• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tauhid Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Pandangan Nurcholish Madjid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tauhid Dan Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Pandangan Nurcholish Madjid"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

1

Oleh:

ANWAR SODIK

NIM: 101033121733

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

MENYIBAK DIMENSI HUMANISME

KONSEP TAUHID NURCHOLISH MADJID

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana

Oleh : ANWAR SODIK NIM: 101033121733

Di Bawah Bimbingan :

Dr. Zainun Kamal, M.A

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “TAUHID DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID”, telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 31 Maret 2008 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Hj. Hermawati, M.A. Drs. Ramlan A. Gani, M. Ag. NIP. 150227408 NIP. 150254185

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, M.A. Drs. Agus Darmaji, M. Fils. NIP. 150209685 NIP. 15021902447

Pembimbing,

(4)

KATA PENGANTAR

al-Hamdulillah, Puji syukur sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang

Merajai jagad raya ini dan dengan inayah-Nya pula di kesempatan kali ini setelah melalui aral yang tidak kecil dan tidak sedikit, akhirnya penulisan skripsi ini telah terselesaikan dengan baik, kendati kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ini masih menghinggapi. Shalawat beserta salam senantiasa tercurah kepada ‘Panglima Padang Pasir’, yakni baginda Nabi besar Muhammad SAW, para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman kelak.

Tentunya, penulis menyadari betul bahwa banyak pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi yang cukup sederhana ini. Untuk itu, sudah seyogyanya penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tak langsung, terutama:

1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, DR. M. Amin Nurdin, MA., beserta Pembantu Dekan, DR. Hamid Nasuhi, MA.

2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, dan bapak Drs. Ramlan A. Gani, M. Ag., selaku Sekretaris Jurusan, dan seluruh Dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, melalui perantara bapak-bapak dan ibu-ibulah, penulis lebih mengerti banyak hal, terutama sekali yang berkaitan dengan keushuluddinan dan kefilsafatan.

(5)

pendidikan penulis, sehingga penulis bisa menjadi manusia seperti sekarang ini. Dan yang lebih berjasa sekali di balik perjalanan pendidikan penulis adalah Ka Eluk, Ka Embad dan Ka Syarif, karena dengan materi beliau-beliaulah penulis bisa melanjutkan pendidikan hingga saat ini. Tak lupa, penulis menyampaikan salam hangat dan terima kasih kepada adik-adik tercinta, Nunung dan Uul.

4. Teman-teman Af tercinta; Sahal, Ivan, Daus, Cepy, Faruk, Opik dan lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.

5. Teman-teman sepak bola Cobarco Fc (Legoso, Mabar), PsKs Fc (Ps. Kemis Tangerang). Dan karyawan sepatu Reebok Tangerang (Bupping). 6. Teman-teman ngopi di Musholla Al-Mizan, Legoso; Bhote, Gebro, Bang

Fitri, Malik, Buluk, Aray, Jelunk, anak-anak Ketos dan lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya.

7. Guru-guru beserta murid TPA Al-Mizan; Ka Hamdi, Ka Jazuli, Ka Darto, dan Ust. Agus Suryana S. ag. Juga teman spesial penulis Lia Aprilia. Akhirnya, sekali lagi dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, penulis menyadari betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, sumbangsih berupa saran, kritik dan pikiran sangat penulis harapkan. Terima kasih.

Tangerang, 02 Maret, 2008 Penulis,

(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah... 6

C. Kajian Pustaka... 7

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II SKETSA-BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID... 11

A. Riwayat Hidup ... 11

B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia 17 C. Beberapa Karya Utama ... 23

BAB III HUMANISME: SEBUAH DESKRIPSI UMUM ... 28

A....Humanis me: Asal-Usul dan Pengertian... 28

(8)

C....Tauhid dan Humanisme dalam Perspektif Islam... 36

BAB IV DIMENSI HUMANISME KONSEP TAUHID

NURCHOLISH MADJID ... 40

A. Hakikat Tauhid... 40 B. Tauhid dan Kemanusiaan... 44 1....Emansip

asi Harkat dan Martabat Manusia ... 44 2....Inklusivi

sme Keagamaan ... 50 3....Meneguh

kan Keadilan ... 53 C. Tauhid dan Prinsip Dasar Politik (Negara ... 56

1....Relasi Agama dan Negara... 56 2...Islam

dan Musyawarah ... 60 3...Islam

dan Partisipasi Politik... 63 D. Evaluasi-Kritis Konsep Tauhid-Humanis Nurcholish

(9)

BAB V PENUTUP... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran-saran... 69

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad saw.1Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang dari ajaran Islam.2

Secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring berjalannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distorsi pemahaman―yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam as.3Oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan kepada-Nya―yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qurân.4

Secara sosio-teologis, konsep tauhid yang ditawarkan oleh Nabi Muhammad adalah tauhid yang tidak hanya terbatas pada persoalan kemurniannya, tapi juga sensitif serta erat sekali kaitannya dengan suatu

1

Lihat misalnya, ( QS. 39: 38).

2

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran

Hamka dalam Teologi Islam (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 4.

3

Taib Tahir Abd Mu’in, Ilmu Kalâm ( Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), Cet. , Ke-3, h. 15.

4

(11)

humanisme dan rasa keadilan, baik ekonomi maupun sosial.5Hal itu dikarenakan Islam sebagai agama datang untuk mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, seperti dicerminkan dengan tingkat ketaatan yang tinggi kepada Allah, pengetahuan tentang syari’at, dan terlepasnya umat dari beban kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, serta berbagai macam belenggu yang memasung kebebasan mereka.6

Terkait dengan asumsi tersebut, Rasulullah saw telah membuktikannya secara kongkrit selama kehidupannya, baik kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai pemimpin politik, khususnya di kota Madinah. Bahkan Michael H. Hart dalam bukunya Sejarah Seratus Tokoh berpendapat bahwa beliaulah nabi satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih kesuksesan luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi yang paling berpengaruh di dunia.7 Lebih jauh Michael Hart menambahkan bahwa Nabi Muhammad memainkan peranan jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi Isa terhadap agama Nasrani. Ia tidak hanya bertanggung jawab terhadap teologi Islam, tapi sekaligus juga pokok-pokok etika dan moralnya.8

Berdasarkan fakta sejarah, apa yang dinyatakan Michael Hart di atas sungguhlah benar adanya. Beberapa bukti sejarah pun dapat disebutkan sebagai berikut:

5

Fazlur Rahman, Islam, terjemahan: Ahsin Mohammad, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), Cet. , Ke-4, h. 3.

6

Jalaluddin Rakhmata, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 2004), Cet. , Ke-12, h. 43-44.

7

Michael H. Hart, The 100, Ranking of The Most Influential Persons in History, terjemahan: Mahbub Djunaidi, Sejarah Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Jakarta: PT. Dinia Pustaka Jaya, 1986), Cet. , Ke-8, h. 27.

8

(12)

Pertama, Nabi Muhammad telah mampu mendobrak sistem oligarkis perdagangan ekonomi Bangsa Arab kala itu―yang menganggap bahwa kekuatan hanya terletak pada kekayaan, tipu daya, kelicikan, dusta dan egoisme dan bukan pada kebenaran, keadilan sosial, cinta kasih, ketulusan serta kerendahan hati sebagaimana Islam mengajarkannya.

Kedua, Nabi Muhammad adalah nabi pertama yang berani melakukan

penghapusan perbudakan; menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan berbagai macam bentuk penindasan.

Ketiga, Beliau pun telah mampu menciptakan dan menegakkan sebuah

komunitas atau masyarakat manusia yang berdasarkan pada kesetaraan sosial, cinta kasih, keadilan, persaudaran dan juga sikap toleran terhadap kalangan non-Muslim9 dan lain sebagainya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam melalui konsep tauhidnya betul-betul merupakan agama kemanusiaan dan keadilan. Kenyataan ini dikarenakan beberapa diktum al-Quran itu sendiri menopang dan memerintahkannya.10

Sungguhpun demikian, pada masa belakangan yaitu pasca timbulnya aliran-aliran teologi dalam Islam yang berawal dari pertikaian politik dalam rangka memperebutkan kursi kepemimpinan politik (khilafah) di masa kekuasaan Ali ibn Abi Thalib,11 pada akhirnya konsep tauhid ini pun mulai berubah menjadi

9

Ziaul Haque, Reveletion & Revolution in Islam, terjemahan: E. Setiawati al-Khatab,

Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta: LKiS, 2000), Cet. , Ke-1. h. 213-244.

10

Lihat misalnya, (Q.S. 2:164), (Q.S. 5: 16), (Q. S. 16: 64-65), (Q.S. 53: 1-18) dan (Q. S. 6: 159-163).

11

(13)

sebuah “diskursus ilmiah” yang cenderung melihat konsep tauhid tersebut secara rasional dan spekulatif-filosofis, sebagaimana dalam wacana teologis aliran-aliran kalam klasik. Akibatnya, tauhid yang pada awalnya memiliki spirit dan ruh kemanusiaan; penggugah semangat dan motivasi bagi kehidupan manusia secara berangsur-angsur memudar dari konsep awalnya. Hal ini, dikarenakan tauhid lebih didekati secara rasional. Dan, sebagaimana kita mafhum bahwa proses rasionalisasi mengandaikan adanya obyektivikasi. Dan setiap obyektifikasi akan lebih menekankan pada aspek fenomenanya tinimbang nomenanya.

Oleh karenanya, terkait dengan hal itu dan dalam konteks itu pula, kiranya figur mendiang Nurcholish Madjid sebagai salah satu Intelektual―Muslim Indonesia garda depan ini, tidak bisa diabaikan begitu saja terkait dengan konsep tauhid yang digagasnya. Nurcholish Madjid―yang juga akrab disapa Cak Nur ini, menaruh apresiasi tersendiri terhadap konsep tauhid―yang juga cukup khas dan

genuine dalam mengartikulasikan otentisitas ajaran Islam tersebut. Menurut

(14)

sebenarnya.12Dengan demikian, berangkat dari argumentasi logis Madjid, menghendaki manusia―yang telah dibekali kemampuan yang mendasar―mengarungi kehidupannya dengan penuh kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, setelah kita menanamkan keyakinan kepada Zat yang memberikan kehidupan kepada makhluk yang mengisi jagat raya ini. Dan masih menurut Madjid, bahwa beriman bukan hanya terbatas pada kepercayaan kepada Tuhan, tapi lebih dari pada itu, beriman juga berarti mempunyai orientasi ketuhanan dalam hidupnya, dengan menjadikan perkenan Tuhan sebagai pusat berpijak segala aktivitasnya di dunia ini.13 Lebih lanjut Madjid berargumen bahwasannya menjadikan ridha Tuhan dan penyerahan diri kepada−Nya secara total, maka dengan sendirinya sebagai hamba Tuhan yang beriman akan selalu mengikuti perintah-Nya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti, tidak bersikap sombong, tidak secara berlebihan ataupun berkekurangan dalam menggunakan hartanya―yang kesemua itu menurut Madjid adalah jenis rasa kemanusiaan dan tangung jawab sosial yang tinggi.14

Dengan demikian, adalah hal yang urgen bagi penulis untuk mengelaborasi dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang gagasan tauhid Nurcholish Madjid ini. Dalam pada itu, sesungguhnya konsep tauhid yang ditawarkan Nurcholish Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks keindonesiaan masa kini, mengingat di satu sisi mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun di sisi lain ketimpangan sosial maupun ekonomi dengan

12

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. , Ke-3, h. Ii.

13

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Iiv.

14

(15)

sangat mudah sekali dapat ditemukan baik secara kasat mata ataupun melalui media massa, baik elektronik maupun cetak yang ada di sekitar kita. Fenomena ini seolah merefleksikan bahwa Islam sebagai agama sangatlah tidak sensitif dan peka pada persoalan realitas kehidupan umat.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis tidak berpretensi mengkaji seluruh aspek pemikiran Nurcholish Madjid, namun hanya dibatasi seputar konsep tauhidnya―yang menurut dugaan kuat sementara penulis sarat dengan dimensi nilai-nilai humanisme. Adapun rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:

Sejauh manakah dimensi humanisme konsep tauhid Nurcholish Madjid ? Demikianlah batasan dan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini. Adapun judul yang penulis ajukan dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di muka adalah

Menyibak Dimensi Humanisme Konsep Tauhid Nurcholish Madjid.

(16)

praktik kehidupan nyatanya di atas muka bumi ini.15Adapun yang dimaksudkan dengan konsep tauhid Nurcholish Madjid adalah gagasan Nurcholish Madjid itu sendiri tentang ide tauhidnya.

Demikianlah beberapa penjabaran yang penulis lukiskan terkait dengan maksud judul yang digunakan dalam penelitian ini.

C. Kajian Pustaka

sepanjang pengetahuan dan kajian pustaka yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya tulis, baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang telah mengkaji lebih dahulu terkait dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun demikian, berdasarkan analisis penulis, dari seluruh kajian ilmiah tersebut, belum ada satu pun penelitian yang mengangkat sisi humanisme dari konsep tauhidnya Nurcholish Madjid. Untuk menunjukkan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan menguraikannya satu persatu, namun hanya sebagian saja―yang penulis anggap sudah cukup mewakili beberapa karya lainnya. Pertama, adalah buku dalam bunga rampai yang ditulis oleh Sukidi dengan judul Teologi Inklusif Cak

Nur (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2001).dalam buku tersebut, Sukidi menguraikan tentang bagaimana pemikiran teologi Cak Nur berdasarkan perspektif filsafat perennial, yang kemudian Sukidi mengistilahkan dengan

“Teologi Inklusif Cak Nur”. Menurut analisis Sukidi, bangunan epistemologi

teologi inklusif Cak Nur berangkat dari asumsi bahwa al-Islam adalah sebagai sikap pasrah ke kehadirat Tuhan, di mana sikap pasrah inilah menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Di sini terlihat jelas sekali bahwa

15The Encyclopedia of Philoshopy

(17)

Sukidi hanya melihat tauhid Nurcholish Madjid dari sisi inklusivitasnya saja terhadap agama-agama lain. Kedua, tulisan Mahmud Afifi, Teologi Islam

Agama-Agama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (tesis, UIN Jakarta, 2003). Dalam pembahasan tesis itupun, Afifi tak jauh berbeda dengan apa yang dikaji Sukidi. Bahkan, fokus penelitiannya pun hanya ingin melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama, dilihat dari kacamata doktrin Islam (Alquran) serta relevansi dalam konteks saat ini.

Terakhir, adalah Sutisna dengan judul Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish

Madjid (Skripsi, UIN Jakarta, 2004). Tak jauh berbeda dari pembahasan

sebelumnya, penelitian inipun masih berkutat pada pandangan teologi Pluralisme Nurcholish Madjid, yang tidak ada bedanya dengan beberapa penelitian-penelitian sebelumnya.

(18)

D. Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengacu kepada beberapa karya primer Nurcholish Madjid dan beberapa karya skunder yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Sebagian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini adalah Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan

Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) dan Islam Doktrin dan

Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995) sebagai karya magnum-opusnya dan

beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Di samping itu pula, penulis juga menggunakan beberapa karya pendukung lainnya, yang memiliki kaitan dan relevansi yang cukup signifikan dalam penyempurnaan penelitian skripsi ini.

Adapun pendekatan metodologi penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini ingin mengungkapkan pemikiran tauhid yang memiliki dimensi kemanusiaan apa adanya. Sedangkan pendekatan analitis kritis adalah menganalisa serta menilai secara kritis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu juga kelemahan dari konsep tauhid Nurcholish Madjid.

Mengenai teknik penulisan, di sini penulis mengacu kepada buku

Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Tahun 2004-2005 UIN

(19)

E. Sistematika Penulisan

Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, studi kepustakaan, metodologi pembahasan dan terakhir sistematika pembahasan tentang penelitian ini.

Bab II, menguraikan tentang sosok biografis intelektual Nurcholish Madjid beserta iklim intelektual sekitar yang mempengaruhinya, termasuk beberapa karyanya yang merefleksikan perkembangan pemikirannya.

Bab III, menguraikan asal-usul dan perkembangan makna humanisme tersebut secara histories, dilengkapi penjelasan tentang tauhid dan humanisme dalam konteks Islam.

Bab IV, merupakan kajian inti dimensi humanisme konsep tauhid Nurcholish Madjid dengan uraian tentang hakikat tauhid dan kaitannya dengan kemanusiaan serta prinsip dasar politik dalam kehidupan bermasyarakat disertai evaluasi-kritis terhadapnya.

(20)

1 11

SKETSA BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup

Nurcholish Madjid adalah seorang Intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas,16 sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan.

Nurcholish Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Tepatnya pada tanggal 17 Maret 1939 M (26 Muharram 1358 H).17 Cak Nur―biasa disapa―genap pada usia 66 tahun kembali ke pangkuan Ilahi, Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1426 H, pukul 14. 05 WIB.18 Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya.19

Sebagaimana anak-anak pada umumnya (kala itu), Nurcholish oleh ayahanda tercinta Abdul Madjid dan ibundanya Nyai Fathonah disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR) yang dilaksanakan pada pagi hari dan sore harinya Cak Nur belajar di Madrasah al-Wathoniyyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri,

16

Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi

Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. I, h. X.

17

http://id.wikipedia.org/wiki:/Nurcholish Madjid.

18

Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi

Guru Bangsa,,h. 1.

19

(21)

bertempat di kediamannya di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.20 Sejak di Madrasah itulah Abdul Madjid (salah seorang murid kesayangan KH. Hasyim Asyari) mengetahui kecerdasan otak anaknya dari beberapa prestasi pelajaran yang sering mendapat nilai tertinggi di sekolahnya, tentunya ini sangat membuat bahagia hati sang ayah atas prestasi anaknya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pelajar.

Setelah tamat dari sekolah dasarnya pada usia 14 tahun lebih kurang, atau sekitar tahun 1955 sang ayah menganjurkan untuk melanjutkan pendidikannya di Daar al-Ulum Rejoso Jombang, Cak Nur pun yang memiliki cita-cita menjadi seorang Masinis kereta api itu mematuhi apa yang dianjurkan ayahnya. Tapi selang dua tahun kemudian, Nurcholish merasa tidak kerasan di Pesantren yang tidak begitu jauh dari tempat kediamannya itu. Konon tidak betahnya Nurcholish dikarenakan sering ia mendapat ejekan dari teman-temannya, sebagian guru-gurunya dan juga sebagian orang di Desanya; “masa anak tokoh Masyumi mondok di Pesantren (NU) sih..! yang santrinya dan juga guru-gurunya pakai sarung?”. demikian ungkapan yang sering terlontar padanya. Cak Nur pun merasa tidak nyaman dengan adanya kata-kata ejekan itu, akhirnya ia dipindahkan ke KMI (kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) Pesantren Daar as-Salam Gontor Ponorogo,21 sebuah institusi pendidikan yang menghargai pluralitas madzhab dan juga sistem pendidikan satu-satunya di Pulau Jawa yang telah menerapkan pendidikan sistem modern yang seirama dengan perkembangan zaman, karena

20

Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan Dasi&Musdah Mulia tetap Berjilbab (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet. I. hal. 2-3.

21

(22)

pesantren Daar as-Salam mengajarkan dua bahasa bertarap Internasional, yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan tidak lagi kegiatan belajar mengajarnya menggunakan sistem tradisional seperti sorogan.

Kemudian Cak Nur melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu IAIN) setelah mengakhiri pendidikan pesantrennya, yang selesai pada tahun 1961. Ia masuk pada Fakultas Sastra dan Peradaban Islam, Jurusan Sastra Arab. Hingga pada tahun 1968 ia menyandang gelar Sarjana Muda dengan predikat terbaik tentunya setelah melalui kerja keras dan sungguh-sungguh serta keuletannya dalam belajar sebagai seorang pelajar yang sadar akan statusnya itu.

(23)

baginya peran sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang latihan menjadi seorang pemimpin.22

Julukan Intelektual Muda telah melekat dalam diri Cak Nur, dikarenakan gagasan-gagasannya yang brilian tentang keagamaan banyak yang dianggap sebagai alternatif pencerahan intelektual dan yang selalu menjadi cubitan kecil dalam pemahaman tokoh keagamaan. Cak Nur punya keinginan melanjutkan studinya untuk menambah khazanah keilmuannya, Cak Nur pun menemukan jalan licin ketika tahun 1973 dua orang intelektual sekaliber internasional berkunjung ke Indonesia dalam rangka mencari peserta seminar dan loka karya,23dengan tema “Islam dan Tantangan Peradaban ke Depan”, yang bertempat di University of Chicago, yang dipromotori oleh Ford Fondation. Nama kedua intelektual itu adalah Fazlur Rahman dan Leonard Binder. Sebelumnya kedua intelektual itu telah memilih HM. Rasjidi (tokoh Masyumi) sebagai peserta loka karya dan seminar itu, namun karena umurnya yang tidak lagi muda maka pilihan pun beralih pada aktivis HMI itu, yakni Nurcholish Madjid. Pilihan kedua intelektual itu tidak serta merta beralih begitu saja, tentunya Nurcholish menjadi alternatif dari pilihan itu berkat pemikiran-pemikirannya yang selalu dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, juga gagasan keagamaannya (keislaman) yang membuat namanya dikenal banyak orang khususnya kaum akademisi.

22

Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223.

23

(24)

Untuk menjadi peserta seminar dan loka karya di Negeri Paman Sam itu Nurcholish harus terlebih dulu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)24 sebagai persyaratan menjadi peserta. Setelah persyaratan itu terpenuhi dan keadaan fisik pun memadai akhirnya berangkatlah anak bangsa yang berprestasi itu ke Luar Negeri untuk menambah khazanah keilmuan dan pengalamannya.

Program seminar dan loka karya telah usai, timbullah keinginan Cak Nur untuk tinggal lebih lama di Chicago untuk menimba ilmu di sana, Cak Nur pun memohon pada Leonard binder (salah satu intelektual panitia loka karya dan seminar) untuk melanjutkan studinya di Pascasarjana University of Chicago. Leonard Binder akhirnya mengabulkan permohonan Cak Nur untuk belajar ke Universitas itu. Awalnya Nurcholish dalam kajian politiknya di bawah bimbingan Leonard, namun Fazlur Rahman membujuknya terlebih dulu untuk mengambil kajian keislaman di bawah bimbingannya. Dengan sebab itulah banyak pemikirannya dipengaruhi dari pemikiran Fazlur Rahman sendiri, yaitu tentang konsep Neo-Modernisme yang diintrodusir oleh intelektual muslim asal Pakistan itu.

Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoralnya (Ph. D) di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A

Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat Summa Cum Laude pun

diraihnya.

24

(25)

Layaknya seorang muslim pulang dari tanah suci, kembalinya Nurcholish dari Chicago pada tahun 1984, lebih dari seratus orang menyambutnya di Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Menyambut kedatangan seorang intelektual yang telah melakukan pendalaman keilmuan di Negeri yang konon sekuler itu, para tokoh Indonesia pun tidak mau ketinggalan, diantaranya: Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, AM Fatwa, dan para tokoh lainnya.25

Kembalinya Nurcholish ke tanah air, tanpa berlama-lama santai setelah menjalani proses penggemblengan yang luar biasa dalam perjalanan pendidikannya, ia pun langsung berbenah diri menatap dan berusaha memberikan yang terbaik untuk bangsanya dengan kontribusi pemikirannya terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan, kenegaraan dan keagamaan yang tidak menentu. Langkah-langkah yang ia lakoni untuk bangsa ini, diantaranya; menjadi staf ahli IPSK-LIPI (1984-2005), mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina (1985-2005), menjadi anggota Komnas HAM RI (1993-2005), pengajar Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1985-2005), anggota Dewan Pers Nasional (1990-1998), wakil ketua dewan penasehat ICMI (1990-1995), Fellow, Eisenhower Fellowship, Piladelphia, Ameika Serikat (1990), anggota MPR-RI (1987-1992 dan 1992-1997), serta pernah menjadi Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Kanada, tahun 1991-1992.

Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita (meninggal dunia) dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya

25

(26)

dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sahabatnya Amin Rais mengungkapkan.26 Pemikiran-pemikiran Cak Nur terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan.

B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia

Telah banyak orang tahu, bahwa prestasi Nurcholish lebih banyak terukir di pentas pemikiran. Terutama pemikirannya tentang Demokrasi, Pluralisme, Humanisme dan Modernisme. Keyakinannya dalam memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan Westernisme. Bagi Cak Nur, modernisme adalah sama halnya dengan demokrasi (rasionalisasi) sebagai gejala Global. Gagasan Nurcholish tentang Pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim garda depan, pluralisme dalam bingkai Civil Society dan peradaban, terlebih di saat kondisi Indonesia sedang terjerumus dalam berbagai kemerosotan dan juga ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur pun pernah menyatakan, “jika bangsa Indonesia ingin membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaan itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak azasi manusia,” dengan kata lain bahwa membangun

26

(27)

sebuah peradaban dalam bangsa yang majemuk tidak akan terlaksana tanpa memperioritaskan paham pluralisme dalam masyrakat dan sistem kenegaraan.27

Corak pemikiran Nurcholish selalu dalam konteks keindonesiaan, kendati ia pernah nyantri di Chicago namun tetap saja tema besar yang ia bawa tak pernah lepas dari pandangan dan pemikiran-pemikirannya selalu dalam lingkaran konteks keindonesiaan. Juga wawasannya dalam keagamaan, teori sosial, filsafat dan politik masih berada dalam bayangan keindonesiaan.

Sepak terjang pemikiran Cak Nur dimulai ketika ia aktif di HMI dan menjadi imam HMI selama dua periode, sebab itulah kesediaan Cak Nur untuk menjadi imam HMI yang kedua kalinya membuat geram dan kecewa para tokoh senior HMI lainnya, salah satunya adalah Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Sehingga keduanya menjadi oposan dan memutuskan untuk keluar dari HMI.

Perjalanan pemikirannya berlanjut ketika HMI gabungan dan PII juga GPII mengadakan halal bi halal. Pada acara itu, Nurcholish Madjid mendapat kesempatan ceramah di hadapan para aktivis dan ilmuwan. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi Cak Nur bisa mendapat kesempatan itu yang sebelumnya penceramah Dr. Alfian, peneliti LIPI dan kalangan dari PII (Pemuda Islam Indonesia) berhalangan hadir hingga akhirnya terpilih Cak Nur untuk menggantikannya. Di saat ceramah itulah dari dua bibir Cak Nur keluar kata-kata yang sangat menggegerkan dan controversial, yakni slogan “Islam Yes, Partai Islam No.” Ungkapan itu mengisyaratkan penolakannya terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai Islam Politik.

27

(28)

Pada tahun 1972, Nurcholish diminta memberikan pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki dalam sebuah forum Intelektual dan Kebudayaan yang sangat bergengsi dan prestisius itu. Dalam pidato itu, Cak Nur mempresentasikan posisi ide liberalnya, oleh sebab itulah HM. Rasjidi tergerak untuk menulis buku kritikan terhadap Cak Nur yang baginya pemikiran-pemikirannya telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat.

Hakikatnya pemikiran-pemikiran Nurcholish penekanannya lebih kepada konteks Islam keindonesiaan,28 yakni mengemas doktrin Islam yang menghormati kemajemukan dan beragamnya visi dan misi dalam pemikiran individu maupun statement yang sudah menjadi konsensus dalam tiap-tiap komunitas.

Nurcholish menghendaki kepada seluruh umat muslim Indonesia agar menyikapi keragaman Etnis, Budaya dan yang paling utama perbedaan keyakinan untuk lebih arif dan bijaksana serta proporsional. Sebagai seorang muslim tentunya kenal dan sudah paham terhadap fungsi ajaran umat Islam yang terkandung dalam rangkaian huruf ayat-ayat Alquran, hanya saja kaum muslimin tinggal berupaya mengaktualisasikan pesan Tuhan yang terdapat dalam kitab suci Alquran di kehidupan nyata. Baginya agama hanya akan dipandang benar bila memiliki komitmen emansipatoris dan solidaritas kemanusiaan,29 dalam pemahaman lain bisa diuraikan bahwa agama memiliki kemampuan membebaskan manusia dari kungkungan zamannya, seperti penindasan, kebodohan, keterbelakangan dan yang senada dengan itu.

28

Islam keindonesiaan yang berkembang pada saat Nurcholish hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan upaya merefleksikan ajaran Islam dalam konteks kekinian dan keindonesiaan.

29

(29)

Menurut Nurcholish, modernisasi adalah sesuatu yang bersifat rasional, ilmiyah dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di alam. Baginya modernisasi adalah suatu keniscayaan karena itu bagian dari perintah Tuhan Yang Maha Esa, Cak Nur menjelaskan bahwa modernitas atau sikap modern mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yakni pendekatan kepada kebenaran Mutlak, jadi modernitas berada dalam suatu proses yaitu proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif menuju penemuan kebenaran yang Mutlak yakni Allah SWT.

Untuk dapat melihat Neo-Modernisme yang di gulirkan Nurcholish Madjid, kita dapat melihatnya dengan hasil pemikirannya tentang peradaban Islam dan Modernisme Islam. Ia juga sangat intens terhadap persoalan keimanan (tauhid), akhlak, fiqih dan tasawuf yang kesemuanya bagian dari kajian keislaman. Menurutnya, tantangan yang paling berat bagi orang yang beragama adalah syirik atau politeisme bukannya ateisme, karena syirik memberikan peluang penyerahan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa.

Nurcholish mengingatkan bahwa manusia mempunyai hawa al nafs yang kerap kali membuat kita angkuh atau arogan, sehingga menuhankan diri kita sendiri. Agar kita dapat menghindarinya dari itu semua manusia harus melakukan pembebasan diri, karena pembebasan ini akan membawa kepada kerendahan hati sehingga akan menjadi orang yang selalu dalam ketakwaan, taat kepada Allah SWT ataupun kepada sesame makhluk.

(30)

gencar. Unsur-unsur keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dengan keislaman ataupun sebaliknya, karena unsur-unsur keindonesiaan dan kemodernan ada dalam Islam.

Tentunya keterkaitan antara keindonesiaan dan kemodernan dengan keislaman telah terlihat jelas dari beberapa jelas dari beberapa keterangan Nurcholish dalam corak pemikirannya yang terdapat pada sebagian karyanya.30

Nurcholish mengungkapkan bahwa ide tentang pertumbuhan dan perkembangan dengan sendirinya mengandung makna proses (dinamis), tahapan-tahapan untuk selalu mencari sesuai dengan masanya. Baginya, dalam islam tidak ada penyelesaian satu kali untuk selamanya (final), melainkan selalu berubah dan berbeda pada seiap ruang dan waktu. Bangsa Indonesia harus mampu menyelesaikan masalahnya dengan terlebih dulu menyesuaikan dengan budayanya masing-masing.31

Cak Nur ingin memulai islam dalam konteks keindonesiaan dengan rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap hukum klasik serta disesuaikan dengan kebutuhan pada masa kini. Menurutnya, untuk konteks Indonesia sangat mungkin adanya akulturasi islam dengan budaya lokal, sebagaimana yang terdapat dalam rumusan kaidah Ushul Fiqh bahwa adat atau kebiasaan masyarakat tertentu bisa dijadikan landasan hukum (al ‘adatu muhakkamatun), tentunya tidak bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Corak keislaman dengan keindonesiaan memiliki kesinambungan pada ideologi Pancasila, Cak Nur berasumsi bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran

30

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixviii.

31

(31)

Islam. Dari keterangan itu terlihat konsistensi Cak Nur dalam mengedepankan semangat Pluralisme.

Selain dalam corak pemikiran Nurcholish yang keindonesiaan juga terletak dalam pemikirannya yang kekinian atau kemodernan, Nurcholish mencoba membawa pemahaman Islam dengan semangat kemodernan. Bahkan menurutnya, Islam pada dirinya sendiri secara inheren adalah agama yang selalu modern, kalau dilihat dalam perspektif sejarah modernisasi adalah aktifitas dan kreatifitas manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan dan kesulitan untuk memberi kemudahan dalam hidup.

Nurcholish mengungkapkan betapapun kreatifnya suatu bangsa yang modern, namun bila dilihat ke belakang modernnya mereka hanyalah sebatas kealnjutan dari berbagai kreatifitas manusia sebelumnya. Modernitas merupakan suatu perjalanan sejarah yang cukup logis dan tak mungkin terhindarkan, perjalanan modernitas bagi Cak Nur adalah sesuatu yang cukup logis, sehingga harapan besar akan terjadinya modernitas juga diharapkan pada umat Islam.

(32)

C. Beberapa Karya Utama

Nurcholish Madjid tidak bedanya dengan pemikir-pemikir lainnya, bahwa setiap buah pemikirannya tertuang dalam goresan tinta. Buku adalah sarana untuk mengenalkan dan menyampaikan ide dan gagasannya kepada manusia-manusia yang gandrung dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, dan bukulah yang pantas untuk menggoreskan tinta pemikiran seorang tokoh. Oleh karena itulah, Nurcholish berusaha mengabadikan pemikirannya di setiap lembaran-lembaran dalam buku.

Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan di Indonesia merupakan kompilasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah yang pernah ditulisnya. Lain halnya dengan buku Khazanah Intelektual Islam, karena buku itu merupakan suntingan karya-karya pemikir muslim klasik yang sudah diterjemahkan Nurcholish ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pembahasan ini, karya-karya Nurcholish tidak bisa diungkapkan secara keseluruhan, namun hanya sebagian saja karyanya yang dianggap sudah cukup mewakili. Adapun karya-karyanya antara lain:

Khazanah Intelektual Islam, buku terbitan PT. Bulan Bintang, Jakarta

(33)

tokoh-tokoh yang disebut Cak Nur dalam buku ini adalah: Kindi (258 H/870 M), al-Asy’ari (w. 300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 M), Ibn Sina (370 H-428 H/980 M-1037 M), al-Ghazali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M), Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M), Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M), Jamaluddin al-Afghani (1255 1315 H/1839 M-1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H-1323 H/1845 M-1905 M). penulis tegaska kemabli tentang buku ini, seperti yang diungkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam.

Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung 1987. dalam isi buku ini membincangkan tentang permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat itu, dan di sisi lain juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan dan keindonesiaan, sekitar tahun 70-an permasalahan-permasalahan menjadi wacana yang mengegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang controversial. Dengan sebab itulah, buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni sampai mengalami cetak ulang hingga 12 kali.

Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina adalah

(34)

Padahal menurutnya, ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang muslim berinteraksi dengan sesame, yakni semangat religiusitas dan juga Tasawuf yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain, pengetahuan umum kenyataannya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat dalam ilmu-ilmu eksak. Dalam buku ini tidak hanya tulisan Nurcholish yang membicarakan lembaga pendidikan tradisional pesantren tapi juga tulisannya Malik Fadjar serta laporan tim kompas.

Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah

keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Diterbitkan oleh penerbit Paramadina 1992. dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan tentang bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya kumpulan sebagian makalah dari kelompok kajian agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan beranggotakan 200 orang.

Islam; Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin

(35)

Indonesia khususnya menjadikan Islam bisa kembali menjadi ajaran yang lebih aspiratif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

Pintu-Pintu menuju Tuhan. Paramadina 1994. isi buku ini merupakan

kumpulan tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada Harian Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish menjelaskan bahwa umat Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam telah menyediakan banyak pintu untuk menuju dan meraih perkenan Tuhan.

Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, Jakarta, Paramadina 1995. Kajian pokok dalam buku ini ada pada

pembahasan tentang wajah Islam yang kosmopolit dan Universal, yang menampilkan nilai humanisme, keadilan, inklusivitas, pluralitas juga egaliter, tetapi pada saat yang bersamaan menampilkan Islam yang menampung nilai-nilai dan kultur parsial. Sehingga Islam sebagai ajaran yang universal dan kosmopolit tetap menjadi ajaran yang relevan di setiap perjalanan zaman.

Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,

Paramadina 1997. dalam buku ini memuat pikiran-pikiran Nurcholish Madjid tentang peran Intelektual Indonesia dalam membangun etos keilmuan dan tradisi intelektual, mengembangkan demokratisasi serta membangun sumber daya manusia yang siap memasuki era industrialisasi dan era tinggal landas.

(36)

Nurcholish menerangkannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, tapi tidak berarti substansi permasalahan diabaikan.

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 1999. dalam buku ini Nurcholish mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan argumentasi yang fresh dan jernih. Di mana dalam uraiannya mengaitkan dengan persoalan-persoalan kontemporer yang tengah menghadang bangsa Indonesia, seperti cita-cita politik bangsa dan persoalan keadilan.

Selain buku-buku di atas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula karya Nurcholish yang sudah beredar di pasaran dan tidak sempat dimuat dalam bab ini. Buku-buku itu antara lain: Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid, Fatsoen

Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa

Transisi, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik

Kontemporer, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradaban

Islam, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Dialog Ramadhan dan Fiqh Lintas

Agama.

(37)

1 28

Humanisme merupakan paham kemanusiaan yang menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran. Paham ini diambil dari mitologi Yunani Kuno, yaitu ketika Bromotheus, dewa yang jatuh hati dan merasa kasihan dengan nasib manusia, hingga ia mencuri obor kebijakan (pengetahuan) dari para dewa untuk diberikan kepada umat manusia sebagai suluh, karena itu, tradisi humanisme hampir selalu bercorak melawan segala sesuatu yang berbau samawi (langit). Demikian pula awal Renaissance Barat diikuti oleh gerakan humanisme yang sangat kreatif terhadap dogmatisme agama (Kristen).

Namun, istilah humanisme baru dipakai pada Abad ke 19 oleh aliran Eksistensialisme di Jerman. Sebelum Abad ke 19 atau sekitar Abad ke 14 humanisme tela menjadi gerakan filsafat yang lahir di Italia dan kemudian berkembang ke seluruh pelosok Eropa.32

Beberapa yang melatarbelakangi lahirnya humanisme dari adanya rasa kemanusiaan dan penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kebebasan memilih serta memandang yang terbaik oleh Tuhan, untuk itu terlihat kurang jelas bila pengertian tentang humanisme belum dikemukakan.

Adanya banyak pengertian mengenai humanisme membuat penulis merasa perlu menjabarkan beberapa pengertian yang berbeda. Dalam kamus bahasa

32

(38)

Inggris Humanisme (humanism) memiliki arti perikemanusiaan.33 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia humanisme berarti suatu doktrin yang menekan kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal.34 Humanisme juga memberikan angggapan bahwa individu yang rasional sebagai nilai yang paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk perkembangan kratif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa mengacu pada konsep-konsep mengenai hal-hal yang di luar kacamata inderawi.35

Adapun dalam Encyclopedia of Britanica, bahwa humanisme berarti adanya pemujaan terhadap kemanusiaan. Ini terlihat pada budaya kesusastraan dan penghidupan kembali sastra klasik yang menekankan terhadap individu dan semangat kritis serta menitikberatkan pada karakteristik dari Renaissance yang sekuler. Bisa juga berarti paham kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia. Pengertian ini dapat dilacak pada paham filsafat yang menampik supernaturalisme dan menekankan pada kebebasan seseorang yang bernilai dalam kapasitas untuk meralisasikan diri dengan akal sehat.36

Pengertian humanisme berlanjut pada perjalanan sejarah yang sedikit memiliki peran dalam memunculkan pengertian tentang humanisme. Sebut saja aliran Eksistensialisme, lokomotif dan imam dalam aliran ini ada pada Jean-Paul Sartre. Ia ‘melicinkan jalan’ dalam pengertian humanisme ini melalui beberapa

33

John M. Echols dan Hasan Shadiliy, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 2003) cet. Xxv, h. 306.

34

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmuah Populer, (Surabaya, Arkola, 1994), h. 234.

35

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 2002), cet. III, h. 295.

36Encyclopedia of Britanica 2003 Ultimate Reference Suite CD-Rom,

(39)

diskusi yang dia ikuti, kendatipun tak langsung terfokus pada masalah humanisme sebagai pembahasan karena ia lebih dikenal sebagai eksistensialis, namun pembahasan tentang humanisme tak terhindarkan sebagai bahasan kedirian manusia. Diskursus ini kemudian disusul oleh aliran Strukturalisme, dan seterusnya.37

Melihat dari beberapa keterangan tentang pengertian humanisme, sedikit punya pemahaman bahwa pengertian tentang humanisme sangatlah beragam, dan yang pasti tempat bersemainya wacana humanisme ada dalam filsafat, pengertian humanisme dimaknai secara beragam disebabkan karena tak terdapat pemaknaan yang tunggal terhadap kata ini.

K. Bertens dalam bukunya menuliskan pengertian tentang humanisme yang sebelumnya A. Lalande telah memaknai itu. Bertens mengatakan bahwa humanisme sebagai gerakan para “humanis” pada zaman Renaissance; teori pengenalan filsuf Inggris F. Schiller; pandangan etis yang melihat perspektif manusia saja; dan pendapat yang menyoroti manusia menurut aspek yang lebih tinggi.38 Dengan demikian terlihat bahwa manusia makhluk yang bisa menentukan masa depannya sendiri tanpa harus bergantung pada sesuatu di luar dirinya, inilah salah satu paham yang melahirkan humanisme dengan melewati proses dialektika politik, budaya, agama, sosial dan lainnya.

Berbagai pengertian dan pemahaman tentang humanisme berada dalam pemaknaan yang beragam sesuai dengan konteks dan perjalanan pemahaman hidup manusia, mungkin terlihat dari beberapa pemahaman tentang humanisme di

37

K. Bertens, Panorama Filsafat Barat, (Jakarta, Gramedia Pustaka, 1987), h. 32-36.

38

(40)

atas lebih pada penekanan ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak azasi manusia

B. Perkembangan Makna Humanisme

Pemaknaan manusia dalam memahami humanisme sangat beragam dan menjadi bias ketika menusia memaknai pengertian humanisme berawal dari pemahaman-pemahaman yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat, baik itu doktrin agama, sistem sosial, rumusan filsafat dan lainnya.

Persoalan humanisme selalu berkait dengan status telatif individu dan kekuasaan, seringkali Negara. Sejak Yunani Kuno telah terjadi perdebatan panjang antara mereka yang menghargai nilai kekuasaan. Plato mengatakan bahwa ketidaksamaan merupakan keadaan alamiah manusia (natural), dan masyarakat merupakan pengatur tertinggi atas individu.39 Tentunya pemahaman tentang humanisme ini lebih pada pemahaman ke filsafatnya.

Memang humanisme lahir dari cikal bakalnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.m.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas―setelah Protagoras―dalam mengenakan ukuran kebajikan dan kebenaran terletak pada akal manusia.40 Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan dari akal budinya untuk mendapatkan kebaikan hidupnya baik secara personal maupun kolektif. Yang masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme

39

Harun Nasution dan Bachtiar Effendy (ed), Hak Azasi Manusia dalam Islam, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987), h. 93.

40

Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari

(41)

(mikrokosmos) adalah Plato (428-347 s.m.) dan Aristoteles (348-322 s.m.), kendatipun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka (makrokosmos). Tokoh-tokoh di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan prinsip-prinsip bagi tindak tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia). Masa inilah yang disebut sebagai humanisme klasik.41

Memasuki Abad pertengahan (Abad ke-5 M hingga Abad ke-15 M), pemikiran filsafat hampir seluruhnya dikuasai oleh para Pendeta, Uskup, Biarawan, Imam, Suster atau yang biasa disebut klerus, yang selalu menghubungkan pemikiran filsafatnya dengan wahyu serta ajaran agama Kristen. Kajian utamanya bukan mengenai manusia, melainkan apa yang mereka―ajaran Bapak Gereja, Kitab Suci atau Bibel―katakan mengenai manusia, sehingga penyelidikannya mengenai teks-teks yang dominan dan yang dianggap memiliki otoritas Tuhan. Berulang kali penelusuran teks-teks ini dilakukan dan dikomentari terus-menerus, sehingga menjadi mata kuliah wajib di skolastik, kalaupun ada pertanyaan – pertanyaan sulit, maka mengacu pada karya – karya Aristoteles dan lainnya yang dianggap memiliki otoritas. Akibat dari teosentrisme, para filosof, ilmuwan dan pemikir barat merasa harus mengurangi dominasi gereja dan agama untuk kemajuan berpikir manusia sendiri supaya merdeka terhadap nasib dan masa depannya. Akibatnya orang mencari inspirasi baru sebagai alternative

41

(42)

kebudayaan tradisional kristiani. Perhatian mereka pun tertuju pada kebudayaan Yunani–Romawi, sebagai satu–satunya budaya yang mereka anggap baik, kebudayaan ini dijadikan patokan dan model terhadap segala dasar kehidupan dasar manusia.

Pada zaman Renaissance, sekitar abad ke 15 dan abad ke 16, yang terjadi di eropa, humanisme kembali diangkat. Hanya saja di bandingkan humanisme klasik yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan polis (Negara kota), maka humanisme renaissance menginginkan individualisme yang kuat. Ajaran ini mendorong pada pemujaan, tidak terbatas terhadap kecerdasan dan kemampuan individu. Karena kehendaknya adalah “manusia universal”. Para pemikir dan ilmuwan menyokong abad ini dengan menyumbangkan berbagai karyanya. Petrarka, Bocaccio, Michael Angelo, Raffael, menyelidiki dan menemukan hasil karya seni dan sastra yang berkualitas tinggi. Florenz, menerjemahkan tulisan – tulisan plato ke dalam bahasa latin. Johannes Gutenberg, menemukan mesin cetak. Galilea – Galileo (1564 – 1642), Leonardo Da Vinci (1452 – 1519), Niccon dengan “pengetahuan adalah kekuasaan” (1561 – 1626), mencoba melakukan penyeledikan Empiris – Experimental yang modern dan di anggap pasti, mengalahkan dominasi pandangan Aristotelian yang selama ini mengusai Eropa. 42 Dalam bidang keagamaan, Martin Luther (1483 – 1546), melakukan gerakan reformasi gereja. Muncul juga penyelidikan anatomi dalam kedokteran, penemuan kompas, senjata api, pembangunan kota roma kuno, melalui gereja raksasa di Vatikan (1506) dengan luas 44 hektar yang dibangun

42

(43)

selama 120 tahun, sebagai bukti keperkasaan manusia. Akhirnya penemuan ilmu pengetahuan dan kemajuan berpikir berdampak pada seluruh bidang kehidupan dan kebebasan serta kemampuan manusia mengusai alamnya. Kondisi ini semakin menguat di jaman pencerahan (Aufklarung atau Enlightenment) pada abad ke 17 dan ke 18.

Di Inggris, abad ini di sebut juga dengan The Glorius Revolution, karena waktu itu terjadi revolusi inggris 1688, menggantikan raja James II oleh William Oranien, yang menghasilkan konstitusi pertama didunia secara modern. 43 Peraturan inilah yang menjadi “Declaration of Rights” (1689), dan “Bill of Rights”. 44 Pada jaman ini manusia di tuntut untuk mencari cahaya didalam akalnya sendiri. Sebagaimana Immanuel Kant (1724 – 1804) mengatakan bahwa manusia harus keluar dari sifat terlalu bebasnya sendiri sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuatnya selama ini.45 Dengan semangat jamannya, berbagai penemuanpun berlanjut, Isaac Newton (1643 – 1727) meletakkan dasar – dasar fisika dan hukum grafitasinya. John Locke (1632 – 1704) mendesak pengakuan hak – hak minoritas untuk beroposisi dalam pemerintahan. Di Perancis abad ini telah melahirkan agama baru yakni Deisme, agama kodrati yang berdasarkan rasio serta pendirian sebuah patung dewi rasio di dalam katedral Notre Dame, serta revolusi Perancis. Sementara di Jerman, pencerahan terlihat tenang, karena pusat perhatiannya tertuju pada bidang moral, mengetengahkan hubungan antara rasio

43

Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 9.

44

(44)

dan wahyu Kristen. Di dalam periode idealisme Jerman, lahir aliran Neo – Humanisme, di samping idealisme Jerman dan Zaman klasik romantik. 46

Neo humanisme ingin mencapai manusia ideal, yang mana mengutamakan supaya semua nafsu dijinakkan, mencapai kesempurnaan antar tubuh dan jiwa, dan memanusiakan manusia (Herder, 1744 – 1803). Bagi mereka bukan manusia rasional yang diperlukan sekarang, tapi manusia yang etis dan estetis. Sementara itu, Auguste Comte (1798 – 1897), menginginkan pendirian “agama kemanusiaan”. 47

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, gerakan sosial-politik, demokratisasi, hak azasi manusia, globalisasi dan lainnya diklaim sebagai hasil jerih payah dari kelompok yang mengedepankan rasionalitas. Di Barat kecendrungan semacam ini membawa pada apa yang mereka sebut sebagai humanisme sekuler atau humanisme ateis. Salah seorang pemikir yang bisa dikategorikan masuk dalam humanisme ateis adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900), yang menyatakan bahwa “Tuhan telah Mati” (God is Dead).48

Setelah terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak, konflik yang diderita humanisme semakin kompleks. Padahal dalam manifesto I, tahun 1933 di Jerman, semangat gerakan humanisme adalah “satu dunia” (one world) di mana, “semua manusia bersaudara”, di atas segalanya. Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan suka rela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika itu pula kata “universal” menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala

46

Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 12.

47

Robert C. Solomon dan Cathelen M. Higins, Sejarah Filsafat, h. 95.

48

(45)

itu amat tegang dan kalang kabut menghadapi ancaman terorisme, sayangnya kemudian tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak seimbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama yang kemudian berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan makna dari kata “universalitas”. Bahkan sebagian orang berpendapat, globalisme dan kosmopolitanisme adalah “universal” yang baik dan tepat, dan sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang manusiawi.49

C. Tauhid dan Humanisme dalam Perspektif Islam

Tauhid merupakan salah satu ajaran utama Islam yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui para utusannya (nabi dan rasul), dan tauhid pulalah yang mendasari akidah kaum muslim. Seorang muslim belum bisa dikatakan sebagai kaum muslimin kalau ia menolak tauhid atau meragukannya. Di sini terlihat bahwa betapa pentingnya memahami tauhid yang sebagai inti dari ajaran islam, dikarenakan bahwa tauhid mendasari seluruh pemikiran manusia tentang dunia dan sebagai konsepsi islam yang dapat dipertentangkan dengan sekulerisme, humanisme atau eksistensialisme.50

Tauhid memang satu, tetapi dalam perkembangan pemikiran islam telah melalui tahapan-tahapan perkembangan makna atau telah dikonseptualisasikan dalam bermacam-macam paham. Paham-paham yang lahir dalam aliran ilmu

49

Erita Narhetali, “Humanisme Sudah Mati?”, Kompas, 27 maret 2003.

50

(46)

kalam sejak Muktazilah hingga Khawarij pun menunjukkan perbedaan konseptualisasi paham tauhid ini.

Dan tauhid merupakan ajaran islam yang paling esensial berkaitan dengan keimanan, seperti iman kepada Allah, Rasul, Malaikat, Kitab-Kitab, Hari Kiamat, Qada dan Qadar, di mana rukun itu harus dipahami, dimengerti dan dihayati dengan baik oleh seorang muslim, sehingga akan membawa kepada kesadaran akan kewajibannya sebagai hamba Allah akan nampak dalam pelaksanaan ibadah, tingkah laku, sikap dan perbuatan serta tutur katanya dalam keseharian, yang kemudian tauhid akan menimbulkan cita-cita dan kemauan, yang pada gilirannya timbullah aktivitas dalam kehidupannya.

Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT.51 Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang diciuptakan oleh para mutakallimin atau teologi dialektis islam), kata – kata tauhid dimaksudkan sebagai paham “memahaesakan tuhan” atau lebih sederhananya paham “ketuhanan yang maha esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata tauhid itu sendiri tidak terdapat dalam al – qur’an (yang ada dalam al – qur’an) adalah kata – kata “ahad” atau “wahid”, namun istilah ciptaan kaum mutakallimin itu memang secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu ajaran tentang “memahaesakan tuhan”. Bahkan secara jelas tauhid juga menggambarkan inti ajaran semua nabi dan rasul yang diutus untuk setiap

51

(47)

kelompok manusia di bumi hingga kelahiran nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.52

Pemahaman manusia – khususnya kaum muslimin – tentang konsep tauhid tentunya memiliki latar belakang historis yang saling berkaitan dengan konteks

sosio-cultural manusia. Di sinilah salah satu faktor dari keragaman pemahaman kaum muslimin memahami tauhid, dengan bertitik tolak pada pemahaman dalam fungsi tauhid yang sejatinya membebaskan manusia dari mitologi atau takhayul dan juga berbagai kepalsuan – kepalsuan yang dipercayai.

Islam, oleh banyak penulis sejarah, bukan hanya dianggap sebagai agama baru, melainkan juga Liberating Force,53 yang berarti bahwa islam merupakan kekuatan pembebas umat manusia dari berbagai macam penindasan dan diskriminasi, atau juga pembebas dari tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia, yang semestinya mendapat perlakuan yang sewajarnya dengan manusia yang lainnya.

Islam dan Humanisme, di antara keduanya memiliki keterkaitan yang saling mendukung dan menguatkan, keduanya juga merupakan prinsip keseimbangan yang tidak bisa diceraikan begitu saja, secara totalitas ajaran – ajaran islam adalah yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Ini terbukti dalam kitab suci umat islam (Al – Qur’an), pada surat Al - Baqarah ayat 22, surat Al - Maudidah ayat 5, surat An - Nissa ayat 22, 23 dan 24, surat An - Nur ayat 32, surat Al - Mumtaharah ayat 10 – 11, surat An - Nisaa ayat 7 – 12, 176, surat Al - Baqarah ayat 180, surat Al -Maudidah ayat 106, surat

52

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 72 – 73.

53

(48)

Al - Baqarah 279, 280 dan 282, surat Al - Anfaal ayat 56 - 58, surat Al - Taubah ayat 4, surat Al - Baqarah ayat 178, surat An - Nisaa ayat 92 – 93, surat Al - Maudidah ayat 38, surat Yunus ayat 27, surat Al - Israa ayat 33, surat As - Syuura ayat 40, surat An - Nisaa ayat 59, Surat Ali - Imron ayat 159, surat Asy - Syuuraa ayat 38, surat Al - Baqarah ayat 190 – 193, surat Al - Anfal ayat 39,41, surat At - Taubah ayat 5, 29, dan 193, surat Al - Hajj ayat 39, 40, surat Al - Hujuraat ayat 13 dan surat Al -Baqarah ayat 177.54

Surat dan ayatnya yang telah di sebutkan diatas merupakan salah satu bukti dari peran islam yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan yang juga merupakan tujuan dari gerakan humanisme.

Islam adalah sebuah humanisme, yakni agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral, inilah nilai dasar islam. Tapi berbeda dengan prinsip – prinsip filsafat dan prinsip – prinsip agama lain, humanisme islam adalah humanisme teosentrik. Dengan kata lain, bahwa islam merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada Keimanan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.

54Al Qur’an dan terjemahannya: Juz 1 – Juz 30

(49)

1 41 A. Hakikat Tauhid

Salah satu aspek pokok yang paling mendasar sekaligus otentik dari ajaran Islam adalah tauhid.Yakni meyakini sekaligus menyadari bahwa hanya Tuhan Yang Satu dan Maha Esa-lah yang patut disembah. Secara teologis, konsep dasar ini dengan tegas dan gamblang memiliki pijakan dasarnya yang cukup kuat di dalam beberapa diktum Alquran.55Sedangkan secara filosofis mengandaikan akan kesadaran penuh kepada mereka yang meyakininya bahwa manusia tak lain kecuali makhluk-Nya yang jauh dari kesempurnaan dan bersifat nisbi. Dengan kata lain, tidak ada satu pun wujud (tuhan-tuhan) yang patut disembah dan pantas untuk dimintai pertolongan serta inayahnya kecuali Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Nurcholish Madjidyang akrab disapa Cak Nur iniTuhan yang sebenarnya adalah; Maha Esa; Maha Hadir dalam hidup ini yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita; Yang perkenan atau ridha-Nya harus dijadikan orientasi hidup dalam bimbingan hati nurani yang sesuci-sucinya mengikuti jalan yang lurus; Yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia dan seluruh yang ada.56

Dalam kalimat syahâdat “Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh, demikian Nurcholish Madjid menyatakan, persaksian yang pertama itu mengandung apa

55

Lihat. (QS: 112: 1)

56

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang

(50)

yang secara masyhur dikenal sebagai rumusan ‘al-nafy wa al-itsbât,’ atau peniadaan dan peneguhan, negasi dan konfirmasi. Dengan negasi itu kita membebaskan diri dari setiap keyakinan yang banal dan palsu; membelenggu serta merenggut martabat kemanusiaan kita sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Adapun dengan konfirmasi itu kita tetap menyatakan kepada wujud Maha Tinggi yang sebenarnya.57 Dengan demikian, bagi Cak Nur, tidaklah cukup dengan hanya mengimani adanya Tuhan, tapi pada saat yang bersamaan menjadikan sesuatu yang bukan Tuhan itu sendiri sebagai tuhannya, yang pada hakikatnya tidak memiliki sifat keilahian yang dalam term agama disebut dengan

musyrik, yaitu menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya.

Berdasarkan penjelasan tersebut sebagai konsekuensinya, menurut Cak Nur, kita harus sepenuhnya bersandar kepada-Nya. Bergantung dan menaruh kepercayaan serta berpandangan positif kepada-Nya. Ini semua, lebih lanjut Cak Nur berargumen, merupakan kebalikan diametral dari sikap kaum musyrik berdasarkan surat al-Zumar ayat 38:

“Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum

musyrik) siapa yang menciptakan langit dan bumi pasti mereka menjawab, Allah.

Katakan (kepada mereka); apakah kamu memperhatikan sesuatu yang kamu

berseru kepadanya selain Allah itu? Jika Allah menghendaki marabahaya

kepadaku, apakah mereka (berhala-berhala) itu dapat menghilangkan

marabahaya itu? Atau jika Dia (Allah) menghendaki rahmat bagiku, apakah

57

(51)

mereka menahan rahmat itu? Katakanlah lebih lanjut, cukuplah bagiku Allah saja

dan kepada-Nyalah mereka yang mau bersandar.”58

Jadi, bagi Nurcholish Madjid, percaya akan adanya Tuhan sebagai Wujud Tertinggi yang dijadikan kekuatan supra-rasional dalam kehidupan manusia, tidaklah menjamin dan berkorelasi positif secara linier dengan hakikat makna tauhîd itu sendiri. Kenyataan ini dapat dilihat lebih jauh dalam sejarah peradaban bangsa Arab pra-Islam itu sendiri sebagaimana digambarkan oleh intelektual Muslim kenamaan Isma’il al-Faruqi:

Inskripsi Arabia Selatan (Ma’in, Saba’ dan Qhataban), begitu pula

Arabia Utara ( Lihyan , Tshamud dan Shafa) memberi bukti bahwa suatu dewa

maha tinggi (supreme deity) yang disebut al-ilah atau Allah telah disembah sejak

masa dahulu kala. Dewa Ioni mengairi tanah, membuat palawija tumbuh, raja

kaya berkembang biak dan sumber air serta sumur mengeluarkan air yang

memberi hidup. Di Mekkah, juga diseluruh Jazirah Arabiah, Allah diakui sebagai

pencipta dari semuanya, Pangeran seluruh alam, penguasa langit dan

bumi,Pengawas tertinggi segala-galanya. Allah adalah nama dewa yang paling

banyak disebut. Tetapi fungsinya didelegasikan atau diambil alih oleh dewa-dewa

lain yang lebih kecil dan pengaruh-Nya yang luar biasa dinyatakan dalam

matahari dan rembulan misalnya. Kualitas-kualitas-Nya dijelmakan dan

digantikan ke dalam dewa-dewa atau dewi-dewi selain daripada-Nya (Allah).

58

(52)

Dengan begitu timbullah sejumlah pantheon yang setiap anggotanya

memperhatikan sama juga suatu kebutuhan tertentu atau suku tertentu dan

mewakili suatu ciri khusus, tempat, obyek, atau kekuatan yang menunjukkan

kehadiran, perhatian dan kekuasaan-nya yang bersifat ilahi. Allah, seorang dewi,

digambarkan sebagai anak perempuan Allah dan diidentifikasikan dengan

matahari oleh sebagaian, dengan rembulan oleh yang lain. Al-Uzzah adalah

seorang anak perempuan ilahi yang kedua, yang dihubungkan dengan planet

Venus, Maniat anak perempuan ketiga, mewakili nasib. Dzu al-Syara dan Dzul

Khalasah adalah dewa-dewa yang mengambil nama dari tempat-tempat ramalan

nasib, Dzul Kaffayn dan Dzul Rijl diasosiasikan dengan anggota badan yang

mempunyai makna tertentu, meskipun tidak diketahui. Wudud, Yaghuts, Ya’qub

dan Suwa adalah dewa-dewa yang mengambil nama dari fungsi-fungsi ketuhanan

untuk berturut-turut, cinta, pertolongan, perlindungan dan penerapan siksa yang

pedih. Dewa Hubal, yang memiliki patung paling menonjol di Ka’bah,

mempunyai tangan yang terbuat dari emas yang murni malik (raja),

al-Rahman (Pengasih), dan al-Rahim (selamanya Pengasih) mengidentifikasi

dewa-dewa atau barangkali mewakili fungsi-fungsi ketuhanan maha tinggi dari suatu

Dewa dengan suatu nama yang lain.”59

Dengan demikian, hakikat makna tauhid tidaklah cukup hanya dengan mengimani akan keberadaan-Nya, tapi lebih daripada itu adalah mempercayai bahwa Allah itu dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian

59

(53)

dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain. Oleh sebab itu, apabila kita berhasil mewujudkan itu semua dalam diri kita, maka kita benar-benar telah ber-tauhid, demikian Cak Nur berujar.

B. Tauhîd dan Kemanusiaan:

1. Emansipasi Harkat dan Martabat Manusia

Tauhid, sebagai asas dasar keberimanan seorang Muslim sebagaimana telah diuraikan, merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawa-tawar lagi. Oleh karena tauhid dalam artian berserah diri secara total dan sepenuhnya dan menjadikannya orientasi kehidupannya di dunia ini merupakan inti dan hakikat dari agama dan keberagamaan itu sendiri. Dengan demikian, setidaknya terdapat beberapa konsekuensi dasar dari perinsip tauhid tersebut.60Tuhan adalah sebagai satu-satunya sumber otoritas kebenaran tertinggi. Dengan ungkapan lain, tidak ada seorang anak manusia pun sebagai makhluk ciptaan-Nya yang nisbi tersebut mengklaim secara mutlak serta memonopoli kebenaran bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Tatkala seseorang mengklaim hanya dirinyalah yang paling benar, pada saat bersamaan menganggap orang lain salah sepenuhnya, maka pada hakikatnya orang tersebut telah terjebak dalam kemusyrikan. Hal ini jelas bertentangan sekali dengan spirit dasar tauhid itu sendiri. Tipikal orang semacam inilah yang dalam istilah Cak Nur disebut thâgût atau tiran, yaitu sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain tanpa memberi

60

(54)

peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas.61Dalam pandangan Cak Nur, belenggu atau tiran yang seringkali membuat manusia congkak dan angkuh terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya adalah “hawa nafsu”.62 Hawa nafsu ini pula yang menjadi sumber pandangan-pandangan subjektif yang dengan sendirinya juga menghalangi seseorang dalam melihat kebenaran. Secara tidak sadar orang tersebut pada hakikatnya telah menjadikan hawa nafsu-nya sebagai tuhan yang selalu ia taati. Disebabkan karakter dasar dari hawa nafsu itu sendiri yang bersifat tiran dan membelenggu kebebasan seseorang menuju pada kebenaran yang sesungguhnya, maka pada gilirannya ia akan terkurung di dalam sangkar kesesatan dan kenaifan. Bahkan, orang itu pun akan lebih bersikap tertutup dan fanatik yang menyebabkan dirinya bersikap reaktif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, tanpa mempertanyakan maupun merefleksikan terlebih dahulu kemungkinan kebenaran yang terkandung di dalamnya.

Menurut Cak Nur,63 dengan mengutip firman Tuhan, gambaran seseorang yang terkungkung oleh tiran semacam ini telah terjadi di masa lalu:

“…Apakah setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa

kebenaran) dengan sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu menjadi

congkak, sehingga sebagian (dari para rasul itu) kamu dustakan, dan sebagaian

lagi kamu bunuh?!” Mereka yang menolak itu bertanya, “hati kami telah tertutup

61

Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 126

62

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 81

63

Referensi

Dokumen terkait

Pemeliharaan/Pengangkatan Lumpur Rt 07 dan Rt 09 Betara kanan Pembuatan Tanggul Penahan Banjir Prt Bandu Pembuatan Tanggul parit Palembang Rt 05 dan Parit Deli Rt 04 dan Rt 03

berbanding lurus dengan debit aliran dan berbanding terbalik dengan jumlah kotak yang dipasang, yaitu semakin besar debit aliran yang mengalir maka semakin besar

Efek selain saham dan/atau instrumen pasar uang tidak memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat

Bidang reka bentuk dan teknologi merupakan perkara yang perlu diberi penekanan dalam sistem pendidikan negara yang membolehkan murid mengaplikasikan pengetahuan,

Perancangan dan implementasi sistem informasi tersebut diharapkan akan mempermudah petugas perpustakaan Politeknik Negeri Tanah Laut dalam memasukkan data peminjaman buku

Dari hasil instalasi pada penelitian yang telah dilakukan pada Kampus Aikom Ternate dapat ditulis bahwa jaringan WLAN merupakan teknologi yang bertujuan untuk

Berdasarkan hasil observasi pada siklus I terdapat 6 dari 20 anak yang belum tuntas hasil prosentase pencapaian.Ketidaktuntasan pada umumnya terjadi pada butir amatan 2 (Anak suka

Diketahui bahwa didalam perjanjian internasional terdapat norma – norma atau asas yang berlaku, salah satunya ialah asas Pacta Sunt Servanda yang secara langsung berarti