BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Tuberkulosis Paru
2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Kombinasi beberapa jenis obat tersebut terdiri dari ; Rifampisin, INH, Pyrazinamid, Etambutol, Streptomisin . 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang PMO, supaya penderita meminum obatnya secara teratur setiap hari. Minum obat yang tidak teratur dan terputus putus bisa menimbulkan kekebalan
bakteri terhadap obat anti TBC sehingga bakteri tidak mati dan penyakit sulit untuk sembuh. Keadaan ini akan sangat membahayakan penderita sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan yaitu ; luasnya tubuh yang diserang, jenis, jumlah dan dosis obat yang cukup, teratur dalam menjalankan proses pengobatan, Istirahat yang cukup, perumahan yang sehat, makan-makanan bergizi, Iklim, faktor psikis.
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera
melaporkannyakepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.
Efek samping saat minum obat yang perlu diketahui yaitu; kulit berwarna kuning, air seni berwarna gelap seperti minum air teh, kesemutan, mual dan muntah, hilang nafsu makan, perubahan pada penglihatan, demam yang tidak jelas, lemas dan keram perut.
Dosis obat penderita TB Paru disesuiakan dengan berat badan penderita TB Paru (Kemenkes,2011)
Tabel 2.1. Dosis Obat Penderita TB Paru
Berat Badan
Tahap Intensif TiapHariselama 56 Hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 Kali Seminggu selama 16
Minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2KDT ≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2KDT
2.4.9. Memastikan Penyakit TB Paru
Untuk memastikan bahwa seseorang menderita TB paru atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan dahak sebanyak 3x selama 2 hari yang dikenal dengan istilah SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) yaitu;
1. Sewaktu (hari pertama), yaitu pemeriksaan dahak sewaktu penderita dating pertama kali;
2. Pagi (hari kedua), yaitu pemeriksaan sehabis bangun tidur kesesokan harinya. Dahak ditampung dalam pot kecil yang diberi petugas laboratorium;
3. Sewaktu (Hari kedua), yaitu pemeriksaan dahak yang dikeluarkan saat penderita datang ke laboratorium untuk diperiksa. Jika positif, orang tersebut dipastikan menderita TB Paru.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2007).
2.4.10. Pencegahan
Cara Pencegahan Penyakit TBC Menurut Depkes RI (2007) agar terhindar dari TB paru ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya :
1. Membiasakan cara hidup sehat dengan makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, olah raga teratur, menghindari rokok, alkhol, obat terlarang dan menghindari stress.
2. Bila batuk mulut ditutup.
3. Jangan meludah sembarang tempat 4. Lingkungan sehat.
5. Vaksinasi BCG pada bayi
2.4.11. Strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1) Komitmen politis
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat
6) Melaksanakan dan mengembangka
2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial)
AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasindan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis.(Kemenkes,2011).
Langkah-langkah dalam strategi AKMS :
1. Advokasi
a. Analisa situasi
b. Memilih strategi tang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb) c. Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran d. Mobilisasi sumber dana
2. Komunikasi
Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. Strategi komunikasi diharapkan dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan TB dan kampanye stop TB.
3. Mobilisasi Sosial
a. Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi
b. Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader
c. Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar selalu mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan
d. Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota koalisi
e. Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi dan sebagai jaringan informasi
f. Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun kebersamaan dalam mengatasi masalah//isu (masalah bersama). Hal ini cukup efektif bila dilakukan dengan menggunakan TV, filler/spot, radio spot, billboard dan spanduk
2.5. Kerangka Pikir
Masukan Proses Luaran Hasil Dampak
Gambar 2.1. Kerangka Pikir dan Strategi AKMS