• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita Tb Paru Dalam Pengobatan Di Puskesmas Pekan Labuhan

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

Oleh :

IMELDA ZULIANA NIM. 041000170

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

NIM. 041000170 IMELDA ZULIANA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU, FAKTOR PELAYANAN KESEHATAN DAN FAKTOR PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP TINGKAT

KEPATUHAN PENDERITA TB PARU DALAM PENGOBATAN DI PUSKESMAS PEKAN LABUHAN KOTA MEDAN

TAHUN 2009

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

IMELDA ZULIANA NIM. 041000170

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 20 Juni 2009 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Siti Khadijah Nst, SKM, M.Kes dr. Heldy BZ, MPH

NIP. 132231812 NIP. 131124052

Penguji II Penguji III

Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si dr. Fauzi, SKM

NIP. 131996170 NIP. 140052649

Medan, Juni 2009 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, Dekan,

(4)

ABSTRAK

TB Paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global dan sekitar 1,7 juta orang meninggal. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan pada tahun 2006 sebanyak 24 orang dengan angka kesembuhan 62%. Pada tahun 2007, terdapat 20 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 20%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan dan Puskesmas Pekan Labuhan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini adalah explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan efek samping Obat Anti Tuberkulosis), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan obat, sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah), dan peran PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB Paru yang berobat dengan sampel sebanyak 38 orang yang sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan kategori 1 (total sampling). Uji statistik yang digunakan adalah regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan (p=0,004) dan peran PMO (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, efek samping OAT, dan faktor pelayanan kesehatan (p>0,05).

Berdasarkan hasil penelitian, maka petugas kesehatan di Puskesmas Pekan Labuhan perlu melakukan penyuluhan kesehatan secara intensif dan berkesinambungan kepada penderita TB Paru dan PMO agar tercapai keberhasilan pengobatan.

(5)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas ABSTRACT

Lung TB is one of public health problems in the world especially in developing countries including Indonesia. In 2006, globally, there were approximately 9.2 million new cases, and about 1.7 million people died. The number of people with lung TB positive BTA as much as 24 patients with 62% cure rate at Pekan Labuhan Health Centre Medan City, by the year 2006. In 2007, there were 20 people with lung TB positive BTA but the cure rate was 20%. This means decreasing in numbers of cure rate and Pekan Labuhan Health Centre did not reach the target yet that was set at least 85%.

The type of research was explanatory research that aims to explain the influence of individual characteristics (age, sex, education, employment, knowledge, side effects of OAT), health service factors (availability of drugs, health- officer attitudes, location/distance, health promotion, home visits), and the role of PMO on the obedience level of lung TB patients in treatments. The population were all lung TB patients which taking medicine and the samples were 38 patients in first category that were currently undergoing advanced treatment (total sampling). The statistic test was used multiple linier regression.

The results of research shows that the variables which have significant influence on the obedience level of lung TB patients in treatments are knowledge (p = 0.004) and the role of PMO (p = 0.000). The variables which have no influence are age, sex, education, employment, side effects of OAT, and health service factors (p>0.05).

Based on the results of research, health-officers at Pekan Labuhan Health Centre do health promotion for lung TB patients and PMO in order to achieve the success of the treatment.

(6)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : IMELDA ZULIANA

Tempat/Tanggal Lahir : Aceh Timur, 03 Juli 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 5 (anak ke-4 dari 5 bersaudara)

Alamat Rumah : Jl. Pelajar Timur Griya Unimed No. 29 Medan 20228

Riwayat Pendidikan :

1. 1991 - 1992 : TK Dharma Patra Pertamina Rantau, Aceh Timur

2. 1992 - 1995 : SD Negeri No. 1 Rantau Pauh, Aceh Timur

3. 1995 - 1998 : SD Negeri No. 069 Babussalam, Duri-Riau

4. 1998 - 2001 : SLTP Negeri 2 Mandau, Duri-Riau

5. 2001 - 2004 : SMA Negeri 2 Mandau, Duri-Riau

(7)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan

karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dalam Pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009”

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih

terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan

saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan,

bantuan, saran dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan

ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan

Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

sekaligus Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan

masukan kepada penulis.

3. Ibu Siti Khadijah Nst, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing skripsi I atas

(8)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

4. Bapak dr. Heldy BZ, MPH, selaku Dosen Pembimbing skripsi II yang telah

banyak memberikan bantuan, bimbingan, pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak

memberikan saran dan masukan kepada penulis.

6. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, M.KKK, selaku Dosen Penasehat Akademik di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu dr. Hj. Aisyah Umeda selaku Kepala Puskesmas Pekan Labuhan yang telah

memberikan izin untuk melakukan penelitian.

8. Bapak dr. M. Chairani dan Ibu Susi Wahyuni selaku petugas kesehatan di

Puskesmas Pekan Labuhan yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan,

pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

9. Para Dosen dan Staf di FKM USU, khususnya Departemen AKK yang telah

membimbing selama perkuliahan.

10.Sahabat-sahabat terbaikku: Dinda, Dita, Fika, Fira, Wiwid, Yana yang selalu

mengingatkan, mendoakan, membantu tanpa pamrih, tempat berbagi, dan yang

selalu menenangkan jiwa.

11.Terima kasih untuk Dina, Lia, Wella atas kebersamaan mulai dari bangku SD

hingga saat ini. Kalian adalah sahabat selamanya.

12.Teman-teman PBL Bandar Baru: Debby, Fani, Laya, Noni, dan Sumisan yang

telah menginspirasi penulis dengan kekuatan dan perjuangan kalian selama ini.

13.Teman-teman seperjuangan di Departemen AKK: Abang Zai, Abang Telpa, Roni,

(9)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

14.Sang Pelipur lara Cokil tersayang, terima kasih telah menemani hari-hari penuh

perjuangan dan juga buat Vidi, Butet, Monik, Aura, dan Bunda.

15.Rekan-rekan stambuk 2004 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per

satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada

Abah dan Ibu yang kakak hormati dan sayangi, Syawalluddin Lubis dan Nurhayati,

atas segala doa, kekuatan, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan

dengan segenap hati yang tulus selama ini. Selanjutnya kepada abang-abangku Budi

Lubis, ST, Jurelly Lubis, ST, dan Hendra Syahputra yang selalu melindungi dan

mengawal setiap langkah penulis, dan adikku Dewi Astuti atas dukungan moril

maupun material dan doanya selama ini. Terima kasih buat semua perhatian dan cinta

yang diberikan keluarga kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

siapa saja serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, Juni 2008 Penulis,

(10)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

2.1. Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.1. Cara Penularan ... 10

2.1.2. Penemuan Penderita TB Paru ... 11

2.1.3. Risiko Penularan ... 11

2.1.4. Gejala Klinis TB Paru ... 12

2.1.5. Tipe Penderita TB Paru ... 12

2.1.6. Pemeriksaan Dahak ... 13

2.1.7. Prinsip Pengobatan ... 15

2.1.8. Efek Samping OAT... 18

2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) ……… 18

2.3. Konsep Perilaku ... 20

2.4. Kepatuhan Berobat ... 25

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis ... 29

2.6. Pengawas Menelan Obat (PMO)... 30

2.6.1. Persyaratan PMO... 30

2.6.2. Siapa yang Bisa Menjadi PMO ... 31

2.6.3. Tugas Seorang PMO ... 31

2.7. Kerangka Konsep ... 32

2.8. Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Lokasi Penelitian ... 34

(11)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

3.3.1. Populasi ... 34

3.3.2. Sampel ... 35

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.5. Definisi Operasional ... 35

3.6. Aspek Pengukuran ... 37

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 37

1. Karakteristik Individu ... 37

2. Faktor Pelayanan Kesehatan ... 38

3. Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 39

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 39

3.7. Teknik Analisa Data... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41

4.1. Gambaran Umum Puskesmas Pekan Labuhan ... 41

4.1.1. Data Geografis ... 41

4.1.2. Data Demografi ... 41

4.2. Karakteristik Responden ……….……… 43

4.3. Faktor Pelayanan Kesehatan ... 49

4.4. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)... 52

4.5. Tingkat Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru... 54

4.6. Gambaran Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB Paru ... 56

4.7. Hasil Uji Statistik Bivariat ... 57

4.8. Hasil Uji Statistik Multivariat ... 59

BAB V PEMBAHASAN ... 62

5.1. Pengaruh Umur Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 62

5.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64

5.3. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64

5.4. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 65

5.5. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 66

5.6. Pengaruh Efek Samping OAT Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 68

5.7. Pengaruh Faktor Pelayanan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 69

5.8. Pengaruh Peran PMO Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 72

BAB VI KESIMPUAN DAN SARAN ... 75

6.1. Kesimpulan ... 75

6.2. Saran ... 76

(12)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner

Lampiran 2. Hasil-hasil Pengolahan Statistik Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

(13)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu... 37

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 42

Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 42

Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 43

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 . ... 44

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 47

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Efek Samping OAT di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 48

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan

di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 51

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Peran PMO di Wilayah Kerja

Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 53

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peran PMO di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009 ... 53

Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kepatuhan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 55

Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Berobat

di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009... 56

Tabel 4.12. Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson... 59

(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia

sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Sebagian besar

kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya.

Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan

global penyakit TB, karena jumlah kasus TB meningkat dan tidak terkendali

khususnya pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB

besar (high burden countries) (Depkes RI, 2007).

Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global.

Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB termasuk mereka

yang juga memperoleh infeksi HIV (200.000) pada tahun 2006 (Depkes dan WHO,

2008).

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB Paru.

Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB Paru secara signifikan.

Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti TB

(16)

berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya

epidemi TB Paru yang sulit ditangani (Depkes RI, 2007).

Laporan TB Paru dunia oleh WHO yang terbaru tahun 2006, masih

menempatkan Indonesia sebagai penyumbang terbesar nomor tiga di dunia setelah

India dan Cina atau sekitar 10% dari total jumlah pasien TB Paru di dunia. Jumlah

kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per

tahun (Depkes RI, 2007).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan

bahwa penyakit TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari

total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernapasan pada semua

kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Hasil Survei

Prevalensi TB Paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi

TB Paru Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.

Secara regional, prevalensi TB Paru BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam

tiga wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa

dan Bali 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur 210 per 100.000

penduduk (Achmadi, 2005).

Besar dan luasnya permasalahan akibat TB Paru mengharuskan kepada semua

pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan

TB Paru. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek

kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun ekonomi. Dengan demikian

TB Paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan meningkatkan

(17)

berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan akibat

TB Paru (Depkes RI, 2007).

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO

melaksanakan suatu evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang

menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada

strategi penanggulangan TB Paru di Indonesia yang kemudian disebut ”Strategi

DOTS (Directly Observed Treatment-Shortcourse)” yang menandai era baru

pemberantasan TB Paru di Indonesia. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai

salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan

kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Dirjen P2M &

PL, 1997).

DOTS adalah strategi yang komprehensif untuk digunakan oleh petugas

kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB

Paru. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dapat memberikan angka

kesembuhan yang tinggi di mana WHO menargetkan angka kesembuhan minimal

85% dari penderita TB Paru BTA positif yang terdeteksi (Dirjen P2M & PLP, 1997).

Prinsip DOTS adalah menentukan pelayanan pengobatan terhadap penderita

agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan minum obat. Strategi ini diawasi

oleh petugas Puskesmas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lain

yang paham tentang program DOTS. Di samping itu, keluarga sangat perlu

keterlibatannya dalam pengawasan dan perawatan penderita TB Paru ini (Dirjen P2M

(18)

Strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh Puskesmas yang ada di Kota

Medan yang berjumlah 39 Puskesmas. Salah satunya adalah Puskesmas Pekan

Labuhan yang berada di Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan yang memiliki

laboratorium sehingga menjadi Pusat Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk

pemeriksaan dahak.

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2006, diketahui

bahwa dari 24 penderita TB Paru BTA positif yang ada di Puskesmas Pekan

Labuhan, sebanyak 13 orang dinyatakan sembuh (62%). Pada tahun 2007, Puskesmas

Pekan Labuhan merupakan Puskesmas dengan angka kesembuhan paling rendah

hanya sebesar 20%. Dari jumlah penduduk 26.325 jiwa ditemukan penderita TB Paru

klinis sebanyak 162 penderita dan yang dinyatakan BTA positif sebanyak 20 orang.

Angka kesembuhan yang dicapai pada tahun tersebut hanya sebesar 20% atau

sebanyak 5 (lima) orang. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Puskesmas Pekan Labuhan belum bisa mencapai target yang ditetapkan yaitu angka

kesembuhan minimal 85% dan bahkan mengalami penurunan pencapaian angka

kesembuhan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Keadaan ini memprihatinkan, padahal

Depkes RI telah menyediakan obat gratis bagi penderita TB Paru yang berobat ke

Puskesmas. Pada tahun 2008, terdapat 161 kasus TB Paru dengan 22 kasus baru BTA

positif. Dari 33 penderita yang diobati 19 orang dinyatakan sembuh (57,58%).

Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada

kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi

peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan

(19)

Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan

penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Amiruddin,

2006).

Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat

bagi setiap penderita. Paduan OAT jangka pendek dan peran Pengawas Menelan Obat

(PMO) merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita. Walaupun paduan

obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat dengan teratur maka

umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan (Depkes RI,1996).

Menurut WHO, tanpa pengobatan selama lima tahun, 50% dari penderita TB

Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang

tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Depkes RI, 2002).

Pengobatan penyakit TB Paru zaman sekarang ini sudah semestinya tidak

menjadi masalah lagi. Apabila dilihat dari penyebab penyakitnya sudah dapat

diketahui dengan pasti, sarana penunjang diagnostiknya sudah ada, bahkan obatnya

yang ampuh pun sudah ada, apalagi mengenai dokternya kalau boleh dikatakan sudah

berlebihan. Akan tetapi kenyataan yang ada membuktikan bahwa pengobatan

tuberkulosis tidaklah semudah yang diperkirakan. Banyak faktor yang sangat

memengaruhi keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan,

kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor

sosial ekonomi penderita yang tidak kalah pentingnya (Situmeang, 2004).

Kenyataan lain bahwa penyakit TB Paru sulit dibasmi karena obat yang

diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya makan waktu yang

(20)

yang menjadi penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari

berbagai pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB Paru di berbagai

tempat menjadi amat lemah (Dinkes SU, 2005).

Menurut Aditama (1994), kalau pengobatan tidak tuntas malah menyebabkan

kuman kebal obat dan tentu akan muncul kuman yang lebih ganas. Setelah makan

obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan pasien hilang tetapi belum berarti

sembuh total. Padahal saran dari WHO, dengan strategi DOTS dijalankan dengan

baik, pada tahun 2010 sedikitnya 70% kasus TB Paru dapat terdiagnosis dan terobati.

Menurut WHO, bila 70% dari perkiraan penderita baru yang ada, dapat

ditemukan dan diobati dengan angka kesembuhan 85% dapatlah dikatakan bahwa

program ini berhasil. Dengan kata lain indikator keberhasilan dapat dilihat dari

kesembuhan penderitanya.

Kepatuhan berobat penderita TB Paru juga ditentukan oleh perhatian tenaga

kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu

mengunjungi ke rumah. Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab

petugas kesehatan. (Dirjen P2M dan PLP, 1997).

Penelitian Eliska (2005) menunjukkan bahwa faktor pelayanan kesehatan

yaitu penyuluhan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB

Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Berdasarkan penelitian Wahab (2002),

faktor yang lebih dominan berpengaruh terhadap keberhasilan program

penanggulangan TB Paru di Puskesmas Helvetia adalah sikap pasien, sikap petugas,

(21)

Berdasarkan penelitian Senewe (1997), penyuluhan kesehatan, kunjungan

rumah, mutu obat dan jarak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan

berobat penderita TB Paru. Penelitian Tanjung, dkk (1995) di Kecamatan Kotanopan,

Tapanuli Selatan menunjukkan bahwa tingginya angka kesakitan, kekambuhan, dan

kematian pada penderita TB Paru disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain

rendahnya penghasilan, pendidikan dan pengetahuan yang kurang, rendahnya

kepatuhan berobat, tidak cocoknya paduan obat, resistensi obat, supervisi dan

penyuluhan yang kurang dari petugas.

Menurut Nukman (Permatasari, 2005), faktor-faktor yang memengaruhi

keberhasilan pengobatan TB Paru adalah: 1) faktor sarana yang meliputi tersedianya

obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian OAT yang

adekuat; 2) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk

sembuh, dan kebersihan diri; 3) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa angka kesembuhan penderita TB

Paru di Puskesmas Pekan Labuhan belum mencapai target nasional yang telah

ditetapkan sehingga penulis tertarik untuk meneliti pengaruh karakteristik individu

(umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan efek samping

Obat Anti Tuberkulosis), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT), sikap petugas kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan

dan kunjungan rumah), dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap

tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas

(22)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan penelitian yaitu bagaimana pengaruh karakteristik individu, faktor

pelayanan kesehatan, dan faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap

tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan

Kota Medan tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik

individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan efek

samping OAT), faktor pelayanan kesehatan (ketersediaan OAT, sikap petugas

kesehatan, lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah), dan faktor

peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan penderita TB Paru

dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan tahun 2009.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota Medan dalam

rangka penanggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan dalam

rangka melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan kepada penderita TB paru.

3. Sebagai pengembangan wawasan keilmuan peneliti mengenai upaya

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis yang dulu disingkat

menjadi TBC karena berasal dari kata tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat

dengan TB saja. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan

dari seseorang ke orang lain (Aditama, 1994).

Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman

yang bernama Robert Koch ditahun 1882. Hasil penemuannya ini dilaporkan olehnya

kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penemuan ini merupakan

peristiwa besar dalam perkembangan pengobatan tuberkulosis, dan tanggal 24 Maret

setiap tahunnya sampai kini diperingati sebagai TB Day (Hari Tuberkulosis)

(Aditama, 1994).

Kuman tuberkulosis berbentuk batang berukuran sangat kecil sehingga hanya

dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya sekitar satu sampai empat mikron dan

lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara

optimal pada suhu sekitar 37°C yang sesuai dengan tubuh manusia. Untuk

berkembang biak basil ini melakukan pembelahan dirinya, dan dari satu basil

membelah menjadi dua dibutuhkan waktu 14 sampai 20 jam lamanya. Kalau dilihat

struktur kimia, basil ini terdiri dari lemak dan protein (Aditama, 1994).

(24)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam

di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,

tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

2.1.1. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan

dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam

saluran pernafasan. Setelah kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui

pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya,

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,

makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat

kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang

terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002).

Perlu diketahui bahwa kuman TB Paru dari dalam paru tidak hanya keluar

(25)

Imelda Zuliana : Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Faktor Peran Pengawas

bernyanyi, bersin atau bersiul. Secara umum dapat dikatakan bahwa penularan

penyakit TB Paru banyak tergantung dari beberapa faktor seperti jumlah kuman yang

ada, tingkat keganasan kuman, dan daya tahan tubuh orang yang tertular (Aditama,

1994).

2.1.2. Penemuan Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), penemuan penderita TB Paru dilakukan secara

pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang

berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif tersebut

didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini

biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita

secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TB Paru

BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

2.1.3. Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection=ARTI)

di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan

ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk sepuluh orang akan

terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB

Paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB Paru.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa pada daerah

dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita

(26)

memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan

tubuh yang rendah, di antaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI,

2002).

2.1.4. Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari

walau tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2002).

Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB Paru. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka

setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut

di atas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TB Paru, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2002).

2.1.5. Tipe Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan

riwayat pengobatan sebelumnya yaitu:

1. Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30

(27)

2. Kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi

berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindahan (transfer in) adalah penderita TB Paru yang sedang mendapat

pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten

ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan.

4. Setelah Lalai (pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita TB Paru

yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan berhenti dua bulan atau lebih,

kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan

hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

5. Lain-lain

Gagal yaitu penderita BTA positif yang tetap masih positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

atau lebih. Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif

menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

Kasus Kronis yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

2.1.6. Pemeriksaan Dahak

Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak

secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen ”Sewaktu Pagi Sewaktu”

(SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling

(28)

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB

Paru adalah:

1. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi.

2. Menilai kemajuan pengobatan.

3. Menentukan tingkat penularan.

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan

pada:

- Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan

ulang penderita BTA positif kategori 2.

- Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan

ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

- Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif

dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang

BTA positif dengan kategori 2.

Pemeriksaan dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir

(29)

2.1.7. Prinsip Pengobatan

Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan

penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat

penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk

kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan

sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru

akan berkembang menjadi kuman kebal obat. Untuk menjamin kepatuhan penderita

menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung

(DOTS=Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan

Obat (PMO).

Menurut Depkes (2002), pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap

yaitu:

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama

ripamfisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 (dua)

minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif

(30)

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman

persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk

memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai

selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Program

Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT:

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan

Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).

Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru TB Paru BTA positif

• Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat

• Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Satu paket kombipak berisi 114 blister harian.

2. Kategori 2 ((2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid(H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan

(31)

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga

kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah

penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk :

Penderita kambuh (relaps)

Penderita gagal (failure)

Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Satu paket kombipak berisi 156 blister harian.

3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru BTA negatif dan Rontgen positif sakit ringan

Penderita Ekstra Paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis),

pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang

belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Satu paket kombipak berisi 114 blister harian.

4. OAT Sisispan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari

(32)

2.1.8. Efek Samping OAT

Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu,

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama

pengobatan. Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita

tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu

penderita mengambil OAT.

Efek samping ringan dari OAT seperti tidak ada nafsu makan, mual, sakit

perut, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki, dan warna

kemerahan pada air seni. Efek samping berat dari OAT misalnya gatal dan kemerahan

kulit, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus tanpa penyebab lain, bingung dan

muntah-muntah, gangguan penglihatan, purpura dan syok (Depkes RI, 2002).

2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah

direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun

1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB

Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS

diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru

BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita

agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan

(33)

Kalau diurai dari kata-katanya, pengertian DOTS dapat dimulai dengan

keharusan setiap pengelola program TB untuk memberi direct attention dalam usaha

menemukan penderita. Dalam bahasa lain ini diterjemahkan menjadi deteksi kasus

dengan pemeriksaan mikroskopik, kendati sebenarnya pengertiannya dapat diperluas

dengan keharusan untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Kemudian, setiap

pasien harus di-observed dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan pasien

harus di depan seorang pengawas. Selain itu, tentunya pasien harus menerima

treatment yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat

secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik, artinya

pengobatan short course standard yang telah terbukti ampuh secara klinik. Akhirnya,

harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan TB

mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Strategi DOTS mempunyai lima komponen:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

(34)

2.3. Konsep Perilaku

Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari

dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (dari luar diri manusia). Faktor internal

ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor

antara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan

dan sebagainya. Secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan, baik

individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat (Blum,

1974). Konsep Blum menjelaskan bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh:

1. Lingkungan, yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi,

dan sebagainya.

2. Perilaku.

3. Pelayanan kesehatan.

4. Keturunan (hereditas).

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang

memengaruhi derajat kesehatan. Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan

meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan

kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Menurut Green (Notoatmodjo, 2003),

perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yakni:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,

tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

(35)

2. Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan

bagi masyarakat, misalnya : air bersih, tempat pembuangan tinja, ketersediaan

makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas kesehatan seperti

Puskesmas, rumah sakit, Posyandu, dokter atau bidan praktek swasta, dan

sebagainya.

3. Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama,

sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di

sini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah

daerah yang terkait dengan kesehatan.

Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang

berperilaku tertentu dikarenakan 4 (empat) alasan pokok yaitu:

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling)

Yakni dalam bentuk pengetahuan, kepercayaan dan sikap. Pengetahuan diperoleh

dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sedangkan kepercayaan

biasanya diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima

kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih

dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek dan

seringnya diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain yang

(36)

2. Orang penting sebagai referensi (Personal reference)

Perilaku orang, lebih-lebih anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang

yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting baginya, maka apa yang

orang tersebut katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.

3. Sumber-sumber daya (Resources)

Mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya yang berpengaruh positif

ataupun negatif terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.

4. Kebudayaan (Culture)

Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam

suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada

umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama

sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu

berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban manusia.

Anderson (Notoatmodjo, 2003) menggambarkan model sistem kesehatan

(health system model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Di dalam model

Anderson ini terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yaitu:

1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characterstics)

Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan bahwa tiap individu

mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang

berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang

(37)

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur.

b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan, dan

sebagainya.

c. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan

dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

2. Karakteristik Pendukung (enabling characteristics)

Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk

menggunakan pelayanan kesehatan, ia tak akan bertindak menggunakannya,

kecuali bila ia mampu menggunakannya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang

ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar.

3. Karakteristik kebutuhan (need characteristics)

Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan

dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.

Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk

menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling

itu ada. Kebutuhan (need) di sini dibagi menjadi dua kategori, dirasa atau

preceived (subject assessment) dan evaluated (clinical diagnosis).

Menurut Skinner yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan

adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan

minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat

(38)

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga

kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh

sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu :

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta

pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.

c. Perilaku gizi. Makanan dan minuman dapat meningkatkan kesehatan

seseorang, tetapi sebaliknya dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan

seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung

pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian pengobatan (health behavior)

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari

mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik

maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang

mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,

(39)

2.4. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berasal dari kata ”patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin.

Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan

kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan

tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat

mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (Ester, 2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan

risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk

kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah

opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan

pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu

faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang

memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya

bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi

kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah

penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang

menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota

(40)

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi

empat bagian yaitu:

1. Pemahaman Tentang Instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi

yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih

dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang

instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh

kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,

penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus

diingat oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu:

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,

maka akan ada efek ”keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang

pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal

yang perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian

yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi

(41)

umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien

membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang

dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menetukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program

pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan

membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, Sikap, Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian

secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.

Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan

yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang

disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out)

dari program pengobatan.

Menurut Schwart & Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan

ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang ketaatan pasien didasarkan atas pandangan

tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh.

Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap

(42)

pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan

jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku

dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat

menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru

menekankan faktor situasional dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses

pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk

mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko

mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan:

1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit

kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang

jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan

yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk

menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat

tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara pasien dan dokter

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat

(43)

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan

terhadap pengobatan yang diberikan (Bart, 1994).

3. Variabel-variabel sosial

Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum,

orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan

pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya

cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada pasien yang kurang

mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang

sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh

normatif pada pasien, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau

menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.

Sebagai contoh : di Amerika Serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang

tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart, 1994).

2.5. Penyuluhan Tuberkulosis

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena

masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat.

Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta

masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan

(44)

penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya

untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan

kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan

secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga,

melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB

Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan

untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, utuk mengubah persepsi

masyarakat tentang TB Paru dari ”suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan

memalukan”, menjadi ”suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil bila:

• Penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya.

• Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan.

• Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

2.6. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan

diperlukan seorang PMO.

2.6.1. Persyaratan PMO

Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah:

- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

(45)

- Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

- Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

2.6.2. Siapa yang Bisa Menjadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,

sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, atau tokoh

masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.6.3. Tugas Seorang PMO

Menurut Depkes RI (2002), tugas seorang PMO adalah:

- Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan.

- Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur.

- Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah

ditentukan.

- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai

gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke UPK.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk menggantikan kewajiban penderita

(46)

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep

penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Definisi konsep :

1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru

yang memengaruhi tingkat kepatuhan dalam melaksanakan program pengobatan

dengan strategi DOTS yang membedakan seseorang dengan yang lainnya,

meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, efek samping

OAT.

Karakteristik Individu

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Pengetahuan 6. Efek samping OAT

Faktor Pelayanan Kesehatan

1. Ketersediaan OAT 2. Sikap petugas kesehatan 3. Lokasi/Jarak

4. Penyuluhan kesehatan 5. Kunjungan rumah

Faktor Peran PMO

(47)

2. Faktor pelayanan kesehatan adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap

upaya yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan untuk menangani

penderita TB Paru meliputi: ketersediaan OAT, sikap petugas kesehatan,

lokasi/jarak, penyuluhan kesehatan, dan kunjungan rumah.

3. Faktor peran PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah penilaian dari penderita TB

Paru terhadap hal-hal yang menjadi tugas dari seorang pengawas menelan obat

yang memengaruhi tingkat kepatuhan penderita TB Paru dalam melaksanakan

pengobatan, meliputi: penyuluhan, memberi dorongan, mengingatkan dan

mengawasi.

4. Tingkat kepatuhan adalah tingkat ketaatan penderita TB Paru dalam

melaksanakan pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan.

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh karakteristik individu terhadap tingkat kepatuhan penderita TB

Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan tahun 2009.

2. Ada pengaruh faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan penderita

TB Paru dalam pengobatan di Puskesmas Pekan Labuhan tahun 2009.

3. Ada pengaruh faktor PMO (Pengawas Menelan Obat) terhadap tingkat kepatuhan

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross

sectional yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu, faktor

pelayanan kesehatan, dan faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat

kepatuhan penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan di Puskesmas Pekan

Labuhan Kota Medan tahun 2009 (Notoatmodjo, 2005).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan, pada

bulan Maret sampai April tahun 2009. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan

angka kesembuhan penderita TB Paru pada Puskesmas ini belum mencapai target

yang ditetapkan yaitu minimal 85%. Masih rendahnya angka kesembuhan berdampak

negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan program, karena masih memberi

peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan

masyarakat sekitarnya.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru kategori 1

yang mengikuti program DOTS di Puskesmas Pekan Labuhan mulai bulan Oktober

tahun 2008 sampai dengan Maret 2009 berjumlah 38 orang.

(49)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang mengikuti

pengobatan dengan strategi DOTS kategori 1 di Puskesmas Pekan Labuhan yang

pada saat penelitian sudah menjalani pengobatan di atas 2 (dua) bulan atau sedang

dalam tahap lanjutan yaitu sebanyak 38 orang (total sampling).

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:

1. Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung kepada penderita TB Paru

dan petugas kesehatan program penanggulangan TB Paru yang berpedoman pada

kuesioner penelitian yang telah ditetapkan dan melakukan cross check.

2. Data sekunder, diperoleh dari laporan pelaksanaan program penanggulangan TB

Paru di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan, Kartu Pengobatan TBC

(formulir TB.01), Formulir Permohonan Laboratorium TBC Untuk Pemeriksaan

Dahak (formulir TB.05), dan profil Dinas Kesehatan Kota Medan.

3.5. Definisi Operasional

1. Umur adalah usia responden saat penelitian berdasarkan ulang tahun terakhir,

yang dibedakan atas 3 (tiga) kategori berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota

Medan tahun 2008, yaitu: 1) Orang muda: 15-24 tahun; 2) Dewasa: 25-49 tahun;

3) Orang tua: ≥ 50 tahun

2. Jenis Kelamin adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya

(50)

3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil ditamatkan

responden yang dibedakan atas: tidak tamat SD, SD, SLTP, SLTA,

Akademi/Sarjana.

4. Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh responden sebagai sumber

pendapatan utama, yang dibedakan atas bekerja dan tidak bekerja.

5. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai penyakit

TB Paru.

6. Efek samping OAT adalah gejala/keluhan yang diderita responden akibat menelan

OAT selama pengobatan.

7. Ketersediaan OAT adalah pandangan responden terhadap kondisi OAT yang

diperoleh dari Puskesmas meliputi kecukupan jumlah OAT dan kualitasnya.

8. Sikap petugas kesehatan adalah penilaian responden terhadap tanggapan atau

reaksi petugas kesehatan kepada responden selama mereka menjalani pengobatan.

9. Lokasi/jarak adalah pandangan responden tentang lama perjalanan yang ditempuh

dari tempat tinggal responden ke Puskesmas yang diukur dengan jarak, dan sarana

transportasi.

10.Penyuluhan kesehatan adalah pandangan responden tentang kegiatan yang

dilakukan oleh petugas kesehatan sehubungan dengan pengobatan TB Paru, untuk

mencapai suatu keadaan di mana penderita TB Paru dapat hidup lebih sehat.

11.Kunjungan rumah adalah pandangan responden tentang kegiatan yang dilakukan

petugas kesehatan selama masa pengobatan ke rumah responden.

12.Faktor peran Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah pandangan responden

(51)

memberi dorongan, mengingatkan jadwal pemeriksaan dahak, dan mengawasi

penderita menelan obat.

13.Kepatuhan berobat adalah ketaatan responden dalam menelan obat, mengambil

obat dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan

menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas 1. Karakteristik Individu

Aspek pengukuran variabel karakteristik individu dapat dilihat pada Tabel 3.1.

di bawah ini:

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu

Karakteristik

Pekerjaan a. Tidak bekerja

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu B. Nilai
Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Tahun 2009
Tabel 4.3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Puskesmas Pekan Labuhan  Tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari faktor-faktor tersebut di atas, peranan Pengawas Menelan Obat diduga mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap keberhasilan pengobatan TB paru, karena PMO menentukan apakah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat

Peranan Pengawas Menelan Obat diduga mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap keberhasilan pengobatan TB paru karena PMO menentukan apakah obat yang sudah

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi gambaran peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS pada

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi gambaran peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS pada

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan penderita TB Paru, pelayanan kesehatan dan pengawas menelan obat terhadap tingkat

Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara peran pengawas menelan obat (PMO) dengan keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis paru di Puskesmas

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi gambaran peran petugas kesehatan dan pengawas menelan obat (PMO) dalam pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS pada