• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayat Gharibah dan Sujud Tilawah.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ayat Gharibah dan Sujud Tilawah.docx"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gharaib al-Qur’an

Lafadz gharaib berasal dari bahasa arab, yakni bentuk jamak dari lafadzgharibah yang berarti asing, tersembunyi, samar atau sulit pengertiannya.Sedangkan

menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan al qur’an maka yang dimaksud dengan Gharaib al-Qur’an adalah ayat-ayat al qur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti maknanya, seperti lafadz اببأأ dalam ayat 31 dari surat ‘Abasa (اببأأ وب ةةهأككافأوأ).[ 1]

Banyak lafadz dalam ayat-ayat Al-qur’an yang aneh bacaannya. Maksud aneh adalah ada beberapa bacaan tulisan Alqur’an yang tidak sesuai dengan kaidah aturan membaca yang umum atau yang biasa berlaku dalam kaidah bacaan bahasa arab. Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan Alqur’an yang mengandung

kemukjizatan yang sangat tinggi, disinilah letak kehebatannya sehingga kaum sastrawan tidak mampu menandinginya. Dari segi tulisan, mushaf yang kita terima ini tidak ada masalah karena telah dipersatukan tulisannya oleh khalifah Usman.[2] Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas, sesungguhnya Umar bin Khottob RA. membaca ayat

اببأأ وب ةةهأككافأوأ diatas mimbar, lalu beliau berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang apa yang dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir,

kemudian beliau mengembalikan pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah orang arab yang ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang paling fasih serta al qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan bahasanya.

(2)

Menurut Abu Sulaiman al-Khotthobi : Gharib al qur’an adalah suatu hal yang samar dan jauh dari kepahaman. Beliau membagi gharib al qur’anmenjadi dua, yang pertama adalah hal yang jauh makananya serta samar, yang hanya dapat dipahami setelah melalui proses pemikiran yang mendalam. Sedangkan yang kedua adalah perkataan seseorang yang rumahnya jauh dari kabilah arab sehingga jika kalimat tersebut diungkapkan kepada kita (orang arab) maka otomatis kita langsung menganggapnya aneh.

Sedangkan menurut Muchotob Hamzah Gharib al qur'an adalah Ilmu al-qur’an yang membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam al-qur’an yang tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.[4]

Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gharib al-qur’an adalah ilmu yang membahas suatu makna kata dari ayat al-qur’an yang dianggap aneh (tidak cocok) dan sulit dipahami.

B. Macam-macam Bacaan Gharib dalam al-Qur’an

Di dalam al-qur’an banyak dijumpai bacaan gharib, diantara macam-macamnya adalah sebagai berikut:

1. Saktah

Saktah menurut bahasa artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah yaitu berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Di dalam Al-Qur'an ada 4 bacaan saktah, yaitu: (1) Surat al-Kahfi: ayat 1-2, (2) Surat Yasin: ayat 52, (3) Surat al-Qiyamah: ayat 27, dan (4) Surat al-Muthaffifin: ayat 14.[5]Berikut ini contoh-contoh bacaan saktah dalam sebuah ayat yang lengkap:

) اجأوأعك ههلأ للعأجليأ مللأوأ ب أ اتأكك للا هكدكبلعأ ىلأعأ لأ زأنلأأ يذكلبا هكلبلك دهملحأللا 1 ( رأذكنليهلك امةييقأ ) نأ ولهسأ رلمهللا قأ دأ صأ وأ نه مأحل ربلا دأعأوأ امأ اذأهأ انأدكقأرلمأ ن ل مك انأثأعأبأ نل مأ انألأيلوأ ايأ اولهاقأ 52 ( ) قق ارأ نل مأ لأ يقكوأ 27 ( ) نأ وبهسك كل يأ اونهاكأ امأ ملهكبكولهقه ىلأعأ نأارأ للبأ لبكأ 14 (

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz اجةوأعك, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasukwaqaf tamm. Namun apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz امأييقأ sehingga arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.

(3)

menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata امةييقأ dinashabkan sebagai hal(penjelas) dari kalimat اجةوأعك ههلأ للعأجليأ مللأوأ , sedang

Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” ههلأعأجأ “. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata امةييقأ itu badal mufrad dari badal jumlah “اجةوأعك ههلأ للعأجليأ مللأوأ “. Tidak mungkin seorang qari’memulai bacaan (ibtida’) dari امةييقأ, sebagaimana juga tidak dibenarkan

meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.

Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: نه مأحل ربلا دأعأوأ امأ اذأهأ ةتكس انأدكقأرلمأ ن ل مك. Menurut Ad-Darwisy lafadz اذأ هه itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz أ عدأ وأ امأ نه مأحل ربلا . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz اذأ هه itu na’at dari دكقأرلمأ, sedangkan امأsebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu lafadz قح atau اذأ هه. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.

Adapun lafadz نل مأ dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat قق ارأ ةتكس نل مأ dan lafadz لل بأ dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat نأ ارأ ةتكس لل بأ adalah untuk menjelaskan fungsi نل مأ sebagai kata tanya dan fungsi لل بأ sebagai penegas dan juga untuk

memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabilalam dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz نل مأ dan لل بأ dalam kalimat ةتكس نل مأ قق ارأ dan نأ ارأ ةتكس لل بأ mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan

(diidharkan) dengan waqafsaktah.[6] 2. Imalah

Imalah artinya memiringkan bunyi fathah pada kasroh, dan dari huruf alif ke ya’ (Kecenderungan fathah kepada kasrah sehingga seolah-olah dibaca re). Imalah hanya terdapat 1 lafadz dalam Al-Qur'an, yakni surat Huud ayat 41, Juz 12.[7]

) مم يحك رأ رموفهغألأ يبيرأ ن ب إك اهأاسأ رلمهوأ اهأارأجلمأ هكلبلا مك سل بك اهأيفك اوبهكأ رلا لأاقأوأ 41

(

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “اهأىرهجلمأ” diantaranya adalah untuk

(4)

3. Isymam

Isymam yaitu isyarah dlommah di tengah-tengah dengung. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya ada 1, yaitu di surat Yusuf ayat 11, Juz 12.[9]

) نأ وحه صك انألأ ههلأ انبإكوأ ف أ سه ويه ىلأعأ انبمأأل تأ ل كألأ امأ انأابأأأ ايأ اولهاقأ 11

(

yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti halnya

mengucapkan lafadz “انأنهمأألتأ لأ” sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi antara mengucapkan lafadz “انبمأألتأ لأ” dengan mengucapkan “انأنهمأألتأ لأ”. Dengan kata lain, asal dari lafadz “انبمأألتأ لأ” adalah lafadz “انأنهمأألتأ لأ”. Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak dammahnya? Sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut

dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti lafadz asal.[10]

4. Badal (Mengganti)

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan hurufhijaiyah lainnya.[11] Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat Hafs yaitu[12] :

a. Badal ء dengan (يل نكولتهئلا تك وهمهسب لا يفك ي)

Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imamqira’ah sepakat mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (ى). Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4.

ب ببتتتتتت ككبك ىنكو تتتتتتئئ ٱ تكوتمتسستلٱ ىتتفك كككرئشك مئهتلت مئأت

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( ىفك ٱ

تك وأهمأهسسسب سسل ) maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (ىنكوتهسسسيلسسس اك تل وهمهسب سسسلى فكٱ سس ) sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

b. Badal ص dengan س (طه هص بليأوأسسس ٱٱٱٱٱٱ dan ص تص تتتةةتتتتطت ص ئصتتبت )

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ahtermasuk Imam Ashim mengganti ص dengan س pada lafadz طه هص بليأوأسسس ٱٱٱٱٱٱ dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan ص تص lafadz ةةطتص ئصبت dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu طأ سأ بأ

– طه سه بليأ .

Sedangkan pada lafadz رقطك يلصأ مهبك dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ص tetap dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan

(5)

lafadznya, yaitu رهطك يلسأ يه رأط – أ يلسأ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.[13]

5. Ba’ di idgham ke Mim

Yaitu huruf Ba’ Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut. Dalam ilmu tajwid, bacaan ini termasuk bacaan Idgham Mutaqoribain. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di surat Huud ayat 42 Juz 12.[14] ) نأ يركفكاكأ للا عأمأ نلكهتأ لوأ انأعأمأ ب ل كأ رلا يب نأبه ايأ ل ق زكعلمأ يفك نأ اكأ وأ ههنأبلا حمونه ىدأانأوأ لكابأجكللاكأ جقولمأ يفك ملهكبك يركجلتأ يأهكوأ

42 (

6. Naql

Naql menurut bahasa berasal dari lafadz لةقلنأ له قكنليأ ل – أ قأنأ yang artinya memindah, sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf sebelumnya. Yaitu lam alif (ل) dibacakasroh lam-nya , sedangkan kata ismun (مم سل اك) hamzah-nya tidak dibaca.Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu lafadzمه سل للك ا سأ ئلبك dalam surat al-Hujuraat ayat 11 Juz 26.

) نك امأيلا دأ علبأ قه وسه فهللا مه سل لا سأ ئلبك بك اقألللابك اوزهبأانأتأ لوأ 11

(

Alasan dibaca naql pada lafadz مه سل للك ا adalah karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang mengapitlam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.[15]

7. Tiga model bacaan

Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut adalah :

a. Bila washal, Ra’-nya dibaca pendek keduanya.

b. Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat.

c. Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua dibaca sukun (mati).

3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat dalam surat al-Insaan ayat 15-16. [16]

) ارأيركاوأقأ تل نأاكأ بق اوأكل أأوأ ةقضب فك نل مك ةقيأنكآبك مل هكيللأعأ فه اطأ يهوأ 15

) ارةيدكقلتأ اهأورهدبقأ ةقضب فك نل مك رأيركاوأقأ ( 16

(

(6)

Tashil artinya lunak, yakni hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek,

sedangkan hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif. Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat, ayat 44: [17]

) يي بكرأعأ وأ يي مكجأ عل أأأأ ههتهايأآ تل لأصي فه لوللأ اولهاقألأ اييمكجأ عل أأ انةآرلقه ههانأللعأجأ وللأوأ 44

(

Alasan lafadz ىي مكجأ عل اأءأ dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzahqatha’ bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat

melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).[18] C. Cara Menafsirkan Ayat-ayat yang Gharib

Permasalahan ini menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat, sebab saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan

kemasyarakatan serta keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat, sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.

Namun Rasulullah sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.

)

مكحلا هاور ىتكسنبسسه وأ هكللا بأ اـتسكك امأسههدأسعلـب اولسللسضك ـت نل لأ نك سيلسئأسيلسشأ مل سكه يلسفك ته ـكرأـت (

“Aku meninggalkan dua perkara pada diri kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku”.

Hadits ini dikuatkan oleh firman Allah yang tertera pada surat al Nisa’ ayat 59: هكلبلا ىلأإك ههودلرهفأ ءقيل شأ يفك ملتهعلزأانأتأ نلإكفأ ملكهنلمك ركمللا يلكوأهوأ لأوسه ربلا اوعهيطك أأوأ هألبلا اوعهيطك أأ اونهمأآ نأ يذكلبا اهأيلأأ ايأ

) ليوكأل تأ نهسأحلأأوأ رميلخأ كألكذأ ركخكلا مكوليأللاوأ هكلبلابك نأونهمكؤلته ملتهنلكه نلإك لكوسهربلاوأ 59

(

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah persoalan tersebut kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

(7)

- dan ini disebut juga “Ahsana al Thuruq”oleh sebagian ulama - adalah sebagi berikut :

1. Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an Contoh Surat al An’am ayat 82

) نأ وده تأهلمه ملههوأ نه مللا مه ههلأ كأ ئكلأوأه مق للظه بك ملههنأامأيإك اوسهبكلليأ مللأوأ اونهمأآ نأيذكلبا 82

(

Kata ملظ dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.

Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13:

) مم يظك عأ مم للظه لأ كأ رلشيلا نبإك هكلبلابك كلركشلته ل ي ب نأبه ايأ ههظ ه عكيأ وأههوأ هكنكبلل نهامأقلله لأاقأ ذلإكوأ 13

(

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Dari penjelasan Nabi di atas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai berikut: “orang-orang yang beriman dan tidak

mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat

petunjuk”.[19]

2. Menafsirkan al qur’an dengan sunnah rasul

As-Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

ةأنبسه لا ينكعليأ ههعأمأ ههلأثلمكوأ نأ آرقهلا ته يلتكولأه ينيإ لأأأ

(8)

3. Jika tidak ditemukan di dalam hadits maka dicari dalam atsar (pendapat) shahabat.

Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan mereka mampu menemukan

rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun orangnya.[21]

4. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian ulama memeriksa pendapat tabi’in.

Diantara tabi’un ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini denganistinbath (penyimpulan) dan Istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih.[22]

5. Melalui sya’ir

Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-syair dengan kata-kata yang asing bagi al qur’an dan yang musykil (yang sulit)”.

Syair-syair itu bukanlah dijadikan sebagi dasar al qur’an untuk berhujjah melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di al qur’an, karena Allah berfirman dalam surat az Zukhruf ayat 3 “Sesungguhnya Kami menjadikan al-qur’an dalam bahasa arab”.

Syair-syair itu sebagai perbendaharaan bangsa arab. Jika salah satu huruf dalam al qur’an tidak diketahui dalam bahsa arab maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa arab), dan dicari maknanya.

Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata asing di dalam al qur’an maka carilah maknanya pada syair-syair. Sesungguhnya syair-syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.

Contoh: ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh sekelompok kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat, diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayatةليسولا هيلا وغتباو yang ada pada surat al Maidah ayat 35. Kata ةليسولا diartikan oleh Ibnu Abbas dengan

“kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar dari syair yang dikatakan oleh Antarah yang berbunyi[23]:

(9)

Sesungguhnya para laki-laki itu membutuhkanmu Jika mereka hendak mengambilmu

Maka pakailah celak dan semir

D. Faedah Mengetahui Gharaib al-Qur’an

Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-ayat yang gharibat antara lain sebagai berikut:

1. Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat yang sulit dalam pemahamannya itu akan melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.

2. Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat Alqur’an, maka terasa mendalam ketinggian bahasa yang dibawa oleh Alqur’an. 3. Memperoleh keyakinan eksistensi Alqur’an sebagai kalam ilahi. Dengan

diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharibat, maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.[24]

________________________________________

[1]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 267.

[2]Abdul Majid Khan, Praktikum Qira’at (Jakarta: Amzah, 2008), h. 100.

[3]Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz dengan judul Samudra Ulumul Qur’an {Al-Itqan fi Ulumil Qur’an} (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2006), h. 2.

[4]Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur'an Komprehensif (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 167.

[5]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan Guru TPQ Metode Qiraati (Pasuruan: Perc. Plassa 9 Tejowangi, 2005), h. 10.

[6]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat Fii Ghoribi al-Qur’an (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 17-19.

(10)

[8]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 20.

[9]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 8. [10]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 21.

[11]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 4. [12]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 23-25.

[13]Ulin Nuha Arwani, dkk., Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal al-Qur’an (Kudus: BAPENU Arwaniyyah, 2010), h. 42-44.

[14]Ibid., h. 38. [15]Ibid., h. 29-30.

[16]Koordinator Kecamatan Purwosari, Pegangan, h. 14. [17]Ibid., h. 12.

[18]Ar-Raghib al-Ashfahany, al-Mufrodat, h. 28. [19]Nashruddin Baidan, Wawasan, h. 270.

[20]Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), h. 458.

[21]Ali as Shabuni, Al Tibyaan fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan oleh Muhammad Qodirun Nur dengan judul Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 105.

[22]Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi, h. 459.

[23]Al-Syatiby, Al-Muwafaqat (Beirut : Dar al-Ma’rifah, t.t.), h. 18-20. [24]Nasruddin Baidan, Wawasan, h. 270-271.

Pengertian Sujud Tilawah, Tatacara dan Bacaannya ميحكرباا نكمأحلربلاسسسسك امك سسسسسسسسسسسسسسسسسﷲك ل بك

Sujud Tilawah adalah gerakan sujud yang dilakukan ketikamembaca ayat-ayat sajadah dalam Quran. Barangsiapa membaca suatu ayat sajadah atau

(11)

bertakbir lagi untuk bangun dari sujudnya itu. Inilah yang disebut Sujud Tilawah, tetapi tidak perlu membaca tasyahud (bacaan tahiyat) ataupunsalam. Pengertian ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca

disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah.

1. Bacaan Dalam Sujud Tilawah

• Boleh membaca do'a apa saja sekehendaknya, sementara yang diakui berasal dari tuntunan Rasulullah saw. misalnya sebuah hadits dari 'Aisyah r.a., katanya: 'Rasulullah saw. di dalam sujud Tilawah membaca ayat al-Qur'an: دجس

نيقلاخلا نسحأ هللا كرابتف ، هتوقو هلوحب هعمسو هرصب قشو هقلخ يذلل يهجو Sujudlah wajahku kepada Allah. Dzat yang menciptakannya, yang membuka pendengaran serta penglihatannya dengan daya dan Kuasa-Nya. Maka Maha Mulialah Allah, sebaik-baik Dzat Yang Mencipta'."[1].

• Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa”. Artinya: Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi. [2].

2. Keutamaannya

1. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah saw. bersabda:'Apabila seorang anakAdam membaca ayat sajadah, maka menyingkirlah setan sambil menangis dan berkata: Celakalah aku! ia diperintah bersujud lalu sujud, maka untuknyalah surga, sedang saya diperintah bersujud, tetapi saya menolak, maka untukku adalah neraka,'" [3].

2. Diriwayatkan dari Nafi' dari Ibnu Umar r.a., katanya: "Rasulullah saw.

membacakan al-Qur'an untuk kami. Jikalau melalui ayat sajadah terus saja beliau bertakbir dan sujud dan kami pun sujud pula." [4]. Menurut Abu Daud ia pun tertarik pula oleh sebab itu ia pun bertakbir pula.

3. Abdullah bin Mas'ud berkata: "Apabila Anda membaca ayat sajadah, maka bertakbirlah dan sujudlah. Kemudian di waktu mengangkat kepala, maka

bertakbirlah sekali lagi."

3. Hukumnya

(12)

• Ini berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Umar r.a., bahwa ia pada hari Jum'at membaca surat An-Nahl di atas mimbar. Ketika sampai pada ayat as-Sajadah, ia pun turunlah dan sujud, kemudian orang-orang lain pun sujud pula. Pada hari Jum'at berikutnya dibacanya pula surat itu sekali lagi dan ketika sampai pada ayat sajadah, ia berkata: "Wahai manusia, kita bukanlah diwajibkan untuk sujud Tilawah itu, maka barang siapa yang sujud, benarlah ia, sedang yang tidak sujud, tidak pula berdosa."

• Riwayat lain: "Bahwa Allah tidak memfardhukan kita untuk sujud, maka baiknya kita melakukan sekehendak kita saja."

• Jama'ah selain Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Zaid bin Tsabit, katanya: "Saya membaca surat Wan-Najmi di hadapan Nabi saw. tetapi pada ayat sajadah, beliau tidak sujud." Diriwayatkan oleh Daruquthni dan ia berkata: "Juga tidak seorang pun yang sujud di antara hadirin."

• Dan dalam kitab Al-Fath, Hafidz menguatkan pendapat bahwa ditinggalkan sujud itu adalah suatu tanda bolehnya. Demikian pula pendapat Syafi'i. Dikuatkan pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Daruquthni dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Nabi saw. sujud dalam surat Wan-Najmi dan kami pun sujud pula bersama-sama." Hafizh berkata bahwa hadits ini perawi-perawinya dapat dipercaya.

4. Letak Ayat-Ayat Sajadah

Di dalam al-Qur'an, ada 15 tempat - atau ada yang berpendapat 10 - ayat yang memuat ayat-ayat sajadah, untuk mengetahui tulisan dan bunyinya, klik Al-Qur'an Online.

(13)

11. QS Al-Haj ayat 77 12. QS An-Najm ayat 62 13. QS Al-Insyiqaq ayat 21 14. QS Al-Alaq ayat 19 15. QS Shad ayat 28.

Keterangan:

1. Ayat Sajadah Berulang. Jika seseorang membaca atau mendengar lebih dari 1 kali ayat sajadah dalam satu masjid, cukuplah ia sujud satu kali saja dalam bacaan yang terakhir, tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pada bacaan pertama juga sudah mencukupi.

2. Mengqada Sujud Tilawah. Jumhur ulama berpendapat, sekiranya sujud itu diundurkan waktunya, maka tidak gugur kesunahan melakukannya selama tidak terlalu lama jaraknya.

Sebarkan !!! insyaallah bermanfaat.

كيللأﺇك ﺏه ولتهﺃأ ﻭأ ﻙأرهفكغلتأسلﺃأ تأنلﺃأ لبﺇك هألﺇك لأ ﻥلﺃأ دههأشلﺃأ ﻙأدكملحأبكﻭأ مبههلبلﺍ كأنأاحأبلسه “

Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu”

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

– –

رأمكأه ىلكيلوأ ايأ بق يلرأكه ىبكأأ ةكيأاوأرك ىفكوأ ههلأيلوأ ايأ لهوقهيأ ىككبليأ نهاطأ يلشبلا لأزأتأعلا دأجأسأ فأ ةأدأ جل سب لا مأدأآ نه بلا أأ رأقأ اذأإك رهانبلا ىأ لكفأ ته يلبأأأ فأ دكوجهسللابك تهرلمكأهوأ ةهنبجأللا ههلأفأ دأجأسأفأ دكوجهسللابك مأدأآ نهبلا

“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan

(14)

Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.

Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اوجهركخليه نلأأ ةأكأئكلأ مأللا رأمأأأ ركانبلا لكهلأأ نلمك دأارأأأ نلمأ هكتكمأحلرأبك جأركخليه نلأأ دأارأأأوأ دكابأعكللا نأيلبأ ءكاضأ قأللا نأ مك ههلبلا غأ رأفأ اذأإك ىتبحأ

.

ىفك ملههنأوفهركعليأفأ ههلبلا لب إك هألأإك لأ لهوقهيأ نلمبمك ههمأحأرليأ نلأأ ىلأاعأتأ ههلبلا دأارأأأ نلمبمك ائةيلشأ هكلبلابك كهركشليه لأ نأاكأ نلمأ ركانبلا نأمك

دكوجهسل لا رأثأأأ لأكهألتأ نلأأ ركانبلا ىلأعأ ههلبلا مأربحأ دكوجهسللا رأثأأأ لبإك مأدأآ نكبلا نكمك رهانبلا لهكهألتأ دكوجهسللا ركثأأأبك ملههنأوفهركعليأ ركانبلا.

“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara hamba-hamba-Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)

Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”.

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat

memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,

(15)

“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu derajatmu dan juga

menghapuskan satu kesalahanmu”.

Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)

Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دكوجهسل لا ةكرأثلكأ بك كأ سك فلنأ ىلأعأ ىنيعكأأفأ

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:

هكتكهأبلجأ نكاكأمألك اعةضك ولمأ انأضه علبأ ده جك يأ امأ ىتبحأ ههعأمأ دهجهسل نأوأ دهجهسل يأفأ ةمدأ جل سأ اهأيفك ةةرأوسه أه رأقليأفأ نأآرلقهللا أهرأقليأ نأاكأ

(16)

Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.

Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.

Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,

نأ وده جه سل يأ لأ نه آرلقهللا مههكيللأعأ ئأ ركقه اذأإكوأ نأونهمكؤليه لأ ملههلأ امأفأ

“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).

Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.

Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan). Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

(17)

( ) – –

اهأيفك دلجهسل يأ مل لأفأ مك جل نبلاوأ ملسو هيلع هللا ىلص ىي بكنبلا ىلأعأ ته أل رأقأ

“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at.

Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,

هكيللأعأ مأ ثلإك لأ فأ دلجهسل يأ مل لأ نل مأوأ ، بأ اصأ أأ دلقأفأ دأجأسأ نلمأفأ دكوجهسللابك رلمهنأ انبإك سه انبلا اهأيلأأ ايأ

“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, dia tidak

berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no. 1077)

Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakan ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)

Tata Cara Sujud Tilawah

(18)

Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

[Kedua]

Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

[Ketiga]

Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

:

مأ لبسأ وأ هكيللأعأ ههلبلا ىلبصأ يي بكنبلا نل عأ ةهفأورهعلمأللا ةهنبسل لا وأهه اذأهأ لم يلكحلتأ لأوأ مميركحلتأ هكيفك عهرأشل يه لأ نكآرلقهللا دهوجهسه وأ نأ يركوههشل مأللا ةكمبئكللأ ا نلعأ صه وصه نلمأللا وأههوأ فك لأسب لا ةهمباعأ هكيللأعأ وأ

“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)

[Keempat]

Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)

[Kelima]

(19)

ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Dalil mereka adalah: اةدجستست نكاقتذئلتلك نتورستخكيت مئهكيئلتعت ىلتتئيت اذتإك

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107). Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Apakah Disyariatkan Sujud Tilawah (Dil Luar Shalat) Dalam Keadaan Suci (Berwudhu)?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam sujud tilawah disyari’atkan untuk berwudhu sebagaimana shalat. Oleh karena itu, para ulama mensyariatkan untuk bersuci (thoharoh) dan menghadap kiblat dalam sujud sahwi sebagaimana berlaku syarat-syarat shalat lainnya.

Namun, ulama lain yaitu Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak disyari’atkan untuk thoharoh karena sujud tilawah bukanlah shalat. Namun sujud tilawah adalah ibadah yang berdiri sendiri. Dan diketahui bahwa jenis ibadah tidaklah disyari’atkan thoharoh. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Umar, Asy Sya’bi dan Al Bukhari. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.

Dalil dari pendapat kedua di atas adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

(20)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sujud tilawah tatkala membaca surat An Najm, lalu kaum muslimin, orang-orang musyrik, jin dan manusia pun ikut sujud.” (HR. Bukhari)

Al Bukhari membawa riwayat di atas pada Bab “Kaum muslimin bersujud bersama orang-orang musyrik, padahal kaum musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu.” Jadi, menurut pendapat Bukhari berdasarkan riwayat di atas, sujud tilawah tidaklah ada syarat berwudhu. Dalam bab tersebut, Al Bukhari juga membawakan riwayat bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berwudhu dalam keadaan tidak berwudhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

:

مأ لبسأ وأ هكيللأعأ ههلبلا ىلبصأ يي بكنبلا نل عأ ةهفأورهعلمأللا ةهنبسل لا وأهه اذأهأ لم يلكحلتأ لأوأ مميركحلتأ هكيفك عهرأشل يه لأ نكآرلقهللا دهوجهسه وأ

.

طه ورهشه اهألأ طه رأتأشلته لأفأ ةةلأصأ تل سأ يللأفأ اذأ هأ ىلأعأ وأ نأ يركوههشل مأللا ةكمبئكللأ ا نلعأ صه وصه نلمأللا وأههوأ فك لأسب لا ةهمباعأ هكيللأعأ وأ

.

له ضأ فلأأ ةكلأصب لا طك ورهشه بك يأ هك نل كك لأ ؛ ةقرأاهأطأ ركيلغأ ىلأعأ دهجهسل يأ رأمأعه نه بلا نأ اكأ امأكأ ةقرأاهأطأ ركيلغأ ىلأعأ زهوجهتأ للبأ ةكلأصب لا

ركذلعهلك لبإ كأ لكذأبك لبخكيه نلأأ يغكبأنليأ لأوأ

“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur. Oleh karena itu, sujud tilawah tidaklah seperti shalat yang memiliki syarat yaitu disyariatkan untuk bersuci terlebih dahulu. Jadi, sujud tilawah diperbolehkan meski tanpa thoharoh (bersuci). Hal ini

sebagaimana dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Beliau pernah bersujud, namun tanpa thoharoh. Akan tetapi apabila seseorang memenuhi persyaratan sebagaimana shalat, maka itu lebih utama. Jangan sampai seseorang meninggalkan bersuci ketika sujud, kecuali ada udzur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)

Asy Syaukani mengatakan,

ههلبلا ىلبصأ ههعأمأ ده جه سل يأ نأ اكأ دلقأوأ ائةضي وأتأمه دهجكاسب لا نأ وكه يأ نلأأ ركابأتكعلا ىلأعأ للدهيأ امأ ةكوألأتيلا دكوجهسه ثك يدكاحأأأ يفك سأ يللأ

نأ يئكضي وأتأمه اعةيمكجأ اونهوكه يأ نلأأ دعهبليأوأ ، ءكوضه وهللابك ملههنلمك ادةحأأأ رأمأأأ ههنبأأ للقأنليه مللأوأ ، ههتأوألأتك رأضأحأ نلمأ مألبسأوأ هكيللأعأ .

(21)

ءقوضه وه ركيلغأ ىلأعأ دهجهسل يأ نأ اكأ ههنبأأ رأمأعه نلعأ يل ركاخأ بهللا ىوأرأ دلقأوأ .

“Tidak ada satu hadits pun tentang sujud tilawah yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersujud dan di situ ada orang-orang yang mendengar bacaan beliau, namun tidak ada penjelasan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan salah satu dari yang mendengar tadi untuk berwudhu. Boleh jadi semua yang melakukan sujud tersebut dalam keadaan berwudhu dan boleh jadi yang melakukan sujud bersama orang musyrik sebagaimana diterangkan dalam hadits yang telah lewat. Padahal orang musyrik adalah orang yang paling najis, yang pasti tidak dalam keadaan berwudhu. Al Bukhari sendiri meriwayatkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwa dia bersujud dalam keadaan tidak berwudhu. ” (Nailul Author, 4/466, Asy Syamilah)

Apakah Sujud Tilawah Mesti Menghadap Kiblat?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,

:

اقةافأتيا رمبأتأعلمه ههنبإ لأيقكفأ نكاكأملللك ا عأمأ لك ابأقلتكسل لكاوأ ةكرأولعأللا رهتلسأ امبأأ وأ .

“Adapun menutup aurat dan menghadap kiblat, maka ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu disyariatkan berdasarkan kesepakatan ulama.” (Nailul Author, 4/467, Asy Syamilah)

Namun karena sujud tilawah bukanlah shalat, maka tidak disyari’atkan untuk menghadap kiblat. Akan tetapi, yang lebih utama adalah tetap dalam keadaan menghadap kiblat dan tidak boleh seseorang meninggalkan hal ini kecuali jika ada udzur. Jadi, menghadap kiblat bukanlah syarat untuk melakukan sujud tilawah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/450)

(22)

Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)

: :

ئل مكولأأ وأ دلجهسلا لأاقأفأ ةكبأادبلا ىلأعأ دكوجهسللا نكعأ لأئكسه ههنبأأ رأمأعه نكبلا نكعأوأ.

Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:

ىلأعل لأ ا ىأ بيرأ نأ احأ بلسه

“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)

(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

(23)

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)

(3) Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:

ههلبلا كأ رأابأتأ ههرأصأ بأوأ ههعأملسأ قب شأ وأ ههرأوبصأ وأ ههقألأخأ ىذكلبلك ىهكجلوأ دأجأسأ ته مللأسل أأ كألأوأ تهنلمأآ كأبكوأ تهدلجأسأ كألأ مبههلبلا نأ يقكلكاخأ للا نه سأ حل أأ

“Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang

Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya. Bacaan tersebut terdapat dalam hadits berikut:

(1) Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:

نأ يقكلكاخأ للا نه سأ حل أأ ههلبلا كأ رأابأتأ ههرأصأ بأوأ ههعأملسأ قب شأ وأ ههرأوبصأ وأ ههقألأخأ ىذكلبلك ىهكجلوأ دأجأسأ

“Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan

(24)

(2) Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat diriku sendiri di malam hari sedangkan aku tertidur (dalam mimpi). Aku seakan-akan shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala itu aku bersujud, kemudian pohon

tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:

كأ دكبلعأ نلمك اهأتأللببقأتأ امأكأ ىنيمك اهأللببقأتأوأ ارةخلذه كأدأنلعك ىلك اهأللعأجلاوأ ارةزلوك اهأبك ىنيعأ علضأ وأ ارةجلأأ كأدأنلعك اهأبك ىلك بلتهكلا مبههلبلا دأوهادأ

“Allahummaktub lii bihaa ‘indaka ajron, wa dho’ ‘anniy bihaa wizron, waj’alhaa lii ‘indaka dzukhron, wa taqqobbalhaa minni kamaa taqobbaltahaa min ‘abdika dawuda”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Kedua hadits di atas terdapat perselisihan ulama mengenai statusnya.

Untuk hadits pertama dikatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim, An Nawawi, Adz Dzahabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali. Sedangkan tambahan “Fatabaarakallahu ahsanul kholiqiin”

dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi dan An Nawawi. Namun sebagian ulama lainnya semacam guru dari penulis Shahih Fiqih Sunnah, gurunya tersebut bernama Syaikh Abi ‘Umair dan menilai bahwa hadits ini lemah (dho’if).

Sedangkan hadits kedua dikatakan hasan oleh At Tirmidzi. Menurut Al Hakim, hadits kedua di atas adalah hadits yang shahih. Adz Dzahabi juga sependapat dengannya. Sedangkan ulama lainnya menganggap bahwa hadits ini memang memiliki syahid (penguat), namun penguat tersebut tidak mengangkat hadits ini dari status dho’if (lemah). Jadi, intinya kedua hadits di atas masih mengalami perselisihan mengenai keshahihannya. Oleh karena itu, bacaan ketika sujud tilawah diperbolehkan dengan bacaan sebagaimana sujud dalam shalat seperti yang kami contohkan di atas.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,

(25)

“Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni, 3/93, Asy Syamilah)

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim.

Ini adalah permasalahan yang masih tanda tanya di benak kami sejak dulu. Bagaimana jika ayat sajadah di akhir surat, bagaimana sujud tilawah yang harus dilakukan? Semoga pembahasan berikut bermanfaat.

Hukum Sujud Tilawah Ditujukan pada Siapa Saja?

[Pertama] Sujud tilawah ditujukan untuk orang yang membaca Al Qur’an dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama, baik ayat sajadah dibaca di dalam shalat ataupun di luar shalat.

[Kedua] Lalu bagaimana untuk orang yang mendengar bacaan Qur’an dan di sana terdapat ayat sajadah? Apakah dia juga dianjurkan sujud tilawah?

Dalam kasus kedua ini terdapat perselisihan di antara para ulama.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mendengar bacaan ayat sajadah dianjurkan untuk sujud tilawah, walaupun orang yang membacanya tidak

melakukan sujud. Pendapat pertama ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu pendapat Imam Malik.

(26)

Dalil dari pendapat kedua ini adalah dua hadits shahih berikut:

Hadits Ibnu ‘Umar: “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Mas’ud pernah mengatakan pada Tamim bin Hadzlam yang saat itu adalah seorang pemuda (ghulam), -tatkala itu dia membacakan pada Ibnu Mas’ud ayat sajadah-,

اهأيفك انأمهامأإك كأ نبإكفأ دلجهسلا

“Bersujudlah karena engkau adalah imam kami dalam sujud tersebut.”

(Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq). Al Bukhari membawakan hadits Ibnu ‘Umar di atas dan riwayat Ibnu Mas’ud ini pada Bab “Siapa yang sujud karena sujud orang yang membaca Al Qur’an (ayat sajadah).”

Perhatian:

Disyariatkan bagi orang yang mendengar bacaan ayat sajadah kemudian dia ikut bersujud adalah apabila orang yang diikuti termasuk orang yang layak jadi imam. Jadi, apabila orang yang diikuti tadi adalah anak kecil (shobiy) atau wanita, maka orang yang mendengar bacaan ayat sajadah tadi tidak perlu ikut bersujud. Inilah pendapat Qotadah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Ishaq. (Lihat Al Mughni, 3/98)

Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?

Sujud tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat. Alasannya, karena sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)

(27)

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya langsung bersujud setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat beberapa saat. Namun, apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara membaca ayat dan sujud, maka tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia sudah luput dari tempatnya. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama. Hal ini dianjurkan pada shalat jama’ah atau sendirian dan shalat siriyah (shalat dengan suara lirih seperti pada shalat zhuhur dan ashar) atau shalat jariyah (shalat dengan suara keras seperti pada shalat maghrib dan isya).

( )

ته دل جأ سأ لأ اقأ هكذكهأ امأ ته للقهفأ دأ جأ سأ فأ تل قبشأ نلا ءهامأسب لا اذأإك أأ رأقأفأ ةأمأتأعأللا ةأرأيلرأهه ىبكأأ عأمأ تهيللبصأ لأاقأ عقفكارأ ىبكأأ نلعأ

– –

ههاقأللأأ ىتبحأ اهأبك دهجهسل أأ لهازأأأ لأفأ ملسو هيلع هللا ىلص مكسكاقأللا ىبكأأ فأللخأ اهأبك

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku

menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Namun bagaimana jika shalatnya adalah shalat siriyah semacam shalat zhuhur dan shalat ashar? Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam

membaca ayat sajadah.

(28)

Namun ulama Syafi’iyah tidaklah melarang hal ini. Karena tugas makmum hanyalah mengikuti imam. Jadi jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum hanya manut saja dan dia ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اوده جه سل افأ دأ جأ سأ اذأإكوأ اورهبيكأ فأ رأببكأ اذأإكفأ هكبك مبتأؤليهلك مهامألكا لأعكجه امأنبإك

“Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu pula apabila seorang makmum tatkala dia berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudamah. (Lihat Al Mughni, 3/104)

Terlarang Meloncati Ayat Sajdah Karena Alasan Supaya Tidak Sujud

Ibnu Qudamah mengatakan, “Dimakruhkan melakukan ikhtishorus sujud yaitu melompati ayat sajadah agar tidak bersujud. Yang berpendapat seperti ini adalah Asy Sya’bi, An Nakho’i, Al Hasan, Ishaq. Sedangkan An Nu’man, sahabatnya

Muhammad dan Abu Tsaur memberi keringanan dalam hal ini.” Ibnu Qudamah lalu mengatakan,

(29)

“Menurut kami, tidak ada diriwayatkan dari seorang salaf pun yang melakukan semacam ini (yaitu melompati ayat sajadah agar tidak melakukan sujud tilawah), bahkan mereka (para salaf) memakruhkan hal ini.” (Lihat Al Mughni, 3/103)

Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?

Surat yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An Najm ayat 62 dan surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam kasus ini.

[Pilihan pertama] Ketika membaca ayat sajadah lalu melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali dan membaca surat lain kemudian ruku’. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat

shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot”

(Diriwayatkan oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)

[Pilihan kedua] Jika ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud.

Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)

[Pilihan ketika] Jika ayat sajadah di ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah, kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada penambahan bacaan surat.

Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)

(30)

Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud. Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya

sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.

Di Mana Sajakah Ayat Sajadah?

Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh tempat

disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan ayat tersebut. (Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah, 1/454-458)

Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah

1. QS. Al A’rof ayat 206 2. QS. Ar Ro’du ayat 15 3. QS. An Nahl ayat 49-50 4. QS. Al Isro’ ayat 107-109 5. QS. Maryam ayat 58 6. QS. Al Hajj ayat 18 7. QS. Al Furqon ayat 60 8. QS. An Naml ayat 25-26 9. QS. As Sajdah ayat 15

(31)

Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya

1. QS. Shaad ayat 24

2. QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir) 3. QS. Al Insyiqaq ayat 20-21

4. QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Satu ayat yang masih diperselisihkan dan tidak ada hadits marfu’ (hadits yang sampai pada Nabi) yang menjelaskannya, yaitu surat Al Hajj ayat 77.

Banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajadah semacam Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abud Darda, dan ‘Ammar bin Yasar.

Ibnu Qudamah mengatakan,

اعة امأجلإ نه وكه يأفأ ، ملهكركصل عأ يفك افةلكاخأمه ملههلأ فل ركعلنأ مللأ

“Kami tidaklah mengetahui adanya perselisihan di masa sahabat mengenai ayat ini sebagai ayat sajadah. Maka ini menunjukkan bahwa para sahabat telah berijma’ (bersepakat) dalam masalah ini.” (Al Mughni, 3/88)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jabatan personil inti (Pengawas Lapangan dan Draftman) pada daftar usulan personil inti tidak sesuai dengan jabatan pada daftar ringkasan pengalaman personil utama untuk proyek

o,@rdh kcfisrn korcksi

Hal ini dilihat dari nilai p-value untuk model linier maupun square lebih besar dari α = 5%, ini menunjukkan faktor-faktor (variabel bebas) yaitu lama dan suhu fermentasi

Peralihan tersebut akan sangat membantu pengolahan data di Bimbingan Belajar Galileo.Tujuan dari penelitian ini adalah membuat suatu aplikasi desktop yang dapat

[r]

Nonetheless, a recent report of a parasitic mite species, Acarophenax lacunatus (Cross and Krantz) (Prostigmata: Acarophenacidae), suppressing Spanish populations of the lesser

Engaging Pre-Service Middle School Teacher Education Students in Mathematical Problem Posing: Development of an Active Learning Framework.. How to Design and Evaluate Research