• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep taghut dalam al-quran (sebuah analisis makna taghut dalam al-quran serta korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah dalam realitas sosial)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep taghut dalam al-quran (sebuah analisis makna taghut dalam al-quran serta korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah dalam realitas sosial)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)

Oleh :

Andriansyah 1040 3400 1158

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta

Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam

Realitas Sosial

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar

SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)

Oleh :

Andriansyah NIM: 1040 3400 1158

Dibawah Bimbingan:

Dr. Ahsin Sakho, MA. NIP. 1956 0221 199603 1001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

i

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Segala puji dan syukur kepada Allah swt. yang senantiasa melimpahkan

rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun sehingga hanya karena limpahan

nikmat-nikmat itu penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dengan

tertatih-tatih dan sangat sederhana. Salawat dan salam kami persembahkan kepada

junjungan Nabi Muhammad saw yang membawa umatnya dari alam kegelapan

karena kebodohan kepada alam yang terang benderang karena bertaburan ilmu

pengetahuan.

Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini kami

mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu,

penulis banyak berhutang jasa kepada berbagai pihak yang begitu tulus membantu,

baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis

pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis mengucapkan

rasa terima kasih yang mendalam.

Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis

sampaikan teruntuk:

(4)

ii

2.

Dr.Bustamin, M.Si. Ketua Jurusan dan Muslim, S.Th.I Sekertaris Jurusan

Tafsir Hadis, yang telah memberi saran dan informasi akademik serta yang

telah memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3.

Dr. Ahsin Sakho, MA Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan

saran dan kritik. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan

saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda

kegiatan, beliau masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4.

Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ushuludddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.

5.

Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin.

Terima kasih atas segala bantuannya yang memfasilitasi penulis dalam

mencari data-data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat

penyelesaian skripsi ini.

6.

Rasa Ta’zim dan terima kasih yang mendalam Kepada kedua orang tua

Ayahanda Dirham Syah dan Ibunda Kusti’ah atas dukungan moril dan

materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta cinta dan kasih sayang yang tak

pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah

swt, senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam belajar, juga atas

dan pengorbanan yang luar biasa mendidik dan mengajarkan arti kehidupan.

(5)

iii

7.

Demikian pula kakak-adik tercinta a adi, iwan, dzulkarnain, yang selalu

memberikan semangat, terutama khusus buat teteh ku (teh cindy) yang paling

baik, perhatian dikeluarga, supaya adik-adiknya sukses, dan selalu

memberikan motivasi, dorongan, semangat, Karena merekalah penulis

memutuskan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan akhir studi ke kampus

tercinta, yang lambat-laun semakin asing, karena perubahan yang begitu

drastis dalam waktu hanya setahun saya tinggalkan.

8. Tidak lupa juga buat teman-teman kosan seperjuangan dalam mencari ilmu. ijonk,

(yang lagi mencari cinta sejati nya), onta, iwan susanto, mukhlas,dan anca, penulis

ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan do’a, mudah-mudahan amal

kebaikan kalian semua di terima Allah swt.

9. Terakhir, untuk teman-teman angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin: abdul mohay, anas, ardie,otoy, baehaqi, Aang Setiawan, abang agung,

terutama buat bang ubay yang selalu memberikan wejangan agar penulis lebih serius

dalam menyusun skripsi. Dan tak lupa pula kepada: “TH-B” yang ghoib dan tidak

dapat penulis sebut namanya satu per satu dan semoga hubungan persahabatan (tali

silaturrahmi) tidak akan terputus sampai kapanpun.

Mengakhiri kata pengantar ini, semoga amal dan jasa baik yang telah

diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah swt dengan pahala yang

berlimpah ganda.dan menjadikan amal saleh mereka.

Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada semoga Allah

(6)

iv

penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. penulis berharap semoga

keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada

umumnya.

Jakarta, 25 Nopember 2010

(7)

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI………...v

DAFTAR ISI……… viii

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah……….………..1

B.

Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C.

Tujuan Penelitian………..………....4

D.

Tinjauan Pustaka……….……….5

E.

Metodologi Penelitian……….………...6

F.

Sistematika Penulisan……….………...7

BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN

A.

Definisi Tâghût

1.1

Menurut Bahasa...9

1.2

Menurut Istilah...11

B.

Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir

1.3

Sayyid Quthb...12

1.4

M.Quraish Shihab...12

1.5

Hamka...15

BAB III

KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR

A.

Ibn Katsir dan Sayyid Quthb………....18

(8)

ix

C.

Macam-Macam Tâghût

a.

Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran...29

b.

Para Pendeta dan Pastur...37

c.

Kefanatikan Terhadap Ulama Islam………43

d.

Dukun dan Tukang Sihir………..47

D.

Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas

Sosial...56

BAB IV PENUTUP

A.

Kesimpulan………..67

B.

Saran-saran………..68

(9)

v

Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006.

Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

B

be

T

te

ث

Ts

te dan es

ج

J

Je

ح

H

h dengan garis bawah

خ

Kh

ka dan ha

د

D

De

ذ

Dz

de da zet

ر

R

Er

ز

Z

Zet

س

S

Es

ش

Sy

es dan ye

ص

S

es dengan garis di bawah

(10)

vi

ط

T

te dengan garis di bawah

ظ

Z

zet dengan garis di bawah

ع

Koma terbalik di atas hadap kanan

غ

Gh

ge dan ha

ف

F

ef

ق

Q

ki

ك

K

ka

ل

L

el

م

M

em

ن

N

en

و

W

we

ھ

H

ha

'

apostrop

ي

Y

ye

Vokal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

َ

a

fathah

ِ

i

kasrah

(11)

vii

و

___

َ

___

au

a dan u

Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ﺎـَـ

â

a dengan topi di atas

ْﻲِـ

î

i dengan topi di atas

ْﻮـُـ

û

u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

لا

, dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah

atau

tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika

huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi

mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.

Konsep-konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi

manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran

sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka

berada.

Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa dia tidak saja

memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk

kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus

seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan

menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,(tidak menyekutukanya)

menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.1

Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat

pragmatis. Agama dipandang sebagai pemicu pemberontakan, sumber

ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin

dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme

sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia

1

(13)

modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama.

Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi

sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan

terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang

baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan.2

Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid

selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu

secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak

dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila

menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar

keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda

keyakinan-Tauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka

belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam

definisi kemusyrikan.

Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu

pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan

tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa

modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam

bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di

televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau

kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang

mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka

(14)

hanyalah manusia biasa.

Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia

kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri

ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau

paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan.

Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini

sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût. 3 Tâghût diyakini sebagai

sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas

yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada

Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang

tidak berpijak kepada peraturan Allah.4

Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi

penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu

yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan

kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka

memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh

keuntungan.

Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam

keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar

keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman

tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk

3

Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz Quran, Jilid 1, (Beirût: Dâr

al-Fikr, tt), h. 115-116

4

(15)

mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra

hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai

tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia

tidak ternodai oleh unsur tâghût.

Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain

terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu

dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid.

B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan di atas, maka

penulis akan membatasi permasalahan skripsi ini pada dua Konsep taghût masa

klasik dan modern dalam perspektif al-Quran, serta budaya penyimpangan yang

telah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebagai berikut:

-Bagaimana Konsep Taghût dalam Al-Quran dengan Penyimpangan

Akidah di Realitas Sosial?

Sedangkan batasan masalah hanya pada pemaknaan taghût dengan ayat

al-Quran yang disertai tafsir, adapun ayat lainnya bisa digunakan sebagai data

pelengkap pembahasan. Taghût dalam al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang

menyimpang dan masuk ke dalam prilaku syirik akan dibahas secara proporsional

sehingga batasan penyimpangan itu dapat diketahui..

C. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat

keilmuan. Penelitian dalam dunia keilmuan bertujuan memperkaya tubuh

(16)

dihadapi manusia. Adapun tujuan penelitian yang hedak dicapai dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berkut:

a. Untuk menemukan dan menjelaskan makna taghût dalam al-Quran dalam

konteks terkini beserta konsekuensinya.

b. Sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka menggali dan memperluas

definisi taghût beserta implikasinya yang berupa

penyimpangan-penyimpangan yang masih samar-samar.

c. Untuk mengingatkan opini masyarakat bahwa taghût tidak hanya berhenti

pada aspek keluar dari garis yang ditetapkan Allah atau menyembah

berhala saja . Akan tetapi lebih dari itu, taghût juga memiliki pengertian

yang lebih luas dan mendasar yaitu mempercayai prediksi dan ramalan

paranormal ketimbang kepercayaan dan keyakinan yang teguh kepada

Allah.

d. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam

menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S 1 ) UIN

SYARIF HIDAYATULLAH.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun kajian tentang konsep taghût secara umum, penulis menemukan

pada sebuah skripsi yang berjudul “Kriteria Thaghut dan Bughat dalam al-Quran”

(Tafsir Tematik atas upaya penyelesaian penyimpangan kekuasaan di Indonesia)

yang ditulis oleh Rafikul Ihsan. Dalam skripsi yang disebutkan di atas, analisis

makna thaghut difokuskan terhadap penyimpangan kekuasaan politik di

(17)

Sedangkan dalam skripsi yang akan dibahas oleh penulis adalah analisis

makna taghût dalam al-Quran menurut kacamata akidah. Jika diteliti lebih jauh,

penyimpangan akidah atau masalah iman mempunyai dampak serius kepada

beragam bentuk penyimpangan di tubuh realita sosial. Karena masalah Iman dan

Akidah mempunyai hubungan erat dengan realitas sosial. Maka dari itu, skripsi ini

membahas bagaimana makna atau konsep thaghut dalam al-Quran serta kaitannya

dengan berbagai penyimpangan dalam realita sosial.

Dengan demikian, dapat dikatakan, penelitian pada dasarnya merupakan

penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan

dengan konsep taghût secara utuh dan terperinci. Kemudian secara khusus

memfokuskan kajian secara mendalam pada berbagai macam penyimpangan

akidah dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tehnik

pengumpulan data, baik primer maupun sekunder yang dilengkapi dengan

analisis data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan

penelitian pustaka (Library research). Data primer yang dimaksud di sini adalah

al-Qur’an, dan data-data diambil dari tulisan tokoh yang diangkat baik yang

terdokumentasikan dalam bentuk buku, makalah-makalah seminar, dan

artikel-artikel jurnal dan majalah. Data ini, merupakan sumber primer yang dijadikan

rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.

(18)

ensiklopedi dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian

skripsi ini merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer

yang bertujuan untuk memperkaya perolehan data guna memperkuat analisa

dalam penelitian ini. Sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai

mengenai taghût dalam al-Quran.

2. Metode Pembahasan

Metode pembahasan dalam penulisan ini adalah metode

deskriptif-analisis-kritis sebagai eksplorasi untuk mencermati pemikiran Hamka dan Quraish

Shihab yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer

maupun sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan

komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang

berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan

yang valid.

3. Metode Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,

penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang

diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004/2005.

F. Sistematika Penulisan

Mengacu pada penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini dapat

(19)

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, indentifikasi

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan

metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini.

BAB II : Berisi tentang tâghût dalam al-Quran yang menjelaskan tentang

pengertian tâghût menurut bahasa, Istilah, serta ragam bentuk kata tâghût dalam

al-Quran menurut para mufassir.

BAB III : Menjelaskan tentang konsep tâghût dalam pandangan beberapa

mufassir, di antaranya menurut Ibn Katsir,Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab.

Macam-macam tâghût,Penyimpangan akidah serta analisanya.

(20)

9

TÂGHÛT DALAM AL-QURAN

A. Definisi Tâghût

1. 1 Asal-usul kata Tâghût Menurut Ahli Bahasa

Menurut madzhab Sibaweh bahwa tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah isim

Mudzakar Mufrad (Kata benda yang menunjukan nama yang berjenis laki-laki

dan berbentuk tunggal) seakan-akan nama untuk semua jenis, baik sedikit maupun

banyak.1

Imam Thabary berpendapat, bahwa tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) itu bentuk muannats

dari kata-kata “taghâ-yatghû” (

ﻰﻐﻃ

-

ﻰﻐﻄﯾ

) atau ‘taghâ-yatghû (

ﻰﻐﻃ

-

ﻮﻐﻄﯾ

) yang artinya melampaui batas, wazannya adalah fa’alût.2

Sedangkan madzhab Abu ‘Aly mengatakan, tâghût (

تﻮﻏ

) itu isim

masdar yang asalnya taghwût (

توﻮﻐﻃ

) seperti kata ‘rahabût’ (

تﻮﺒھر

) dan

“jabarût’ (

توﺮﺒﺟ

), yaitu yang menjadi sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak.

Lam fi’il lapadz taghâ yang asalnya berbentuk “thawagha” (

غﻮﻃ

) berubah

kepada ain fi’il diganti dan ditukar menduduki lam Fi’il yaitu “tawagha” (

غﻮﻃ

)

1

Syaikh Ahmad Al-Qathan, Muhammad Zein, Thaghut, (Jakarta : Pustaka Kautsar,

1993), Cet ke III, h, 19

2

(21)

menjadi ‘taghawa” (

غﻮﻃ

) dan akhirnya menjadi “taghâ” (

ﻰﻐﻃ

) karena ia

berharakat dan huruf sebelumnya pun berharakat, sehingga menjadi “taghût”

(

تﻮﻏ

ﺎﻃ

) 3

Menurut pendapat Imam Bahr, tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) dalam bahasa diambil

dari kata “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

), pendapat ini senada dengan pendapat Sayyid

Quthb, yang pengertiannya menyampaikan, tanpa isytiqââq (Tanpa menggunakan

kata pecahan dari suatu kata dasar) seperti dikatakan untuk kata-kata : ‘aalu’ (

لا

)

dan kata “Lu`lu`” (

ﺆﻟﺆﻟ

)

Imam Mubarrid bertutur, kata-kata “tâghût” (

تﻮﻏﺎﻃ

) itu adalah bentuk

jamak, tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Athiyyah.

Ada pula yang mengatakan bahwa “ tâghût” (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah isim

‘ajami seperti kata-kata “hârût” (

تورﺎھ

) dan “Mârût” (

تورﺎﻣ

) kata

“taghût” tersebut dijadikan bahasa arab yang berlaku untuk tunggal ataupun

jamak.4

Dari penjelasan yang di atas penulis telah paparkan setelah mencari

sejumlah ayat yang berkaitan dengan kalimat tagha (

ﻰﻏﺎﻃ

), taghût (

تﻮﻏﺎﻃ

)

3 Imam Abu hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Beirut: Dar al-Hail, 1995),

h. 373

(22)

dan tughyân (

نﺎﯿﻐﻃ

) penulis lebih sependapat dengan uraian yang disebutkan

oleh Imam Abu Ali dan nantinya penulis mencoba saling mengaitkan ayat-ayat

tersebut satu sama lain.

I.2. Kata tâghût Menurut Istilah

Bahwasanya definisi tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) ialah sebuah sifat yang

menggambarkan penyembahan kepada selain kepada Allah dalam berbagai bentuk

karena katanya berbentuk sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak sebagaimana

diterangkan Abu Ali di atas yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan

bahwa bentuk tâghût itu sendiri menjadi beragam seperti lebih percaya

(mendewakan), manusia kepada manusia (dukun atau paranormal), benda dalam

hal ini uang, hawa nafsu (kekuasaan, jabatan).5

B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir Dalam beberapa literatur, penulis banyak menjumpai pengertian tâghût,

yang secara umum kata tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain

Allah.6 Sedangkan Dlohhak, Qotadah, Mujahid, Syi’biy mengartikan tâghût

dengan syaithan dan Imam Ibn Sirin mengartikan dengan tukang sihir, dan Imam

Jabir, Ibn Jabir, Rofi, serta Ibn Jarih mengartikan dengan dukun.7

5

Imam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Dar al-Hail, Th. 1995), h.373.

6 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 115-116

(23)

1.3 Sayyid Quthb

Dalam pandangan Sayyid Quthb, Kata tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah variasi

bentuk kata dari “thughyân”(

نﺎﯿﻐﻃ

) yang berarti segala sesuatu yang melampaui

kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan

Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak

berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah. Lebih jauh menurut beliau

termasuk dalam kategori tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah juga setiap manhaj

tatanan,system yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap

pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak

berpijak pada peraturan dan syariat Allah.8

1.4 M. Quraish Shihab

Menurut Quraish Shihab tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) terambil dari akar kata yang

berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam

keburukan. Setan, Dajjal,Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan

ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari dengan tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

). Kata thagha

dalamberbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.9 Kata ini

pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat

kritis atau membahayakan. Pengertian ini digunakan pula oleh al-Qur’an, antara

lain pada surat al-Haqqah (69) ayat 11 :

8 Sayyid Quthb,tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj),Gema Insani Press,Jakarta.2000,cet 1, h.

220-221

9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an AlKarim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997,

(24)







”sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami

mengangkut nenek moyang kamu keatas bahtera”.

Kata thagha (

ﻰﻐﻃ

) dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam

arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti

kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia

dan tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni

melimpahnya air, menurut bint As-Syathi, kata thagha dalam al-Qur’an selain

digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas,

seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat

al-Baqarah ayat 15, al- Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang

kata thagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang

Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan danperlakuan kejam

terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannnya kepada Tuhan,

yang dapat dipahami dari ayat lain10

Dengan demikian kata thagha (

ﻰﻐﻃ

) menerangkan sikap

kesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh

sekian banyak ulama tafsir.

(25)

Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan

bahwa yang dimaksud tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang

disembah, oleh kaum musyrikin Mekkah dan juga setan serta segala macam

berhala. Demikian al-Biqai menafsirkannya.Sedangkan menurut al-Maraghi,

bahwa tâghût yaitu melanggar hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan

kebatilan, kezaliman dan kejahatan.11

Sedangkan dalam surat an-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût

(

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah dua tokoh yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn

al-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang yahudi menuju ke Mekkah untuk

menjalin kerja sama dengan penduduk Mekkah memerangi Nabi Muhammad saw,

Mereka disambut baik oleh tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah ketika itu, yakni

Abu Sufyan. Tokoh-tokoh Mekkah meragukan keikhlasan orang yahudi sambil

berkata, ”kalian,wahai orang Yahudi,adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga

demikian juga demikian,maka kami meragukan kalian, bila ingin kami melawan

Muhammad bersama kalian, aku sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala

kami dan percayalah kepadanya”.

Orang-orang yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Mekkah

kemudian mereka memilih masing-masing tiga-puluh orang dari kelompok

Yahudi dan Musyrik Mekkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti

janji setia memerangi Nabi Muhammad saw, Setelah Abu Sufyan bertanya kepada

Ka’ab, ”engkau mmembaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian.

11

(26)

Siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya daripada

Muhammad dan sahabat-sahabatnya”.12

Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyaraf,

dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan

merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Untuk menyelesaikan perselisihannya,

walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru

mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyarf.Ada lagi yang

memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa

jahiliyyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran islam.13

1.5 Hamka

Sedangkan menurut Prof Dr.Hamka, secara ringkas beliau menyimpulkan

tentang tâghût adalah pelanggar, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah

256 yaitu ”akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka

adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar

atas iman kepada Tuhan, baik raja, atau pemimpin, dukun, syaithan, berhala,

atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk

dalam kalimat tâghût.14.Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada

tâghût yakni setengah menyembah kubur. Setengahnya menyembah orang-orang

menggantungkan nasib kepadanya.15

Kata tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) dalam al-Quran seringkali di sebutkan dalam

bentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi,

12

M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 451.

13

M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 465

14

Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta :Pustaka Panjimas, 1982), h.26.

(27)

baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab

Mu’jam al-Mufahrâs, kata tâghût yang penulis jumpai dalam al-Quran terdapat 12

kali disebutkan.

Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali

dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara umum kata tersebut terdistribusikan

sebagai berikut:

a. Bentuk tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) surat Baqarah (2) ayat 256 dan 257, surat

al-Nisa (4) ayat 51,60, 76,surat al-Maidah (5) ayat 60, surat al-Nahl (16) ayat

36, surat al-Zumar (39)ayat 17.16

b. Sedangkan dalam bentuk “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

) ada dalam surat al-Baqarah

(2) ayat 15, Maidah (5) 64,68,72, Surat An’am (6) ayat 110, surat

A’raf (7) ayat 186,surat Yunus (10) ayat 11,surat Isra, (17) ayat 60.

al-Kahfi (18) ayat 80, surat al-Mu’minun (23) ayat 75.

c. Dalam bentuk ‘taghwu” (

ﻮﻐﻃ

) isim masdar, tertera dalam surat al-Syams

(91) ayat 11 (

ﻰﻐﻃ

) fiil madhi, surat al-Haqqah 969) ayat 11, surat Thaaha

(20) ayat 24, 43, surat al-Najm (53) ayat 17 dan surat al-Naziat (79) ayat

17 dan 37,surat al-Fazr ayat 11.

d. Dalam bentuk “Tathgâw-yatgha-athgha’ (

ﻮﻐﻄﺗ

-

ﻮﻐﻄﯾ

-

ﻰﻐﻃ

ا

) fi’il

mudhari,surat Thaha (20) ayat 24,45 dan 81, surat al-Rahman (55) ayat 8,,

16

Al-Haj Khan Bahdur Altaf Ahmad Kheirie, R.A.S Index Cum Concordance For The

(28)

surat Hud (11) ayat 112, surat Qaaf (50) ayat 27, surat al-Nazm (53) ayat

52, surat al-‘Alaq ayat 6.

e. Dalam bentuk Taghin (

غﺎﻃ

), isi Fail yaitu : surat Shaffat (24) ayat 30,

surat Shad (38) ayat 56, surat 56,surat Dzariyat (51) ayat 53, surat

al-Thur (52) ayat 32, surat al-Qalam (68) ayat 31,al-Haqqah (69) ayat 5, surat

al-Naba (78) ayat 22.17

17 Al- raghib Asfhanniy, Al-Mu’zam Mufradat Alfâz Al-Qur’an, Jilid 2, (Beirut : Dar al-

(29)

18 A. Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb

Pandangan beberapa para mufassir dalam menafsirkan konsep tâghût secara

global mempunyai kemiripan pandangan akan tetapi dalam ciri khasnya

mempunyai perbedaan yang mendasar dari mulai menafsirkan gaya bahasa,

struktural profesi, dengan mufradatnya, sampai kebudayaan sosial waktu itu.

Sebagaimana dalam pandangan Ibnu Katsir menyikapi surat al-Qur’an dibawah

(30)

yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya.1 dikunci mati

oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.

Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar

berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan

menjadikannya yahudi tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada

anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan

anak kami jadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam

agama. “Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.

Cerita senada diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Bandar,

diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari hadis Syu'bah. demikian pula

Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan karena

kejadian tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat

itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang

bernama al-Husaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk

agama Islam. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Apakah saya

dianggap memaksa keduanya” padahal keduanya telah menolak agama kecuali

agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat di atas berkaitan dengan itu.

Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak

untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan

memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al-Fath: 16) Allah

berfirman,

1

(31)
(32)

mempersaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, maka sesungguhnya dia

telah berpegang pada tali yang amat kokoh. Tâghût ialah 'setan'. Istilah tâghût

mencakup segala kejahatan yang dilakukan kaum jahiliah, seperti menyembah,

berhakim, dan meminta tolong kepada berhala.

Firman Allah, “Maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali

yang amat kuat yang tidak akan putus.”Yakni, sesungguhnya dia telah memegang

teguh agama dengan sarana yang paling kuat. Kondisi itu diserupakan dengan tali

yang teguh yang tidak akan putus sebab jati diri tali itu stabil, kokoh, dan kuat,

serta ikatannya sangat keras. Tali yang kuat itu ialah iman dan Islam. Tidak ada

kontradiksi antara orang yang berpendapat bahwa tali itu ialah “tidak ada tuhan

melainkan Allah”, ia adalah al-Qur'an, ia adalah cinta karena Allah dan benda

karena Allah pula. Semuanya benar. Berkaitan dengan firman Allah “tidak rapuh”,

Mu'adz bin Jabal berkata, “Ayat itu berarti 'tidak masuk surga'.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia

berkata (410) “Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seseorang yang

di wajahnya ada tanda kekhusyuan. Dia shalat dua rakaat secara singkat.

Orang-orang berkata, “Orang ini ahli surga.” Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya

sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk ke rumahnya. Kami mengobrol, dan

setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid, orang-orang

mengatakan bahwa engkau adalah ahli surga.' Dia menanggapi, 'Maha suci Allah.

Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Saya

(33)

Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan

hijau.”Ibnu Aun berkata: “Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.

Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan

bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba

dikatakan kepadaku, 'Naiklah!' Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.' Kemudian

datanglah pelayan.” Ibnu Aun berkata, “Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan

menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, “Naiklah”! Maka aku pun

naik hingga berhasil memegang tali. Dia berkata, 'peganglah tali itu.' Maka aku

terbangun dan tali itu benar-benar ada di tanganku. Kemudian aku menemui

Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau.

Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu

melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan

senantiasa memeluk Islam hingga mati.” Hadis ini dikemukakan dalam sahîhain.

(34)

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menunjukkan orang yang

mengikuti keridhaan-Nya sebagai jalan keselamatan. Kemudian Dia

mengeluarkan hamba-hamba yang beriman dari kegelapan, kekafiran,

kegamangan., dan keraguan, kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, dan

mudah, dan bahwa orang-orang kafir memiliki para pelindung, yakni setan yang

menjadikan kebodohan dan kesesatan itu indah dalam pandangan mereka serta

mengeluarkan dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran kepada kekafiran

dan keingkaran. "Mereka itulah para penghuni neraka, sedang mereka kekal di

dalam-nya.” Oleh karena itu, Allah menjadikan kata al-Nûr tunggal dan kata

al-Zulumât jamak, karena kebenaran itu satu dan kekafiran itu memiliki banyak

jenisnya dan semuanya batil. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bahwa (yang

kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan

janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu

mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu

agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).3

Sedangkan menurut Sayyid Quthb konsep Tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah variasi

bentuk kata dari “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

), yang berarti segala sesuatu yang melampaui

batas yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas

yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada akidah

Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah, lebih jauh menurut

beliau yang termasuk dalam kategori tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah juga setiap manhaj

3

Tafsir Ibnu Katsir “Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” (Jakarta, Penerbit: Gema

(35)

tatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap

pandangan, perundangan-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak

berpijak pada peraturan dan syariat Allah.4

(36)

Kemudian Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan diturunkan

al-Quran, dan diutusnya Rasulullah serta ditolongnya orang-orang yang dekat

dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk dengan kesesatan, dan

antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, orang yang tidak percaya

kepada tâghût yaitu setan yang membujuk orang untuk menyembah berhala, lalu

dia beriman kepada Allah Ta'alalalu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah

dan Muhammad itu utusan Allah, maka berarti dia telah berpegang pada agama

Islam dengan tali yang terkuat. Dan orang yang bersikeras dengan kekafirannya

kepada Allah dan percaya kepada tâghût, maka ia berpegang pada tali yang lebih

rapuh dari pada sarang laba-laba.

Allah mendengar kata-kata hamba-Nya, mengetahui mata mereka dan

perbuatan-perbuatan rahasia mereka, dan akan membalas masing-masing sesuai

dengan perbuatannya. Kemudian Allah membeitahukan bahwa Dia adalah

penolong hamba-hamba yang beriman, Dialah yang telah mengeluarkan mereka

dari gelapnya.5 kekafiran dan kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu dan iman,

sehingga mereka menjadi sempurna, dan bahagia. Sedangkan orang-orang kafir,

penolong mereka adalah tâghût yang terdiri dari jin setan dan manusia yang

membujuk mereka berbuat kebatilan dan keburukan, dan merangsang mereka

berbuat kufur, fasik, dan maksiat. Dengan demikian, tâghût telah mengeluarkan

mereka dan cahaya kepada kegelapan dan menyiapkan mereka masuk neraka

untuk selama-lamanya.

5 Allah Ta’ala Menggunakan Kata Nûr Dalam Bentuk Mufrad (Singulair) Dan Kata-Kata

(37)

Konsep Tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) Menurut Quraish Shihab terambil dari akar kata

yang berarti melampaui batas, biasanya digunakan untuk yang melampaui batas

dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir (pesulap, termasuk didalamnya Dukun

atau paranormal, yang menetapkan hukum (pemerintah atau para hakim, jaksa dan

pengacara) bertentangan dengan ketentuan ilahi,tirani, semuanya digelari dengan

tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) Kata taghâ dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam

al-Qur’an sebanyak 39 kali.6 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya

air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini di

(38)

Baqarah ayat 15, al-Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata

taghâ dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang fir’aun

kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan dan perlakuan kejam terhadap

manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat

diambil dari ayat lain.7

Dengan demikian kata taghâ (

ﻰﻐﻃ

) menerangkan sikap

kesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh

sekian banyak ulama tafsir.

Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan

bahwa yang dimaksud tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang

disembah, oleh kaum musyrikin Makkah dan juga syaitan serta segala macam

berhala. Demikian al-Biqai menafsirkanya. Sedangkan menurut al-Maraghi,

bahwa tâghût yaitu melanggar yang hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan

kebatilan, kezaliman dan kejahatan.8

Sedangkan dalam surat al-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût

(

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah dua tokoh Yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn

al-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang Yahudi menuju Mekah untuk

menjalin kerja sama dengan penduduk Makkah memerangi Nabi Muhammad

saw., mereka disambut baik oleh tokoh kaum musyrik Makkah ketika itu, yakni

Abu Sufyan, tokoh-tokoh Makkah meragukan keikhlasan orang Yahudi sambil

berkata, “kalian, wahai orang Yahudi, adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga

7

Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an, h. 105

(39)

demikian maka kami meragukan kalian, Bila ingin kami melawan Muhammad

bersama kalian, akan sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan

percayalah kepadanya”.

Orang-orang Yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Makkah

kemudian mereka memilih masing-masing tiga puluh orang dari kelompok

Yahudi dan Musyrik Makkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti

janji setia memerangi nabi Muhammad saw, setelah Abu Sufyan bertanya kepada

Ka’ab, ‘Engkau membaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian,

siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya dari pada Muhammad

dan sahabat-sahabatnya’.9

Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyraf,

dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan

merujuk kepada nabi Muhammad saw, untuk menyelesaikan perselisihanya,

walau lawannya orang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik, Ada lagi yang

memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa

jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.10

sedangkan Hamka menyimpulkan secara ringkas tentang konsep tâghût

adalah pelanggar batas norma kebenaran hakiki, sesuai dengan tafsirannya pada

surat al-Baqarah 256 yaitu “akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya,

pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang

bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin (presiden, DPR dll),

dukun atau paranormal, syaitan, juga berhala, dengan makna lain orang-orang

9

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 451

(40)

yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat

tâghût.11 Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni

setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya

menyembah orang-orang hidup, yang dipandang sebagai pahlawan, lalu orang

menggantungkan nasib kepadanya.12

Pelajaran Yang dapat diambil dari Ayat 256-257

1. Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam

kategori mereka, seperti orang-orang Majusi dan Shabi'ah tidak boleh dipaksa

masuk Islam kecuali atas pilihan dan kemauan mereka sendiri dan harus

membayar jizyah (pajak) dan mereka tetap dalam agamanya.

2. Islam itu seluruhnya adalah petunjuk (hudan) sedang lainnya adalah sesat dan

salah.

3. Meninggalkan keburukan itu diprioritaskan dan didahulukan daripada berbuat

keutamaan.

4. Makna Lâ ilâha illallâh adalah beriman kepada Allah dan kafir pada tâghût.

5. Kedekatan dengan Allah dapat dicapai dengan iman dan takwa.

6. Pertolongan dan perhatian Allah diberikan kepada orang-orang yang dekat

kepada-Nya.13

C. Macam-Macam Taghût

a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran

11 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 26

12 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 29

13

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir al-Kautsar” (Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996),

(41)

Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia

turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih

baik sebagaimana Firman-Nya :

Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:14

(42)
(43)

termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk

disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka

ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan

dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.16

Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah

ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan

yang lainnya.17

Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah

hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung

masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di

dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan :

Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian

dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang

dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan

yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi

kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul

tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan

hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok

pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di

pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan.

Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta

prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini.

16

Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496

(44)

Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik

manusia (seseorang), sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan

untuk manusia tanpa seizin Allah.

Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia,

syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan

ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian

dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib

ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia

dan dijadikan hakim (pemutus) oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi

kekuasaan.

Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini,

tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun

itu dianggap masalah kecil oleh manusia.

Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur,

Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi

dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang

berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau

menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan

fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua

golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara

sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang

menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir,

(45)

Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan

Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti

mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin.

Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak

ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang

mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk

kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada

okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak

ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia

mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada

Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui

lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam (kafir).

Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah

ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah

-an-Nya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau

tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman,

Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan

hakekat masalah ini.

Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia

menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di

bumi untuk manusia, Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya.

(46)

maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta

segala-galanya.

Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik

tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân (Kuasa dan Kuat). Tidak ada

suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap

tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah,

Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan

kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam

syariat-Nya. Maka arti istislâm (pasrah) kepada syariat Allah sebelum yang lainnya

adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya

serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang (tidak pasrah) terhadap

syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek

kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah (Zat yang hak

disembah) dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya (Zat pemelihara dan Pencipta

segala). Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja,

baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul

permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam.

Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan

(anggapan) tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat

(undang-undang) buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam

pembahasan ini;

(47)

“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. ( al-Maidah : 50)

Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari

syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan

kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan

iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat

buatan manusia itu melebihi (menandingi) syariat Allah dalam setiap keadaan dan

dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman.

Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini (yaitu antara hukum

Allah dan hukum buatan Manusia) dan dengan memakai kata-kata “man” ( ﻦﻣ )

yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah (dalam ilmu nahwu) yang

menunjukan kepada pen-ta’miman (mencakup siapa saja) ditambah dengan

kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali,

tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di

turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak

berhukum kepada al-Quran berarti (kafir). Seperti yang telah kami sebutkan

karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran (apa-apa yang telah di

turunkan Allah), tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat

ke-ulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang

menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum (undang-undang).masa dan

bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi

(48)

menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala

keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan.18

b. Para Pendeta dan Pastur

Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah.

Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal

sehingga kaumnya mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman

Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A 'masy dan Sufyan Tsauri

ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat

(49)

dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu

persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk

mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para

pendeta dan Pastur (alim ulama) sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka

menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha

Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka

bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan

maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan

realita.20

Sesungguhnya nash al-Qur'an menyamakan sifat syirik dan menjadikan

tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima syariat

(hukum) dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyah

-an nabi Isa dalam keyakin-an d-an dalam praktek. Kedu-anya ini sama di-anggap

musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik (menyekutukan

Allah) itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum

dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman

akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus

ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang

pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan

dan kesangsian kaum muslimin (dalam masalah ini) ketika itu dimana mereka

menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka

(50)

menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka

ahl al-Kitâb.

Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga

menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa

agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak

berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada

Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu

kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia

yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar "musyrik" dan

"kafir" sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia

beriman. Karena hanya dengan sekedar dia "ikut" kepada hukum buatan manusia

dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka (manusia tersebut)

untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti karena mereka memaksanya

sehingga tak mampu mengelak.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân,"

Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan

yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal

ada beberapa golongan.

Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi

mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan

menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang

dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran

(51)

tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka,

dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang

dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga

bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama

seperti Bani Israil.

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu

Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra,

bahwa ketika da'wah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu

pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta

beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw.

Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh

datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke

Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang

cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut

menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib

dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:(Taubah 3l)

Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata kepada beliau: Mereka tidak

menyembah para pendeta dan pastur itu”.

Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang

haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.21

Mentaati para pendeta dan pastur (alim ulama) dalam bermaksiat kepada

Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang

(52)

tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat

al-Taubah ayat 31: 22

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib(pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

(53)

mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu

menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan

oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala

keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan

penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut

mereka, yang mereka namakan "wilayah".23 Sedang ibadah dan penyembahan

kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan

kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu

dan jahil.24

Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan

keledai yang memanggul kitab (buku-buku), tak mengerti apa isinya. Maka

mulailah mereka membuat hukum (undang-undang) untuk ummat manusia

berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada

dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang

yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa

adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal

mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah

bangsa-bangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang

undang (Hukum) yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang

bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan

“Tåghût”.

23

Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya.

(54)

c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam

Sebagaimana firman Allah swt dalam surat A’râf:7/175-176 dan

(55)

manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid

buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw.

Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk

meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan

hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka

pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan

untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak

mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat

besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah

dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar.

Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di

Akhirat.

Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat (hukum) islam itu tidak berlaku pada

hal-hal (perkara) besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua

orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum

pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan

dengan ilmu tauhid.

Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara

Muhkâmât (ayat yang jelas tidak perlu ta’wil) yang tidak mungkin mengundang

perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut

tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman.

Adapun masalah-masalah yang membutuhkan Ijtihad mengikuti

(56)<

Referensi

Dokumen terkait

41 sampel yang mengalami wheezing pada saat terkena infeksi rhinovirus saat mereka bayi( 54%) mempunyai diagnosa sakit asma oleh pada umur 6 tahun dibandingkan dengan 23% dari

Menurut pernyataan The Chief of Internal Auditors (2005:28) tujuan audit internal adalah untuk menyediakan suatu pedoman bagi organisasi yang dapat membantu manajemen

dan (75%) mahasiswa yang menjadi responden menyatakan sangat setuju dengan channel Youtube Tasya Farasya digunakan sebagai sumber belajar alternatif di Program

Rata-rata Pertumbuhan Lebar Karapaks Mutlak (∆CW) larva Rajungan ( P. pelagicus) stadia megalopa yang dipelihara selama 6 hari ... pelagicus). stadia megalopa yang dipelihara selama

Baik informasi dimasa lalu (misalkan laba perusahaan tahun lalu), informasi saat ini (misalkan rencana kenaikan divident tahun ini), maupun informasi yang bersifat pendapat

diindikasikan karena penataan letak rak yang satu dengan yang lain kurang teratur, kurang adanya pameran atau sale diskon barang untuk menarik konsumen dalam membeli produk

Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut adalah mengikutkan pengelola perpustakaan untuk pelatihan dan seminar perpustakaan; membeli buku setiap tahun dari

Goreng belado ikan salai selais dan gulai ikan salai baung adalah masakan khas Riau yang sangat digemari masyarakat (sumber foto: www.imgrum.net dan duta indonesia.