(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014) Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyatan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Sicco Satria Negara NIM : 1112048000015
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
ABSTRAK
SICCO SATRIA NEGARA. NIM 1112048000015. PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR 06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016 M. xii + 87 halaman + hal lampiran. Penelitian ini menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang persekongkolan tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota Pontianak dan mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menangani persekongkolan tender. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah, praktis, maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis atau pihak-pihak yang mempunyai keinginan kasus persekongkolan tender yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, dan pendapat ahli. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 berdasarkan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bahwa Mengacu kepada hubungan kekeluargaan, kesamaan dokumen, terjadinya pemalsuan tanda tangan ketika pendaftaan/ pengambilan dokumen, upaya membatasi peserta tender, dan pemberian fasilitas (keistimewaan) kepada pihak tertentu untuk memenangkan tender. Maka terpenuhi unsur-unsur pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Akibat hukum atas lahirnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Maka sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha tidak berlaku lagi dan proses Tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012 juga dinyatakan sah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Kata Kunci :Persaingan Usaha Tidak Sehat, PersekongkolanTender, Putusan Mahkamah Agung.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur senantiasa terpanjatkan
atas kehadirat Allah SWT dengan kenikmatan dan kesempatan yang diberikan
kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan
berbagai kemudahan. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan
Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang selalu memberi syafaat kepada umatnya
dari setiap lafadz shalawat yang terucap.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan rasa
syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta
jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Drs. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MH
dan Bapak Drs. Abu Tamrin SH, M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum yang senantiasa memberikan bimbingan, saran dan banyak ilmu
kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
3. Dr. H. Nahrowi, S.H, M.H. dan H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H. dosen
pembimbing yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya
untuk memberikan saran, arahan, masukan dan bimbingan kepada penulis
vi
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa
perkuliahan. Seluruh Staff Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan
Utama, Staff Perpustakaan Fakultas, atas segala pelayanan yang diberikan
kepada penulis.
5. Kepada Orang Tua Penulis. Ayahanda Anwar Mulyono dan Ibunda Eny
Kustini. Muhammad Figo Pahlevi adikku tercinta, tak terhingga memberikan
kasih sayang dan do’anya untuk kesuksesan penulis dan tidak lupa pula
untuk Mbah Darmi, Tante Tun, Mbak Indah, dan anggota keluarga lain yang
tinggal di Semarang. Terima kasih untuk suntikan motivasi dan semangatnya
selama ini.
6. Kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Hukum angkatan 2012, Choir, Aras,
Reinaldo, Milzam, Beny, Akbar, Bang Zul, Rama, Alif, Bang Dekur, Ucup,
Reinaldi, Bachdad, Deni Fernandes, BP, Malik, dan lain yang tidak mungkin
disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk ilmu, berbagai argument yang
terlontar, kerjasama membuat makalah dan kesediaan untuk menjadi
pennyanggah yang baik. Semoga sukses menyertai kita, dan hubungan
keluarga ini akan selalu terkenang sepanjang hayat.
7. Teman-teman yang tergabung dalam Delegasi Lomba Persidangan Semu
NMCC di Universitas Pancasila sekaligus anggota MCC (Mout Court
Community) di Fakultas Syariah dan Hukum, Reinaldo, Saul, Bang Rian,
Kak Novita, Kak Ummu, Akbar, Jannah, Yana, Nafis, Tresna dan anggota
vii
terlupakan dan berbagai hasil kajian yang sangat berharga untuk penulis
pribadi. Keluarga besar KKN Gemah Ripah 2015, semoga apa yang telah
dilakukan bisa jadi lumbung pahala di sisi Allah SWT, terus semangat dan
berharap komunikasi akan terus terjaga sampai nanti.
8. Segenap pengurus Musholla Al Hurriyah, terima kasih untuk ilmu dan
wejangan yang selalu menginspirasi penulis dalam kehidupan ini. Berbagai
kajian di bidang agama, dan sosial bisa menambah wawasan dan ilmu yang
bermanfaat baik di dunia dan akhirat. Teman-teman seperjuangan di
Universitas Pamulang khususnya Prodi Sastra Inggris, untuk Julio, Bang
Pian, Savira, Thomas, Buyung, Rizal, Yudi, Topa, Mas Tom, Yophi, Uci dan
kawan lainnya. Tetep semangat menuntut ilmu, sampai jumpa di dunia kerja
sesungguhnya.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah membalasnya. Amiiin.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya terkhusus untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 26 September 2016
viii
Daftar Isi
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………..i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………ii
LEMBAR PERNYATAAN………iii
ABSTRAK………..…iv
KATA PENGANTAR………v
DAFTAR ISI………viii
BAB I PENDAHULUAN………...1
A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Identifikasi Masalah………..8
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah Masalah……….…..9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...10
E. Kerangka Konseptual……….12
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………..14
G. Metode Penelitian………16
H. Sistematika Penulisan………..19
ix
A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha………….23
1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha………23
2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia……….24
3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia…………27
B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli………...29
C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………30
1. Pendekatan Per se Illegal………..31
2. Pendekatan Rule of Reason………...32
D. Pengertian Persekongkolan Tender………33
E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999……….36
BAB III PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA………...39
A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia………...39
B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha………...42
x
BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
241 K/PDT.SUS-KPPU/2014……….49
A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………...49
1. Posisi Kasus Persekongkolan Tender Pembangunan Terminal ALBN Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012………..49
2. Aspek Materiil dan Formil Perkara………...51
a. Aspek Materiil dan Unsur-Unsur Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999………..51
b. Aspek Formil Pelaku Usaha……….58
3. Analisis………..59
B. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012………..…………78
BAB V PENUTUP……….81
A. Kesimpulan………...81
B. Saran………..82
xi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 241
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya setiap manusia pasti memilki berbagai kebutuhan untuk
tetap dapat menjalankan kehidupannya. Kebutuhan manusia tersebut dapat
dipenuhi melalui berbagai barang dan jasa. Dalam era modern sekarang ini
setiap manusia tidak perlu memproduksi atau menghasilkan sendiri semua
barang/jasa yang dibutuhkan, melainkan dapat dilakukan dengan pertukaran,
perdagangan, jual-beli, dan penyewaan.1 Disisi lain dalam aktivitas bisnis terdapat persaingan di antara pelaku usaha yang akan berusaha menciptakan
serta memasarkan produk baik berupa barang dan atau jasa sebaik mungkin
agar diminati dan dibeli oleh konsumen.
Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara harus membuka pasar
dalam negerinya agar produk barang dan/ atau jasa dari luar negeri dapat
masuk dan bersaing dengan barang dan/ atau jasa dalam negeri.2 Oleh karena itu, harus didukung oleh kesiapan pelaku usaha dalam negeri untuk bersaing.
maka keadaan ini dapat saja mengancam kesinambungan kegiatan usaha dari
para pelaku usaha domestik bahkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
nasional. Lemahnya daya saing dalam negeri itu antara lain, disebabkan
1
Irma Nilasari dan Sri Wiludjeng, Pengantar Bisnis, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h.1.
2
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku
usaha.
Charles E. Mueller mengemukakan tiga pendekatan yang bisa diambil
oleh negara di dalam menangani bidang industrinya. Pertama,
negara-negara bisa memakai pendekatan “lasses-faire” (memiliki arti “biarkan
sendiri”) yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam
industri. Kedua Negara-negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision” ditandai dengan penguasaan negara atas industri-industri penting. Terakhir dapat juga digunakan pendekatan “antitrust”, yakni kebijakan yang
mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya persaingan sehat
di antara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang campur tangan di
dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output produksi.3
Masalah persaingan usaha sesungguhnya adalah merupakan urusan para
pelaku dunia usaha, dimana negara tidak ikut campur. Namun demikian,
dalam dunia usaha perlu diciptakan “level playing field” yang sama antara
pelaku usaha maka pada akhirnya negara sangat diperlukan untuk ikut campur.
Keterlibatan negara dibidang hukum termasuk masalah yang bersifat perdata,
untuk melindungi pihak yang lemah agar terhindar dari dari tindakan
eksploitasi oleh pihak yang kuat.4 Guna mendukung kondisi persaingan usaha yang sehat, terbuka dan dicita-citakan oleh banyak pelaku usaha, maka
3
Aris Siswanto, Hukum Persaingan Usaha,cetakan pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), h.10.
4
diperlukan kebijakan persaingan usaha. kebijakan persaingan usaha bertujuan
untuk meminimalkan inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku
pelaku usaha yang cenderung bersifat anti persaingan dan berkeinginan
melakukan praktek monopoli seenaknya.5
Untuk itu, pada tanggal 5 Maret 1999 dibuatlah Undang-Undang yang
mengatur persoalan antimonopoli, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.6 Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999, diharapkan Undang-undang tersebut menjadi sebuah instrumen hukum yang
bertujuan agar dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat,
kompetitif, serta mendorong terciptanya efisiensi yang menunjang
pertumbuhan ekonomi. Pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Anti
Monopoli di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk
pengejawantahan sikap bangsa Indonesia dalam rangka mencapai dan
mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Cita-cita itu merupakan arahan dan
sebagai penentu arah dari tujuan nasional Indonesia.
Terwujud atau tidaknya cita-cita bangsa Indonesia, tergantung pada
upaya seluruh komponen bangsa Indonesia yang bahu membahu antara
pemerintah dengan masyarakat dalam melakukan pembangunan secara
menyeluruh di semua sektor. Pembangunan nasional tersebut antara lain
mencakup aspek-aspek ekonomi, budaya, politik, demografi, psikologi,
5
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, (Jakarta:Erlangga, 2002), h. 326.
6
hukum, intelektual maupun teknologi, dan industri.7 Pembangunan nasional secara menyeluruh tersebut merupakan pembangunan yang produktif,
mengutamakan perbaikan taraf hidup rakyatnya, mendistribusikan ke seluruh
wilayah tanpa terkecuali, menciptakan masyarakat adil dan makmur meliputi
segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila didasarkan pada sifat atau jenis perjanjian maka perjanjian
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal
Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga
termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai
kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya
dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian
berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen
dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan Barang/Jasa inipun
sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses
pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapan/formalitas yang
sudah ditentukan.8
Berbicara mengenai sejarah pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah
dimulai dari adanya transaksi pembelian atau penjualan barang di pasar secara
langsung (tunai). Kemudian berkembang kearah pembelian berjangka waktu
pembayaran, dengan membuat dokumen pertanggungjawaban (antara pembeli
dan penjual), dan pada akhirnya melalui pengadaan dengan cara proses
7
Dhaniswara K.Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2007) ,h.3.
8
pelelangan yang pemenangnya ditentukan oleh perwakilan Pemerintah
(Panitia Tender). Dalam prosesnya, pengadaan barang dan jasa melibatkan
beberapa pihak terkait sehingga perlu ada etika, norma dan prinsip pengadaan
barang dan jasa untuk dapat mengatur atau yang dijadikan dasar penetapan
kebijakan pengadaan barang dan jasa.9
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan kegiatan pemerintah yang
memiliki dampak luas terhadap perekonomian suatu daerah bahkan
perekonomian nasional. Dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Daerah (APBN/APBD) dipercaya merupakan salah satu mesin pendorong
pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan semakin terasa dalam negara yang
mengalami krisis perekonomian sebagai dampak dari krisis global yang
mempengaruhi seluruh komponen-komponen perekonomian seperti halnya
negara Indonesia. Karena itu APBN/APBD memiliki peran yang sangat
signifikan dalam mendorong tercapainya target dan sasaran makro ekonomi
nasional maupun daerah. maka APBN/APBD seyogyanya diarahkan untuk
mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok, sekaligus mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Undang-Undang Anti Monopoli telah mengatur bahwa pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau
menentukan pemenang tender, melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan prinsip persaingan usaha yang sehat antara lain pembatasan akses
pasar dan kolusi. Selanjutnya, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
9
pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, 10 dan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
Persekongkolan tender dapat saja terjadi dalam proses pengadaan barang
dan jasa di lingkungan pemerintah maupun swasta, dan tidak jaang pula
persekongkolan dalam tender melibatkan pihak Panitia Pengadaan Barang
dan Jasa itu sendiri. 11Hal demikian dapat terindikasi dari lemahnya penyaringan atau pemeriksaan dari Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
tersebut terhadap dokumen para peserta tender, yang mana seharusnya
indikasi-indikasi persekongkolan tersebut dapat ditelaah secara dini sebelum
dikeluarkan penetapan pemenang tender. Namun faktanya, indikasi-indikasi
persekongkolan tender seringkali lolos dari pantauan dan penilaian Panitia
Pengadaan Barang dan Jasa. Terkesan seolah-olah ada unsur kesengajaan dari
Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk mengesampingkan fakta dan
indikasi yang menjurus pada persekongkolan tender.
10
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2004),h.80.
11Santy, ” Tinjauan Hukum Persekongkolan Tender Pengadaan Barang dan Jasa dalam
Pembangunan Rumah Dinas Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara Pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) Nomor
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.5 Tahun
1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berkewajiban untuk
memastkan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di
Indonesia. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah
dijalankan selama beberapa tahun dan sepanjang periode tersebut KPPU telah
menerima kurang lebih 4000 laporan dari masyarkat mengenai dugaan
persekongkolan tender.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang
dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, seperti
melakukan pembatasanpasar, praktik persekongkolan, serta melakukan kolusi
dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang. Namun
terkadang keinginan untuk menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar tidak
diikuti dengan kemampuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas barang
dan jasa yang dihasilkan, atau memperluas penjualan dan pemasaran
menggunakan alat yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam
pergaulan ekonomi.12
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan di
atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi
dengan judul: PEMBATALAN PUTUSAN KPPU NOMOR
06/KPPU-L/2012 TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER PEMBANGUNAN
TERMINAL ANGKUTAN JALAN SEI AMBAWANG KOTA
12 Maulana Ichsan Setiadi, ”
PONTIANAK TAHAP XI TAHUN 2012 (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penelitian skripsi ini, penulis mengidentifikasi masalah
diantaranya:
a. Praktik Monopoli pemusatan kekuasaan oleh PT. Zuty Wijaya Sejati serta
Peserta Tender lainnya dan Panitia Lelang yang mengakibatkan
dikuasainya produksi atau pemasaran barang dan jasa dalam pelelangan
Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak
Tahap XI Tahun 2012 menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
b. Praktik Persekongkolan antara Peserta Tender dan Panitia Lelang yang di
fasilitasi dengan maksud untuk menjadikan PT. Zuty Wijaya Sejati
menjadi pemenang tender Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei
Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012. Bahwa dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 PT. Zuty Wijaya
Sejati dinyatakan tidak bersalah melakukan persekongkolan tender baik
secara horizontal maupun vertikal.
c. Akibat Hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan serta menyatakan putusan KPPU Nomor
06/KPPU-L/2012 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak berlaku
tersebut terhadap proses Pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei
Ambarawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi hanya membahas
mengenai praktik persekongkolan tender pembangunan Terminal
Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak Tahap XI Tahun 2012
yang telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan
menganalisis putusan Mahkamah Agung No.241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014,
melihat substansi Undang-Undang dan Peraturan dalam bidang
pembatalan putusan KPPU, serta menguraikan aspek-aspek hukum
pembatalan putusan KPPU di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014
tentang pembatalan putusan KPPU No.06/KPPU-L/2012 telah
sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999?
2. Bagaimana akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241
pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambarawang Kota
Pontianak Tahap XI Tahun 2012?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis praktik
persekongkolan tender di Indonesia dengan studi kasus putusan
Mahkamah Agung ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang larang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
a. Untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung No. 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU
No.06/KPPU-L/2012.
b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Agung No. 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang pembatalan putusan KPPU
No.06/KPPU-L/2012.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan
mengenai analisis yang dilakukan terhadap putusan Mahkamah Agung
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu :
1) Bagi Akademis
Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak
dapat diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam
pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai
bagian dari masyarakat internasional.
2) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat untuk mengetahui penerapan pasal-pasal yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung dalam menangani kasus persekongkolan
tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota
Pontianak Tahap XI Tahun 2012, dan memahami akibat dari
pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang dijadikan perkara
dalam putusan tersebut.
3) Bagi Pemerintah
Dapat memberikan saran kepada pemerintah dan KPPU untuk
tender pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota
Pontianak Tahap XI Tahun 2012 serta dalam pengawasan dan
penyelesaian persekongkolan tender di Indonesia dan memahami
akibat dari pembatalan putusan KPPU terhadap tender yang
dijadikan perkara dalam putusan tersebut.
E. Kerangka Konseptual
Suatu Kerangka Konseptual merupakan kerangka pemikiran yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang menjadi
pegangan dalam proses penelitian. Suatu konsep bukanlah merupakan gejala
yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala disini
biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian penjelasan
mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.13 Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian
di bawah ini:
1. Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendir maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi.
13
2. Persaingan Usaha Tidak Sehat
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
3. Persekongkolan
Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol.
4. Tender
Tender merupakan suatu proses pengajuan penawaran yang
dilakukan oleh kontraktor yang akan dilaksanakan di lapangan sesuai
dengan dokumen tender. Pengertian tender mencakup untuk
memborong suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang atau
menyediakan jasa.
5. Dokumen Pengadaan
Dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang
memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak
dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.
No.
Nama penulis/Judul
Skripsi,
Jurnal/Tahun
Substansi Perbedaan
1. Omar
Mardhi/Analisis
Yuridis Kedudukan
Hukum Panitia
Tender Dalam
Kasus-Kasus
Persekongkolan
Tender Secara
Vertikal Di
Indonesia/Fakultas
Hukum, Universitas
Indonesia, 2011.
Skripsi ini menjelaskan
pandangan negara
Jepang dan Amerika
Serikat mengenai
persekongkolan tender
dan kedudukan hukum
panitia tender dalam
persekongkolan tender
secara vertikal ditinjau
dari The Sherman Act 1890 dan The Japanese Antimonopoly Act.
Peneliti menulis tentang
analisis putusan Mahkamah
Agung No. 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik
persekongkolan tender
pembangunan Terminal
Angkutan Jalan Sei
Ambawang Kota Pontianak
Tahap XI Tahun 2012.
Ditinjau dari Perpres No. 54
Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak
2. Maulana Ichsan
Setiadi/Analisis
Yuridis Putusan
KPPU Nomor
16/KPPU-L/2009
Tentang
Persekongkolan
Tender Jasa Kebersihan
(Cleaning Service)
Di Bandara
Soekarno Hatta/
Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif
Hidayatullah,2014.
Skripsi ini membahas
mengenai
persekongkolan tender
proyek jasa kebersihan
di Bandara Soekarno
Hatta dengan
menganalisis putusan
KPPU
No.16/KPPU-L/2009, dan
perlindungan hukum
dan sanksi yang dapat
dilakukan untuk
menangani
persekongkolan tender
yang diatur dalam
Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik
Monopoli dan
Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Peneliti menulis tentang
analisis putusan Mahkamah
Agung No. 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang praktik
persekongkolan tender
pembangunan Terminal
Angkutan Jalan Sei
Ambawang Kota Pontianak
Tahap XI Tahun 2012.
Ditinjau dari Perpres No. 54
Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistemasis, dan
konsisten.14 Metodologis berarti sesuai dengan metode dan cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Dari
definisi diatas, maka nyata bahwa penelitian adalah suatu penyelidikan
yang terorganisasi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum
yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, literature, pendapat ahli, makalah-makalah, keputusan pengadilan serta norma-norma yang
berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku
di masyarakat.15
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan
adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), Pendekatan
14
Moh Nazir, Metode Penelitian, Cet . VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 57.
15
Konspetual (conceptual approach), dan Pendekatan Kasus (Case approach).16 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach), diterapkan guna memahami bagaimana persaingan usaha yang sehat dalam
monopoli suatu kegiatan pasar dimana dalam persaingan tender
pembangunan Terminal Angkutan Jalan Sei Ambawang Kota Pontianak
Tahap XI Tahun 2012 terjadi pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) diterapkan guna memahami konsep-konsep persaingan usaha tidak sehat, persekongkolan
tender, Pendekatan Kasus (Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus yang sudah menjadi putusan pengadilan tetap yang
berhubungan dengan kasus Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai
kekuasaan hukum yang mengikat. Bahan hukum yang di gunakan
penulis dalam penelitian ini adalah:
16
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
3) Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan
KPPU.
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014
tentang Pembatalan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
penelusuran buku dan artikel yang berkaitan dengan penjelasan
mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
diantaranya buku-buku, skripsi, tesis, dan disertasi mengenai hukum
persaingan usaha serta artikel ilmiah dan tulisan di internet.
c. Bahan non-hukum
Bahan non hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, dan Kebudayaan
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap
bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana hasil dari
analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Penulisan skripsi mengacu pada buku pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum 2012. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab
serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan, isi dari bab ini menjelaskan alasan penulis memilih
tema atau masalah yang kemudian diangkat menjadi judul
penulisan hukum. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang
latar belakang, identifikasi dengan batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan (review) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha dan Persekongolan
persekongkolan tender yang dijadikan bahan pertimbangan dalam
melakukan analisis. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai
pengertian dan sejarah persaingan usaha di Indonesia,
perkembangan dan peraturan Tentang persaingan usaha di
Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
konsep pendekatan per se illegal dan rule of reason dalam persaingan usaha, pengertian persekongkolan tender,
persekongkolan tender berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
BAB III Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, pada
bab ini penulis akan membahas gambaran umum putusan yang
akan diteliti. Bab ini berisi Peranan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Dalam Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia,
Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan
Pembatalan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
BAB IV Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 241
K/Pdt.Sus-KPPU/2014, pada bab ini akan dipaparkan hasil
penelitian yakni bagian pertama, menelaah Putusan Mahkamah
Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang terdiri dari posisi
kasus, aspek materil dan formil perkara. Bagian kedua,
mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan atas putusan
Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 tentang
BAB V Penutup, berisi kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian
sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan
saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian
23 BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN
PERSEKONGKOLAN TENDER
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian hukum persaingan
usaha, baik dari segi perkembangannya maupun berbagai peraturan yang
mengikat di Indonesia. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai 2 pendekatan
yang menjadi acuan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, untuk
menanggulangi persaingan usaha tidak sehat yaitu pendekatan Per se Illegal
dan Rule of Reason. Di pembahasan terakhir bab akan dipaparkan pengertian persekongkolan tender dilihat dari segi teoritis dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
A. Pengertian dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha
1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Persaingan mensyaratkan suatu iklim usaha yang kondusif, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, di mana para pelaku dipandang saling
beroposisi.1 Hukum persaingan usaha bertujuan mengawal rivalitas tersebut. Persaingan (competition) dalam bahasa Inggris didefinisikan
sebagai “rivalry between two or more businesses striving for the same
customer or market”, (ada dua usaha atau lebih yang terlibat dalam upaya
saling mengungguli).
1
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha
adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
persaingan usaha. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam,
perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan dari para ahli
hukum persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang
berjudul “Hukum Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan hukum
persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun
secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, mengatur persaingan
sedemikian rupa, sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan
monopoli.
Beranjak dari pengertian di atas,2 maka yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur
mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha,
mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dari pernyataan tersebut, penulis melihat
berdasarkan teori bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum
Satjipto Rahardjo. Menurutnya hukum tidak akan dapat bekerja dan
menjadi kumpulan kata-kata kosong jika tidak diterapkan kepada
masyarakat. Tolak ukur suatu hukum telah bekerja di masyarakat dapat
dilihat dari fungsi hukum di masyarakat, yakni sebagai kontrol sosial dan
sebagai alat untuk mengubah masyarakat.
2
2. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia
Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa
iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan,
dimana Indonesia telah membangun perekonomiannya tanpa memberikan
perhatian yang memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar
persaingan. 3Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab
rapuhnya perekonomian di Indonesia selama ini adalah para pelaku bisnis
yang tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah
bahwa Undang-Undang tersebut dibuat untuk menjaga kepentingan umum
dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif, mencegah
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.4 Namun sering muncul kesan dikotomi (pemisahan) dalam mempersepsikan publik, yaitu
konsumen di satu pihak, yang dipersepsikan sebagai masyarakat umum/
kepentingan umum, dan dunia usaha berada di sisi yang lain. Pandangan
itu perlu dihilangkan karena undang-undang ini dilahirkan untuk menata
3
Agus Maulana, Pengantar Mikro Ekonomi, Jilid II (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 2000), h. 4.
4
dan melindungi kepentingan publik dalam arti keseluruhan.5 Secara yuridis tujuan persaingan usaha diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
usaha Tidak Sehat sebagai berikut :6
1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen
2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat
3. Menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap
orang
4. Mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
5. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemikiran yang demokrasi ekonomi perlu diwujudkan untuk
menciptakan ekonomi yang sehat, maka disusunlah Undang-Undang
tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dapat
menegakkan hukum dan dapat memberikan perlindungan yang sama bagi
setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang
sehat. Ketentuan hukum ini terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
5 Rakhmadewi Rosalifa Jihad, “Penanganan Persekongkolan Tender oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Ilmiah, (Maret 2013): h.4.
6
1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu) tahun
sejak diundangkan.7
3. Peraturan Tentang Persaingan Usaha di Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang pada dekade terakhir ini
mengalami kemajuan yang cukup pesat, walaupun kemajuan tersebut
ditandai masa-masa cukup sulit.8 Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan negara Indonesia merupakan pembangunan yang dilakukan
secara menyeluruh serta menyentuh segenap aspek hidup masyarakat,
dalam arti tidak hanya menitikberatkan pada satu bidang tertentu saja.
Pembangunan pada bidang ekonomi merupakan penggerak utama
pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus disertai upaya
saling memperkuat, serta terpadu dengan pembangunan bidang lainnya.
Dalam hal ini Hukum Anti Monopoli akan mengatur setidaknya
kelompok-kelompok praktik ataupun segala bentuk kondisi yang
menghalangi berlangsungnya kompetisi wajar di pasar, yaitu:9
a. Persekongkolan yang bersifat restriktif.
b. Praktik-praktik usaha tidak wajar yang merugikan konsumen.
7
Ningrum Natasya Sirait, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Gramedia, 2010), hal. 1.
8
Johannes Ibrahim, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h.23.
9
c. Merger dan posisi dominan di pasar.
d. Perangkapan jabatan di berbagai perusahaan.
e. Penyalahgunaan posisi dominan di pasar.
f. Pengaturan tentang pengecualian-pengecualian
g. Badan pengawas yang independen.
h. Penalti atau hukuman.
Isi Undang-Undang Anti Monopoli (Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak
Sehat) ini sesuai dengan standar internasional, yaitu sebagai berikut:
a. Melarang perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli atau persaingan tidak sehat (Pasal 4, 7 s.d. 9, Pasal
10 s.d. 14, 22, 23).
b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga
konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi dan
know-how (Pasal 5, 6, 15, dan Pasal 50 huruf b).
c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang
menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau
persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s.d. 29).
d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau
penerima barang dengan cara menyalahgunakan posisi
dominan di pasar (Pasal 17 dan 18).
e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan
penolakan melakukan hubungan usaha Pasal 7, 8, 16, 19, s.d.
21)
B. Pengertian Persekongkolan Dalam Hukum Anti Monopoli
Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam
persekongkolan (conspiracy/konspirasi) terdapat kerjasama yang melibatkan
dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan
melawan hukum.10 Istilah persekongkolan (conspiracy) pertama kali ditemukan pada Antitrust Law di USA yang didapat melalui Yurisprudensi
Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat, berkaitan dengan ketentuan Pasal 1
The Sherman Act 1890, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan ; “…..
persekongkolan untuk menghambat perdagangan ….. (….conspiracy in restraint of trade…..) ”. Mahkamah Tertinggi USA juga menciptakan istilah “concerted action” untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal
menghambat perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan
pada persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya
dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian di USA
itulah, maka persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang
konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan.
Secara yuridis pengertian persekongkolan usaha atau conspiracy ini
diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat, yakni “sebagai bentuk kerjasama
10
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud
untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol“.11
Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus dibuktikan
dengan adanya perjanjian, tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lain yang tidak
mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian.
Terdapat 3 (tiga) bentuk kegiatan persekongkolan yang dilarang oleh UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha
Tidak Sehat, yaitu:
1. Persekongkolan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang
tender (Pasal 22),
2. Persekongkolan untuk memperoleh/membocorkan rahasia dagang
(Pasal 23),
3. Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran
produk (Pasal 24).
C. Konsep Pendekatan Per se Illegal dan Rule of Reason dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Secara prosedural, dalam melarang kegiatan yang mengakibatkan
timbulnya monopoli, dikenal dua pendekatan. Pertama, pendekatan per se
(dalam beberapa buku dikenal per-se illegal), yakni pendekatan yang melarangnya secara tegas, bahwa dengan hanya melakukan tindakan yang
11
dilarang, demi hukum tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat
mengakibatkan…”.12
Kedua, pendekatan rule of reason, yaitu bahwa dengan telah terbukti dilakukannya tindakan yang dilarang tersebut saja, tidak otomatis tindakan
tersebut sudah bertentangan dengan hukum, tetapi harus dilihat dulu
sejauhmana akibat dari tindakan tersebut menimbulkan monopoli atau akan
mengakibatkan kepada persaingan tidak sehat.13 Kedua pendekatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menghindari terjadinya kerugian pada
konsumen dan berupaya agar tindakan pelaku usaha tidak menghambat
persaingan usaha.
1. Pendekatan Per se Illegal
Menurut Dr. Sutrisno Iwantono, MA dalam tulisannya yang berjudul
“ Per se Illegal dan Rule of Reasondalam Hukum Persaingan Usaha” yang
dimaksud dengan per se illegal adalah suatu perbuatan yang bersifat dilarang atau illegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan yang bersifat dilarang tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan tersebut.
Dengan kata lain Prinsip pendekatan per se illegal adalah suatu
12 (Hukum Online, “Pentingnya prinsip
per se illegal dan rule of reason di UU
Persaingan Usaha”, artikel diakses pada 3 Mei 2016 dari http : // www.Hukumonline.com /klinik /detail /lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha.
13
pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha,
dimana prinsip ini menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu.
Larangan-larangan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para
pelaku usaha.14 Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga tidak perlu lagi
melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya prinsip Per Se
melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan
hukum.
2. Pendekatan Rule of Reason
Pendekatan ini adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga
otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat
perjanjian, guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut
bersifat menghambat atau mendukung persaingan.15 Artinya, penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan
itu telah menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
karena titik beratnya adalah unsur materil dari perbuatannya.
14
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori Dan Praktiknya Di Indonesia) , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 72.
15
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan “Rule of Reason”dan “ Per Se Illegal dalam Hukum
Ketika menggunakan teori rule of reason, pelaksanaan dari suatu tindakan yang dilarang perlu dibuktikan lebih dahulu, sampai beberapa
jauh tindakan yang merupakan anti persaingan tersebut akan berakibat
kepada pengekangan persaingan pasar yang menyebabkan persaingan
usaha tidak sehat. Substansi penerapan rule of reason dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat tergambar dari konteks kalimat yang membuka
alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu akibatnya secara keseluruhan. 16
Jadi, tidak seperti teori per se illegal, dengan memakai teori rule of reason tindakan yang dilarang tidak otomatis bersalah, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataan terbukti telah dilakukan.
Kecuali ditentukan sebagai per se illegal, berdasarkan doktrin per se, kepatutan atau ketidakpatutan dari hambatan perdagangan ditentukan
secara rule of reason. Kepatutan perdagangan ditentukan berdasarkan asas hukum dan kewajiban untuk menerapkan kepentingan umum yang termuat
dalam peraturan perundang-undangan.
D. Pengertian Persekongkolan Tender
Secara filosofis, pengertian kejahatan bisnis mengandung makna bahwa
telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat ketika suatu kegiatan bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga merugikan
16 Alum Simbolon, “Pendekatan yang Dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Menentukan Pelanggaran dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum no.2
kepentingan masyarakat luas, seperti penanaman modal dalam sektor swasta
yang padat karya.17 Perubahan nilai tersebut membuktikan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran demi untuk
mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Black’s
Law Dictionary, persekongkolan dapat juga diartikan sebagai penyatuan maksud antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati
tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama. Hal ini
terdapat dalam Al-Quran QS. An-Nisa (4): 29, Allah SWT berfirman:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekongkolan berasal dari
kata “sekongkol”, sekongkol diartikan sebagai orang-orang yang turut serta
berkomplot melakukan kejahatan (kecurangan)18. Persekongkolan juga kerap disamakan dengan kolusi (collusion), yaitu sebagai, “A secret agreement between two or more people for deceitful or produlent purpose”, yang
17
Romli Atmasasmita, Pengaturan Hukum Kejahatan Bisnis (Business Crime), (Bogor: Kencana, 2003), h. 34.
18
diartikan bahwa dalam kolusi adalah sebuah perjanjian rahasia yang dibuat
oleh 2 (dua) pihak atau lebih dengan bermaksud berbohong atau penggelapan
yang sama artinya dengan konspirasi dan cenderung berkonotasi negatif.
Persekongkolan mempunyai karakteristik tersendiri, karena dalam
persekongkolan (conspiracy) terdapat kerja sama yang melibatkan dua atau lebih pelaku usaha yang secara bersama-sama melakukan tindakan melawan
hukum.19 Mahkamah Tertinggi USA menciptakan istilah concerted action
untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal menghambat
perdagangan, dan kegiatan saling menyesuaikan berlandaskan pada
persekongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat
disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan pengertian diatas,
persekongkolan merupakan suatu perjanjian yang konsekuensinya adalah
perilaku yang saling menyesuaikan dalam melancarkan aksi kecurangan
mereka (conspiracy is an agreement which has consequence of concerted action).
Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian
tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan.20 Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses
tender akan memborong, mengadakan, atau menyediakan barang/atau jasa
19
Dayu Padmara Rengganis, Hukum Persaingan Usaha Perangkat Telekomunikasi dan Pemberlakuan Persetujuan ACFTA, (Bandung: P.T.Alumni,2013),h.38
20
yang dikehendaki oleh pemilik pekerjaan dengan berbagai syarat yang harus
dipenuhi berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh pihak terkait.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peresekongkolan
tender adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan
maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian /kesamaan tindakan
(concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun
mengetahui atau sepatutnya mengetahi bahwa tindakan tersebut dilakukan
untuk mengatur dalam rangka memenangkan perserta tender tertentu.21
E. Persekongkolan Tender Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999
Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat,22 yang dimaksud dengan larangan dalam hal ini adalah apabila pelaku usaha
bersekongkol dengan pihak lain, baik pihak penyelenggara tender yang dilakukan oleh pemerintah/swasta atau pelaku usaha yang turut terllibat dalam
tender itu bertindak seolah-olah sebagai pesaing. Padahal ia sebagai pelengkap atau pelaku usaha semu yang bersepakat untuk menentukan pelaku usaha yang
21
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 150.
22
akan memenangkan tender. Tindakan persekongkolan tersebut menurut Pasal
22 dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu
persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan
persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga jenis
persekongkolan tersebut.
1) Persekongkolan Horizontal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia
barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan
jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai
persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta
tender.23
2) Persekongkolan Vertikal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau
beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia
tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau
pemberi pekerjaan.Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana
panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau
pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau
beberapa peserta tender.
23
3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal
Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia
lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan
dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini
dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender.
Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik
panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan
39 BAB III
PEMBATALAN PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Gambaran umum akan persaingan usaha dan persekongkolan tender
yang telah dijelaskan sebelumnya akan berhubungan dengan sengketa dalam
penulisan skripsi ini. Sengketa yang diangkat adalah tentang Putusan
Mahkamah Agung Nomor 241 K/Pdt.Sus-KPPU/2014 yang membatalkan
Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2012. Untuk itu, pada BAB III ini akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai peran KPPU dalam menegakan hukum di
Indonesia, pelaksanaan putusan KPPU, dan pembatalan putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
A. Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penegakan Hukum
Persaingan di Indonesia
Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara
komplementer (state auxiliary organ) yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat untuk melakukan penegakan
hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok
(eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga disebut dengan lembaga
negara (quasi) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi.1
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 (UU
Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal
34 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan usaha Tidak Sehat yang menginstruksikan bahwa pembentukan
susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan
Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75 Tahun
1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
Dengan demikian, penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha
berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak
ada lembaga lain yang berwenang menangani perkara monopoli dan
persaingan usaha. Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga
diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. Pengadilan Negeri
diberi wewenang untuk menangani keberatan terhadap putusan KPPU dan
menangani pelanggaran hukum persaingan yang menjadi perkara pidana
karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in kracht. MA diberi
kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum persaingan
apabila terjadi kasasi terhadap keputusan Pengadilan Negeri tersebut.
KPPU memiliki tugas dan tanggung jawab yang diemban dalam
menjalankan tugasnya sebagai pengawas yang telah di tunjuk oleh Presiden
1Budi L. Kagramanto, “Implementasi Undang
Republik Indonesia. KPPU memiliki tujuh tugas. Pertama, melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Kedua, melakukan penilaian terhadap
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Ketiga,
melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 28.
Keempat, mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Kelima, memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Keenam, menyusun pedoman
dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Ketujuh,
memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat.2
KPPU memiliki duabelas wewenang. Pertama, menerima laporan dari
masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kedua, melakukan penelitian
2 Beny Pasaribu, “Regulasi dan Persaingan Sehat Dalam Sistem Ekonomi Indonesia”,
tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Ketiga, melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap
kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh
Komisi sebagai hasil penelitiannya. Keempat, menyimpulkan hasil
penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kelima, memanggil pelaku
usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini.
Keenam, memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap
orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini. Ketujuh, meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan
huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi. Kedelapan,
meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini. Kesembilan, mendapatkan, meneliti, dan atau
menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau
pemeriksaan. Kesepuluh, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Kesebelas,
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
Keduabelas, menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.3
B. Pelaksanaan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Putusan perkara monopoli dan persaingan usaha yang dapat dieksekusi
adalah putusan condemnatoir yang menyatakan bahwa pelaku usaha
melanggar Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dan karenanya dijatuhi sanksi.
Sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Komisi hanyalah sanksi administratif dan
pengenaan denda, sedangkan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dapat
menjatuhkan sanksi pidana maupun ganti rugi dan pidana denda.
Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk implementasi terhadap
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, wajar kiranya ketentuan bahwa setiap