• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe) DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN ANAK BALITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFIKASI DAN PREFERENSI BISKUIT YANG DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe) DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI, STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN ANAK BALITA"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI,

STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku

dengan rahmat Mu ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang sholeh (QS. 27:19)

(3)

Kupersembahkan untuk: Ibunda Sunarmi, Suamiku Drs. Setyabudhi, M.Pd tercinta,

Anak-anakku tersayang: Aa Jj dan Aa Gi, serta Saudara-saudaraku terkasih: Mb Nur,

(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun

(5)

SUS WIDAYANI. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI SETIAWAN, dan MUHILAL

Defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun dan rentan terhadap peningkatan infeksi. Anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A pada anak-anak balita masih merupakan problem kesehatan di Indonesia, walaupun usaha perbaikan gizi sudah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Zat besi merupakan salah satu mineral yang sangat melimpah di bumi, meski sangat sedikit sekali jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun demikian defisiensi besi (anemia) merupakan defisiensi gizi mikro yang prevalensinya paling tinggi, dengan 2 milyar orang yang terkena di seluruh dunia. Zat besi memainkan peranan yang penting dalam metabolisme tubuh. Keberadaan vitamin A terutama dalam sisntesis hemoglobin (Hb) sangat penting terutama untuk memobilisasi zat besi dan menstimulasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. Pemberian biskuit yang difortifikasi vitamin A bersama zat besi (Fe) diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi Hb, ferritin serum (Fs), retinol serum (Rs), dan respons imun khususnya imunoglobulin G (IgG) anak balita.

Salah satu indikator defisiensi besi adalah konsentrasi Hb. Penurunan konsentrasi Hb merupakan tanda dari defisiensi zat besi. Indikator status anemia lainnya adalah kadar ferritin serum. Status vitamin A dapat dilihat dari kadar retinol, dan respons imun dapat dilihat dari kadar imunoglobulin G total.

Penelitian ini dirancang untuk mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap: (1) peningkatan asupan zat gizi anak balita, 2) peningkatan status gizi secara antropometri, 3) peningkatan konsentrasi Hb, ferritin (Fs), retinol (Rs), dan pengaruhnya terhadap respons imun anak balita.

Disain penelitian yang digunakan adalah eksperimental (randomized

controlled trial) pada 10 desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Contoh

sebanyak 70 anak balita yang dikelompokkan menjadi 2, yakni 35 anak balita diberi biskuit fortifikasi dan 35 anak balita diberi biskuit plasebo. Masing- masing kelompok diberi biskuit selama 4 bulan dan tingkat konsumsi pangannya dimonitor. Data Hb, Fs, Rs, berat badan, konsumsi pangan dikumpulkan pada saat sebelum dan sesudah penelitian. Data IgG dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian booster DPT.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan konsentrasi Hb, Fs, Rs, dan IgG total secara nyata lebih tinggi pada akhir intervensi (p<0,05). Delta peningkatan Hb, ferritin, dan retinol, serta titer IgG secara nyata lebih tinggi setelah pemberian biskuit fortifikasi dan booster DPT. Di akhir penelitian, sebagian besar anak balita memiliki IgG total yang tinggi.

Kata kunci: biskuit fortifikasi, status gizi, hemoglobin, ferritin, retinol, dan imunoglobulin G total.

(6)

SUS WIDAYANI. Efficacy and Preference of Fortified Vitamin A and Iron Biscuits on Consumption, Nutritional Status , and Immune Response of Children Under Five of Age. Supervised by HIDAYAT SYARIEF, AHMAD SULAEMAN, BUDI

SETIAWAN, and MUHILAL

Micro nutrient deficiency may cause impaired immune function and susceptible to infection. Iron deficiency anemia (IDA) and vitamin A deficiency (VAD) among children underfive of age remains a main public health problem in Indonesia. Vitamin A and iron deficiencies are causes of IDA. Iron is one of the most abundant minerals on earth, and the human body require only minute quantities. Yet, iron deficiency is the most prevalent micronutrient deficiency, with about 2 billion people were affected worldwide. Iron plays important role in the metabolism of living organisms. Vitamin A can mobilize iron from body store and stimulate the production of new erythrocytes in the bone marrow in the synthesis of hemoglobin. Furthermore, micronutrient deficiencies can contribute to fufther impairment in immune respons and infections disease. Fortified biscuits is expected to reduce this problem to be a good alternative to improve the nutritional status as well as enhance the haemoglobin concentration (Hb), serum ferritin (Fs), serum retinol (Rs), and the immune respons especially imunoglobulin G (Ig G).

Iron deficiency is defined by the absence of iron store. One indicator of iron deficiency is haemoglobin concentration. Iron deficiency leads to reduce iron deficiency anemia. Haemoglobin concentration decline at and at the end stage of iron deficiency. One of indicators of anemia status is ferritin level in serum, and indicator of vitamin A status is serum retinol, and immune respons is Total IgG.

The objectives of this study were: 1) to evaluate the effect of biscuits feeding on nutrient intake of children under five of age, 2) to measure the nutritional status of children underfive of age, and 3) to measure the concentration of serum haemoglobin, ferritin, retinol and titer Ig G and 4) to evaluate the impact of biscuits fortification on antropometric nutritional status, anemia status (Hb), iron status (Fs), vitamin A status (Rs), and immune respons.

Randomized controlled trial was applied in this studi and conducted in 10 villages of Dramaga Sub District of Bogor regency. Two groups each 35 children treatment and control, were assigned to receive different intervention during 4 months. Data on Hb, Fs, Rs, and body weight, and food intake were collected before and after intervention. Total IgG data was collected before and after the subject received DPT boosters.

Hb concentration, ferritin and serum retinol, and total IgG increased significantly (p<0,05) after intervention. Children had IgG titer higher at the endline than the baseline. Fortified biscuits significanly (p<0,05) increased hemoglobin and total IgG of children underfive of Age.

Key words: fortified biscuit, nutritional status, hemoglobin, ferritin, retinol, and total immunoglobulin G

(7)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.

Bogor, Nopember 2006

SUS WIDAYANI NRP.A326010021

(8)

DIFORTIFIKASI VITAMIN A DAN ZAT BESI (Fe)

DAN KAITANNYA DENGAN KONSUMSI,

STATUS GIZI, DAN RESPONS IMUN

ANAK BALITA

SUS WIDAYANI

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada

Program Studi Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respons Imun Anak Balita

Nama Mahasiswa : SUS WIDAYANI

NRP : A326010021

Program Studi : Gizi Masyarakat

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.S Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M. S Ketua Anggota

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S Prof. Dr. Muhilal, APU Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Gizi Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Dan Sumberdaya

Keluarga

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S Dr. Ir. Khairil A. Notodiputra, M.S Tanggal Ujian: 29 Nopember 2006 Tanggal Lulus:

(10)

Sus Widayani dilahirkan di kota Solo, pada tanggal 21 September 1965, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Achmady Daryono (Alm) dan Ibu Sunarmi. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi diselesaikan di Semarang pada tahun 1991. Pendidikan Sarjana Boga ditempuh di Fakultas Teknik (FT, dahulu FPTK) Universitas Negeri Semarang (UNNES, dahulu IKIP). Tahun 1997 penulis diterima pada Program Studi Gizi Masyarakat Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswsa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Pengalaman bekerja dimulai pada tahun 1985 sebagai guru Sekolah Dasar di SD Negeri Pekunden Semarang. Pada tahun 1991 penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan PKK Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK, kini FT) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung (IKIP, kini UPI). Pada tahun 1995 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Boga (TJP) pada Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Semarang (UNNES). Penulis menikah dengan Drs. Setyabudhi, M.Pd pada tanggal 03 Nopember 1991 dan dikaruniai dua orang putra : Jj. Ivan Naufal Al Virdiyan dan AA. Giananda Al Aurasesar.

(11)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadlirat Illahi Robbi, berkat Rahmat, Ridho, dan Hidayah-Nya, perjalanan panjang studi ini dapat mencapai tahap akhir. Salam dan shalawat disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-Nya yang shaleh. Pertama-tama penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua anak balita di Kecamatan Dramaga yang mengijinkan anak-anaknya menjadi subjek penelitian dan dengan ihklas mengijinkan pengambilan sampel darah anaknya sebanyak tiga kali. Kesabaran, kejujuran, dan ketegaran, serta keluguan mereka adalah buku teks kehidupan yang tidak pernah tersedia di rak-rak perpustakaan.

Kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof. Dr. Ir. H. Hidayat Syarief, M.Sc. dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga karena bimbingan dan nasihat beliau baik lisan maupun melalui SMS dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi. Pribadi beliau yang sarat ilmu, kesehariannya yang sederhana dan sikapnya yang istiqomah, membuatnya melampaui batas sekedar seorang pembimbing. Beliau adalah teladan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan waktu untuk saya berkonsultasi.

Ucapan yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, M.S. dan Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. yang banyak membimbing dan memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau berdua selalu meluangkan waktu dan membimbing dengan sabar dan ikhlas. Nasihat bapak Ahmad lewat SMS memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih sekali kepada bapak Budi yang dengan tulus ikhlas meninjau ke lapangan saat pengambilan darah tahap akhir di Balai Desa Petir, semoga Allah SWT melimpahkan pahala bagi beliau.

Kepada Prof. Dr. Muhilal, APU yang banyak membimbing mulai dari konsultasi judul, pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi termasuk pemberian berbagai pustaka, diucapkan terima kasih. Ide awal

(12)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Hardinsyah, M.S selaku ketua proyek kerjasama PSKPG dan World Food Program (WFP) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menggunakan sebagian sampel dan data base untuk kepentingan penelitian. Kepada Ibu Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua PSKPG saat itu, yang rela membantu penulis, nasihat bu Ani baik lisan maupun melalui SMS, dan kebaikan hati beliau tidak pernah akan saya lupakan. Dorongan moril yang begitu tulus dari beliau Insya Allah tercatat sebagai amal shaleh.

Kepada Rektor UNNES dan Dekan FT serta Ketua jurusan TJP yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor, dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada Dr. Tan dan Dr. Ir. Endang S. Sunaryo, M.Sc selaku Manager R & D di PT. Indofood Sukses Makmur yang telah membantu untuk penyelesaian penelitian serta bingkisan terima kasih untuk responden, penulis mengucapkan terima kasih. Nasihat bu Endang baik secara lisan, via telepon ataupun SMS ya ng sampai sekarang masih saya ingat, begitu baik beliau, dengan ikhlas memberikan bantuan terhadap penyelesaian disertasi. Semoga Allah membalas budi baik beliau. Kepada Bapak Haris Divisi PT. Gizindo Prima Nusantara atas bantuan sereal untuk responden di akhir penelitian, diucapkan banyak terima kasih

Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Tim dokter Puskesmas UPTD Kecamatan Dramaga, khususnya kepada dr. Maryanto yang telah bersedia menerima dan mengijinkan serta membantu mengatur rantai vaksin dan pelaksanaan pemberian booster DPT kepada responden melalui bidan desa, dr. Egy, dr. Dini, dr. Deasy, dan bidan desa serta tenaga medis pengambil sampel darah; serta para kader posyandu di Kecamatan Dramaga diucapkan terima kasih. Terimakasih tulus kepada Bu: Hertik, Cicih, Aan, dan Tutik; Teh: Wiwit, Mumun, Wiwin, dan Teh Neneng yang tulus ikhlas senantiasa mengantar mengunjungi responden dan menemani berjalan menyusuri perdesaan dari pagi hingga malam.

(13)

Ir. Agus M, dan bantuan tulus dari Dety S. Pd, M. Tahrir SP, M.Si, Dra. Wiwit Estuti M. Si, dan Nurkhasanah, M.Si pada saat pemberian Booster DPT dan pengambilan darah tahap akhir, diucapkan terima kasih tulus.

Kepada Prof. Dr. Satoto (Alm), dr. Edi Dharmana Ph. D, Sp. Par., Dr. Endang, dan dr. Umi Kurniati, M.S yang telah memberikan kesempatan berkonsultasi dan memberikan pustaka; Prof. Sukestyarna, Ph.D, dan Ir. Dahlan M.Si yang membantu dalam pengolahan data. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. dr. Enud Sp. OG (K), dr. Nur Asikin Sp A (K), Mbak Eva dan Sri, Bu Ratna dan Teh Ani. Teman-teman seangkatan Dr. Intje Picauly, S.Pi; Dr. Ir. Albiner Siagian; dr. Yongky, dan Dra. Meda Wahini, M.Si serta dr. Novilia dari Bio Farma Bandung dan Ir. M. Firdaus M. Si yang banyak memotivasi dan selalu menemani penulis.

Hormat takzim kepada kedua orang tua tercinta yang telah membesarkan, mendidik, dan membimbing, serta mengha ntarkan penulis hingga mencapai kehidupan saat ini. Dari beliaulah penulis belajar banyak tentang makna kesabaran, ketabahan, ketekunan, kesetiaan, dan kebenaran. Ucapan terima kasih tidak lagi memiliki makna manakala membayangkan besar dan tulusnya cinta beliau berdua. Semoga kerja ini diizinkan Allah menjadi amal shaleh seorang anak kepada orang tua. Ibunda tersayang yang senantiasa mendoakanku setiap detik dan malam dalam tahajutnya seta almarhum bapak yang dari dulu menginginkan saya belajar di IPB menj adi sarjana pertanian. Penulis percaya walaupun almarhum tidak sempat menyaksikan kelulusan ini, namun jiwa almarhum yang suci Insya Allah mampu menyaksikan dari alam barzah. Semangat hidup dan tanpa kenal lelah beliau selalu menanamkan belajar, belajar, dan belajar. Dua ungkapan emas yang selalu penulis kenang ”Tholabul ilmi

faridhotun ala kuli muslimin wal muslimat” dan ”Tuntutlah ilmu walau sampai ke

negeri Cina”. Semoga jiwa bersih almarhum diampuni segala dosa dan masuk syurga. Amin. Kakakku, Mbak Andjar dan teristimewa Mbak Nur yang senantiasa membantu merawat dan mengasuh kedua putraku dari bayi sampai usia balita,

(14)

Mang Wiwit, yang telah merawat dan mengasuh anak-anak; terima kasih yang tidak terhingga atas doa-doa dan kerja kerasnya demi keberhasilan penulis.

Akhirnya secara rendah hati dan penuh kasih sayang penulis sampaikan terima kasih yang dalam kepada suami tercinta Drs. Setyabudhi, M.Pd dan permata hatiku: A Jj dan AA Gi yang selalu sabar, setia, penuh pengertian, berdo’a sepanjang waktu dan nyaris tanpa keluhan. A Jj yang dibesarkan diantara saudaranya, dalam usia anak-anak telah menunjukkan kedewasaan akan kenyataan beratnya hidup yang harus dijalani tanpa ada bimbingan dan belaian ibu setiap waktu. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar terutama dalam menghadapi stress-stress yang nyaris membuat frustasi.

Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas penyelesaian studi ini diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada mereka semuanya, diucapkan terima kasih semoga amal mereka dicatat sebagai amal shaleh. Amin.

(15)

Halaman

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan... 4

TINJAUAN PUSTAKA Gizi dan Kesehatan ... 5

Status Gizi ... 7

Imunitas Anak Balita ... 11

Peranan Vitamin A dan Imunitas ... 13

Peranan Zat Besi dan Imunitas ... 19

Sinergis me Vitamin A dan Zat Besi ... 23

Respons Imun ... 24

Respons Imun Non Spesifik ... 25

Respons Imun Spesifik ... 27

Antigen dan Antibodi ... 29

Pembentukan Respons Imun ... 30

Imunoglobulin G (IgG) ... 31

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran ... 33

Hipotesis ... 36

Batasan Operasional ... 36

BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

Disain Penelitian ... 38

(16)

Biskuit Fortifikasi ... 43

Komposisi Biskuit ... 43

Pelaksanaan Intervensi dan Pendistribusian Biskuit ... 44

Pengumpulan dan Pengukuran Data ... 47

Pengolahan dan Pengendalian Kualitas Data ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN Biskuit Fortifikasi ... 52

Keadaan Demografi Wilayah Penelitian ... 52

Kondisi Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh... 54

Kepemilikan Kartu Sehat ... 58

Pengetahuan Gizi Ibu ... 58

Karakteristik Contoh... 60

Riwayat Penyakit Anak Balita ... 63

Konsumsi Biskuit Fortifikasi pada Balita Contoh... 66

Konsumsi Zat Gizi Anak Balita ... 74

Konsumsi Vitamin A ... 78

Konsumsi Zat Besi (Fe) ... 79

Status Gizi Antropometri ... 80

Status Zat Gizi Mikro ... 83

Hemoglobin (Hb) ... 83

Ferritin Serum (Fs) ... 87

Retinol Serum (Rs) ... 89

Respons Imun (Imunoglobulin G)... 93

Morbiditas, Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun... 96

Faktor yang Berpengaruh terhadap Pembentukkan Titer Imunoglobulin G... 96

Hubungan Infeksi, Kadar Hemoglobin, Ferritin, Retinol, dan Respons Imun ... 98

(17)

Saran... 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN ... 113

(18)

Tabel Halaman 1 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor menurut

Standar WHO/NCHS ... 10

2 Jenis Data dan Frekuensi Pengumpulan Data ... 47

3. Gambaran Wilayah Kecamatan Dramaga ... 53

4. Besar Keluarga Responden menur ut Jumlah Anggota Keluarga ... 55

5. Kepemilikan Rumah Keluarga Contoh... 55

6. Keadaan Bangunan dan Penerangan Rumah Keluarga Contoh... 55 7. Keadaan Ventilasi Rumah Tangga Contoh ... 56

8. Sarana Septiktank Rumah Tangga Contoh... 57

9. Sumber Air Rumah Tangga Contoh... 57

10. Kepemilikan Kartu Sehat dan Kartu Berobat... 58

11. Pengelompokkan Pengetahuan Gizi Ibu menurut Kategori... 59

12. Karakteristik Balita Contoh Menurut Jenis Kelamin, Umur, Urutan dalam Keluarga, Riwayat Lahir, Riwayat Penyakit, Imunisasi, dan Kedatangan di Posyandu... 61

13. Riwayat Penyakit Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 63

14. Rata-rata Skor Morbiditas Anak Balita Sebelum dan Sesudah Intervensi... 65

15. Konsumsi Biskuit pada Balita Contoh... 66

16. Tambahan Energi dan Zat Gizi Mikro Harian dari Biskuit Fortifikasi Setiap 100 gram terhadap Kecukupan Gizi Balita ... 68

17. Opini Ibu- ibu Balita tentang Biskuit Penelitian... 72

18. Rata-rata Konsumsi Total Harian Anak Balita Contoh... 75

19. Rata-rata Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi Anak Balita Contoh menurut AKG 2004 ... 77

20. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Konsumsi Vitamin A Anak Balita 79

(19)

23. Sebaran Rata-rata Status Gizi Anak Balita Indeks BB/TB

(WHO-NCHS, 1983) ... 81

24. Hasil Uji Perbandingan Rata-rata Z-skor Status Gizi ... 82

25. Rata-rata Hb dan Uji Perbandingan Rata-rata ... 87

26. Rata-rata Ferritin Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ... 88

27. Rata-rata Retinol Serum dan Hasil Perbandingan Rata-rata ... 93

(20)

Gambar Halaman

1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup ... 6

2. Struktur Vitamin A, β-Carotene, dan Derivatnya ... 13

3. Transpor Vitamin A Intra Organ ... 14

4. Skema Perjalanan Fe di dalam tubuh yang dimodifikasi ... 20

5. Respons Imun Spesifik dan Non spesifik ... 25

6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan ... 31

7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) ... 32

8. Keterkaitan Biskuit Fortifikasi, Status Gizi, dan Imunitas ... 35

9. Jumlah Contoh Anak Usia 18-38 bulan yang Diintervensi Biskuit Fortifikasi ... 39

10. Jumlah Contoh Anak Usia ≥ 24 bulan yang Dianalisis Imunoglobulin G-nya ... 40

11. Kerangka dan Cara Penarikan Contoh Anak-anak ... 41

12. Biskuit Fortifikasi dan Non Fortifikasi ... 44

13. Baga n Alir Tahapan Penelitian ... 45

14. Grafik Penyebaran Pengetahuan Gizi Ibu menurut Skor ... 60

15. Proporsi Anak Balita Contoh menurut Jenis Kelamin ... 60

16. Rata-rata Konsumsi Biskuit Anak (Gram/Hari) menurut Minggu 68

17. Grafik Batang Alasan Balita Contoh Kurang mengkonsumsi Biskuit ... 70

18. Grafik Batang Rata-rata Tingkat Konsumsi Gizi Awal dan Akhir Intervensi... 76

19. Sebaran Hemoglobin (Hb) pada Awal dan Akhir Intervensi ... 84

20. Sebaran Ferritin Serum (Fs) pada Awal dan Akhir Intervensi ... 87

21. Sebaran Retinol Serum (Rs) Anak Balita Contoh di Awal dan Akhir Intervensi ... 90

22. Sebaran Titer IgG Total (IU/mL) Awal dan Akhir Intervensi ... 94

(21)

Halaman

Lampiran 1. Analisis Darah ... 117

1. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin... 117

2. Pemeriksaan Kadar Ferritin Serum ... 118

3. Pemeriksaan Kadar Retinol Serum ... 119

4. Pemeriksaan Imunoglobulin G... 120

Lampiran 2. Daftar Makanan yang dikonsumsi Anak Balita... 121

Lampiran 3. Photo-photo Kegiatan Penelitian... 123

(22)

Latar Belakang

Dewasa ini masih banyak kasus gizi buruk ditemukan dan menjadi salah satu penyebab meningkatnya infeksi dan kematian pada anak balita yang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Kasus gizi buruk pada anak balita, terutama diakibatkan oleh pola makan yang kurang baik yang menyebabkan anak kekurangan beberapa zat gizi mikro, diantaranya vitamin A dan zat besi. Akibat kekurangan zat gizi tersebut, anak mudah terserang penyakit infeksi bahkan kematian.

Berdasarkan hasil laporan survei Departemen Kesehatan RI, angka kematian anak balita (AKABA) di beberapa daerah di Indonesia umumnya masih tinggi. Sebagai contoh di daerah Jawa Barat AKABA sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003). Sementara itu kasus gizi buruk dan gizi kurang juga masih tinggi, sebagai contoh di Kabupaten Bogor kasus gizi buruk tercatat sebesar 5,56 persen dan gizi kurang sebesar 18,46 persen (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Gizi buruk pada anak balita menyebabkan meningkatnya penyakit infeksi. Infeksi dan defisiensi zat gizi mikro berhubungan erat dengan mekanisme pertahanan tubuh (Villamor dan Fawzi, 2005; Goldenberg, 2003). Defisiensi zat gizi mikro dapat meningkatkan resiko infeksi dan penurunan fungsi imun. Telah dilaporkan bahwa infeksi dan defisiensi gizi merupakan penyebab beberapa kasus kematian anak-anak balita di seluruh dunia (Oppenheimer, 2001).

Defisiensi zat gizi mikro dan kejadian infeksi di Indonesia relatif masih tinggi yang diindikasikan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan bayi (ACC/SCN, 2002). Walaupun Indonesia dinyatakan bebas masalah xeropthalmia pada tahun 1992, kita tetap perlu waspada sebab 50 persen anak balita masih menunjukkan kadar vitamin A dalam serum <20 µg/dl (defisiensi sub klinis) yaitu sebanyak 10 juta sub klinis dan 66 ribu bercak bitot yang semuanya terancam kebutaan (Depkes RI, 2003). Masalah defisiensi zat besi juga masih dialami oleh bangsa Indonesia. Prevalensi anemia pada anak balita yang

(23)

dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 ternyata meningkat, dari 40,5 persen dari data tahun 1995 menjadi 47 persen pada tahun 2001 (Depkes RI, 2003).

Hasil studi terdahulu oleh Semba et al (1992) yang dilakukan tahun 1991 menunjukkan bahwa pemberian vitamin A dosis tinggi kepada anak balita selama dua minggu dapat meningkatkan respons imun. Empat dari 8 studi menunjukkan bahwa kematian anak meningkat karena penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001) dan 127 juta anak balita yang defisiensi vitamin A di Sub Sahara beresiko meninggal (West, 2002 dan Aguayo, 2002).

Hasil meta analisis oleh Beaton et al. (1993) me nunjukkan, bahwa suplementasi vitamin A dosis tinggi dapat menurunkan 20-30% angka kematian anak balita. Dilaporkan pula bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas anak dari beberapa penyakit infeksi, yakni diare, campak, human immunodeficiency virus (HIV), danmalaria (Villamor dan Fawzi, 2005). Suplementasi vitamin A berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi retinol serum dan kekebalan mukosa (Aguayo et al. 2005) serta berpengaruh terhadap penurunan infeksi (Malaba et al. 2005 dan Cusick et al. 2005).

Selain defisiensi vitamin A, penyebab kasus gizi buruk pada anak balita yang sering menyebabkan penyakit infeksi, adalah defisiensi zat besi. Zat besi (Fe) diyakini dapat meningkatkan kekebalan tubuh anak. Dilaporkan suplementasi zat besi mampu menurunkan insiden infeksi (Kang dan Matsuo, 2004 dan Oppenheimer, 2001) serta dapat meningkatkan status hemoglobin dan ferritin serum (Terlouw et al. 2004). Penelitian Gopaldas (2005), membuktikan bahwa suplementasi zat besi (Fe) mampu menurunkan infeksi cacing penyebab kesakitan dan kematian anak balita.

Berbagai studi di atas telah membuktikan, dampak suplementasi vitamin A dosis tinggi dan zat besi dapat meningkatkan status gizi dan imunitas dengan penurunan berbagai penyakit infeksi. Sebaliknya, kekurangan zat gizi mikro menyebabkan rendahnya respons imun anak yang salah satunya ditandai dengan rendahnya pembentukan imunoglobulin, khususnya imunoglobulin G (IgG).

(24)

Semakin baik status gizi mikro anak semakin baik tingkat kekebalan tubuh anak (Chandra, 1997).

Kekebalan tubuh terhadap penyakit tidak terlepas dari peran antibodi. Antibodi tersebut dikenal dengan antitoksin yang pada umumnya merupakan Imunoglobulin tipe G (IgG). Untuk meningkatkan kadar antitoksin diperlukan pembentukan antibodi yang dapat diukur titernya dalam serum, yang salah satunya pengukuran titer IgG Total. Pembentukan IgG seseorang akan mencapai maksimum apabila didukung oleh status gizi mikro yang baik (Suyitno, 1985).

Respons imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang berlangsung, salah satunya adalah pembentukan sel B. Produk utama sel B adalah imunoglobulin dalam proses respons imun humoral. Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi (Kresno, 2001). Respons imun yang terkaitan dengan imunoglobulin tersebut dapat diukur kadarnya dalam serum.

Banyaknya kasus gizi buruk pada anak balita mendorong World Food

Program (WFP) bekerjasama dengan Pusat Studi Kajian Pangan dan Gizi

(PSKPG) untuk melakukan intervensi berupa pemberian biskuit fortifikasi kepada kelompok anak balita keluarga miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Biskuit ini telah difortifikasi dengan zat besi dan vitamin A dalam dosis rendah. Untuk mengkaji pengaruh pemberian zat besi dan vitamin A dosis harian rendah (dalam biskuit) dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap pembentukan imunoglobulin G (IgG) total. Dalam kajian tersebut permasalahan yang ingin dilihat adalah: apakah pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah yang difortifikasikan pada biskuit mampu meningkatkan respons imun anak balita pada masyarakat kelompok miskin di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor?

Pemberian vitamin A dan zat besi dosis harian rendah tersebut diharapkan dapat memberikan kecenderungan positif terhadap penurunan prevalensi defisiensi gizi mikro sehingga dapat meningkatkan status gizi mikro anak dan respons imun anak balita.

(25)

Penanggulangan masalah gizi harus mendapatkan prioritas utama sesuai visi pembangunan gizi “mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal” (Rencana Aksi, 2000). Menurut IDRC/IAC (1996), salah satu strategi utama untuk melawan masalah defisiensi gizi mikro adalah dengan fortifikasi pangan. No other technology

offers as large an opportunity to improve five…at such low cost and in such a short time …fortification (World Bank, 1994).

Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian vitamin A dan zat besi dosis rendah harian yang difortifikasikan pada biskuit terhadap status gizi dan respons imun anak balita.

Secara khusus penelitian ini bertujuan unt uk:

1. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan asupan zat gizi anak balita;

2. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan konsentrasi hemoglobin dan ferritin;

3. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan retinol dalam serum;

4. Mempelajari pengaruh pemberian biskuit fortifikasi terhadap status gizi anak balita secara antropometri;

5. Mempelajari dampak pemberian biskuit fortifikasi terhadap peningkatan Imunoglobulin G Total.

(26)

Gizi dan Kesehatan

Kesehatan dan gizi mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996).

Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikut nya. Anemia akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak pada penglihatan.

Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan, kegagalan tumbuh pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson, 1993). Defisiensi ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat awal kehidupan anak akan berpengaruh di sepanjang kehidupannya (Gambar 1).

(27)

Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)

Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).

Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai AKI Tinggi AKB Tinggi Remaja Kurang Gizi Anak Kurang Gizi Bayi Berat Badan Lahir Rendah Masa Tua Kurang Gizi

Peningkatan resiko penyakit

Sering infeksi Penurunan Kapasitasmental Penurunan kapasitas mental Pangan, Kesehatan dan perawatan tidakmemadai Penurunan kapasitas Merawat bayi Gizi fetus tidak memadai Wanita Kurang Gizi Wanita Hamil, pertambahan BB rendah

Gangguan Perkembangan Mental

Imunitas Rendah Morbiditas Meningkat AKA Tinggi Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai

Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai

Penurunan kapasitas mental Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat AKABA Tinggi

(28)

Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecuk upan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respons imun yang rendah.

Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan pertumbuhan bahkan kematian.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status) merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000).

Status gizi tubuh dipengaruhi oleh kecukupan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat- zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan penggunaan zat gizi tersebut untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan

(29)

pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002) disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.

Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya.

Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990).

Kelebihan indeks BB/U adalah: (a) dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, (b) sensitif untuk melihat perubahan status

(30)

gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat, dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Tinggi badan (TB) merupakan indikator antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek. Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990).

Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah: (a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a) sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000).

Dengan indikator BB/TB, berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah data hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor.

(31)

Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi normal. Nilai Z-skor masing- masing anak dihitung dengan menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:

(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi Keterangan:

i = umur (bulan)

Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i

Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i

Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i

Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB, dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/ NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing- masing individu kemudian diband ingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik batas (cut-off point) skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Z-skor secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983)

Indikator Kriteria Standar BB/U Gizi Lebih

Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD TB/U Normal Pendek/Stunted = - 2,0 SD < - 2,0 SD baku WHO-NCHS BB/TB Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD Sumber: Jahari dkk, 2000

(32)

Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing- masing indeks antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2 SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin; (4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing- masing indeks tidak sama.

Imunitas Anak Balita

Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001). Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut.

Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh denga n respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit.

Respons imun yang terjadi pada anak balita akan tergantung dari kondisi tubuh anak. Selama anak mempunyai masalah (gangguan) gizi maka respons imunnya juga akan terganggu. Defisiensi gizi termasuk gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada perumbuhan anak

(33)

(Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun.

Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak yang gizinya baik (Gopaldas, 2005).

Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi.

Interaksi antara gizi dan kesehatan dipandang sebagai suatu siklus. Pertahanan tubuh dan kemampuan mikro organisme patogen yang dapat menimbulkan penyakit (virulensi) yang menghinggapi tubuh diilustrasikan sebagai dua kekuatan yang dapat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas. Pada anak yang defisiensi zat gizi mikro, pertahanan tubuh akan menurun dan tenaga virulensi patogen akan lebih kuat sehingga kesehatan anak terganggu dan anak menderita infeksi. Karenanya, gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta melindungi kesehatannya (ACC/SCN, 2000).

(34)

Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas

Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).

Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000)

Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan (Brody, 1994). Sel epithel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen. Sel epithel memiliki peran penting dalam transport ion dan absorpsi serta sekresi cairan yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Williams & Wilkins, 2006 ).

(35)

Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et

al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002),

menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.

Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)

Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid.

Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epitelium di beberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel kornea, paru-paru, kulit, dan mukosa intestin, dan dapat menurunkan sel goblet intestin dan permukaan vilus (Linder, 1992). Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan

(36)

kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001).

Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998).

Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat dipahami karena vitamin A esensial untuk kenormalan fungsi imun, hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia, dan meningkatkan fase protein akut.

Menurut Semba (1998), vitamin A dan yang berhubungan dengan retinoid memainkan peranan penting dalam pengaturan fungsi imun. Defisiensi vitamin A berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality), misalnya kejadian pada buta senja (nightblindness) dan xerophthalmia serta penyakit infeksi. Pada studi meta analisis ditemukan konsep: sindrom defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al., 2000). Anak-anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan pathologis dalam fungsi sel T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan infeksi subklinis seperti penyakit diare (Semba, 2002). Infeksi subklinis sebagian besar terjadi pada anak

(37)

gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja.

Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap kekebalan mukosa. Permukaan mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons tubuh inang (Suyitno, 1985).

Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992). Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen (Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994).

Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan, defisiensi vitamin A berpengaruh pada metabolisme, ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan, diferensiasi jaringan epithel sebagai fungsi sistem imun termasuk perubahan organ morfologi, menurunkan respons antibodi terhadap beberapa pathogen spesifik dan antigen, menurunkan CMI dan imunitas non-spesifik (IFPRI, 2000). Defisiensi vitamin A dapat menurunkan proliferasi sel-T dan berkurangnya produksi antibodi, khususnya pada perut (gut) dan paru-paru. Juga dapat menurunkan berat tymus yang dihubungkan dengan bentuk atrophy pada kekurangan vitamin A yang panjang durasinya (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Menurut studi dan observasi Ahmed et al (1990) pada tikus defisiensi vitamin A

(38)

dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan, serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi.

Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun. Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan dalam merespons antigen.

Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A (Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al., (1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984), dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM) berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984).

Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A.

Pendapat yang sejalan dikemukakan oleh Nauss (1986) dan Ross (1992), bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah organ limfoid, jumlah sel, histologi, dan karakteristik limfosit. Namun hal tersebut sangat tergantung dari durasi defisiensi vitamin A tersebut. Keadaan vitamin A berpengaruh besar terhadap prevalensi infeksi atau dalam respons infeksi. Hal ini disebabkan karena defisiensi vitamin A berefek pada fungsi sel NK yang berperan mengatur formasi antibodi dan sekresi IFN. Pelepasan IFN dapat meningkatkan

(39)

aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin (Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990).

Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al., 1992). Perbaikan status vitamin A dapat menurunkan angka kematian sebesar 23% pada populasi yang defisien (Bowman et al.,1990). Hal ini dapat dipahami karena perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al., 1990). Selain itu vitamin A berperan dalam penurunan infeksi melalui perannya dalam peningkat-an (enhancher) diferensiasi sel ephitel dan sebagai fungsi barier tubuh (Goldenberg, 2003). Vitamin A mengatur sintesis keratin dengan squamos cell dan tampil dalam pemeliharaan integritas permukaan ephitelial mukosa (Goldenberg, 2003).

Studi klinis dan eksperimental oleh Green dan Mellanby pada tahun 1920 dan 1930 yang dikutip oleh Oppenheimer (2001) membuktikan bahwa vitamin A sebagai vitamin “anti infeksi”. Dalam jurnal yang sama, Scrimshaw tahun 1968 membuktikan bahwa ‘Tidak ada satupun defisiensi gizi yang konsisten sinergis dengan penyakit infeksi daripada vitamin A. Pada tahun 1993, Beaton et al. membuktikan secara klinis bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan 20-30% mortalitas anak.

Vitamin A dan retinoid potensial untuk terapi terhadap imun. Penggunaan terapi dengan vitamin A diawali dalam bidang Dermatologi dan Onkologi. Vitamin A sebagai fungsi biologis penting untuk penglihatan, reproduksi dan fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, dan proliferasi. Vitamin A berperan penting dalam meningkatkan respons imun dan defisiensi vitamin A dapat menyebabkan kerusakan respons imun dan fungsi limfosit (Stipanuk, 2000).

(40)

Peranan Zat Besi dan Imunitas

Besi merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh. Besi yang di konsumsi sehari- hari dalam bentuk ionnya, yaitu Fe++ (fero) dan Fe+++.(feri). Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim yang bertanggung jawab untuk pengangkutan elektron (sitokrom), untuk pengaktifan oksigen (oksidase dan oksigenase), dan untuk mengangkut oksigen (hemoglobin dan mioglobin). Sebagian besar zat besi berada pada hemoglobin (Hb) di dalam sel darah merah dan jaringan eritroid (Stipanuk, 2000).

Fungsi Fe dalam tubuh adalah untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O2 dan CO2, yang berperan dalam metabolisme energi. Sebagian kecil besi terdapat dalam enzim jaringan yaitu sekitar 7 persen seperti sitokrom (Brody, 1999). Zat besi berperan sangat penting dalam fungsi seluler, yakni sintesis Hb dan metabolisme makrofag (Williams & Wilkins, 2006).

Metabolisme Fe tampaknya memang unik karena kecilnya pertukaran Fe dengan lingkungan setiap harinya, yakni hanya 1 mg Fe yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan Fe karena ekskresi. Tubuh sangat efisien dalam penggunaan Fe. Kurang lebih 1% sel darah merah yang didegradasi dan dibentuk kembali setiap hari dalam jangka waktu hidup 120 hari. (Linder, 1992). Skema metabolisme Fe pada manusia disajikan pada Gambar 4.

Sebelum diabsorpsi sebagian besar Fe dalam bentuk ferri direduksi menjadi bentuk ferro. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus dengan bantuan transferrin (transferrin mukosa dan reseptor). Transferrin mukosa mengangkut Fe dari saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferrin reseptor di dalam sel mukosa. Transferrin reseptor mengangkut Fe melalui darah ke semua jaringan tubuh. Sebagian besar transferrin darah membawa Fe ke sumsum tulang untuk membuat Hb yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan dan kelebihannya disimpan sebagai ferritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Kekurangan besi akan mengganggu pembentukan Hb dan dapat menyebabkan anemia.

(41)

Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi (Whitney & Rolfes, 1993:407)

Anemia adalah satu dari problem kesehatan masyarakat yang sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah jumlah zat besi dalam konsumsi makanan sehari- hari tidak mencukupi kebutuhan tubuh karena bioavailability-nya rendah (Kodyat et al., 1991; Seshadri, 1997; Sari

et al, 2001; Ma et al., 2002). Hasil beberapa studi baik pada hewan percobaan

Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang

Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah & mengikatkan ke transferrin

Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb

sel darah merah

Darah mengangkut Fe sebagai Hb sel darah merah

Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin Sebagian hilang

melalui darah

Sel mukosa usus halus: Fe melekat ke alat transport

transferrin reseptor

Fe dalam alat transport transferrin reseptor Fe dibawa darah oleh transferrin Fe diangkut Transferrin mukosa Fe dalam saluran pencernaan Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin

Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin Kelebihan disimpan

Sebagai Ferritin dan hemosiderin

(42)

maupun manusia menunjukkan bahwa ketidaknormalan metabolisme besi berhubungan dengan defisiensi vitamin dan inhibitor penyerapan besi dalam makanan (Staab et al., 1984; Brune et al., 1989).

Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan defisiensi gizi besi masih terdapat sampai sekarang. Prevalensi anemia gizi besi nasional baru dikumpulkan pada tahun 1989 melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Surve i secara nasional tahun 1992, bahwa anemia defisiensi besi pada balita sebesar 55,5 persen dan menurun menjadi 40,5 persen (SKRT, 1995). Sesuai dengan SKRT 1995 bahwa distribusi prevalensi defisiensi zat gizi bedsi di Indonesia tersebar merata pada semua kelompok umur dan jenis kelamin (Natakusuma, 1998).

Anak-anak paling rawan terhadap masalah kurang gizi besi karena kebutuhan mereka akan zat gizi besi relatif lebih besar untuk keperluan akselerasi pertumbuhan kira-kira sampai usia dua tahun. Prevalensi anemia khususnya pada anak-anak kelompok rawan di Asia Tenggara sebesar 50-70 %. Satu penyebabnya karena jumlah zat besi yang diserap dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh dan ketidakcukupan tersebut kemungkinan akibat dari tidak cukupnya intik zat besi dan rendah nilai biologisnya (Sari et al., 2001).

Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan untuk pembentukan energi (Chunningham, 1992). Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok umur dan jenis kelamin. Batas normal kadar Hb anak balita adalah 11 g/dL (WHO, 1996).

Anemia defisiensi besi menurunkan perkembangan fisik, kerusakan fungsi imun, pertumbuhan lambat, dan meningkatkan kelelahan (Grantham dan Ani, 2001). Konsekuensi buruk akibat defisiensi besi pada anak balita antara lain: meningkatkan kematian dan kesakitan, meningkatkan resiko kerusakan fungsi kognitif, menurunkan imunitas seluler, gangguan pengaturan panas, defisit pertumbuhan anak, dan menurunkan prestasi belajar jika anak telah masuk sekolah, serta menurunkan produktifitas dan kapasitas fisik saat bekerja jika anak telah dewasa. Anemia defisiensi besi dapat merusak fungsi imun manusia pada

(43)

semua tingkat kehidupan. Tinjauan dari 21 studi, menunjukkan bahwa anemia berhubungan erat dengan kematian anak dan infeksi (Allen dan Gillespie, 2001).

Anemia defisiensi besi sangat luar biasa terjadi di beberapa negara berkembang, lebih dari 50% populasi dunia mempunyai tingkatan status gizi besi rendah berdasarkan hasil uji klinis (Chandra, 1973 dan Kuvibidila, 1980). Angka prevalensi anemia di Indonesia sekitar 20-30% pada balita, anak sekolah, dan buruh berpenghasilan rendah (Karyadi, Muhilal, dan Hermana., 1990). Prevalensi anemia gizi besi pada anak balita. yang dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 sebesar 47% (Depkes, 2003).

Fakta membuktikan defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampu-an individu melawkemampu-an infeksi (Kkemampu-ang dkemampu-an Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam menjaga/mempertahankan responss imun. Menurut Oppenheimer (2001), angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001). Suplemen besi dapat meningkatkan status gizi besi (Hoa et

al, 2005).

Defisiensi besi memberikan kontribusi lanjut terhadap kerusakan fungsi imun. Beberapa kerusakan sistem imun akibat defisiensi besi terjadi secara bertahap. Tahap pertama cellular-synthesis, tahap kedua ketika terjadinya mekanisme pencernaan atau membunuh antigen oleh leukosit, dan tahap berikutnya waktu interaksi atau sinergisme antara sistem imun dan mikro organisme. Peranan besi terhadap respons imun nampak pada fagositosis (Ahluwalia et al, 2004), sel NK (Ravaglia et al, 2000) dan sel mediate respons imun (Thibault et al, 1993; Ahluwalia et al, 2004).

Defisiensi besi berhubungan dengan ketidaknormalan respons imun dan memperburuk penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001). Lima dari sembilan studi menunjukkan terjadi peningkatan angka malaria dan empat dari delapan studi mengatakan terjadi peningkatan morbiditas dan penyakit infeksi yang lain. Defisiensi besi merupakan penyebab kerusakan fungsional dari beberapa jaringan,

(44)

dan menurunkan erythropoiesis, transport oksigen seluler, dan metabolisme oksidatif dalam jaringan (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan zat besi pada anak dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya penurunan respons sel mediasi imunologik (Dijkhuizen & Wieringa, 2001), mempunyai efek yang kuat terhadap penurunan aktivitas sel NK dan neutrofil (Palafox et al., 2003) dan penurunan fungsi makrofag terhadap toksisitas mikro organisme (Sommer et

al., 1980).

Pencegahan dan penanggulangan defisiensi gizi besi dapat dilakukan dalam bentuk intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan penderita anemia, meningkatkan kualitas produktifitas, meningkatkan prestasi sumberdaya manusia, dan meningkatkan menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu dan bayi (Program Aksi, 2000). Program suplementasi besi diberikan kepada anak yang defisiensi besi karena zat besi berperan penting untuk perkembangan otak (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Sebagian besar zat besi dalam tubuh digunakan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang disuplai ke pool plasma transferrin melalui makrofag dengan sistem reticuloendothelial.

Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi

Interaksi vitamin A dan zat besi dapat diketahui pada proses pembentukan sel darah merah dalam jaringan limfoid dan sumsum tulang (hematopoiesis). Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kerusakan hematopoiesis (Erdman, 1988). Konsentrasi retinol plasma yang rendah merupakan penyebab rendahnya tingkat konsentrasi hemoglobin, serum ferritin, dan transferrin. Ketika intik besi cukup tidak ditemukan kondisi seperti ketika defisiensi besi. Beberapa studi menunjukkan indikasi terhadap efek defisiensi vitamin A terhadap kandungan besi dan Hb serum. Observasi yang dilakukan ketika intik besi cukup, tidak ditemukan korelasi seperti ketika intik besi rendah. Pada studi eksperimen defisiensi vitamin A pada manusia secara sukarela oleh Hodges (1978) ditemukan konsentrasi Hb menurun dalam pola yang serupa dengan plasma vitamin A dan selama kelebihan vitamin A, nilai Hb meningkat pada plasma vitamin A.

(45)

Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan digambarkan, besi pada hati dan limpa menurun bersamaan dengan menurunnya Hb pada serum. Interaksi antara vitamin A dan besi nampak pada mekanisme, yakni terjadi kerusakan mobilisasi besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke dalam eritrosit, rendahnya kadar retinol plasma pada anak dihubungkan dengan rendahnya hemoglobin, dan kejenuhan transferrin ketika intik besi cukup (Panth et al., 1990). Besi terakumulasi pada hati dan limpa pada defisiensi vitamin A (Staab et al., 1984 dan Rodenburg et al., 1994). Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki anemia (Olson, 1991).

Suplementasi vitamin A dapat meningkatkan status vitamin A dan metabolisme zat besi pada ibu hamil dan anak usia sekolah dasar (Cohen et al., 1973). Pada anak yang defisien vitamin A dan besi diberikan suplemen kombinasi (zat besi dan vitamin A) ditemukan efektif menurunkan 40% anemia dibandingkan suplementasi zat besi saja. Contoh penemuan lain yang tidak spesifik terhadap suplementasi vitamin A pada program fortifikasi gula dengan vitamin A di Guatemala berhasil meningkatkan status besi dari populasi (Cohen dan Elin, 1974) dan percobaan fortifikasi MSG dengan vitamin A di Indonesia meningkatkan tingkat hemoglobin anak-anak sebesar ~10 g (Muhilal, 1988).

Respons Imun

Berdasarkan responsnya, secara garis besar sistem pertahanan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu respons imun non-spesifik, yakni mencegah invasi benda-benda asing melalui kulit, mukosa, dan permukaan tubuh; dan respons imun spesifik yang terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Komponen respons imun spesifik dan non-spesifik dapat dilihat pada Gambar 5.

Respons imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat pada pathogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan (Roitt, 1991).

Respons imun adalah sistem interaksi komplek yang menyesuaikan inang (host) untuk membedakan substansi self dan non-self, kemudian menghancurkan

(46)

atau menghilangkan invasi organisme, produk toksik, dan substansi biologis lain yang berbahaya (Beisel, 1988). Respons imun menimbulkan interaksi antara organ limfoid dan produk yang dikeluarkan sel tersebut dengan organ.

Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik (Chandra, 1988)

Respons Imun Non-spesifik

Apabila mikro organisme dapat masuk dalam jaringan, pertama akan dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikro organisme dan dapat memberikan respons langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikro-organisme tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi sejak lahir yaitu kulit dan mukosa.

STIMULUS

Bakteri, Virus, Sel Kanker Bahan-bahan kimia

NON-SPESIFIK

Mukosal, Fagositosis, Inflamasi

SPESIFIK Humoral, Cell Mediated AKTIVASI RESPONS IMUN

PENGENALAN STIMULUS

PENGATURAN KEMBALI RESPONS IMUN

Gambar

Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup  yang Dimodifikasi                    (Allen dan Gillespie, 2001)
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar                           WHO-NCHS (1983)
Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi                    (Williams &amp; Wilkins, 2006)
Gambar 6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan                                             Sumber : Wibawan et al., 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Customer service untuk memperoleh informasi fasilitas yang sedang terjadi gangguan atau komplain, sehingga dapat mengetahui kondisi.. terakhir fasilitas yang

Hal ini tidak sejalan dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara ketuhanan (rabbaniyyah) dengan keputusan nasabah menggunakan

konsep surat izin penelitian 1 hari surat izin penelitian Jika pejabat tidak berada di tempat. Menulis dalam buku register dan

[r]

melibatkan perusahaan properti dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan data keuangan tahun 2009-2012 yaitu dengan judul ”Analisis Pengaruh

This research aims to analyze whether the LDR, IPR, APB, NPL, IRR, PDN, BOPO, FBIR and FACR have significant influence simultaneously and partially toward Return On Asset

Proučavajući hrvatsku filmsku publicistiku u prvoj polovici dvadesetog stoljeća Vjekoslav Majcen ispravno je ustvrdio postojanje snažnog komercijalnog kodiranja. Ako

MASTER DATA PENJUALAN PEMBELIAN PRODUKSI LAPORAN- LAPORAN BUKU BESAR KARYAWAN SUPPLIER PELANGGAN BARANG KATEGORI SATUAN PENJUALAN RETUR JUAL PEMESANAN PENJUALAN PELUNASAN