KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR (DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)
SKRIPSI
AZKIYA BANATA 1111095000006
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR (DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
AZKIYA BANATA 1111095000006
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR (DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
AZKIYA BANATA 1111095000006
Menyetujui,
ii
PENGESAHAN UJIAN
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2015
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR (DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)”. Skripsi ini disusun dalam rangka menyempurnakan syarat gelar sarjana strata satu (S1) sains
program studi biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya keridhoan dari Allah SWT
yang disampaikan melalui bantuan dari pihak-pihak yang memberikan bimbingan
dan dukungannya kepada penulis. Segala dukungan dalam bentuk apapun, baik
yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung, sangat berarti dalam
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Dasumiati, M.Si selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Etyn Yunita, M.Si selaku sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud dan Narti Fitriana, M.Si selaku
pembimbing I dan II yang telah memberikan ilmu, bimbingan, arahan dan
semangat yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis selama
v
5. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, Drs. Paskal Sukandar, M.Si dan Mardiansyah,
M.Si selaku penguji seminar yang telah memberikan kritik dan saran yang
sangat berguna bagi penyusunan skripsi ini.
6. Dr. Megga Ratnasari Pikoli dan Priyanti, M.Si, selaku penguji sidang
Munaqasyah yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berguna
bagi penyusunan skripsi ini.
7. Rakhmat Abu Bakar dan Suheni, S.Ag, orang tua terbaik di dunia yang selalu
mendoakan tanpa henti dan memberikan dukungan berupa moral dan moril
kepada penulis. Muhammad Adam Albana, Rifda Rahma Fatimah Azzahra
dan Muhammad Rasyaddaud, tim di balik layar keberhasilanku.
8. Taman Nasional Kepulauan Seribu, khususnya Seksi Wilayah III, atas izin dan
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
9. Abah Sairan dan Bapak Firdiansyah selaku staf Taman Nasional Kepulauan
Seribu, atas bantuan dan curahan ilmu yang tidak henti-hentinya diberikan
kepada penulis dalam mengumpulkan data lapangan.
10. Muhammad Arif Tanzil, Ismail Syakurrachman Alaydrus dan Reza Bayu
Zikrillah, atas bantuan dan pengorbanan waktu serta tenaga untuk membantu
penulis dalam mengumpulkan dan mengolah data.
11. Bapak Yohannes, Bapak Agus, Bapak Suwarna dan staf-staf Taman Nasional
Kepulauan Seribu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa terima kasih atas bantuan dan saran-sarannya yang
membangun dan menambah pengetahuan penulis.
12. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Puji
membantu penulis dalam menyediakan alat dan bahan yang diperlukan selama
penelitian berlangsung.
13. Civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama perkuliahan.
14. Yasmin Nafisah dan Hatoli yang selalu memberikan doa dan semangat kepada
penulis, serta selalu mengingatkan untuk selalu dekat dengan-NYA.
15. Teman-teman Biologi 2011 (Wardi Eagles) sebagai sesama pejuang yang telah
bersama-sama mengarungi medan perang selama 4 tahun ini.
16. Keluarga HIMBIO Oryza sativa, SEMA FST, KPU UIN Jakarta 2014, KPPS
FST 2014, DSCo 2011 DEMA FST dan Dapur Seni sebagai wadah
pengembangan diri yang telah memberikan banyak pengalaman kepada
penulis sebagai bekal menghadapi masyarakat yang sesungguhnya.
17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Demikianlah skripsi ini disusun, penulis menyadari dalam penyusunan
skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat diterima sehingga
dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian lainnya yang akan dilakukan.
Aamiin.
Jakarta, Juni 2015
vii ABSTRAK
AZKIYA BANATA. Kepadatan Acanthaster planci L. dan Hubungannya dengan Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Air (Daerah Penyangga Taman Nasional Kepulauan Seribu). Skripsi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud dan Narti Fitriana, M.Si. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Acanthaster planci (Bintang Laut Mahkota Duri) merupakan predator karang yang berpotensi merusak ekosistem terumbu karang apabila kepadatannya lebih dari 0,014 individu/m2. Pulau Air merupakan daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang perlu dijaga, khususnya ekosistem terumbu karangnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan A. planci, persentase tutupan karang dan hubungan antara kepadatan A. planci dan persentase tutupan karang di Pulau Air, Kepulauan Seribu. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik sampling line intercept transect dan belt transect. Pengamatan dilakukan berdasarkan arah mata angin (barat, selatan, timur dan utara) pada kedalaman 3-5 m dan 10-13 m. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan A. planci di Pulau Air sebesar 0,002 individu/m2 yang tergolong kategori alami. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air adalah 44,21 % yang tergolong kategori sedang. Berdasarkan analisis statistika menggunakan Principal Component Analysis (PCA), kepadatan A. planci memiliki hubungan yang bersifat negatif terhadap persentase tutupan karang hidup di Pulau Air.
viii ABSTRACT
AZKIYA BANATA. Density of Acanthaster planci L. and It’s Relation to Coral Reefs in Air Island (National Park of Seribu Islands Buffer Zone). Undergraduate Thesis. Under-guidance of Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud and Narti Fitriana, M.Si. Department of Biology. Science and Technology Faculty. Islamic State University Jakarta.
Acanthaster planci (Crown-of-Thorns Starfish) is a coral predator that has potential to damage the coral reefs ecosystem if the densities level reach more than 0.014 individual/m2. Air Island is National Park of Seribu Islands buffer zone that needs to be maintained especially on it’s coral reefs ecosystem. The study aimed to find the density of A. planci, coral cover presentation, and their relation. This study used survey method with line intercept transect and belt transect technique. Observation were made based on the direction of the wind (west, south, east, and north) on the depth of 3 to 5 m and 10 to 13 m. Observation showed the density of A. planci on Air Island was 0.002 individual/m2 which can be categorized as natural condition. The cover presentation of living corals on Air Island was 44.21 % which can be categorized as moderate condition. Based on statistical analysis using Principal Component Analysis (PCA), there was negatively correlated between A. planci and living corals presentation on Air Island.
ix DAFTAR ISI
hlm.
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Batasan Masalah... 3
1.3. Rumusan Masalah ... 4
1.4. Hipotesis ... 4
1.5. Tujuan Penelitian ... 4
1.6. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Wilayah ... 6
2.2. Biologi Acanthaster planci ... 7
2.2.1. Taksonomi dan Morfologi ... 7
2.2.2. Reproduksi dan Siklusi Hidup ... 9
2.2.3. Habitat dan Perilaku ... 12
2.2.4. Predator Acanthaster planci ... 14
2.3. Biologi Terumbu Karang ... 14
2.3.1. Morfologi ... 14
2.3.2. Faktor Pembatas ... 16
2.3.3. Bentuk Pertumbuhan Karang... 19
2.4. Dampak Pemangsaan Acanthaster planci ... 21
2.5. Solusi Ledakan Acanthaster planci ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 26
3.2. Alat dan Bahan ... 26
3.3. Prosedur Penelitian... 27
3.3.1. Tahap Persiapan ... 27
3.3.3. Pengambilan Data Tutupan Karang Hidup dan
Acanthaster planci ... 27
3.4. Analisis Data ... 28
3.4.1. Penilaian Tutupan Karang Hidup ... 28
3.4.2. Kepadatan Acanthaster planci ... 29
3.4.3. Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci dengan Persentase Tutupan Karang Hidup ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Wilayah ... 31
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Air ... 32
4.3. Tutupan Karang Hidup di Pulau Air ... 36
4.4. Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci, parameter lingkungan dan Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Air ... 41
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 47
5.2. Saran ... 47
xi
DAFTAR GAMBAR
hlm.
Gambar 1. Morfologi A. planci ... 8
Gambar 2. A. planci saat mengeluarkan gonad (Hoey, 2004) ... 10
Gambar 3. Siklus hidup A. planci (Birkeland dan Lucas, 1990) ... 11
Gambar 4. A. planci di atas karang dengan bentuk pertumbuhan tabular (Hoey, 2004) ... 13
Gambar 5. Salah satu predator A. planci yaitu Charonia tritonis (Hoey, 2004) ... 14
Gambar 6. Morfologi terumbu karang (Castro dan Hubber, 2003) ... 15
Gambar 7. Ledakan populasi A. planci pada terumbu karang (Hoey, 2004) ... 22
Gambar 8. Morfologi karang yang telah dimangsa oleh A. planci (Kayal et al., 2012) ... 23
Gambar 9. Gambaran lokasi pengambilan data ... 26
Gambar 10. Petak pengambilan sampel terumbu karang dan A. planci ... 28
Gambar 11. Keberadaan A. planci di Pulau Air (Dok. Pribadi, 2015)... 34
Gambar 12. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air ... 36
Gambar 13. Patahan karang (rubble) (Dok. Pribadi, 2015) ... 37
Gambar 14. Persentase tutupan karang keras di Pulau Air ... 39
Gambar 15. Persentase tutupan substrat dasar di Pulau Air ... 40
Gambar 16. Grafik PCA keterkaitan A. planci dan parameter fisika-kimia perairan dengan persentase tutupan karang hidup ... 43
xii
DAFTAR TABEL
hlm. Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup (Gomes dan Yap,
[image:14.595.111.516.206.586.2]xiii
DAFTAR LAMPIRAN
hlm. Lampiran 1. Kerangka Berpikir ... 52 Lampiran 2. Panduan Pengamatan Persentase Tutupan Karang Hidup
(UNEP, 1993) ... 53 Lampiran 3. Parameter Fisika Kimia Perairan Pulau Air ... 56 Lampiran 4. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Barat) Pulau Air di
Kedalaman 3-5 m ... 57 Lampiran 5. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Barat) Pulau Air di
Kedalaman 10-13 m ... 58 Lampiran 6. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun II (Selatan) Pulau
Air di Kedalaman 3-5 m ... 59 Lampiran 7. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun II (Selatan) Pulau
Air di Kedalaman 10-13 m ... 60 Lampiran 8. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun III (Timur) Pulau Air
di Kedalaman 3-5 m ... 61 Lampiran 9. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun III (Timur) Pulau Air
di Kedalaman 10-13 m ... 62 Lampiran 10. Persentase Substrat pada Stasiun IV (Utara) Pulau Air di
Kedalaman 3-5 m ... 63 Lampiran 11. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Utara) Pulau Air
di Kedalaman 10-13 m ... 64 Lampiran 12. Analisis Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci dan
Persentase Tutupan Karang serta Parameter Fisik Menggunakan PCA SPSS Ver. 20 ... 65 Lampiran 13. Line Intercept Transect (LIT) pada Lokasi Pengamatan (Dok.
Pribadi, 2015) ... 66 Lampiran 14. Pengambilan Data Lifeform Karang (Dok. Pribadi, 2015) ... 66 Lampiran 15. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan (Dok. Pribadi,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang
terletak di perairan Teluk Jakarta, yang membentang dari selatan (yang
lokasinya dekat dengan daratan Pulau Jawa) hingga ke utara (yang lokasinya
jauh dari daratan Pulau Jawa). Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu
pertama kali diteliti oleh Umbgrove pada tahun 1928, yang menjumpai
kondisi karang di Kepulauan Seribu umumnya dalam kondisi baik (Suharsono
et al., 2010).
Salah satu peranan terumbu karang yaitu sebagai tempat tinggal
berbagai jenis mahluk hidup laut. Terumbu karang menyediakan makanan,
tempat memijah dan merawat juvenile, serta perlindungan bagi biota-biota lain
(Guntur, 2011). Salah satu biota yang menghuni terumbu karang adalah
Acanthaster planci (Bintang Laut Mahkota Duri). A. planci berperan untuk
menyeimbangkan populasi karang yang memiliki kemampuan tumbuh cepat
(karang bercabang), sehingga dapat memberi ruang bagi koloni karang yang
memiliki kemampuan tumbuh lambat (karang masif) (Fraser et al., 2003).
A. planci merupakan biota yang umum ditemukan dalam ekosistem
terumbu karang. Ancaman yang akan muncul adalah apabila populasi A.
planci dalam ekosistem terumbu karang tidak terkontrol sehingga justru
menimbulkan dampak yang negatif. Menurut Endean dan Stablum (1975)
dalam Reitchelt et al. (1990), jika populasinya lebih dari 14 individu per 1000
2
Kehadiran A. planci di Indonesia khususnya di Kepulauan Seribu telah
beberapa kali dilaporkan, antara lain di Pulau Lancang, Pulau Tikus, Pulau
Pari, Pulau Genteng dan Pulau Kelapa. Sebanyak 5-7 individu per 2000 m2
ditemukan di Pulau Lancang pada tahun 1969 dan 4-23 individu per 4000 m2
ditemukan di Pulau Pari pada tahun 1975-1977. Kondisi lainnya dilaporkan
oleh Darsono pada tahun 1981 yang menyatakan bahwa terdapat 44 individu
per 400 m2 di Pulau Genteng dan 52 individu per 400 m2 di Pulau Kelapa
(Aziz, 1995). Puslitbang Oseanologi-LIPI bekerja sama dengan Australia
menyatakan hasil pengamatan sementara menunjukkan bahwa populasi A.
planci di Kepulauan Seribu masih dalam kondisi yang normal atau belum
dalam tingkat yang membahayakan (Suharsono, 1991).
Pulau Air merupakan salah satu pulau yang menyusun gugusan
Kepulauan Seribu dan berperan sebagai daerah penyangga Taman Nasional
Kepulauan Seribu. Pulau Air adalah pulau yang tidak berpenghuni dan
merupakan salah satu pulau yang dimanfaatkan sebagai lokasi wisata dengan
aktifitas manusia yang sering dilakukan adalah snorkeling dan diving. Kondisi
tutupan karang hidup di Pulau Air berkisar antara 27,18-37,88 % yang berarti
berada dalam kategori sedang (Subhan et al., 2008).
Aktifitas manusia dan meledaknya populasi A. planci merupakan dua
hal yang dapat menjadi ancaman kelangsungan hidup terumbu karang di Pulau
Air. Salah satu ancaman yang akan ditimbulkan oleh ledakan A. planci pada
ekosistem terumbu karang adalah laju predasi yang tidak terkendali sehingga
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai ekosistem terumbu
karang di pulau-pulau penyusun gugusan Kepulauan Seribu, khususnya di
dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Salah satunya adalah
penelitian Efrinawati (2012) tentang kondisi terumbu karang di Pulau
Pramuka. Selain itu terdapat pula penelitian mengenai biota penghuni
ekosistem terumbu karang, yaitu bulu babi, yang dilakukan oleh Antarnusa
(2014) di Pulau Pramuka. Penelitian mengenai Asteroidea juga pernah
dilakukan oleh Mardiansyah (2008) di Pulau Kelapa. Namun masih sedikit
penelitian di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu,
khususnya mengenai predasi A. planci terhadap terumbu karang.
Berdasarkan peranan Pulau Air sebagai daerah penyangga, maka dari
itu perlu dilakukan penelitian mengenai kepadatan A. planci di Pulau Air.
Penelitian ini merupakan salah satu upaya pemantauan dalam pengambilan
tindakan pengelolaan di kemudian hari, khususnya pada ekosistem terumbu
karang di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Penelitian ini bermaksud agar daerah penyangga tetap terjaga sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengganggu kestabilan ekosistem di
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.
1.2. Batasan Masalah
Penelitian ini mencakup beberapa batasan aspek yakni:
a. Kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu.
b. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.
c. Hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase tutupan
4
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan
Seribu?
b. Bagaimanakah persentase tutupan karang hidup di Pulau Air,
Kepulauan Seribu?
c. Bagaimanakah hubungan antara kepadatan A. planci dengan
persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu?
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu berada dalam
kategori mengancam.
b. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu
termasuk dalam kategori sedang.
c. Terdapat hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase
tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu.
b. Menganalisis persentase tutupan karang hidup di Pulau Air,
Kepulauan Seribu.
c. Menganalisis hubungan antara kepadatan A. planci dengan
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat antara lain:
a. Sebagai informasi dasar bagi pemerintah dan lembaga terkait
mengenai langkah pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah
penyangga Taman Nasional Kepulauan Seribu.
b. Sebagai pustaka mengenai seberapa besar ancaman yang disebabkan
oleh keberadaan A. planci terhadap ekosistem terumbu karang di
Kepulauan Seribu.
c. Sebagai pustaka mengenai peran A. planci sebagai bioindikator
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Wilayah
Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106o 20' 00" BT
hingga 106o 57' 00" BT dan 5o 10' 00" LS hingga 5o 57' 00" LS, terdiri dari
105 gugus pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara
yang berujung di Pulau Sebira yang berjarak kurang lebih 150 km dari pantai
Jakarta Utara. Secara administratif Kepulauan Seribu berada dalam wilayah
Propinsi DKI Jakarta. Wilayah adminstrasi Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu memiliki luas daratan mencapai 897,71 ha dan luas perairan
mencapai 6.997,50 km2 (Suharsono et al., 2010).
Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua
kecamatan, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan. Selain itu Kepulauan seribu dibagi menjadi 6
kelurahan, yakni: Kelurahan Kelapa, Kelurahan Harapan, Kelurahan Untung
Jawa, Kelurahan Tidung, Kelurahan Pari, Kelurahan Panggang. Pulau Air
merupakan salah satu gugusan pulau yang terletak di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara, Kelurahan Panggang (Iqbal, 2013).
Kontur di Pulau Air memiliki kedalaman dari 0-25 m. Berdasarkan
kontur batimetri di wilayah perairan Pulau Air sesuai untuk kegiatan wisata
snorkeling dan diving baik untuk pemula maupun berpengalaman, karena
kondisi kedalaman dan tubir yang landai. Wilayah perairan dangkal ke tubir
cukup jauh dan tipe pertumbuhan karangnya adalah karang tepi atau fringing
[image:21.595.120.515.217.584.2]2.2. Biologi Acanthaster planci 2.2.1. Taksonomi dan Morfologi
Acanthaster planci pertama kali diperkenalkan oleh Rumphius pada
tahun 1705 yang menyebutkan terdapat bintang laut yang termasuk dalam
genus Acanthaster. Nama binomial diberikan oleh Linneaus diberikan pada
tahun 1758. A. planci tersebar luas di kawasan Indo Pasifik Barat, mulai dari
pantai timur Benua Afrika sampai ke Hawaii sebelah barat dan mulai dari
Okinawa di Jepang selatan sampai ke perairan sebelah utara Selandia Baru
(Aziz, 1995). Klasifikasi dari A. planci menurut Birkeland dan Lucas (1990)
adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum: Echinodermata, Class:
Asteroidea, Ordo: Spinolisida, Family: Acanthasteridae, Genus: Acanthaster
dan Species: A. planci.
A. planci berukuran relatif besar, diameternya mencapai 60-70 cm,
memiliki perut yang lebih besar dibandingkan bintang laut pada umumnya,
dan memiliki banyak duri tajam pada permukaan tubuhnya dengan panjang
mencapai 5-6 cm yang dilengkapi oleh jaringan yang mengandung seyawa
beracun (Reichelt et al., 1990). A. planci mempunyai sejumlah lengan,
biasanya sekitar 15-23 buah. Berbagai organ tubuh, alat pencernaan, gonad
(kantung benih), susunan saraf, dan lainnya terdapat pada setiap lengan
(Fraser et al., 2003).
Permukaan tubuh bagian bawah A. planci, terdapat sebuah mulut
yang besar dan sederetan kaki tabung yang tersusun sebagai suatu alur pada
masing-masing lengan. Permukaan tubuh bagian atas A. planci terdapat
8
yang seksama, seperti sebuah anus, yang terletak dekat dengan tubuh bagian
tengah (disk), sejumlah tonjolan kecil keras yang terletak di sekitar tubuh
bagian luar (madreporites) dan sejumlah pasangan duri tubuh berbentuk
seperti jepitan kecil yang digunakan untuk membersihkan permukaan tubuh
bagian atas (pedicellaria) (Fraser et al., 2003). Morfologi A. planci tersaji
[image:23.595.112.517.220.575.2]pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi A. planci: Bagian aboral dan oral (A dan B) (Fraser et al., 2003); A. planci di Sulawesi Tenggara (C) (Syahnilawati et al., 2013); dan A. planci di Wakatobi (D) (Rani et al., 2011)
Bagian ujung lengan-lengan terdapat struktur-struktur yang sangat
sensitif berwarna merah muda cerah. Ini adalah sensor yang selalu bergerak
untuk mendeteksi adanya sinyal-sinyal kimiawi di air. Warna tubuh A.
planci bervariasi mulai dari kelabu hingga biru, ungu, dan merah.
Kemampuan regenerasi A. planci terbatas. Individu-individu yang rusak
A B
C D
Lengan
Duri
Anus
Mulut
akan beregenerasi dan tubuh yang terbelah dua tepat di bagian tengah akan
bisa bertahan hidup (Fraser et al., 2003).
A. planci memiliki warna yang bermacam-macam tergantung pada
lokasi mereka berada. A. planci ditemukan di Thailand memiliki warna
merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great
Barrier Reef (Australia). A. planci berwarna hijau dan merah di Hawaii.
Warna tubuh A. planci di Indonesia umumnya abu-abu, ungu, hijau, dan biru
(Suharsono, 1991).
2.2.2. Reproduksi dan Siklus Hidup
A. planci dibedakan menjadi hewan jantan dan betina. Fertilisasi
dilakukan secara eksternal dengan rasio 1:1 untuk gamet jantan dan gamet
betina. A planci dewasa dengan ukuran 0,5-4 kg dapat menghasilkan telur
sebanyak 4-65 juta (Suharsono, 1991). A. planci memulai pemijahannya
dengan merangkak sampai di bagian puncak karang, seperti bagian atas
karang bercabang, kemudian dari sana telur dan sperma akan dilepaskan ke
dalam air melalui lubang-lubang (pores) pada permukaan bagian atas
lengan-lengan mereka (Gambar 2) (Fraser et al., 2003).
Ada sekitar 10 juta telur-telur yang kecil (diameter 1,2 mm) yang bisa
dilepaskan oleh seekor induk betina besar ke dalam kolom air. Adapun
sperma yang dilepaskan oleh jantan akan berenang menuju telur-telur
tersebut (Fraser et al., 2003). Lamanya pelepasan telur dan sperma adalah 30
menit dengan ukuran telur rata-rata 0,2 mm dan sperma 0,5 mm. Penelitian
10
melepaskan sejenis hormon yang disebut feromon. Hormon ini merangsang
[image:25.595.113.519.143.569.2]A. planci yang berdekatan untuk melepaskan gonadnya (Suharsono, 1991).
Gambar 2. A. planci saat mengeluarkan gonad (Hoey, 2004)
Setiap telur yang telah dimasuki oleh sebuah sperma, maka membran
telur akan membesar menjauhi yolk (kuning telur) untuk mencegah
masuknya sperma yang lain. Telur-telur yang telah dibuahi akan menjadi
larva planktonik sehingga akan terbawa oleh arus jauh dari tempatnya
dipijah, atau seringkali sampai pada permukaan terumbu karang, atau justru
terbawa ke laut terbuka menjauhi terumbu karang (Fraser et al., 2003). Fase
planktonik dibedakan menjadi fase perubahan gamet menjadi blastula,
gastrula, selanjutnya yaitu bipinaria yang biasanya berumur 4-5 hari
sedangkan pada umur 6-12 hari bipinaria berubah menjadi brachiolaria yang
akan mulai melekat pada suatu substrat dan mengalami metamorfosa
Periode planktonis dari A. planci berlangsung sekitar dua minggu.
Periode planktonis larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima
lengan melalui metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis
tersebut terjadi setelah hari ke -12 (Olson, 1985). Setelah tujuh bulan, A.
planci akan membesar sampai sekitar berdiameter 10 mm dan mulai
menambahkan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa
(Fraser et al., 2003). Bintang laut ini akan menjadi individu dewasa setelah
mencapai diameter tubuh sekitar 200 mm dengan jumlah lengan sekitar 17
buah (Lucas, 1987). Pertumbuhan A. planci sangat cepat karena dapat
mencapai sekitar 5 cm pada tahun pertama, 20 cm pada tahun kedua, dan 30
[image:26.595.110.516.184.647.2]cm setelah kira-kira mencapai umur dua tahun (Fraser et al., 2003).
Gambar 3. Siklus hidup A. planci (Birkeland dan Lucas, 1990)
Waktu pemijahan bintang laut ini tergantung pada letak geografis di
12
memijah terjadi pada bulan Mei-Juli, sedangkan di belahan bumi selatan,
pemijahan terjadi antara bulan November-Januari. Belum diketahui secara
pasti periode memijah pada daerah khatulistiwa khususnya Indonesia
(Suharsono, 1991).
2.2.3. Habitat dan Perilaku
A. planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup terlindung,
yaitu daerah yang bintang laut ini tidak dapat dengan mudah terhempaskan
atau terlempar keluar dari karang termpatnya menempel akibat gelombang
yang kuat. Alasan inilah yang menyebabkan bintang laut ini cenderung
untuk menghindari daerah perairan terbuka atau perairan yang dangkal,
sehingga terumbu karang pada daerah tersebut seringkali luput dari
pemangsaannya (Moran, 1986).
Bintang laut dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari,
sedangkan anakan bintang laut ini hanya makan pada waktu malam hari
untuk menghindari predator. Cara makan bintang laut ini cukup unik, yaitu
dengan mengeluarkan isi perutnya melalui mulut dan kemudian akan
menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar
tubuh. Pada proses pencernaan makanan, bintang laut ini mengeluarkan
suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi sebagai pemecah lemak.
Proses ini membutuhkan waktu antara 4–6 jam (Suharsono, 1991). Akibat
proses tersebut memakan waktu yang cukup lama, maka A. planci umumnya
makan hanya satu atau dua kali dalam sehari (Frasser et al., 2003)
Makanan utama bintang laut ini adalah karang keras namun A.planci
dari faktor ketersediaan makanan (Moran, 1986). Makanan bintang laut ini
berbeda-beda, tergantung tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota
tersebut. Pada fase larva makanan bintang laut ini adalah fitoplankton
(diatom dan dinoflagellata) (Suharsono, 1991) sedangkan pada fase dewasa
makanan utamanya adalah karang keras (Moran, 1990).
Gambar 4. A. planci di atas karang dengan bentuk pertumbuhan tabular (Hoey, 2004)
Bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi
makanan dari bintang laut ini, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada
semua genera karang adalah tabular (Gambar 4) dan yang kurang disukai
adalah bentuk pertumbuhan masif. Hasil penelitian yang dilakukan di Great
Barrier Reef, Australia, genera karang keras yang paling disukai untuk
dimangsa oleh A. planci adalah dari genera Acropora dan yang paling tidak
[image:28.595.113.513.226.570.2]14
2.2.4. Predator Acanthaster planci
Seluruh permukaan tubuh bintang laut ini dilindungi duri-duri beracun
yang jika diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun,
sejak berbentuk telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari
incaran predator (Suharsono, 1991). Kepiting karang dan beberapa jenis ikan
diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa jenis ikan seperti ikan
kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A.
planci dewasa. Ikan-ikan ini menghindari duri tubuh yang beracun dengan
cara membalikan A.planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan
mudah dimangsa. Triton raksasa (Charonia tritonis) (Gambar 5) dan udang
warna (Hymeno cerapicta) juga merupakan predator A. planci (Fraser et al.,
[image:29.595.111.512.320.570.2]2003).
Gambar 5. Salah satu predator A. planci yaitu Charonia tritonis (Hoey, 2004)
2.3. Biologi Terumbu Karang 2.3.1. Morfologi
Karang adalah hewan yang termasuk dalam filum Cnidaria atau
Coelenterata. Tidak seperti hewan Cnidaria lainnya, karang mengalami fase
membentuk rangka kalsium karbonat sehingga membentuk suatu kesatuan
yang disebut terumbu karang. Terumbu karang tersusun atas kalsium
karbonat (CaCO3) dalam jumlah yang sangat banyak. Terumbu karang
adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang
dihasilkan terutama oleh hewan karang (Castro dan Huber, 2007).
Satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang
bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu
lebih dari 50 cm. Umumnya polip karang berukuran kecil, ukuran besar
dijumpai pada karang yang soliter. Karang mendapatkan makanan untuk
dirinya memilki cara yang unik, karang juga menangkap zooplankton
dengan tentakel dan mengantarkannya ke mulut karang dan mencerna materi
organik luar dengan filamen messenterial tubuhnya (Castro dan Huber,
[image:30.595.109.511.225.677.2]2007).
16
Zooxanthellae merupakan istilah umum yang dipakai untuk
menggambarkan mikroalga yang hidup bersimbiosis dengan hewan di dalam
polip karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan
nama genus Symbiodinium dan yang bersimbiosis dengan karang adalah
Symbiondium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil (clade) a, b dan c,
zooxanthellae juga memiliki pigmen (diadinoxanthine dan piridin) yang
berguna dalam fotosintesis. Mereka umumnya berwarna cokelat atau merah
kecokelatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna cokelat, ini sangat
tergantung pada variasi intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam
kolom air (Lewis dan Cffroth, 2004).
Simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae adalah
simbiosis mutualisme. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2
sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam
proses fotosintesis (Tomascik et al., 1997). Keuntungan paling penting dari
simbiosis antara karang dan zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses
klasifikasi, sebagai proses perkembangan struktur skeleton karang (Pearse dan
Muscatine, 1971 dan Muscatine et al., 1972 dalam Tomascik et al., 1997).
2.3.2. Faktor Pembatas
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang melibatkan
faktor-faktor abiotik di dalamnya. Faktor lingkungan merupakan faktor
pembatas bagi pertumbuhan karang. Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan,
distribusi, dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah cahaya matahari,
suhu perairan, salinitas, kecerahan atau kejernihan air, keadaan arus, dan
Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan memiliki perannya
masing-masing terhadap terumbu karang maupun biota lain yang menghuni
ekosistem terumbu karang. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Cahaya
Karang sangat memerlukan penetrasi cahaya dikarenakan alga
simbionnya, yaitu zooxanthellae sangat bergantung pada cahaya matahari
untuk melakukan fotosintesis (Castro dan Huber, 2003). Cahaya berkaitan
erat dengan kedalaman yang menentukan kecerahan suatu perairan.
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang kedalamannya
lebih dari 50-70 m dan kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan
yang kedalamannya kurang dari 25 m. Tanpa penetrasi cahaya yang
cukup, fotosintesis zooxanthellae akan berkurang bersamaan dengan
berkurangnya kemampuan karang dalam mensekresikan CaCO3
(Nybakken dan Mark, 2005).
b. Suhu
Terumbu karang terdapat khususnya pada laut bersuhu hangat,
tidak terdapat di perairan di mana musim dingin jauh di baawah 20 oC
(Romimohtarto dan Sri, 2007). Fauna karang memerlukan suhu di atas
18 oC. Terumbu karang umumnya dapat menyebar dalam kondisi
perairan dengan suhu relatif rata-rata 23-25 oC untuk kondisi yang
optimal, meskipun masih dapat berkembang pada suhu yang dapat
18
Perbedaan proses dalam laut menyebabkan terjadinya perbedaan
penyebaran, pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang dalam
skala dunia. Wilayah Indo-Pasifik dan lautan India lebih berkembang
dibandingkan dengan wilayah Pasifik dan penyebaran suhu perairan
dangkal di Indonesia umumnya berkisar antara 27-29 oC (Guntur, 2011).
c. Salinitas
Salinitas berpengaruh terhadap kemampuan osmoregulasi suatu
organisme. Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan
sebagian besar spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang
lebih tinggi atau lebih rendah. Terumbu karang dapat bertahan hidup
pada salinitas laut normal, yaitu 32-35 ‰ namun ada beberapa jenis
yang mampu hidup di perairan yang salinitasnya mencapai 42 ‰
(Nybakken dan Mark, 2005).
d. Kecerahan
Kecerahan air merupakan bagian dari faktor penting bagi
pertumbuhan karang. Untuk hidup dan berkembang, terumbu karang
memerlukan air yang bersih dan jernih (Guntur, 2011). Sedimen dalam
air (turbiditas) juga mengurangi penetrasi cahaya untuk fotosintesis
zooxanthellae. Sebagai hasilnya, perkembangan terumbu karang
terganggu pada wilayah yang turbiditasnya tinggi (Nybakken dan Mark,
2005). Selain itu apabila air laut keruh mengandung banyak lumpur atau
pasir, fauna karang hidup akan mengalami kesulitan membersihkan diri
e. Arus
Pergerakan arus air laut berperan dalam pertumbuhan terumbu
karang. Koloni karang dengan struktur kerangka-kerangka yang masif
dan padat tidak akan rusak oleh arus, tetapi justru dengan adanya arus
yang memberikan sumber air segar yang mengandung oksigen dan dapat
menghilangkan endapan-endapan yang menutupi permukaan koloni
karang. Selain itu arus akan mensuplai bahan makanan seperti plankton
dan unsur hara bagi kehidupan terumbu karang (Nybakken dan Mark,
2005).
2.3.3. Bentuk Pertumbuhan Karang
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang
Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora
terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut
axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki
radial koralit (English et al., 1994).
1. Non-Acropora
a. Bentuk Bercabang (Coral Branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki. Banyak terdapat di sepanjang
tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau
setengah terbuka. Banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan
dan invertebrata tertentu.
20
dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan
bagian atas lereng terumbu.
c. Bentuk Kerak (Coral Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta
berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan
berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu.
Memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang
sebagian tubuhnya tertutup cangkang.
d. Bentuk lembaran (Coral Foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk
lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan
daerah-daerah yang terlindung. Memberikan perlindungan bagi ikan dan
hewan lain.
e. Bentuk Jamur (Coral Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari
tepi hingga pusat mulut.
f. Bentuk submasif (Coral Submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.
g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar
bila disentuh.
2. Acropora
a. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang seperti ranting pohon.
b. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang
yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau
datar.
c. Acropora merayap (Acropora Encrusting), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna.
d. Acropora submasif (Acropora Submassive), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh.
e. Acropora berjari (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.
2.4. Dampak Pemangsaan Acanthaster planci
Dampak dari peledakan populasi A. planci terhadap pemangsaan
komunitas karang sangat besar. Mortalitas karang akibat A. planci sekitar 55
%, 70 %, dan 90 % di Rib, John Brewer dan Loadstone Reefs, GBR
(Williams, 1986). Selanjutnya di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, lebih
dari 80 % karang hidup pada satu kawasan terumbu karang telah dirusak oleh
A. planci yang kelimpahannya tinggi hanya dalam beberapa bulan saja
(Newman, 1998). Selama waktu kelimpahan yang relatif sama, di Guam A.
planci telah memangsa lebih dari 90 % terumbu karang pada laju
22
Terumbu yang sama dapat mendapat serangan A. planci secara
berulang, dengan jeda waktu sekitar 15 tahun. Terumbu karang di Green
Island telah mengalami serangan A. planci yang serius pada tahun 1962, 1979
dan 1999/2000 (CRC, 2003). Pemangsaan karang oleh A. planci di Lizzard
Island, GBR yang terjadi pada tahun 1982 berulang kembali pada tahun 1996
(Wakeford et al., 2008). Terumbu karang di Pulau Menjangan, Bali,
mengalami serangan A. planci pada tahun 1996 dan mengalami serangan lagi
pada tahun 2008 (Alustco, 2009). Umumnya terumbu karang sudah pulih
[image:37.595.113.516.208.575.2]kembali persen tutupannya dalam waktu 10-15 tahun, atau lebih (CRC, 2003).
Gambar 7. Ledakan populasi A. planci pada terumbu karang (Hoey, 2004)
Salah satu ciri suatu koloni karang telah dimangsa oleh A. planci yaitu
kerangka karang berwarna putih dan membentuk suatu luasan tertentu (Frasser
et al., 2003). Kayal et al. (2012) menambahkan, luasan kerangka karang yang
berwarna putih menunjukkan bahwa koloni karang tersebut baru saja
menunjukkan bahwa koloni karang telah dimangsa oleh A. planci selama ±3
minggu (Gambar 8).
Gambar 8. Morfologi karang yang telah dimangsa oleh A. planci (Kayal et al., 2012): karang yang sehat (A); karang yang baru saja dimangsa (B); dan karang mati yang sudah ditumbuhi alga (C)
2.5. Solusi Ledakan A. planci
Terdapat beberapa pilihan yang direkomendasikan untuk berbagai
upaya pembersihan skala kecil yang berbasis masyarakat, (setidaknya 5000 A.
planci di kawasan tersebut yang akan dibersihkan), baik dapat diterapkan di
Indonesia maupun negara lain, yaitu (Frasser et al., 2003):
a. Mengeluarkan dan Membakar di Pantai
Perenang dan penyelam ditugaskan pada kawasan tertentu untuk
mengangkat dan mengumpulkan sebanyak mungkin A. planci menggunakan
panah dan penjepit. Pada beberapa tempat tertentu bisa menggunakan alat
penangkap ikan seperti senapan jubi, mata panah (panah dari senapan jubi),
atau ganculi (alat pengait yang dipakai untuk teripang laut) yang cukup baik
untukmendapatkan A. planci dari celah-celah batu karang. Panjang alat yang
baik adalah kurang dari satu meter.
Beberapa keranjang yang sering digunakan untuk mengangkut ikan,
seperti jamala atau jarring ikan, juga bisa digunakan untuk mengangkut A. A
B A
[image:38.595.112.516.148.565.2]24
planci dalam air, baik untuk diangkut ke perahu atau diangkut ke pantai.
Setelah semua A. planci hasil pembersihan telah dikumpulkan, maka semua
partisipan kembali ke pantai. Adapun cara memusnahkan A. planci yang
terkumpul biasanya dilakukan dengan membakar mereka di darat ataupun di
pantai.
b. Penyuntikan dengan Racun
Sekarang ini direkomendasikan menggunakan sodium bisulfat (asam
kering), Na(SO4)2, karena dipandang efektif, relatif murah, mudah
didapatkan di mana-mana dan menyebabkan kerusakan yang sedikit di
lingkungan bila ditangani secara benar (Lassig, 1995). Racun tersebut
disuntikkan dengan menggunakan penyuntik plastik.
Adapun campurannya adalah setiap liter air laut dicampur dengan
bubuk sodiumbisulfat sebanyak 140 gram. Karena racun tersebut tidak
berwarna maka bisa ditambahkan dengan pewarna makanan untuk
menegaskan lagi bahwa penyuntikan bekerja dengan baik. Racun lainnya
yang sering digunakan adalah tembaga sulfat (CuSO), formalin, larutan
konsentrat aqua ammonia, dan asam hidroklorik.
c. Pagar Bawah Air
Pembangunan pagar bawah air dilakukan untuk menjaga agar individu
dewasa tidak bermigrasi ke lokasi yang baru saja dibersihkan, dan juga
untuk mengurangi perlunya pengambilan secara berulang-ulang.
kemana-mana; akan tetapi pagar tidak bisa menghentikan pergerakan bibit
muda (larva) A. planci.
d. Pemotongan
A. planci dipotong menjadi empat bagian atau sebagian besar bagian
tengah tubuhnya dikeluarkan. Cara tersebut dilakukan agar A. planci tidak
dapat melakukan regenerasi. Metode ini cukup memakan waktu,
mengharuskan partisipan penyelam SCUBA, dan berpeluang besar
26 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2015. Lokasi
pengambilan data adalah Pulau Air, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Data
keseluruhan dari luas Pulau Air diwakili oleh 4 stasiun pengamatan
[image:41.595.113.517.201.598.2]berdasarkan arah mata angin yaitu utara, barat, selatan dan timur (Gambar 9).
Gambar 9. Gambaran lokasi pengambilan data (Sumber: Iqbal, 2013)
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: roll meter 100 m,
turbidity meter, DO meter, pengukur arus, kamera digital, GPS, SCUBA set,
Secchi disk, alat tulis, pita meter, termometer raksa, kertas indikator pH, dan
buku pedoman terumbu karang. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah terumbu karang dan A. planci sebagai objek pengamatan.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Tahap Persiapan
Persiapan dilakukan dengan mengobservasi titik yang mewakili pada
masing-masing stasiun (utara, barat, selatan, dan timur) menggunakan teknik
time swimming (snorkeling). Teknik yang dilakukan adalah seorang
pengamat melakukan penyelaman singkat di atas permukaan air sejajar garis
pantai untuk melihat kondisi terumbu karang dan keberadaan A. planci
(Ikhsan, et al., 2013).
3.3.2. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap transek
pengamatan meliputi suhu air, DO, salinitas, kekeruhan, kecerahan, pH,
kecepatan arus dan kedalaman (Lampiran 15). Pengukuran tersebut
dilakukan bersamaan dengan pengambilan data terumbu karang dan A.
planci.
3.3.3. Pengambilan Data Tutupan Karang Hidup dan A. planci
Penelitian ini menggunakan metode survei dalam 24 titik sampling
yang tersebar di Pulau Air. Titik sampling ditentukan berdasarkan arah mata
angin (utara, timur, selatan, dan barat) dan kedalaman air (3-5 dan 10-13 m)
(Rani et al., 2011). Pengambilan data terumbu karang dan A. planci
menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) (Lampiran 13) (English
et al., 1994 dalam Fachrul 2008). Teknik ini dilakukan dengan memasang
transek sejajar dengan garis pantai sepanjang 20 m sebanyak tiga kali
28
Pengambilan data terumbu karang dibatasi pada bentuk pertumbuhan
(life form) (Syahnilawati et al., 2013) dengan panduan UNEP (1993)
(Lampiran 2). Pengambilan data A. planci dilakukan pada titik pengamatan
LIT dengan melakukan pemantauan secara langsung di sepanjang garis
transek dengan areal pemantauan 2,5 m di sisi kiri dan kanan transek garis
(Gambar 10) (Rani et al., 2013). Pengambilan data dilakukan pada pukul
09.00-16.00 WIB, karena menurut Ikhsan et al. (2013), salah satu waktu
makan A. planci adalah pada siang hari, maka dari itu diambil kurun waktu
tersebut dengan dugaan adanya kemunculan A. planci (Lampiran 14).
[image:43.595.112.524.214.582.2]Pengambilan data dilakukan secara spasial dalam kurun waktu 1-2 hari.
Gambar 10. Petak pengambilan sampel terumbu karang dan A. planci
3.4. Analisis Data
3.4.1. Penilaian Tutupan Karang Hidup
Persentase tutupan karang dihitung menggunakan rumus berikut ini
(English et al., 1994 dalam Fachrul, 2008):
Keterangan:
Li= Persentase tutupan karang (%)
ni= Panjang tutupan lifeform ke –i pada transek (cm) L= Panjang transek (m)
20 m 20 m 20 m
70 m
2,5 m 2,5 m
3-5 dan 10-13 m
Penilaian terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup
[image:44.595.111.519.179.567.2]didasari oleh kriteria yang tertera pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup (Gomes dan Yap, 1988 dalam Fachrul, 2008)
3.4.2. Kepadatan A. planci
Kepadatan A. planci dihitung menggunakan rumus berikut ini (Krebs,
1989):
D = n/A
Keterangan:
D= Kepadatan spesies (individu/m2) n= Jumlah total individu (individu) A= Luas total transek (m2)
Kepadatan A. planci ditentukan berdasarkan kategori Endean dan
Stablum (1975) dalam Reichelt et al. (1990) yaitu dikategorikan alami jika
kepadatannya kurang dari 14 individu/1000m2 (0,014 individu/m2) dan
ancaman jika kepadatannya lebih dari 14 individu/1000m2. Kepadatan A.
planci dikelompokkan menurut stasiun pengulangan dan disajikan dalam
bentuk tabel.
3.4.3. Hubungan Antara Kepadatan A. planci dengan Persentase Tutupan Karang Hidup
Hubungan antara kepadatan A. planci dan parameter lingkungan
dengan persentase tutupan karang hidup dianalisis menggunakan Principal
Kategori Tutupan karang hidup (%)
Buruk 0-24,9
Sedang 25-49,9
Baik 50-74,9
30
Component Analysis (PCA) dengan bantuan perangkat lunak SPSS Ver. 20.
Kriteria penilaian menggunakan nilai eigenvalue apabila bernilai lebih dari 1
maka terdapat hubungan. Selain itu juga dilakukan analisis secara deskriptif
dengan mengelompokkan status kepadatan A. planci (alami dan ancaman)
dan dilakukan perhitungan rata-rata persentase penutupan karang hidup.
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Wilayah
Kepulauan Seribu merupakan gugusan kepulauan yang terletak di
sebelah utara Jakarta, tepat berhadapan dengan Teluk Jakarta. Pulau Air
adalah salah satu pulau penyusun gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini
merupakan pulau tidak berpenghuni yang berada di luar kawasan Taman
Nasional Kepulauan Seribu dan menjadi salah satu destinasi untuk keperluan
wisata karena memiliki daya tarik pada ekosistem terumbu karang. Daya tarik
lainnya adalah terdapat semacam kanal yang membelah Pulau Air menjadi dua
bagian.
Pulau Air dapat diakses melalui pintu masuk dari arah selatan dan
utara. Bagian luar Pulau Air dikelilingi ‘pagar’ yang menahan gelombang agar
tetap tenang. Pagar tersebut ditancapkan ke dalam air sehingga bersifat
permanen. Berdasarkan kontur kedalaman dan tubirnya yang landai, wilayah
perairan Pulau Air sesuai untuk kegiatan wisata snorkeling dan SCUBA
diving.
Pulau Air merupakan daerah penyangga yang dekat dengan P.
Pramuka sebagai pulau yang berada di selatan Taman Nasional Kepulauan
Seribu. Menurut Soemarwoto (1985), daerah penyangga merupakan daerah
yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi membatasi aktifitas
manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di dalam
32
Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
menyatakan bahwa wilayah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam
ditetapkan sebagai daerah penyangga.
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Air
Acanthaster planci atau Crown Of Thorns-starfish (COTs) memiliki
sebutan lokal yaitu bintang laut mahkota duri. Namun masyarakat sekitar
Pulau Air biasa menyebutnya dengan bulu seribu. Organisme ini dikenal
sebagai predator hewan karang. Penelitian ini menemukan keberadaan A.
planci di Pulau Air bagian utara sebanyak 4 individu (Tabel 2). Karakteristik
morfologi A. planci yang ditemukan antara lain: memiliki lengan sebanyak 15
buah, tubuh bagian dorsal ditutupi oleh banyak duri, memiliki madreporit pada
[image:47.595.112.520.186.579.2]bagian dorsal, dan berwarna kemerahan dan kelabu (Gambar 11).
Tabel 2. Jumlah A. planci yang Ditemukan di Pulau Air
No. Stasiun Jumlah
1. Barat 0
2. Selatan 0
3. Timur 0
4. Utara 4
Kepadatan A. planci di Pulau Air adalah sebesar 0,002 individu/m2,
sehingga dapat dikategorikan dalam kondisi alami atau bukan ancaman
menurut kategori Endean dan Stablum (1975) dalam Reichelt et al. (1990).
Kelimpahan yang tergolong alami ini justru berguna bagi ekosistem terumbu
karang di Pulau Air, yaitu memberi kesempatan bagi karang yang
pertumbuhannya lambat, seperti karang masif, untuk hidup dan berkembang.
mati akibat pemangsaan A. planci dapat menjadi tempat bagi larva dan spora
penghuni ekosistem terumbu karang lainnya.
A. planci yang ditemukan memiliki jumlah lengan sebanyak 15 buah
dan diameter yang berkisar antara 21-26 cm (Tabel 3). Jumlah lengan
memiliki hubungan dengan diameter A. planci. Menurut Napitupulu et al.
(2013), jumlah lengan memiliki pengaruh sebesar 7-10% terhadap diameter.
Penambahan satu buah lengan dapat menambah diameter sebesar 0,5-0,746
cm. Nilai diameter dapat digunakan sebagai perkiraan dalam menentukan usia
dari A. planci. Menurut Suharsono (1991), apabila diameter A. planci
mencapai 27 cm maka dapat diperkirakan usianya telah mencapai 48 bulan.
Maka dari itu dapat diperkirakan pula usia A. planci di Pulau Air adalah ± 48
[image:48.595.110.522.191.605.2]bulan.
Tabel 3. A. planci yang ditemukan di Pulau Air
Keterangan: LIT: Line Intercept Transect
Eutrofikasi merupakan salah satu hal yang menyebabkan meledaknya
populasi A. planci karena menyediakan nutrisi yang melimpah bagi larva-larva
A. planci (Fraser et al., 2003). Dengan kata lain kepadatan A. planci dalam
kategori alami di perairan Pulau Air juga mengindikasikan perairan tersebut
masih dalam kondisi yang cukup baik. Dugaan tersebut diperkuat oleh No. Lokasi Jarak pada
LIT (m) Jarak dari LIT (m) Jumlah Lengan Diameter (cm) Karang Asosiasi
4. Utara
(3-5 m) 3,76 0,28 15 23
Coral Foliose
5. Utara
(3-5 m) 64 0,28 15 21
Coral Encrusting
6. Utara
(3-5 m) 68,7 2,20 15 25
Coral Submassive
7. Utara
(3-5 m) 70 1,27 15 26
34
A B
C D
penelitian Suharsono et al. pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa Pulau
Air masih belum terpengaruh sedimen dan material organik dari Teluk Jakarta,
dibuktikan dengan kecerahan perairannya yang masih di atas 10 m, serta tidak
[image:49.595.114.512.202.579.2]adanya pemukiman juga turut menjaga kualitas perairan pulau ini.
Gambar 11. Keberadaan A. planci di Pulau Air pada karang Coral Encrusting (A); Coral Submassive (B); Coral Foliose (C); dan Coral Submassive (D) (Dok. Pribadi, 2015)
A. planci tidak ditemukan di stasiun barat dan timur diduga karena
kedua stasiun ini dilanda terpaan angin dan gelombang musiman setiap
tahunnya. Menurut Putrajaya (2010), kecepatan angin pada musim barat
mencapai 20 knot dan pada musim timur mencapai 15 knot. Terpaan angin
dan gelombang dapat mempengaruhi kecepatan arus pada kedua stasiun
tersebut. Arus yang cukup besar dapat membuat persebaran larva A. planci
wilayah. Adapun tidak ditemukannya A. planci di stasiun selatan diduga
karena adanya rendahnya persentase tutupan karang hidup di lokasi tersebut,
sehingga tidak menyediakan naungan yang cukup bagi A. planci juvenil
maupun dewasa.
Dugaan lainnya mengenai keberadaan A. planci di Pulau Air pada
stasiun utara adalah adanya limpasan bahan organik dari P. Panggang dan P.
Pramuka. Kedua pulau tersebut berada di sebelah timur laut Pulau Air dan
terdapat pemukiman di dalamnya. Bahan organik dari kedua pulau tersebut
berasal dari kegiatan rumah tangga dan keramba jaring apung.
Penelitian Asmara pada Desember 2004 menyatakan bahwa
kandungan NO2-N di P. Pramuka berkisar antara 0,556-1,113 mg/l dan di P.
Panggang berkisar antara 0,563-0,903 mg/l. Kandungan NH3-N di P.
pramuka berkisar antara 0,018-0,024 mg/l dan di P. Panggang berkisar
antara 0,022-0,067 mg/l. Kandungan ortofosfat di P. Pramuka berkisar
antara 0,003-0,031 mg/l dan di P. Panggang berkisar antara 0,086-0,124
mg/l. Kandungan NO2-N dan ortofosfat di kedua pulau tersebut melebihi
baku mutu yang ditetapkan oleh KEPMEN LH No. 51 tahun 2004.
Adanya kandungan bahan organik dalam perairan dapat menjadi
sumber nutrisi bagi alga dan plankton yang merupakan pakan bagi larva A.
planci. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepadatan A.
planci di Pulau Air yang masih tergolong dalam kategori alami ini
menunjukkan bahwa limpasan yang masuk ke perairan Pulau Air masih
36
4.3. Tutupan Karang Hidup di Pulau Air
Penelitian kali ini dilakukan dengan tujuan antara lain mengetahui
kondisi terumbu karang di Pulau Air berdasarkan persentase tutupan karang
hidupnya. Pengambilan sampel dilakukan di kedalaman 3-5 m dan 10-13 m
pada setiap arah mata angin. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan hasil bahwa rata-rata persentase tutupan karang hidup di Pulau Air
adalah 44,21 % yang tergolong dalam kondisi sedang menurut kategori
[image:51.595.114.515.219.583.2]Gomes dan Yap (1988) dalam Fachrul (2008).
Gambar 12. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air
Hasil penelitian senada pernah dinyatakan oleh Suharsono et al. tahun
2010, yaitu persentase tutupan karang hidup di Pulau Air sebesar 43,16 %
yang tergolong dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil yang tertera pada
Gambar 12, persentase tutupan karang hidup yang paling tinggi terdapat pada
Adapun persentase tutupan karang hidup yang paling rendah terdapat pada
stasiun selatan yaitu sebesar 30,76 % yang tergolong dalam kategori sedang.
Persentase tutupan karang hidup pada stasiun selatan lebih rendah
dibandingkan stasiun lainnya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kegiatan
transportasi kapal yang menggunakan jangkar, baik yang digunakan untuk
perikanan, pariwisata, dan lain sebagainya. Selain itu, pada stasiun selatan
ditemukan banyak patahan karang (Gambar 13) yang semakin memperkuat
dugaan adanya kerusakan pada tutupan karang hidup di lokasi tersebut.
Pulau Air merupakan pulau yang berada di luar kawasan Taman
Nasional Kepulauan Seribu. Belum adanya pengelolaan secara langsung di
pulau tersebut merupakan kendala dalam hal pengawasan kegiatan-kegiatan
yang berpotensi megancam kelangsungan hidup terumbu karang. Dugaan
lainnya berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di sekitar Pulau Air,
pada tahun 1980 –an terjadi eksploitasi karang dan pasir dengan tujuan
[image:52.595.109.514.221.696.2]sebagai bahan baku pembangunan rumah.
38
Persentase tutupan karang hidup bernilai lebih tinggi pada kedalaman
3-5 m hampir di seluruh stasiun penelitian (Gambar 12). Hal tersebut
dikarenakan terumbu karang memerlukan perairan yang intensitas cahayanya
tinggi. Menurut Castro dan Huber (2003), cahaya sangat dibutuhkan dalam
proses fotosintesis zooxanthellae yang berperan dalam pertumbuhan dan
proses pembentukan kerangka kapur karang.
Terdapat perbedaan pada stasiun barat yaitu persentase tutupan karang
hidup di lokasi tersebut justru lebih rendah pada kedalaman 3-5 m.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Taman Nasional kepulauan
Seribu, bagian barat Pulau Air merupakan lokasi yang banyak dikunjungi
wisatawan untuk melakukan snorkeling. Adanya aktivitas wisata snorkeling
diperkirakan dapat mengancam kehidupan terumbu karang, seperti kegiatan
memegang, menginjak, dan mematahkan karang oleh para wisatawan.
Karang keras dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok bentuk
pertumbuhan (life form) Acropora dan Non-Acropora (UNEP, 1993). Life
form karang keras yang ditemukan di Pulau Air saat pengamatan antara lain
Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive
(ACS), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting
(CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Mushroom (CMR), dan
Coral Submassive (CS) (Gambar 14).
Persentase tutupan karang hidup dengan bentuk pertumbuhan masif
terlihat mendominasi pada stasiun barat dan timur. Adapun persentase tutupan
karang hidup dengan bentuk pertumbuhan bercabang terlihat banyak
kecepatan arus pada masing-masing stasiun. Stasiun barat dan timur memiliki
[image:54.595.115.515.135.566.2]kecepatan arus yang lebih tinggi dari stasiun utara dan selatan (Lampiran 3).
Gambar 14. Persentase tutupan karang keras di Pulau Air
Selain itu, stasiun barat dan timur setiap tahunnya mengalami tekanan
berupa hempasan angin musiman dengan kecepatan angin mencapai 20 dan 15
knot (Putrajaya, 2010). Umumnya karang dengan bentuk pertumbuhan masif
lebih kebal terhadap tekanan dari arus yang cukup besar. Johan (2003)
menyatakan bahwa karang dengan bentuk pertumbuhan masif lebih banyak
tumbuh di daerah berarus.
Ekosistem terumbu karang tidak hanya dihuni oleh karang keras dan
karang lunak. Terdapat komponen lain yang menyusun ekosistem terumbu
karang antara lain abiotik dan biotik. Komponen abiotik terdiri atas pasir,
batu, karang mati dan patahan karang. Komponen biotik terdiri atas karang
40
Ascidian. Berdasarkan Gambar 15, dapat diketahui perbedaan persentase
tutupan substrat dasar di Pulau Air.
Substrat dasar tertutupi oleh komponen biotik seperti alga, antara lain
Padina sp., Sargassum sp. dan Halimeda sp. yang berkisar antara 0,72-22,92
%, dan biota lain yang berkisar antara 0,28-9,77 %. Komponen abiotik yang
menutupi substrat dasar meliputi karang mati, yang berkisar antara 6,37-52,93
%, dan abiotik lain seperti batu, pasir, dan patahan karang, yang berkisar
antara 1,52-33,75 %. Persentase tutupan karang mati didominasi oleh dead
coral with algae (karang mati dengan alga) yang menimbulkan dugaan bahwa
tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan perubahan lingkungan
[image:55.595.110.519.276.649.2]sudah berlangsung cukup lama.
4.4. Hubungan Antara A. planci, Parameter Lingkungan dan Persentase Tutupan Karang Hidup
Acanthaster planci merupakan salah satu biota penghuni ekosistem
terumbu karang yang kehadirannya tentu memiliki pengaruh terhadap terumbu
karang itu sendiri. Hubungan antara kepadatan A. planci dan persentase
tutupan karang hidup di Pulau Air yang didukung oleh parameter lingkungan
perairan diperoleh berdasarkan analisis statistika yaitu Principal Component
Analysis (PCA) menggunakan perangkat lunak SPSS Ver. 20. Hasil analisis
disajikan dalam bentuk grafik dan tabel yang tertera pada Gambar 16 dan
Lampiran 12. Berdasarkan analisis hubungan tersebut, terlihat bahwa
komponen 1 terdiri atas variabel karang hidup, karang mati, kecepatan arus,
kecerahan, DO dan salinitas. Komponen 2 terdiri atas kepadatan A. planci, pH
dan suhu.
Kecepatan arus memiliki hubungan yang bersifat positif dengan
persentase tutupan karang hidup di Pulau Air. Kecepatan arus di Pulau Air
berkisar antara 0,11-0,31 m/s. Menurut Nybakken dan Mark (2005), arus
memberikan sumber air segar yang mengandung oksigen dan dapat
menghilangkan endapan-endapan yang menutupi permukaan koloni karang.
Selain itu arus akan mensuplai bahan makanan seperti plankton dan unsur hara
bagi kehidupan terumbu karang. Persentase tutupan karang hidup sangat
berkaitan erat dengan arus yang berperan dalam persebaran larva planula
hewan karang.
Kecerahan memiliki hubungan yang bersifat positif dengan persentase
tutupan karang hidup di Pulau Air. Kecerahan di Pulau Air terbilang tinggi
42
kekeruhan pada lokasi penelitian yang bernilai 0,00 FTU. Kecerahan yang
tinggi sangat dibutuhkan da