TESIS
Oleh
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THESIS
By
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Nomor Induk Mahasiswa : 127032273
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D) (dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K) Ketua Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D Anggota : 1. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K
GLUGUR DARAT KOTA MEDAN TAHUN 2014
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2014
ABSTRAK
Penderita TB Paru di Indonesia prevalensi 5,8%. Penderita TB Paru yang melakukan pengobatan ulang pada tahun 2013 di Kota Medan berjumlah 62 orang, sedangkan di Puskesmas Glugur Darat tahun 2013 terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang drop out. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengawas menelan obat pada penderita TB Paru pada tahun 2012 sampai 2013 di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan berjumlah 169 orang dan sampel pada penelitian ini berjumlah 100 orang, pengambilan sampel dengan cara systematik random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5% .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap mendukung dengan nilai RP 2,138 (95% CI = 1439-3,176), sikap positif dengan nilai RP 1,958 (95% CI = 1,325-2,892), empati dengan nilai RP 1.374 (95% CI = 1,000-1,888). Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh keterbukaan dengan nilai RP 1,173 (95% CI = 0,912-1,509), kesetaraan dengan nilai RP 1,253 (95% CI = 0,953-1,649), pengetahuan dengan nilai RP 0,953 (95% CI = 0,742-1,223), siapa PMO dengan nilai RP 1,211 (95% CI = 0,586-2,503) dan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan adalah variabel sikap mendukung dengan nilai RP 6,404 (95% CI = 2,027-20,231).
Disarankan kepada pengawas menelan obat untuk selalu memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat secara teratur setiap hari, mendampingi penderita TB Paru disaat minum obat, serta mendorong untuk tetap semangat dalam pengobatan sehingga penderita TB Paru akan merasa tenang dan nyaman dalam menghadapi proses pengobatan yang harus dijalaninya.
ABSTRACT
The prevalence of Lung TB sufferers in Indonesia is 5.8% . The Lung TB sufferers who did re-treatment in 2013 in the City of Medan were 62 persons. In 2013, at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, 4 patients did not comply with taking medicine and 1 patient dropped out. The purpose of this study was to explain the influence of the supervisor taking the medicine on the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan.
This is an analytical survey study with cross-sectional design. The population of this study was all of the 169 supervisors of taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan from 2012 to 2013 and 100 of them were selected to be the samples for this study through systematic random sampling technique. The data for this study was obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regresion tests at α = 5%.
The result of this studied showed that the influence of supportive attitude with RP 2.138 (95% CI = 1439-3.176), positive attitude with RP 1.958 (95% CI = 1.325-2.892), empathy with RP 1.374 (95% CI = 1.000 – 1.888). The result of this study showed that there was no influence of transparency with RP 1.173 (95% CI = 0.912 – 1.509), equivalence with RP 1.253 (95% CI = 0.953 – 1.649) knowledge with RP 0.953 (95% CI = 0.742 – 1.223), who the Supervisor supervising the patient taking the medicine was with RP 1.211 (95% CI = 0.586 – 2.503) and the most dominant variable influencing the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan was the supportive attitude with RP 6.404 (95% CI = 2.027 – 20.231).
The supervisors of taking medicine are suggested to frequently motivate the sufferers of Lung TB by reminding the sufferers to regulary take the medicine every day, accompanying the Lung TB sufferers when taking medicine, and encouraging the Lung TB sufferers to keep their spirit during the treatment that the sufferers will feel calm, relax and comfortable during the treatment process.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
judul: “Pengaruh Pengawas Menelan Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014.”
Penulis menyadari penulisan tesis ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan
kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh
perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan,
petunjuk, hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K selaku Pembimbing Kedua yang telah
meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, arahan, petunjuk hingga
6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D dan drh. Hiswani, M.Kes selaku Tim Penguji
yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan kritikan demi
peningkatan kualitas dan esensi tesis ini.
7. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Dr. Rosita Nurjannah, selaku Kepala Puskesmas Glugur Darat Kota Medan
beserta jajarannya yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian ini
dapat terlaksana dengan baik.
9. Suami tercinta M. Syaiful Bahri yang senantiasa memberikan inspirasi, spirit serta
curahan kasih sayang yang tiada mampu untuk dilukiskan dengan kata-kata. Juga
untuk anak-anakku tersayang M. Fajar Alfansyah Nurhayoto, Muhammad Daffa
Nurhayoto dan Alzena Huriyyah Nurhayati dan kedua orangtuaku Alm.
Muhammad Nurhayoto Maidi dan Hj. Rusmi yang tiada henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan do’a kepada penulis terutama dalam
penyusunan tesis ini.
10.Keluarga Besar Alm. Muhammad Nurhayoto Maidi (M. Isman Pranoto, Drs. Med
M. Indra Supriadi, Ir. Aida Ekayani, drg. Ety Sofia Ramadhan MKes, Ir.
Muhammad Bayu Nurhayoto, Ir. Muhammad Surya Nurhayoto, Muhammad Fajri
Nurhayoto SH, iparku dan ponakan-ponakanku yang telah membantu penulis baik
11.Seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara khususnya minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/
Epidemiologi yang telah memberikan semangat dan keindahan persahabatan. Dan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dan dukungan moril kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan
keterbatasan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat
bermanfaat.
Medan, Juli 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Eva Latifah Nurhayati, lahir di Medan tanggal 23 Maret 1978, dari pasangan
bapak Alm. Muhammad Nurhayoto dan Hj. Rusmi. Penulis anak kedelapan dari
delapan orang bersaudara dan menikah dengan M. Syaiful Bahri pada tanggal 11
Maret 2006 dan dikaruniai 3 orang anak (2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan).
Bertempat tinggal di Krakatau, Jl. Pendidikan No. 21 Kecamatan Medan Timur.
Jenjang pendidikan formal penulis mulai di SD Negeri No 060871 Medan
tamat pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP
Negeri 12 Medan. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 7 Medan. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan D3
Keperawatan di Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Medan, Pada
Tahun 2005 penulis menyelesaikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU dan
pada tahun 2012-2014 penulis menempuh pendidikan S-2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan dan Komunitas/Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Swasta di Yayasan Perguruan Syuhada
DAFTAR ISI
2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi ... 10
2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi ... 11
2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi ... 12
2.1.4. Efektivitas Komunikasi ... 16
2.2. Pengawas Menelan Obat ... 18
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan ... 21
2.4. Tuberkulosis Paru ... 24
2.4.1. Pengertian ... 24
2.4.2. Sejarah ... 24
2.4.3. Epidemiologi ... 27
2.4.4. Penyebab Penyakit Tuberkulosis... 28
2.4.5. Klasifikasi TB Paru ... 29
2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB ... 31
2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping ... 32
2.4.9. Memastikan Penyakit TB Paru ... 34
2.4.10. Pencegahan ... 35
2.4.11. Stategi Directly Observed Treatment Short-course ... 35
2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial) 37 2.5. Kerangka Pikir ... 39
3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 44
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 45
3.5.1. Variabel Bebas... 45
3.7.3. Analisis Multivariat ... 52
BAB 4. HASIL PENELITIAN... 54
4.4.1. Hubungan Keterbukaan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 61
4.4.2. Hubungan Empati dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 62
4.4.4. Hubungan Sikap Positif dengan Kepatuhan Minum Obat
Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 63
4.4.5. Hubungan Kesetaraan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 63
4.4.6. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 64
4.4.7. Hubungan Siapa PMO dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 64
4.4. Analisis Multivariat ... 65
BAB 5. PEMBAHASAN ... 69
5.1. Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru ... 69
5.2. Hubungan Keterbukaan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 70
5.3. Hubungan Empati dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 72
5.4. Hubungan Sikap Mendukung dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 74
5.5. Hubungan Sikap Positif dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 76
5.6. Hubungan Kesetaraan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 78
5.7. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 79
5.8. Hubungan Siapa PMO dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 81
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur... 49
4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2013 ... 56
4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2013 ... 56
4.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan ... 57
4.4. Komunikasi Interpersonal (Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung, Sikap Positif, Kesetaraan), Siapa PMO, Pengetahuan dan Kepatuhan Minum Obat di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014 ... 58
4.5. Pengaruh (Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung, Sikap Positif, Kesetaraan, Siapa PMO dan Pengetahuan terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan... 60
4.6. Variabel yang akan Diikutsertakan dalam Analisis Multivariat ... 65
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Pikir dan Strategi AKMS ... 39
2.2. Kerangka Teori Penelitian ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Surat Pernyataan Persetujuan Sebagai Responden ... 90
2. Kuesioner Penelitian ... 91
3. Perencanaan Waktu Penelitian ... 96
4. Master Valididasi dan Reliabilitas ... 97
5. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 99
6. Master Data Penelitian ... 104
7. Hasil Olah Data ... 107
ABSTRAK
Penderita TB Paru di Indonesia prevalensi 5,8%. Penderita TB Paru yang melakukan pengobatan ulang pada tahun 2013 di Kota Medan berjumlah 62 orang, sedangkan di Puskesmas Glugur Darat tahun 2013 terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang drop out. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengawas menelan obat pada penderita TB Paru pada tahun 2012 sampai 2013 di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan berjumlah 169 orang dan sampel pada penelitian ini berjumlah 100 orang, pengambilan sampel dengan cara systematik random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5% .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap mendukung dengan nilai RP 2,138 (95% CI = 1439-3,176), sikap positif dengan nilai RP 1,958 (95% CI = 1,325-2,892), empati dengan nilai RP 1.374 (95% CI = 1,000-1,888). Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh keterbukaan dengan nilai RP 1,173 (95% CI = 0,912-1,509), kesetaraan dengan nilai RP 1,253 (95% CI = 0,953-1,649), pengetahuan dengan nilai RP 0,953 (95% CI = 0,742-1,223), siapa PMO dengan nilai RP 1,211 (95% CI = 0,586-2,503) dan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan adalah variabel sikap mendukung dengan nilai RP 6,404 (95% CI = 2,027-20,231).
Disarankan kepada pengawas menelan obat untuk selalu memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat secara teratur setiap hari, mendampingi penderita TB Paru disaat minum obat, serta mendorong untuk tetap semangat dalam pengobatan sehingga penderita TB Paru akan merasa tenang dan nyaman dalam menghadapi proses pengobatan yang harus dijalaninya.
ABSTRACT
The prevalence of Lung TB sufferers in Indonesia is 5.8% . The Lung TB sufferers who did re-treatment in 2013 in the City of Medan were 62 persons. In 2013, at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, 4 patients did not comply with taking medicine and 1 patient dropped out. The purpose of this study was to explain the influence of the supervisor taking the medicine on the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan.
This is an analytical survey study with cross-sectional design. The population of this study was all of the 169 supervisors of taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan from 2012 to 2013 and 100 of them were selected to be the samples for this study through systematic random sampling technique. The data for this study was obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regresion tests at α = 5%.
The result of this studied showed that the influence of supportive attitude with RP 2.138 (95% CI = 1439-3.176), positive attitude with RP 1.958 (95% CI = 1.325-2.892), empathy with RP 1.374 (95% CI = 1.000 – 1.888). The result of this study showed that there was no influence of transparency with RP 1.173 (95% CI = 0.912 – 1.509), equivalence with RP 1.253 (95% CI = 0.953 – 1.649) knowledge with RP 0.953 (95% CI = 0.742 – 1.223), who the Supervisor supervising the patient taking the medicine was with RP 1.211 (95% CI = 0.586 – 2.503) and the most dominant variable influencing the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan was the supportive attitude with RP 6.404 (95% CI = 2.027 – 20.231).
The supervisors of taking medicine are suggested to frequently motivate the sufferers of Lung TB by reminding the sufferers to regulary take the medicine every day, accompanying the Lung TB sufferers when taking medicine, and encouraging the Lung TB sufferers to keep their spirit during the treatment that the sufferers will feel calm, relax and comfortable during the treatment process.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan secara umum sering diartikan sebagai upaya multidimensi
untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak
negara, pembangunan kesehatan dimaknakan sebagai proses yang terus-menerus dan
progresif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan nasional
di Indonesia, termasuk dibidang kesehatan berkembang semakin kompleks, berubah
dengan cepat dan sering kurang menentu. Perkembangan ini memerlukan pemikiran
dasar pembangunan kesehatan yang kuat. Pemikiran dasar ini pada hakikatnya
merupakan makna dari pelaksanaan paradigma sehat yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Agar pembangunan kesehatan
dapat lebih ditingkatkan akselerasi dan mutunya, maka diperlukan penguatan
pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut.
Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara social dan ekonomis.
Pembangunan kesehatan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah
pembangunan kesehatan menghadapi tantangan strategis yang mendasar, baik
eksternal maupun internal. Berbagai tantangan tersebut pada akhirnya mempengaruhi
percepatan pembangunan kesehatan yang diharapkan (Hapsara, 2013).
Perkembangan pembangunan kesehatan terutama tampak dari peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan
dukungan lingkungan strategis pembangunan kesehatan yang juga tampak meningkat.
Dalam lima tahun terakhir terdapat program unggulan/terobosan kementerian
kesehatan, antara lain penanggulangan Penyakit Menular salah satunya adalah
Tuberkulosis Paru.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, Tuberkulosis ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit
Paru-Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar
INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino
Salisilat (PAS), kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan
paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Ethambutol selama 6 bulan (Kemenkes,2011).
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian Tuberkulosis mulai
menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan
dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama
Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. (Kemenkes,2011)
Pada tahun 2009 Indonesia merupakan negara dengan pasien Tuberkulosis
terbanyak ke -5 di dunia setelah India, Cina, Afrika selatan dan Nigeria. Diperkirakan
jumlah pasien Tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien
Tuberkulosis di dunia. Insidensi kasus Tuberkulosis BTA positif sekitar 102 per
100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat ke -4
setelah India, Cina, dan Afrika Selatan.
Hasil survey prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara regional prevalensi TB BTA di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,
yaitu : 1) wilayah sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2)
wilayah jawa dan bali angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 3)
wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 120 per 100.000 penduduk.
Khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000
penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara nasional 3-4 % setiap tahunnya. Sampai tahun 2009,
keterlibatan dalam program pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98 %
Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru masyarakat
mencapai sekitar 50% (Kemenkes, 2011).
Penurunan ini terjadi karena ketekunan dan kerja keras terutama tenaga
Program Nasional Tuberkulosis Departemen Kesehatan RI, serta bantuan berbagai
pihak seperti WHO, LSM misalnya PPTI, KNCV dan USAID serta beberapa Negara
penyandang dana yang tergabung dalam GF-ATM ( Global Fund to AIDS, TB and
Malaria ) angka kejadian TB dapat diturunkan secara bermakna ( Hudoyo,2008).
Penyakit Tuberkulosis menjadi masalah sosial karena sebagian besar
penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan
tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit
Tuberkulosis memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan
demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, akan
mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat
Anti-Tuberkulosis (OAT), sehingga untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan
biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatife lama.
Penanggulangan penyakit TB Paru perlu ditangani dengan cara yang lebih baik agar
tidak lagi menjadi masalah di Indonesia, terutama dari segi manajemen pengobatan
seperti pengawasan keteraturan berobat (Depkes RI, 2002).
Salah satu dari komponen DOTS adalah panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
pengawas menelan obat (PMO). Penderita TB Paru yang teratur melakukan
pengobatan disamping karena adanya kesadaran dari penderita untuk lepas dari
penyakitnya juga didukung oleh karena adanya peran dari keluarga sebagai pengawas
Anggota keluarga sebagai pengawas menelan obat cukup efektif dan efisien
dalam memaksimalkan peran dan fungsi PMO karena tidak mengedepankan reward
berupa materi sebagai imbalan jasa tetapi dimotivasi oleh kedekatan keluarga yang
disadari oleh pengabdian yang tulus, ikhlas, sabar, dan tanggung jawab sebagai
implementasi nilai keyakinan (PPTI,2010).
Hasil penelitian Nasution (2013) memperlihatkan ada hubungan antara
dukungan sosial keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan emosional) sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO)
dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan Medan Teladan Kota
Medan. Kemudian hasil analisis uji regresi logisik berganda juga memperlihatkan ada
pengaruh antara dukungan informasional dan dukungan penilaian yang memiliki
pengaruh (p < 0,05) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan
Medan Teladan Kota Medan dengan variabel dominannya adalah dukungan
informasional.
Selain itu hasil penelitian Panjaitan (2013) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan komunikasi interpersonal (keterbukaan, sikap mendukung dan sikap positif)
petugas kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru, tidak terdapat
hubungan komunikasi interpersonal (empati dan kesetaraan) petugas kesehatan
dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru dan variabel yang paling dominan
berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit
Artinya disamping faktor petugas medis, pasien, obatnya dan teknik serta cara
pengobatan, maka peran pengawasan dalam hal ini keluarga sangat penting untuk
membantu kelancaran pasien dalam menjalani terapinya. Bagaimanapun pentingnya
pengobatan, faktor keluarga sebagai pengawas akan lebih efisien dan efektif jika
dibandingkan pengawasan yang sangat terbatas oleh petugas medis ataupun kader
dilingkungannya.
Selain itu strategi komunikasi juga dipergunakan Kemenkes untuk
meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB
melalui pelatihan. Sehingga dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari
masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku
pencegahan penularan TB juga kampanye STOP TB.
Kepatuhan minumobat TB di Indonesia terbukti masih belum maksimal.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2011, terlihat masih adanya
penderita TB yang masih belum patuh untuk minum obat atau drop out. Program
DOTS yang memiliki target, yaitu menyembuhkan 85% penderita TB di Indonesia
ternyata masih belum tercapai secara maksimal. Data surveilans memberikan hasil
bahwa telah terjadi resistensi bakteri terhadap OAT pada penderita TB untuk satu
jenis OAT (DR-TB, Drug Resistant-TB) sebesar 12,6% dan untuk lebih dari 2 jenis
OAT (MDR-TB,Multi Drug Resistant- TB) sebesar 2,2%. Hal ini nyata menunjukkan
adanya ketidakpatuhan minum obat TB di Indonesia (Ditjen P2M, 2011).
Data dari the third report of the WHO/IUATLD Global Project on Anti
2002, menunjukkan MDR-TB berkisar antara 6,5% sampai 14% pada kasus baru
(resisten primer) dan 30% sampai 60% pada kasus yang pernah diobati
(resistensekunder). Di Indonesia, RS. Persahabatan Jakarta (data dari WHO tahun
2003), melaporkan angka MDR-TB sebesar 4,3% pada kasus baru dan 34,44%pada
kasus yang pernah diobati.
Dinas KesehatanProvinsi Sumatera Utara juga melaporkan bahwa tingkat
kepatuhan minum obat di wilayah kerjanya juga belum mencapai 100%. Pada tahun
2011, kesembuhan penderita memang telah mencapai target nasional. Namun, tingkat
kepatuhan minum obatnya belum mencapai 85%. Hal ini terbukti mulai
ditemukannya resistensi kuman TB terhadap satu jenis OAT, terutama yang terjadi di
Kota Medan.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013, penderita
TB Paru yang melakukan pengobatan ulang untuk triwulan 1 (Januari-Maret) kategori
penderita TB yang kambuh 16 orang dan gagal 1 orang, triwulan 2 ( April-Juni) 19
orang yang kambuh, triwulan 3 (Juli-September) 13 orang dengan kategori kambuh
dan defaulter 1 orang, triwulan 4 (Oktober-Desember) terdapat 12 orang pederita TB
Paru yang kambuh.
Berdasarkan hasil survey awal di Puskesmas Glugur Darat bahwasanya
penderita TB Paru pada tahun 2012 berjumlah 99 orang dan tahun 2013 berjumlah 70
orang dengan rincian sebagai berikut pada triwulan 1 (Januari-Maret) 18 orang,
triwulan 2 (April-Juni) 11 orang, triwulan 3 (Juli-September) 19 orang dan triwulan 4
penderita TB Paru tersebut terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang
yang tidak pernah datang kembali untuk mengambil obat ke puskesmas (drop out).
Hasil wawancara peneliti dengan petugas TB Paru bahwasanya penderita maupun
PMO tidak perduli mengenai manfaat dari OAT, sehingga penderita maupun PMO
tidak mengambil obat ke Puskesmas. Agar pengawasan menelan obat berjalan efektif
maka diperlukan komunikasi yang baik antara penderita dengan pengawas menelan
obat, karena tanpa komunikasi yang baik , interaksi antara PMO dengan penderita
tuberkulosis tidak mungkin terjadi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru
di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di ketahui bahwa permasalahan
dalam penelitian ini adalah belum di ketahuinya pengaruh pengawas menelan obat
terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota
Medan tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh pengawas menelan obat (Komunikasi, Siapa PMO,
Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pengawas menelan obat
(Komunikasi, Siapa PMO, Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita
TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan tahun 2014
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Medan dalam menentukan
kebijakan untuk penanggulangan TB Paru
1.5.2. Sebagai bahan masukkan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam
meningkatkan penyuluhan KIE terutama dalam kepatuhan minum obat pada
penderita TB Paru juga sebagai referensi dalam menyusun program
pengendalian TB paru
1.5.3. Sebagai bahan masukan bagi penderita TB Paru terkait dalam pelaksanaan
pengobatan TB Paru untuk tetap patuh dalam minum OAT sesuai dosis dan
waktu yang telah dianjurkan.
1.5.4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi (Communication) 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi
Menurut Setiawati yang dikutip Panjaitan, 2013. Komunikasi adalah proses
pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau
gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunika si
yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun
tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi
tersebut menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal
Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain,
antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan
keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang
atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam
bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan.
Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon
terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif
dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan
oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu
Saluran (media) adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam
Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1995):
a. Awareness (kesadaran)
Yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu
b. Interest (perhatian/tertarik)
Individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk
c. Evaluation (menilai)
Individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti
stimulus tersebut
d. Trial (mencoba)
Individu mulai mencoba perilaku baru
e. Adoption (menerima)
Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus.
2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi
Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain,
antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan
keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang
atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam
bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan.
Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon
terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif
oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu
Saluran (media), adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam
menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).
2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi
2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal/Tatap Muka (Face to face) 2.1.3.1.1. Pengertian
Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang
mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan
berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga menuntut adanya tindakan
saling memberi dan menerima diantara pelaku yang terlibat dalam komunikasi.
Dengan kata lain pelaku komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan dan
sebagainya (Rakhmat,2002)
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan
komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah
sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa
percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan
komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi, komunikator mengetahui secara
pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya.(Rakhmat,
2002).
Pada pengobatan TB Paru juga diperlukan pengawas menelan obat, agar
pengawasan menelan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan komunikasi
komuniaksi yang baik diantara keduanya maka interaksi tidak akan berjalan dengan
optimal.
2.1.3.1.2. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal
dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada
orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan
segera membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi
biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk
membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan
pengungkapan diri ini patut.
Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator
untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak
kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang
menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita
ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada
ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.Kita
memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan
pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab
atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan
yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).
2. Empati (Empathy)
Empati adalah sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang
sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi
orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu
seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan
perasaan yang sama dengan cara yang sama.Orang yang empatik mampu memahami
motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan
keinginan mereka untuk masa mendatang.Kita dapat mengkomunikasikan empati
baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat
mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan
orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat
meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta
(3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
3. Sikap Mendukung (Supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan
berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan
strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap Positif (Positiveness)
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal
dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif
mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada
sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi
interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka
sendiri.Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat
penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada
berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi
secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
5. Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang
mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis
daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala
hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila
suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua
pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai
sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang
ditandai oleh kesetaraan,ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai
menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan
menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan
berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.
2.1.4. Efektivitas Komunikasi
Komunikasi sebenarnya bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga seni bergaul agar kita dapat berkomunikasi efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi
dalam mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan
komunikator. Pendeknya komunikasi efektif adalah makna bersama. Komunikasi
yang efektif memberikan keuntungan dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan
pekerjaan. Siapa pun anda dan apa pun pekerjaan anda, anda tidak bisa tidak harus
melakukan komunikasi.
Kriteria komunikasi yang efektif secara sederhana, bila orang berhasil
menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya, ini hanya salah satu ukuran
bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan
yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat
dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.
Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai
diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi
adalah proses memahami. Afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang
dari luar. Konasi adalah aspek psikologis yang berkaitan dengan upaya atau
Ciri-ciri efektif-tidaknya komunikasi ditunjukan oleh dampak kognitif,
dampak afektif, dan dampak behavioral yaitu :
a. Dampak kognitif adalah dampak yang timbul pada diri komunikan yang
menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya.
b. Dampak afektif adalah dampak yang lebih tinggi kadarnya daripada dampak
kognitif. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar agar komunikan tahu,
tetapi tergerak hatinya yang dapat menimbulkan perasaan tertentu, misalnya
persaan iba, terharu, bahagia dan sebagainya.
c. Dampak behavioral adalah dampak yang paling tinggi kadarnya, yakni dampak
yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.
Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal :
1. Pengertian/Pemahaman
Seorang komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman
yang cermat atas pesan yang disampaikannya.
2. Kesenangan
Komunikasi semacam ini biasa disebut komunikasi fatik atau mempertahankan
hubungan insani. Dan komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat,
akrab dan menyenangkan.
3. Mempengaruhi sikap
Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri
dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri”. Dalam berbagai situasi kita berusaha
mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan
kita.
4. Memperbaiki hubungan/ hubungan sosial yang baik
Sudah menjadi keyakinan umum bahwa bila seseorang dapat memilih kata yang
tepat, mempersiapkannya jauh sebelumnya, dan mengemukakannya dengan tepat
pula maka hasilnya adalah komunikasi yang sempurna. Dan dapat dipastikan
hubungan sosial yang baik akan timbul.
5. Tindakan
Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting.
Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan
pengertian, membentuk dan mengubah sikap, atau menumbuhkan hubungan yang
baik (Rahmat, 2002).
2.2. Pengawas Menelan Obat 2.2.1. Pengertian
Pengawas Menelan Obat adalah orang yang bertugas mengawasi secara
langsung terhadap penderita tuberculosis paru pada saat minum obat setiap harinya
PMO adalah seseorang yang membantu pasien TB untuk menjalani
pengobatan dengan cara mengingatkan dan mengawasi untuk Menelan obat dan
memberi dorongan moril agar pasien TB tidak berputus asa (PPTI, 2010)
2.2.2. Tujuan
Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya pengawas menelan
obat pada penderita TB Paru adalah :
a. untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang telah
disepakati pada awal pengobatan
b. untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya
c. mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan terhadap OAT
2.2.3. Persyaratan PMO
Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang
yang tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bersedia
dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Depkes RI, 2000).
2.2.4. Siapa yang Bisa jadi PMO
Semua orang bisa menjadi PMO, yang penting mau dan disetujui oleh pasien
TB. Sebaiknya dipilih anggota keluarga terdekat atau kader kesehatan yang telah
dilatih, atau petugas kesehatan yang bertempat tinggal tidak jauh dari pasien dan
2.2.5. Tugas PMO
Menurut Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (2010) Tugas
PMO sangat penting untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien TB, yaitu :
a. Mengawasi dan memberi dorongan serta memastikan pasien TB menelan obat
sesuai aturan sampai sembuh.
b. Mengingatkan pasien TB untuk memeriksakan ulang dahak pada waktu yang
ditentukan untuk mengetahui perkembangan pengobatan.
c. Memberikan penyuluhan tentang TB dan menyarankan anggota keluarga pasien
TB untuk memeriksakan diri bila ada yang dicurigai sakit TB.
d. Memperhatikan atau mengawasi bila ada gejala efek samping obat, segera minta
penjelasan atau penanganan selanjutnya kepada petugas kesehatan dan jangan
menghentikan minum obat tanpa persetujuan petugas.
2.2.6. Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO ( Kemenkes,2011)
1) TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
2.3. Kepatuhan 2.3.1. Pengertian
Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan
dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1997).
Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh professional kesehatan (Niven,2002). Penderita yang patuh berobat
adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus
selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000)
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan
dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut
tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI,2000)
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Smet (1994), factor-faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah :
a. Faktor Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat
ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan
terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat
yang diberikan
b. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama
sekali penting dalam pemberian antibiotic. Karena sering kali pasien menghentikan
c. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan
penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga
kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk
penyuluhan dan lain-lain.
Sementara itu menurut Given dalam Wihartini (2010), bahwa factor-faktor
yang mempengaruhi kepatuhan adalah :
a. Faktor Penderita atau Individu
1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi
individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap
factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam control penyakitnya
2) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan.
Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang
tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian
juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan control
penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita
memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan
b. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan
tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat
perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan
menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya
dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh
keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya
c. Dukungan Sosial
Dukungan social dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
lain merupakan factor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap
program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit
tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
d. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan factor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien
mengahadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu
juga mereka dapat memengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias
mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien dan secara terus menerus memberikan
penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program
2.4. Tuberkulosis Paru 2.4.1. Pengertian
Tuberkulosis biasanya disingkat menjadi TB atau TBC adalah penyakit
menular disebabkan oleh bakteri tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis).
Umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti
kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan
organ tubuh lainnya (PPTI,2010)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.( Kemenkes,2011)
Tuberkulosis Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis
ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Penderita
dengan TB Paru dan TB Ekstra Paru diklasifikasikan debagai TB paru. (Kemenkes,
2011)
2.4.2. Sejarah
Pada penggalian di Mesir telah ditemukan kerangka-kerangka dengan
kelainan-kelainan menyerupai akibat penyakit tuberculosis, dan ternyata
kerangka-kerangka tersebut telah berumur antara 600-3700 tahun sebelum masehi. Di Eropa
Heidelberg yang menunjukkan adanya bekas-bekas tuberculosis vertebrata. Begitu
pula di Amerika ditemukan kerangka-kerangka dengan bekas penyakit tuberculosis
pada periode precolumbia. Penggalian bentuk-bentuk tertentu dibeberapa tempat
menguatkan dugaan adanya penyakit tuberculosis pada waktu itu, misalnya
ditemukan kerangka dengan Bungkuk Pott (Pottse Gibbus) pada tulang belakang.
Disamping penemuan-penemuan tersebut, banyak tulisan tentang penyakit ini.
Tulisan yang penting berasal dari Yunani dan Romawi, Hipokrates (abad ke V
sebelum masehi). Hipokrates menamakan penyakit tersebut sebagai Phthisis yang
berasal dari kata phthiein (menjadi kurus). Hippokrates saat itu menggambarkan
penyakit tersebut dengan panas tinggi, batuk darah, penurunan berat badan,
kelemahan tubuh serta buang-buang air. (Hudoyo,2008)
Perawatan pasien dengan tuberculosis di lukiskan dengan tuberculosis oleh
Galenus pada saat itu antara lain dengan cara istirahat, mencuci diri, diit atau
perjalanan dengan kapal laut. Selain perjalanan jauh melalui laut juga pergi ke daerah
pegunungan, yang akhirnya menimbulkan gagasan pertama tentang pendirian Sanatorium 1840 ( di Reudi) dan di Jerman 1860 (di Brehmer). Pada abad ke XVI ‘
Laennec (1781-1826) masih mempertahankan pendapatannya bahwa tuberculosis
adalah penyakit keturunan. Villemin (1827-1892) kemudian mengadakan percobaan
untuk membuktikan bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular,walaupun
saat itu belum menemukan kuman tuberkulosis sebagai organisme penyebab penyakit
Pada tanggal 24 Maret tahun 1882 adalah hari yang sangat bersejarah. Pada
saat itulah Robert Koch mengumumkan di Berlin bahwa ia telah menemukan
penyebab penyakit tubekulosis. Mulai saat itulah kemudian penelitian-penelitian dan
percobaan dilakukan untuk menemukan obat pelawan tuberkulosis. Koch sendiri pada
tahun 1890 melakukan percobaan dengan menggunakan kuman tuberkulosis yang
telah mati –“Old Tuberculine”. Kemudian pada tahun 1907 Old Tuberculine dipakai
bukan sebagai obat tapi sebagai larutan penguji oleh Von Pirquit. Pengobatan waktu itu (periode permulaan abad ke XX) berupa “collapse therapy” antara lain
“intrapleural pneumothorax” atau tindakan pembedahan dengan cara memperkecil
rongga dada (thoracoplasty). Cara-cara ini berlaku sampai ditemukan antibiotika
pertama terhadap tuberculosis oleh Waksman pada tahun 1944. Dalam sejarah
tuberculosis, maka tinta emas patut dituliskan untuk nama Wilhelm Rontgen yang
pada tahun 1895 telah menemukan sinar x, serta Calmette dan Guerin pada tahun
1921 dengan vaksin BCG nya.(Hudoyo,2008)
Di Indonesia tuberculosis ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang patut
disimak. Catatan paling tua dari penyakit ini didapatkan pada salah satu relief di
Candi Borobudur yang menggambarkan sang Budha dan seorang yang sakit,
digambarkan bentuk orang sakit pada umumnya pada waktu itu. Bila relief ini
diperhatikan, kita tidak dapat memungkiri suatu gambar dari seorang yang sakit :
kurus, iga menonjol, bahu terangkat, pipi cekung, semuanya menggambarkan bentuk
suatu kasus tuberculosis. Dengan kata lain, pada waktu (tahun 750 sesudah masehi)
2.4.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi dari penyakit tuberculosis turun dengan
mengesankan semenjak tahun 1900. Di awal abad ini lebih 80 % penduduk terinfeksi
sebelum berumur 20 tahun. Dalam suatu penelitian dengan autopsy di tahun 1946
dijumpai tuberkulosis sebanyak 80% dari mereka yang berumur diatas 50 ta hun. Pada
tahun 1972 hanya 2 sampai 5 % dari anak-anak muda yang memberi reaksi tuberculin
positif sedang pada usia diatas 50 tahun dijumpai sekitar 25 %. Penurunan insiden
nyata terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Hal ini berbeda dengan negara sedang
berkembang, seperti Indonesia dengan penderita TB terbanyak pada usia angkatan
kerja atau dewasa muda. ( Hudoyo, 2008)
Pada tahun 1959 insiden di Amerika Serikat sebesar 53 per 100.000 penduduk,
kemudian turun menjadi 24 pada tahun 1966 dan turun lagi menjadi 14 pada tahun
1974. Sedangkan angka kematian di Amerika Serikat tercatat 200 orang dalam
100.000 orang pada tahun 1906, pada tahun 1966 turun menjadi 3,8 dan pada tahun
1976 menjadi hanya 1,5 per 100.000 penduduk
Gambaran penyakit TB di Indonesia, ditunjukkan oleh hasil survey prevalensi
yang diadakan di Yogyakarta dan Malang sekitar tahun 1961-1965 dengan bantuan
WHO dan Unicef, gambaran data-data epidemiologi saat itu adalah sbb :
1. Prevalensi BTA positif adalah 0,6 % (dengan biakan)
2. Prevalensi kelainan paru dengan pemeriksaan sinar tembus 3,6 %
3. Angka kejadian penularan tahunan diperhitungkan sebesar 5 %
5. Insidensi sumber penularan 0,10-0,15 % menurut perkiraan WHO
6. Angka kematian akibat penyakit TBC di Jakarta 36,8/100.000 penduduk pada
tahun 1967
Dari survey di Jakarta tahun 1962 dan hasil Run-test jumlah penderita TB di
beberapa daerah Nampak bahwa golongan masyarakat berpenghasilan rendah
merupakan sasaran kuman-kuman TB.
Jumlah penderita TB di Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah india
dan China. Laporan dari WHO tahun 2000, jumlah penderita TB di India sebanyak
1,85 juta jiwa, di China 1,36 juta jiwa dan di Indonesia 0,59 juta jiwa. Dengan angka
prevalensi masing-masing untuk India 184/100.000 penduduk, di China 102/100.000
penduduk dan di Indonesia 280/100.000 penduduk.(Hudoyo,2008)
2.4.4. Penyebab Penyakit Tuberkulosis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri jenis Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Dokter Robert Koch. bakteri ini sangat kecil,
untuk melihat bakteri ini perlu dilihat dengan mikroskop. Bakteri ini dapat ditemukan
dalam dahak atau sputum seseorang yang sedang sakit TB. Bakteri ini bersifat tahan
terhadap larutan asam atau bahkan lebih terkenal dengan nama Basil Tahan Asam
(BTA). Jadi untuk pemeriksaan dahak pasien yang diduga sakit TB, pemeriksaan dahak yang diminta ke laboratorium dinamakan ‘Pemeriksaan Sputum BTA’.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3x berturut-turut untuk menghindari
factor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 x positif, maka sudah dapat
2.4.5. Klasifikasi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ;
(1) TBC paru BTA positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3
pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak
memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif;
(2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan.
Jumlah bakteri yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat
positif. Foto rontgen dada menunjukkan hasil positif .
2.4.6. Cara Penularan dan Risiko Penularan 2.4.6.1. Cara Penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
6. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
7. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
8. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
9. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
10. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
11. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
12. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
13. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi
sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bisa mengakibatkan kematian.
2.4.6.2. Risiko Penularan
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat
terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil bakteri TB. Penderita
TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia
sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2008).
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
(gizi buruk).
2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Kombinasi beberapa jenis obat
tersebut terdiri dari ; Rifampisin, INH, Pyrazinamid, Etambutol, Streptomisin .
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO). Pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung
oleh seorang PMO, supaya penderita meminum obatnya secara teratur setiap hari.