Los angeles,2007
Membaca puisi ini, saya sempat terbentur baris sajak “wajahmu sambal tomat di singapura dan di Filipina tadi aku dipaksa mencopot sepatu kini di pintu negerimu sepatu memaksa guinjalku mecopot berantakan..”
Untuk barisan puisi selanjutnya, kini lebih mudah untuk memilih :
Dipelatan Negara los angles/aku mendorong-dorong koperku/tas peringatan imigrasi kukantong/aku menggigil/malam musim semi merusak ikatan sepatuku/aku
menggigil ketakutan dan kecemasan membalut ginjalku/aku menggigil/ (dst) Di puisi ini, ada narasi besar tentang dialog dia dengan seorang nguyen. Anda narasi kecil yang berpecahan dari maslah amerika sebagai guru yang pada siapa harus dibicarakan oleh chachay, maslah guru dari iran yang menangisi manusia gugur, masalah sepasang gedung yang gugur. Cara pandang chavchay terhadap amerika dan sejarahnya, terutama bagi chavchay dan bagi Indonesia, diselessaikan lewat diksi dan metafora, tentu akan melahirkan emfati tak hanya bagi para
indonesianis namun juga para Negara asean, asia, mungkin juga seatero wilayah amerika latin dan wilayah amerika latin dan wilayah lain yang merasa korban imperialism barang kelontong politik peradaban dan HAM negeri adi daya. Karya chavchay bukan puisi berpola teknik bahasa yang lepas dan kering dari semangat social!
Karya chavchay tak sekedar menuangkan puzzle kata, kering makna dan kering efek terhadap masyarakat dominan.
Sebuah olah yang indah namun tiada berisi. Juga busuk tanpa biji. Jadi bahan permainan sekelompok orang dikamar-kamar gelap. Pakainnya megah, susunan tata bahasanya rapih, namun tanpa guna buat orang sekelilingnya. Perjuangan penyair semacam itu lebih berat. Lebih mudah tergilas karya para perintis “ puzzle kata” lainnya, mereka akan perjuangkan kegenitan konsep, kekuatan corong politik media massa- politik komunitas- politik Negara – politik dunia. Hal lain yang
membuat subur jenis puisi ini adalah trend fikiran baru!
Dimana puisi dan posisi chavchay kini? Seorang yang pernah berada di media massa namun didepak karena selentingan kabar dia mendobrak kekuasaan
kerajaan media massa dan kerajaan budaya? Novelis yang berkisah perjuangan dan perlawanan rakyat sekaligus kisah kegilaan tokoh utama? Suka bermusik dan
komunitas musik di wilayah rangkasbitung? Mahasiswa alumnus rabitah ali alamsyah, arab Saudi dan sekolah tinggi filsafat driyarkara, Jakarta? Berlatar spiritual, tapi bergaul dengan masyarakat luas? Kepala keluarga sekaligus kepala rumahtangga?
Jelas, semua latar ini memberi gambaran misi puisi dan visi kepenyairan yang dibawa. Celoteh pedasnya pada kalangan atas dan pembelaan pada kaum pinggiran kerap tercuat dalam pembicaraan di warung irin, dihalaman taman hasil ismail marzuki, atau kos kawan dipinggiran kali salemba.
Perubahan sosila bukan hanya terjadi pada sejarah pramoedya anata toer, rendra, atau wiji thukul. Nama yang terakhir bahkan biografi dan perlaawanan sosialnya menarik arus estetika puisi yang dia bangun: “maka hanya satu kata : lawan!”. Orangpun mau tahu pada bentuk puisi plastis ataupun puisi social bahkan pamphlet seorang rendra ketika perubahan social terus bergerak pada era soeharto. Politik dan kemanusiaan bukan segalanya bagi puisi, tetapi estetika bukan keniscayaan di dalam puisi. Sebagaimana ungkapan penyair kelahiran kota parral, 300 km di selatan Santiago, chili, Pablo Neruda.
When this problem has been thoroughly explored/I am going to school myself so well in things/that, when I try to explain my problems/I shall speak, not of self, but of geography.
Dalam tema dan misi social pun, sulit diingkari bahwa taka da persoalan terhadap Indonesia baik dari sudut politik, ekonomi bahkan kebudayaan. Di tengah
membesarnya negerin amerika, Cina,Jepang, India, terutama ekspansi produksi, semangat perlawanan dan pembebasan korban imperialism tetap setia membenam didada rakyat kecil, karyanya jadi jalan pembebasan.
Penyair dan masyarakatnya, sama-sama sadar tentang ketidakadilan di negeri ini, rakyat butuh terang karya seniman, kebijakan politisi dan ekonom yang kongret – kendati hal yang itu belum Nampak hingga sekarang. Sebagaimana salah satu sajak chavchay yang dituangkannya di dalam antologi pucuk risau, 2010:
ibumu adalah ibu pertiwi, namun/ibumu tak suka pupuk?/maksudku, pupuk yang dari abu pembakaran bukan/”bukankah ibumu adalah ibu pratiwi?/namun/mengapa ibumu tak sanggup menanam matahari?”maafkan ibuku bang/ibu lebih sering menangis/segala buku penuntunlah hilang/telah lama jadi pupuk/jadi abu-abu pembodohan”
persoalan semangat social dan kemanusiaan untuk posisi sekarang ini juga bukan semata-mata urusan ideology dari kalangan realism sosialis dimasa lalu.semangat social dan kemanusiaan bukan memiskinkan teknik, justru menjadi kekayaan teknik sekaligus kekayaan tma berpuisi. Indah dan berguna , kata bertuah dan using tokoh yunani Horace.
Semangat kemanusiaan, social mau pun kebangsaan menjadi kekayaan estetika karena diluar perkara teknik berpuisi, semnagat itu mewarnai “bunyi” puisi, dari rima mau pun makna. Puisi, menjadi dekat dengan biografi penyair dan
outdoor, kampus,pasar, dan jalanan. Mereka butuh penyair bersemangat seperti chavchay! Dalam isu kebngsaan yang bergerak seperti kuda perang, dalam ketertekanan, penderitaan dan kebingungan bangsa kita di saat ini.