SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh :
Andriansyah 1040 3400 1158
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta
Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam
Realitas Sosial
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar
SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh :
Andriansyah NIM: 1040 3400 1158
Dibawah Bimbingan:
Dr. Ahsin Sakho, MA. NIP. 1956 0221 199603 1001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ
Segala puji dan syukur kepada Allah swt. yang senantiasa melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun sehingga hanya karena limpahan
nikmat-nikmat itu penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dengan
tertatih-tatih dan sangat sederhana. Salawat dan salam kami persembahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad saw yang membawa umatnya dari alam kegelapan
karena kebodohan kepada alam yang terang benderang karena bertaburan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu,
penulis banyak berhutang jasa kepada berbagai pihak yang begitu tulus membantu,
baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis
pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis mengucapkan
rasa terima kasih yang mendalam.
Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan teruntuk:
ii
2.
Dr.Bustamin, M.Si. Ketua Jurusan dan Muslim, S.Th.I Sekertaris Jurusan
Tafsir Hadis, yang telah memberi saran dan informasi akademik serta yang
telah memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3.
Dr. Ahsin Sakho, MA Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
saran dan kritik. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan
saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda
kegiatan, beliau masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.
Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ushuludddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.
5.
Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin.
Terima kasih atas segala bantuannya yang memfasilitasi penulis dalam
mencari data-data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat
penyelesaian skripsi ini.
6.
Rasa Ta’zim dan terima kasih yang mendalam Kepada kedua orang tua
Ayahanda Dirham Syah dan Ibunda Kusti’ah atas dukungan moril dan
materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta cinta dan kasih sayang yang tak
pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah
swt, senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam belajar, juga atas
dan pengorbanan yang luar biasa mendidik dan mengajarkan arti kehidupan.
iii
7.
Demikian pula kakak-adik tercinta a adi, iwan, dzulkarnain, yang selalu
memberikan semangat, terutama khusus buat teteh ku (teh cindy) yang paling
baik, perhatian dikeluarga, supaya adik-adiknya sukses, dan selalu
memberikan motivasi, dorongan, semangat, Karena merekalah penulis
memutuskan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan akhir studi ke kampus
tercinta, yang lambat-laun semakin asing, karena perubahan yang begitu
drastis dalam waktu hanya setahun saya tinggalkan.
8. Tidak lupa juga buat teman-teman kosan seperjuangan dalam mencari ilmu. ijonk,
(yang lagi mencari cinta sejati nya), onta, iwan susanto, mukhlas,dan anca, penulis
ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan do’a, mudah-mudahan amal
kebaikan kalian semua di terima Allah swt.
9. Terakhir, untuk teman-teman angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin: abdul mohay, anas, ardie,otoy, baehaqi, Aang Setiawan, abang agung,
terutama buat bang ubay yang selalu memberikan wejangan agar penulis lebih serius
dalam menyusun skripsi. Dan tak lupa pula kepada: “TH-B” yang ghoib dan tidak
dapat penulis sebut namanya satu per satu dan semoga hubungan persahabatan (tali
silaturrahmi) tidak akan terputus sampai kapanpun.
Mengakhiri kata pengantar ini, semoga amal dan jasa baik yang telah
diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah swt dengan pahala yang
berlimpah ganda.dan menjadikan amal saleh mereka.
Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada semoga Allah
iv
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. penulis berharap semoga
keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada
umumnya.
Jakarta, 25 Nopember 2010
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI………...v
DAFTAR ISI……… viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah……….………..1
B.
Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah...4
C.
Tujuan Penelitian………..………....4
D.
Tinjauan Pustaka……….……….5
E.
Metodologi Penelitian……….………...6
F.
Sistematika Penulisan……….………...7
BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
A.
Definisi Tâghût
1.1
Menurut Bahasa...9
1.2
Menurut Istilah...11
B.
Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir
1.3
Sayyid Quthb...12
1.4
M.Quraish Shihab...12
1.5
Hamka...15
BAB III
KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR
A.
Ibn Katsir dan Sayyid Quthb………....18
ix
C.
Macam-Macam Tâghût
a.
Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran...29
b.
Para Pendeta dan Pastur...37
c.
Kefanatikan Terhadap Ulama Islam………43
d.
Dukun dan Tukang Sihir………..47
D.
Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas
Sosial...56
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan………..67
B.
Saran-saran………..68
v
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006.
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ﺐ
B
be
ﺖ
T
te
ث
Ts
te dan es
ج
J
Je
ح
H
h dengan garis bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de da zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
vi
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
‘
Koma terbalik di atas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ف
F
ef
ق
Q
ki
ك
K
ka
ل
L
el
م
M
em
ن
N
en
و
W
we
ھ
H
ha
ﺀ
'
apostrop
ي
Y
ye
Vokal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
—
َ
a
fathah
ِ
—
i
kasrah
vii
و
___
َ
___
au
a dan u
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ﺎـَـ
â
a dengan topi di atas
ْﻲِـ
î
i dengan topi di atas
ْﻮـُـ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
لا
, dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
Syaddah (Tasydid)
Syaddah
atau
tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Konsep-konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi
manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran
sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka
berada.
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa dia tidak saja
memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk
kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus
seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan
menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,(tidak menyekutukanya)
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.1
Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat
pragmatis. Agama dipandang sebagai pemicu pemberontakan, sumber
ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin
dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme
sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia
1
modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama.
Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi
sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan
terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang
baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan.2
Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid
selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu
secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak
dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila
menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar
keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda
keyakinan-Tauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka
belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam
definisi kemusyrikan.
Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu
pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan
tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa
modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam
bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di
televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau
kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang
mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka
hanyalah manusia biasa.
Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia
kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri
ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau
paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan.
Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini
sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût. 3 Tâghût diyakini sebagai
sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas
yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada
Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang
tidak berpijak kepada peraturan Allah.4
Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi
penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu
yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan
kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka
memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh
keuntungan.
Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam
keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar
keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman
tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk
3
Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz Quran, Jilid 1, (Beirût: Dâr
al-Fikr, tt), h. 115-116
4
mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra
hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai
tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia
tidak ternodai oleh unsur tâghût.
Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain
terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu
dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid.
B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan di atas, maka
penulis akan membatasi permasalahan skripsi ini pada dua Konsep taghût masa
klasik dan modern dalam perspektif al-Quran, serta budaya penyimpangan yang
telah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebagai berikut:
-Bagaimana Konsep Taghût dalam Al-Quran dengan Penyimpangan
Akidah di Realitas Sosial?
Sedangkan batasan masalah hanya pada pemaknaan taghût dengan ayat
al-Quran yang disertai tafsir, adapun ayat lainnya bisa digunakan sebagai data
pelengkap pembahasan. Taghût dalam al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang dan masuk ke dalam prilaku syirik akan dibahas secara proporsional
sehingga batasan penyimpangan itu dapat diketahui..
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat
keilmuan. Penelitian dalam dunia keilmuan bertujuan memperkaya tubuh
dihadapi manusia. Adapun tujuan penelitian yang hedak dicapai dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berkut:
a. Untuk menemukan dan menjelaskan makna taghût dalam al-Quran dalam
konteks terkini beserta konsekuensinya.
b. Sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka menggali dan memperluas
definisi taghût beserta implikasinya yang berupa
penyimpangan-penyimpangan yang masih samar-samar.
c. Untuk mengingatkan opini masyarakat bahwa taghût tidak hanya berhenti
pada aspek keluar dari garis yang ditetapkan Allah atau menyembah
berhala saja . Akan tetapi lebih dari itu, taghût juga memiliki pengertian
yang lebih luas dan mendasar yaitu mempercayai prediksi dan ramalan
paranormal ketimbang kepercayaan dan keyakinan yang teguh kepada
Allah.
d. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam
menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S 1 ) UIN
SYARIF HIDAYATULLAH.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun kajian tentang konsep taghût secara umum, penulis menemukan
pada sebuah skripsi yang berjudul “Kriteria Thaghut dan Bughat dalam al-Quran”
(Tafsir Tematik atas upaya penyelesaian penyimpangan kekuasaan di Indonesia)
yang ditulis oleh Rafikul Ihsan. Dalam skripsi yang disebutkan di atas, analisis
makna thaghut difokuskan terhadap penyimpangan kekuasaan politik di
Sedangkan dalam skripsi yang akan dibahas oleh penulis adalah analisis
makna taghût dalam al-Quran menurut kacamata akidah. Jika diteliti lebih jauh,
penyimpangan akidah atau masalah iman mempunyai dampak serius kepada
beragam bentuk penyimpangan di tubuh realita sosial. Karena masalah Iman dan
Akidah mempunyai hubungan erat dengan realitas sosial. Maka dari itu, skripsi ini
membahas bagaimana makna atau konsep thaghut dalam al-Quran serta kaitannya
dengan berbagai penyimpangan dalam realita sosial.
Dengan demikian, dapat dikatakan, penelitian pada dasarnya merupakan
penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan
dengan konsep taghût secara utuh dan terperinci. Kemudian secara khusus
memfokuskan kajian secara mendalam pada berbagai macam penyimpangan
akidah dalam kehidupan sehari-hari.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tehnik
pengumpulan data, baik primer maupun sekunder yang dilengkapi dengan
analisis data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan
penelitian pustaka (Library research). Data primer yang dimaksud di sini adalah
al-Qur’an, dan data-data diambil dari tulisan tokoh yang diangkat baik yang
terdokumentasikan dalam bentuk buku, makalah-makalah seminar, dan
artikel-artikel jurnal dan majalah. Data ini, merupakan sumber primer yang dijadikan
rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.
ensiklopedi dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian
skripsi ini merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer
yang bertujuan untuk memperkaya perolehan data guna memperkuat analisa
dalam penelitian ini. Sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai
mengenai taghût dalam al-Quran.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan dalam penulisan ini adalah metode
deskriptif-analisis-kritis sebagai eksplorasi untuk mencermati pemikiran Hamka dan Quraish
Shihab yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer
maupun sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan
komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan
yang valid.
3. Metode Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004/2005.
F. Sistematika Penulisan
Mengacu pada penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini dapat
BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, indentifikasi
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan
metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini.
BAB II : Berisi tentang tâghût dalam al-Quran yang menjelaskan tentang
pengertian tâghût menurut bahasa, Istilah, serta ragam bentuk kata tâghût dalam
al-Quran menurut para mufassir.
BAB III : Menjelaskan tentang konsep tâghût dalam pandangan beberapa
mufassir, di antaranya menurut Ibn Katsir,Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab.
Macam-macam tâghût,Penyimpangan akidah serta analisanya.
9
TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
A. Definisi Tâghût
1. 1 Asal-usul kata Tâghût Menurut Ahli Bahasa
Menurut madzhab Sibaweh bahwa tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah isimMudzakar Mufrad (Kata benda yang menunjukan nama yang berjenis laki-laki
dan berbentuk tunggal) seakan-akan nama untuk semua jenis, baik sedikit maupun
banyak.1
Imam Thabary berpendapat, bahwa tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) itu bentuk muannatsdari kata-kata “taghâ-yatghû” (
ﻰﻐﻃ
-
ﻰﻐﻄﯾ
) atau ‘taghâ-yatghû (ﻰﻐﻃ
-
ﻮﻐﻄﯾ
) yang artinya melampaui batas, wazannya adalah fa’alût.2Sedangkan madzhab Abu ‘Aly mengatakan, tâghût (
تﻮﻏ
ﺎ
ﻃ
) itu isimmasdar yang asalnya taghwût (
توﻮﻐﻃ
) seperti kata ‘rahabût’ (تﻮﺒھر
) dan“jabarût’ (
توﺮﺒﺟ
), yaitu yang menjadi sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak.Lam fi’il lapadz taghâ yang asalnya berbentuk “thawagha” (
غﻮﻃ
) berubahkepada ain fi’il diganti dan ditukar menduduki lam Fi’il yaitu “tawagha” (
غﻮﻃ
)
1
Syaikh Ahmad Al-Qathan, Muhammad Zein, Thaghut, (Jakarta : Pustaka Kautsar,
1993), Cet ke III, h, 19
2
menjadi ‘taghawa” (
غﻮﻃ
) dan akhirnya menjadi “taghâ” (ﻰﻐﻃ
) karena iaberharakat dan huruf sebelumnya pun berharakat, sehingga menjadi “taghût”
(
تﻮﻏ
ﺎﻃ
) 3Menurut pendapat Imam Bahr, tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) dalam bahasa diambildari kata “tughyân” (
نﺎﯿﻐﻃ
), pendapat ini senada dengan pendapat SayyidQuthb, yang pengertiannya menyampaikan, tanpa isytiqââq (Tanpa menggunakan
kata pecahan dari suatu kata dasar) seperti dikatakan untuk kata-kata : ‘aalu’ (
لا
)dan kata “Lu`lu`” (
ﺆﻟﺆﻟ
)Imam Mubarrid bertutur, kata-kata “tâghût” (
تﻮﻏﺎﻃ
) itu adalah bentukjamak, tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Athiyyah.
Ada pula yang mengatakan bahwa “ tâghût” (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah isim‘ajami seperti kata-kata “hârût” (
تورﺎھ
) dan “Mârût” (تورﺎﻣ
) kata“taghût” tersebut dijadikan bahasa arab yang berlaku untuk tunggal ataupun
jamak.4
Dari penjelasan yang di atas penulis telah paparkan setelah mencari
sejumlah ayat yang berkaitan dengan kalimat tagha (
ﻰﻏﺎﻃ
), taghût (تﻮﻏﺎﻃ
)
3 Imam Abu hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Beirut: Dar al-Hail, 1995),
h. 373
dan tughyân (
نﺎﯿﻐﻃ
) penulis lebih sependapat dengan uraian yang disebutkanoleh Imam Abu Ali dan nantinya penulis mencoba saling mengaitkan ayat-ayat
tersebut satu sama lain.
I.2. Kata tâghût Menurut Istilah
Bahwasanya definisi tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) ialah sebuah sifat yangmenggambarkan penyembahan kepada selain kepada Allah dalam berbagai bentuk
karena katanya berbentuk sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak sebagaimana
diterangkan Abu Ali di atas yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan
bahwa bentuk tâghût itu sendiri menjadi beragam seperti lebih percaya
(mendewakan), manusia kepada manusia (dukun atau paranormal), benda dalam
hal ini uang, hawa nafsu (kekuasaan, jabatan).5
B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir Dalam beberapa literatur, penulis banyak menjumpai pengertian tâghût,
yang secara umum kata tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain
Allah.6 Sedangkan Dlohhak, Qotadah, Mujahid, Syi’biy mengartikan tâghût
dengan syaithan dan Imam Ibn Sirin mengartikan dengan tukang sihir, dan Imam
Jabir, Ibn Jabir, Rofi, serta Ibn Jarih mengartikan dengan dukun.7
5
Imam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Dar al-Hail, Th. 1995), h.373.
6 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 115-116
1.3 Sayyid Quthb
Dalam pandangan Sayyid Quthb, Kata tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah variasibentuk kata dari “thughyân”(
نﺎﯿﻐﻃ
) yang berarti segala sesuatu yang melampauikesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan
Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak
berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah. Lebih jauh menurut beliau
termasuk dalam kategori tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah juga setiap manhajtatanan,system yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap
pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak
berpijak pada peraturan dan syariat Allah.8
1.4 M. Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) terambil dari akar kata yangberarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam
keburukan. Setan, Dajjal,Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan
ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari dengan tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
). Kata thaghadalamberbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.9 Kata ini
pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat
kritis atau membahayakan. Pengertian ini digunakan pula oleh al-Qur’an, antara
lain pada surat al-Haqqah (69) ayat 11 :
8 Sayyid Quthb,tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj),Gema Insani Press,Jakarta.2000,cet 1, h.
220-221
9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an AlKarim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997,
”sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami
mengangkut nenek moyang kamu keatas bahtera”.
Kata thagha (
ﻰﻐﻃ
) dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalamarti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti
kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia
dan tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni
melimpahnya air, menurut bint As-Syathi, kata thagha dalam al-Qur’an selain
digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas,
seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat
al-Baqarah ayat 15, al- Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang
kata thagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang
Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan danperlakuan kejam
terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannnya kepada Tuhan,
yang dapat dipahami dari ayat lain10
Dengan demikian kata thagha (
ﻰﻐﻃ
) menerangkan sikapkesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh
sekian banyak ulama tafsir.
Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan
bahwa yang dimaksud tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yangdisembah, oleh kaum musyrikin Mekkah dan juga setan serta segala macam
berhala. Demikian al-Biqai menafsirkannya.Sedangkan menurut al-Maraghi,
bahwa tâghût yaitu melanggar hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan
kebatilan, kezaliman dan kejahatan.11
Sedangkan dalam surat an-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût
(
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah dua tokoh yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibnal-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang yahudi menuju ke Mekkah untuk
menjalin kerja sama dengan penduduk Mekkah memerangi Nabi Muhammad saw,
Mereka disambut baik oleh tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah ketika itu, yakni
Abu Sufyan. Tokoh-tokoh Mekkah meragukan keikhlasan orang yahudi sambil
berkata, ”kalian,wahai orang Yahudi,adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga
demikian juga demikian,maka kami meragukan kalian, bila ingin kami melawan
Muhammad bersama kalian, aku sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala
kami dan percayalah kepadanya”.
Orang-orang yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Mekkah
kemudian mereka memilih masing-masing tiga-puluh orang dari kelompok
Yahudi dan Musyrik Mekkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti
janji setia memerangi Nabi Muhammad saw, Setelah Abu Sufyan bertanya kepada
Ka’ab, ”engkau mmembaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian.
11
Siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya daripada
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”.12
Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyaraf,
dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan
merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Untuk menyelesaikan perselisihannya,
walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru
mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyarf.Ada lagi yang
memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa
jahiliyyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran islam.13
1.5 Hamka
Sedangkan menurut Prof Dr.Hamka, secara ringkas beliau menyimpulkan
tentang tâghût adalah pelanggar, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah
256 yaitu ”akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka
adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar
atas iman kepada Tuhan, baik raja, atau pemimpin, dukun, syaithan, berhala,
atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk
dalam kalimat tâghût.14.Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada
tâghût yakni setengah menyembah kubur. Setengahnya menyembah orang-orang
menggantungkan nasib kepadanya.15
Kata tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) dalam al-Quran seringkali di sebutkan dalambentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi,
12
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 451.
13
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 465
14
Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta :Pustaka Panjimas, 1982), h.26.
baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab
Mu’jam al-Mufahrâs, kata tâghût yang penulis jumpai dalam al-Quran terdapat 12
kali disebutkan.
Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali
dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara umum kata tersebut terdistribusikan
sebagai berikut:
a. Bentuk tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) surat Baqarah (2) ayat 256 dan 257, suratal-Nisa (4) ayat 51,60, 76,surat al-Maidah (5) ayat 60, surat al-Nahl (16) ayat
36, surat al-Zumar (39)ayat 17.16
b. Sedangkan dalam bentuk “tughyân” (
نﺎﯿﻐﻃ
) ada dalam surat al-Baqarah(2) ayat 15, Maidah (5) 64,68,72, Surat An’am (6) ayat 110, surat
A’raf (7) ayat 186,surat Yunus (10) ayat 11,surat Isra, (17) ayat 60.
al-Kahfi (18) ayat 80, surat al-Mu’minun (23) ayat 75.
c. Dalam bentuk ‘taghwu” (
ﻮﻐﻃ
) isim masdar, tertera dalam surat al-Syams(91) ayat 11 (
ﻰﻐﻃ
) fiil madhi, surat al-Haqqah 969) ayat 11, surat Thaaha(20) ayat 24, 43, surat al-Najm (53) ayat 17 dan surat al-Naziat (79) ayat
17 dan 37,surat al-Fazr ayat 11.
d. Dalam bentuk “Tathgâw-yatgha-athgha’ (
ﻮﻐﻄﺗ
-
ﻮﻐﻄﯾ
-
ﻰﻐﻃ
ا
) fi’ilmudhari,surat Thaha (20) ayat 24,45 dan 81, surat al-Rahman (55) ayat 8,,
16
Al-Haj Khan Bahdur Altaf Ahmad Kheirie, R.A.S Index Cum Concordance For The
surat Hud (11) ayat 112, surat Qaaf (50) ayat 27, surat al-Nazm (53) ayat
52, surat al-‘Alaq ayat 6.
e. Dalam bentuk Taghin (
غﺎﻃ
), isi Fail yaitu : surat Shaffat (24) ayat 30,surat Shad (38) ayat 56, surat 56,surat Dzariyat (51) ayat 53, surat
al-Thur (52) ayat 32, surat al-Qalam (68) ayat 31,al-Haqqah (69) ayat 5, surat
al-Naba (78) ayat 22.17
17 Al- raghib Asfhanniy, Al-Mu’zam Mufradat Alfâz Al-Qur’an, Jilid 2, (Beirut : Dar al-
18 A. Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb
Pandangan beberapa para mufassir dalam menafsirkan konsep tâghût secara
global mempunyai kemiripan pandangan akan tetapi dalam ciri khasnya
mempunyai perbedaan yang mendasar dari mulai menafsirkan gaya bahasa,
struktural profesi, dengan mufradatnya, sampai kebudayaan sosial waktu itu.
Sebagaimana dalam pandangan Ibnu Katsir menyikapi surat al-Qur’an dibawah
yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya.1 dikunci mati
oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.
Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar
berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan
menjadikannya yahudi tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada
anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan
anak kami jadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam
agama. “Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.
Cerita senada diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Bandar,
diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari hadis Syu'bah. demikian pula
Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan karena
kejadian tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat
itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang
bernama al-Husaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk
agama Islam. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Apakah saya
dianggap memaksa keduanya” padahal keduanya telah menolak agama kecuali
agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat di atas berkaitan dengan itu.
Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak
untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan
memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al-Fath: 16) Allah
berfirman,
1
mempersaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, maka sesungguhnya dia
telah berpegang pada tali yang amat kokoh. Tâghût ialah 'setan'. Istilah tâghût
mencakup segala kejahatan yang dilakukan kaum jahiliah, seperti menyembah,
berhakim, dan meminta tolong kepada berhala.
Firman Allah, “Maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus.”Yakni, sesungguhnya dia telah memegang
teguh agama dengan sarana yang paling kuat. Kondisi itu diserupakan dengan tali
yang teguh yang tidak akan putus sebab jati diri tali itu stabil, kokoh, dan kuat,
serta ikatannya sangat keras. Tali yang kuat itu ialah iman dan Islam. Tidak ada
kontradiksi antara orang yang berpendapat bahwa tali itu ialah “tidak ada tuhan
melainkan Allah”, ia adalah al-Qur'an, ia adalah cinta karena Allah dan benda
karena Allah pula. Semuanya benar. Berkaitan dengan firman Allah “tidak rapuh”,
Mu'adz bin Jabal berkata, “Ayat itu berarti 'tidak masuk surga'.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia
berkata (410) “Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seseorang yang
di wajahnya ada tanda kekhusyuan. Dia shalat dua rakaat secara singkat.
Orang-orang berkata, “Orang ini ahli surga.” Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya
sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk ke rumahnya. Kami mengobrol, dan
setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid, orang-orang
mengatakan bahwa engkau adalah ahli surga.' Dia menanggapi, 'Maha suci Allah.
Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Saya
Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan
hijau.”Ibnu Aun berkata: “Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.
Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan
bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba
dikatakan kepadaku, 'Naiklah!' Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.' Kemudian
datanglah pelayan.” Ibnu Aun berkata, “Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan
menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, “Naiklah”! Maka aku pun
naik hingga berhasil memegang tali. Dia berkata, 'peganglah tali itu.' Maka aku
terbangun dan tali itu benar-benar ada di tanganku. Kemudian aku menemui
Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau.
Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu
melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan
senantiasa memeluk Islam hingga mati.” Hadis ini dikemukakan dalam sahîhain.
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menunjukkan orang yang
mengikuti keridhaan-Nya sebagai jalan keselamatan. Kemudian Dia
mengeluarkan hamba-hamba yang beriman dari kegelapan, kekafiran,
kegamangan., dan keraguan, kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, dan
mudah, dan bahwa orang-orang kafir memiliki para pelindung, yakni setan yang
menjadikan kebodohan dan kesesatan itu indah dalam pandangan mereka serta
mengeluarkan dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran kepada kekafiran
dan keingkaran. "Mereka itulah para penghuni neraka, sedang mereka kekal di
dalam-nya.” Oleh karena itu, Allah menjadikan kata al-Nûr tunggal dan kata
al-Zulumât jamak, karena kebenaran itu satu dan kekafiran itu memiliki banyak
jenisnya dan semuanya batil. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bahwa (yang
kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).3
Sedangkan menurut Sayyid Quthb konsep Tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah variasibentuk kata dari “tughyân” (
نﺎﯿﻐﻃ
), yang berarti segala sesuatu yang melampauibatas yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas
yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada akidah
Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah, lebih jauh menurut
beliau yang termasuk dalam kategori tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah juga setiap manhaj
3
Tafsir Ibnu Katsir “Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” (Jakarta, Penerbit: Gema
tatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap
pandangan, perundangan-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak
berpijak pada peraturan dan syariat Allah.4
Kemudian Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan diturunkan
al-Quran, dan diutusnya Rasulullah serta ditolongnya orang-orang yang dekat
dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk dengan kesesatan, dan
antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, orang yang tidak percaya
kepada tâghût yaitu setan yang membujuk orang untuk menyembah berhala, lalu
dia beriman kepada Allah Ta'alalalu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad itu utusan Allah, maka berarti dia telah berpegang pada agama
Islam dengan tali yang terkuat. Dan orang yang bersikeras dengan kekafirannya
kepada Allah dan percaya kepada tâghût, maka ia berpegang pada tali yang lebih
rapuh dari pada sarang laba-laba.
Allah mendengar kata-kata hamba-Nya, mengetahui mata mereka dan
perbuatan-perbuatan rahasia mereka, dan akan membalas masing-masing sesuai
dengan perbuatannya. Kemudian Allah membeitahukan bahwa Dia adalah
penolong hamba-hamba yang beriman, Dialah yang telah mengeluarkan mereka
dari gelapnya.5 kekafiran dan kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu dan iman,
sehingga mereka menjadi sempurna, dan bahagia. Sedangkan orang-orang kafir,
penolong mereka adalah tâghût yang terdiri dari jin setan dan manusia yang
membujuk mereka berbuat kebatilan dan keburukan, dan merangsang mereka
berbuat kufur, fasik, dan maksiat. Dengan demikian, tâghût telah mengeluarkan
mereka dan cahaya kepada kegelapan dan menyiapkan mereka masuk neraka
untuk selama-lamanya.
5 Allah Ta’ala Menggunakan Kata Nûr Dalam Bentuk Mufrad (Singulair) Dan Kata-Kata
Konsep Tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) Menurut Quraish Shihab terambil dari akar katayang berarti melampaui batas, biasanya digunakan untuk yang melampaui batas
dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir (pesulap, termasuk didalamnya Dukun
atau paranormal, yang menetapkan hukum (pemerintah atau para hakim, jaksa dan
pengacara) bertentangan dengan ketentuan ilahi,tirani, semuanya digelari dengan
tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) Kata taghâ dalam berbagai bentuknya ditemukan dalamal-Qur’an sebanyak 39 kali.6 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya
air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini di
Baqarah ayat 15, al-Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata
taghâ dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang fir’aun
kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan dan perlakuan kejam terhadap
manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat
diambil dari ayat lain.7
Dengan demikian kata taghâ (
ﻰﻐﻃ
) menerangkan sikapkesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh
sekian banyak ulama tafsir.
Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan
bahwa yang dimaksud tâghût (
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yangdisembah, oleh kaum musyrikin Makkah dan juga syaitan serta segala macam
berhala. Demikian al-Biqai menafsirkanya. Sedangkan menurut al-Maraghi,
bahwa tâghût yaitu melanggar yang hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan
kebatilan, kezaliman dan kejahatan.8
Sedangkan dalam surat al-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût
(
تﻮﻏﺎﻃ
) adalah dua tokoh Yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibnal-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang Yahudi menuju Mekah untuk
menjalin kerja sama dengan penduduk Makkah memerangi Nabi Muhammad
saw., mereka disambut baik oleh tokoh kaum musyrik Makkah ketika itu, yakni
Abu Sufyan, tokoh-tokoh Makkah meragukan keikhlasan orang Yahudi sambil
berkata, “kalian, wahai orang Yahudi, adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga
7
Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an, h. 105
demikian maka kami meragukan kalian, Bila ingin kami melawan Muhammad
bersama kalian, akan sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan
percayalah kepadanya”.
Orang-orang Yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Makkah
kemudian mereka memilih masing-masing tiga puluh orang dari kelompok
Yahudi dan Musyrik Makkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti
janji setia memerangi nabi Muhammad saw, setelah Abu Sufyan bertanya kepada
Ka’ab, ‘Engkau membaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian,
siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya dari pada Muhammad
dan sahabat-sahabatnya’.9
Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyraf,
dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan
merujuk kepada nabi Muhammad saw, untuk menyelesaikan perselisihanya,
walau lawannya orang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik, Ada lagi yang
memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa
jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.10
sedangkan Hamka menyimpulkan secara ringkas tentang konsep tâghût
adalah pelanggar batas norma kebenaran hakiki, sesuai dengan tafsirannya pada
surat al-Baqarah 256 yaitu “akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya,
pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang
bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin (presiden, DPR dll),
dukun atau paranormal, syaitan, juga berhala, dengan makna lain orang-orang
9
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 451
yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat
tâghût.11 Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni
setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya
menyembah orang-orang hidup, yang dipandang sebagai pahlawan, lalu orang
menggantungkan nasib kepadanya.12
Pelajaran Yang dapat diambil dari Ayat 256-257
1. Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam
kategori mereka, seperti orang-orang Majusi dan Shabi'ah tidak boleh dipaksa
masuk Islam kecuali atas pilihan dan kemauan mereka sendiri dan harus
membayar jizyah (pajak) dan mereka tetap dalam agamanya.
2. Islam itu seluruhnya adalah petunjuk (hudan) sedang lainnya adalah sesat dan
salah.
3. Meninggalkan keburukan itu diprioritaskan dan didahulukan daripada berbuat
keutamaan.
4. Makna Lâ ilâha illallâh adalah beriman kepada Allah dan kafir pada tâghût.
5. Kedekatan dengan Allah dapat dicapai dengan iman dan takwa.
6. Pertolongan dan perhatian Allah diberikan kepada orang-orang yang dekat
kepada-Nya.13
C. Macam-Macam Taghût
a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran
11 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 26
12 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 29
13
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir al-Kautsar” (Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996),
Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia
turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih
baik sebagaimana Firman-Nya :
Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:14
termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk
disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka
ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan
dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.16
Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah
ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan
yang lainnya.17
Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah
hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung
masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di
dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan :
Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian
dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang
dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan
yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi
kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul
tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan
hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok
pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di
pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan.
Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta
prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini.
16
Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496
Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik
manusia (seseorang), sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan
untuk manusia tanpa seizin Allah.
Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia,
syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan
ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian
dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib
ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia
dan dijadikan hakim (pemutus) oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi
kekuasaan.
Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini,
tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun
itu dianggap masalah kecil oleh manusia.
Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur,
Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi
dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang
berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau
menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan
fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua
golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara
sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang
menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir,
Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan
Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti
mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin.
Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak
ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang
mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk
kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada
okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak
ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia
mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada
Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui
lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam (kafir).
Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah
ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah
-an-Nya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau
tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman,
Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan
hakekat masalah ini.
Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia
menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di
bumi untuk manusia, Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya.
maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta
segala-galanya.
Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik
tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân (Kuasa dan Kuat). Tidak ada
suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap
tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah,
Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan
kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam
syariat-Nya. Maka arti istislâm (pasrah) kepada syariat Allah sebelum yang lainnya
adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya
serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang (tidak pasrah) terhadap
syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek
kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah (Zat yang hak
disembah) dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya (Zat pemelihara dan Pencipta
segala). Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja,
baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul
permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam.
Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan
(anggapan) tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat
(undang-undang) buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam
pembahasan ini;
“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. ( al-Maidah : 50)
Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari
syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan
kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan
iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat
buatan manusia itu melebihi (menandingi) syariat Allah dalam setiap keadaan dan
dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman.
Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini (yaitu antara hukum
Allah dan hukum buatan Manusia) dan dengan memakai kata-kata “man” ( ﻦﻣ )
yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah (dalam ilmu nahwu) yang
menunjukan kepada pen-ta’miman (mencakup siapa saja) ditambah dengan
kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali,
tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di
turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak
berhukum kepada al-Quran berarti (kafir). Seperti yang telah kami sebutkan
karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran (apa-apa yang telah di
turunkan Allah), tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat
ke-ulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang
menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum (undang-undang).masa dan
bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi
menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala
keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan.18
b. Para Pendeta dan Pastur
Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah.
Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal
sehingga kaumnya mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman
Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A 'masy dan Sufyan Tsauri
ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat
dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu
persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk
mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para
pendeta dan Pastur (alim ulama) sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka
menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha
Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka
bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan
maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan
realita.20
Sesungguhnya nash al-Qur'an menyamakan sifat syirik dan menjadikan
tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima syariat
(hukum) dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyah
-an nabi Isa dalam keyakin-an d-an dalam praktek. Kedu-anya ini sama di-anggap
musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik (menyekutukan
Allah) itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum
dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman
akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus
ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang
pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan
dan kesangsian kaum muslimin (dalam masalah ini) ketika itu dimana mereka
menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka
menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka
ahl al-Kitâb.
Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga
menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa
agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak
berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada
Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu
kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia
yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar "musyrik" dan
"kafir" sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia
beriman. Karena hanya dengan sekedar dia "ikut" kepada hukum buatan manusia
dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka (manusia tersebut)
untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti karena mereka memaksanya
sehingga tak mampu mengelak.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân,"
Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan
yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
ada beberapa golongan.
Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi
mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan
menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang
dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran
tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka,
dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang
dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga
bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama
seperti Bani Israil.
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu
Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra,
bahwa ketika da'wah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu
pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta
beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw.
Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh
datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke
Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang
cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut
menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib
dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:(Taubah 3l)
Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata kepada beliau: Mereka tidak
menyembah para pendeta dan pastur itu”.
Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.21
Mentaati para pendeta dan pastur (alim ulama) dalam bermaksiat kepada
Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang
tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat
al-Taubah ayat 31: 22
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib(pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu
menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan
oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala
keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan
penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut
mereka, yang mereka namakan "wilayah".23 Sedang ibadah dan penyembahan
kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan
kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu
dan jahil.24
Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan
keledai yang memanggul kitab (buku-buku), tak mengerti apa isinya. Maka
mulailah mereka membuat hukum (undang-undang) untuk ummat manusia
berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada
dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang
yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa
adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal
mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah
bangsa-bangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang
undang (Hukum) yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang
bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan
“Tåghût”.
23
Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya.
c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat A’râf:7/175-176 dan
manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid
buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw.
Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk
meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan
hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka
pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan
untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak
mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat
besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah
dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar.
Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di
Akhirat.
Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat (hukum) islam itu tidak berlaku pada
hal-hal (perkara) besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua
orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum
pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan
dengan ilmu tauhid.
Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara
Muhkâmât (ayat yang jelas tidak perlu ta’wil) yang tidak mungkin mengundang
perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut
tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman.
Adapun masalah-masalah yang membutuhkan Ijtihad mengikuti