• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyimpanan buah duku terolah minimal dalam kemasan atmosfer termodifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyimpanan buah duku terolah minimal dalam kemasan atmosfer termodifikasi"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Adnan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penyimpanan Buah Duku Terolah Minimal Dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil penelitian berupa gambar, tabel, listing program dan analisis penulis boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya.

Bogor, September 2006

(3)

ADNAN. Minimally Processed Lanzone Under Modified Atmosphere Packaging (MAP) Storage. Under the direction of HADI K. PURWADARIA and USMAN AHMAD

Minimally processed lanzone is an alternative to serve fresh lanzone. The research objective was to determine appropriate modified atmosphere packaging condition that can extend the shelf life of minimally processed lanzone. The results indicated that appropriate atmosphere composition for storing minimally processed lanzone were 9-11% O2 and 4-6% CO2 at 15 0C. Minimally processed

(4)

Termodifikasi. Dibimbing oleh HADI K. PURWADARIA dan USMAN AHMAD.

Buah duku terolah minimal dapat dijadikan alternatif penyajian dari buah duku segar. Kulit buah duku yang diolah secara minimal dikupas sebagian atau seluruhnya sehingga konsumen dapat melihat secara langsung mutu daging buah. Penerapan metode seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepuasan konsumen karena dapat mengetahui secara langsung mutu daging buah duku yang akan dikonsumsinya serta mengurangi susut pascapanen akibat pencoklatan kulit buah.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji karakteristik laju respirasi buah duku terolah minimal pada beberapa tingkat suhu penyimpanan (15 0C, 20 0C dan suhu ruang) dan bentuk buah terolah minimal, menentukan komposisi atmosfer termodifikasi dan suhu penyimpanan, memilih jenis film kemasan atmosfer termodifikasi, serta menentukan umur simpan buah duku terolah minimal dalam kemasan film terpilih.

Hasil penelitian menunjukkan laju respirasi buah duku terolah minimal yang terendah terjadi pada suhu 15 0C. Laju respirasi pada suhu tersebut untuk buah duku setengah kupas melintang adalah 58.39 CO2 ml/kg.jam dan 53.07 O2

ml/kg.jam; buah duku setengah kupas membujur adalah 50.51 CO2 ml/kg.jam dan

47.41 O2 ml/kg.jam; serta buah duku kupas penuh adalah 53.56 CO2 ml/kg.jam

dan 49.37 O2 ml/kg.jam. Berdasarkan pola respirasi, buah duku utuh dan terolah

minimal tergolong buah klimakterik. Komposisi atmosfer yang disarankan untuk penyimpanan buah duku terolah minimal adalah 9-11 % O2 dan 4-6 % CO2. Jenis

kemasan stretch film menghasilkan mutu buah duku terolah minimal yang lebih baik daripada kemasan polipropilen.

(5)

Adnan

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magíster Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

NRP : F051040101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi K. Purwadaria Ipm Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(7)

Buah duku (Lansium domesticum Corr.) merupakan salah satu buah tropis yang digemari konsumen karena mempunyai cita rasa yang unik dan hanya terdapat pada saat tertentu saja. Permasalahan pascapanen yang dihadapi oleh komoditi buah duku adalah warna kulit buah cepat berubah menjadi berwarna coklat dalam waktu 4-5 hari setelah panen dan menjadi tidak laku lagi jika dipasarkan. Konsumen cenderung menolak buah duku setelah terjadinya perubahan warna tersebut. Penyajian buah duku dalam bentuk buah duku terolah minimal yang disimpan dalam kemasan atmosfer termodifikasi pada penelitian ini dicoba dieksplorasi untuk menyiasati penolakan konsumen. Teknologi pascapanen ini diharapkan dapat mengurangi kehilangan pascapanen yang disebabkan oleh perubahan warna kulit tersebut dengan membuang bagian kulit buah duku sehingga konsumen dapat melihat langsung kualitas buah yang akan dibelinya. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas alternatif penggunaan teknologi pascapanen untuk memperkecil kehilangan pascapanen duku pada khususnya dan komoditi hortikultura pada umumnya.

(8)

Nurbariah, Rita Khattir, Indera Sakti Nasution, Kavadya Syska, Asri Aryaning Nugraheni yang telah rela kehilangan waktu istirahat karena menyiapkan buah duku terolah minimal; Hortien 36 Dwigita Setiyowati, Dolyna Dewi dan Khafidzin yang sekali lagi telah membantu, bergadang sampai pagi pada saat pengamatan perubahan mutu; Kemala Syamnis Azhar yang telah mengantar sampel untuk analisis total asam; La Ode Hidayat dan Chaidir Amin atas diskusinya tentang penelitian; Ir. Taufik Gunawan, M.Si, Apriani, SP, M.Si, Tun Maulana, Sp serta Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sumatera Selatan yang telah memfasilitasi sehingga sampel duku yang sulit didapat pada akhirnya diperoleh juga; H. Toyib dan Ir. Nanang Mudjito, MMT yang telah mengizinkan penulis meneliti buah duku milik mereka di saat sulitnya mendapatkan buah duku; Dr. Ir. Sudrajat, MS yang telah memberi kepercayaan penulis sebagai asisten tenaga ahli sehingga hasil materi dan non materi yang diperoleh sangat membantu selama kuliah; teman-teman TPP 2003 dan 2004 yang telah berbagi persahabatan, ilmu dan pengetahuan selama kuliah; Agra Tegar, Junita, Iman Faisal, Putu Indira yang telah menghangatkan hari-hari selama penelitian di Lab TPPHP. Terimakasih serta penghargaan setinggi-tingginya penulis berikan kepada semua pihak lain yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tesis ini. Mudah-mudahan dengan segala kekurangan dan kelebihan tesis ini dapat berguna bagi siapa saja yang memerlukan.

Bogor, September 2006

(9)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 1980 dari ayah Umayah Lutfi Albahry dan ibu Duratun Baisa, merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMUN 50 Jakarta tahun 1999 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2003 penulis lulus dengan mendapat gelar Sarjana Pertanian dengan skripsi berjudul: Pengaruh Pupuk Nitrogen dan Perambatan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Daun Saga Manis (Abrus precatorius L.). Selanjutnya pada tahun 2004 penulis diterima menjadi mahasiswa pascasarjana Program Studi Teknologi Pascapanen Sekolah Pascasarjana IPB.

(10)

ix

Kemasan Atmosfer Termodifikasi ... 12

Buah Terolah Minimal dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi ... 13

Pemilihan Jenis Film Kemasan ... 15

Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan ... 22

Rancangan Percobaan ... 22

(11)

x

Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan ... 35

Kekerasan Buah ... 35

Total Padatan Terlarut ... 36

Perubahan Kecerahan Kulit Buah ... 37

Perubahan Kecerahan Daging Buah ... 39

Penentuan Jenis Film Kemasan ... 40

Perancangan Kemasan Atmosfer Termodifikasi Duku Terolah Minimal ... 41

Penyimpanan Duku Terolah Minimal Dalam Kemasan Film ... 43

Perubahan Konsentrasi Gas CO2 dan O2 dalam Atmosfer Kemasan ... 44

Perubahan Kekerasan Duku Terolah Minimal dalam Kemasan Film ... 45

Perubahan Total Padatan Terlarut Duku Terolah Minimal dalam Kemasan Film ... 46

Perubahan Total Asam Duku Terolah Minimal dalam Kemasan Film ... 47

Perubahan Kecerahan Kulit Buah Duku Terolah Minimal dalam Kemasan Film ... 48

(12)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(13)

xii Halaman

1 Ekspor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 ... 1

2 Impor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 ... 1

3 Produksi duku di Indonesia ... 3

4 Luas panen, produksi dan produktifitas duku di Indonesia ... 4

5 Kandungan kimia per 100 g buah duku ... 6

6 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan (ml-mil/m2 jam atm) (Gunadnya, 1993) ... 17

7 Laju respirasi rata-rata (ml/kg.jam) dan RQ duku utuh dan terolah minimal ... 31

8 Perubahan kekerasan duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 36

9 Perubahan total padatan terlarut duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 37

10 Perubahan kecerahan kulit buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 38

11 Perubahan kecerahan daging buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 39

12 Berat duku utuh dan terolah minimal yang dapat dikemas dalam kemasan stretch film ... 42

(14)

xiii Halaman

1 Kurva beberapa film kemasan dan udara (Gunadnya, 1993) ... 16

2 Buah utuh (A), setengah kupas membujur (B), setengah kupas melintang (C) dan kupas penuh (D) ... 21

3 Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C ... 28

4 Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C ... 28

5 Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C ... 29

6 Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C ... 29

7 Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang ... 30

8 Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang ... 30

9 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang selama

penyimpanan pada suhu 15 0C ... 34

10 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang selama

penyimpanan pada suhu 20 0C ... 34

11 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang selama

penyimpanan pada suhu ruang ... 35

12 Kurva beberapa film kemasan dan udara dengan daerah modifikasi atmosfer duku utuh dan terolah minimal ... 41

13 Grafik perubahan konsentrasi CO2 dan O2 pada kemasan stretch film .... 44

14 Grafik perubahan konsentrasi CO2 dan O2 pada kemasan polipropilen ... 44

(15)

xiv 17 Perubahan total asam buah duku utuh dan terolah minimal dalam

kemasan film ... 48

18 Perubahan kecerahan kulit buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film selama penyimpanan suhu 15 0C ... 49

19 Perubahan kecerahan daging buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film selama penyimpanan suhu 15 0C ... 50

20 Perubahan kesukaan kekerasan pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 51

21 Perubahan kesukaan aroma pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 52

22 Perubahan kesukaan rasa pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 52

23 Perubahan kesukaan warna kulit buah pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 53

24 Perubahan kesukaan warna daging buah pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 54

25 Perubahan kesukaan secara keseluruhan pada uji organoleptik duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan film ... 54

26 Kondisi duku utuh dan terolah minimal pada penyimpanan hari ke-0 dalam kemasan terpilih ... 57

27 Kondisi duku utuh dan terolah minimal pada penyimpanan hari ke-1 dalam kemasan terpilih ... 57

28 Kondisi duku utuh dan terolah minimal pada penyimpanan hari ke-2 dalam kemasan terpilih ... 58

29 Kondisi duku utuh dan terolah minimal pada penyimpanan hari ke-3 dalam kemasan terpilih ... 58

30 Kondisi duku utuh dan terolah minimal pada penyimpanan hari ke-4 dalam kemasan terpilih ... 59

(16)

xv 33 Perubahan mutu kulit buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan dalam kemasan polipropilen ... 60

34 Perubahan mutu daging buah duku utuh dan terolah minimal selama penyimpanan dalam kemasan stretch film ... 61

(17)

xvi Halaman

1 Listing bahasa Basic untuk program pengolah citra ... 70

2 Format uji organoleptik buah duku terolah minimal ... 73

3 Tabel laju respirasi duku utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang (ml/ kg.jam) ... 75

4 Analisis ragam dan uji lanjut laju respirasi rata-rata CO2 duku utuh dan

terolah minimal (ml CO2/ kg.jam) ... 76

5 Analisis sidik ragam dan uji lanjut laju respirasi rata-rata O2 duku utuh

dan terolah minimal (ml O2/ kg.jam) ... 77

6 Tabel perubahan kekerasan (kgf) duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 78

7 Tabel perubahan total padatan terlarut (%Brix) duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan ... 78

8 Perubahan kecerahan kulit buah duku kupas melintang pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan suhu 15 0C ... 79

9 Perubahan kecerahan daging buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan suhu 15 0C ... 79

10 Tabel perubahan konsentrasi CO2 dan O2 (%) buah duku utuh dan

terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 80

11 Tabel perubahan kekerasan (kgf) buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 81

12 Tabel perubahan total padatan terlarut (%Brix) buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 81

13 Tabel perubahan total asam (ml NaOH 0.1 N/100 gram) buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 81

14 Tabel perubahan kecerahan kulit buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 82

(18)

xvii 17 Tabel hasil uji hedonik kekekerasan buah duku utuh dan terolah

minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 84

18 Tabel hasil uji hedonik aroma buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 84

19 Tabel hasil uji hedonik rasa buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 84

20 Tabel hasil uji hedonik warna kulit buah buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 85

21 Tabel hasil uji hedonik warna daging buah duku utuh dan terolah minimal dalam kemasan plastik terpilih ... 85

(19)

Latar Belakang

Komoditas hortikultura merupakan salah satu hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Perkembangan volume dan nilai perdagangan tanaman hias, sayur-sayuran, buah-buahan dan aneka tanaman yang termasuk dalam komoditas hortikultura berfluktuasi setiap tahunnya. Volume ekspor buah-buahan pada tahun 2004 adalah sebanyak 210 182 344 kg, setara dengan nilai US$ 122 836 691 yang merupakan 61.3% dari total nilai ekspor komoditas hortikultura. Sedangkan volume impor buah-buahan adalah sebanyak 393 353 172 kg, setara dengan nilai US$ 224 589 553 yang merupakan 61.7% dari total nilai impor komoditas hortikultura. Perubahan volume dan nilai ekspor dan impor komoditas hortikultura tahun 2002-2004 secara lebih lengkap ditampilkan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Ekspor komoditas hortikultura tahun 2002-2004

No Komoditas

1 Tanaman hias 19,906 12,134 14,672 13,872 15,428 14,446

2 Sayur-sayuran 157,569 56,943 133,042 59,240 114,855 59,466

3 Buah-buahan 225,368 138,373 189,648 131,501 210,182 122,837

4 Aneka tanaman 2,163 2,211 2,775 3,341 3,669 3,631

Total Ekspor 405,006 209,661 340,137 207,954 344,134 200,380

Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Satuan volume dalam 1000 kg, satuan nilai dalam 1000 US$

Tabel 2 Impor komoditas hortikultura tahun 2002-2004

No Komoditi

2 Sayur-sayuran 372,692 115,244 373,461 114,951 434,476 136,137

3 Buah-buahan 274,783 220,253 228,649 195,006 393,353 224,590

4 Aneka tanaman 742 1,904 491 2,232 355 2,007

Total Impor 649,025 338,421 603,420 313,341 829,081 364,077

Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

(20)

Buah dikonsumsi terutama karena dapat memenuhi nilai gizi seperti vitamin, protein dan mineral yang tidak terdapat atau dalam keadaan kurang pada komoditas pangan. Komoditas pangan sebagai sumber makanan pokok cenderung hanya menjadi sumber karbohidrat bagi manusia. Salah satu komoditas hortikultura buah yang banyak diminati oleh konsumen adalah duku (Lansium domesticum L.). Duku merupakan tanaman buah berupa pohon, diduga berasal dari Asia Tenggara bagian barat, mulai dari semenanjung Thailand di sebelah barat sampai Kalimantan di sebelah timur (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menyatakan bahwa duku menjadi salah satu buah-buahan budidaya utama di Asia Tenggara bagian barat serta terdapat dalam jumlah kecil di Vietnam, Burma, India, Sri Lanka, Hawaii, Australia, Suriname dan Puerto Rico. Produksi duku saat ini sudah tersebar secara luas di seluruh pelosok nusantara (Tabel 3). Luas panen, produksi dan produktivitas duku secara nasional tahun 1999-2003 disajikan pada Tabel 4. Luas panen duku pada tahun 2003 telah mencapai 25 198 ha dengan produksi buah sebanyak 232 814 ton dan rata-rata produktifitasnya adalah 9.239 ton/ha.

Selama ini duku umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Konsumsi buah duku segar hanya bisa dilakukan pada musim panen yang berlangsung relatif singkat yaitu bulan Januari-Mei setiap tahunnya. Musim serta lamanya panen duku tersebut berbeda-beda pada setiap lokasi dan setiap tahunnya. Untuk mendapatkan buah duku di luar musim panen, duku yang dikalengkan dapat menjadi suatu alternatif. Tompunu dan Indriaty (1998) meneliti duku kaleng yang diberi zat aditif asam benzoat dan sirup gula yang dapat bertahan selama 3 bulan. Selain itu menurut Malingkas dan Sitorus (1998), duku dapat dijadikan kismis yang dapat bertahan selama 4 bulan dengan penambahan vitamin C dengan konsentrasi 0.3%

(21)

Tabel 3 Produksi duku di Indonesia

No Provinsi Produksi

2001 2002 2003*

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2003

(22)

teknologi pengolahan minimal. Pemakaian pengawet kimia tersebut direduksi seminimal mungkin bahkan tidak dipakai sama sekali disebabkan semakin meningkatnya kesadaran konsumen dalam mengkonsumsi makanan yang bebas dari bahan kimia berbahaya.

Tabel 4 Luas panen, produksi dan produktivitas duku di Indonesia

No Keterangan Tahun

1999 2000 2001 2002 2003

1 Luas Panen (ha) 11,131 16,883 17,232 21,128 25,198

2 Produksi (ton) 69,870 111,248 113,071 208,350 232,814

3 Produktivitas (ton/ha) 6.277 6.589 6.562 9.861 9.239

Sumber: Departemen Pertanian, 2005.

Teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan pengawet kimia untuk memperpanjang umur simpan dalam pengolahan minimal adalah kemasan atmosfer termodifikasi. Menurut Laurila dan Ahvenainen (2002), salah satu kunci keberhasilan dalam pengolahan minimal buah adalah kemasan. Metode kemasan yang paling sering dipelajari untuk menyiapkan buah terolah minimal adalah kemasan menggunakan atmosfer terkendali atau modified atmosphere packaging (MAP).

Prinsip dasar dalam penerapan MAP adalah modifikasi atmosfer diciptakan secara pasif dengan menggunakan bahan kemasan yang baik permeabilitasnya, atau secara aktif dengan menggunakan perpaduan gas tertentu dengan bahan kemasan permeabel. Tujuan kedua prinsip tersebut adalah untuk menciptakan kesetimbangan gas yang optimal dalam kemasan, dimana aktifitas respirasi produk menjadi serendah mungkin dengan tingkat konsentrasi oksigen dan karbondioksida yang tidak sampai merugikan bagi produk (Laurila dan Ahvenainen, 2002).

(23)

Walaupun kulit buah duku telah mengalami perubahan warna menjadi berwarna coklat, mutu daging buah masih tetap layak untuk dikonsumsi (Hatton Jr et al., 1986; Saputra, 1999; Widodo, 2005). Konsumen cenderung menolak buah duku yang kulitnya telah berubah warna menjadi coklat walaupun ada kemungkinan mutu daging buah tetap baik. Perubahan warna kulit buah duku seperti ini akan meningkatkan susut pascapanen jika tidak dilakukan pengolahan pascapanen seperti duku terolah minimal atau duku dalam kaleng.

Metode pengukuran mutu buah duku telah dilakukan secara non destruksi oleh Hendri (2001) dan Rosita (2001). Hendri (2001) melakukan pendugaan buah duku tidak berbiji menggunakan gelombang cahaya tampak berdasarkan aplikasi jaringan syaraf tiruan. Rosita (2001) menggunakan rangkaian alat NIR (Near Infrared Reflektance) untuk memprediksi kadar gula dan kekerasan buah duku. Dalam rangka memperkaya metode pengukuran mutu buah duku, penelitian ini menerapkan teknik analisis citra digital untuk mengukur perubahan warna kulit dan daging buah duku selama penyimpanan. Penerapan analisis citra digital di bidang pertanian sudah banyak dikembangkan untuk pemutuan dan sortasi hasil-hasil pertanian yang salah satunya parameternya berdasarkan pada pengukuran warna seperti jeruk lemon, ribbed smoked sheet, biji kopi dan bunga krisan (Damiri, 2003; Riadi, 2003; Syaefullah, 2004; Sofi’i, 2005). Penggunaan metode-metode mutu tersebut diharapkan dapat memperluas penggunaan teknologi pengukuran mutu hasil pertanian di Indonesia serta menjadi masukan untuk pengembangan sistem sortasi buah duku secara terintegrasi.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kondisi kemasan atmosfer termodifikasi yang sesuai untuk memperpanjang masa simpan buah duku terolah minimal dengan mutu yang masih bisa diterima oleh konsumen. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1 Mengkaji karakteristik laju respirasi buah duku terolah minimal pada beberapa tingkat suhu penyimpanan dan bentuk buah terolah minimal.

2 Menentukan komposisi atmosfer termodifikasi dan suhu penyimpanan. 3 Memilih jenis film kemasan atmosfer termodifikasi.

(24)

Duku

Manfaat dan Kandungan Kimia

Kajian yang dilakukan oleh Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menjabarkan kegunaan tanaman duku. Bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan adalah buahnya, terutama dikonsumsi sebagai buah segar. Buah duku yang tidak mengandung biji dapat dikalengkan dalam larutan sirup. Bagian lain yang bermanfaat adalah kayunya yang berwarna coklat muda, keras dan tahan lama yang dapat digunakan untuk tiang rumah, perabotan dan sebagainya. Kulit buah yang dikeringkan di Philiphina digunakan untuk mengusir nyamuk. Kulit buah duku juga bermanfaat untuk mengobati diare karena mengandung oleoresin. Biji duku digunakan masyarakat malaysia untuk mengobati demam. Kulit kayu duku dimanfaatkan untuk mengobati disentri dan malaria, sedangkan tepung kulit kayunya digunakan untuk menyembuhkan bekas gigitan kalajengking.

Bagian buah duku yang dapat dimakan adalah sekitar 69% dari berat buah. Karbohidrat dalam buah sebagian besar dalam bentuk gula tereduksi, terutama dalam bentuk glukosa. Vitamin yang terdapat dalam buah adalah vitamin B1 dan B2 serta sedikit vitamin C. Nilai energi buah duku adalah 238 kJ/100 g. Kandungan kimia per 100 g buah lainnya ditampilkan pada Tabel 5 (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Tabel 5 Kandungan kimia per 100 g buah duku

Kandungan Jumlah

Air 84 g

Protein * Lemak * Karbohidrat 14.2 g

Serat 0.8 g

Kadar abu 0.6 g

Ca 19 mg

K 275 mg

(25)

Panen

Buah duku dipanen dengan cara pohon dipanjat kemudian tandan buah yang telah matang dipotong menggunakan pisau atau gunting pangkas. Pemotongan tandan buah dilakukan secara hati-hati agar tidak melukai tempat menempelnya tandan dengan pohon, karena kemungkinan pembungaan berikutnya keluar dari tempat tersebut. Penggunaan tangga dalam praktek pemanenan lebih baik daripada dengan cara pemanjatan pohon karena kerusakan tunas bunga yang masih dorman dapat ditekan serendah mungkin. Buah yang dipanen adalah buah yang telah matang penuh (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Kematangan buah dapat dinilai dari perubahan warna kulit. Pemanenan buah yang telah matang dapat meningkatkan kualitas buah setelah panen secara signifikan. Pada umumnya kematangan buah dalam satu tandan hampir bersamaan. Jika kematangan buah dalam satu tandan tidak bersamaan akan menyebabkan kesulitan pada saat panen. Buah sebaiknya dipanen pada kondisi kering, jika dipanen dalam keadaan basah akan menyebabkannya mudah terserang jamur saat dikemas (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

Waktu panen buah singkat, yaitu sekitar 4 bulan di Philiphina dan Thailand pada bulan Juli-Oktober sampai sekitar 8 bulan di Semenanjung Malaysia pada bulan Juni-Februari. Tanaman duku dilaporkan cenderung bersifat biennial di Philiphina. Potensial hasil panen bervariasi. Pohon duku yang berumur 10 tahun dapat menghasilkan buah sebanyak 40-50 kg dan dapat meningkat menjadi 80–150 kg pada umur pohon 30 tahun. Hasil panen maksimum menurut laporan yang ada mencapai 300 kg/pohon. Rata-rata hasil panen per satuan luas lahan di Philiphina adalah 2.5 ton/ha. Sedangkan rata-rata hasil panen di Thailand untuk jenis langsat adalah 3.6 ton/ha dan jenis duku adalah 5.6 ton/ha (Yacoob dan Bamroongrugsa, 1992).

(26)

banyak butir buah yang pecah. Selain itu kulit buah yang basah lebih cepat menjadi coklat dan busuk. Sedangkan jika buah dipanen terlalu siang, maka buah akan cepat kehilangan berat karena penguapan.

Menurut Yacoob dan Bamroongrugsa (1992), duku merupakan buah yang sangat mudah rusak karena kulit buahnya akan berubah menjadi coklat dalam waktu 4 atau 5 hari setelah dipanen. Buah dapat dibiarkan dipohonnya selama beberapa hari menunggu sampai tandan-tandan lainnya juga matang, tetapi walau masih berada dipohonnya buah-buah itu tetap berubah menjadi coklat dan dalam waktu yang singkat tidak akan laku dijual di pasar.

Pascapanen

Sabari (1985) menyarankan sebaiknya buah duku yang telah dipetik ditaruh di dalam ember plastik atau wadah dari anyaman bambu atau rotan. Wadah yang telah berisi penuh buah dikerek ke bawah pohon dengan menggunakan seutas tali. Kemudian buah dikumpulkan dan disortasi di tempat yang tidak terkena sinar matahari dan diberi alas. Sortasi dilakukan terhadap duku yang telah busuk dan pecah. Setelah itu buah duku dikemas menggunakan peti kayu atau karton yang telah diberi alas koran dengan kapasitas 20 kg. Kemasan tersebut disusun di dalam truk yang biasanya berkapasitas 5 ton untuk diangkut ke daerah pemasaran.

Salah satu simpulan dari penelitian Pedro (1936) adalah penyimpanan buah duku secepatnya setelah panen dapat meminimalkan kerusakan buah sebanyak 33-66%. Kerusakan buah akan lebih besar jika dilakukan penundaan penyimpanan selama 2 hari pada suhu kamar. Penelitian yang dilaksanakan oleh Pedro (1936) tentang suhu penyimpanan buah duku, memberikan hasil kisaran suhu penyimpanan terbaik adalah 13-15.5 0C. Buah yang matang pada suhu tersebut dapat bertahan selama 13 hari dengan hanya 9.48% buah yang tidak sesuai kriteria pasar. Pada suhu di atas atau di bawah kisaran suhu tersebut, buah cepat mengalami penurunan mutu.

(27)

serta pada kantung plastik yang terbuka menyebabkan terjadinya pencoklatan kulit dan susut bobot yang lebih banyak.

Hasil kajian Yacoob dan Bamroongrugsa (1992) menyebutkan bahwa penyimpanan buah duku pada suhu 15 °C dan kelembaban nisbi 85-90% serta direndam dalam larutan benomil dengan konsentrasi 4g/l memungkinkan buah bertahan sampai dengan 2 minggu. Simpulan yang didapat dari penelitian Saputra (1999) adalah penyimpanan duku pada suhu 10-15 0C serta dengan perlakuan kemasan plastik berlubang-lubang, kejutan panas pada suhu 50 0C selama 10 detik yang diikuti dengan pencelupan di air dingin pada suhu 10 0C selama 60 detik serta pelapisan lilin dengan konsentrasi 8% dapat memperpanjang umur simpan buah antara 14-20 hari.

McGregor (1987) menggolongkan duku dalam kelompok buah yang sensitif terhadap chilling injury. Kelompok buah tersebut mengalami chilling injury saat ditransportasikan atau disimpan pada suhu di bawah temperatur yang direkomendasikan. Kerusakan seringkali baru terlihat pada saat suhu produk dinaikkan. Duku disarankan untuk disimpan pada suhu 11-14 0C serta pada kelembaban relatif (RH) 85-90% yang diperkirakan dapat bertahan selama 2 minggu.

Penggunaan batu apung sebagai bahan penjerap KMnO4 atau asam askorbat

serta spon dan batu apung sebagai bahan penjerap KMnO4 dan asam L-askorbat

dapat memperpanjang umur simpan duku. Umur simpan duku dapat diperpanjang menjadi 8-11 hari lebih lama dengan menggunakan bahan penjerap terebut jika dibandingkan penyimpanan tanpa kemasan. Penggunaan bahan penjerap tersebut sama baiknya dengan silica gel dan vermi kulit (Widodo, 2005).

Pola respirasi buah duku matang dengan kulit memperlihatkan buah tergolong non-klimakterik. Tetapi pola respirasi buah duku yang belum matang memperlihatkan pola klimakterik. Rata-rata karbondioksida yang dikeluarkan oleh buah duku akan makin menurun sebanding dengan makin matangnya buah. Tingkat respirasi juga makin tinggi dengan makin tingginya suhu penyimpanan (Pedro, 1936).

(28)

sedang mencapai puncak respirasi 54 jam setelah panen. Hal tersebut menunjukkan bahwa buah duku kecil lebih tahan simpan dibandingkan dengan buah duku berukuran besar.

Saputra (1999) menggunakan kombinasi gas N2 85%, CO2 5% dan O2 10%

serta kombinasi N2 85%, CO2 10% dan O2 5% untuk memodifikasi atmosfer

penyimpanan buah duku yang disimpan pada suhu 8 dan 12 0C. Pada kondisi tersebut tidak terjadi perubahan rasa dan aroma yang tidak enak pada daging buah walaupun terjadi perubahan kulit buah dari warna kuning ke warna coklat. Teknologi atmosfer termodifikasi disimpulkan tidak dapat mencegah pencoklatan warna kulit buah duku.

Pantastico et al. (1968) mempelajari perubahan kimia dan fisik buah duku selama penyimpanan dengan suhu rendah dan controlled atmosphere storage

(CAS). Pada umur panen yang sama, buah duku yang lebih kecil mempunyai kadar jus yang lebih rendah tetapi memiliki lebih banyak kadar padatan dan asam jika dibandingkan dengan buah yang lebih besar. Pada kedua kondisi buah panen yaitu buah matang dan belum matang, rata-rata respirasi buah berukuran kecil lebih tinggi jika dibandingkan dengan buah yang berukuran besar. Buah yang diberi perlakuan dengan 0.76% benlate dan disimpan pada kondisi atmosfer 5% O2 dan 0% CO2 serta disimpan pada suhu 14.4 0C tetap dalam kondisi yang baik

setelah lebih dari 2 minggu. Konsentrasi CO2 yang tinggi meningkatkan warna

coklat kulit serta kadar asam buah duku. Pelilinan juga meningkatkan warna coklat pada kulit buah duku sehingga tidak direkomendasikan penggunaannya.

Carangal et al. (1956) menemukan bahwa lebih banyak gula pereduksi daripada gula non-pereduksi pada buah duku. Glukosa, fruktosa, sukrosa dan oligosakarida yang tidak teridentifikasi terdapat dalam buah duku setelah dianalisis menggunakan kertas kromatografi. Glukosa merupakan gula yang dominan dibanding dengan jenis lainnya.

Pengolahan Minimal

(29)

ketergantungan kepada panas sebagai perlakuan pengawetan utama. Menurut Bruhn (2000) dalam Ohlsson (2002), konsumen makin kritis dengan penambahan bahan tambahan sintetik untuk memperlama umur simpan makanan atau meningkatkan karakteristik seperti warna dan rasa. Ohlson (2002) menambahkan bahwa teknik pengolahan minimal dibuat untuk menghadapi tantangan dalam menggantikan metode pengawetan secara tradisional tetapi juga sekaligus dapat mempertahankan kualitas nutrisi dan cita rasa. Sedangkan menurut Gregory (2005), metode baru untuk pengawetan makanan yang dapat menggantikan metode secara tradisional terus berkembang karena sebagian besar konsumen terutama di Amerika Serikat dan Eropa mulai berusaha untuk hidup sehat, alami dan serba organik.

Huxsoll dan Bolin (1989) dalam Laurila dan Ahvenainen (2002) menyatakan bahwa pengolahan minimal buah dan sayur mentah mempunyai dua tujuan yaitu:

1 Mempertahankan produk tetap segar tanpa kehilangan kualitas nutrisi.

2 Memastikan bahwa umur simpan produk cukup untuk membuat distribusi layak dilakukan dalam wilayah konsumsi.

Laurila dan Ahvenainen (2002) selanjutnya menjelaskan bahwa ciri karakteristik pengolahan minimal adalah kebutuhan untuk pendekatan yang terintegrasi, dimana bahan mentah, cara penanganan, pengolahan, pengemasan dan distribusi harus diatur dengan baik untuk membuat umur simpan bertambah selama mungkin. Unit operasi seperti pengupasan dan pengirisan membutuhkan pengembangan lebih lanjut agar dapat bekerja secara lebih halus. Perlakuan kasar selama pengolahan sehingga menyebabkan kualitas produk terganggu tidak dapat ditolelir. Kerusakan dapat dibatasi dengan penggunaan sistem pengemasan aktif dan edibel film dengan permeabilitas yang sesuai dengan laju respirasi buah dan sayur yang merupakan fokus utama arah pengembangan.

Penyiapan Buah Terolah Minimal

(30)

bahkan untuk lebih dari satu minggu maka diperlukan metode pengolahan dan perlakuan yang lebih baik. Langkah-langkah penyiapan buah terolah minimal dirangkum sebagai berikut:

1 Kondisi bahan baku yang baik termasuk varietas, penanaman cara panen dan penyimpanan yang tepat.

2 Penerapan kebersihan, good manufacturing practices (GMP) dan hazards analitic critical control point (HACCP) yang ketat.

3 Temperatur yang rendah selama melakukan pekerjaan.

4 Pencucian dan atau pembersihan yang hati-hati sebelum dan sesudah pengupasan.

5 Penggunaan air yang baik dalam melakukan pencucian.

6 Penggunaan bahan aditif yang ringan selama pencucian untuk disinfektan atau pencegahan warna coklat.

7 Pengeringan yang hati-hati selama pengeringan setelah pencucian. 8 Pemotongan, pengirisan atau pemarutan yang hati-hati.

9 Bahan kemasan dan metode pengemasan yang tepat.

10 Temperatur dan RH yang tepat selama pendistribusian dan penjualan.

Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Salah satu kunci keberhasilan dalam pengolahan minimal buah adalah kemasan. Metode kemasan yang paling sering dipelajari untuk menyiapkan buah terolah minimal adalah kemasan menggunakan atmosfer terkendali atau modified atmosphere packaging (MAP). Prinsip dasar dalam penerapan MAP adalah modifikasi atmosfer dapat diciptakan secara pasif dengan menggunakan bahan kemasan yang baik permeabelnya, atau secara aktif dengan menggunakan perpaduan gas tertentu dengan bahan kemasan yang permeabel. Tujuan keduanya adalah untuk menciptakan kesetimbangan gas yang optimal dalam kemasan, dimana aktifitas respirasi produk serendah mungkin tetapi tingkat konsentrasi oksigen dan karbondioksida tidak sampai merugikan bagi produk (Laurila et al., 2002).

(31)

teknis. Hambatan tersebut terjadi karena kegagalan kemasan film yang biasa digunakan secara umum untuk menyediakan laju pertukaran O2 dan CO2 yang

optimum. Dimensi kemasan, berat produk dan volume bebas bisa dimanipulasi untuk mencapai salah satu dari tingkat konsentrasi O2 atau CO2 yang diinginkan.

Selain itu dimensi kemasan, berat produk dan volume bebas juga bisa dimanipulasi untuk mengatur waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi atmosfer yang mantap.

Hasbullah (1996) merancang sistem pengaturan komposisi gas untuk penyimpanan buah atau sayuran secara atmosfer terkendali serta sistem pengukuran laju respirasi buah atau sayuran. Rancangan ini berguna untuk penentuan kondisi atmosfer terkendali optimum untuk komoditas hortikultura yaitu untuk menentukan laju respirasi pada kondisi atmosfer terkendali dan untuk penentuan permeabilitas film plastik. Penentuan laju respirasi dan permeabilitas film plastik penting dalam sistem penyimpanan komoditas hortikultura baik secara MAP maupun CAS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk gas O2

konsentrasi hasil penetapan mendekati konsentrasi hasil analisis gas kromatografi. Sedangkan hasil penetapan gas CO2 masih berbeda jauh dari hasil analisis gas

kromatografi.

Buah Terolah Minimal dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi

Penelitian buah terolah minimal yang menggunakan kemasan atmosfer termodifikasi sudah banyak dilakukan, diantaranya adalah: Hidayat (2005) yang menyimpulkan bahwa mutu rambutan terolah minimal tanpa kulit dengan biji dikemas menggunakan stretch film serta disimpan pada suhu 10 0C dapat bertahan sampai hari ke-8. Martini (2005) menyatakan bahwa jambu biji terolah minimal tanpa biji lebih disukai daripada dengan biji, dikemas menggunakan wadah styrofoam dan stretch film dengan suhu penyimpanan sebesar 10 0C. Kondisi kemasaan tersebut dapat mempertahankan mutu jambu biji terolah minimal sampai 8 hari.

(32)

dipertahankan mutunya sampai 6 hari. Sunanto (2004) menyarankan potongan buah pepaya untuk disimpan pada suhu 5 0C dengan pengemas stretch film. Pada kondisi tersebut potongan buah pepaya masih dapat diterima oleh panelis sampai hari ke-10. Sedangkan buah melon terolah minimal pada penelitian Yanti (2002) dapat diperpanjang umur simpannya sampai hari ke-16 dengan menggunakan

strecth film yang dikombinasikan dengan suhu penyimpanan 3 0C.

Penggunaan kantung plastik dengan permeabilitas 15 cm3 O2 m-2 bar-1

24 hr-1 dan tekanan atmosfer awal 0 kPa O2 dapat memperlama umur simpan

mikrobiologi buah per yang dipotong kubus menjadi 3 minggu selama penyimpanan (Soliva-Fortuny dan Martin-Belloso, 2003). Simpulan yang dibuat oleh Andrianis (2001) tentang penyimpanan buah durian terolah minimal yaitu suhu terbaik untuk penyimpanan adalah 5 0C dengan laju respirasi paling rendah pada suhu tersebut. Konsentrasi gas O2 dan CO2 yang terbaik untuk penyimpanan

durian terolah minimal adalah 3-5% O2 dan 5-8% CO2.

Habibunnisa et al. (2001) menjelaskan bahwa pada suhu 5±2 0C, labu kuning yang dipotong berbentuk kubus kemudian diberi perlakuan larutan antimikroba yang mengandung 0.2% asam sitrat dan 0.1% potasium serta disimpan dalam kondisi atmosfer termodifikasi menggunakan kantung LDPE (Light Density Polyethilen) dapat bertahan selama 25 hari. Umur simpan tersebut berubah menjadi 10 dan 1 hari jika suhu dinaikkan menjadi 13±2 0C dan 23±2 0C. Menurut Gonzalez-Anguilar et al. (2000), campuran larutan 4-hexylresorcinol (0.001 M) ditambah D-isoascorbic acid (0.5 M) serta potassium sorbate (0.005 M) yang digabung dengan kemasan atmosfer termodifikasi berguna untuk mencegah

browning, kerusakan dan pembusukan mangga terolah minimal yang disimpan pada suhu 10 0C. Penelitian Agar et al. (1999) tentang buah kiwi menghasilkan laporan bahwa potongan segar buah kiwi dapat disimpan selama rentang waktu 9-12 hari jika diberi perlakuan 1% CaCl2 atau 2% Ca Laktat, kemudian disimpan

pada suhu 0-2 0C dengan RH >90% dengan komposisi atmosfer tanpa etilen, 2-4 kPa O2 dan atau 5-10 kPa CO2.

(33)

adalah kekerasan. Sugiarta (1999) menyarankan suku salak segar berpelapis edibel disimpan dalam kemasan white stretch film dengan berat salak 0.40 kg, luas permukaan 0.0198 m2 dan volume bebas 1.80 x 10-4 m3 pada suhu 10 0C.

Budaraga (1998) menyusun standard operational procedure (SOP) untuk mangga arumanis dan salak pondoh terolah minimal. Mangga arumanis umur petik 97 hari setelah diperam 3 hari terpilih untuk buah terolah minimal. Buah mangga arumanis terolah minimal 6 iris per sisi dapat bertahan selama 3 hari pada suhu 10 0C dengan mutu kritis warna (yellowish) dan kekerasan. Sedangkan salak pondoh dipanen pada umur petik 150 hari. Buah salak pondoh terolah minimal dapat bertahan selama 4 hari pada suhu 10 0C dengan mutu kritis warna derajat putih dan kekerasan.

Jeruk besar nambangan terolah minimal dapat bertahan selama 10 hari pada suhu 10 0C dengan menggunakan kemasan polipropilen (PP) isi tiga suku buah dengan berat 159.19 g dan luasan kemasan 151.25 cm2 (Saputera, 1998). Hasil yang didapat dari penelitian Nugroho (1997) adalah peningkatan suhu berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, susut bobot, perubahan warna dan tingkat kebusukan terhadap nenas iris. Perlakuan suhu terbaik adalah pada suhu penyimpanan 5 0C yang dapat disimpan selama 12 hari. Sedangkan jenis irisan tidak berpengaruh nyata terhadap nenas iris. Selanjutnya Sudiari (1997) mendapatkan hasil buah nangka terolah minimal termasuk kategori klimakterik karena terjadi peningkatan laju CO2 secara cepat pada jam ke-190 pada suhu

penyimpanan 10 0C. Konsentrasi campuran gas yang optimal untuk mempertahankan kesegaran buah nangka terolah minimal adalah 4-7% O2 dan

10-12% CO2 yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu 5 0C dengan

menggunakan kemasan stretch film.

Pemilihan Jenis Film Kemasan

Pemilihan film kemasan dengan nilai koefisien permeabilitas tertentu mempengaruhi konsentrasi kesetimbangan gas di dalam kemasan. Gunadnya (1993) menyatakan bahwa ketebalan film polietilen densitas rendah, polipropilen,

oriented polypropilene, polivinil khlorida, stretch film dan white stretch film

(34)

untuk film polietilen densitas rendah, polipropilen, stretch film dan white stretch film adalah 3.60, 2.86, 1.50 dan 1.00. Nilai β merupakan perbandingan koefisien permeabilitas film kemasan terhadap gas CO2 dengan O2. Koefisien permeabilitas

film kemasan berdasarkan penelitian Gunadnya (1993) ditampilkan pada Tabel 6. Kemudian data tersebut diplot dalam kurva film kemasan dan udara pada Gambar 1. Prinsip pemilihan film kemasan adalah setiap daerah MA (modified atmosphere) bahan segar yang dilalui oleh garis kemasan, menunjukkan bahwa film kemasan tersebut sesuai untuk dipilih sebagai pengemas.

Gambar 1 Kurva beberapa film kemasan dan udara (Gunadnya, 1993).

0 3 6 9 12 15 18 21

0 3 6 9 12 15 18 21

Konsentrasi oksigen (%)

Konsentrasi Karbondioksida (%)

Udara

Polietilen densitas rendah

Polipropilen

(35)

Tabel 6 Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan (ml mil/m2 jam atm) (Gunadnya, 1993)

No Jenis Film Kemasan 10

0

Ca) 15 0Ca) 25 0Cb) O2 CO2 O2 CO2 O2 CO2

1 Polietilen densitas rendah - - - - 1002 3600 2 Polipropilen 265 364 294 430 229 656

3 Stretch film 342 888 473 748 4143 6226

Ahmad (2005) menyatakan bahwa pengolahan warna menggunakan model warna red, green dan blue (RGB) sederhana karena informasi warna dalam komputer sudah dikemas dalam model yang sama. Salah satu cara untuk menghitung nilai warna dan menafsirkan hasilnya dalam model warna RGB adalah dengan melakukan normalisasi terhadap ketiga warna pokok. Normalisasi penting dilakukan terutama bila sejumlah citra ditangkap dengan penerangan yang berbeda-beda. Normalisasi dilakukan dengan cara menggunakan persamaan 1, 2 dan 3.

Transformasi dari model warna RGB ke model warna hue, saturation dan

(36)
(37)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada saat musim panen buah duku yaitu Januari sampai dengan Mei 2006. Tempat penelitian di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai dalam penentuan laju respirasi serta komposisi atmosfer penyimpanan terbaik adalah buah duku jenis Rasuan yang dipanen dari Desa Pulau Negara, Kecamatan BP Peliung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Penelitian validasi hasil ditentukan menggunakan buah duku jenis Singosari yang dipanen dari Kelurahan Candi Renggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur karena sulitnya pengadaan bahan baku berasal dari satu lokasi yang disebabkan tidak terjadinya panen raya. Kedua jenis duku tersebut merupakan varietas unggul nasional.

Buah duku dipanen setelah terjadi perubahan warna kulit buah hijau menjadi kuning cerah. Buah duku terlebih dahulu disortasi sesuai kriteria layak panen yaitu kulit buah berwarna kuning cerah, mulus dan tidak berpenyakit atau memar. Kemudian buah duku dibawa ke laboratorium TPPHP dalam pengemas kotak plastik beralaskan koran selama transportasi menggunakan moda angkutan darat dan udara. Buah duku disortasi lebih lanjut setelah sampai di laboratorium TPPHP berdasarkan buah yang telah mengalami pencoklatan kulit, memar atau busuk yang disebabkan oleh transportasi serta terhadap buah duku berukuran abnormal. Bahan lainnya adalah kemasan plastik terpilih, alkohol, lilin (malam), mangkok styrofoam serta gas O2, CO2 dan N2.

Alat yang digunakan selama berlangsungnya penelitian adalah pencampur gas untuk mengatur kombinasi komposisi atmosfer, continous gas analyzer merk Shimadzu tipe IRA-107 untuk mengukur konsentrasi gas CO2 dan Shimadzu tipe

POT-101 untuk mengukur konsentrasi gas O2, refraktometer Atago PR-201 untuk

(38)

Hygrotherm, timbangan digital merk Mettler tipe PM4800 serta rheometer merk Sun model CR-300 untuk mengukur tingkat kekerasan. Selain itu alat-alat pendukung yang digunakan adalah stoples kaca, gelas ukur dan lemari pendingin.

Rangkaian peralatan analisis citra digital digunakan untuk menentukan warna kulit dan daging buah duku. Kamera yang digunakan untuk merekam citra adalah jenis VED digital Charge Coupled Device (CCD). Jarak kamera dengan latar objek adalah 13.8 cm dengan latar objek menggunakan kain berwarna putih. Penerangan menggunakan lampu jenis TL Philips 5 watt sebanyak 4 buah.

Penyiapan Buah Duku Terolah Minimal

Standard operational procedure (SOP) proses pengolahan buah duku segar terolah minimal terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1 Suhu dan kelembaban ruangan kerja dikondisikan pada suhu 18-20 0C dan RH 65-70%.

2 Meja kerja dan semua peralatan yang dipakai disterilkan menggunakan larutan alkohol 96%.

3 Jas laboratorium, masker dan sarung tangan dipakai selama melakukan pengolahan.

4 Buah disortasi berdasarkan buah yang memiliki kulit kuning bersih, tidak mengalami memar atau busuk serta tidak ada cacat fisik.

5 Buah diletakkan di dalam tray plastik kemudian dicuci menggunakan larutan antiseptik. Setelah itu buah ditiriskan dan dikeringanginkan.

6 Buah siap diolah sesuai dengan taraf bentuk buah duku terolah minimal yang diinginkan menggunakan pisau yang disterilkan menggunakan alkohol 96%.

Tahapan Penelitian

Pengukuran Laju Respirasi

Rancangan Percobaan

(39)

penyimpanan dengan taraf faktor: 1) suhu 15 0C, 2) suhu 20 0C dan 3) suhu ruang.

Gambar 2 Buah utuh (A), setengah kupas membujur (B), setengah kupas melintang (C) dan kupas penuh (D).

Prosedur Penelitian

Pengukuran laju respirasi dilakukan dalam wadah stoples kaca. Perlakuan buah utuh, setengah kupas melintang, setengah kupas membujur dan kupas penuh dimasukkan ke dalam stoples, masing-masing stoples berisi kira-kira 0.3 kg buah. Stoples ditutup rapat dengan tutup plastik, pada celah antara tutup dan ulir stoples dilapisi dengan lilin untuk mencegah keluar masuknya gas CO2 dan O2.

Stoples tersebut kemudian disimpan pada suhu yang berbeda yaitu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang. Untuk pengukuran konsentrasi gas CO2 dan O2 dalam

stoples, dibuat dua lubang pada kedua sisi tutup stoples yang kemudian dihubungkan dengan selang plastik. Pengukuran gas CO2 dan O2 dilakukan setiap

hari sampai buah mengalami kerusakan. Pada hari pertama dilakukan pengukuran setiap 3 jam, hari kedua dan ketiga dilakukan pengukuran setiap 12 jam, hari selanjutnya pengukuran dilakukan setiap 24 jam.

Pengukuran laju respirasi dilakukan secara open system. Pengukuran dilakukan dengan cara membuka lipatan selang plastik pada sisi stoples kemudian selang plastik dihubungkan dengan gas analyzer untuk pembacaan hasil. Setelah pengukuran dilakukan, tutup stoples dibuka dan dihembuskan udara

(40)

menggunakan kipas angin untuk mempercepat komposisi udara dalam stoples kembali normal. Selanjutnya stoples ditutup rapat dan ulir stoples dilapisi dengan lilin serta selang plastik dilipat dan dijepit kembali untuk mencegah keluar masuknya udara dari luar.

Laju respirasi buah duku dihitung berdasarkan persamaan (7):

t

Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan

Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 2 faktor dengan 2 ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan pengolahan minimal dengan taraf faktor: 1) kulit buah dikupas separuh secara melintang dan 2) tanpa kulit buah. Sedangkan faktor kedua adalah komposisi gas yaitu: 1) gas O2 9-11%

dan CO2 9-11%, 2) gas O2 9-11% dan CO2 4-6%, 3) gas O2 4-6% dan CO2 4-6%,

4) gas O2 4-6% dan CO2 9-11% dan 5) gas O2 21% dan CO2 0.03% sebagai

kontrol. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu penyimpanan yang mempunyai laju respirasi terendah serta umur simpan produk terlama dari penelitian laju respirasi yaitu suhu 15 0C.

Prosedur Penelitian

Setiap stoples diisi kira-kira sebanyak 0.2 kg buah duku sesuai dengan perlakuan kemudian dilakukan pengaturan komposisi udara. Gas CO2 dan O2

diisikan ke dalam stoples yang ditutup rapat dan diberi lapisan lilin, sesuai perlakuan komposisi gas yang diberikan dari tabung gas. Kran penutup tabung gas dibuka untuk mengalirkan gas CO2, O2 dan N2 dengan selang melalui flow meter.

(41)

Perlakuan buah duku tersebut kemudian disimpan dalam suhu terpilih dari penelitian sebelumnya.

Pengendalian konsentrasi gas CO2 dan O2 di dalam stoples dilakukan setiap

hari sesuai perlakuan yang ditentukan. Perubahan mutu diamati setiap hari sampai buah mengalami kerusakan. Parameter mutu objektif yang diuji adalah kecerahan kulit dan daging buah, kekerasan daging buah serta total padatan terlarut.

Penentuan Jenis Film Kemasan

Penentuan jenis kemasan film yang tepat untuk buah duku dilakukan berdasarkan penelitian komposisi atmosfer penyimpanan. Hasil komposisi atmosfer terbaik yang dipilih kemudian diplotkan ke dalam grafik hubungan konsentrasi gas O2 dengan gas CO2 pada Gambar 1. Setiap daerah atmosfer

termodifikasi bahan segar yang dilalui oleh garis kemasan menunjukkan bahwa film kemasan tersebut sesuai untuk dipilih sebagai pengemas (Gunadnya, 1993). Jenis film kemasan yang dapat dipilih adalah polietilen densitas rendah, polipropilen, stretch film dan white stretch film.

Perancangan Kemasan Atmosfer Termodifikasi Duku Terolah Minimal

Perancangan kemasan atmosfer termodifikasi buah duku terolah minimal ditentukan berdasarkan data laju respirasi rata-rata pada masing-masing bentuk buah, komposisi gas atmosfer termodifikasi penyimpanan terbaik dan jenis film kemasan yang sesuai. Luas kemasan ditentukan berukuran 11 cm x 18 cm (0.0198 m2). Berat buah yang dapat dikemas dihitung secara teoritis berdasarkan persamaan 8 dan 9 yang disusun Mannaperuma et al. (1989):

(42)

keterangan:

W = berat buah (kg)

R = laju respirasi (ml/kg.jam)

P = permeabilitas film kemasan (mil.ml/ m2.jam.atm) A = luas kemasan (m2)

Perhitungan hasil perancangan bentuk kemasan atmosfer termodifikasi kemudian divalidasi. Validasi hasil perancangan ditentukan dengan penyimpanan buah duku terolah minimal dalam perancangan kemasan dan suhu penyimpanan yang ditentukan dari percobaan sebelumnya. Rancangan percobaan untuk penyimpanan buah duku terolah minimal dalam kemasan atmosfer termodifikasi adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 faktor pada suhu 15 0C. Perubahan mutu diamati setiap hari sampai hari ke-4. Parameter mutu objektif yang diuji adalah kecerahan kulit dan daging buah, kekerasan, total padatan terlarut dan total asam daging buah. Pengujian organoleptik meliputi kesukaan terhadap warna kulit dan daging buah, kekerasan, rasa, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Kondisi penyimpanan yang terpilih adalah perlakuan yang menghasilkan masa simpan terpanjang dimana mutu produk masih diterima oleh panelis.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap perubahan parameter mutu buah duku yang meliputi: 1) pengujian objektif terdiri dari kecerahan kulit dan daging buah, total padatan terlarut, total asam, kekerasan daging buah, 2) pengujian organoleptik terdiri dari kesukaan terhadap warna kulit dan daging buah, kekerasan daging buah, rasa, aroma dan penerimaan secara keseluruhan.

Pengujian Objektif

Kecerahan

(43)

kondisi pencahayaan lampu TL dan latar belakang objek menggunakan kain berwarna putih. Kamera CCD tersebut terhubung dengan program pengolah citra menggunakan bahasa C rancangan Ahmad (2005), kemudian hasil citra ditampilkan pada layar monitor komputer. Pengambilan citra dilakukan dengan posisi buah tampak samping.

Citra buah duku tersebut kemudian disimpan dalam bentuk file extention

TIF yang selanjutnya dikonversi menjadi file BMP menggunakan perangkat lunak pengolah gambar. Pengolahan warna dilakukan dengan cara menggunakan program aplikasi yang dibangun dalam bahasa Basic berdasarkan algoritma yang dikembangkan oleh Ahmad (2005) dan Basuki et al. (2005). Program aplikasi dibuat menggunakan kompiler berbahasa Basic yang disajikan pada Lampiran 1.

Citra yang diolah merupakan citra berwarna. Pengambilan data warna pada citra dilakukan melalui 2 tahap. Tahap pertama, bagian buah yang akan diambil data warnanya diset dalam bentuk kotak. Kemudian pada tahap kedua didapat data RGB untuk kemudian dikonversi menjadi model warna HSI.

Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut diukur menggunakan refraktometer. Daging buah duku diperas untuk didapatkan filtratnya. Filtrat daging buah tersebut diletakkan di atas lensa refraktometer untuk dilakukan pembacaan hasil. Lensa dibersihkan menggunakan air aquades dan dikalibrasi setiap kali dilakukan pembacaan hasil. Total padatan terlarut dinyatakan dalam satuan %Brix.

Total Asam

(44)

total asam yang dinyatakan dalam persentasi asam sitrat berdasarkan persamaan

Pengukuran kekerasan dilakukan menggunakan rheometer. Alat dipasang pada strain 5 mm dengan beban maksimum 2 kg dan menggunakan probe no 4. Bahan ditusuk pada bagian daging suku buah duku dan diulang pada bagian daging suku yang lainnya sebanyak 3 kali. Kekerasan daging buah langsung dapat dibaca pada alat dalam satuan kgf.

Pengujian Organoleptik

Pengujian organoleptik terhadap warna kulit dan daging buah, kekerasan daging buah, rasa, aroma dan penerimaan secara keseluruhan buah duku terolah minimal yang disimpan dalam kemasan atmosfer termodifikasi dilakukan setiap hari berdasarkan uji hedonik dengan skala 1-5 terhadap 10 orang panelis. Skor yang diberikan terdiri dari: 5 (sangat suka), 4 (suka), 3 (netral), 2 (tidak suka) serta 1 (sangat tidak suka). Batas penolakan oleh panelis adalah skor 3. Pengujian organoleptik ini menggunakan panel tidak terlatih. Menurut Soekarto (1981), kelompok mahasiswa dan atau staf peneliti termasuk dalam kategori panel agak terlatih. Panelis dalam kategori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang dinilai karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan tetapi tidak cukup intensif dan teratur. Format uji organoleptik buah duku terolah minimal ditampilkan pada Lampiran 2.

(45)

Laju Respirasi

Perubahan laju respirasi buah duku utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C, 20 0C serta suhu ruang ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 3-8 serta tabel pada Lampiran 3. Perhitungan laju respirasi dimulai dari jam ke-0 yang merupakan jam ke-48 setelah panen. Waktu selama 48 jam tersebut digunakan untuk mentransportasikan buah duku dari lokasi panen, serta pengolahan buah sampai siap dikemas dalam stoples yang tertutup rapat untuk pengukuran laju respirasi pada masing-masing suhu perlakuan.

Perkembangan laju respirasi yaitu produksi gas CO2 buah duku utuh dan

terolah minimal memiliki pola yang unik (Gambar 3-8). Pola produksi gas CO2

seperti ini juga ditemui pada buah duku yang belum maupun sudah matang serta disimpan pada suhu 10, 20 0C dan 27.5 0C (Pedro, 1936); buah duku pada fase immature yang disimpan pada suhu 21 0C (Pantastico et al., 1968); serta buah duku matang baik berukuran besar maupun sedang yang disimpan pada suhu 23 0C, 36 jam setelah panen (Sabari, 1985). Pola laju produksi CO2 buah duku ini

juga serupa dengan pola laju produksi CO2 buah alpukat, mangga, cherimoya serta

sukun (Tucker, 1993; Haard, 1998). Tucker (1993) mengidentifikasikan pola respirasi seperti ini sebagai buah klimakterik. Jadi berdasarkan pola respirasi tersebut tampaknya buah duku termasuk kelompok buah klimakterik.

Pada saat awal penyimpanan, produksi gas CO2 buah duku utuh dan terolah

minimal cenderung berfluktuasi. Fluktuasi ini juga terdapat pada penelitian Pedro (1936) mengenai respirasi buah duku utuh selama 24 jam pertama penyimpanan. Pedro (1936) menjabarkan terdapat kecenderungan laju CO2 untuk meningkat

pada beberapa jam pertama, kemudian menurun, selanjutnya cenderung mendatar pada tingkat tertentu. Selanjutnya Pedro (1936) mengintrepetasikan pola seperti ini karena beberapa aktivitas fisiologi yang merugikan seperti aktivitas enzim katalase dan akibat pencoklatan kulit.

Pola konsumsi O2 pada suhu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang relatif memiliki

(46)

yang sedikit berbeda dari pola respirasi CO2 tersebut mempengaruhi nilai RQ

(Respiratory Quotient) buah.

Gambar 3. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C.

Gambar 4. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 15 0C.

Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

0

Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

(47)

Gambar 5. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C.

Gambar 6. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu 20 0C. 0

20 40 60 80 100 120 140

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

0 20 40 60 80 100

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

(48)

Gambar 7. Laju produksi CO2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang.

Gambar 8. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama

penyimpanan pada suhu ruang. 0

20 40 60 80 100 120 140

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam) Laju Respirasi (ml O2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang Setengah kupas membujur Kupas penuh

0 20 40 60 80 100 120

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi (ml CO2/kg.jam)

Buah utuh Setengah kupas melintang

Setengah kupas membujur Kupas penuh

(49)

Laju respirasi rata-rata dan nilai RQ buah duku utuh dan terolah minimal disajikan pada Tabel 7. Data laju respirasi pada Tabel 7 tersebut digunakan selanjutnya pada penentuan bobot buah yang dapat dikemas pada kemasan plastik terpilih. Nilai RQ merupakan perbandingan antara gas CO2 yang diproduksi

dengan gas O2 yang dikonsumsi. Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan

substrat yang digunakan dalam proses respirasi, kesempurnaan proses respirasi dan derajat proses aerob atau anaerob (Muchtadi, 1992).

Tabel 7 Laju respirasi rata-rata (ml/kg.jam) dan RQ duku utuh dan terolah minimal

Nilai RQ buah utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C serta bentuk buah utuh pada suhu 20 0C memiliki nilai lebih besar dari 1 (Tabel 7). Nilai RQ yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa substrat yang dioksidasi adalah asam-asam organik. Sedangkan nilai RQ buah terolah minimal pada suhu penyimpanan 20 0C serta buah utuh dan terolah minimal pada suhu ruang mempunyai nilai lebih kecil dari 1.

(50)

duku memiliki lemak yang sedikit (Tabel 5). Sedangkan kemungkinan berikutnya bahwa gas CO2 yang diproduksi digunakan dalam proses sintesa juga kecil

karena laju respirasi buah duku yang cukup tinggi dan fakta bahwa buah cepat rusak, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah reaksi perombakan bukan sintesa.

Buah duku relatif cepat mengalami kerusakan. Buah utuh dan setengah kupas melintang yang disimpan pada suhu 15 0C mempunyai umur simpan 87 jam. Laju produksi CO2 pada buah utuh menurun drastis setelah jam ke-87 yang

menandakan bahwa buah utuh telah mengalami pelayuan karena telah melewati puncak klimakteriknya. Laju produksi CO2 pada buah setengah kupas melintang

meningkat secara drastis setelah jam ke-87 sehingga tidak terukur lagi oleh alat. Peningkatan laju respirasi tersebut diduga karena buah telah terserang oleh mikroorganisme. Umur simpan buah duku utuh dan terolah minimal pada suhu 20

0

C dan suhu ruang lebih singkat dibandingkan suhu 15 0C (Gambar 3-8). Puncak klimakterik juga berhasil diamati pada laju respirasi CO2 buah duku setengah

kupas membujur suhu 15 0C, buah duku utuh suhu 20 0C serta buah duku utuh, setengah kupas membujur dan kupas penuh pada suhu ruang.

Kerusakan buah duku yang cepat tersebut, selain diduga karena laju respirasi yang cukup tinggi juga karena serangan cendawan perusak pasca panen. Pedro (1936) mengungkapkan bahwa Rhizopus nigricans menyerang buah duku selama penyimpanan. Serangan cendawan tersebut dapat diperparah jika buah tidak disimpan pada suhu rendah segera setelah dipanen. Buah duku yang disimpan 2 hari setelah panen dapat mengalami kerusakan hingga 79.89%.

Prabawati et al. (1991) juga mendapatkan sejumlah cendawan perusak pasca panen duku seperti Fusaruim sp, Culvularia sp, Cephalosporium sp, Mucor sp, Rhizopus sp dan Mycelia sterilia. Gejala penyakit yang diungkapkan oleh Prabawati et al. (1991) yaitu terjadi pencoklatan kulit buah, busuk ditumbuhi jamur dan busuk berair juga ditemui pada penelitian ini. Umur simpan buah duku pada penelitian Prabawati et al. (1991) dapat bertahan selama 3 hari, pada hari ke-5 buah rusak total dengan tanda kulit buah telah menjadi coklat kehitaman.

(51)

langsung disimpan pada suhu rendah setelah panen. Tetapi pada penelitian ini hal tersebut tidak dapat dilaksanakan karena lokasi panen yang relatif jauh dari laboratorium penelitian serta waktu yang diperlukan untuk pengolahan buah sehingga duku baru dapat disimpan 48 jam setelah panen. Kondisi ini diduga yang menyebabkan paparan cendawan perusak pasca panen sehingga memperpendek umur simpan buah duku.

Untuk menentukan suhu yang digunakan pada penelitian tahap selanjutnya, diputuskan untuk menggunakan grafik perubahan konsentrasi CO2 dan O2 buah

duku pada perlakuan setengah kupas melintang suhu 15 0C, 20 0C dan suhu ruang sebagai acuan (Gambar 9-11). Penentuan ini didasarkan pada kecenderungan grafik laju respirasi CO2 dan O2 buah duku pada perlakuan setengah kupas

melintang lebih rendah jika dibandingkan bentuk olahan minimal lainnya (Gambar 3-8). Perlakuan buah duku setengah kupas melintang ini juga dijadikan sebagai acuan untuk penelitian pada tahap berikutnya.

Umur simpan buah duku setengah kupas melintang pada suhu 15 0C adalah 87 jam, sedangkan suhu 20 0C adalah 75 jam serta suhu ruang adalah 63 jam. Berdasarkan hal tersebut, suhu penyimpanan yang digunakan untuk menentukan komposisi atmosfer penyimpanan adalah suhu 15 0C.

Hasil ini diperkuat dengan uji statistik pada Lampiran 4 dan 5 yang menyatakan bahwa laju respirasi produksi gas CO2 dan konsumsi gas O2 pada

suhu 15 0C lebih rendah daripada laju respirasi pada suhu 20 0C dan suhu ruang. Berdasarkan sidik ragam laju konsumsi O2 rata-rata, terdapat perbedaan nyata

pada suhu penyimpanan tetapi perbedaan tersebut tidak terlihat pada laju produksi CO2. Laju konsumsi O2 rata-rata berdasarkan uji lanjut Duncan, penyimpanan

duku utuh dan terolah minimal pada suhu 15 0C disimpulkan mempunyai laju respirasi rata-rata terendah dan berbeda nyata dengan suhu 20 0C dan suhu ruang. Laju produksi CO2 rata-rata walaupun tidak berbeda nyata, tetapi laju respirasi

(52)

Gambar 9 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu 15 0C.

Gambar 10 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu 20 0C. 0.0

0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81 90

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju R

e

spirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

CO2 O2

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4

0 9 18 27 36 45 54 63 72 81

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

(53)

Gambar 11 Laju respirasi CO2 dan O2 buah duku setengah kupas melintang

selama penyimpanan pada suhu ruang.

Penentuan Komposisi Atmosfer Penyimpanan

Suhu penyimpanan yang digunakan pada penentuan komposisi atmosfer penyimpanan adalah suhu 15 0C. Kemudian bentuk buah yang terpilih adalah buah duku setengah kupas melintang yang memiliki laju respirasi terendah pada bentuk buah duku terolah minimal serta buah duku kupas penuh sebagai kontrol.

Komposisi atmosfer ditentukan didasarkan pada uji kekerasan, total padatan terlarut serta kecerahan kulit dan daging buah duku setengah kupas melintang. Komposisi atmosfer penyimpanan yang terpilih didasarkan pada nilai rata-rata tertinggi pengujian selama penyimpanan.

Kekerasan Buah

Hasil pengamatan uji kekerasan disajikan pada Tabel 8 serta secara rinci pada Lampiran 6. Setelah hari ke-4 penyimpanan, komposisi atmosfer 9-11% O2

dan 4-6% CO2 buah duku setengah kupas melintang mempunyai nilai kekerasan

rata-rata tertinggi yaitu 0.071 kgf kemudian komposisi atmosfer 9-11% O2 dan

9-11% CO2 dengan nilai kekerasan rata-rata tertinggi 0.065 kgf.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6

0 9 18 27 36 45 54 63 72

Waktu Pengamatan (Jam)

Laju Respirasi

CO2 dan O2 (%/jam)

(54)

Menurut Muchtadi (1992), kekerasan buah menurun karena hemiselulosa dan protopektin terdegradasi. Protopektin menurun jumlahnya karena berubah menjadi pektin yang bersifat larut dalam air. Sedangkan Szczesniak (1998) berpendapat perubahan tekstur buah selama penyimpanan terutama disebabkan perubahan lamela tengah dan dinding sel primer yang disebabkan enzim pendegradasi serta pelarutan materi pektin. Kondisi ini mendorong pemisahan sel dan berkurangnya ketahanan terhadap tekanan dari luar.

Tabel 8 Perubahan kekerasan duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Kekerasan

Total padatan terlarut rata-rata buah duku setengah kupas melintang ditampilkan pada Tabel 9 serta secara rinci pada Lampiran 7. Nilai total padatan terlarut buah duku terolah minimal baik pada perlakuan setengah kupas melintang dan kupas penuh mengalami peningkatan selama penyimpanan pada komposisi udara normal yaitu 21% O2 dan 0.03% CO2. Kondisi ini diduga karena daging

buah kehilangan kadar airnya. Dugaan tersebut muncul karena daging buah pada perlakuan komposisi udara normal tersebut terlihat menyusut sehingga tidak direkomendasikan sebagai komposisi atmosfer penyimpanan.

Pada hari ke-4 penyimpanan, buah duku setengah kupas melintang dengan komposisi atmosfer 4-6% O2 dan 4-6% CO2 mempunyai nilai total padatan

(55)

15.63% Brix. Pedro (1936) mendapatkan duku yang disimpan pada suhu 13-15.5

0

C mempunyai total gula 13.386% pada hari ke 10 penyimpanan serta 13.916% pada hari ke 19 penyimpanan. Kemudian Pantastico et al. (1968) memperoleh nilai total padatan terlarut duku yang disimpan pada suhu 14.4 0C selama 10 hari adalah 13.2%.

Tabel 9 Perubahan total padatan terlarut duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Total Padatan

Perubahan Kecerahan Kulit Buah

Tingkat kecerahan yang diwakili oleh nilai intensitas dijadikan sebagai salah satu dasar untuk menentukan komposisi atmosfer penyimpanan terbaik. Intensitas merupakan model warna yang dianggap paling sesuai dengan persepsi manusia dalam memandang suatu warna selain hue dan saturasi (Ahmad, 2005). Nilai intensitas merupakan ukuran tingkat kecerahan objek berkisar antara 0-255. Makin tinggi nilai intensitas suatu objek berarti makin tinggi tingkat kecerahan atau mendekati putih. Sebaliknya makin rendah nilai intensitas suatu objek, objek tersebut cenderung makin gelap atau mendekati hitam. Penurunan nilai intensitas pada kulit buah duku berarti terjadi perubahan warna kuning menjadi berwarna coklat dan hitam. Nilai intensitas rata-rata kulit buah duku setengah kupas melintang pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan suhu 15 0C ditampilkan pada Tabel 10.

Komposisi atmosfer 9-11% O2 dan 4-6% CO2 pada hari ke-4 penyimpanan

(56)

komposisi atmosfer 4-6% O2 dan 9-11% CO2 mempunyai nilai intensitas rata-rata

78.3. Komposisi udara normal mempunyai intensitas rata-rata kulit terendah yang berarti kulit buah lebih gelap dibandingkan pada komposisi atmosfer lainnya. Kondisi ini dapat dipahami karena pada komposisi udara normal terdapat lebih banyak kandungan oksigen sehingga lebih cepat terjadi pencoklatan kulit buah.

Proses pencoklatan yang terjadi pada kulit buah duku diduga merupakan proses enzimatik. Winarno (1983) menyatakan pencoklatan dapat terjadi karena proses enzimatik dan non enzimatik. Selanjutnya Winarno (1983) menjelaskan proses pencoklatan enzimatik memerlukan keberadaan enzim fenol oksidase dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tersebut. Saputra (1999) mengungkapkan perubahan warna kulit buah duku selain karena adanya perubahan pigmen juga disebabkan oleh adanya enzim phenolase yang teroksidasi dan mengakibatkan warna kulit buah menjadi coklat kehitaman. Haard (1998) memberikan beberapa metode alternatif untuk mencegah pencoklatan enzimatik yaitu perlakuan panas, aplikasi sulfit, penambahan keasaman serta pengeluaran oksigen.

Tabel 10 Perubahan kecerahan kulit buah duku terolah minimal pada beberapa komposisi atmosfer penyimpanan

Bentuk Olahan Waktu Penyimpanan

(Hari) Komposisi Atmosfer

Intensitas

Pantastico et al. (1968) menyatakan bahwa komposisi atmosfer 5% O2 dan

0% CO2 dapat menekan pencoklatan kulit buah duku utuh sampai 10.7% dari total

buah setelah 9 hari penyimpanan. Makin tinggi konsentrasi O2 dan CO2

Gambar

Gambar 1  Kurva beberapa film kemasan dan udara (Gunadnya, 1993).
Gambar 4. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 15 0C
Gambar 6. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama penyimpanan pada suhu 20 0C
Gambar 8. Laju konsumsi O2 buah duku utuh dan terolah minimal selama penyimpanan pada suhu ruang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai-nilai kebangsaan tersebut mewujud dalam realita kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk (pluralistik) yang menjadi kesepakatan dalam membangun

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

Tujuan penelitian ini adalah merancang alat pengukur suhu dengan menggunakan mikrokontroler ATMega328, sensor LM35 sebagai sensor suhu dan Modul Micro SD Card Adapter

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan intralingual dengan teknik dasar berupa teknik pilah unsur penentu (PUP), teknik baca markah dan teknik

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan menggunakan Metode Mengajar Latihan untuk meningkatkan hasil belajar Lay Up Shoot

Berdasarkan rumusan masalah peneitian di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui pengaruh layanan bimbingan kelompok melalui teknik

(RUANG TAMU DI RUMAH KELUARGA BI ATANG DI KAMPUNG JELAMBAR. PINTU DEPANNYA DI SEBELAH KANAN, JENDELA SEBELAH KIRI, DI SEBELAH KIRI PENTAS INI, ADA SEPERANGKAT KURSI ROTAN, DI

Pengujian alat dilakukan untuk mengetahui apakah fungsi – fungsi yang telah direncanakan bekerja dengan baik atau tidak. Pengujian alat juga berguna untuk mengetahui tingkat