A. Latar
Perkemban hukum de peraturan-penegak h masyaraka masyaraka banyak me
Hukum pa terjadi dal Rahardjo:
Untuk me dalam ben masyaraka hubungan dan yang b mengguna Memperta 1 Rahardjo Pembanguna
r Belakang M
bangan hukum dengan difere
-peraturan, hukum. Di kat yang teng kat terurai k mendapatkan
pada dasarny dalam kehidu
elihat hubun entuk konsep kat. Alat ters n antara angg g boleh dilaku nakan keku rtahankan kem
-hubungan d
jo, Satjipto.
nan Hukum dal
I.
Masalah
um difokuska rensiasi sosia , kemampua Diferensiasi i ngah mengala ke dalam b n kedudukan
nya bersifat d dupan masya
ungan antara ep yang men ersebut menu
ggota masyar kukan; (2) M kuasaan, ata emampuan ad n dalam masy
Hukum dala alam Perspekti
PEND
kan pada hub sial yang dim uan memben i itu sendiri
alami perkem bidang spes an yang otono
t dinamis ses yarakat. Hal
ra hukum da enjelaskan se nunjukkan ak arakat denga Mengalokasi atas siapa adaptasi mas
syarakat man
lam Perspekti ktif Politik Huku
DAHULUAN
ubungan timb imungkinkan
entuk hukum ri merupakan embangan . M pesialisasi ya
nom.
esuai dengan al ini sesuai
dan perubaha secara fungsi aktivitas huku gan menentuk
sikan dan me dan baga asyarakat den anakala terjad
ktif Sejarah d kum Nasional.
AN
mbal balik an an untuk men um, keadila an ciri yang Melalui difer
yang masing
an perkemban ai dengan pe
han sosial pe gsional tempa kum yaitu: ( ukan perbuata menegaskan s
gaimana pr engan cara m jadi perubaha
dan Perubah
Rajawali. Jak
antara diferen enggarap kem ilan dan ins
ng melekat ferensiasi ini ng-masing se
angan sosial pendapat Sa
perlu sebuah pat hukum d : (1) Merumu tan yang dila n siapa yang b prosedurnya; mengatur kem han1
ahan Sosial
akarta. 1996. hlm rensiasi
embali stitusi t pada i suatu sedikit
al yang Satjipto
ah alat dalam muskan ilarang g boleh a; (3) embali
dalam
Penyesuai tidak perl melakukan untuk men kontrol so dalam mas
Hukum m untuk men untuk me diarahkan atas keing maksud ag melalui me Penegakan kehidupan warga neg dan tindak masyaraka mengantis pegangan Pentingny kecenderu maupun k 2
Barda Na Bandung. 20 3
Satjipto Ra Pelayanan K
aian hukum erlu diraguka
an kontrol s enjalankan p sosial dihada asyarakat seh
memiliki fun enciptakan k
enjamin ada n sebagai sar nginan dan k agar hukum
mekanisme p
an hukum p an berbangsa egara, terjam akan sewenan kat lainnya a tisipasi berba n yang pasti b
nya masalah p rungan berba keadaannya. awawi Arief. 2002. hlm. 16 Rahardjo. Bung
Keadilan dan P
terhadap p kan lagi, na sosial, masi perannya ya adapkan pada ehinga mamp
fungsi pentin keadilan, ket danya kepas sarana kemaju
kesadaran t m dapat berja
penegakan h
pidana mem sa dan berneg minnya kepa ang-wenang akan dapat d bagai penyel ti bagi masyar
h penegakan bagai fenome
a. Kejahatan
. Bunga Ramp
nga Rampai Per
Pengabdian Hu
perubahan s namun apabi asih dipertan yang demiki da persoalan mpu mengiku
ting dalam k keteraturan, k astian hukum ajuan dan ke
tiap-tiap in rjalan sebaga hukum pidan
miliki perana egara untuk m pastian hukum g yang dilaku t dihindarkan
elewengan p arakat dalam
n hukum ber mena kejahat an seakan te
mpai Kebijakan
Permasalahan D
Hukum Jakarta.
sosial sudah bila dihadap anyakan men ikian itu; kar lan bagaiman kuti perubaha
kehidupan b , ketentraman
um. Pada ta kesejahteraan
individu di d gaimana dici
ana.
anan yang be menjamin ke um sehingga akukan anggo an. Penegaka pada anggo
m menaati da
erkaitan deng atan baik pe telah menjad
an Hukum Pid
Dalam Sistem
ta. 1998. hlm. 1
ah dianggap apkan pada
engenai kem arena hukum ana mencipta han yang seda
bermasyarak an dan ketert
tataran selan an masyaraka i dalam mas icita-citakan o
besar dalam kepentingan ga berbagai p gota masyara kan hukum se gota masyara dan melaksan
ngan semaki pelaku, modu adi bagian d
Pidana. PT Cit
Peradilan Pid
. 17
p suatu hak a peranan hu
mampuan hu m sebagai sa ptakan perub
dang terjadi2
rakat sebagai rtiban, tetapi lanjutnya, hu kat yang dibe asyarakat, de n oleh masya
m penyelenga n masyarakat i perilaku krim
rakat atas ang secara ideal rakat dan ad anakan hukum
kin meningka dus, bentuk, dalam kehid
Citra . Aditya
Pidana. Pusat
k yang hukum hukum sarana ubahan
2
ai alat pi juga hukum ibentuk dengan yarakat garaan at atau riminal nggota al akan adanya um.3 katnya k, sifat, idupan
3
manusia yang sulit diprediksi kapan dan dimana potensi kejahatan akan terjadi. Salah satunya adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan, khususnya terhadap pengendara kendaraan bermotor.
Terkait dengan tindak pidana pencurian dengan Kekerasan terhadap Pengendara Kendaraan Bermotor maka pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam fungsinya institusi penegakan hukum memiliki tugas menciptakan memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
[image:3.595.113.519.615.675.2]Pencurian dengan kekerasan yang sedang marak terjadi di wilayah hukum adalah pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor atau begal. Polresta Bandar Lampung dan jajaran Polsek selama Februari 2015 mengungkap kasus tindak pidana curat, curas dan curanmor dari Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung di Joglo Mapolresta Bandar Lampung, Senin (9/3/15).4
Tabel 1. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Kendaraan Bermotor di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung
No Tahun Tindak Pidana Jumlah
Curat Curas Curanmor
1 2013 213 224 74 511
2 2014 226 254 92 572
Sumber: Data Polresta Bandar Lampung Tahun 2015
4
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tindak pidana pencurian di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 terjadi 511 kasus pencurian, terdiri dari curat sebanyak 213, curas sebanyak 224 dan curanmor sebanyak 74. Pada tahun 2014 terjadi 572 kasus pencurian, terdiri dari curat sebanyak 226, curas sebanyak 254 dan curanmor sebanyak 92. Sehubungan dengan data tersebut, maka Satreskrim Polresta Bandar Lampung melaksanakan perannya dalam penanggulangan tindak pidana tersebut.
Dasar Hukum Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) adalah Pasal 1 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, yang menyatakan Satreskrim adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.
Tugas pokok Satreskrim sebagaimana diatur Pasal 43 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS.
Fungsi Satreskrim sebagaimana diatur Pasal 43 Ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah:
a. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan;
b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5
d. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim;
e. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres;
f. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS baik di bidang operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres.
Organisasi polisi secara keseluruhan mulai dari tingkat Mabes Polri hingga ke Pospol merupakan organisasi yang sangat besar, menganut bentuk organisasi garis, staf dan fungsional. Dalam hal pengorganisasian Polri, pejabat satuan pelaksana memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan semua tugas kepolisian, sedangkan pada pejabat fungsi memiliki kewenangan terbatas dalam bidang pekerjaan tertentu. Secara labih rinci, pada tingkat Polres, bentuk organisasinya adalah garis dan fungsional yang ditunjukkan dari adanya pejabat-pejabat Kapolsek yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh tugas kepolisian di wilayah hukum Polsek masing-masing.
semakin terjaga pelaksanaan hukum dan ketertiban di masyarakat tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap polisi maka semakin tinggi pula kinerja polisi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dengan judul: Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua (Studi di Polresta Bandar Lampung).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua?
b. Apakah faktor-faktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua?
2. Ruang Lingkup
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis: a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan peran Kepolisian dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai aparat penegak hukum.
b. Kegunaan Praktis
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum5. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Peran
Peran diartikan sebagai seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan sebagai peran. Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peran (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. 6
Secara sosiologis peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika seseorang menjalankan peran tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya. Peran secara umum adalah kehadiran di dalam menentukan suatu proses keberlangsungan.7
Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peran memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
1) Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. 2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
5
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103
6Kamus Bahasa Indonesia
. Balai Pustaka, Jakarta. 2002. hlm. 348.
7
9
3) Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.8
Jenis-jenis peran adalah sebagai berikut:
1) Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
2) Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata.9
Teori lain yang berkaitan dengan peran Polri tersebut adalah Teori Penanggulangan Kejahatan, yang dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
penal policy atau criminal policy adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:
8Ibid
. hlm.243.
9
1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan
2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu: a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan kejahatan.
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar10 Menurut G Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal adalah reaksi social terhadap kejahatan dalam bentuk didirikannya sebuah institusi. Dalam lingkup kebijakan kriminal ini, Hoefnagels memasukkan di dalamnya berupa: (a) penerapan sarana hukum pidana; (b) pencegahan tanpa pemidanaan; (c) upaya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang suatu kejahatan. 11
b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. 2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang
10
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm.12.
11
11
memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya.12
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian13. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran14
b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia). Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
12
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.8-10
13
Soerjono Soekanto. 1986. Op. Cit. hlm.103
14
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). c. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang
ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari kejahatan15
d. Pencurian dengan kekerasan menurut Pasal 365 Ayat (1) KUHP adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan, supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap tinggal di tempatnya.
e. Satreskrim adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres16.
15
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 16
13
E. Sistematika Penulisan
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pengertian Satuan Reserse dan Kriminal, Pengertian Penanggulangan Kejahatan, Kejahatan pencurian dengan kekerasan dan Pengertian Kendaraan Bermotor.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
V PENUTUP
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Peran
Peran diartikan sebagai seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai
posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban
tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan sebagai peran. Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat
dikatakan sebagai pemegang peran (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. 17
Secara sosiologis peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku
yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika
seseorang menjalankan peran tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya. Peran secara umum adalah kehadiran di dalam menentukan suatu proses
keberlangsungan.18
17
Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 2002. hlm. 348.
18
Peran merupakan dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan kewajiban atau disebut subyektif. Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian
tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peran memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
1) Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat
2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3) Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.19
Jenis-jenis peran adalah sebagai berikut:
1) Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
2) Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata.20
B. Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Kepolisian menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
19
Ibid. hlm.243.
20
17
Pengorganisasian Polri dirancang bersifat sentralistik setelah diberlakukannya UU Nomor 2 Tahun 2002, hal ini dimaksudkan agar koordinasi antara kesatuan atas dengan kesatuan bawah berlangsung efektif, karena ada kesatuan yang dapat menjebatani antar dua kesatuan. Namun hal ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu timbul birokrasi yang panjang dan berbelit-belit dalam alur administrasi, kurang responsive terhadap tuntutan warga masyarakat lokal, rentan akan politisasi penguasa nasional sehingga lembaga kepolisian kurang berperan untuk kepentingan rakyat, dan kurang fleksibel menghadapi perubahan di masyarakat. 21
Pengorganisasian dan Tata Cara Kerja Polisi itu diatur berdasarkan Keppres Nomor 70 Tahun 2002. Dalam hal ini saluran kewenangan di tingkat Mabes Polri
menerapkan tipe staf fungsional dan general, di mana terdapat pejabat fungsional seperti Kaba Reskrim, Kaba Intelkam yang memiliki wewenang terbatas dalam bidang pekerjaan tertentu, di samping itu Kapolri juga dibantu oleh staf yang tidak
memiliki kewenangan komando, antara lain staf ahli, dan staf auxiliary/pendukung (pengurusan administrasi personel, logistik, keuangan,
pendidikan dan latihan). Pada tingkat Polda ke bawah berlaku bentuk organisasi garis dan fungsional yang dicirikan oleh adanya pejabat fungsional di tingkat Polda yang memiliki kewenangan terbatas di bidang pekerjaan tertentu (misalnya
Direktur Reserse Narkoba, Direktur Intelkan, Kepala Biro Personel dan sebagainya), serta para Kepala Satuan Pelaksana (Kapolwil, Kapolwiltabes,
Kapolres dan Kapolpos) yang memiliki wewenang melaksanakan semua bidang pekerjaan kepolisian di wilayah hukum masing-masing.
Organisasi polisi secara keseluruhan mulai dari tingkat Mabes Polri hingga ke Pospol merupakan organisasi yang sangat besar, menganut bentuk organisasi
garis, staf dan fungsional. Dalam hal pengorganisasian Polri, pejabat satuan
21
pelaksana memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan semua tugas kepolisian, sedangkan pada pejabat fungsi memiliki kewenangan terbatas dalam bidang
pekerjaan tertentu. Secara labih rinci, pada tingkat Polres, bentuk organisasinya adalah garis dan fungsional. Ini ditunjukkan dari adanya pejabat-pejabat Kapolsek yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh tugas kepolisian di
wilayah hukum Polsek masing-masing, di samping itu ada pejabat fungsional baik di bidang opersional (Kepala Satuan Reserse, Kepala Satuan Intelkam, Kepala
Satuan Lantas, Kepala Bagian Binamitra dan Kepala Bagian Operasi) maupun Kepala Bagian Administrasi dan Kepala Unit P3D (Pelayanan, Pengaduan, dan Penegakan Disiplin).
Dihadapkan pada kondisi masyarakat yang berkembang secara dinamis, Polri yang memiliki organisasi sangat besar tersebut apabila tidak diimbangi peningkatan profesionalitas dan spesialisasi dalam mengemban tugas maka penonjolan kekuasaan (power) dalam menjalankan tugas sangat mungkin masih akan terus berlangsung. Di sisi lain yang tidak kalah pentingnya ialah, mengingat pada setiap anggota polisi itu melekat kekuasaan deskresi dalam menjalankan tugas, apabila hal tersebut tidak disertai dengan rumusan aturan perilaku (code of practice) yang jelas bagi masing-masing petugas polisi pada fungsi kepolisian (Intel, Reserse, Samapta, Bimas, Lalu Lintas) maka pelanggaran etika yang dilakukan polisi akan terus terjadi. Dalam kaitan masalah ini perlu didudukkan pula sistem pemolisian di Indonesia sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Juga dalam hal sistem manajemen kepolisian agar lebih praktis mengingat beban tugasnya semakin hari terus meningkat.22
Masyarakat bagi Polri, bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan (jasa kepolisian), tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban hukum khususnya atas penggunaan kekuatan paksa fisik oleh individu-individu polisi maupun pertanggungjawaban organik kepolisian
tentunya tidak meniadakan pertanggungjawaban publik. Disini akuntabilitas
19
publik kepolisian menjadi sangat penting mengingat pekerjaan polisi syarat dengan kewenangan diskresi dan upaya memaksa, bahkan menyangkut nyawa
seseorang yang hal itu cukup sulit untuk dikontrol (low visibility). Konsekwensinya ialah, dalam kondisi ini akses publik harus dibuka seluasnya bagi pengawasan kepolisian, baik terhadap tindakan dari para petugas kepolisian
maupun perumusan kebijakan dan manajemen kepolisian. Kondisi ini dibutuhkan bukan saja oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai
obyek tindakan kepolisian.
Eksistensi polisi dalam suatu negara perlu legitimasi yang jelas. Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama, setiap lembaga negara perlu diberi derajat monopoli kekuasaan untuk menjalankan tugasnya. Hal ini penting bagi polisi karena dalam
menjalankan tugasnya mendapatkan mandat untuk menggunakan kekuatan fisik yang terorganisir. Kedua, dalam negara demokratis seluruh lembaga negara harus
memiliki akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya. Ini berarti bahwa, mandat yang diperoleh polisi untuk menggunakan kekuatan paksa fisik harus disertai pertanggungjawaban dan bila terjadi kegagalan dalam mmberikan
pertanggungjawaban harus disertai pula hukuman.
Sampai di sini sesungguhnya polisi tidak memiliki masalah yang serius, persoalannya muncul ketika masyarakat menuntut polisi agar menjadi wasit yang adil dalam kinerjanya, sedangkan strategi kekuasaan merangkak ke arah titik orientasi tujuan pihak penguasa. Dalam kondisi demikian apabila polisi tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai, maka sangat dimungkinkan mudah mengabaikan tujuan moral kolektif. 23
Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menetapkan posisi Polri langsung
di bawah Presiden jelas memberi peluang bagi kemungkinan digunakannya polisi sebagai alat kepentingan politik Presiden atau menjadi kekuatan yang
memonopoli penggunaan kekerasan secara politis, bukan secara hukum. Selain itu kewenangan yang diberikan kepada Polri dalam UU Nomor 2 Tahun 20002 (Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18) terkesan memberi kewenangan yang sangat luas
dalam menjalankan tugas. Apabila hal itu tidak diimbangi kontrol publik yang kuat, maka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sangat besar. Di
berbagai negara demokratis, menjadi prasyarat mutlak adanya suatu external overside untuk mengoreksi, mengarahkan dan mengembangkan kepolisian agar
menjadi organisasi yang profesional dan mengabdi kepada kepentingan publik.
Dalam hal ini, meskipun UU Nomor 2 Tahun 2002 telah menetapkan adanya Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 37) namun fungsionalisasinya masih terbatas
hanya sebagai penasehat Presiden dan sekedar menerima keluhan masyarakat, sedangkan wewenang investigasi terhadap anggota polisi yang melakukan penyimpangan (pelanggaran etika maupun pidana) tidak dimiliki. Apalagi jika
personelnya diisi dari kalangan pejabat pemerintah, maka harapan terwujudnya independensi lembaga akan sulit tercapai. Hal ini menunjukkan masih lemahnya
sarana kontrol terhadap lembaga kepolisian di Indonesia.
21
Pengaturan keanggotaan Polri pada Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) membedakan antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Polisi. Pada hal setelah keluar dari
pengorganaisasian TNI, polisi dinyatakan sebagai ”polisi sipil”. Selayaknya keanggotaan pada lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga sipil, tidak dibedakan antara PNS
dengan jaksa, hakim maupun aparat pemasyarakat. Yang membedakan adalah ”kewenangan” yang dilekatkan kepada individu-individu yang memiliki tugas
khusus. Seperti penuntut umum, hakim, sipir, dan penyelidik/penyidik jika di lingkungan Polri tidak menganut diskriminasi.
Menghadapi kenyataan tersebut, pemikiran ke depan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 perlu diselaraskan secara cermat dengan diarahkannya kelembagaan
polisi menjadi bagian dari demokratisasi lewat fungsi pokok sebagai penegak hukum dalam rangka melindungi masyarakat. Seperti halnya disetiap negara yang
menganut prinsip demokrasi di mana keberadaan institusi kepolisian terfokus pada mandat publik yaitu pemberantas kejahatandan pemelihara ketertiban.
Polisi dihadapkan pada kondisi masyarakat yang berkembang secara dinamis,
Polri perlu meningkatkan profesionalitas dan spesialisasi dalam mengemban tugas untuk mengimbangi beban yang terus meningkat. Di sisi lain yang tidak kalah penting, mengingat pada setiap anggota polisi melekat kekuasaan deskresi dalam
menjalankan tugas, apabila hal itu tidak disertai dengan rumusan aturan perilaku (code of practice) yang jelas bagi masing-masing fungsi kepolisian (Intel,
terhadap sistem kepolisian di Indonesia yang sesuai dengan kondisi sosial budaya bangsa. Juga dalam hal manajemen kepolisian agar lebih praktis mengingat beban
tugas polisi semakin hari terus meningkat.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:
a. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
b. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian adalah memelihara keamanan
23
C. Pengertian Satuan Reserse dan Kriminal
Menurut Pasal 1 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada
Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, pengertian Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.
Pasal 43 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor:
(1) Satreskrim merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres.
(2) Satreskrim bertugas melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Satreskrim menyelenggarakan fungsi:
b. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan;
c. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum; e. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas
pelaksanaan tugas Satreskrim;
f. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres;
g. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS baik di bidang operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres.
Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23
bertanggung jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolres.
Menurut Pasal 45 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2010, Khusus pada Polres Tipe Metropolitan, Polrestabes, dan Polresta, Kasatreskrim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Wakasatreskrim).
Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010, Satreskrim dalam melaksanakan tugas dibantu oleh:
a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi serta pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan, menganalisis penanganan kasus dan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim;
b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan;
c. Urusan Identifikasi (Urident), yang bertugas melakukan identifikasi dan laboratorium forensik lapangan, dan pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum; dan
d. Unit, terdiri dari paling banyak 6 (enam) Unit, yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum, khusus, dan tertentu di daerah hukum Polres, serta memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. Penanggulangan Kejahatan
Upaya penanggulanan kejahatan dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy atau criminal policy adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan
melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana
25
lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa mendatang.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan 2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar24
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; ada keterpaduan (integral) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan
non-penal. Kebijakan sosial diartikan sebagai segala usaha rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan mencakup perlindungan masyarakat.
E. Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan
Kejahatan pencurian dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365
KUHP maka bunyinya adalah sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud untuk menyediakan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan, supaya ada
24
kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap tinggal di tempatnya.
(2) Dipidana penjara selama-lamanya dua belas tahun dijatuhkan:
a. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau dipekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
b. Jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih c. Jika yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. d. Jika perbuatan itu berakibat ada orang luka berat.
(3) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun jika perbuatan itu berakibat ada orang mati.
(4) Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang luka atau mati dan perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih dan lagi pula disertai salah satu hal yang diterangkan dalam Nomor 1 dan Nomor 3.
a. Yang dimaksud dengan kekerasan menurut Pasal 89 KUHP yang berbunyi ”Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan”, yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.Sedangkan melakukan kekerasan menurut Soesila mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Masuk pula dalam pengertian kekerasan adalah mengikat orang yang punya rumah, menutup orang dalam kamar dan sebagainya dan yang penting kekerasan itu dilakukan pada orang dan bukan pada barang.
b. Ancaman hukumannya diperberat lagi yaitu selama-lamanya dua belas tahun jika perbuatan itu dilakukan pada malam hari disebuah rumah tertutup, atau pekarangan yang di dalamnya ada rumah, atau dilakukan pertama-tama dengan pelaku yang lain sesuai yang disebutkan dalam Pasal 88 KUHP atau cara masuk ke tempat dengan menggunakan anak kunci palsu, membongkar dan memanjat dan lain-lain. Kecuali jika itu perbuatan menjadikan adanya yang luka berat sesuai dengan Pasal 90 KUHP yaitu: Luka berat berarti:
1) Penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang mendatangkan bahaya maut.
2) Senantiasa tidak cukap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencahariaan.
3) Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra. 4) Mendapat cacat besar.
5) Lumpuh (kelumpuhan).
6) Akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu. 7) Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.
27
d. Hukuman mati bisa dijatuhkan jika pencurian itu mengakibatkan matinya orang luka berat dan perbuatan itu dilakuakan oleh dua orang atau lebih bersama-sama
F. Pengertian Kendaraan Bermotor
Kendaraan Bermotor menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan
di atas rel.
Sepeda motor menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau
kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
Kendaraan bermotor sebagai alat transportasi berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan suatu daerah, sehingga diperlukan
jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang memenuhi nilai-nilai ideal seperti ketertiban, keteraturan,
kelancaran, keselamatan dan keamanan dalam berkendara.
G. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
a) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. b) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
c) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.
d) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
e) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya.25
25
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yurdis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris
dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.26
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
26
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Penyelenggaraan Tugas Polri 4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai dokumen atau arsip yang berhubungan dengan penelitian
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
31
C. Penentuan Narasumber
Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung : 2 orang
1. Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi pustaka (library research)
Dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. b. Studi lapangan (field research)
Dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden
sebagai usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data
a. Seleksi data
Merupakan kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. b. Klasifikasi data
Merupakan kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data
Merupakan kegiatan penempatan dan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada
subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara
sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian
dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
termasuk dalam peran faktual, karena dilaksanakan dengan adanya fakta
pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda
dua. Peran tersebut dilaksanakan sebagai berikut:
a. Sosialisasi mengenai kewaspadaan terhadap tindak pidana pencurian
dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
dengan pamasangan spanduk berisi himbauan
b. Menempatkan anggota berpakaian preman pada titik-titik rawan tindak
pidana pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan
bermotor roda dua
c. Melaksanakan penegakan hukum melalui penyelidikan dan penyidikan,
yaitu upaya penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan
2. Faktor-faktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung
dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara
kendaraan bermotor roda dua:
(a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya penyidik yang berpotensi
menyalahgunakan kewenangan diskresi, kurangnya kuantitas/jumlah
penyidik dibandingkan dengan tindak pidana dan masih kurangnya
kualitas penyidik dalam menindaklanjuti tindak pidana pencurian dengan
kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua.
(b) Faktor sarana dan prasarana, yaitu keterbatasan sarana multimedia dan
laboratorium forensik pada Satreskrim Polresta Bandar Lampung,
sehingga penyidikan terkadang mengalami hambatan.
(c) Faktor masyarakat, yaitu masyarakat tidak bersedia menjadi pelapor dan
saksi dalam proses penegakan hukum.
(d) Faktor budaya, yaitu masih adanya budaya kompromi dalam masyarakat
ketika menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aparat Satreskrim Polresta Bandar Lampung disarankan untuk meningkatkan
patroli dalam rangka pengamanan dan pengawasan terhadap lokasi-lokasi
yang berpotensi menjadi tempat bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana
pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda
59
2. Pengawasan dengan menggunakan media kamera pengintai juga hendaknya
ditingkatkan sehingga apabila terjadi tindak pidana pencurian dengan
kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua akan lebih
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 13
II TINJAUAN PUSTAKA ... 15
A. Teori Peran ... 15
B. Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ... 16
C. Pengertian Satuan Reserse dan Kriminal ... 23
D. Penanggulangan Kejahatan ... 24
E. Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan ... 25
F. Pengertian Kendaraan Bermotor ... 27
G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 27
III METODE PENELITIAN ... 29
A. Pendekatan Masalah ... 29
B. Sumber dan Jenis Data ... 29
C. Penentuan Narasumber... 31
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 31
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam Penanggulangan
Pencurian dengan Kekerasan terhadap Pengendara Kendaraan
Bermotor Roda Dua ... 33
B. Faktor-Faktor Penghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam Penanggulangan Pencurian dengan
Kekerasan terhadap Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua .... 52
V PENUTUP ... 57 A. Simpulan ... 57
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H. R. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam
Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta.
Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Sinar Grafika. Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.
Marpaung, Leden. 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh
(Pemberantasan dan Preverensinya),Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Nawawi Arief, Barda. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat
Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1996. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta.
_________________. 1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum . Rajawali Press. Jakarta.
Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia Rineka Cipta. Jakarta.
Sutarto. 2002. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
! "
# $
%