 Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga tidak perlu lagi

melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya prinsip Per Se

melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan

hukum.

2. Pendekatan Rule of Reason

Pendekatan ini adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga

otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat

perjanjian, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut

bersifat menghambat atau mendukung persaingan.15 Artinya, penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan

itu telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

karena titik beratnya adalah unsur materil dari perbuatannya.

14

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori Dan Praktiknya Di Indonesia) , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 72.

15

A.M. Tri Anggraini, “Penerapan “Rule of Reason”dan “ Per Se Illegal dalam Hukum

(44)

Ketika menggunakan teori rule of reason, pelaksanaan dari suatu tindakan yang dilarang perlu dibuktikan lebih dahulu, sampai beberapa

jauh tindakan yang merupakan anti persaingan tersebut akan berakibat

kepada pengekangan persaingan pasar yang menyebabkan persaingan

usaha tidak sehat. Substansi penerapan rule of reason dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat tergambar dari konteks kalimat yang membuka

alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan terlebih

dahulu akibatnya secara keseluruhan. 16

Jadi, tidak seperti teori per se illegal, dengan memakai teori rule of reason tindakan yang dilarang tidak otomatis bersalah, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataan terbukti telah dilakukan.

Kecuali ditentukan sebagai per se illegal, berdasarkan doktrin per se, kepatutan atau ketidakpatutan dari hambatan perdagangan ditentukan

secara rule of reason. Kepatutan perdagangan ditentukan berdasarkan asas hukum dan kewajiban untuk menerapkan kepentingan umum yang termuat

dalam peraturan perundang-undangan.

D. Pengertian Persekongkolan Tender

Secara filosofis, pengertian kejahatan bisnis mengandung makna bahwa

telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu kegiatan bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga merugikan

16 Alum Simbolon, “Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum no.2

(45)

kepentingan masyarakat luas, seperti penanaman modal dalam sektor swasta

yang padat karya.17 Perubahan nilai tersebut membuktikan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran demi untuk

mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Black’s

Law Dictionary, persekongkolan dapat juga diartikan sebagai penyatuan maksud antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati

tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama. Hal ini

terdapat dalam Al-Quran QS. An-Nisa (4): 29, Allah SWT berfirman:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekongkolan berasal dari

kata “sekongkol”, sekongkol diartikan sebagai orang-orang yang turut serta

berkomplot melakukan kejahatan (kecurangan)18. Persekongkolan juga kerap disamakan dengan kolusi (collusion), yaitu sebagai, “A secret agreement between two or more people for deceitful or produlent purpose”, yang

17

Romli Atmasasmita, Pengaturan Hukum Kejahatan Bisnis (Business Crime), (Bogor: Kencana, 2003), h. 34.

18

(46)

diartikan bahwa dalam kolusi adalah sebuah perjanjian rahasia yang dibuat

oleh 2 (dua) pihak atau lebih dengan bermaksud berbohong atau penggelapan

yang sama artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negatif.

Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam

persekongkolan (conspiracy) terdapat kerja sama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan

hukum.19 Mahkamah Tertinggi USA menciptakan istilah concerted action

untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal menghambat

perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan pada

persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat

disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian diatas,

persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang konsekuensinya adalah

perilaku yang saling menyesuaikan dalam melancarkan aksi kecurangan

mereka (conspiracy is an agreement which has consequence of concerted action).

Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian

tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan.20 Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses

tender akan memborong, mengadakan, atau menyediakan barang/atau jasa

19

Dayu Padmara Rengganis, Hukum Persaingan Usaha Perangkat Telekomunikasi dan Pemberlakuan Persetujuan ACFTA, (Bandung: P.T.Alumni,2013),h.38

20

(47)

yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan dengan berbagai syarat yang harus

dipenuhi berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peresekongkolan

tender adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan

maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian /kesamaan tindakan

(concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun

mengetahui atau sepatutnya mengetahi bahwa tindakan tersebut dilakukan

untuk mengatur dalam rangka memenangkan perserta tender tertentu.21

E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999

Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat,22 yang dimaksud dengan larangan dalam hal ini adalah apabila pelaku usaha

bersekongkol dengan pihak lain, baik pihak penyelenggara tender yang dilakukan oleh pemerintah/swasta atau pelaku usaha yang turut terllibat dalam

tender itu bertindak seolah-olah sebagai pesaing. Padahal ia sebagai pelengkap atau pelaku usaha semu yang bersepakat untuk menentukan pelaku usaha yang

21

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 150.

22

(48)

akan memenangkan tender. Tindakan persekongkolan tersebut menurut Pasal

22 dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu

persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan

persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga jenis

persekongkolan tersebut.

1) Persekongkolan Horizontal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia

barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan

jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai

persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta

tender.23

2) Persekongkolan Vertikal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau

beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia

tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau

pemberi pekerjaan.Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana

panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau

pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau

beberapa peserta tender.

23

(49)

3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia

lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan

dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini

dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender.

Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik

panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan

(50)

39 BAB III

PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Gambaran umum akan persaingan usaha dan persekongkolan tender

yang telah dijelaskan sebelumnya akan berhubungan dengan sengketa dalam

penulisan skripsi ini. Sengketa yang diangkat adalah tentang Putusan

Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan

Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Untuk itu, pada BAB III ini akan

dijelaskan lebih lanjut mengenai peran KPPU dalam menegakan hukum di

Indonesia, pelaksanaan putusan KPPU, dan pembatalan putusan Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum

Persaingan di Indonesia

Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara

komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat untuk melakukan penegakan

hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok

(eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga

(51)

negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.1

Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 (UU

Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal

34 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan usaha Tidak Sehat yang menginstruksikan bahwa pembentukan

susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan

Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun

1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha

berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak

ada lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan

persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga

diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. Pengadilan Negeri

diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU dan

menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana

karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in kracht. MA diberi

kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan

apabila terjadi kasasi terhadap keputusan Pengadilan Negeri tersebut.

KPPU memiliki tugas dan tanggung jawab yang diemban dalam

menjalankan tugasnya sebagai pengawas yang telah di tunjuk oleh Presiden

1Budi L. Kagramanto, “Implementasi Undang

(52)

Republik Indonesia. KPPU memiliki tujuh tugas. Pertama, melakukan

penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Kedua, melakukan penilaian terhadap

kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Ketiga,

melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai

dengan Pasal 28.

Keempat, mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi

sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Kelima, memberikan saran dan

pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Keenam, menyusun pedoman

dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Ketujuh,

memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden

dan Dewan Perwakilan Rakyat.2

KPPU memiliki duabelas wewenang. Pertama, menerima laporan dari

masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kedua, melakukan penelitian

2 Beny Pasaribu, “Regulasi dan Persaingan Sehat Dalam Sistem Ekonomi Indonesia”,

(53)

tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat. Ketiga, melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap

kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh

Komisi sebagai hasil penelitiannya. Keempat, menyimpulkan hasil

penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kelima, memanggil pelaku

usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang ini.

Keenam, memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap

orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang ini. Ketujuh, meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku

usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan

huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi. Kedelapan,

meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini. Kesembilan, mendapatkan, meneliti, dan atau

menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau

pemeriksaan. Kesepuluh, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya

kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Kesebelas,

memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

(54)

Keduabelas, menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku

usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.3

B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Putusan perkara monopoli dan persaingan usaha yang dapat dieksekusi

adalah putusan condemnatoir yang menyatakan bahwa pelaku usaha

melanggar Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dan karenanya dijatuhi sanksi.

Sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Komisi hanyalah sanksi administratif dan

pengenaan denda, sedangkan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dapat

menjatuhkan sanksi pidana maupun ganti rugi dan pidana denda.

Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi, gejala yang terjadi pada Kesiapan Kerja siswa kelas XII Program Keahlian Akuntansi di SMK Muhammadiyah Karangmojo adalah 25% siswa dalam

untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur berdasarkan suatu standar. Penilaian kinerja keuangan setiap perusahaan berbeda-beda, tergantung pada.. ruang lingkup

apabila jawaban salah tidak mengurangi poin. Ketentuan poin untuk soal lemparan, tim yang menjawab benar akan mendapat poin. 100, apabila jawaban salah tidak mengurangi poin

Data dalam penelitian ini diambil menggunakan angket kesiapan belajar, lembar observasi aktivitas guru, siswa dan komunikasi lisan siswa, serta tes evaluasi

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Sama halnya dengan gandang tambur, gandang sarunai Sungai Pagu ini juga mempunyai dua kepala (double headed) dengan ukuran diameter kepala berbeda, yang satu

Kelompok Kerja Jasa Konsultansi Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau mengumumkan pemenang seleksi sederhana untuk Pekerjaan Perencanaan Kegiatan

The dichotomy of the real sector and monetary economics does not occur in Islam because of the absence of interest and banning trade system as commodity money so that patterns