• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adil sebagai syarat permohonan izin poligami: studi kasus persepsi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adil sebagai syarat permohonan izin poligami: studi kasus persepsi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD SUFIYAN 107044202484

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

Oleh:

Ahmad Sufiyan 107044202484

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing:

Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. 196911211994031001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah mencantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, Mei 2011

(4)

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada

tanggal 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Asy-

Syakhshiyyah.

Jakarta, Juni 2011

Dekan;

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana M.A

NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MA.

NIP. 196911211994031001

4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag.

NIP. 197102151997032002

5. Penguji II : Drs.Djawahir Hejazziey, SH, MA.

(5)

i

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puja serta puji syukur dipanjatkan kepada

Allah SWT, Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak

hati manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada

uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada

umatnya bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya,

sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang

sunnahnya sampai hari pembalasan.

Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Program Studi

Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat

bantuan dan sumbangan motivasi dari bebagai pihak, sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta: Prof. Dr. H. Muhammad

Amin Suma, SH, MA, MM.

2. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah

Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA,

dan Hj. Rosdiana MA yang selalu memberikan bimbingan, motivasi kepada

(6)

ii

arahan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Dosen Penasehat

Akademik: Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag yang memberikan arahan

dalam pemberian judul skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah

banyak memberikan ilmunya serta berbagai kemudahan.

5. Kepala dan seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan

Hukum UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan

yang menjadi referensi dalam penulisan ini.

6. Hakim Pengadilan Jakarta Timur: Bapak Drs. H. Nemin Aminuddin M.H

yang telah membantu penulis dalam wawancara, Panitera Muda Hukum

Pengadilan Agama Jakarta Timur: Bapak Fahrurozi selaku, dan juga Bapak

Hisni Mubarak pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sangat

membantu penulis dalam memperoleh data-data yang penulis buuthkan.

7. Ayahanda H. Abdul Hadi Zaini dan Ibunda Hj. Nurfiah, yang selama ini

selalu menjaga, merawat, mendidik, mendorong serta membimbing dalam

penulisan skripsi ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

8. Saudara-saudara, ka Ria dan suami, ka Zizah dan Suami, ka Rohma dan

suami, ka Ida dan suami, bang Zaki, Azmi dan seluruh Keluarga Besar Bani

Nashir yang penulis cintai, mereka juga selalu memotivasi dan mendoakan

(7)

iii

Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah-mudahan semua

yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT, semoga skripsi ini

bermanfaat. Amiin.

Jakarta, Juni 2011 M

Rajab 1432 H

(8)

iv

KATA PENGANTAR.………..…………...………….……….…….i

DAFTAR ISI…………..………...………..………iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…….…..…….………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..…….……7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….9

D. Metode Penelitian……….…..10

E. Review Studi Terdahulu……….12

F. Sistematika Penulis……….……12

BAB II : KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI A. Poligami dalam Islam...14

B. Hak Istri-Istri dalam Poligami...24

C. Adil Syarat untuk Poligami...30

D. Prosedur Izin Poligami...38

BAB III : HAKIM PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PEJABAT PEMBERI IZIN POLIGAMI A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami...42

(9)

v

BAB IV : PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA

TIMUR TENTANG KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI

A. Konsep Adil Sebagai Syarat Izin Poligami Menurut

Hakim……….76

B. Alasan Hakim dalam Memberi Izin Poligami………78

C. Analisis Penulis...………...79

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan...……….…....87

B. Saran-Saran...……….…....89

DAFTAR PUSTAKA...……….…...90

LAMPIRAN :

A. Surat Permohonan Wawancara

B. Surat Telah Wawancara

C. Pedoman Wawancara

D. Hasil Wawancara

(10)

1 A. Latar Belakang.

Sebuah dambaan dan keinginan besar bagi ikatan hasil perkawinan yang sah

antara pria dan wanita menjadi sebuah bentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah, dan ingin juga membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Memiliki

keturunan yang dapat membahagiakan, rezeki yang mencukupi, dan kebaikan

keluarga lainnya. Untuk mewujudkan tersebut, Allah sebagai pencipta antara pria dan

wanita, membuat sebuah aturan yang mengikat bagi keduanya yang akan

mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena pada

hakikatnya aturan Allah sejalan dengan fitrah dan bentuk ciptaannya sesuai dengan

kenyataan yang senantiasa berubah dalam segala ruang, situasi, dan kondisi.

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumahtangga. Dalam Islam,

rumahtangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama

dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala persoalan kehidupan

manusia timbul. Merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan

manusia diatas bumi melalui suatu keluarga. Salah satu perhatian Islam terhadap

keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana.

Andaikata aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan

(11)

Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi

juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitar.1

Allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa, atau

sesuatu yang menarik kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun kemaslahatan

khusus. Allah tidak akan melarang sesuatu yang merupakan kebutuhan alamiah

manusia dengan suatu yang akan memberikan kesempurnaan ahlak. Islam sebagai

agama yang diturunkan dari sisi Allah, tentu tidak akan melarang suatu yang akan

merugikan wanita, keluarga dan masyarakat. Justru Islam ingin melindungi kaum

wanita, keluarga, masyarakat dari segala keburukan dan ketersia-siaan.2

Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur

serta membatasi keburukan dan madharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang

melakukan poligami. Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum

datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika

poligami itu merupakan sistem yang sangat kuat didalam kehidupan masyarakat Arab

yang merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka.3

Hak poligami dapat diberikan kepada suami yang sanggup melaksanakannya,

karena jika tidak, hal tersebut akan membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi

1

Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1, hal. 6

2

Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, hal. 57

3

(12)

kaum wanita. Syarat poligami pada dasarnya sama dengan monogami tapi yang

paling utama adalah:

1. Sanggup memberi nafkah, bagi seorang suami diwajibkan oleh syara’ baginya

untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang meliputi

sandang, pangan, dan papan, walaupun itu dapat dipikul bersama-sama

dengan istri.

2. Sanggup memberi nafkah batin, syarat bolehnya nikah dan poligami adalah

masih mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh

poligami, karena itu dapat berakibat buruk bagi wanita yang dinikahi.4

3. Mampu berbuat adil, maka bagi seorang suami yang ingin berpoligami harus

memperlakukan semua istri dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama

dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila

ia merasa bahwa tidak mampu memperlakukan dengan adil, maka dia harus

menahan dirinya untuk menikah dengan hanya satu orang istri.5

Akibat poligami, terkadang akan menimbulkan kecemburuan antar wanita yang

dinikahi, karena ditimbulkan dari perasaan sakit istri pertama dan menimbulkan

harapan istri yang baru. Kecemburuan itu mungkin akan berkurang bila ada ketegasan

seorang suami untuk bersikap adil antara istri-istrinya. Karena sikap adil akan

membuat istri-istri akan merasa puas terhadap perlakuan suami kepada mereka,

4

Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Bekasi, Pustaka Al-Riyadl, 2004), hal. 45.

5

(13)

namun apabila suami tidak adil terhadap istri-istrinya akan berakibat kecemburuan

antara mereka yang berakbitkan pertengkaran antar keduanya. Maka tidak berlebihan

bahwa adil itu sangat penting sebagai syarat dalam poligami.

Bagi seorang laki-laki yang ingin berpoligami, maka dia harus mengikatkan pada

dirinya pada hukum yang lain. Kita ketahui bahwa hukum poligami itu adalah mubah,

dan kemubahan tersebut ada kewajiban yang harus diyakinan pada diri hati suami

sebelum menginginkan poligami dan melaksanakannya setelah melakukannya.

Adapun kewajiban itu adalah sikap adil antar istri-istrinya. Maka apabila seorang

suami tidak berlaku adil, maka itu menandakan ketidakberesan dari suami itu sendiri

dan itu timbul karena salah pada prakteknya bukan konsep poligami itu sendiri.

Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka akan muncul kerusakan hukum

syariat ketika diambil secara parsial (tidak utuh) tanpa memperhatikan kondisi secara

menyeluruh, dan orang yang mengambil hukum dari Allah, maka dia harus

mengambil ketentuan dari Allah secara menyeluruh6

Islam datang untuk mensyaratkan poligami dengan adil, Islam membatasi

poligami dan tidak membiarkannya mengikuti keinginan laki-laki. Menurut Imam

Jarir ath-Thabari tentang ayat ketiga surat an-Nisa bahwa apabila takut tidak berlaku

adil terhadap dua, tiga, empat orang, kemudian kalian hanya menikahi seorang saja

atau cukup dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki, maka itu lebih dekat

untuk tidak berbuat zhalim dan berat sebelah. Bahkan dengan demikian kewajiban

6

(14)

nafkah akan lebih ringan, satu orang istri akan membutuhkan nafkah lebih sedikit

dibanding dua, tiga, atau empat orang istri.7

Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat an-Nisa,

bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya.

Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan

keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah

tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika

tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah

memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak

akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai

dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak

pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas

perlakuannya.8

Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke

Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan

campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual

affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan

kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan

Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap

7

Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo: Darul Ma’arif, t.th), jilid. 7, hal. 531.

8

(15)

dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan

dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.9

Dalam Islam, bahwa suami yang akan berpoligami tidak perlu mendapatkan izin

dari Pengadilan Agama tapi cukup dengan suami tersebut mampu berbuat adil kepada

istri-istrinya. Namun, melihat demi kemaslahatan pihak suami dan istri maka

poligami perlu mandapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di Pengadilan Agama,

terdapat ketentuan bahwa apabila suami akan mengajukan izin poligami terdapat

persyaratan, yaitu harus adil terhadap istri-istrinya, sesuai dengan Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia mengatur bahwa Hakim dapat memberi izin

dengan syarat yang salah satunya adalah mampu berbuat adil antara istri-istrinya.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun

1975, menyatakan bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari satu harus

mendapatkan izin dari Pengadilan. Untuk mendapatkan izin tersebut, harus melalui

proses Pengadilan dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam

hukum positif. Memperhatikan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan pada pasal 5 (1) huruf c dinyatakan bahwa: “adanya jaminan bahwa

suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”. Pada pasal 40

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa “apabila seorang suami

bermaskud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan

secara tertulis kepada pengadilan”.

9

(16)

Bila dilihat secara tekstual dari Undang-Undang diatas jelas bahwa suami harus

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, namun sayangnya pada

Undang-Undang ini tidak ada penjelasan secara lengkap tentang apa yang dimaskud

dengan adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dalam mengajukan

permohonan suami ke Pengadilan Agama, diatur secara tertulis ke Pengadilan, maka

Hakim Pengadilan yang akan memeriksa permohonan. Dengan melihat ini, penulis

amat tertarik untuk mengangkat sebuah tema dengan judul “Adil Sebagai Syarat

Izin Poligami (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur) ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

1. Pembatasan Masalah.

Adil dalam poligami menurut Hukum Islam memang adalah sebuah syarat

yang harus dipenuhi bagi suami yang akan berpoligami. Adapun prosedur

berpoligami di Indonesia harus menyerahkan permohonan kepada Pengadilan.

Dan dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama, maka hakimlah yang akan

memeriksa permohonan tersebut. Karena penulis menyadari pembahasan pada

skripsi ini sangat luas, maka untuk membatasi tersebut penulis membatasi

masalah dalam skripsi ini, yaitu:

a. Pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang adil dalam

(17)

b. Mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam

pasal 5 ayat 1 point c Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

2. Perumusan Masalah.

Lelaki yang ingin berpoligami akan menemukan kesulitan untuk berbuat adil

terhadap istri-istrinya, karena itu adalah sifat naluriah manusia akan bersifat lebih

tertarik pada salah seorang istrinya yang lain. Karena terdapat kesulitan tersebut,

maka suami harus dapat menyakinkan dan membuktikan bahwa dirinya dapat berlaku

adil dalam masa poligaminya didepan Hakim Pengadilan Agama. Maka dalam hal ini

Hakim sangat berperan sebagai pejabat yang dapat memberikan izin poligami.

Namun, dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawainan yang mengharuskan suami berlaku adil terhadap istri-istri, belum

disebutkan secara jelas dalam mengartikan kata adil. Maka untuk merumuskan

masalah diatas, penulis menyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut:

a. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam

mengartikan adil sebagai syarat poligami?

b. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur memperoleh keyakinan

(18)

c. Apa yang menjadi tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim

Pengadilan Agama Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan Penelitian.

Secara garis umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan

peringatan bahwa begitu pentingnya sikap adil dalam berpoligami, sebagai upaya

untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah dan

rahmah. Dan untuk pengkhususannya, maka tujuan dari penelitian tersebut adalah

untuk:

a. Mengetahui konsep adil menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

sebagai syarat berpoligami.

b. Mengetahui keyakinan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam

memberikan izin bagi pemohon untuk berpoligami.

c. Mengetahui tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim

Pengadilan Agama Jakarta Timur.

(19)

Sudah menjadi keinginan penulis, bahwa penelitian ini dapat memajukan dan

mengembangkan Ilmu Pengetahuan Islam lebih dalam lagi, terutama dalam

bidang kekeluargaan yang terdapat banyak masalah di masyarakat.

D. Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan jenis penelitian

kualitatif yang difokuskan kepada pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta

Timur mengenai adil yang menjadi syarat untuk izin poligami, dan menghasilkan

data deskriptif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

perundang-undangan.

2. Pengumpulan Data.

a. Data primer yakni, data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun metode yang dipakai adalah

metode penelitian lapangan (field research) yaitu, suatu teknik pengumpulan

data dimana penulis langsung melakukan ke lapangan untuk memperoleh data

yang jelas (obyektif). Adapun instrumen pengumpulan data tersebut adalah:

1) Wawancara, yaitu melakukan interview kepada pihak yang diangaap

(20)

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak lain yang dapat

memberikan informasi pada penelitian ini.

2) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan

dengan cara mencatat, merangkum data yang ada di lokasi penelitian.

b. Data skunder, yaitu data yang diambil dari pustaka yang dapat menunjang

data primer dengan menggunakan metode (library research) yaitu suatu

teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan kunjungan ke

perpustakaan untuk mendapatkan sumber tertulis lainnya yang ada

hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas.

3. Analisa Data.

Dalam penganalisaan data menggunakan data deskriptif analitis yaitu teknik

analisa di mana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di

lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis

yang didapat dari perpustakaan.

Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang

diatur dalam buku Pedoman Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, Desertasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan pengecualian ayat-ayat Al-Quran dan sekaligus

(21)

E. Review Studi Terdahulu.

Chuzaimah, Esensi Keadilan dalam Poligami (Tinjauan Hukum Islam),. Pada

skripsi ini menerangkan esensi keadilan menurut tinjauan Hukum Islam, dan jenis

penelitiannya adalah normatif sehingga tidak mengetahui bagaimana realitas yang

terjadi di masyarakat. Untuk membedakan, maka pada skripsi ini penulis akan

memaparkan realita akan pemahaman Hakim tentang adil dalam poligami yang ada

pada Pengadilan Agama tentang keadilan sebagai syarat poligami.

Heli Nurhalimah, Analisis Putusan Sidang Uji Materil Poligami dalam UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan. (Studi Kasus di Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia). Dalam skripsi ini, penulis menganalisa putusan hakim Mahkamah

Konstitusi dalam sidang uji materil poligami. Adapun penulis dalam skripsi ini

menggambarkan sebuah konsep adil sebagai syarat poligami yang tidak di bahas pada

skripsi Heli Nurhalimah.

Tajun Nasroh Qurti, Esensi dan Eksitensi UU No. 1 tahun 1974 terhadap

Poligami. (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rumpin Kabupaten

Bogor). Pada skripsi ini penulis menggambarkan kenyataan poligami yang terjadi

pada masyarakat Rumpin yang melakukan poligami. Adapun penulis memfokuskan

pada dasar Hakim yang memberikan izin untuk poligami dalam memahami konsep

(22)

F. Sistematika Penulisan.

Bab kesatu :Pada bab ini, berisi latar belakang dari penulisan

skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori, studi review.

Bab kedua :Pada bab ini, berisi poligami dalam Hukum Islam, persyaratan

dalam poligami, adil syarat untuk poligami, prosedur izin poligami di Pengadilan

Agama.

Bab ketiga :Pada bab ini, berisi Pengadilan Agama sebagai lembaga pemberi

izin poligami, hakim sebagai pejabat pemberi izin poligami, proses pengambilan

keputusan Hakim Peradilan Agama.

Bab keempat :Pada bab ini, konsep adil sebagai syarat poligami menurut Hakim

Pengadilan Agama Jakarta Timur, alasan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

dalam memberi izin poligami.

Bab kelima :Pada bab ini, berisi kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan

(23)

14 BAB II

KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI

A. Poligami dalam Islam.

1. Pengertian.

Poligami merupakan gabungan kata poly atau polus yang berarti banyak, dan

kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga apabila

kedua kata tersebut digabungkan maka akan berarti yang banyak atau dengan kata

lain poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini

beberapa istri dalam waktu bersamaan dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak

terbatas.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian

poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau

mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan

berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.2

Term poligami ini sebenarnya punya makna umum, yaitu memiliki dua orang

atau lebih istri dalam waktu bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk

1

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999), cet. 6 jil. 4 hal. 107.

2

(24)

perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya

memiliki satu orang istri.3

Dan dalam kitab-kitab fikih, para ulama menulisnya dengan “ta’addud al

-zaujat” yang bila diartikan “ta’adud” adalah bilangan dan “zaujat” adalah kata

jamak dari istri. Maka apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi arti

perkawinan yang mempunyai lebih dari seorang istri.

2. Dasar Hukum.

Tentang hukum poligami, para ulama melihat dalil al-Qur’an surat an-Nisaa:

(

/

)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).

Menurut jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut

mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui

3

(25)

dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti “kuluu

wasyrabuu”.4

Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa poligami tidaklah wajib atau sunah, tetapi

makruh. Dan bagi laki-laki yang tak mampu dalam ekonomi dan berbuat adil,

hukumnya menjadi haram. Dengan pertimbangan sosial dan individu, dalam

Islam poligami boleh (mubah).5

Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat

dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah

laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan, dan ini beraspek sosial

spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkannya

dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids, atau untuk kepentingan

dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit,

suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki lebih

besar daripada perempuan.6

Menurut Muhammmad Abduh berpendapat bahwa asas pernikahan dalam

Islam adalah monogami bukan poligami. Poligami diaharamkan karena

4

Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur’an, jus. 1, hal 192.

5

Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Muhammad Hafiz, Pelaksanaan Poligami di Indonesia dalam Pandangan Muhammad Shahrour, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum), hal. 26.

6

(26)

menimbulkan dharar seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya

dibolehkan dalam kondisi darurat saja.7

Poligami menurut Sayyid Qutub adalah rukhsah, ini sesuai dengan realitas

fitrah dan kehidupan dan menjaga masyarakat dari kecendrungan untuk lepas

kendali atau hidup dalam kejenuhan. Ikatan atau syarat ini akan melindungi suami

istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan

kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena

tiadanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam

menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital. Apabila ada seseorang melakukan

penyimpangn di dalam menggunakan rukhsah ini dengan menjadikannya sebagai

kesempatan untuk menjadikan kehidupan suami dan istri sebagai panggung

kesenangan hidup dengan berpindah-pindah dari istri kepada istri yang lain

sebagaimana halnya orang yang berganti-ganti kekasih, maka bentuk poligami

dengan motivasi seperti ini sama sekali bukan dari ajaran Islam, bahkan tidak

mengimplementsikan ajaran Islam.8

Menurut Rasyid Ridha mengatakan sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi9

sebagai berikut:

7

Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, jus 4 hal 346.

8

Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilail Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992). Hal 118.

9

(27)

Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat

daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak

cemburu, iri hati,dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul

dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligimis.

Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan

keluarga, baik konflik antara suami dengan istri dan anak-anak dari

istri-istrinya, maupun konflik antar istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena

itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan

monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka

mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan

kehidupan keluarga yang poligimis, orang akan mudah peka dan terangsang

timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki, dan suka mengeluh dalam kadar

tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula

membahayakan keutuhan keluarga.

Menurut Quraish Shihab10 poligami sama sekali bukan sunnah. Anggapan

bahwa poligami itu sunnah berakar dari kekeliruan dalam memahamai ayat dan

sunnah Nabi, dengan alasan yaitu:

Surat an-Nisaa ayat 3 sama sekali bukan anjuran apalagi perintah poligami.

Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya

berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu

10

(28)

kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa saja yang sangat membutuhkan dan

dengan syarat yang tidak ringan.

Berkaitan dengan kata amar yang terdapat dalam ayat ini, semua ahli hukum

sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an menunjukkan kewajiban,

sebaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Kata perintah dalam

al-Qur’an ada yang menunjukkan wajib, seperti perintah mendirikan salat, sunnah

seperti perintah untuk tahajud, dan mubah seperti perintah makan dan minum.

Dalam kaitannya dengan ayat ini, kata “nikahilah” menunjukkan hukum boleh

tapi itupun dengan syarat yang berat.

Walaupun Nabi dalam delapan tahun terakhir hidupnya berpoligami, tidak

lantas bisa dikatakan bahwa poligami itu sunnah Nabi, menurut Quraish Shihab

“tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak

semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi

umatnya. Bukanlah Rasul SAW antara lain wajib bangun salat malam dan tidak

boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur”.

3. Syarat-Syarat.

a. Jumlah Istri dalam Poligami.

Poligami tidak dibenarkan lebih dari empat istri. Batas kuantitatif ini

menjadi syarat sahnya nikah. Barang siapa mengawini wanita untuk

(29)

perkawinannya dipandang tidak sah dan mesti difasakh. Dalam poligami

juga tidak boleh mengumpulkan antara saudara perempuan dan bibi istri

dalam satu pernikahan.

Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi’in dan

Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan

adalah empat. Begitu pula dengan pandapat Imam Malik. Dan pendapat

tersebut juga dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, Ibnu Majah

dalam Sunan-nya, dan hampir ulama klasik. Adapula yang mengatakan

bahwa poligami boleh dilakukan sampai sembilan orang, yaitu pendapat

dari Mazhab Syiah. Sementara Zhahiriah berpendapat boleh sampai

delapan belas.

Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa

wa ruba’” dalam ayat 3 surat an-Nisaa. Menurut mazhab Syiah, kalimat

“matsna wa tsulatsa wa ruba’” menunjukkan penjumlahan, sehingga jiga

ditambahkan, maka hasilnya adalah sembilan. Sedangkan bagi kelompok

Zhahiri, delapan belas karena kata “wau” dalam kalimat tersebut berarti

“dikali” sehingga dua kali dua kali tiga kali empat. Dan menurut jumhur

(30)

“au” yang artinya “atau”.11

Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya

yaitu hadis Nabi:

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah

ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia mempunyai 10 istri dan lalu

Nabi bersabda:

(

)

b. Dapat Berlaku Adil.

Poligami dapat dilakukan dengan catatan berlaku adil. Batasan ini

tidak menjadi syarat sahnya perkawinan. Barang siapa mengawini wanita

sebagai istri kedua, ketiga, keempat, sedang ia khawatir untuk berbuat

zalim, maka perkawinannya tetap dipandang sah. Hanya ia berdosa jika

benar-benar berbuat zalim.

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua

hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup

memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi

istri untuk keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya

dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk ketiganya. Dengan ini

sesuai dengan hadis Nabi:

11

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: Jami’ Baina Fanniy

(31)

(

)

Dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring. (Hadis diriwaytkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi. An-Nasaai, dan Ibnu Hibban).12

Keadilan mutlak persoalan cinta memang tidak akan dapat diwujudkan

oleh manusia manapun. Prof. Dr. M. Quraish Sihab membagi pengertian

cinta atau suka menjadi dua bagian, yakni suka yang lahir atas dorongan

perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat pahit tidak disukai

siapapun, ini berdasarkan perasaan setiap obat yang sama akan disukai

atau dicari dan diminum karena akal sisakit mendorongnya menyukai obat

itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang

dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah

keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan. Sedangkan suka

yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan

istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima segala

kekurangan-kekurangannya, memandang segala aspek yang ada padanya, bukan hanya

aspek keburukannya atau kebaikannya saja. Ini yang dimaksud dengan

12

(32)

cenderung atau condong kepada yang kamu cintai dan jangan juga terlalu

cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai. 13

c. Izin di Pengadilan Agama.

Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

ditentukan bahwa suami yang akan berpooligami harus mendapatkan izin

dari istrinya dan memberikan jaminan keadilan dalam rumah tangga,

sebagaimana dalam pasal 3 ayat 2: “Pengadilan, dapat memberi izin

kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” dan pasal 4 ayat 1

“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”.

4. Alasan-Alasan.

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang

suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki

oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin

ini sesuai dengan pasal 57 Kompilasi Hukum Islam:

13

(33)

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas dapat

dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan,

yaitu membentuk rumahtangga yang bahagia dan kekal atau sakinah mawaddah

dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang

disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumahtangga

tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia.

B. Hak Istri-Istri dalam Poligami.

1. Mahar.

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau

yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Utamanya adalah pemberian

kepada seorang wanita walaupun sebagian darinya atau sedikit daripada

meninggalkannya dalam suatu akad. Hal ini tidak membatalkan keabsahannya.

Yang terpenting adalah sesuatu yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita.

(34)

perempuan, dan permulaan keterikatan yang baik antara keduanya, yang

berasaskan kecintaan dan kerelaan serta hubungan yang baik.

Islam tidak membatasi jumlah mahar yang akan diberikan kepada istri. Hal ini

merupakan atas kesepakatan antara suami dan istri, sesuai dengan kerelaan istri

diberikan mahar tersebut dan juga memperhatikan kemampuan dari suami. Mahar

bukan dijadikan sebagai harga perempuan, tetapi mahar dijadikan untuk

membahagiakannya, Allah berfirman:

(

/

(

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Q.S: an-Nisaa/4:4).

2. Nafkah.

Nafkah bagi istri-istri dalam poligami sama dengan apa yang menjadi hak

nafkah kepada seorang istri, dalam pemberian nafkah para ulama berpendapat

bahwa harus terdapat adil. Dalam hal belanja harian suami wajib menyamakan di

antara istri-istrinya. Sebagaian ulama berpendapat bahwa selama suami telah

memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan istri, tidak

mesti dalam jumlah yang sama banyak, karena masing-masing telah mendapatkan

apa yang mencukupi bagi kehidupannya.14

14

(35)

Kata nafkah dari kata bahasa Arab nafaqah, secara etimologi mengandung arti

berkurang, juga berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberikan

nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan

atau dipergikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan

perkawinan mengandung arti sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk

kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan

demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami

terhadap istrinya dalam masa perkawinannya. Yang termasuk dalam pengertian

nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan

yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa

sehari-hari disebut sandang, pangan dam papan.15

Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan,

pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri

membutuhkannya bagi kehidupan rumahtangga, tetapi kewajiban yang timbul

dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Dasar kewajiban nafkah

diatur dalam Al-Quran, yaitu:

Ayat Al-Quran yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat

Al-Baqarah:

15

(36)

(

/

(

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.(Q.S: Al-Baqarah/2: 233).

Adapun ayat yang mewajibkan perumahan adalah terdapat surat At-Talaq:

)

(

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Q.S: At-Talaq/65: 6).

Yang menyebabkan wajib memberikan nafkah yaitu adanya ikatan

perkawinan, hubungan kerabat sebagai hak milik. Nafkah yang wajib diberikan

itu dalam bentuk:

a. Makanan atau minuman dan yang sehubungan dengannya.

b. Pakaian yang layak dan memadai.

c. Tempat tinggal yang layak meskipun rumah sewa

d. Perabot dan perlengkap rumahtangga lainnya.16

Kewajiban adil dalam memberikan pakaian untuk istri-istrinya. Dalam

penyedian rumah tempat tinggal suami harus adil. Menyediakan sebuah tempat

16

(37)

tinggal tersendiri bagi setiap istrinya. Suami dibolehkan menempatkan beberapa

orang istri dalam satu rumah, kalau istri-istrinya itu sudah menyepakatinya,

namun tidak boleh menempatkan mereka dalam satu tempat tidur.17

3. Qasm.

Qasm menggilir bergaul di antara istri dengan istri lain, yang menjadi patokan

pada kesempatan bergaul adalah malam hari, karena malam itulah waktu untuk

bergaul antara suami istri menurut biasanya, sedangkan siang hari adalah waktu

untuk mencari nafkah. Dengan demikian secara sederhana qasm itu berarti

bergiliran kesempatan bermalam. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan

ulama tentang wajibnya suami menyamakan qasm diantara istri-istrinya. Dan ini

sesuai dengan hadis Nabi:

(

)

Dari Aisyah RA: adalah Rasulullah SAW melakukan penggiliran diantara kami, kemudian beliau bersabda: Ya Allah, inilah bentuk penggiliran yang dapat aku lakukan, dan janganlah Engkau mencela aku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya. Abu Daud berkata: yang dimaksud tidak mampu melakukannya yaitu hati. (Hadis

17

(38)

diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban).18

Adapun cara penggiliran itu ditetapkan ulama sedemikian rupa, yaitu bila

suami menyediakan rumah untuk masing-masing istrinya dapat mengunjungi

rumah-rumah istrinya itu untuk bermalam secara bergiliran sesuai dengan waktu

yang telah ditetapkan. Qasm itu berlaku untuk setiap saumi meskipun dia tidak

dalam keadaan yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, seperti

sedang sakit atau dalam kondisi impoten dan keadaan lainnya yang tidak mungkin

bergaul dengan istrinya. Alasannya ialah yang menjadi dasar bagi penggiliran itu

adalah bergaul secara baik dalam kehidupan rumahtangga. Demikian pula berlaku

untuk semua istri meskipun istri itu tidak mampu melayani kebutuhan seksual

suaminya, seperti dalam kondisi yang sudah tua atau sakit atau halangan lainnya,

dengan alasan yang sama.19

Suami hanya boleh bermalam dengan istri yang sudah ditentukan gilirannya.

Tidak boleh suami mengunjungi istrinya di luar gilirannya di waktu malam,

kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, sedangkan kunjungan biasa,

seperti singgah atau keperluan lainnya. Dan seorang istri boleh menyerahkan

gilirannya kepada salah seorang di antara madunya bila yang demikian dilakukan

atas dasar kerelaan, dan untuk itu tidak perlu menuntut penggantian waktu yang

18

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, al-Maktabah al-Syamilah; Shahih Muslim, (al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun), Juz. 7, hal. 378.

19

(39)

lain. Demikian pula dalam keadaan tertentu, seperti sakit yang tidak

memungkinkan keluar rumah, suami dapat tinggal di rumah salah seorang istrinya

di luar gilirannya dengan syarat istri-istri yang berhak atas giliran itu memberikan

persetujuan.20

C. Adil Syarat untuk Poligami.

1. Pengertian.

Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang

kompleks dan sukar untuk merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah

tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif dan memiliki unsur

subyektifitas. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka

mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut suatu

masyarakat, juga belum tentu adil bagi masyarakat yang lain. Adil bagi orang

sekarang belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil mengandung banyak arti:

a. Tidak berat sebelah, tidak memihak,

b. Berpihak kepada yang benar,

c. Berpegang kepada kebenaran,

d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.

20

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 180.

21

(40)

Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik

dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak

berbeda sama lain

Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut

Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan

dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas

yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan

bahwa keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan

material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan,

minum, perumahan dan lain-lain. 22

Menurut Quraish Shihab23 secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama,

adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi

tersebut adalah persamaan dalam hak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat

an-Nisaa:

(

)

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

22

Lihat: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigana, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 172.

23

(41)

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S: an-Nisaa/4: 58).

Kata adil dalam ayat ini, bila diartikan “sama”, hanya mencakup sikap dan

perlakuan Hakim pada saat proses pengambilan keputusan, maka ketika itu

persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

Setiap suami wajib melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip

keadilan itu ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara

istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya sebagai

istri, dan memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya.

Karena hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu adalah hubungan

suami istri. Dan atas landasan ini tidak ada perbedaan anatara gadis dan janda,

istri lama atu istri baru, istri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik

ataupun yang buruk.24

Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk pengertian

“seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya

terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan

kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat

bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik dengan

kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak

mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa

24

(42)

saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya

ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Sebagaimana yang terdapat

dalam surat al-Infithar:

(

(

Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S: al-Infithar/82: 6-7).

Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak

individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini

pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak

yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.

Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil ini

berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak mencegah

kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak

kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan

Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya mengandung

konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh

mahluk itu dapat meraihnya.

Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama di atas

(43)

menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang bersifat kuantitatif. Padahal

menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam poligami itu bersifat kaulitatif, seperti

kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak dapat diukur dengan

angka-angka. Maka di sini dibutuhkan sifat adil yang kualitatif bagi setiap istri-istri.

Sifat adil yang kualitatif memang sangatlah susah.

2. Dasar Hukum.

Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil terhadap

semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan poligami,

sebagaiamana dalam surat an-Nisaa, keadilan yang dimaskud adalah keadilan

yang bersifat materialistis yang dapat mengontrol suami yang menjadi

kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam dan

pemberian nafkah hidup.

Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suami berupa kemesraan

hubungan jiwa, dan nafkah berupa pakaian, makanan, tempat tinggal dan

lain-lain. Dalam poligami, hak setiap istri sama saja, karena dalam suasana poligami,

istri-istri sama haknya terhadap kebaikan suami. Adil antara istri-istri itu

hukumnya wajib, berdasarkan Firman Allah SWT menyebutkan dalam surat

(44)

(

/

)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).

Menurut Quraish Shihab, memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa

jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan

kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yatim

itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu. Bahkan

kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai

istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik

dalam hal materi maupun nonmateri, baik lahir maupun batin maka kawinilah

seorang saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu, yakni

menikahi selain perempuan yatim dan mencukupkan satu orang istri, itu lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri

yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia

tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.25

25

(45)

. isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S: an-Nisaa/4:129).

Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat

an-Nisaa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan

kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat

menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung

berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat

dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami.

Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika

keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar

cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang

mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak

hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.26

26

(46)

Allah menurunkan ayat yang mengandung prinsip “kalau kamu khkawatir

akan tidak berlaku adil, maka hendaklah kamu menikah dengan seorang saja”.

Sebenarnya keterangan dalam ayat tersebut telah cukup, tetapi demi

kemaslahatan, al-Quran menjelaskan bagaimana pelaksanaannya, dan diketahui

tentang standar keadilannya yang dituntut dalam ayat itu dan diberi ketentuan dua

pekara:

1. Yang dinilai adalah niat dan amal yang baik, Allah tentu mengetahuinya. Niat yang baik dan dilaksanakan dengan maksud yang baik, dan dibarengi dengan perbuatan yang baik inilah yang dituntut

2. Menurut asalnya keadilan adalah persamaan antara dua yang bersamaan. Keadilan itu menghendaki persamaan antara istri-istri itu, dalam makanan, pakaian, nafkah, tempat tinggal, hubungan dengan suaminya, kasih dan sayangnya. Sehingga setiap istri jangan sampai mendapat lebih banyak dari yang lainnya.27

Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat pertama

bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan mampu

melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan, seperti

menyamakan rumah, nafkah, dan gilliran menginap. Disini adil merupakan suatu

tanggungjawab dan suatu perintah yang harus direalisasikan. Sedangkan pada ayat

kedua yaitu adil yang setiap orang tidak akan sanggup melakukannya yakni adil

yang bersifat maknawi. Ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa dan berada diluar

27

(47)

kemampuan manusia. Karena itu ini bukanlah suatu tanggungjawab dan bukan

suatu taklif.28

Menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan

seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban

bagi orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu

berbuat adil dalam membagi kasih sayang sedang kasih sayang itu adalah

naluriah. Adalah suatu wajar jika suaminya tertarik pada salah seorang istrinya

melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar

batas kontrol manusia.29

D. Prosedur Izin Poligami.

Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke

Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan

campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual

affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan

kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan

Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap

28

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.h), hal. 239-240.

29

(48)

dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan

dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah.30

Poligami di Indonesia, sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan

beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana

yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa

apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib

mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Dan juga pasal 56 ayat 1

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari

satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Adapun tatacara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama diatur sebagai

berikut:

30

(49)

1. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.

2. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Surat permohonan harus memuat:

a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon yaitu istri atau istri-istri.

b. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang

c. Petitum.

4. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan.

5. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa dan ini diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.

6. Pemeriksaan izin poligami dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya dan ini sesuai dengan pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan Hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup sesuai dengan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

7. Upaya perdamaian dapat dilakukan pada sidang pertama pemeriksaan perkara izin poligami dalam usaha hakim untuk mendamaikan dan ini sesuai dengan pasal 130 ayat 1 HIR, dan apabila perdamaian tersebut tercapai, maka perkara tersebut dicabut kembali oleh pemohon.

8. Dalam hal pembuktian, Hakim meriksa mengenai:

a. Ada tidaknya alasan suami yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:

1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau

(50)

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan ataupun tertulis yang harus dinyatakan didepan sidang.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

d. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan:

1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau

2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau

3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

9. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Dan persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:

10.Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau

11.Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun; atau

12.Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengadilan Agama.

13.Jika Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, dengan putusan ini maka suami dan istri dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan banding atau kasasi.

14.Membayar biaya dalam perkara dibebankan kepada pemohon dan ini sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No 7 tahun 1989 tetntang Peradilan Agama.

(51)

42 POLIGAMI

A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami.

1. Pengertian.

Istilah Peradilan dalam bahasa arab adalah “qadha” yang berarti memutuskan,

melaksanakan, dan menyelesaikan. Adapun dalam bahasa Belanda peradilan

diterjemahkan dengan “rechtprack” dan dalam bahasa Inggris dengan

judiciary”. diterjemahkan Peradilan dari suku kata adil yang secara

terminologis diartikan sebagai “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”.1

Peradilan didefinisikan sebagai proses daya upaya dalam mencari keadilan.

Pengadilan secara etimologi adalah badan yang melakukan Peradilan, yaitu

memeriksa dan memutus perkara sengketa hukum dan pelanggaran hukum atau

Undang-Undang.2 Menurut Subekti, Peradilan, Pengadilan, dan mengadili, juga

bisa digunakan dalam istilah kekuasaan kehakiman.3

1

W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. 7, hal. 16

2

R. Subekti dan R. Tjitro Soedibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 88.

3

(52)

Jika kata Peradilan atau Pengadilan disatukan dengan kata agama, maka

pengertian Peradilan Agama adalah: kekuasaan negara dalam memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar

orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun

Pengadilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan

kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu Majlis Hakim

atau Mahkamah.

Peradilan Agama adalah salahsatu di antara tiga Peradilan khusus di

Indonesia. Dua Peradilan lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Kusus karena Peradilan Agama mengadili

perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini,

Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana

dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara

perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.4

2. Asas Peradilan Agama.

Menurut Yahya Harahap di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989

terdapat beberapa asas umum pada lingkungan Peradilan Agama. Asas umum itu

merupakan fundamen dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan

seluruh jiwa dan semangat Undang-Undang itu. Ia dapat dikatakan sebagai

4

Referensi

Dokumen terkait

Berisi penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat. Adapun alasan dari pemohon mengajukan permohonan

Penetapan hakim Pengadilan Agama Pasuruan di dalam pengabulan permohonan izin poligami pasangan tuna netra dalam putusan perkara nomor 0914/Pdt.G/2016/PA.Pas mengandung

DALAM MENETAPKAN PERKARA PENOLAKAN ISBAT NIKAH POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA BANGKALAN.. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penolakan

A.. peradilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui aturan tersebut, hakim juga terikat dengan kebutuhan untuk

1) Mediator adalah Hakim atau pihak yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perudingan guna mencari berbagai

Hakim mempunyai tugas pokok dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana pada Pengadilan Agama

Dengan demikian dari fakta-fakta hukum tersebut, Majelis Hakim dapat mengambil Kesimpulan tentang Hasil Pembuktian yaitu terbukti telah terjadi peristiwa Perbuatan

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang dinilai sudah tepat tentang putusan perkara a