• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI,

STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku

(3)

Kupersembahkan untuk: Ibunda Sunarmi, Suamiku Drs. Setyabudhi, M.Pd tercinta,

Anak-anakku tersayang: Aa Jj dan Aa Gi, serta Saudara-saudaraku terkasih: Mb Nur,

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor,

Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun

(5)

SUS WIDAYANI. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, dan MUHILAL

Defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun dan rentan terhadap peningkatan infeksi. Anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A pada anak-anak balita masih merupakan problem kesehatan di Indonesia, walaupun usaha perbaikan gizi sudah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat melimpah di bumi, meski sangat sedikit sekali jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun demikian defisiensi besi (anemia) merupakan defisiensi gizi mikro yang prevalensinya paling tinggi, dengan 2 milyar orang yang terkena di seluruh dunia. Zat besi memainkan peranan yang penting dalam metabolisme tubuh. Keberadaan vitamin A terutama dalam sisntesis hemoglobin (Hb) sangat penting terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A bersama zat besi (Fe) diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb, ferritin serum (Fs), retinol serum (Rs), dan respons imun khususnya imunoglobulin G (IgG) anak balita.

Salah satu indikator defisiensi besi adalah konsentrasi Hb. Penurunan konsentrasi Hb merupakan tanda dari defisiensi zat besi. Indikator status anemia lainnya adalah kadar ferritin serum. Status vitamin A dapat dilihat dari kadar retinol, dan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G total.

Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap: (1) peningkatan asupan zat gizi anak balita, 2) peningkatan status gizi secara antropometri, 3) peningkatan konsentrasi Hb, ferritin (Fs), retinol (Rs), dan pengaruhnya terhadap respons imun anak balita.

Disain penelitian yang digunakan adalah eksperimental (randomized controlled trial) pada 10 desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Contoh sebanyak 70 anak balita yang dikelompokkan menjadi 2, yakni 35 anak balita diberi biskuit fortifikasi dan 35 anak balita diberi biskuit plasebo. Masing- masing kelompok diberi biskuit selama 4 bulan dan tingkat konsumsi pangannya dimonitor. Data Hb, Fs, Rs, berat badan, konsumsi pangan dikumpulkan pada saat sebelum dan sesudah penelitian. Data IgG dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian booster DPT.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan konsentrasi Hb, Fs, Rs, dan IgG total secara nyata lebih tinggi pada akhir intervensi (p<0,05). Delta peningkatan Hb, ferritin, dan retinol, serta titer IgG secara nyata lebih tinggi setelah pemberian biskuit fortifikasi dan booster DPT. Di akhir penelitian, sebagian besar anak balita memiliki IgG total yang tinggi.

(6)

SUS WIDAYANI. Efficacy and Preference of Fortified Vitamin A and Iron Biscuits on Consumption, Nutritional Status , and Immune Response of Children Under Five of Age. Supervised by HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, and MUHILAL

Micro nutrient deficiency may cause impaired immune function and susceptible to infection. Iron deficiency anemia (IDA) and vitamin A deficiency (VAD) among children underfive of age remains a main public health problem in Indonesia. Vitamin A and iron deficiencies are causes of IDA. Iron is one of the most abundant minerals on earth, and the human body require only minute quantities. Yet, iron deficiency is the most prevalent micronutrient deficiency, with about 2 billion people were affected worldwide. Iron plays important role in the metabolism of living organisms. Vitamin A can mobilize iron from body store and stimulate the production of new erythrocytes in the bone marrow in the synthesis of hemoglobin. Furthermore, micronutrient deficiencies can contribute to fufther impairment in immune respons and infections disease. Fortified biscuits is expected to reduce this problem to be a good alternative to improve the nutritional status as well as enhance the haemoglobin concentration (Hb), serum ferritin (Fs), serum retinol (Rs), and the immune respons especially imunoglobulin G (Ig G).

Iron deficiency is defined by the absence of iron store. One indicator of iron deficiency is haemoglobin concentration. Iron deficiency leads to reduce iron deficiency anemia. Haemoglobin concentration decline at and at the end stage of iron deficiency. One of indicators of anemia status is ferritin level in serum, and indicator of vitamin A status is serum retinol, and immune respons is Total IgG.

The objectives of this study were: 1) to evaluate the effect of biscuits feeding on nutrient intake of children under five of age, 2) to measure the nutritional status of children underfive of age, and 3) to measure the concentration of serum haemoglobin, ferritin, retinol and titer Ig G and 4) to evaluate the impact of biscuits fortification on antropometric nutritional status, anemia status (Hb), iron status (Fs), vitamin A status (Rs), and immune respons.

Randomized controlled trial was applied in this studi and conducted in 10 villages of Dramaga Sub District of Bogor regency. Two groups each 35 children treatment and control, were assigned to receive different intervention during 4 months. Data on Hb, Fs, Rs, and body weight, and food intake were collected before and after intervention. Total IgG data was collected before and after the subject received DPT boosters.

Hb concentration, ferritin and serum retinol, and total IgG increased significantly (p<0,05) after intervention. Children had IgG titer higher at the endline than the baseline. Fortified biscuits significanly (p<0,05) increased hemoglobin and total IgG of children underfive of Age.

(7)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul

Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.

Bogor, Nopember 2006

(8)

DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI,

STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada

Program Studi Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

Nama Mahasiswa : SUS WIDAYANI

NRP : A326010021

Program Studi : Gizi Masyarakat

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.S Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M. S Ketua Anggota

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S Prof. Dr. Muhilal, APU Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Dan Sumberdaya

Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S Dr. Ir. Khairil A. Notodiputra, M.S

(10)

Sus Widayani dilahirkan di kota Solo, pada tanggal 21 September 1965, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Achmady Daryono (Alm) dan Ibu Sunarmi. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi diselesaikan di Semarang pada tahun 1991. Pendidikan Sarjana Boga ditempuh di Fakultas Teknik (FT, dahulu FPTK) Universitas Negeri Semarang (UNNES, dahulu IKIP). Tahun 1997 penulis diterima pada Program Studi Gizi Masyarakat Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswsa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

(11)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadlirat Illahi Robbi, berkat Rahmat, Ridho, dan Hidayah-Nya, perjalanan panjang studi ini dapat mencapai tahap akhir. Salam dan shalawat disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya yang shaleh. Pertama-tama penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua anak balita di Kecamatan Dramaga yang mengijinkan anak-anaknya menjadi subjek penelitian dan dengan ihklas mengijinkan pengambilan sampel darah anaknya sebanyak tiga kali. Kesabaran, kejujuran, dan ketegaran, serta keluguan mereka adalah buku teks kehidupan yang tidak pernah tersedia di rak-rak perpustakaan.

Kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.Sc. dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga karena bimbingan dan nasihat beliau baik lisan maupun melalui SMS dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi. Pribadi beliau yang sarat ilmu, kesehariannya yang sederhana dan sikapnya yang istiqomah, membuatnya melampaui batas sekedar seorang pembimbing. Beliau adalah teladan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan waktu untuk saya berkonsultasi.

Ucapan yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M.S. dan Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. yang banyak membimbing dan memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau berdua selalu meluangkan waktu dan membimbing dengan sabar dan ikhlas. Nasihat bapak Ahmad lewat SMS memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih sekali kepada bapak Budi yang dengan tulus ikhlas meninjau ke lapangan saat pengambilan darah tahap akhir di Balai Desa Petir, semoga Allah SWT melimpahkan pahala bagi beliau.

(12)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Hardinsyah, M.S selaku ketua proyek kerjasama PSKPG dan World Food Program (WFP) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menggunakan sebagian sampel dan data base untuk kepentingan penelitian. Kepada Ibu Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua PSKPG saat itu, yang rela membantu penulis, nasihat bu Ani baik lisan maupun melalui SMS, dan kebaikan hati beliau tidak pernah akan saya lupakan. Dorongan moril yang begitu tulus dari beliau Insya Allah tercatat sebagai amal shaleh.

Kepada Rektor UNNES dan Dekan FT serta Ketua jurusan TJP yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor, dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada Dr. Tan dan Dr. Ir. Endang S. Sunaryo, M.Sc selaku Manager R & D di PT. Indofood Sukses Makmur yang telah membantu untuk penyelesaian penelitian serta bingkisan terima kasih untuk responden, penulis mengucapkan terima kasih. Nasihat bu Endang baik secara lisan, via telepon ataupun SMS ya ng sampai sekarang masih saya ingat, begitu baik beliau, dengan ikhlas memberikan bantuan terhadap penyelesaian disertasi. Semoga Allah membalas budi baik beliau. Kepada Bapak Haris Divisi PT. Gizindo Prima Nusantara atas bantuan sereal untuk responden di akhir penelitian, diucapkan banyak terima kasih

(13)

Ir. Agus M, dan bantuan tulus dari Dety S. Pd, M. Tahrir SP, M.Si, Dra. Wiwit Estuti M. Si, dan Nurkhasanah, M.Si pada saat pemberian Booster DPT dan pengambilan darah tahap akhir, diucapkan terima kasih tulus.

Kepada Prof. Dr. Satoto (Alm), dr. Edi Dharmana Ph. D, Sp. Par., Dr. Endang, dan dr. Umi Kurniati, M.S yang telah memberikan kesempatan berkonsultasi dan memberikan pustaka; Prof. Sukestyarna, Ph.D, dan Ir. Dahlan M.Si yang membantu dalam pengolahan data. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. dr. Enud Sp. OG (K), dr. Nur Asikin Sp A (K), Mbak Eva dan Sri, Bu Ratna dan Teh Ani. Teman-teman seangkatan Dr. Intje Picauly, S.Pi; Dr. Ir. Albiner Siagian; dr. Yongky, dan Dra. Meda Wahini, M.Si serta dr. Novilia dari Bio Farma Bandung dan Ir. M. Firdaus M. Si yang banyak memotivasi dan selalu menemani penulis.

(14)

Mang Wiwit, yang telah merawat dan mengasuh anak-anak; terima kasih yang tidak terhingga atas doa-doa dan kerja kerasnya demi keberhasilan penulis.

Akhirnya secara rendah hati dan penuh kasih sayang penulis sampaikan terima kasih yang dalam kepada suami tercinta Drs. Setyabudhi, M.Pd dan permata hatiku: A Jj dan AA Gi yang selalu sabar, setia, penuh pengertian, berdo’a sepanjang waktu dan nyaris tanpa keluhan. A Jj yang dibesarkan diantara saudaranya, dalam usia anak-anak telah menunjukkan kedewasaan akan kenyataan beratnya hidup yang harus dijalani tanpa ada bimbingan dan belaian ibu setiap waktu. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar terutama dalam menghadapi stress-stress yang nyaris membuat frustasi.

Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas penyelesaian studi ini diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada mereka semuanya, diucapkan terima kasih semoga amal mereka dicatat sebagai amal shaleh. Amin.

(15)

Halaman

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan... 4

TINJAUAN PUSTAKA Gizi dan Kesehatan ... 5

Status Gizi ... 7

Imunitas Anak Balita ... 11

Peranan Vitamin A dan Imunitas ... 13

Peranan Zat Besi dan Imunitas ... 19

Sinergis me Vitamin A dan Zat Besi ... 23

Respons Imun ... 24

Respons Imun Non Spesifik ... 25

Respons Imun Spesifik ... 27

Antigen dan Antibodi ... 29

Pembentukan Respons Imun ... 30

Imunoglobulin G (IgG) ... 31

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran ... 33

Hipotesis ... 36

Batasan Operasional ... 36

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

Disain Penelitian ... 38

(16)

Biskuit Fortifikasi ... 43

Komposisi Biskuit ... 43

Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit ... 44

Pengumpulan dan Pengukuran Data ... 47

Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN Biskuit Fortifikasi ... 52

Keadaan Demografi Wilayah Penelitian ... 52

Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh... 54

Kepemilikan Kartu Sehat ... 58

Pengetahuan Gizi Ibu ... 58

Karakteristik Contoh... 60

Riwayat Penyakit Anak Balita ... 63

Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh... 66

Konsumsi Zat Gizi Anak Balita ... 74

Konsumsi Vitamin A ... 78

Konsumsi Zat Besi (Fe) ... 79

Status Gizi Antropometri ... 80

Status Zat Gizi Mikro ... 83

Hemoglobin (Hb) ... 83

Ferritin Serum (Fs) ... 87

Retinol Serum (Rs) ... 89

Respons Imun (Imunoglobulin G)... 93

Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun... 96

Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G... 96

(17)
(18)

Tabel Halaman

1 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor menurut

Standar WHO/NCHS ... 10

2 Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data ... 47

3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga ... 53

4. Besar Keluarga Responden menur ut Jumlah Anggota Keluarga ... 55

5. Kepemilikan Rumah Keluarga Contoh... 55

6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh... 55 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh ... 56

8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh... 57

9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh... 57

10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat... 58

11. Pengelompokkan Pengetahuan Gizi Ibu menurut Kategori... 59

12. Karakteristik Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu... 61

13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 63

14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi... 65

15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh... 66

16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita ... 68

17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian... 72

18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh... 75

19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh menurut AKG 2004 ... 77

20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Anak Balita 79

(19)

23.Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB

(WHO-NCHS, 1983) ... 81

24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-skor Status Gizi ... 82

25. Rata-rata Hb dan Uji Perbandingan Rata-rata ... 87

26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ... 88

27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ... 93

(20)

Gambar Halaman

1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup ... 6

2. Struktur Vitamin A, β-Carotene, dan Derivatnya ... 13

3. Transpor Vitamin A Intra Organ ... 14

4. Skema Perjalanan Fe di dalam tubuh yang dimodifikasi ... 20

5. Respons Imun Spesifik dan Non spesifik ... 25

6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan ... 31

7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) ... 32

8. Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status Gizi, dan Imunitas ... 35

9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi Biskuit Fortifikasi ... 39

10. Jumlah Contoh Anak Usia ≥ 24 bulan yang Dianalisis Imunoglobulin G-nya ... 40

11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak ... 41

12. Biskuit Fortifikasi dan Non Fortifikasi ... 44

13. Baga n Alir Tahapan Penelitian ... 45

14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu menurut Skor ... 60

15. Proporsi Anak Balita Contoh menurut Jenis Kelamin ... 60

16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) menurut Minggu 68

17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang mengkonsumsi Biskuit ... 70

18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir Intervensi... 76

19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir Intervensi ... 84

20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir Intervensi ... 87

21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir Intervensi ... 90

22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir Intervensi ... 94

(21)

Halaman

Lampiran 1. Analisis Darah ... 117

1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin... 117

2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum ... 118

3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum ... 119

4. Pemeriksaan Imunoglobulin G... 120

Lampiran 2. Daftar Makanan yang dikonsumsi Anak Balita... 121

(22)

Latar Belakang

Dewasa ini masih banyak kasus gizi buruk ditemukan dan menjadi salah satu penyebab meningkatnya infeksi dan kematian pada anak balita yang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kasus gizi buruk pada anak balita, terutama diakibatkan oleh pola makan yang kurang baik yang menyebabkan anak kekurangan beberapa zat gizi mikro, diantaranya vitamin A dan zat besi. Akibat kekurangan zat gizi tersebut, anak mudah terserang penyakit infeksi bahkan kematian.

Berdasarkan hasil laporan survei Departemen Kesehatan RI, angka kematian anak balita (AKABA) di beberapa daerah di Indonesia umumnya masih tinggi. Sebagai contoh di daerah Jawa Barat AKABA sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003). Sementara itu kasus gizi buruk dan gizi kurang juga masih tinggi, sebagai contoh di Kabupaten Bogor kasus gizi buruk tercatat sebesar 5,56 persen dan gizi kurang sebesar 18,46 persen (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Gizi buruk pada anak balita menyebabkan meningkatnya penyakit infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi mikro berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan tubuh (Villamor dan Fawzi, 2005; Goldenberg, 2003). Defisiensi zat gizi mikro dapat meningkatkan resiko infeksi dan penurunan fungsi imun. Telah dilaporkan bahwa infeksi dan defisiensi gizi merupakan penyebab beberapa kasus kematian anak-anak balita di seluruh dunia (Oppenheimer, 2001).

(23)

dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 ternyata meningkat, dari 40,5 persen dari data tahun 1995 menjadi 47 persen pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003).

Hasil studi terdahulu oleh Semba et al (1992) yang dilakukan tahun 1991 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A dosis tinggi kepada anak balita selama dua minggu dapat meningkatkan respons imun. Empat dari 8 studi menunjukkan bahwa kematian anak meningkat karena penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001) dan 127 juta anak balita yang defisiensi vitamin A di Sub Sahara beresiko meninggal (West, 2002 dan Aguayo, 2002).

Hasil meta analisis oleh Beaton et al. (1993) me nunjukkan, bahwa suplementasi vitamin A dosis tinggi dapat menurunkan 20-30% angka kematian anak balita. Dilaporkan pula bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas anak dari beberapa penyakit infeksi, yakni diare, campak, human immunodeficiency virus (HIV), danmalaria (Villamor dan Fawzi, 2005). Suplementasi vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi retinol serum dan kekebalan mukosa (Aguayo et al. 2005) serta berpengaruh terhadap penurunan infeksi (Malaba et al. 2005 dan Cusick et al. 2005).

Selain defisiensi vitamin A, penyebab kasus gizi buruk pada anak balita yang sering menyebabkan penyakit infeksi, adalah defisiensi zat besi. Zat besi (Fe) diyakini dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak. Dilaporkan suplementasi zat besi mampu menurunkan insiden infeksi (Kang dan Matsuo, 2004 dan Oppenheimer, 2001) serta dapat meningkatkan status hemoglobin dan ferritin serum (Terlouw et al. 2004). Penelitian Gopaldas (2005), membuktikan bahwa suplementasi zat besi (Fe) mampu menurunkan infeksi cacing penyebab kesakitan dan kematian anak balita.

(24)

Semakin baik status gizi mikro anak semakin baik tingkat kekebalan tubuh anak (Chandra, 1997).

Kekebalan tubuh terhadap penyakit tidak terlepas dari peran antibodi. Antibodi tersebut dikenal dengan antitoksin yang pada umumnya merupakan Imunoglobulin tipe G (IgG). Untuk meningkatkan kadar antitoksin diperlukan pembentukan antibodi yang dapat diukur titernya dalam serum, yang salah satunya pengukuran titer IgG Total. Pembentukan IgG seseorang akan mencapai maksimum apabila didukung oleh status gizi mikro yang baik (Suyitno, 1985).

Respons imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang berlangsung, salah satunya adalah pembentukan sel B. Produk utama sel B adalah imunoglobulin dalam proses respons imun humoral. Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi (Kresno, 2001). Respons imun yang terkaitan dengan imunoglobulin tersebut dapat diukur kadarnya dalam serum.

Banyaknya kasus gizi buruk pada anak balita mendorong World Food Program (WFP) bekerjasama dengan Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi (PSKPG) untuk melakukan intervensi berupa pemberian biskuit fortifikasi kepada kelompok anak balita keluarga miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Biskuit ini telah difortifikasi dengan zat besi dan vitamin A dalam dosis rendah. Untuk mengkaji pengaruh pemberian zat besi dan vitamin A dosis harian rendah (dalam biskuit) dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap pembentukan imunoglobulin G (IgG) total. Dalam kajian tersebut permasalahan yang ingin dilihat adalah: apakah pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah yang difortifikasikan pada biskuit mampu meningkatkan respons imun anak balita pada masyarakat kelompok miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor?

(25)

Penanggulangan masalah gizi harus mendapatkan prioritas utama sesuai visi pembangunan gizi “mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal” (Rencana Aksi, 2000). Menurut IDRC/IAC (1996), salah satu strategi utama untuk melawan masalah defisiensi gizi mikro adalah dengan fortifikasi pangan. No other technology offers as large an opportunity to improve five…at such low cost and in such a short time …fortification (World Bank, 1994).

Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian vitamin A dan zat besi dosis rendah harian yang difortifikasikan pada biskuit terhadap status gizi dan respons imun anak balita.

Secara khusus penelitian ini bertujuan unt uk:

1. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan asupan zat gizi anak balita;

2. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan konsentrasi hemoglobin dan ferritin;

3. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan retinol dalam serum;

4. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap status gizi anak balita secara antropometri;

(26)

Gizi dan Kesehatan

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996).

Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikut nya. Anemia akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak pada penglihatan.

(27)

Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)

Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).

Pangan, Kesehatan perawatan tidak memadai

Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai

(28)

Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecuk upan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respons imun yang rendah.

Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan pertumbuhan bahkan kematian.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status) merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000).

(29)

pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002) disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya.

Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990).

(30)

gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat, dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek. Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah: (a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a) sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000).

(31)

Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi normal. Nilai Z-skor masing- masing anak dihitung dengan menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:

(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi Keterangan:

i = umur (bulan)

Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i

Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i

Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i

Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB, dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/ NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing- masing individu kemudian diband ingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik batas (cut-off point) skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Z-skor secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983)

Indikator Kriteria Standar

(32)

Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing- masing indeks antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2 SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin; (4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing- masing indeks tidak sama.

Imunitas Anak Balita

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001). Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut.

Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh denga n respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit.

(33)

(Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun.

Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak yang gizinya baik (Gopaldas, 2005).

Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi.

(34)

Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas

Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).

Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000)

(35)

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002), menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.

Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)

Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid.

(36)

kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001).

Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998).

Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat dipahami karena vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun, hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia, dan meningkatkan fase protein akut.

(37)

gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja.

Defisiensi vitamin A berpengaruhterhadap kekebalan mukosa. Permukaan mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons tubuh inang (Suyitno, 1985).

Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992). Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen (Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994).

(38)

dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan, serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi.

Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun. Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan dalam merespons antigen.

Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A (Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al., (1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984), dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM) berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984).

Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A.

(39)

aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin (Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990).

Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al., 1992). Perbaikan status vitamin A dapat menurunkan angka kematian sebesar 23% pada populasi yang defisien (Bowman et al.,1990). Hal ini dapat dipahami karena perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al., 1990). Selain itu vitamin A berperan dalam penurunan infeksi melalui perannya dalam peningkat-an (enhancher) diferensiasi sel ephitel dan sebagai fungsi barier tubuh (Goldenberg, 2003). Vitamin A mengatur sintesis keratin dengan squamos cell dan tampil dalam pemeliharaan integritas permukaan ephitelial mukosa (Goldenberg, 2003).

Studi klinis dan eksperimental oleh Green dan Mellanby pada tahun 1920 dan 1930 yang dikutip oleh Oppenheimer (2001) membuktikan bahwa vitamin A sebagai vitamin “anti infeksi”. Dalam jurnal yang sama, Scrimshaw tahun 1968 membuktikan bahwa ‘Tidak ada satupun defisiensi gizi yang konsisten sinergis dengan penyakit infeksi daripada vitamin A. Pada tahun 1993, Beaton et al. membuktikan secara klinis bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan 20-30% mortalitas anak.

(40)

Peranan Zat Besi dan Imunitas

Besi merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh. Besi yang di konsumsi sehari- hari dalam bentuk ionnya, yaitu Fe++ (fero) dan Fe+++.(feri). Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim yang bertanggung jawab untuk pengangkutan elektron (sitokrom), untuk pengaktifan oksigen (oksidase dan oksigenase), dan untuk mengangkut oksigen (hemoglobin dan mioglobin). Sebagian besar zat besi berada pada hemoglobin (Hb) di dalam sel darah merah dan jaringan eritroid (Stipanuk, 2000).

Fungsi Fe dalam tubuh adalah untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O2 dan CO2, yang berperan dalam metabolisme energi. Sebagian

kecil besi terdapat dalam enzim jaringan yaitu sekitar 7 persen seperti sitokrom (Brody, 1999). Zat besi berperan sangat penting dalam fungsi seluler, yakni sintesis Hb dan metabolisme makrofag (Williams & Wilkins, 2006).

Metabolisme Fe tampaknya memang unik karena kecilnya pertukaran Fe dengan lingkungan setiap harinya, yakni hanya 1 mg Fe yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan Fe karena ekskresi. Tubuh sangat efisien dalam penggunaan Fe. Kurang lebih 1% sel darah merah yang didegradasi dan dibentuk kembali setiap hari dalam jangka waktu hidup 120 hari. (Linder, 1992). Skema metabolisme Fe pada manusia disajikan pada Gambar 4.

(41)

Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi (Whitney & Rolfes, 1993:407)

Anemia adalah satu dari problem kesehatan masyarakat yang sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah jumlah zat besi dalam konsumsi makanan sehari- hari tidak mencukupi kebutuhan tubuh karena bioavailability-nya rendah (Kodyat et al., 1991; Seshadri, 1997; Sari et al, 2001; Ma et al., 2002). Hasil beberapa studi baik pada hewan percobaan

Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang

Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah & mengikatkan ke transferrin

Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb

sel darah merah

Sel mukosa usus halus: Fe melekat ke alat transport

transferrin reseptor

Fe dalam alat transport transferrin reseptor

Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin Kelebihan disimpan

(42)

maupun manusia menunjukkan bahwa ketidaknormalan metabolisme besi berhubungan dengan defisiensi vitamin dan inhibitor penyerapan besi dalam makanan (Staab et al., 1984; Brune et al., 1989).

Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan defisiensi gizi besi masih terdapat sampai sekarang. Prevalensi anemia gizi besi nasional baru dikumpulkan pada tahun 1989 melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Surve i secara nasional tahun 1992, bahwa anemia defisiensi besi pada balita sebesar 55,5 persen dan menurun menjadi 40,5 persen (SKRT, 1995). Sesuai dengan SKRT 1995 bahwa distribusi prevalensi defisiensi zat gizi bedsi di Indonesia tersebar merata pada semua kelompok umur dan jenis kelamin (Natakusuma, 1998).

Anak-anak paling rawan terhadap masalah kurang gizi besi karena kebutuhan mereka akan zat gizi besi relatif lebih besar untuk keperluan akselerasi pertumbuhan kira-kira sampai usia dua tahun. Prevalensi anemia khususnya pada anak-anak kelompok rawan di Asia Tenggara sebesar 50-70 %. Satu penyebabnya karena jumlah zat besi yang diserap dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh dan ketidakcukupan tersebut kemungkinan akibat dari tidak cukupnya intik zat besi dan rendah nilai biologisnya (Sari et al., 2001).

Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan untuk pembentukan energi (Chunningham, 1992). Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok umur dan jenis kelamin. Batas normal kadar Hb anak balita adalah 11 g/dL (WHO, 1996).

(43)

semua tingkat kehidupan. Tinjauan dari 21 studi, menunjukkan bahwa anemia berhubungan erat dengan kematian anak dan infeksi (Allen dan Gillespie, 2001).

Anemia defisiensi besi sangat luar biasa terjadi di beberapa negara berkembang, lebih dari 50% populasi dunia mempunyai tingkatan status gizi besi rendah berdasarkan hasil uji klinis (Chandra, 1973 dan Kuvibidila, 1980). Angka prevalensi anemia di Indonesia sekitar 20-30% pada balita, anak sekolah, dan buruh berpenghasilan rendah (Karyadi, Muhilal, dan Hermana., 1990). Prevalensi anemia gizi besi pada anak balita. yang dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 sebesar 47% (Depkes, 2003).

Fakta membuktikan defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampu-an individu melawkemampu-an infeksi (Kkemampu-ang dkemampu-an Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam menjaga/mempertahankan responss imun. Menurut Oppenheimer (2001), angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001). Suplemen besi dapat meningkatkan status gizi besi (Hoa et al, 2005).

Defisiensi besi memberikan kontribusi lanjut terhadap kerusakan fungsi imun. Beberapa kerusakan sistem imun akibat defisiensi besi terjadi secara bertahap. Tahap pertama cellular-synthesis, tahap kedua ketika terjadinya mekanisme pencernaan atau membunuh antigen oleh leukosit, dan tahap berikutnya waktu interaksi atau sinergisme antara sistem imun dan mikro organisme. Peranan besi terhadap respons imun nampak pada fagositosis (Ahluwalia et al, 2004), sel NK (Ravaglia et al, 2000) dan sel mediate respons imun (Thibault et al, 1993; Ahluwalia et al, 2004).

(44)

dan menurunkan erythropoiesis, transport oksigen seluler, dan metabolisme oksidatif dalam jaringan (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan zat besi pada anak dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya penurunan respons sel mediasi imunologik (Dijkhuizen & Wieringa, 2001), mempunyai efek yang kuat terhadap penurunan aktivitas sel NK dan neutrofil (Palafox et al., 2003) dan penurunan fungsi makrofag terhadap toksisitas mikro organisme (Sommer et al., 1980).

Pencegahan dan penanggulangan defisiensi gizi besi dapat dilakukan dalam bentuk intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan penderita anemia, meningkatkan kualitas produktifitas, meningkatkan prestasi sumberdaya manusia, dan meningkatkan menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu dan bayi (Program Aksi, 2000). Program suplementasi besi diberikan kepada anak yang defisiensi besi karena zat besi berperan penting untuk perkembangan otak (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Sebagian besar zat besi dalam tubuh digunakan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang disuplai ke pool plasma transferrin melalui makrofag dengan sistem reticuloendothelial.

Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi

(45)

Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan digambarkan, besi pada hati dan limpa menurun bersamaan dengan menurunnya Hb pada serum. Interaksi antara vitamin A dan besi nampak pada mekanisme, yakni terjadi kerusakan mobilisasi besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke dalam eritrosit, rendahnya kadar retinol plasma pada anak dihubungkan dengan rendahnya hemoglobin, dan kejenuhan transferrin ketika intik besi cukup (Panth et al., 1990). Besi terakumulasi pada hati dan limpa pada defisiensi vitamin A (Staab et al., 1984 dan Rodenburg et al., 1994). Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki anemia (Olson, 1991).

Suplementasi vitamin A dapat meningkatkan status vitamin A dan metabolisme zat besi pada ibu hamil dan anak usia sekolah dasar (Cohen et al., 1973). Pada anak yang defisien vitamin A dan besi diberikan suplemen kombinasi (zat besi dan vitamin A) ditemukan efektif menurunkan 40% anemia dibandingkan suplementasi zat besi saja. Contoh penemuan lain yang tidak spesifik terhadap suplementasi vitamin A pada program fortifikasi gula dengan vitamin A di Guatemala berhasil meningkatkan status besi dari populasi (Cohen dan Elin, 1974) dan percobaan fortifikasi MSG dengan vitamin A di Indonesia meningkatkan tingkat hemoglobin anak-anak sebesar ~10 g (Muhilal, 1988).

Respons Imun

Berdasarkan responsnya, secara garis besar sistem pertahanan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu respons imun non-spesifik, yakni mencegah invasi benda-benda asing melalui kulit, mukosa, dan permukaan tubuh; dan respons imun spesifik yang terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Komponen respons imun spesifik dan non-spesifik dapat dilihat pada Gambar 5.

Respons imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat pada pathogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan (Roitt, 1991).

(46)

atau menghilangkan invasi organisme, produk toksik, dan substansi biologis lain yang berbahaya (Beisel, 1988). Respons imun menimbulkan interaksi antara organ limfoid dan produk yang dikeluarkan sel tersebut dengan organ.

Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik

(Chandra, 1988)

Respons Imun Non-spesifik

Apabila mikro organisme dapat masuk dalam jaringan, pertama akan dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikro organisme dan dapat memberikan respons langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikro-organisme tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi sejak lahir yaitu kulit dan mukosa.

STIMULUS

Bakteri, Virus, Sel Kanker Bahan-bahan kimia

NON-SPESIFIK

Mukosal, Fagositosis, Inflamasi

SPESIFIK Humoral, Cell Mediated AKTIVASI RESPONS IMUN

PENGENALAN STIMULUS

PENGATURAN KEMBALI RESPONS IMUN

(47)

Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi seperti ephitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan ephitel (Kresno, 2001). Determinan yang berperan pada mekanisme respons imun non-spesifik, adalah: (1) host/inang: ras, spesies, genetis individual, umur, jenis kelamin, hormonal, dan status gizi; (2) fisik: kulit, membran mukus, permukaan yang basah, perangkap anatomis, misalnya rongga nasal, pembersih mekanis misalnya silia; (3) antimikroba aktif: sekresi keringat, sekresi kulit yang bersifat antibakteri dan antifungus, sekresi membran mukus yang bersifat antibakteri dan antivirus, substansi-substansi antimikroba jaringan misalnya lisozim, dan sel-sel yang melakukan fagositosis (mikrofag dan makrofag); dan (4) determinan lain yang dapat berpengaruh: pemberian kortison, antibiotik, dan keadaan suhu.

Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen, bakteri misalnya adalah dengan cara menghancurkan bakteri dengan proses fagositosis dan reaksi inflamasi. Untuk dapat terjadi proses fagositosis, bakteri perlu mengalami opsonisasi oleh imunoglobulin agar mudah ditangkap oleh fagosit. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator- mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti histamin yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit; vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, dan anafilatoksin yang berasal dari komponen komplemen.

Dalam sistem pertahanan fisik/mekanik; kulit, selaput lendir silia saluran pernafasan, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Lapisan epidermis kulit sehat, dan mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh sebagian mikroba. Sebaliknya kulit yang rusak akibat luka bakar, dana selaput lendir yang rusak akibat asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi. Tekanan oksigen di paru bagian atas dapat membantu hidup kuman seperti tubercolosis (Beissel, 1988)..

(48)

kulit. Zat-zat yang berperan dalam pertahanan ini umumnya antibodi, komplemen, interferon, dan CRP (C Reactive Protein) yakni sebagai zat pelindung yang bekerja secara non spesifik dalam pertahanan humoral.

Antibodi dan komplemen ditemukan dalam serum darah normal, dan keduanya bekerjasama untuk dapat membunuh kuman dan menghancurkan beberapa bakteri. Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dengan spektrum aktivasi yang luas. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis dan menimbulkan lisis bakteri/parasit.

Interferon (IFN) adalah sitokin yang berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas untuk respons terhadap infeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan menunjukkan perubahan pada permukaannya, yang akan dikenal dan dihancurkan oleh sel NK sehingga penyebaran virus dapat dicegah. IFN dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK), meningkatkan aktivasi sel T, makrofag, dan efek sitotoksik sel NK (Kresno, 2001).

Respons Imun Spesifik

Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, dan fagosit dengan sel- T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing baginya. Dengan cara mengenal tersebut akan terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang sudah tersensitisasi tersebut terpapar dengan antigen yang sama, maka antigen terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Karenanya sistem ini disebut spesifik sebab hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya. Limfosid merupakan inti dalam proses respons imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno, 2001).

(49)

rangsangan. Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono, 2004). Kedua sistem tersebut berasal dari satu sistem limfoid yang terdiri dari (1) komponen sentral (sumsum tulang, timus, dan jaringan) yang terjadi peristiwa deferensiasi sel induk limfoid menjadi limfosit-limfosit yang mampu bereaksi dengan antigen, dan (2) komponen perifer (kelenjar limfe, limpa, dan jaringan limfoid di saluran cerna), yang terjadi reaksi antara sel-sel limfosit dengan antigen.

Imunitas Selular

Imunitas selular terdiri atas sel-sel limfoid yang mengalami sensitisasi secara spesifik oleh antigen tertentu dan mampu bereaksi langsung dengan antigen sehingga menimbulkan peristiwa sitotoksik, misalnya terhadap sel-sel asing pada pencangkokan jaringan. Sel limfoid yang berperan adalah sel-T, yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh timus dan merupakan 80% sel yang beredar dalam tubuh. Sistem imun seluler mula- mula menjadi aktif karena stimulus antigen yang ditangkap oleh sel-T yang kemudian mengeluarkan limfokin dan mengadakan aktivasi makrofag. Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intra sel, contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozo a (Kresno, 2001).

Imunitas Humoral

Imunitas humoral terdiri atas kelompok sel- B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20% dari seluruh limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, cairan getah bening, dan lain- lain). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri, serta menetralisasi toksik (Baratawidjaja dan Garna, 2002). Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum.

(50)

dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan. Integritas respons imun humoral pada manusia sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobolin di dalam serum atau mengukur naiknya titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup (Kresno, 2001).

Dalam sistem imun humoral dikenal 5 kelas imunoglobulin (Ig), yakni: IgG, Ig A, Ig M, Ig D, dan Ig E. Komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme sistem imun humoral, yakni: sel- B, antibodi, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear. Antibodi sangat penting untuk pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan ole h kuman ekstrasel, misalnya streptokok, pneumoko, dan kuman bakteri (Kresno, 2001).

Antigen dan Antibodi

Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respons imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada (preformed) secara langsung tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung (Bratawijaya dan Garna, 2002). Hapten dapat menjadi imunogen apabila sudah diikat oleh protein pembawa (carrier), dalam fungsinya. Hapten akan dikenal oleh sel-B sedangkan carrier oleh sel- T. Dalam imunisasi carrier sering digabung dengan hapten; hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang dikenal sistem imun dan merangsang antibodi (Bratawijaya dan Garna, 2002).

(51)

Pengenalan antigen merupakan tahap pertama pembentukan antibodi, yakni diawali dari makrofag yang mula-mula mengenali antigen dengan perantara reseptor pada membran plasmanya, kemudian antigen bergabung dengan antibodi yang telah terbentuk sebelumnya untuk memulai peristiwa seluler yang mengarah pada respons imun. Tahap kedua, pengolahan antigen yakni: antigen yang dibawa ke sel-sel penginduksi dihancurkan oleh enzim-enzim lisozim dan beberapa bahan dari antigen tersebut lalu dipaparkan kembali pada membran plasma. Ketiga, pelepasan zat- zat perantara dengan cara makrofag dan sel-sel penginduksi lainnya dan limfosit T-helper bekerja bersama-sama dan terjadi pelepasan zat- zat perantara sehingga memicu terjadinya sel-sel jenis lain. Keempat, pembentukan antibodi yang memerlukan empat jenis sel yaitu makrofag, sel-sel penginduksi lainnya (sel dendreit dari kelenjar getah bening, limpa serta limfosit-B, limfosit T- helper) (Bernier, 1993).

Pembentukan Respons Imun

Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respons imun. Perkenalan pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respons primer dan pemberian ini tidak segera dapat ditemukan oleh antibodi dalam serum. Masa antara pemberian imunogen dengan ditemukannya antibodi dalam serum disebut periode laten atau periode induksi (Bellanti dan Joseph, 1993). Selama waktu tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi.

Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard, 1988). Kadar antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan.

(52)

IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Gambar 6).

Gambar 6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan Sumber : Wibawan et al., 2003

Menurut Kresno (2001) ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh, yaitu: (1) respons yang tidak memadai terhadap pathogen yang berakibat kepekaan terhadap infeksi, (2) kegagalan dalam mengenal antigen, dan (3) respons berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitivitas.

Imunoglobulin G (IgG)

Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan mengukur titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup. Sirisinha (1974) sebagaimana dikutip Suyitno (1985), telah mempelajari lima kelas serum imunoglobulin (IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE) pada sejumlah anak dengan KEP yang diikuti terus- menerus semenjak anak-anak dirawat di rumah sakit sampai keadaannya me njadi baik. Kadar rata-rata lima imunoglobulin itu naik di atas kadar rata-rata imunoglobulin populasi kontrol. Kemudian semua kelas imunoglobulin lambat- laun menurun kecuali IgG (Suyitno, 1985).

(53)

infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G (Gambar 7), dalam keadaan normal menempati 80 persen dari semua imunoglobulin dalam serum manusia (Roitt, 1991).

Gambar 7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) Sumber: Tizard, 1988

Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin terdiri dari satu ekor rantai terminal-C (rantai peptida dengan gugus karboksil bebas) yang mempunyai susunan urutan asam amino yang relatif konstan dan dua lengan rantai terminal-N (gugus amino bebas) dengan susunan asam amino sangat berubah-ubah (bagian variabel). Karena perubahan susunan asam amino tersebut maka pada rantai ini merupakan tempat pengikatan antigen yang mengakibatkan setiap molekul IgG berfungsi bivalen (Tizard, 1988). Bagian variabel tersebut dibentuk oleh empat rantai polipeptida dasar yakni dua rantai berat dan dua rantai ringan. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida.

(54)

Kerangka Pemikiran

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas anak merupakan akibat panjang dari rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya pembentukan IgG. Salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas antara lain karena defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi zat gizi mikro pada anak-anak, khususnya defisiensi zat besi dan vitamin A berakibat pada kerusakan sistem imun dan penyebab terhambatnya pertumbuhan anak.

Defisiensi vitamin A dapat menurunkan respons antibodi termasuk IgG (Kinoshita et al., 1991; Pasatiempo et al., 1990; Lavasa et al., 1988; dan Gershwin et al., 1984; Krishnan et al., 1974), dan produksi antibodi (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Defisiensi vitamin A berpengaruh pada kerusakan membran epithel dan mempercepat kerusakan mukosa (Tomkins dan Watson, 1993), yakni penyebab peradangan sehingga mengurangi dan melemahkan mekanisme pertahanan dengan cara merusak permukaan epithel. Perusakan epithel seperti di kulit (Squamous epithelium), permukaan mukosa paru-paru, gastrointestinal, dan genitourinari. Permukaan epithel tersebut merupakan garis pertahanan pertama untuk melawan infeksi, jasad renik, ataupun benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al., (2005), Cusick et al., (2005), Beaten et al., (2004), Villamor et al., (2002), dan High et al., (2002), mengindikasikan bahwa sel epitel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epitel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epitel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen, baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa.

Gambar

Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya
Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi                   (Williams & Wilkins, 2006)
Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi
Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Penelitian : Perbedaan Tingkat Asupan Energi, Protein dan Zat Gizi Mikro (Besi, Vitamin A, Seng) antara Anak SD Stunting dan Non Stunting di Kecamatan