Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD SUFIYAN 107044202484
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
Oleh:
Ahmad Sufiyan 107044202484
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing:
Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. 196911211994031001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah mencantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Mei 2011
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Asy-
Syakhshiyyah.
Jakarta, Juni 2011
Dekan;
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Hj. Rosdiana M.A
NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MA.
NIP. 196911211994031001
4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag.
NIP. 197102151997032002
5. Penguji II : Drs.Djawahir Hejazziey, SH, MA.
i
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puja serta puji syukur dipanjatkan kepada
Allah SWT, Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak
hati manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada
uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada
umatnya bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya,
sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang
sunnahnya sampai hari pembalasan.
Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Program Studi
Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat
bantuan dan sumbangan motivasi dari bebagai pihak, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta: Prof. Dr. H. Muhammad
Amin Suma, SH, MA, MM.
2. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah
Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA,
dan Hj. Rosdiana MA yang selalu memberikan bimbingan, motivasi kepada
ii
arahan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Dosen Penasehat
Akademik: Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag yang memberikan arahan
dalam pemberian judul skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
banyak memberikan ilmunya serta berbagai kemudahan.
5. Kepala dan seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan
Hukum UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan
yang menjadi referensi dalam penulisan ini.
6. Hakim Pengadilan Jakarta Timur: Bapak Drs. H. Nemin Aminuddin M.H
yang telah membantu penulis dalam wawancara, Panitera Muda Hukum
Pengadilan Agama Jakarta Timur: Bapak Fahrurozi selaku, dan juga Bapak
Hisni Mubarak pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sangat
membantu penulis dalam memperoleh data-data yang penulis buuthkan.
7. Ayahanda H. Abdul Hadi Zaini dan Ibunda Hj. Nurfiah, yang selama ini
selalu menjaga, merawat, mendidik, mendorong serta membimbing dalam
penulisan skripsi ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
8. Saudara-saudara, ka Ria dan suami, ka Zizah dan Suami, ka Rohma dan
suami, ka Ida dan suami, bang Zaki, Azmi dan seluruh Keluarga Besar Bani
Nashir yang penulis cintai, mereka juga selalu memotivasi dan mendoakan
iii
Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah-mudahan semua
yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT, semoga skripsi ini
bermanfaat. Amiin.
Jakarta, Juni 2011 M
Rajab 1432 H
iv
KATA PENGANTAR.………..…………...………….……….…….i
DAFTAR ISI…………..………...………..………iv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…….…..…….………1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..…….……7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….9
D. Metode Penelitian……….…..10
E. Review Studi Terdahulu……….12
F. Sistematika Penulis……….……12
BAB II : KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI A. Poligami dalam Islam...14
B. Hak Istri-Istri dalam Poligami...24
C. Adil Syarat untuk Poligami...30
D. Prosedur Izin Poligami...38
BAB III : HAKIM PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PEJABAT PEMBERI IZIN POLIGAMI A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami...42
v
BAB IV : PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA
TIMUR TENTANG KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI
A. Konsep Adil Sebagai Syarat Izin Poligami Menurut
Hakim……….76
B. Alasan Hakim dalam Memberi Izin Poligami………78
C. Analisis Penulis...………...79
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan...……….…....87
B. Saran-Saran...……….…....89
DAFTAR PUSTAKA...……….…...90
LAMPIRAN :
A. Surat Permohonan Wawancara
B. Surat Telah Wawancara
C. Pedoman Wawancara
D. Hasil Wawancara
1 A. Latar Belakang.
Sebuah dambaan dan keinginan besar bagi ikatan hasil perkawinan yang sah
antara pria dan wanita menjadi sebuah bentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah, dan ingin juga membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Memiliki
keturunan yang dapat membahagiakan, rezeki yang mencukupi, dan kebaikan
keluarga lainnya. Untuk mewujudkan tersebut, Allah sebagai pencipta antara pria dan
wanita, membuat sebuah aturan yang mengikat bagi keduanya yang akan
mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena pada
hakikatnya aturan Allah sejalan dengan fitrah dan bentuk ciptaannya sesuai dengan
kenyataan yang senantiasa berubah dalam segala ruang, situasi, dan kondisi.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumahtangga. Dalam Islam,
rumahtangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama
dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala persoalan kehidupan
manusia timbul. Merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan
manusia diatas bumi melalui suatu keluarga. Salah satu perhatian Islam terhadap
keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana.
Andaikata aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan
Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi
juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitar.1
Allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa, atau
sesuatu yang menarik kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun kemaslahatan
khusus. Allah tidak akan melarang sesuatu yang merupakan kebutuhan alamiah
manusia dengan suatu yang akan memberikan kesempurnaan ahlak. Islam sebagai
agama yang diturunkan dari sisi Allah, tentu tidak akan melarang suatu yang akan
merugikan wanita, keluarga dan masyarakat. Justru Islam ingin melindungi kaum
wanita, keluarga, masyarakat dari segala keburukan dan ketersia-siaan.2
Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur
serta membatasi keburukan dan madharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang
melakukan poligami. Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum
datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika
poligami itu merupakan sistem yang sangat kuat didalam kehidupan masyarakat Arab
yang merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka.3
Hak poligami dapat diberikan kepada suami yang sanggup melaksanakannya,
karena jika tidak, hal tersebut akan membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi
1
Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1, hal. 6
2
Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, hal. 57
3
kaum wanita. Syarat poligami pada dasarnya sama dengan monogami tapi yang
paling utama adalah:
1. Sanggup memberi nafkah, bagi seorang suami diwajibkan oleh syara’ baginya
untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang meliputi
sandang, pangan, dan papan, walaupun itu dapat dipikul bersama-sama
dengan istri.
2. Sanggup memberi nafkah batin, syarat bolehnya nikah dan poligami adalah
masih mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh
poligami, karena itu dapat berakibat buruk bagi wanita yang dinikahi.4
3. Mampu berbuat adil, maka bagi seorang suami yang ingin berpoligami harus
memperlakukan semua istri dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama
dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila
ia merasa bahwa tidak mampu memperlakukan dengan adil, maka dia harus
menahan dirinya untuk menikah dengan hanya satu orang istri.5
Akibat poligami, terkadang akan menimbulkan kecemburuan antar wanita yang
dinikahi, karena ditimbulkan dari perasaan sakit istri pertama dan menimbulkan
harapan istri yang baru. Kecemburuan itu mungkin akan berkurang bila ada ketegasan
seorang suami untuk bersikap adil antara istri-istrinya. Karena sikap adil akan
membuat istri-istri akan merasa puas terhadap perlakuan suami kepada mereka,
4
Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Bekasi, Pustaka Al-Riyadl, 2004), hal. 45.
5
namun apabila suami tidak adil terhadap istri-istrinya akan berakibat kecemburuan
antara mereka yang berakbitkan pertengkaran antar keduanya. Maka tidak berlebihan
bahwa adil itu sangat penting sebagai syarat dalam poligami.
Bagi seorang laki-laki yang ingin berpoligami, maka dia harus mengikatkan pada
dirinya pada hukum yang lain. Kita ketahui bahwa hukum poligami itu adalah mubah,
dan kemubahan tersebut ada kewajiban yang harus diyakinan pada diri hati suami
sebelum menginginkan poligami dan melaksanakannya setelah melakukannya.
Adapun kewajiban itu adalah sikap adil antar istri-istrinya. Maka apabila seorang
suami tidak berlaku adil, maka itu menandakan ketidakberesan dari suami itu sendiri
dan itu timbul karena salah pada prakteknya bukan konsep poligami itu sendiri.
Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka akan muncul kerusakan hukum
syariat ketika diambil secara parsial (tidak utuh) tanpa memperhatikan kondisi secara
menyeluruh, dan orang yang mengambil hukum dari Allah, maka dia harus
mengambil ketentuan dari Allah secara menyeluruh6
Islam datang untuk mensyaratkan poligami dengan adil, Islam membatasi
poligami dan tidak membiarkannya mengikuti keinginan laki-laki. Menurut Imam
Jarir ath-Thabari tentang ayat ketiga surat an-Nisa bahwa apabila takut tidak berlaku
adil terhadap dua, tiga, empat orang, kemudian kalian hanya menikahi seorang saja
atau cukup dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki, maka itu lebih dekat
untuk tidak berbuat zhalim dan berat sebelah. Bahkan dengan demikian kewajiban
6
nafkah akan lebih ringan, satu orang istri akan membutuhkan nafkah lebih sedikit
dibanding dua, tiga, atau empat orang istri.7
Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat an-Nisa,
bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya.
Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan
keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah
tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika
tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah
memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak
akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai
dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak
pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas
perlakuannya.8
Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke
Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan
campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual
affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan
kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan
Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap
7
Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo: Darul Ma’arif, t.th), jilid. 7, hal. 531.
8
dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan
dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.9
Dalam Islam, bahwa suami yang akan berpoligami tidak perlu mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama tapi cukup dengan suami tersebut mampu berbuat adil kepada
istri-istrinya. Namun, melihat demi kemaslahatan pihak suami dan istri maka
poligami perlu mandapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di Pengadilan Agama,
terdapat ketentuan bahwa apabila suami akan mengajukan izin poligami terdapat
persyaratan, yaitu harus adil terhadap istri-istrinya, sesuai dengan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia mengatur bahwa Hakim dapat memberi izin
dengan syarat yang salah satunya adalah mampu berbuat adil antara istri-istrinya.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975, menyatakan bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari satu harus
mendapatkan izin dari Pengadilan. Untuk mendapatkan izin tersebut, harus melalui
proses Pengadilan dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
hukum positif. Memperhatikan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pada pasal 5 (1) huruf c dinyatakan bahwa: “adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”. Pada pasal 40
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa “apabila seorang suami
bermaskud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada pengadilan”.
9
Bila dilihat secara tekstual dari Undang-Undang diatas jelas bahwa suami harus
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, namun sayangnya pada
Undang-Undang ini tidak ada penjelasan secara lengkap tentang apa yang dimaskud
dengan adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dalam mengajukan
permohonan suami ke Pengadilan Agama, diatur secara tertulis ke Pengadilan, maka
Hakim Pengadilan yang akan memeriksa permohonan. Dengan melihat ini, penulis
amat tertarik untuk mengangkat sebuah tema dengan judul “Adil Sebagai Syarat
Izin Poligami (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur) ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
1. Pembatasan Masalah.
Adil dalam poligami menurut Hukum Islam memang adalah sebuah syarat
yang harus dipenuhi bagi suami yang akan berpoligami. Adapun prosedur
berpoligami di Indonesia harus menyerahkan permohonan kepada Pengadilan.
Dan dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama, maka hakimlah yang akan
memeriksa permohonan tersebut. Karena penulis menyadari pembahasan pada
skripsi ini sangat luas, maka untuk membatasi tersebut penulis membatasi
masalah dalam skripsi ini, yaitu:
a. Pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang adil dalam
b. Mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam
pasal 5 ayat 1 point c Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Perumusan Masalah.
Lelaki yang ingin berpoligami akan menemukan kesulitan untuk berbuat adil
terhadap istri-istrinya, karena itu adalah sifat naluriah manusia akan bersifat lebih
tertarik pada salah seorang istrinya yang lain. Karena terdapat kesulitan tersebut,
maka suami harus dapat menyakinkan dan membuktikan bahwa dirinya dapat berlaku
adil dalam masa poligaminya didepan Hakim Pengadilan Agama. Maka dalam hal ini
Hakim sangat berperan sebagai pejabat yang dapat memberikan izin poligami.
Namun, dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawainan yang mengharuskan suami berlaku adil terhadap istri-istri, belum
disebutkan secara jelas dalam mengartikan kata adil. Maka untuk merumuskan
masalah diatas, penulis menyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
a. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam
mengartikan adil sebagai syarat poligami?
b. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur memperoleh keyakinan
c. Apa yang menjadi tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Secara garis umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan
peringatan bahwa begitu pentingnya sikap adil dalam berpoligami, sebagai upaya
untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah dan
rahmah. Dan untuk pengkhususannya, maka tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk:
a. Mengetahui konsep adil menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
sebagai syarat berpoligami.
b. Mengetahui keyakinan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam
memberikan izin bagi pemohon untuk berpoligami.
c. Mengetahui tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Sudah menjadi keinginan penulis, bahwa penelitian ini dapat memajukan dan
mengembangkan Ilmu Pengetahuan Islam lebih dalam lagi, terutama dalam
bidang kekeluargaan yang terdapat banyak masalah di masyarakat.
D. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan jenis penelitian
kualitatif yang difokuskan kepada pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Timur mengenai adil yang menjadi syarat untuk izin poligami, dan menghasilkan
data deskriptif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan.
2. Pengumpulan Data.
a. Data primer yakni, data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun metode yang dipakai adalah
metode penelitian lapangan (field research) yaitu, suatu teknik pengumpulan
data dimana penulis langsung melakukan ke lapangan untuk memperoleh data
yang jelas (obyektif). Adapun instrumen pengumpulan data tersebut adalah:
1) Wawancara, yaitu melakukan interview kepada pihak yang diangaap
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak lain yang dapat
memberikan informasi pada penelitian ini.
2) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan
dengan cara mencatat, merangkum data yang ada di lokasi penelitian.
b. Data skunder, yaitu data yang diambil dari pustaka yang dapat menunjang
data primer dengan menggunakan metode (library research) yaitu suatu
teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan kunjungan ke
perpustakaan untuk mendapatkan sumber tertulis lainnya yang ada
hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas.
3. Analisa Data.
Dalam penganalisaan data menggunakan data deskriptif analitis yaitu teknik
analisa di mana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di
lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis
yang didapat dari perpustakaan.
Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang
diatur dalam buku Pedoman Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, Desertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan pengecualian ayat-ayat Al-Quran dan sekaligus
E. Review Studi Terdahulu.
Chuzaimah, Esensi Keadilan dalam Poligami (Tinjauan Hukum Islam),. Pada
skripsi ini menerangkan esensi keadilan menurut tinjauan Hukum Islam, dan jenis
penelitiannya adalah normatif sehingga tidak mengetahui bagaimana realitas yang
terjadi di masyarakat. Untuk membedakan, maka pada skripsi ini penulis akan
memaparkan realita akan pemahaman Hakim tentang adil dalam poligami yang ada
pada Pengadilan Agama tentang keadilan sebagai syarat poligami.
Heli Nurhalimah, Analisis Putusan Sidang Uji Materil Poligami dalam UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. (Studi Kasus di Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia). Dalam skripsi ini, penulis menganalisa putusan hakim Mahkamah
Konstitusi dalam sidang uji materil poligami. Adapun penulis dalam skripsi ini
menggambarkan sebuah konsep adil sebagai syarat poligami yang tidak di bahas pada
skripsi Heli Nurhalimah.
Tajun Nasroh Qurti, Esensi dan Eksitensi UU No. 1 tahun 1974 terhadap
Poligami. (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rumpin Kabupaten
Bogor). Pada skripsi ini penulis menggambarkan kenyataan poligami yang terjadi
pada masyarakat Rumpin yang melakukan poligami. Adapun penulis memfokuskan
pada dasar Hakim yang memberikan izin untuk poligami dalam memahami konsep
F. Sistematika Penulisan.
Bab kesatu :Pada bab ini, berisi latar belakang dari penulisan
skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teori, studi review.
Bab kedua :Pada bab ini, berisi poligami dalam Hukum Islam, persyaratan
dalam poligami, adil syarat untuk poligami, prosedur izin poligami di Pengadilan
Agama.
Bab ketiga :Pada bab ini, berisi Pengadilan Agama sebagai lembaga pemberi
izin poligami, hakim sebagai pejabat pemberi izin poligami, proses pengambilan
keputusan Hakim Peradilan Agama.
Bab keempat :Pada bab ini, konsep adil sebagai syarat poligami menurut Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur, alasan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur
dalam memberi izin poligami.
Bab kelima :Pada bab ini, berisi kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan
14 BAB II
KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI
A. Poligami dalam Islam.
1. Pengertian.
Poligami merupakan gabungan kata poly atau polus yang berarti banyak, dan
kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga apabila
kedua kata tersebut digabungkan maka akan berarti yang banyak atau dengan kata
lain poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa istri dalam waktu bersamaan dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak
terbatas.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian
poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.2
Term poligami ini sebenarnya punya makna umum, yaitu memiliki dua orang
atau lebih istri dalam waktu bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk
1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999), cet. 6 jil. 4 hal. 107.
2
perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya
memiliki satu orang istri.3
Dan dalam kitab-kitab fikih, para ulama menulisnya dengan “ta’addud al
-zaujat” yang bila diartikan “ta’adud” adalah bilangan dan “zaujat” adalah kata
jamak dari istri. Maka apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi arti
perkawinan yang mempunyai lebih dari seorang istri.
2. Dasar Hukum.
Tentang hukum poligami, para ulama melihat dalil al-Qur’an surat an-Nisaa:
(
/
)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).
Menurut jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut
mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui
3
dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti “kuluu
wasyrabuu”.4
Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa poligami tidaklah wajib atau sunah, tetapi
makruh. Dan bagi laki-laki yang tak mampu dalam ekonomi dan berbuat adil,
hukumnya menjadi haram. Dengan pertimbangan sosial dan individu, dalam
Islam poligami boleh (mubah).5
Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat
dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah
laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan, dan ini beraspek sosial
spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkannya
dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids, atau untuk kepentingan
dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit,
suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki lebih
besar daripada perempuan.6
Menurut Muhammmad Abduh berpendapat bahwa asas pernikahan dalam
Islam adalah monogami bukan poligami. Poligami diaharamkan karena
4
Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur’an, jus. 1, hal 192.
5
Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Muhammad Hafiz, Pelaksanaan Poligami di Indonesia dalam Pandangan Muhammad Shahrour, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum), hal. 26.
6
menimbulkan dharar seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya
dibolehkan dalam kondisi darurat saja.7
Poligami menurut Sayyid Qutub adalah rukhsah, ini sesuai dengan realitas
fitrah dan kehidupan dan menjaga masyarakat dari kecendrungan untuk lepas
kendali atau hidup dalam kejenuhan. Ikatan atau syarat ini akan melindungi suami
istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan
kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena
tiadanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam
menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital. Apabila ada seseorang melakukan
penyimpangn di dalam menggunakan rukhsah ini dengan menjadikannya sebagai
kesempatan untuk menjadikan kehidupan suami dan istri sebagai panggung
kesenangan hidup dengan berpindah-pindah dari istri kepada istri yang lain
sebagaimana halnya orang yang berganti-ganti kekasih, maka bentuk poligami
dengan motivasi seperti ini sama sekali bukan dari ajaran Islam, bahkan tidak
mengimplementsikan ajaran Islam.8
Menurut Rasyid Ridha mengatakan sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi9
sebagai berikut:
7
Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, jus 4 hal 346.
8
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilail Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992). Hal 118.
9
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat
daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak
cemburu, iri hati,dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul
dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligimis.
Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga, baik konflik antara suami dengan istri dan anak-anak dari
istri-istrinya, maupun konflik antar istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena
itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan
monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka
mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan
kehidupan keluarga yang poligimis, orang akan mudah peka dan terangsang
timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki, dan suka mengeluh dalam kadar
tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula
membahayakan keutuhan keluarga.
Menurut Quraish Shihab10 poligami sama sekali bukan sunnah. Anggapan
bahwa poligami itu sunnah berakar dari kekeliruan dalam memahamai ayat dan
sunnah Nabi, dengan alasan yaitu:
Surat an-Nisaa ayat 3 sama sekali bukan anjuran apalagi perintah poligami.
Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu
10
kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa saja yang sangat membutuhkan dan
dengan syarat yang tidak ringan.
Berkaitan dengan kata amar yang terdapat dalam ayat ini, semua ahli hukum
sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an menunjukkan kewajiban,
sebaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Kata perintah dalam
al-Qur’an ada yang menunjukkan wajib, seperti perintah mendirikan salat, sunnah
seperti perintah untuk tahajud, dan mubah seperti perintah makan dan minum.
Dalam kaitannya dengan ayat ini, kata “nikahilah” menunjukkan hukum boleh
tapi itupun dengan syarat yang berat.
Walaupun Nabi dalam delapan tahun terakhir hidupnya berpoligami, tidak
lantas bisa dikatakan bahwa poligami itu sunnah Nabi, menurut Quraish Shihab
“tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak
semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi
umatnya. Bukanlah Rasul SAW antara lain wajib bangun salat malam dan tidak
boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur”.
3. Syarat-Syarat.
a. Jumlah Istri dalam Poligami.
Poligami tidak dibenarkan lebih dari empat istri. Batas kuantitatif ini
menjadi syarat sahnya nikah. Barang siapa mengawini wanita untuk
perkawinannya dipandang tidak sah dan mesti difasakh. Dalam poligami
juga tidak boleh mengumpulkan antara saudara perempuan dan bibi istri
dalam satu pernikahan.
Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi’in dan
Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan
adalah empat. Begitu pula dengan pandapat Imam Malik. Dan pendapat
tersebut juga dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, Ibnu Majah
dalam Sunan-nya, dan hampir ulama klasik. Adapula yang mengatakan
bahwa poligami boleh dilakukan sampai sembilan orang, yaitu pendapat
dari Mazhab Syiah. Sementara Zhahiriah berpendapat boleh sampai
delapan belas.
Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa
wa ruba’” dalam ayat 3 surat an-Nisaa. Menurut mazhab Syiah, kalimat
“matsna wa tsulatsa wa ruba’” menunjukkan penjumlahan, sehingga jiga
ditambahkan, maka hasilnya adalah sembilan. Sedangkan bagi kelompok
Zhahiri, delapan belas karena kata “wau” dalam kalimat tersebut berarti
“dikali” sehingga dua kali dua kali tiga kali empat. Dan menurut jumhur
“au” yang artinya “atau”.11
Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya
yaitu hadis Nabi:
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah
ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia mempunyai 10 istri dan lalu
Nabi bersabda:
(
)
b. Dapat Berlaku Adil.
Poligami dapat dilakukan dengan catatan berlaku adil. Batasan ini
tidak menjadi syarat sahnya perkawinan. Barang siapa mengawini wanita
sebagai istri kedua, ketiga, keempat, sedang ia khawatir untuk berbuat
zalim, maka perkawinannya tetap dipandang sah. Hanya ia berdosa jika
benar-benar berbuat zalim.
Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua
hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup
memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi
istri untuk keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya
dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk ketiganya. Dengan ini
sesuai dengan hadis Nabi:
11
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: Jami’ Baina Fanniy
(
)
Dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring. (Hadis diriwaytkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi. An-Nasaai, dan Ibnu Hibban).12
Keadilan mutlak persoalan cinta memang tidak akan dapat diwujudkan
oleh manusia manapun. Prof. Dr. M. Quraish Sihab membagi pengertian
cinta atau suka menjadi dua bagian, yakni suka yang lahir atas dorongan
perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat pahit tidak disukai
siapapun, ini berdasarkan perasaan setiap obat yang sama akan disukai
atau dicari dan diminum karena akal sisakit mendorongnya menyukai obat
itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang
dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah
keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan. Sedangkan suka
yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan
istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima segala
kekurangan-kekurangannya, memandang segala aspek yang ada padanya, bukan hanya
aspek keburukannya atau kebaikannya saja. Ini yang dimaksud dengan
12
cenderung atau condong kepada yang kamu cintai dan jangan juga terlalu
cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai. 13
c. Izin di Pengadilan Agama.
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
ditentukan bahwa suami yang akan berpooligami harus mendapatkan izin
dari istrinya dan memberikan jaminan keadilan dalam rumah tangga,
sebagaimana dalam pasal 3 ayat 2: “Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” dan pasal 4 ayat 1
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”.
4. Alasan-Alasan.
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang
suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin
ini sesuai dengan pasal 57 Kompilasi Hukum Islam:
13
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas dapat
dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan,
yaitu membentuk rumahtangga yang bahagia dan kekal atau sakinah mawaddah
dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang
disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumahtangga
tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia.
B. Hak Istri-Istri dalam Poligami.
1. Mahar.
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau
yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Utamanya adalah pemberian
kepada seorang wanita walaupun sebagian darinya atau sedikit daripada
meninggalkannya dalam suatu akad. Hal ini tidak membatalkan keabsahannya.
Yang terpenting adalah sesuatu yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita.
perempuan, dan permulaan keterikatan yang baik antara keduanya, yang
berasaskan kecintaan dan kerelaan serta hubungan yang baik.
Islam tidak membatasi jumlah mahar yang akan diberikan kepada istri. Hal ini
merupakan atas kesepakatan antara suami dan istri, sesuai dengan kerelaan istri
diberikan mahar tersebut dan juga memperhatikan kemampuan dari suami. Mahar
bukan dijadikan sebagai harga perempuan, tetapi mahar dijadikan untuk
membahagiakannya, Allah berfirman:
…
(
/
(
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Q.S: an-Nisaa/4:4).
2. Nafkah.
Nafkah bagi istri-istri dalam poligami sama dengan apa yang menjadi hak
nafkah kepada seorang istri, dalam pemberian nafkah para ulama berpendapat
bahwa harus terdapat adil. Dalam hal belanja harian suami wajib menyamakan di
antara istri-istrinya. Sebagaian ulama berpendapat bahwa selama suami telah
memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan istri, tidak
mesti dalam jumlah yang sama banyak, karena masing-masing telah mendapatkan
apa yang mencukupi bagi kehidupannya.14
14
Kata nafkah dari kata bahasa Arab nafaqah, secara etimologi mengandung arti
berkurang, juga berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberikan
nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan
atau dipergikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan
perkawinan mengandung arti sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk
kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan
demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami
terhadap istrinya dalam masa perkawinannya. Yang termasuk dalam pengertian
nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan
yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa
sehari-hari disebut sandang, pangan dam papan.15
Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan,
pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri
membutuhkannya bagi kehidupan rumahtangga, tetapi kewajiban yang timbul
dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Dasar kewajiban nafkah
diatur dalam Al-Quran, yaitu:
Ayat Al-Quran yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat
Al-Baqarah:
15
(
/
(
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.(Q.S: Al-Baqarah/2: 233).
Adapun ayat yang mewajibkan perumahan adalah terdapat surat At-Talaq:
)
(
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Q.S: At-Talaq/65: 6).
Yang menyebabkan wajib memberikan nafkah yaitu adanya ikatan
perkawinan, hubungan kerabat sebagai hak milik. Nafkah yang wajib diberikan
itu dalam bentuk:
a. Makanan atau minuman dan yang sehubungan dengannya.
b. Pakaian yang layak dan memadai.
c. Tempat tinggal yang layak meskipun rumah sewa
d. Perabot dan perlengkap rumahtangga lainnya.16
Kewajiban adil dalam memberikan pakaian untuk istri-istrinya. Dalam
penyedian rumah tempat tinggal suami harus adil. Menyediakan sebuah tempat
16
tinggal tersendiri bagi setiap istrinya. Suami dibolehkan menempatkan beberapa
orang istri dalam satu rumah, kalau istri-istrinya itu sudah menyepakatinya,
namun tidak boleh menempatkan mereka dalam satu tempat tidur.17
3. Qasm.
Qasm menggilir bergaul di antara istri dengan istri lain, yang menjadi patokan
pada kesempatan bergaul adalah malam hari, karena malam itulah waktu untuk
bergaul antara suami istri menurut biasanya, sedangkan siang hari adalah waktu
untuk mencari nafkah. Dengan demikian secara sederhana qasm itu berarti
bergiliran kesempatan bermalam. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama tentang wajibnya suami menyamakan qasm diantara istri-istrinya. Dan ini
sesuai dengan hadis Nabi:
(
)
Dari Aisyah RA: adalah Rasulullah SAW melakukan penggiliran diantara kami, kemudian beliau bersabda: Ya Allah, inilah bentuk penggiliran yang dapat aku lakukan, dan janganlah Engkau mencela aku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya. Abu Daud berkata: yang dimaksud tidak mampu melakukannya yaitu hati. (Hadis
17
diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban).18
Adapun cara penggiliran itu ditetapkan ulama sedemikian rupa, yaitu bila
suami menyediakan rumah untuk masing-masing istrinya dapat mengunjungi
rumah-rumah istrinya itu untuk bermalam secara bergiliran sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan. Qasm itu berlaku untuk setiap saumi meskipun dia tidak
dalam keadaan yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, seperti
sedang sakit atau dalam kondisi impoten dan keadaan lainnya yang tidak mungkin
bergaul dengan istrinya. Alasannya ialah yang menjadi dasar bagi penggiliran itu
adalah bergaul secara baik dalam kehidupan rumahtangga. Demikian pula berlaku
untuk semua istri meskipun istri itu tidak mampu melayani kebutuhan seksual
suaminya, seperti dalam kondisi yang sudah tua atau sakit atau halangan lainnya,
dengan alasan yang sama.19
Suami hanya boleh bermalam dengan istri yang sudah ditentukan gilirannya.
Tidak boleh suami mengunjungi istrinya di luar gilirannya di waktu malam,
kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, sedangkan kunjungan biasa,
seperti singgah atau keperluan lainnya. Dan seorang istri boleh menyerahkan
gilirannya kepada salah seorang di antara madunya bila yang demikian dilakukan
atas dasar kerelaan, dan untuk itu tidak perlu menuntut penggantian waktu yang
18
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, al-Maktabah al-Syamilah; Shahih Muslim, (al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun), Juz. 7, hal. 378.
19
lain. Demikian pula dalam keadaan tertentu, seperti sakit yang tidak
memungkinkan keluar rumah, suami dapat tinggal di rumah salah seorang istrinya
di luar gilirannya dengan syarat istri-istri yang berhak atas giliran itu memberikan
persetujuan.20
C. Adil Syarat untuk Poligami.
1. Pengertian.
Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang
kompleks dan sukar untuk merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah
tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif dan memiliki unsur
subyektifitas. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka
mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut suatu
masyarakat, juga belum tentu adil bagi masyarakat yang lain. Adil bagi orang
sekarang belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang.21
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil mengandung banyak arti:
a. Tidak berat sebelah, tidak memihak,
b. Berpihak kepada yang benar,
c. Berpegang kepada kebenaran,
d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 180.
21
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik
dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak
berbeda sama lain
Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut
Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan
dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas
yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan
bahwa keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan
material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan,
minum, perumahan dan lain-lain. 22
Menurut Quraish Shihab23 secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama,
adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi
tersebut adalah persamaan dalam hak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat
an-Nisaa:
(
)
Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
22
Lihat: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigana, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 172.
23
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S: an-Nisaa/4: 58).
Kata adil dalam ayat ini, bila diartikan “sama”, hanya mencakup sikap dan
perlakuan Hakim pada saat proses pengambilan keputusan, maka ketika itu
persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.
Setiap suami wajib melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip
keadilan itu ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara
istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya sebagai
istri, dan memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya.
Karena hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu adalah hubungan
suami istri. Dan atas landasan ini tidak ada perbedaan anatara gadis dan janda,
istri lama atu istri baru, istri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik
ataupun yang buruk.24
Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk pengertian
“seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan
kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat
bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik dengan
kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa
24
saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya
ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Infithar:
(
(
Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S: al-Infithar/82: 6-7).
Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini
pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak
yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.
Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil ini
berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan
Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya mengandung
konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh
mahluk itu dapat meraihnya.
Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama di atas
menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang bersifat kuantitatif. Padahal
menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam poligami itu bersifat kaulitatif, seperti
kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak dapat diukur dengan
angka-angka. Maka di sini dibutuhkan sifat adil yang kualitatif bagi setiap istri-istri.
Sifat adil yang kualitatif memang sangatlah susah.
2. Dasar Hukum.
Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil terhadap
semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan poligami,
sebagaiamana dalam surat an-Nisaa, keadilan yang dimaskud adalah keadilan
yang bersifat materialistis yang dapat mengontrol suami yang menjadi
kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam dan
pemberian nafkah hidup.
Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suami berupa kemesraan
hubungan jiwa, dan nafkah berupa pakaian, makanan, tempat tinggal dan
lain-lain. Dalam poligami, hak setiap istri sama saja, karena dalam suasana poligami,
istri-istri sama haknya terhadap kebaikan suami. Adil antara istri-istri itu
hukumnya wajib, berdasarkan Firman Allah SWT menyebutkan dalam surat
(
/
)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).
Menurut Quraish Shihab, memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa
jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan
kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yatim
itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu. Bahkan
kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai
istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik
dalam hal materi maupun nonmateri, baik lahir maupun batin maka kawinilah
seorang saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu, yakni
menikahi selain perempuan yatim dan mencukupkan satu orang istri, itu lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri
yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia
tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.25
25
. isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S: an-Nisaa/4:129).
Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat
an-Nisaa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan
kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat
menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung
berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat
dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami.
Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika
keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar
cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang
mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak
hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.26
26
Allah menurunkan ayat yang mengandung prinsip “kalau kamu khkawatir
akan tidak berlaku adil, maka hendaklah kamu menikah dengan seorang saja”.
Sebenarnya keterangan dalam ayat tersebut telah cukup, tetapi demi
kemaslahatan, al-Quran menjelaskan bagaimana pelaksanaannya, dan diketahui
tentang standar keadilannya yang dituntut dalam ayat itu dan diberi ketentuan dua
pekara:
1. Yang dinilai adalah niat dan amal yang baik, Allah tentu mengetahuinya. Niat yang baik dan dilaksanakan dengan maksud yang baik, dan dibarengi dengan perbuatan yang baik inilah yang dituntut
2. Menurut asalnya keadilan adalah persamaan antara dua yang bersamaan. Keadilan itu menghendaki persamaan antara istri-istri itu, dalam makanan, pakaian, nafkah, tempat tinggal, hubungan dengan suaminya, kasih dan sayangnya. Sehingga setiap istri jangan sampai mendapat lebih banyak dari yang lainnya.27
Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat pertama
bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan mampu
melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan, seperti
menyamakan rumah, nafkah, dan gilliran menginap. Disini adil merupakan suatu
tanggungjawab dan suatu perintah yang harus direalisasikan. Sedangkan pada ayat
kedua yaitu adil yang setiap orang tidak akan sanggup melakukannya yakni adil
yang bersifat maknawi. Ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa dan berada diluar
27
kemampuan manusia. Karena itu ini bukanlah suatu tanggungjawab dan bukan
suatu taklif.28
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan
seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban
bagi orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu
berbuat adil dalam membagi kasih sayang sedang kasih sayang itu adalah
naluriah. Adalah suatu wajar jika suaminya tertarik pada salah seorang istrinya
melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar
batas kontrol manusia.29
D. Prosedur Izin Poligami.
Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke
Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan
campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual
affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan
kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan
Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap
28
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.h), hal. 239-240.
29
dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan
dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah.30
Poligami di Indonesia, sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa
apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Dan juga pasal 56 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari
satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
Adapun tatacara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama diatur sebagai
berikut:
30
1. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
2. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Surat permohonan harus memuat:
a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon yaitu istri atau istri-istri.
b. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang
c. Petitum.
4. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan.
5. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa dan ini diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.
6. Pemeriksaan izin poligami dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya dan ini sesuai dengan pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan Hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup sesuai dengan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
7. Upaya perdamaian dapat dilakukan pada sidang pertama pemeriksaan perkara izin poligami dalam usaha hakim untuk mendamaikan dan ini sesuai dengan pasal 130 ayat 1 HIR, dan apabila perdamaian tersebut tercapai, maka perkara tersebut dicabut kembali oleh pemohon.
8. Dalam hal pembuktian, Hakim meriksa mengenai:
a. Ada tidaknya alasan suami yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:
1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan ataupun tertulis yang harus dinyatakan didepan sidang.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
d. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan:
1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau
3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
9. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Dan persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:
10.Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau
11.Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun; atau
12.Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengadilan Agama.
13.Jika Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, dengan putusan ini maka suami dan istri dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan banding atau kasasi.
14.Membayar biaya dalam perkara dibebankan kepada pemohon dan ini sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No 7 tahun 1989 tetntang Peradilan Agama.
42 POLIGAMI
A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami.
1. Pengertian.
Istilah Peradilan dalam bahasa arab adalah “qadha” yang berarti memutuskan,
melaksanakan, dan menyelesaikan. Adapun dalam bahasa Belanda peradilan
diterjemahkan dengan “rechtprack” dan dalam bahasa Inggris dengan
“judiciary”. diterjemahkan Peradilan dari suku kata adil yang secara
terminologis diartikan sebagai “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”.1
Peradilan didefinisikan sebagai proses daya upaya dalam mencari keadilan.
Pengadilan secara etimologi adalah badan yang melakukan Peradilan, yaitu
memeriksa dan memutus perkara sengketa hukum dan pelanggaran hukum atau
Undang-Undang.2 Menurut Subekti, Peradilan, Pengadilan, dan mengadili, juga
bisa digunakan dalam istilah kekuasaan kehakiman.3
1
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. 7, hal. 16
2
R. Subekti dan R. Tjitro Soedibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 88.
3
Jika kata Peradilan atau Pengadilan disatukan dengan kata agama, maka
pengertian Peradilan Agama adalah: kekuasaan negara dalam memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar
orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun
Pengadilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan
kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu Majlis Hakim
atau Mahkamah.
Peradilan Agama adalah salahsatu di antara tiga Peradilan khusus di
Indonesia. Dua Peradilan lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Kusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana
dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara
perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.4
2. Asas Peradilan Agama.
Menurut Yahya Harahap di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
terdapat beberapa asas umum pada lingkungan Peradilan Agama. Asas umum itu
merupakan fundamen dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan
seluruh jiwa dan semangat Undang-Undang itu. Ia dapat dikatakan sebagai
4