TINJAUAN PUSTAKA
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Smet (1994), factor-faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah : a. Faktor Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan
b. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotic. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis
c. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.
Sementara itu menurut Given dalam Wihartini (2010), bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah :
a. Faktor Penderita atau Individu
1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam control penyakitnya 2) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan control penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya
b. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya
c. Dukungan Sosial
Dukungan social dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan factor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
d. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan factor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien mengahadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat memengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.
2.4. Tuberkulosis Paru 2.4.1. Pengertian
Tuberkulosis biasanya disingkat menjadi TB atau TBC adalah penyakit menular disebabkan oleh bakteri tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (PPTI,2010)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.( Kemenkes,2011)
Tuberkulosis Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Penderita dengan TB Paru dan TB Ekstra Paru diklasifikasikan debagai TB paru. (Kemenkes, 2011)
2.4.2. Sejarah
Pada penggalian di Mesir telah ditemukan kerangka-kerangka dengan kelainan-kelainan menyerupai akibat penyakit tuberculosis, dan ternyata kerangka-kerangka tersebut telah berumur antara 600-3700 tahun sebelum masehi. Di Eropa juga ditemukan suatu kerangka Neolithis 1800 tahun sebelum masehi disekitar
Heidelberg yang menunjukkan adanya bekas-bekas tuberculosis vertebrata. Begitu pula di Amerika ditemukan kerangka-kerangka dengan bekas penyakit tuberculosis pada periode precolumbia. Penggalian bentuk-bentuk tertentu dibeberapa tempat menguatkan dugaan adanya penyakit tuberculosis pada waktu itu, misalnya ditemukan kerangka dengan Bungkuk Pott (Pottse Gibbus) pada tulang belakang. Disamping penemuan-penemuan tersebut, banyak tulisan tentang penyakit ini. Tulisan yang penting berasal dari Yunani dan Romawi, Hipokrates (abad ke V sebelum masehi). Hipokrates menamakan penyakit tersebut sebagai Phthisis yang berasal dari kata phthiein (menjadi kurus). Hippokrates saat itu menggambarkan penyakit tersebut dengan panas tinggi, batuk darah, penurunan berat badan, kelemahan tubuh serta buang-buang air. (Hudoyo,2008)
Perawatan pasien dengan tuberculosis di lukiskan dengan tuberculosis oleh Galenus pada saat itu antara lain dengan cara istirahat, mencuci diri, diit atau perjalanan dengan kapal laut. Selain perjalanan jauh melalui laut juga pergi ke daerah pegunungan, yang akhirnya menimbulkan gagasan pertama tentang pendirian Sanatorium 1840 ( di Reudi) dan di Jerman 1860 (di Brehmer). Pada abad ke XVI ‘ Laennec (1781-1826) masih mempertahankan pendapatannya bahwa tuberculosis adalah penyakit keturunan. Villemin (1827-1892) kemudian mengadakan percobaan untuk membuktikan bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular,walaupun saat itu belum menemukan kuman tuberkulosis sebagai organisme penyebab penyakit ini.(Hudoyo,2008)
Pada tanggal 24 Maret tahun 1882 adalah hari yang sangat bersejarah. Pada saat itulah Robert Koch mengumumkan di Berlin bahwa ia telah menemukan penyebab penyakit tubekulosis. Mulai saat itulah kemudian penelitian-penelitian dan percobaan dilakukan untuk menemukan obat pelawan tuberkulosis. Koch sendiri pada tahun 1890 melakukan percobaan dengan menggunakan kuman tuberkulosis yang telah mati –“Old Tuberculine”. Kemudian pada tahun 1907 Old Tuberculine dipakai bukan sebagai obat tapi sebagai larutan penguji oleh Von Pirquit. Pengobatan waktu itu (periode permulaan abad ke XX) berupa “collapse therapy” antara lain “intrapleural pneumothorax” atau tindakan pembedahan dengan cara memperkecil rongga dada (thoracoplasty). Cara-cara ini berlaku sampai ditemukan antibiotika pertama terhadap tuberculosis oleh Waksman pada tahun 1944. Dalam sejarah tuberculosis, maka tinta emas patut dituliskan untuk nama Wilhelm Rontgen yang pada tahun 1895 telah menemukan sinar x, serta Calmette dan Guerin pada tahun 1921 dengan vaksin BCG nya.(Hudoyo,2008)
Di Indonesia tuberculosis ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang patut disimak. Catatan paling tua dari penyakit ini didapatkan pada salah satu relief di Candi Borobudur yang menggambarkan sang Budha dan seorang yang sakit, digambarkan bentuk orang sakit pada umumnya pada waktu itu. Bila relief ini diperhatikan, kita tidak dapat memungkiri suatu gambar dari seorang yang sakit : kurus, iga menonjol, bahu terangkat, pipi cekung, semuanya menggambarkan bentuk suatu kasus tuberculosis. Dengan kata lain, pada waktu (tahun 750 sesudah masehi) orang sudah mengenal penyakit ini diantara mereka (Hudoyo A, 2008)
2.4.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi dari penyakit tuberculosis turun dengan mengesankan semenjak tahun 1900. Di awal abad ini lebih 80 % penduduk terinfeksi sebelum berumur 20 tahun. Dalam suatu penelitian dengan autopsy di tahun 1946 dijumpai tuberkulosis sebanyak 80% dari mereka yang berumur diatas 50 ta hun. Pada tahun 1972 hanya 2 sampai 5 % dari anak-anak muda yang memberi reaksi tuberculin positif sedang pada usia diatas 50 tahun dijumpai sekitar 25 %. Penurunan insiden nyata terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Hal ini berbeda dengan negara sedang berkembang, seperti Indonesia dengan penderita TB terbanyak pada usia angkatan kerja atau dewasa muda. ( Hudoyo, 2008)
Pada tahun 1959 insiden di Amerika Serikat sebesar 53 per 100.000 penduduk, kemudian turun menjadi 24 pada tahun 1966 dan turun lagi menjadi 14 pada tahun 1974. Sedangkan angka kematian di Amerika Serikat tercatat 200 orang dalam 100.000 orang pada tahun 1906, pada tahun 1966 turun menjadi 3,8 dan pada tahun 1976 menjadi hanya 1,5 per 100.000 penduduk
Gambaran penyakit TB di Indonesia, ditunjukkan oleh hasil survey prevalensi yang diadakan di Yogyakarta dan Malang sekitar tahun 1961-1965 dengan bantuan WHO dan Unicef, gambaran data-data epidemiologi saat itu adalah sbb :
1. Prevalensi BTA positif adalah 0,6 % (dengan biakan)
2. Prevalensi kelainan paru dengan pemeriksaan sinar tembus 3,6 % 3. Angka kejadian penularan tahunan diperhitungkan sebesar 5 % 4. Breakdown rate sebesar 5 %
5. Insidensi sumber penularan 0,10-0,15 % menurut perkiraan WHO
6. Angka kematian akibat penyakit TBC di Jakarta 36,8/100.000 penduduk pada tahun 1967
Dari survey di Jakarta tahun 1962 dan hasil Run-test jumlah penderita TB di beberapa daerah Nampak bahwa golongan masyarakat berpenghasilan rendah merupakan sasaran kuman-kuman TB.
Jumlah penderita TB di Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah india dan China. Laporan dari WHO tahun 2000, jumlah penderita TB di India sebanyak 1,85 juta jiwa, di China 1,36 juta jiwa dan di Indonesia 0,59 juta jiwa. Dengan angka prevalensi masing-masing untuk India 184/100.000 penduduk, di China 102/100.000 penduduk dan di Indonesia 280/100.000 penduduk.(Hudoyo,2008)