• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Al-Shulhu dalam kewarisan menurut fiqh dan hukum islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Al-Shulhu dalam kewarisan menurut fiqh dan hukum islam di Indonesia"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

M. Ali Ja’far Shidiq 103044128082

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH

DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : M. Ali Ja’far Shidiq

103044128082

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Sri Hidayati, M.Ag Kamarusdiana, S.Ag. MH NIP : 150 282 403 NIP : 150 285 972

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.

Jakarta, 6 Februari 2009 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………..) NIP. 150 285 972

3. Pembimbing I : Sri Hidayati, M.Ag (………..) NIP. 150 282 403

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………..) NIP. 150 285 972

(4)

6. Penguji II : JM. Muslimin, MA, Ph.D (………..) NIP. 150 312 427

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 Februari 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah Allah SWT. penelitian yang berjudul “KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA” ini terwujud dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa atas segala nikmat iman, Islam dan ilmu, serta kesehatan yang senantiasa di anugrahkan kepada penulis.

(7)

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. beserta pembantu Dekan dan jajarannya.

2. Ketua program studi Ahwal Syakhshiyah, Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku Sekretaris Program Studi yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku dosen pembimbing yang sangat teliti memberikan bimbingan dan motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Khususnya dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihat dan para karyawan UIN, yang telah memberikan bantuan pelayanan yang baik selama penulis menyelesaikan studi.

5. Ayahanda (alm) dan Ibunda tercinta yang telah memberikan limpahan kasih sayangnya dan tiada henti-hentinya memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT. untuk memohon keberkahan serta kesuksesan bagi anak-anaknya sepajang masa. Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada keduanya.

(8)

7. Bapak Drs. H. Muhlisin dan keluarga, Bapak Drs. Arif Muchsin Yasin dan keluarga yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.

8. Khususnya para guru saya: Kyai Zainal Muttaqien, Kyai Abdul Barri, Nyai Rosyidah, Nyai Muznah, serta yang lainnya. Juga kawan-kawan Kajian Mingguan Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBAL) Pondok Pesantren Nurul Huda Munjul Astana Japura Cirebon di Ciputat: Ubaidillah, Nanang Syairozi, Luqman Hakim, serta yang lainnya, Presiden IKBAL Cabang Ciputat Masa bakti 2007-2009 sahabat Abdul Rosyid, S.Psi. dan sahabat Dedi Sya’dallah, SHI. yang telah banyak membantu dan memberikan inspirasi serta motivasinya dalam penulisan skripsi ini.

9. Rekan-rekan Peradilan Agama Periode 2003-2008, serta Kepala Masjid Al-Barokah, Drs. Fakhruddin, MM, Kepala TPA Al-Al-Barokah, K’ Sukesih dan rekan-rekan pengajar semuanya.

Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang setulusnya-tulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan bimbingannya, baik yang telah disebutkan nama-namanya di atas maupun yang tidak sempat disebutkan namanya. Kepada Allah SWT, penulis memohon semoga mereka diberikan pahala yang berlipat ganda dan dicatat sebagai amal abadah di sisi-Nya. Amin ya robbal’alamin.

Jakarta: J a n u a r i 2009 M Muharrom 1430 H

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM A. Pengertian Waris ... 13

B. Dasar Hukum Waris ... 15

C. Rukun dan Syarat pembagian waris ……….………..……… 19

1. Rukun Waris ………..……….……… 19

2. Syarat Pembagian Waris ……….……….……….. 20

D. Sebab-sebab dan Penghalang waris ……….……. 21

1. Sebab-sebab Waris ………..………..…….... 21

(10)

E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli waris ……..………..…..…... 28

BAB III KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu ... 42

1. Pengertian al-Shulhu ... 42

2. Dasar Hukum al-Shulhu ... 45

B. Kedudukan Al-Shulhu dalam Fiqh ... 47

1. Rukun Al-Shulhu ... 47

2. Syarat Al-Shulhu ... 48

BAB IV PEMBAGIAN WARIS DENGAN AL-SHULHU PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA A. Al-Shulhu dalam Waris menurut Fiqh …….………..…...……... 53

B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia .... 59

C. Hikmah Al-Shulhu ……… 62

1. Menurut Hukum Islam …………...……… 62

2. Menurut Hukum Positif ……….. 64

D. Analisa Penulis tentang Al-Shulhu ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup, mati, dan kebangkitan kembali di akhirat kelak. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.

Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya. Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh, dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas kehidupannya.

(12)

Jadi, dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu suatu proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.1

Fiqh mawaris sebagai hasil kerja intelektual melalui istinbat atau ijtihad dalam memahami ketentuan ayat al-Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan secara detail oleh para ulama. Akan tetapi perkembangan sosial dan kebiasaan yang terjadi dan tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat melahirkan beberapa gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan.2

Kenyataan demikian sah-sah saja keberadaannya, karena memang salah satu karakteristik fiqh adalah terdapatnya khilafiyah atau perbedaaan pendapat diantara para ulama, apakah itu sebagai hasil istinbath individual atau merupakan kesepakatan para ulama regional yang sering disebut dengan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Pada dasarnya hukum kewarisan Islam berlaku untuk semua umat Islam yang ada di dunia ini, namun corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah atau negara itu. Dan pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal atau dimungkinkannya ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam itu sendiri.3

1

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana: 2005), cet. ke-2. hal. 16

2

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 198

3

(13)

Berbeda dengan hukum-hukum yang lain, Allah memberikan kekhususan dalam hal kewarisan, yaitu dengan menerangkan secara rinci pembagian harta pusaka di dalam al-Qur’an dengan tujuan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama ahli waris sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi, karena persoalan waris sering kali timbul menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif dalam sebuah keluarga.

Dalam sejarahnya, sebelum turunnya ayat-ayat tentang kewarisan di Madinah, masyarakat jahili dan kelompok muslim pemula masih menerapkan dan mempertahankan sistem kewarisan yang bercorak patrilineal. Tradisi trabalisme (kesukuan) masyarakat pada masa itu mengukuhkan hanya orang lelaki yang kuat dan pandailah serta orang-orang yang memperoleh kehormatan untuk melakukan ikatan saling waris mewarisi yang akan dapat mempusakai harta orang yang meninggal. Anak-anak kecil dan kaum wanita tidak diberi hak sedikitpun untuk mewarisi karena mereka dianggap orang-orang yang lemah, tidak bermanfaat dalam mempertahankan dan mempertaruhkan kekuasaan suku diantara mereka.4

Menurut tradisi mereka, kaum wanita dianggap sebagai harta warisan. Oleh sebab itu, mereka tak berhak menerima warisan. Bahkan menurut Syari’at Yahudi, kedudukan kaum wanita juga tidak baik. Hal ini diungkapkan dalam Jewish Encyclopaedia yang dikutip oleh Maulana Muhammad Ali dalam bukunya “Islamologi” adalah sebagai berikut: “Pada saat itu tak dipersoalkan seorang janda

4

(14)

mendapat bagian waris dari harta suami yang meninggal, karena janda itu dianggap sebagai barang warisan yang harus diserahkan kepada ahli waris... Demikian pula tak dipersoalkan tentang anak perempuan bahwa mereka menerima warisan dari ayah mereka, karena anak perempuan itu dikawinkan oleh ayahnya, atau setelah ayah meninggal, dikawinkan oleh saudara laki-laki atau kerabat terdekat, dengan demikian, mereka menjadi harta pusaka dalam keluarga di mana mereka dinikahkan” (En. J, halaman 583).5

M. Ali Hasan menegaskan dalam bukunya “Hukum Warisan dalam Islam” bahwa, mereka beranggapan janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya sebagaimana dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan:

!

"

#

$

# %

&

'

"(

*

+

%

,

*

-.

%

/

!

"

%

6

Artinya : “Bila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya pada muka perempuan tersebut. Hal ini berarti ia melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik, terus dikawininya dan jika jelek ditahannya sampai meninggal dunia dan kemudian dipusakai harta peninggalannya.”

Akan tetapi, setelah perkembangan Islam sudah semakin maju, aqidah umat Islam bertambah kuat, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan

5

Maulana Muhammad Ali, Islamologi : Dinul Islam, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996), cet.V, hal. 820

6

(15)

lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan dibatalkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an:

!"#$

#%&

$ '(

")

*

+,

-

")

!"#$

./#%&

$ '(

")

01

%24

))5

"67-

8

9

-:

4;) $=0

>?

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.” (Al-Nisa, 4:7)

@A*B

C#D

E

FG H

IJKL MN

))5

O

8P

1Q

RS

2

HT"U Q V(

Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan”. (An-Nisa, 4:11)

Dalam surat di atas ( al-Nisa, 4:11), ketentuan pembagian ini bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial Islam. Selain itu, agama Islam menghendaki dan meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.7

7

(16)

Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara kongkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun dalam kenyataannya, masyarakat sering melakukannya dengan cara perdamaian dan tidak menggunakan ketentuan tersebut.8

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada buku II tentang hukum kewarisan BAB III pasal 183 yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari

bagiannya.”9

Meminjam bahasa ushul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan ‘urf. Kata ‘urf ini seakar dengan kata ma’ruf yang artinya baik, jika penggunaannya konsisten. Sesungguhnya tidak bisa dikatakan ‘urf, jika kebiasaan tadi tidak membawa kebaikan atau kemashlahatan bagi manusia. Secara sosiologis dalam masyarakat sering terjadi suatu tindakan yang terjadi secara berulang-ulang yang dianggap baik, meskipun kadang-kadang berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku.10

Oleh karena itu, penulis mencoba membahas bagaimana kedudukan al-shulhu dalam ilmu waris menurut hukum Islam, dan sebagai perbandingan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan pendapat para ulama, sehingga jelas akan kedudukan

8Ibid.

hal. 198

9

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), cet.I, h.

10

(17)

hukum pembagian waris melalui asas perdamaian (shulh) dengan mengenyampingkan ketentuan nash yang qoth’i.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Sebelum pada perumusan masalah, keluasan kajian skripsi ini akan dibatasi pada suatu tema yang menjadi pusat kajian “Kedudukan al-Shulhu dalam Kewarisan Menurut Fiqh dan Hukum Islam di Indonesia”. Adapun yang

dimaksud dengan shulh ini adalah jalan perdamaian yang dilakukan oleh ahli waris dalam menyelesaikan perkara waris. Sedangkan fiqh disini adalah pendapat para imam mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dan hukum Islam di Indonesia adalah hukum yang sudah di sahkan oleh negara dalam hal ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari tema tersebut bisa dilakukan peninjauan dari segi hukum Islam tentang kewarisan sebagai perbandingan.

2. Perumusan Masalah

(18)

pembagian waris ini tidak menggunakan aturan-aturan yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an. Dari kasus tersebut, terdapat tindakan menyimpang dari hukum yang sudah qath’i yaitu dengan menggunakan perdamaian. Artinya tidak ada lagi bagian 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, 2/3 (furud al-muqaddaroh), akan tetapi mereka menggunakan pembagian sama rata dari harta yang ditinggalkan itu. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui kekuatan hukum tentang perdamaian (shulh) yang terjadi pada pembagian waris menurut “Perspektif fiqh dan hukum Islam di Indonesia tentang pembagian warisan dengan konsep al-shulhu”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Skripsi yang penulis buat ini, seperti yang telah dibatasi dan dirumuskan di atas bertujuan “untuk mengetahui konsep fiqh dan hukum Islam di Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang penyelesaian waris dengan jalan perdamaian”.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini, penulis membagi dua bagian yaitu: 1. Kegunaan teoritis, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

(19)

2. Kegunaan praktis, yaitu dengan hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, dan dapat dijadikan sebagai motifasi untuk mendalami ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kewarisan.

D. Metode Penelitian

Adapun metodologi penelitian ini terdiri dari : 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang diangkat. Adapun dari segi tujuan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif – Analitis yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan

memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data yang ada.

2. Teknik Pengumpulan Data

Di dalam tehnik pengumpulan data ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research/ literature study) murni, yaitu sebuah kajian yang mencari data-data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian ini di dalam dokumen atau bahan pustaka.11 Adapun jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan sekunder. Jenis data primer adalah data yang diambil langsung dari sumbernya, seperti kitab-kitab klasik (al-Fiqh ala

11

(20)

Madzahib al-Arba’ah, Shahih Bukhori, Shahih Muslim) dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Sedangkan jenis data sekunder adalah data yang diambil dari buku-buku penunjang yang memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengolahan Data

Dalam riset kepustakaan ini, penulis membaca dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Melalui riset ini akan terdapat konsep, teori dan definisi-definisi yang akan penulis pergunakan sebagai landasan berfikir dan analisa dalam proses penulisan.

4. Tehnik analisa Data

Setelah terkumpul data-data yang diperlukan, maka penulis mencoba untuk menganalisa data yaitu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.12 Oleh karena data yang diperoleh berupa data kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif atau biasa disebut dengan analisis isi (content analysis), dengan menggunakan pola pikir deduktif yang berangkat yang berangkat dari dalil-dalil yang bersifat umum untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

5. Teknik Penulisan

12

(21)

Sedangkan teknik penulisan pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007” dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalamnya dengan pengecualian sebagai berikut :

1. Penulisan ayat al-Quran tidak menggunakan catatan kaki dan sebagai sumber penulis menggunakan al-Quran yang diterbitkan oleh yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

2. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan ejaan yang telah disempurnakan kecuali nama pengarang.

3. Dalam kepustakaan, al-Quran dan terjemahnya ditulis dalam urutan pertama sebagai tanda penghormatan sebelum sumber-sumber yang lainnya.

E. Sistematika Penulisan

Penyusunan penulisan skripsi ini, penulis menyusun pembahasannya menjadi empat bab. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

(22)

BAB II. Yaitu membahas seputar waris dalam Islam yang meliputi pengertian waris dan dasar hukum waris, rukun dan syarat pembagian waris, sebab-sebab dan penghalang waris, ahli waris dan bagian-bagian ahli waris

BAB III. Yaitu ini membahas tentang kedudukan al-shulhu dalam ilmu waris, yang meliputi pengertian dan dasar al-shulhu, kedudukan al-shulhu dalam fiqh, hikmah al-shulhu menurut hukum Islam dan hukum positif.

BAB IV. Yaitu membahas tentang pembagian waris dengan shulh perspektif fiqh dan hukum Islam di Indonesia, yang terdiri dari pendapat para pakar ilmu waris, pembagian waris dalam hukum Islam di Indonesia, analisa penulis tentang al-shulhu.

(23)

BAB II

PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM

A. Pengertian Hukum Waris

Hukum kewarisan dalam Islam yang mengatur tentang peralihan harta seseorang dikenal dengan sebutan “fiqh mawaris”. Lafaz mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal “mirats” yang mempunyai arti harta warisan atau peninggalan mayit.13

Dalam bahasa Arab dikenal dengan nama ilmu faraidh. Faraidh adalah jama’ dari kata fardh yang artinya takdir (ketentuan), sebagai mana firman Allah swt. Yang artinya sebagai berikut : “separuh dari apa yang kamu tentukan”.14

Menurut Fatchurrachman dalam bukunya “ilmu waris” disebutkan bahwa lafaz al-faraidh, merupakan jamak dari lafaz faridhah, lafaz faradhiyun diartikan oleh

ulama semakna dengan lafaz mafrudhah yaitu bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham (bagian-bagian) yang telah dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan kadarnya.15

13

A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustak Progresisif, 1997), et.Ke-14,h.i

14

Sayyid sabiq, Fiqh sunnah, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987), juz 14, cet.I, h. 252

15

(24)

Secara etimologi kata al-fardh memiliki beberapa arti, diantaranya adalah sebagai berikut:16

1. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian

2. Al-Taqdir yang berarti suatu ketentuan

3. Al-Inzal yang berarti menurunkan

4. Al-Tabyin yang berarti penjelasan

5. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan

6. Al-‘Atha’ yang berarti pemberian

Kata waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waratsa, yaritsu, irtsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.17 Sedangkan Mawarits adalah jama’ dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dinamakan dengan mauruts) ialah: “harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para pewarisnya”.18

Menurut Amir Syarifuddin bahwa hukum kewarisan adalah “seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal

16

Komite Fakultas Syari’ah Univ. al-Azhar, Hukum Waris (terjemah)

17

H. Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007), h.1

18

(25)

peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.19

Jadi, pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan harta peninggalan, bagaimana kedudukan msing-masing ahli waris serta bagaimana atau berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna.20

B. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan

Sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian warisan adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Sebagai nash yang qoth’i al-Qur’an menghapus ketentuan hukum kewarisan pada masa jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada masa-masa awal Islam, yaitu bahwa hanya ahli waris laki-laki dan yang sudah bisa berperang yang mendapat warisan dari keluarga yang telah meninggal. Tetapi Islam datang menghapus ketentuan tersebut, bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan termasuk didalamnya anak-anak, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang telah ditentukan oleh nash. Sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 7, sebagai berikut :

19

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. Ke-2 h.6

20

(26)

!"#$

#%&

$ '(

")

*

+,

-

")

!"#$

./#%&

$ '(

")

01

%24

))5

"67-

8

9

-:

4;) $=0

0 1 .# 2 3 4 5

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. Al-Nisa, 4:7)

Dalam ayat selanjutnya, al-Qur’an menegaskan secara definitif tentang ketentuan bagian ahli waris yang biasa disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau bagian yang telah ditentukan oleh nash, dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :

@A*B

C#D

E

FG H

IJKL MN

))5

O

8P

1Q

RS

2

HT"U Q V(

9

W X

*8

Y*

+, Z

[I# X

HT \ ]$A

_`

X

Q7 7A

O

a")

bc

8

4d

M 2!")

_`

X

4

9

2D"# &f(")

R1*B

:M `!")

ghi

j0Mk,

a

8

l%2

m

")

9

W X

AP

*B D

l5P

m

")

=l%2)Ao")")

%`

"# &)5

2

p+ X

i7 qV

9

W X

8

=l5

rd"#s a

2

p+ X

j0Mk,

9

8

M7 &

:tuU C")

m N#D

thv

))5

H$w

B

IJ*8*

&

"*

IJ*8*

d-I&)5")

xy

)jobM

IJ_zD)5

{|

$ )5

I&*B

-7$=

9

4tx D

X

.}

~

B

0

a

P

8

Q

B

2

(27)

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Nisa, 4:11)

Dan pada ayat selanjutnya Allah menerangkan bagian suami. Jika dia mempunyai anak maka bagiannya adalah seperdua (1/2), dan jika dia tidak mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4). Dan bagian isteri jika dia tidak mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4), dan jika dia tidak mempunyai anak maka baginya adalah seperdelapan (1/8). Ayat ini juga mengatur bagian untuk saudara-saudara pewaris ketika pewaris tidak mempunyai anak.

IJK€

")

IJK€•!")$‚)5

a

AP

*B D

_P

m

")

9

W X

xL

ƒ}_

m

")

JK€`

X

„%&…

s †L

9

8

M7 &

:tuU C")

.‡T C#D

_

&

))5

5‡$w

9

ƒ}_

")

„%&…

A%'$8

a

IJP

K€ D

IJ*BP

mM

")

9

W X

xL

IJK€

m

")

_`

X

  qQ

f*ˆ†L

9

8

M7 &

:tuU C")

./#C#7

_

&

))5

5H$w

B

a")

./

8

r1•"o

]"o#D

N‰

N` xL

))5

rd)5

$

=l5 ")

Š‹)5

))5

rcsŒ5

R1*B

X

(28)

_-j0Mk,

9

W X

O

F#%

xL

"6 -†L)5

:

! •

bc_ X

j* xL"6KŽ

G H

i7 qV

9

8

M7 &

:tuU C")

9m+N#D

thv

))5

H$w

"6I

Š

o

x 

9

4tuU C")

s

~

B

E

")

A

A

2

Artinya: “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang ditinggalkan isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu mempunyai anak, maka kamu mempunyai seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah ditunaikan wasiat yang mereka buat, dan sesudah dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri mendapat seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua saudara itu sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah ditunaikan wasiat yang telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas hutangnya dengan tidak mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)

2. Al-Sunnah

Hadis yang menjadi hukum ketentuan pembagian warisan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari adalah:

78

& 9- 87

:;

7#

9

<:-9# 78

=9ﺱ

7

9

9?

@ A

B

! C7

DE F7

% 7GH

I

I

7 H !%" : "

0

J K L 5

21

Artinya : “Dari Ibnu ‘Abbas bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang

21

(29)

berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.” (HR. Bukhari)

3. Ijma’ dan Ijtihad

Dalam masalah kewarisan ini peran ulama pun tidak kalah pentingnya, mereka diminta pendapatnya melalui ijma’ dan ijtihadnya unutk menyelesaikan masalah yang belum dijelaskan dalam nash-nash yang sharih. Seperti pembagian Muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-Jad wa al-Ikhwah (kakek bersama-sama

saudara), pembagian cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam masalah ‘Aul dan Radd, pembagian tsulutsu al-baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hanya bersama bapak dan suami atau istri dalam masalah Gharrawain, dan lain sebagainya.

C. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan

1. Rukun Waris

Rukun waris ada tiga, yaitu:22

a. Al-muwarrits (orang yang mewariskan), yaitu orang yang meninggal dunia atau mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.

22

(30)

b. Al-waarits (pewaris), adalah orang yang mempunyai hubungan penyebab memperoleh kewarisan dengan yang meninggal dunia tersebut (mayit).

c. Al-mauruuts (harta yang diwariskan), yaitu harta yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.

2. Syarat Pembagian Warisan

Kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum kepada yang lainnya. Dan diantara akibat hukum itu adalah kewarisan, adapun syarat-syarat pewarisan adalah sebagai berikut:

a. Kematian orang yang mewariskan, baik secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.23

b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum dianggap hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka diantara mereka

23

(31)

itu tidak ada waris-mewarisi. Dan harta masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.24

c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan. Yang dimaksud adalah tidak adanya penghalang (misalnya: pembunuh, murtad) atau seseorang yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan, misalnya: saudara dari si mayit terhalang karena adanya anak laki-laki dari yang meninggal.

D. Sebab-Sebab dan Penghalang Warisan

1. Sebab-sebab mendapatkan Warisan

Seseorang tidak mendapatkan warisan dari orang lain kecuali karena salah satu sebab dari sebab-sebab di bawah ini, yaitu:

a. Nasab atau kekerabatan. Artinya, ahli waris ialah ayah dari pihak yang diwarisi, atau anak-anaknya, dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak mereka, dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka. 25 Karena Allah Ta’ala berfirman:

24Ibid,

h.259

25

(32)

1K€

")

d-X

7

"G‘!"#

!"#$

./#%&

$ '(

")

9

Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya.” (Al-Nisa: 33).

b. Pernikahan yang shahih. Suatu pernikahan dianggap masih utuh apabila perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i, tetapi masih dalam masa ‘iddah. Sebab pada saat itu, suami masih mempunyai hak penuh untuk merujuk kembali bekas istrinya yang masih menjalankan ‘iddah, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri dengan membayar mas kawin baru dan menghadirkan saksi serta wali. Dengan demikian, hak suami istri untuk saling mewarisi masih tetap ada. Jadi, wanita yang di talak raj’i hukumnya seperti istri. Mereka masih mempunyai hak-hak suami istri, seperti hak waris mewarisi antara keduanya manakala salah satu diantara keduanya ada yang meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.26 Karena Allah swt berfirman:

IJK€

")

IJK€•!")$‚)5

a

AP

*B D

_P

m

")

9

W X

xL

ƒ}_

m

")

JK€`

X

„%&…

s †L

9

8

M7 &

:tuU C")

.‡T C#D

_

&

))5

5‡$w

9

ƒ}_

")

„%&…

A%'$8

a

IJP

K€ D

IJ*BP

26
(33)

mM

")

9

W X

xL

IJK€

m

")

_`

X

  qQ

f*ˆ†L

9

8

M7 &

:tuU C")

./#C#7

_ &

))5

5H$w

B

a")

./

8

r1•"o

]"o#D

N‰

N` xL

))5

rd)5

$

=l5 ")

Š‹)5

))5

rcsŒ5

R1*B

X

:M `!")

_-j0Mk,

9

W X

O

F#%

xL

"6 -†L)5

:

! •

bc_ X

j* xL"6KŽ

G H

i7 qV

9

8

M7 &

:tuU C")

9m+N#D

thv

))5

H$w

"6I

Š

o

x 

9

4tuU C")

s

~

B

E

")

A

A

2

0 1 .# 2 3 6M 5

Artinya : “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang

ditinggalkan isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu mempunyai anak, maka kamu mempunyai seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah ditunaikan wasiat yang mereka buat, dan sesudah dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri mendapat seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua saudara itu sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah ditunaikan wasiat yang telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas hutangnya dengan tidak mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)

c. Wala’, adalah hubungan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan

(34)

dimerdekakannya itu, dan berhak mewarisinya manakala bekas hambanya itu tidak mempunyai seorang pewarispun.27

Hasanain Muhammad Makhluf berpendapat bahwa wala’ adalah:

A

N

O

N

Pﻥ

G

P

Q

8

/$

R

/

.

-S

$

R/

P

8

IUK

.

-S

W

!

C

X

28

Artinya: “Kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari’ antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya pembebasan budak, atau seseorang dengan seorang hamba lainnya disebabkan adanya akad muwalah (perjanjian) dan mukhalafah (sumpah)”.

2. Penghalang Warisan

Dalam hal kewarisan orang atau ahli waris bisa saja tidak menerima bagian dari harta warisan itu dikarenakan ada penghalang yang menghalanginya untuk menerima warisan tersebut.

Hajb (terhalangnya waris) itu ada dua macam, yaitu:29

a. Hajb nuqshan, artinya terhalang yang menimbulkan kekurangan bagian, seperti menghalangnya anak terhadap zauj (suami) dari separuh bagian menjadi seperempat, dan zaujah (istri) dari memperoleh seperempat berubah

27 Ibid,

h. 279

28

Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, (al-Qahirah: Lajnah al-Bayan al-‘Araby, 1958), h. 426

29

(35)

hanya mendapat seperdelapan, serta terhalangnya umm (ibu) dari mendapatkan sepertiga menjadi hanya mendapat seperenam.

b. Hajb hirman, artinya terhalang yang menimbulkan tidak mendapat bagian sama sekali. Misalnya kakek yang terhalang memperoleh waris dengan adanya ayah mayit.

Adapun penghalang atau sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang tidak menerima warisan adalah sebagai berikut :

1. Perbudakan

Para ulama telah sepakat dalam pendapatnya untuk menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusaka mempusakai berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang.30 Yakni firman Allah swt. Yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut:

s|"6x

E

Q

-MI€ 

48#7 b 0

“y

jo M$a D

9G`

5*m

~

YYYYYYYYYYY

Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…………. (Al-Nahl, 16:75)

2. Pembunuhan

30

(36)

Jumhur ulama telah sepakat pendapatnya untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu, pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si pembunuh terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya.31 Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

8

8

$

IS

8

B

8

W

L

;

:

Z

%#

A =

@

3

A

@

@!

Z

?

Z

=

[

I

8

\

N1:

0 W L 5 32

Artinya: “Dari Umar Bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya RA, berkata: Rasulullah SAW bersabda “bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan”. (HR. Ahmad)

3. Berlainan agama.

Para ahli fiqh telah sepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan,merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. berikut:

8

B

8

]

IW

;

:

Z

%#

B

#-:

?

Z

=

A

@

3

^

\

.

=

O

"

^

\

O

"

.

=

0 J K- L 5

33

Artinya: “Dari Usamah Bin Zaid, dari Nabi SAW, bersabda: Tidaklah menerima warisan seorang muslim dari orang kafir dan orang kafir dari orang muslim.” (HR. Bukhari)

31

Ibid, h, 85

32

Imam Ahmad Bin Hanbal, al-Musnad li al-Imam Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Daar al-Fikr, 1991) Juz. I, h. 111

33

(37)

4. Berlainan Negara

Yang di maksud dengan berlainan negara adalah berlainan atau perbedaaan jenis pemerintahan antara dua negara. Mengenai berlainan negara sebagai penghalang pewarisan, para ulama telah sepakat bahwa berlainan negara bagi orang-orang Islam tidak menjadi penghalang pewarisan.34

Sedangkan ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah menyatakan bahwa berlainan negara antara dua orang-orang non muslim menjadi penghalang pewarisan mereka, disebabkan karena terputusnya ishmah (ikatan kekuasaan) dan tidak adanya hubungan perwalian. Memberikan warisan kepada ahli waris yang berbeda negara berarti pewaris tersebut memberikan harta warisan kepada musuhnya atau musuh keluarganya.35

Berlainan negara yang menjadi penghalang pewarisan menurut ulama Hanafiyah di atas adalah berlainan negara menurut hukum yang berlaku bagi kedua orang tersebut.

Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa yang menjadi penghalang pewarisan bagi orang-orang Islam hanya ada tiga, yaitu pembunuhan, perbudakan, dan perbedaan agama.

34

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 427

35

(38)

E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli Waris

Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, maka ahli waris dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1. Ashhab al-Furudh

Hasanain Muhammad Makhluf menjelaskan bahwa kata furudh merupakan jamak dari lafadz al-fardh, yang artinya adalah :

B

.

%

_

W

!

\

"

/ :

36

Artinya : “Saham (bagian) yang telah ditentukan oleh syara’ untuk para ahli waris dalam menerima harta warisan”

Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan ashhab al-furudh adalah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah

ditetapkan oleh syara’.

Adapun bagian-bagian yang telah ditentukan atau al-furudh al-muqaddarah dalam al-Qur’an hanya ada enam, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Sedangkan perinciannya adalah sebagai berikut :

a. Bagian anak perempuan adalah :

1. 1/2 jika seorang diri atau tidak beresama anak laki-laki.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih, dan tidak bersama-sama dengan anak laki-laki.

36

(39)

b. Cucu perempuan, berhak menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri, dan atau tidak bersama dengan cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjub).

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki serta tidak mahjub.

3. 1/6 jika bersama dengan anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak terhalang.

c. Bagian Ibu adalah :

1. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau dua orang saudara atau lebih.

2. 1/6 jika ada anak atau cucu atau bersama dengan dua orang saudara atau lebih.

3. 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain yaitu apabila ahli waris hanya terdiri dari suami atau istri, ibu dan bapak.

d. Bagian bapak adalah :

1. 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.

2. 1/6 + sisa, jika ada atau bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki.

(40)

1. Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. Jika tidak ada anak atau cucu, maka bagian ibu 1/3 dan bapak menerima sisanya.

3. 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami atau isteri.

e. Nenek, jika tidak terhalang berhak menerima bagian :

1. 1/6 jika seorang diri.

2. 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.

f. Kakek jika tidak ada penghalang berhak menerima :

1. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.

2. 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki.

3. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.

(41)

g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak ada yang menghalangi maka berhak menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

h. Saudara perempuan seayah, jika tidak ada yang menghalangi berhak menerima bagian :

1. 1/2 jika seorang diri dan tidak berssama dengan saudara laki-laki seayah.

2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.

3. 1/6 jika bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung.

i. Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan yang kedudukannya sama dan tidak ada penghalang, maka berhak menerima bagian :

1. 1/6 jika seorang diri.

2. 1/3 jika dua orang atau lebih.

3. Bergabung dengan saudara sekandung dan menerima bagian 1/3, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah seperti ini biasa disebut dengan masalah musyarakah.

(42)

1. 1/2 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. 1/4 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

k. Isteri berhak menerima bagian :

1. 1/4 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. 1/8 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.

2. ‘Ashabah

Lafadz ‘ashabah merupakan jamak dari kata ‘ashib, yang artinya adalah sebagai berikut :

8

[

%

N_

W

N`

O

#

%

=

H

a

:

8

/

W$

B

C?

b

F

c

B

H

a

d

/

,

=

O

G 8

#

B

NW

8

B

C?

b

F

c

37

Artinya : “Orang-orang yang tidak mempunyai saham-saham (bagian-bagian) tertentu, tetapi mengambil bagian yang tersisa setelah diambil bagian ashhab al-furudh, atau mengambil seluruh harta peninggalan apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-furudh.”

Mengenai pembagian sisa harta warisan ini, ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya, maka dialah yang lebih dahulu menerima harta warisan tersebut. Adapun konsekuensi dari cara pembagian ini adalah ahli waris ‘ashabah yang peringkat kekerabatannya lebih jauh atau berada di bawahnya,

37Ibid

(43)

maka dia tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Dasar pembagian ini adalah perintah Rasulullah SAW, dalam hadisnya sebagai berikut :

8 8

-I&

A

@

3

A

@

@!

Z

?

Z

=

B

.A

=

@

8

B

G

F

E

D

/

b

Z

"

F *

E

D

"

e

I

0 ! L ﺵ f W 5

38

Artinya : “Dari Ibn Abbas ra. berkta : Rasulullah SAW bersabda : berikanlah harta warisan di antara ahli waris yang berhak berdasarkan al-Qur’an, maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (HR. Abu Daud)

Adapun ahli waris yang termasuk dalam golongan ‘ashabah dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. ‘Ashabah bi al-Nafsi, adalah :

Dalam pengertian ashabah bi al-nafsi, Hasanain Muhammad Makhluf memberikan penjelasan adalah sebagai berikut :

d

a

!

,

^

+

g

h

i

e

_

Bﻥ

%

=

!

$

j

!

:

8

.

%

_

W$

k

F

c

,

W

=

/.

l

m

%

%

/ =

!

/

,

=

!

W

B

NW

8

F k

c

.

n

!

B ,

/ﺱ

l

A

ﺱ *

%

_

F k

c

/

39

Artinya: “Seluruh ahli waris laki, selain dari pada suami dan saudara laki-laki seibu dan bahwasannya mereka (ahli waris ‘ashabah) mendapatkan sisa

38

Abu Daud Sulaiman al-‘Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994), Juz.III, h. 48

39

(44)

dari ashhab al-furudh apabila harta peninggalan tersebut masih tersisa, menerima seluruh harta apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-furudh dan tidak mendapatkan bagian sedikit pun apabila harta peninggalan tersebut telah terhabiskan oleh ahli waris ashhab al-furudh.”

Adapun orang-orang yang termasuk dalam ‘ashabah bi al-nafsi, adalah sebagai berikut :

1. Anak laki-laki

1. Cucu laki-laki dari garis laki-laki

2. Bapak

3. Kakek

4. Saudara laki-laki sekandung

5. Saudara laki-laki sebapak

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

7. Anak laki-laki dari saudara sebapak

8. Paman sekandung

9. Paman sebapak

10.Anak laki-laki dari paman sekandung

(45)

Dalam keadaan tertentu, ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi dapat menerima seluruh harta peninggalan, menerima sisa harta peninggalan, atau tidak menerima sama sekali dari harta peninggalan tersebut.

b. ‘Ashabah bi al-Ghair, yaitu :

Hasanain Muhammad Makhluf memberikan pengertian bahwa ashabah bi al-ghair adalah :

B

oﻥ

?

-"

Ic

,

/

" *

:

j

!

/

%

,

l

!j$ p :" / ﺵ

jC#

"

:

B

d

8

#

.

1

"

;

%

8

#

Xj

!

W

`

o

o

e

o

8

!

W

`

G

8

-*#

j

-*#

q

8

h

*ﺥ

P

h

*ﺥ

h

" b

(

W

d

IW

%#

8

?

S

#

.F

"

f :

/

%

A

!

%

?

j

-"/

\

$

/

j$

S

^

F

c

$

a

o

r

h

oﻥ

8

40

Artinya: “Setiap perempuan penerima fardh yang memerlukan orang lain (saudara laki-lakinya) untuk menjadikan ‘ashabah dan bersama-sama menerima bagain ‘ashabah itu. Dan mereka itu adalah empat perempuan yang memiliki bagian setengah apabila sendiri dan dua pertiga apabila lebih dari seorang, yaitu anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari garis laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak. Apabila ada ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi bersama-sama denga salah seorang diantara mereka, yang sama derajat dan kekuatan kekerabatannya, maka perempuan tersebut mewarisi secara ‘ashabah, bukan secara fardh. Dan keduanya mewarisi bersama-sama dengan ketentuan bahagian laki-laki dua bahagian perempuan.”

40

(46)

Dari pengertian di atas dapat di ketehui bahwa yang termasuk dari ahli waris ‘ashabah bi al-ghair adalah :

1. Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki.

2. Cucu perempuan dari garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari garis laki-laki.

3. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.

4. Saudar perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.

Adapun dasar dari ketentuan pembagian warisan ‘ashabah bi al-ghair tersebut adalah :

E

a")

O

F#%

8

4d"#s a

4y

o

Y*

+, Z")

8P

X

1V

RS

2

HT"U Y V(

YYYYYYYYY

B

>;?

Artinya : “………. jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. ……….” (QS. Al-Nisa, 4 : 176)

c. ‘Ashabah Ma’a al-Ghair, yaitu :

(47)

perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki, atau bapak, serta tidak ada saudaranya yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah bi al-ghair.

Adapun dasar hukum pembagian ‘ashabah ma’a al-ghair ini adalah pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut :

G 8

+

8

-A

@

s

B

!

ﺱ!

# 8

I

#

I8

B

I*ﺥ

'

"

@

t

#

#

Xj

e

*ﺥ

#

Xj

B

8

$.

If!

"

.

/

$

#

" :

.

s

8

$.

If!

B

-ﺥ

@!

B

:

ﺱ!

"

@

; W

*

B

Bﻥ

8

/%

W

8

B

uA

" :

%

A

u

#-:

?

Z

u

=

t

#

#

Xj

q

#

8

.

W

&

O

o

o

8

:

"

e

*ﺥ

"H

#

B

ﺱ!

"H

-ﺥ

L

@!

8

$.

If!

'

"

@

^

H.

ﻥ!

:

f

_

G

a

C

-"

O

=

0 k K- L 5

41

Artinya : “Dari Huzail bin Syurhabil berkata : Ditanyakan kepada Abu Musa tentang pembagian pusaka seorang anak perempuan, pembagian anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Jawabnya: untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Pergilah (bertanya) kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan sesuai dengan pendapat saya. Lalu ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan diceritakan kepadanya keterangan Abu Musa. Jawabnya: kalau begitu saya tersesat dan tidak menurut kebenaran. Saya memutuskan tentang itu menurut apa yang diputuskan Rasulullah SAW. Yaitu untuk anak perempuan seperdua dan untuk anak perempuan dari anak laki-laki seperenam, sebagai mencukupkan dua pertiga. Sisanya untuk saudara perempuan. Kemudian kami datang kepada Abu Musa dan kami ceritakan kepadanya perkataan Ibnu Mas’ud, lalu dia berkata:

41

(48)

janganlah kamu bertanya kepada saya selama orang alim (Ibnu Mas’ud) ini masih berada diantara kamu.” (HR. Bukhari)

3. Dzawi al-Arham

Para ulama faraidh memberikan definisi tentang dzawi al-arham sebagai berikut :

A

IS

[

a

" k

Ic

^

j

-I

42

Artinya : “Setiap kerabat yang tidak termasuk ashhab al-furudh dan tidak termasuk golongan ‘ashabah”

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk kedalam golongan dzawi al-arham adalah cucu perempuan dari garis perempuan dan seterusnya ke bawah, cucu laki-laki dari garis perempuan dan seterusnya ke bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak perempuan dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah, kakek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas, dan lain sebagainya.

Ada tiga prinsip mengenai cara pembagian warisan kepada dzawi al-arham, yang kemudian dikenal dengan nama golongan yaitu :

42

(49)

a. Prinsip al-Qarabah

Adapun yang dimaksud dengan prinsip al-qarabah adalah suatu prinsip dalam pemberian bagian harta warisan kepada dzawi al-arham, menggunakan prinsip jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Membagikan harta warisan kepada dzawi al-arham berdasarkan dekatnya hubungan nasab ini sejalan dengan membagikan harta warisan kepada ahli waris ‘ashabah, yakni dilihat dari jihat, derajat, dan kuatnya kekerabatan mereka.43

Prinsip al-qarabah ini dianut oleh fuqaha Hanafiyah, Imam al-Baghawy dan Imam al-Mutawally (keduanya adalah fuqaha Syafi’iyah) dan Kitab Undang-Undang Hukum Kewarisan Mesir.44

b. Prinsip al-Tanzil

Yang dimaksud dengan prinsip al-tanzil adalah menempatkan ahli waris dzawi al-arham pada kedudukan ahli waris yang menyebabkan mereka

mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris atau mudla bihi. Jika derajat mereka jauh, caranya digeser naik atau digeser turun menurut rumpunnya, sampai berhasil mencapai tempat ahli waris mudla bihi untuk digantikan kedudukannya.45

43

Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 357

44Ibid,

h. 358-359

45Ibid,

(50)

Adapun fuqaha yang mengikuti prinsip al-tanzil ini adalah al-Hasan Bin Ziyad, Abu Nu’aim, dan imam mazhab yang empat, mereka merujuk kepada riwayat Ibrahim al-Nakhaiy dari Ali Ibn Abi Abdillah :

,

@

#

%

,

v

$

o

w

K

46

Artinya : “Sesungguhnya harta peninggalannya untuk keduanya dibagi tiga, dua pertiga untuk al-‘ammah dan sepertiganya untuk al-khalah.”

Selain dari riwayat di atas, ada juga penyelesaian yang dilakukan oleh Ali Ibn Abi Thalib, yaitu :

,ﻥ

+

@

*#

-*#

#

+

-*#

*#

h

i

+#

h

i

*#

h

*ﺥ

+#

h

*ﺥ

$

+#

h

b

K

+#

h

_

47

Artinya : “Bahwa ia menempatkan cucu perempuan dari garis perempuan ke tempat anak perempuan, anak perempuan saudara ke tempat saudara, anak perempuan saudara perempuan ke tempat saudara perempuan, saudara bapak ke tempat bapak dan saudara ibu ke tempat ibu.”

c. Prinsip al-Rahim

Yang dimaksud prinsip al-rahim adalah membagikan harta warisan kepada dzawi al-arham berdasarkan kepada rahim (kerabat) secara keseluruhan. Karenanya mereka yang ada tatkala meninggalnya si pewaris

46

Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Mesir: Daar Kitab al-Araby, 1995), h. 286

47Ibid,

(51)

tidak boleh dibedakan dan tidak boleh diutamakan yang satu dengan yang lainnya.48

Menurut prinsip ini, maka seluruh ahli waris dzawi al-arham berhak mendapatkan bagian yang sama. Jadi, apabila dzawi al-arham yang akan mewarisi itu beberapa orang, maka seluruh harta peninggalan si pewaris dibagi sama rata diantara mereka, selama mereka mempunyai prinsip umum yang sama sebagai dzawi al-arham. Prinsip al-rahim ini dianut oleh Hasan Bin Muyassar dan Nuh bin Dzirah.49

48

Fatchurrahman, Ilmu Waris, h.360

49

(52)

BAB III

KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu

1. Pengertian al-Shulhu

Kata al-shulhu atau perdamaian merupakan bentuk masdar dari sholaha, yashlihu, sholhan, yang mempunyai arti “qath’ al-munadza’ah” atau “memutuskan

suatu persengketaan atau perselisihan”.50

Sedangkan arti shulh (perdamaian) menurut syara’ adalah suatu bentuk akad yang dapat menyelesaikan adanya pertentangan atau perselisihan.51

Mohammad Anwar menjelaskan bahwa arti shulh (perdamaian) menurut lughat adalah memutuskan pertentangan. Sedangkan menurut istilah ialah suatu perjanjian untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih.52

Wahbah al-Zuhaily pun berpendapat, bahwa shulh menurut bahasa adalah

dnA

] #

(memutus pertengkaran). Sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad yang

di buat untuk memutus suatu persengketaan atau perselisihan.53

50Al-Munjid Fi Al Lughah Wal-I’lam

, (Beirut: Daar Al-Musyriq, 1986), cet.ke-28, h. 432.

51

Imron Abu Amar, Terjemah Fath Al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), jilid 1, h. 254.

52

Sudarsono, Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.ke-2, h. 487.

53

(53)

Abdul Aziz Dahlan menjelaskan arti perdamaian yaitu memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.54

Selain pendapat di atas, Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam menerangkan bahwa Shulh (perdamaian) adalah akad perjanjian untuk menghilangkan rasa dendam, permusuhan atau perbantahan.55

Sedangkan arti shulh menurut kamus hukum adalah kesepakatan menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara damai.56

Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa shulh atau perdamaian adalah suatu akad atau perjanjian yang bertujuan untuk

mengakhiri pertikaian antara dua belah pihak yang sedang bersengketa atau berselisih secara damai.

Jadi kata shulh atau perdamaian itu merupakan ungkapan yang sudah umum dikenal oleh masyarakat, yang dalam literatur hukum positif dikenal dengan istilah dading. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa perdamaian tersebut merupakan

bentuk akad untuk mengakhiri suatu perselisihan, atau suatu akad untuk menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.

Dalam perdamaian perlu adanya timbal balik dan pengorbanan dari pihak-pihak yang berselisih atau bersengketa, atau dengan kata lain pihak-pihak-pihak-pihak yang berperkara harus menyerahkan kepada pihak yang telah dipercayakan untuk

54

Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1996), cet.ke-1, h. 740.

55

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet.ke-38, h. 319.

56

(54)

menyelesaikan perkara yang sedang diperselisihkan oleh keduanya agar permasalahannya dapat diselesaikan secara damai dengan tanpa adanya permusuhan diantara keduanya.

Dengan demikian perdamaian adalah merupakan putusan berdasarkan atas kesadaran bersama dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak ada kata menang ataupun kalah, semuanya sama-sama baik, kalah maupun menang.57

Dalam masalah perdamaian ini tidak semua hal dapat diselesaikan secara damai. Misalnya masalah kekeluargaan, tidak boleh dilaksanakan perdamaian dalam hal sah atau tidaknya suatu perkawinan, sah atau tidaknya suatu pengakuan sebagai anak, mengenai hak-hak ketatanegaraan, serta hak warga untuk memilih dan dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat, kesemuanya tidak boleh dimasukkan kedalam masalah perdamaian.

Ada beberapa jenis perdamaian yang dikenal dalam hubun

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari hasil pembahasan mengenai kedudukan dan pembagian waris bagi ahli waris dzawil arham, dalam hukum waris Islam dzawil arham adalah kerabat pewaris

”KEDUDUKAN AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA DENGAN PEWARIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM. ISLAM” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali

Mengenai pewarisan anak luar nikah juga di atur dalam buku ke-2 bagian 2 KUHPerdata, Hukum waris adat dan pasal 186 kompilasi hukum islam (KHI), di dalam aturan

Konsep Islam dalam pembagian warisan saat ini, tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mendukung ketentuan yang tercantum dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam tentang pembagian harta bersama serta

105 dimana dalam butir Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh

Cara untuk mengidentifikasi seseorang ahli waris beragama Islam yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 172 menyatakan ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui

2, 2017, Indah Sari, Pengaturan Pembagian Hak Kewarisan Kepada Ahli Waris Dalam Hukum Waris Islam Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam KHI.. Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas