• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk mendapatkan padi gogo tipe baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk mendapatkan padi gogo tipe baru"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HENI SAFITRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembiming. Karya ini belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

(3)

HENI SAFITRI. Anther Culture and Doubled Haploid Evaluation to Obtain New Upland Plant Type of Rice. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI, and DESTA WIRNAS as advisory committee.

Rice productivity rate in Indonesia has been leveling off, means that any cultivation technology is difficult to increase production because the genetic potential of rice production is saturated. Therefore, it requires high yielding varieties that yield higher than existing varieties. The way to obtain new high yielding varieties in the conventional method takes a long time (7-10 years), especially the selection process to obtain pure lines. Utilization of biotechnology such as anther culture is expected to shorten the acquisition of pure lines and the selection process so that it can save labor, time and cost. The objectives of this research were: (1) to obtain doubled haploid homozygous rice lines, (2) to obtain genetic control information of agronomic characters supporting the development of new upland plant type of rice, and (3) to obtain genotypes having potential as upland rice and new upland plant type of rice. The research consisted of three experiments: (1) The study of green plant regeneration in rice anther culture, (2) Genetic analysis of agronomic characters in rice, and (3) Evaluation of doubled haploid lines. A completely randomized design with 25 replications were used in Experiment 1, while randomized block design with four replications were used in Experiment 2. Material of experiments 1 and 2 were the new plant type of rice varieties and line i.e Fatmawati and BP360E-MR-79-2, Buru rice landraces i.e Fulan Telo Gawa and Fulan Telo Mihat, and F1 hybrid and their reciprocal crosses of new plant type of rice with Buru rice landraces. Anther culture medium for the experiment 1 is N6 for callus induction and MS for regeneration and rooting. Experiments 3 was carried out in Augmented randomized block design with seven replications of three check genotypes (Fatmawati, Fulan Telo Gawa and Limboto). Materials tested were 35 doubled haploid lines obtained from anther culture of Fulan Telo Gawa/Fatmawati and its resiprocal crosses. They were planted in upland condition. The results showed that: F1 genotypes derived from Fatmawati/Fulan Telo Gawa and its reciprocal crosses were the most efficient genotypes in rice anther culture. The F1 genotypes were easier to produce green and doubled haploid plants in rice anther culture than their parents. The F1 genotypes of Fulan Telo Gawa/Fatmawati and its reciprocal were the best cross combination. These crosses had possibility to produce genotypes with the desired characters in the next generation. Evaluation of 35 doubled haploid genotypes showed that there was variability of agronomic and yield characters

among the doubled haploid lines. Selection of 35 doubled haploid genotypes produced a genotype with new plant type characters, i.e. FG1R-36-1-1 and 14 genotypes were selected as upland rice lines.

(4)

Mendapatkan Padi Gogo Tipe Baru. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI dan DESTA WIRNAS.

Laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya teknologi budidaya apapun yang diberikan sulit untuk meningkatkan produksi karena potensi genetik produksinya sudah jenuh. Oleh karena itu, diperlukan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi melebihi daya hasil varietas yang sudah ada. Cara memperoleh varietas unggul tipe baru secara konvensional memerlukan waktu yang lama (7-10 tahun), terutama proses seleksinya sampai diperoleh galur murni. Pemanfaatan bioteknologi seperti kultur antera diharapkan mampu mempersingkat perolehan galur murni dan proses seleksi sehingga dapat menghemat tenaga, waktu dan biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendapatkan galur padi haploid ganda homozigos, (2) mendapatkan informasi tentang kendali genetik terhadap karakter agronomi yang menunjang pembentukan padi gogo tipe baru, dan (3) mendapatkan genotipe yang berpotensi sebagai galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru.

Penelitian terdiri atas tiga percobaan yaitu (1) Studi regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi, (2) Analisis genetik karakter agronomi pada padi, dan (3) Evaluasi galur-galur haploid ganda hasil kultur antera. Percobaan 1 dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap 25 ulangan, sedangkan percobaan 2 dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok empat ulangan. Materi percobaan 1 dan 2 adalah varietas dan galur harapan padi tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, padi varietas lokal Pulau Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 dengan varietas lokal Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat serta resiprokalnya. Media kultur antera untuk percobaan 1 yaitu N6 untuk induksi kalus dan MS untuk regenerasi dan perakaran. Percobaan 3 dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok augmented dengan tiga genotipe pembanding (Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto) yang diulang tujuh kali. Materi percobaan adalah 35 galur haploid ganda hasil kultur antera F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiprokalnya, ditanam di lapang dalam kondisi gogo.

Hasil kultur antera terhadap empat tetua dan delapan F1 hasil persilangan antar tetua menunjukkan bahwa genotipe memberikan respon yang berbeda pada kultur antera padi. Efisiensi pembentukan tanaman pada F1 berkisar antara 4.63-13.76 persen, sedangkan efisiensi pembentukan tanaman pada keempat tetua berkisar antara 0.00-2.54 persen. Genotipe F1 lebih efisien dalam menghasilkan tanaman hijau dan tanaman haploid ganda dibanding dengan genotipe tetua yang digunakan dalam persilangannya. Genotipe F1 yang berasal dari persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya merupakan genotipe yang paling efisien dalam menghasilkan tanaman pada kultur antera padi. Tanaman haploid ganda yang diperoleh dari penelitian ini sebanyak 161 tanaman atau 29.81 persen dari total tanaman hijau yang berhasil diaklimatisasi

(5)

dilakukan melalui karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun. Karakter-karakter tersebut mempunyai variabilitas genetik yang luas.

Evaluasi terhadap 35 genotipe haploid ganda menunjukkan bahwa terdapat keragaman karakter agronomi dan hasil antar genotipe haploid ganda hasil kultur antera. Karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan hasil gabah kering per rumpun mempunyai variabilitas genetik luas. Seleksi terhadap 35 genotipe haploid ganda hasil kultur antera menghasilkan satu genotipe yang terpilih sebagai galur padi gogo tipe baru, yaitu FG1R-36-1-1 dan 14 genotipe terpilih sebagai galur padi gogo. FG1R-36-1-1 mempunyai tinggi tanaman sedang (98.7 cm), berumur genjah (102.1 hari), mempunyai pengisian gabah yang baik (79.9 %) dengan gabah isi per malai sebanyak 122 butir, dan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi (24.9 g). Galur-galur haploid ganda yang dihasilkan masih perlu dievalusi lebih lanjut, baik karakter agronomi maupun ketahanannya terhadap hama dan penyakit.

Kata kunci: padi gogo, padi tipe baru, haploid ganda, karakter agronomi  

           

(6)

         

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

HENI SAFITRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NRP : A253070141

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. Ketua

Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi Anggota

Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. Anggota

Diketahui, Ketua Mayor Pemuliaan dan

Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan galur-galur padi haploid ganda hasil kultur antera dan memperoleh galur padi gogo yang berpotensi sebagai padi gogo tipe baru.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc., Dr. Ir. Iswari S. Dewi dan Dr. Desta Wirnas, SP. MSi selaku pembimbing yang banyak memberi arahan, saran dan tambahan wawasan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. dan Dr. Ir. Darda Efendi, MSi. selaku koordinator Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, serta Dr. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa pendidikan, Pemerintah Kabupaten Buru yang telah menyediakan biaya penelitian, pimpinan, staf dan teknisi BB Biogen, KP Padi Muara Bogor dan BB Padi Sukamandi yang telah membantu pelaksanaan penelitian, serta rekan-rekan Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas semangat dan dukungannya.

Penulis menyampaikan rasa hormat, terima kasih dan penghargaan kepada Bapak dan Ibu sebagai orang tua yang telah menanamkan dasar pendidikan yang baik dan berguna bagi penulis, seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungannya. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta Edy Suwarna dan kedua anak kami tersayang, Naura Azizah dan Naufal Fauzi atas segala pengertian, doa, motivasi, bantuan, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendampingi penulis selama ini. Terima kasih juga kepada bibi yang sudah menjaga dan mengasuh anak-anak sehingga penulis dapat beraktifitas dengan baik.

Akhirnya kepada semua pihak yang turut membantu selama penelitian hingga penulisan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat.

(10)
(11)
(12)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Botani Tanaman Padi ... 5

Padi Gogo dan Padi Tipe Baru ... 6

Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi ... 8

METODOLOGI ... 14

Pembentukan materi genetik ... 14

Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi .. 16

Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi ... 19

Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi .. 27

Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi ... 37

Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera ... 44

SIMPULAN DAN SARAN ... 60

Simpulan ... 60

Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(13)

xii

Halaman

1. Analisis keragaman rancangan acak kelompok ... 21 2. Analisis ragam rancangan augmented ... 23 3. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah kalus dan jumlah

kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi ... 27 4. Hasil induksi kalus beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada

kultur antera padi ... 28 5. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah tanaman hijau,

jumlah tanaman albino dan jumlah tanaman total pada kultur antera padi ... 31 6. Hasil regenerasi tanaman beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru

pada kultur antera padi ... 32 7. Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi

beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru ... 33 8. Hasil aklimatisasi dan tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada kultur

antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru ... 36 9. Hasil sidik ragam karakter agronomi genotipe padi persilangan padi gogo

dan padi tipe baru ... 37 10.Komponen agronomi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru

beserta tetuanya ... 38 11.Komponen hasil beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta

tetuanya ... 40 12.Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi

dan hasil pada padi ... 43 13.Hasil sidik ragam respon genotipe haploid ganda dan genotipe

pembanding terhadap karakter agronomi dan hasil pada padi ... 45 14.Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi dan

hasil pada genotipe padi hasil kultur antera ... 46 15.Nilai koefisien korelasi antar karakter galur-galur haploid ganda hasil

kultur antera ... 48 16.Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi terhadap

(14)

xiii

antera ... 52 18.Jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah bernas, hasil gabah kering

per rumpun dan eksersi malai galur-galur haploid ganda hasil kultur antera ... 54 19.Galur-galur haploid ganda hasil kultur antera yang terpilih sebagai padi

gogo dan padi gogo tipe baru ... 56 20.Nilai diferensial seleksi karakter agronomi galur-galur haploid ganda hasil

(15)

xiv

Halaman

1. Bagan alir penelitian ... 3

2. Malai dan spikelet yang dipakai dalam kultur antera ... 17

3. Hubungan antara karakter agronomi terhadap hasil (Y) ... 25

4. Plantlet hasil kultur antera: tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan) ... 29

5. Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera: tanaman haploid ganda (kiri) dan tanaman haploid (kanan) ... 35

6. Warna gabah dan warna beras empat tetua padi gogo dan padi tipe baru dan hasil persilangannya ... 42

7. Eksersi malai: terbuka (kiri), terbuka sebatas leher (tengah), dan tertutup (kanan) ... 55

(16)

xv

Halaman

1. Data luas lahan, produksi dan produktivitas padi nasional dan padi

gogo tahun 2000-2009 ... 66 2. Karakteristik galur/varietas yang digunakan untuk tetua persilangan ... 67 3. Komposisi kimia media dasar induksi kalus (N6) dan media dasar

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber bahan makanan pokok di Indonesia. Kebutuhan beras dalam negeri terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan pertambahan jumlah penduduk 1.66 persen per tahun, maka pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 288 juta jiwa (Haryanto 2008), oleh karena itu diperlukan peningkatan produksi padi sehingga dapat mendukung ketahanan pangan nasional.

Laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya teknologi budidaya apapun yang diberikan sulit untuk meningkatkan produksi karena potensi genetik produksinya sudah jenuh. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi lebih tinggi dibanding varietas yang selama ini ditanam oleh petani. Oleh karena itu, diperlukan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi melebihi daya hasil varietas yang sudah ada.

Indonesia mempunyai lahan kering dengan luas lebih dari 55.60 juta ha yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Soedjana 2005). Salah satu usaha memanfaatkan lahan kering yaitu dengan budidaya padi gogo. Data Departemen Pertanian selama sepuluh tahun terakhir (Lampiran 1) menunjukkan bahwa luas pertanaman padi gogo dari tahun ke tahun relatif tetap. Rata-rata produksi padi gogo selama sepuluh tahun sebesar 2.84 juta ton dengan produktivitas 2.59 ton/ha, sementara itu produksi padi nasional mencapai 54.87 juta ton sehingga kontribusi padi gogo terhadap produksi padi nasional masih sangat kecil, yaitu 5.18 persen (Deptan 2009).

(18)

gram (kering oven), biomassa total 22 t/ha (kadar air 14 persen), indeks panen 0.5, daun tebal berwarna hijau tua dan lambat menua (Peng et al. 2008).

Ketersediaan dan keragaman sumber daya genetik merupakan faktor penting dalam perakitan varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan. Padi gogo lokal merupakan sumber gen utama (primary gene pool) yang dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman. Karakteristik padi gogo lokal antara lain berumur panjang (150 – 180 hari), berpostur tinggi (> 150 cm), anakan sedikit (< 8 batang), malai sedang, daun panjang terkulai dan berwarna hijau muda, kurang responsif terhadap pemupukan terutama nitrogen, namun lebih adaptif pada lingkungan tertentu (Barus 2008).

Peningkatan produktivitas padi gogo dapat dilakukan dengan merakit varietas padi gogo tipe baru sehingga didapatkan padi gogo yang mempunyai sifat-sifat padi tipe baru, antara lain tinggi tanaman 100-120 cm, jumlah anakan produktif 8-15 batang, jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir, pengisian gabah baik (>75 persen), tanaman tegak tidak rebah, daun berwarna hijau tua, dan perakaran yang dalam.

Penelitian dan perakitan padi tipe baru di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995. Program penelitian padi tipe baru menjadi program baru Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada tahun 2001. Program tersebut telah menghasilkan satu varietas unggul tipe baru yaitu Fatmawati (Abdullah et al. 2005). Perakitan padi gogo tipe baru belum banyak dilakukan mengingat berbagai kendala adaptasi lingkungan dan cekaman biotik.

(19)

Serangkaian penelitian dilakukan untuk mendapatkan galur haploid ganda padi gogo dan padi gogo tipe baru hasil kultur antera. Alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

(20)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan galur padi haploid ganda homozigos

2. Mendapatkan informasi tentang kendali genetik terhadap karakter agronomi yang menunjang pembentukan padi gogo tipe baru

3. Mendapatkan genotipe yang berpotensi sebagai galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru.

Hipotesis

1. Terdapat genotipe F1 hasil persilangan padi gogo dengan padi tipe baru yang memiliki daya kultur antera yang baik

2. Terdapat keragaman antar galur haploid ganda hasil kultur antera

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi

Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman serealia semusim. Secara taksonomi, padi termasuk dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Poales atau Glumiflorae, famili Gramineae atau Poaceae. Genus Oryza memiliki lebih dari 20 spesies, tetapi yang banyak dibudidayakan di lima benua adalah Oryza sativa L., sedangkan Oryza glaberrima Steud. hanya dibudidayakan terbatas di daerah Afrika Barat. Kedua spesies ini termasuk diploid (Gould 1968). Berdasarkan gambaran umum morfologi dan fisiologinya, Oryza sativa dibedakan menjadi tiga subspecies, yaitu indica, japonica dan javanica (Chang dan Bardenas 1965). Padi subspesies indica banyak ditanam di Sri Lanka, Cina bagian Selatan dan Tengah, India, Pakistan, Indonesia, Filipina, Taiwan dan negara-negara tropis lainnya, sedangkan subspesies japonica banyak ditanam di Cina, Korea dan Jepang. Padi subspesies javanica dapat dijumpai di daerah tertentu di Indonesia, diantaranya Jawa dan Sumatra sehingga disebut juga tropical japonica. Di Indonesia, subspesies javanica disebut sebagai padi bulu, sedangkan subspecies indica disebut sebagai padi cere.

Pertumbuhan tanaman padi dibedakan dalam tiga fase, yaitu fase vegetatif, generatif dan pematangan. Fase vegetatif dimulai dari awal pertumbuhan sampai pembentukan malai, fase reproduktif dimulai dari pembentukan malai sampai pembungaan dan fase pematangan dimulai dari pembungaan sampai gabah matang. Di daerah tropis, fase generatif berlangsung 35 hari dan fase pematangan 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif (IRRI 2008).

(22)

dan enam benang sari. Pada ujung benang sari terdapat kepala sari atau antera, merupakan bagian bunga jantan yang menghasilkan tepung sari (pollen) (IRRI 2004).

Kondisi lingkungan seperti panjang hari, suhu dan air memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan morfologi tanaman. Air merupakan salah satu faktor lingkungan penting dalam proses evolusi tanaman. Padi dianggap sebagai tanaman budidaya yang memiliki karakter baik sebagai tanaman terrestrial maupun aquatik. Padi budidaya terdiferensiasi ke dalam beragam kultivar mulai dari padi rawa yang mampu tumbuh di kedalaman air 5-7 meter pada sebagian waktu siklus hidupnya sampai kultivar yang beradaptasi terhadap kondisi kering dimana sumber air hanya berasal dari hujan (Takahashi 1997).

Padi Gogo dan Padi Tipe Baru

Di Indonesia yang beriklim tropis, padi ditanam di seluruh daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah (85-90 persen) dan sebagian kecil sebagai padi gogo. Padi sawah dapat ditanam pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan padi gogo hanya ditanam pada musim hujan saja karena risiko kekeringan di musim kemarau. Budidaya padi sawah memerlukan kebutuhan air yang cukup dengan cara menggenangi pertanaman padi sedalam 5-25 cm pada hampir seluruh fase pertumbuhannya, sedangkan budidaya padi gogo tidak memerlukan kebutuhan air yang banyak sehingga penanamannya tidak perlu penggenangan (Taslim dan Fagi 1988). Umur genjah sangat penting pada budidaya padi gogo agar pertanaman dapat terhindar dari bahaya kekeringan (Harahap 1982).

(23)

Mutu beras yang kurang baik mengakibatkan padi gogo tidak disukai oleh petani dan konsumen. Varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi, bermutu beras baik dan berumur genjah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kontribusi padi gogo terhadap padi nasional. Beras yang bermutu baik dan bertekstur nasi pulen lebih disukai oleh konsumen dan mempunyai harga jual yang lebih tinggi (Allidawati dan Kustianto 1993).

Peningkatan potensi hasil suatu tanaman dapat dilakukan dengan memodifikasi tipe tanaman (Donald 1968). Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya genetik padi dengan cara pemuliaan yaitu persilangan dan seleksi. Modifikasi tipe tanaman padi yang tepat dapat menghasilkan genotipe dengan kemampuan menghasilkan bahan kering tanaman dan indeks panen yang tinggi. Indeks panen varietas unggul baru (VUB) sekitar 0.5 sehingga untuk menghasilkan 10 t/ha gabah kering giling VUB harus didapatkan tanaman yang mampu menghasilkan 20 t/ha bahan kering. Indeks panen dapat ditingkatkan menjadi 0.6 dan hasil bahan kering menjadi 22 t/ha melalui modifikasi tipe tanaman sehingga potensi hasil varietas padi dapat ditingkatkan menjadi 13 t/ha gabah kering giling (Khush 1995).

IRRI telah merumuskan idiotipe tanaman padi sawah tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT) untuk meningkatkan potensi hasil padi. Pemuliaan padi tipe baru dimulai pada tahun 1989 di IRRI. Secara genetik, sifat PTB tidak berbeda dengan varietas inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan, dan produksi biji. Pada tahun 1993 dikembangkan galur PTB generasi pertama dengan menggunakan padi tropical japonica, tetapi PTB generasi pertama ini tidak memiliki hasil yang baik karena kurangnya produksi biomassa dan pengisian gabah yang kurang baik. PTB generasi pertama ini juga rentan terhadap hama dan penyakit serta mempunyai kualitas biji yang kurang baik sehingga galur-galur PTB generasi pertama tidak dapat dilepas sebagai kultivar, tetapi digunakan lagi sebagai bahan genetik pada program pemuliaan selanjutnya (Yang et al. 2007; Peng et al. 2008).

(24)

indica. Tetua indica meningkatkan jumlah anakan, menurunkan ukuran malai (jumlah gabah per malai), meningkatkan kualitas biji dan meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit galur-galur PTB generasi kedua. Meskipun demikian, galur-galur PTB generasi kedua ini ternyata belum meningkatkan potensi hasil padi sawah pada musim kemarau di daerah tropis (Yang et al. 2007; Peng et al. 2008).

Peningkatan 10 persen potensi hasil padi sawah di daerah tropis dapat dilakukan dengan menggunakan PTB generasi kedua dengan target karakter antara lain: jumlah malai 330 per m2 (anakan produktif 10-15 batang), jumlah gabah per malai >150 butir, 80 persen gabah bernas, berat biji kering 25 mg, tinggi tanaman sedang (80-100 cm), umur sedang (105-120 hari), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua dan harus mampu mempertahankan kehijauannya atau lambat menua (delayed senescence), perakaran dalam, dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (Peng et al. 2008).

Di Indonesia, penelitian ke arah perakitan PTB telah dimulai sejak tahun 1995. Varietas PTB yang sudah dilepas adalah varietas perdana Fatmawati (akhir 2003) yang memiliki potensi produksi di atas 8.0 ton per ha (Abdullah et al., 2005). Fatmawati sebagai varietas PTB masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya persentase gabah hampa yang tinggi (>25 persen), kerontokan gabah yang sulit dan tidak tahan terhadap penyakit (blas dan hawar daun bakteri). Hal ini diduga akibat berbagai faktor seperti suhu, respirasi tinggi, dan sifat-sifat yang lain seperti daun cepat menua. Hasil penelitian yang dilakukan Limbongan (2008) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya kehampaan malai pada Fatmawati adalah tingginya dosis nitrogen dan kondisi cekaman suhu rendah (18 0

C). Program pemuliaan PTB terus dilakukan untuk mendapatkan galur-galur dengan sifat sesuai kriteria sehingga mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi dibanding varietas unggul sebelumnya.

Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi

(25)

genom tetua yang disilangkan diseleksi pada generasi bersegregasi, dilanjutkan dengan penyerbukan sendiri 6-10 kali generasi untuk fiksasi gen sehingga diperoleh galur murni homozigos. Hal ini mengakibatkan pembentukan varietas memerlukan waktu yang lama (Dewi dan Purwoko 2001).

Perkembangan bioteknologi di negara maju mendorong Indonesia untuk memanfaatkannya dalam pembangunan pertanian, misalnya dalam upaya perbaikan kultivar padi. Teknik aplikasi kultur antera tampaknya memberi harapan untuk membantu program pemuliaan padi. Pada tanaman padi, induksi haploid melalui kultur antera merupakan metode yang paling sederhana dan mudah dilaksanakan dibandingkan dengan kultur pollen dan kultur ovule/ovary (Zapata 1990).

Teknik kultur antera memiliki beberapa keuntungan, yaitu (a) memperpendek siklus pemuliaan dengan diperolehnya homozigositas secara cepat, (b) menambah efisiensi seleksi, (c) memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (d) mempercepat terekspresinya gen resesif, (e) menyediakan sumber benih homozigos, dan (f) menghemat waktu, biaya dan tenaga (Fehr 1987; Zapata 1990; Dewi et al. 1996; Masyhudi 1997; Kim and Baenziger 2005).

Teknik kultur antera juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (a) pelaksanaan teknik kultur antera memerlukan peralatan dan personil khusus, (b) regenerasi tanaman hijau rendah, karena dihasilkan tanaman albino di samping tidak semua genotipe responsif terhadap kultur antera, (c) beragamnya ploidi tanaman yang dihasilkan, (d) frekuensi haploid tidak dapat diprediksi dalam populasi, dan (e) penampilan galur inbred turunan haploid ganda mungkin lebih inferior dibanding penampilan galur inbred hasil pemuliaan konvensional (Callegarin et al. 1994; Dewi et al. 1996; Masyhudi et al. 1997; Somantri et al. 2003).

(26)

mikrospora, suhu kultur dan praperlakuan sebelum antera dikulturkan. Tanaman albino hasil kultur antera padi disebabkan karena hilangnya sebagian besar produk gen plastid antara lain 23s dan 16s rRNA (Jahne dan Lorz 1995). Menurut Bhojwani dan Razdan (1996), albino pada padi disebabkan oleh kegagalan proplastid berkembang secara normal menjadi kloroplast, tidak terbentuk grana dan kurangnya ribosom.

Regenerasi tanaman albino merupakan hal yang spesifik pada kultur antera karena hanya sedikit tanaman albino yang dihasilkan dari regenerasi sel somatik. Regenerasi tanaman albino pada kultur antera padi dikendalikan oleh gen inti (Jahne dan Lorz 1995; Yamagishi 2002). Analisis QTL (Quantitative Trait Loci) menunjukkan bahwa satu QTL pada kromosom 10 mengendalikan frekuensi tanaman albino dan satu QTL pada kromosom 9 menyebabkan regenerasi tanaman albino (Yamagishi 2002).

Tanaman haploid ganda pada kultur antera diperoleh secara spontan. Penggandaan kromosom secara spontan diduga terjadi selama kultur kalus embriogenik (Fu et al. 2008). Pembentukan tanaman haploid ganda secara spontan pada kultur antera sangat menguntungkan karena tidak perlu menggandakan kromosom tanaman haploid. Karakter tanaman haploid ganda yang dihasilkan secara spontan dengan kultur antera akan tetap stabil dari generasi ke generasi. Tanaman haploid ganda secara genetik identik dari generasi ke generasi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi tanaman (DH1) yang berasal dari generasi awal (DH0) hasil kultur antera (Hu 1988; Zhang 1989; Sasmita 2006). Karakter agronomi seperti hasil dan kualitas biji serta toleransi terhadap cekaman biotik dan abiotik dikendalikan oleh gen mayor sehingga genotipe haploid ganda dapat segera dievaluasi pada generasi awal, yaitu DH1 dan DH2 (Fehr 1987; Chung 1992).

(27)

1992; Dewi 2003; Dewi et al. 2007). Tanaman haploid ganda dengan keragaman genetik tinggi dapat diperoleh dari sumber antera yang berasal dari tanaman F1 atau F2 yang sudah diseleksi (Poehlman dan Sleper 1995; Dewi dan Purwoko 2001; Dewi et al. 2007).

Teknik kultur antera dapat mempercepat pembentukan galur homozigos tanaman padi. Galur murni dapat diseleksi dari populasi haploid ganda yang homogen dan homozigos. Hasil rekombinasi dari persilangan difiksasi melalui kultur antera sehingga galur-galur harapan homozigos dapat lebih cepat diseleksi berdasarkan keunggulan sifat-sifat agronominya. Populasi tanaman yang diseleksi juga akan lebih sedikit. Populasi haploid ganda minimum yang diperlukan untuk evaluasi bervariasi tergantung dari jumlah gen untuk seleksi. Jika perbedaan pada tetua persilangan adalah sejumlah n gen dan diasumsikan tidak ada pautan, maka minimum sebanyak 2n tanaman harus ditanam agar semua genotipe homozigos dapat terwakili, sedangkan dengan pemuliaan konvensional diperlukan sebanyak 4n tanaman (Dewi dan Purwoko 2001). Makin banyak gen yang mengontrol karakter yang diinginkan maka jumlah individu materi populasi untuk bahan seleksi akan semakin besar (Somantri et al. 2003).

Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu genotipe tanaman, fase pembentukan mikrospora pada saat antera diambil, praperlakuan antera sebelum dikulturkan, komposisi media, kondisi tumbuh lingkungan tanaman yang akan diambil anteranya dan lingkungan pada saat pengambilan sampel malai (Chu 1978; Gupta dan Borthakur 1987; Cowen et al. 1992; Raina dan Zapata 1997; Lee et al. 2004).

Genotipe tanaman mempunyai respon yang berbeda dalam menginduksi kalus dan regenerasi tanaman. Secara umum kultivar padi Japonica memberikan respon kultur antera lebih baik dibanding kultvar indica. Respon genotipe pada kultur antera padi membentuk polasebagai berikut: japonica/japonica > japonica > indica/japonica > indica/indica > indica (Yan et al. 1996). Kultur antera hibrida F1 menghasilkan respon lebih baik dibanding tetua inbred yang digunakan (Chen 1983; Callegarin et al. 1994).

(28)

yang optimum untuk kultur antera adalah pada tahap pertengahan uninukleat (mid-uninucleate), sebelum atau sesudah tahap tersebut akan memberikan penurunan respon yang nyata (Chung 1992).

Perlakuan awal (pretreatment) terhadap malai padi sebelum antera dikulturkan dapat mempengarui frekuensi induksi kalus. Perlakuan suhu dingin dapat memperlambat senescence dan memberikan waktu yang cukup terhadap dinding antera untuk memelihara mikrospora yang berkembang di dalamnya. Perlakuan suhu dingin sebelum antera dikulturkan terbukti efektif meningkatkan induksi kalus embriogenik (Fu et al. 2008). Menurut Dewi et al. (1994), perlakuan suhu dingin bertujuan untuk menyeragamkan stadia polen sehingga dinding antera dapat mendukung perkembangan polen menjadi kalus.

Media kultur merupakan faktor penting dalam keberhasilan kultur antera padi. Media berperan menyediakan hara lengkap yaitu unsur makro, unsur mikro, karbohidrat, asam amino, vitamin dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan dalam proses induksi kalus maupun regenerasi tanaman. Media N6 terbukti paling sesuai dalam menginduksi kalus pada kultur antera padi (Chu 1978), sedangkan untuk regenerasi tanaman hijau digunakan media MS (Murashige dan Skoog 1962). Dewi et al. (1994) melaporkan bahwa media N6 dan modifikasinya dapat digunakan untuk induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi subspesies indica dan hasil persilangannya.

(29)

subspecies indica juga telah berhasil meregenerasikan tanaman hijau yang biasanya sukar atau rekalsitran in-vitro.

Masyhudi (1994) menyatakan bahwa kondisi gelap diperlukan dalam induksi kalus dengan tujuan menghindari proses fotosintesis sehingga polen androgenik membelah dan membentuk kalus. Regenerasi tanaman memerlukan kondisi sebaliknya, ruang terang dengan cahaya kuat (1000-3000 lux) diperlukan agar kalus dapat tumbuh dan berfotosintess menjadi tanaman. Kultur antera padi juga memerlukan suhu ruang yang stabil, yaitu 25 ± 2 0C.

(30)

METODOLOGI

Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu:

1. Studi regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi 2. Analisis genetik karakter agronomi pada padi

3. Evaluasi karakter agronomi galur-galur padi haploid ganda hasil kultur antera

Pembentukan Materi Genetik

Waktu dan Tempat Penelitian

Pembentukan materi genetik terdiri atas dua kegiatan yaitu penanaman tetua dan persilangan di antara tetua untuk mendapatkan benih F1. Pembentukan materi genetik untuk Percobaan 1 dan Percobaan 2 dilakukan pada bulan Januari- Juni 2008 di Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Padi, Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk pembentukan materi genetik adalah benih padi Fatmawati (varietas PTB), BP360E-MR-79-2 (galur harapan PTB), dan dua padi gogo lokal Pulai Buru yaitu Fulan Telo Gawa (FTG) dan Fulan Telo Mihat (FTM). Fulan Telo Gawa mempunyai warna beras putih, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai warna beras merah. Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat dipilih sebagai tetua karena mempunyai karakter antara lain umur agak genjah, malai panjang dan pengisian gabah yang baik, sedangkan Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yang mempunyai karakter antara lain tanaman tegak, batang kekar dan malai lebat, tetapi pengisian gabah kurang baik (Lampiran 2).

Metode Penelitian

(31)

diperoleh delapan persilangan, yaitu (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) 2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat.

Pembentukan populasi F1 diawali dengan penanaman tetua persilangan. Benih tetua disemai dalam bak ukuran 30 cm x 50 cm, kemudian bibit dipindahtanam ke lapangan setelah berumur 21 hari. Bibit tetua ditanam di lapangan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, satu bibit per lubang tanam. Penanaman tetua diulang tiga kali dengan interval waktu dua minggu untuk sinkronisasi pembungaan saat persilangan. Tanaman dipupuk dengan 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36 dan 100 kg/ha KCl. Setelah tanaman berbunga, tanaman yang dijadikan tetua betina dipindahkan ke dalam pot dan dibawa ke rumah kaca untuk dibuang bunga jantannya (kastrasi). Stadia bunga yang baik untuk diemaskulasi adalah pada saat benang sari berada pada pertengahan bunga. Stadia ini menunjukkan bahwa bunga akan mekar dalam 1-2 hari. Bunga digunting dengan kemiringan 600, kemudian benang sari dikeluarkan dengan cara dihisap dengan menggunakan pompa penghisap (putik tidak boleh rusak). Malai yang sudah diemaskulasi ditutup dengan kertas minyak dan diberi label.

(32)

pada suhu + 45 0C selama 3 hari. Benih F1 ini dapat ditanam 15 hari setelah panen.

Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi

Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan 1 dilakukan pada bulan September 2008 sampai April 2009. Penanaman bahan eksplan dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor, sedangkan kegiatan kultur antera dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam Percobaan 1 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, padi gogo lokal Pulau Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan resiprok varietas/galur padi sawah tipe baru dengan padi gogo lokal, yaitu: (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat. Media kultur antera yaitu N6 (Chu 1978) untuk induksi kalus dan MS (Murashige dan Skoog 1962) untuk regenerasi dan perakaran.

Metode Penelitian

(33)

F1 ditanam dalam pot masing-masing 20-30 tanaman, 2 tanaman/pot. Pelaksanaan kultur antera mengikuti metode Dewi (2003).

a. Pembuatan media

Media dasar yang digunakan adalah N6 untuk induksi kalus dan media MS untuk regenerasi dan perakaran. Komposisi kimia kedua media yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Media induksi kalus adalah media N6 yang diberi 2.0 mg/l NAA dan 0.5 mg/l kinetin, sedangkan media regenerasi kalus adalah media MS yang diberi 0.5 mg/l NAA dan 2.0 mg/l kinetin. Putresin (salah satu jenis poliamin) 10-3 M dan sukrosa berturut-turut sebanyak 60 g/l dan 40 g/l ditambahkan ke dalam media induksi kalus dan media regenerasi. Media perakaran adalah media MS ditambah 0.5 mg/l IBA dan 10 g/l sukrosa. Pemadat yang digunakan adalah agar phytagel TM dengan pH media 5.8. Media disterilisasi dalam autoklaf selama 20 menit pada suhu 120 0C tekanan 18-20 psi.

b. Pemilihan dan inkubasi eksplan

[image:33.595.227.438.596.708.2]

Malai yang diambil anteranya adalah malai yang masih dalam keadaan bunting dengan jarak aurikel daun bendera dengan aurikel daun di bawahnya 7-10 cm (Gambar 2). Malai yang masih terselubung dicuci bersih kemudian dibungkus dengan kertas tissue yang telah dibasahi dan aluminium foil. Selanjutnya malai disimpan dalam ruang dingin bersuhu 5 0C selama 7-10 hari. Perlakuan suhu dingin berguna untuk menyeragamkan stadia polen sehingga lebih banyak polen pada stadia uninukleat yang dapat digunakan.

(34)

c. Sterilisasi eksplan

Malai dibuka selubungnya, kemudian spikelet (bulir) yang berada di bagian tengah-atas dan berwarna kuning kehijauan diambil. Spikelet-spikelet yang terpilih kemudian disterilkan dengan 20% Clorox (Bayclin dengan kandungan NaCIO 5.25 %) selama 20 menit dan selanjutnya dicuci dengan air steril. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Sterilisasi eksplan ini dilakukan dalam laminar air flow cabinet (LAF).

d. Penanaman atau inokulasi eksplan

Spikelet-spikelet yang sudah steril dipotong sepertiga bagian dari pangkalnya dan dikumpulkan dalam cawan petri steril, kemudian spikelet dijepit dengan menggunakan pinset dan diketuk-ketukkan pada cawan petri yang berisi 25 ml media induksi kalus sehingga antera akan keluar dan jatuh ke media. Setiap cawan petri berisi antera yang berasal dari 25-30 spikelet atau berisi ± 150 butir antera. Kegiatan ini dilakukan dalam LAF.

e. Inkubasi kultur antera

Inkubasi antera dilakukan dalam ruang gelap bersuhu 25 ± 2 0C untuk menginduksi keluarnya kalus yang berasal dari butir tepung sari (mikrospora) dalam antera. Kalus biasanya muncul sekitar 3-4 minggu setelah inokulasi.

f. Regenerasi tanaman dari kalus

Kalus yang berukuran 1-2 mm dipindahkan ke dalam botol yang berisi 25 ml media regenerasi untuk merangsang keluarnya tunas. Tunas/tanaman hijau yang tumbuh pada media regenerasi dipindahkan ke tabung kultur yang berisi 15 ml media perakaran setelah mencapai tinggi 3-5 cm. Sekelompok (cluster) tanaman yang tumbuh dari satu kalus tidak dipisahkan. Setelah akar tumbuh sempurna, maka tanaman siap untuk diaklimatisasi.

g. Aklimatisasi

(35)

dipindahkan ke dalam bak semai berisi tanah berlumpur selama 1 minggu. Selama proses aklimatisasi, tanaman diperlakukan pada keadaan cahaya dengan intensitas yang berangsur-angsur meningkat sehingga tanaman mampu beradaptasi dengan kondisi lapang. Bibit padi hasil kultur antera kemudian dipindahkan dari bak ke pot di rumah kaca.

h. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus yang terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman albino, dan jumlah tanaman haploid ganda yang dihasilkan.

i. Analisis data

Data primer yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan persentase antera yang membentuk kalus, persentase kalus terhadap jumlah antera, persentase tanaman hijau terhadap jumlah tanaman total, persentase tanaman albino terhadap jumlah tanaman total dan efisiensi setiap perlakuan dalam menghasilkan tanaman hijau yaitu rasio tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT).

Percobaan 2. Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi

Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan 2 dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2008. Penanaman bahan percobaan dilakukan di Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cikeumeuh, Bogor.

Bahan Penelitian

(36)

yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan resiprok varietas/galur harapan padi sawah tipe baru dengan padi gogo lokal yaitu: (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-79-2/ Fulan Telo Mihat.

Metode Penelitian

Percobaan dilakukan di rumah kaca menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang terdiri atas empat tetua dan delapan kombinasi persilangan. Benih padi dari 12 genotipe yang digunakan disemai dalam bak yang berisi lumpur. Setelah 21 hari, bibit dipindahtanam dalam pot yang berisi tanah sawah, 1 bibit/pot. Tanaman dipupuk dengan 200 kg/ha (5 g/pot) Urea, 100 kg/ha (2.5 g/pot) SP36 dan 100 kg/ha (2.5 g/pot) KCl. Pemeliharaan tanaman dilakukan berdasarkan budidaya padi sawah. Penanaman dilakukan pada kondisi sawah dimaksudkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman karena tidak semua genotipe mampu tumbuh baik pada kondisi gogo. Hal ini karena salah satu tetua yang digunakan dalam persilangan berasal dari varietas/galur harapan padi sawah.

Pengamatan yang dilakukan meliputi:

- tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai

- jumlah anakan produktif, ditentukan dengan menghitung anakan yang menghasilkan malai

- umur berbunga, dihitung dari saat tabur atau sebar benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun telah keluar

- umur panen, dihitung dari saat tabur atau sebar benih sampai 80% malai telah matang

- panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai

- jumlah gabah isi dan hampa per malai, dihitung jumlah gabah bernas atau berisi penuh dan gabah yang hampa (tidak berisi) tiap malai

(37)

- hasil gabah per rumpun, dihitung dari bobot gabah kering bernas yang berasal dari satu rumpun

- warna gabah, diketahui dari warna sekam (gabah) - warna beras, diketahui setelah sekam dikupas.

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, uji jarak berganda Duncan dan analisis komponen ragam (Singh dan Chaudhary 1979). Perhitungan sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis ragam rancangan acak kelompok Sumber

Keragaman

Derajat Bebas Kuadrat Tengah Nilai Harapan

Ulangan (r) r-1 KTr

Genotipe (g) g-1 KTg Ve + rVg

Galat (e) (g-1)(r-1) KTe Ve

Rumus komponen ragam dan heritabilitas yang digunakan adalah sebagai berikut (Singh dan Chaudhary 1979):

dimana:

Vg = ragam genotipe Vp = ragam fenotipe r = ulangan

(38)

KTg = kuadrat tengah genotipe H2bs = heritabilitas arti luas

KVG = koefisien keragaman genetik KVP = koefisien keragaman fenotip

Pengelompokan nilai heritabilitas arti luas menurut Stanfield (1983): 0.50 < h2<1.00 : tinggi

0.20 < h2<0.50 : sedang h2 < 0.20 : rendah

Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Haploid Ganda Hasil Kultur Antera

Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan 3 dilakukan pada bulan Maret-Juni 2009. Penanaman bahan percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan untuk Percobaan 3 adalah benih dari 35 genoipe haploid ganda hasil kultur antera padi (DH0) hasil persilangan resiprok Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan tiga genotipe kontrol (pembanding) yaitu Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto. Ketiga genotipe pembanding berturut-turut merupakan varietas padi sawah tipe baru, padi gogo lokal Pulau Buru dan varietas padi gogo komersial.

Metode Penelitian

(39)

Evaluasi karakter agronomi galur-galur padi haploid ganda dilaksanakan di lapangan pada lahan gogo dengan tujuan melakukan pengujian terhadap daya adaptasi galur-galur haploid ganda sehingga dapat dilakukan seleksi terhadap galur-galur yang beradaptasi baik. Galur-galur yang terpilih dikelompokkan menjadi dua yaitu galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru.

Pengamatan dilakukan terhadap karakter-karakter agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi malai, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir biji bernas dan hasil gabah kering per rumpun.

Data dianalisis dengan analisis ragam sesuai metode augmented (Sharma 2006). Perhitungan sidik ragam augmented dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis ragam rancangan augmented

Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah

Blok (b) r-1 JKb KTb

Perlakuan (t) t-1 JKt KTt

Kontrol (c) c-1 JKc KTc

Genotipe (g) g-1 JKg KTg

Kontrol vs genotipe 1 JKcg KTcg

Galat (e) (c-1)(b-1) JKe KTe

Komponen ragam dan heritabilitas dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

(40)

dimana:

FKg = faktor koreksi genotipe uji

Y. = nilai pengamatan keseluruhan genotipe uji Yi = nilai pengamatan genotipe ke-i

g = jumlah genotipe uji

db = derajat bebas genotipe uji JKg = jumlah kuadrat

KTg = kuadrat tengah genotipe uji Vg = ragam genotipe

Vp = ragam fenotipe Ve = ragam lingkungan X = rataan genotipe uji H2bs = heritabilitas arti luas

KVG = koefisien keragaman genetik KVP = koefisien keragaman fenotip

Rataan tersesuaikan (adjusted) genotipe haploid ganda yang diuji diperoleh setelah dihitung pengaruh blok dengan rumus:

Pj = B – M

Nilai rataan tersesuaikan = Yi - Pj

dimana:

Pj = pengaruh blok ke-j

Bj = rata-rata kontrol dalam satu blok j M = rata-rata umum kontrol

(41)

Beda nyata terkecil (BNT) antara nilai rata-rata tersesuaikan masing-masing karakter satu genotipe uji dengan rata-rata satu genotipe kontrol ditentukan dengan rumus:

dimana:

BNT = beda nyata terkecil KTE = kuadrat tengah galat b = jumlah blok

c = jumlah kontrol

[image:41.595.151.461.458.676.2]

Data yang diperoleh juga dianalisis korelasi dan sidik lintas antara karakter hasil gabah kering dengan karakter-karakter agronomi yang diamati (Singh dan Chaudhary 1979; Poespodarsono 1988). Analisis sidik lintas dapat digambarkan sebagai berikut:

(42)

dimana:

Y = hasil gabah/rumpun

X1, X2, ... = karakter agronomi yang diamati

P1, P2, ... = koefisien lintas, yang menunjukkan pengaruh langsung karakter agronomi terhadap hasil (Y)

r = korelasi antar karakter agronomi

Koefisien lintas P1Y, P2Y, ..., P6Y dihitung melalui persamaan berikut:

r1Y r1.1 r1.2 r1.3 r1.4 r1.5 r1.6 P1Y

r2Y r2.1 r2.2 r2.3 r2.4 r2.5 r2.6 P2Y r3Y = r3.1 r3.2 r3.3 r3.4 r3.5 r3.6 P3Y r4Y r4.1 r4.2 r4.3 r4.4 r4.5 r4.6 P4Y r5Y r5.1 r5.2 r5.3 r5.4 r5.5 r5.6 P5Y r6Y r6.1 r6.2 r6.3 r6.4 r6.5 r6.6 P6Y

Seleksi dilakukan terhadap genotipe-genotipe haploid ganda yang diuji untuk mendapatkan genotipe haploid ganda yang berpotensi sebagai galur padi gogo maupun galur padi gogo tipe baru. Nilai diferensial seleksi karakter-karakter agronomi yang diamati dihitung dengan rumus (Becker 1985):

S = Xs – X

dimana:

S = nilai diferensial seleksi

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi

Pembentukan Kalus

Teknik kultur antera padi menghasilkan tanaman melalui proses embriogenesis tidak langsung, yaitu terbentuknya tanaman (plantlet) melalui tahap kalus terlebih dahulu. Inisiasi kalus ditandai dengan membesarnya ukuran antera sebagai akibat terjadinya pembelahan sel-sel mikrospora, kemudian dinding antera pecah dan kalus yang tumbuh akan muncul berwarna putih.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa respon genotipe terhadap jumlah kalus, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau dan jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino berbeda sangat nyata (Tabel 3). Dengan demikian terdapat keragaman respon terhadap kultur antera yang sangat tinggi pada genotipe-genotipe yang dikulturkan. Bagheri dan Jelodar (2008) mendapatkan hasil bahwa respon genotipe sangat nyata pada induksi kalus kultur antera padi lokal Iran dan galur padi komersial serta F1 hasil persilangannya.

Tabel 3. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah kalus dan jumlah kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi

Sumber Keragaman

DB Kuadrat tengah

JK JKMT JKTH JKTA

Genotipe 11 48270.5** 145.7** 28.7** 49.8**

Galat 288 2199.1 6.3 1.7 3.9

Keterangan: ** beda sangat nyata, JK = jumlah kalus, JKMT = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman total, JKTH = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau, JKTA = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino

Inisiasi Kalus

(44)

Tetua Fulan Telo Gawa menghasilkan kalus dalam waktu paling lama, yaitu 35.0 hari, tidak berbeda nyata dengan salah satu persilangannya yaitu BP360E-MR-79-2 /Fulan Telo Gawa . Galur BP360E-MR-79-BP360E-MR-79-2 tidak mampu menghasilkan kalus, tetapi semua persilangan yang menggunakan BP360E-MR-79-2 sebagai salah satu tetua mampu menghasilkan kalus. Lama inisiasi kalus pada persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya berbeda, sedangkan ketiga persilangan resiprok yang lain mempunyai waktu inisiasi kalus yang sama antara F1 dengan resiproknya. Ketiga tetua, Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat dan Fatmawati berbeda dalam lama inisiasi kalus.

Inisiasi kalus pada F1 umumnya lebih cepat dibanding tetua yang digunakan dalam persilangannya. Hal ini terjadi pada persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya, Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya, dan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2. Tiga persilangan yang lain yaitu BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, dan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat mempunyai waktu inisiasi kalus yang tidak berbeda nyata dengan salah satu atau kedua tetuanya (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil induksi kalus beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi

Genotipe IK

(hari) JK JKT JKTH JKTA

KT* (%) KTH* (%) KTA* (%)

FTG/Fatmawati 26.2 e 50.3 de 6.9 ab 3.0 a 3.9 a 13.77 5.97 7.80

Fatmawati/FTG 23.6 f 81.1 c 7.2 a 3.5 a 3.7 ab 8.88 4.29 4.59

FTG/BP360E-MR-79-2 30.7 bc 112.2 b 5.4 c 2.8 a 2.6 bc 4.81 2.46 2.35

BP360E-MR-79-2 /FTG 32.8 ab 63.9 cd 3.1 de 1.7 b 1.4 def 4.88 2.69 2.19

FTM/Fatmawati 27.4 de 57.2 cd 3.9 de 1.6 b 2.3 cd 6.86 2.87 3.99

Fatmawati/FTM 26.0 e 112.1 b 5.7 bc 1.9 b 3.8 ab 5.06 1.71 3.35

FTM/ BP360E-MR-79-2 30.4 bc 64.8 cd 3.0 de 1.2 bc 1.8 cde 4.63 1.91 2.72

BP360E-MR-79-2 /FTM 29.6 cd 28.1 e 2.2 ef 1.4 bc 0.8 efg 7.83 4.84 2.99

Fulan Telo Gawa 35.1 a 162.0 a 1.1 fg 0.6 cd 0.5 fg 0.70 0.40 0.30

Fulan Telo Mihat 29.3 cd 119.1 b 0.8 fg 0.6 cd 0.2 fg 0.64 0.47 0.17

Fatmawati 30.4 bc 72.5 cd 1.8 ef 0.6 cd 1.2 defg 2.53 0.88 1.65

BP360E-MR-79-2 - 0.0 f 0.0 g 0.0 d 0.0 g 0.00 0.00 0.00

[image:44.595.108.522.471.682.2]
(45)

Jumlah Kalus

Kemampuan setiap genotipe dalam membentuk kalus pada kultur antera padi berbeda-beda (Tabel 4). Fulan Telo Gawa mampu menghasilkan kalus paling banyak, yaitu 162.0 kalus, berbeda nyata dengan Fulan Telo Mihat dan Fatmawati yang menghasilkan kalus berturut-turut 119.1 dan 72.5 kalus. Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2 dan Fatmawati/Fulan Telo Mihat menghasilkan kalus paling banyak dibanding genotipe F1 lainnya. Genotipe F1 pada umumnya menghasilkan kalus lebih sedikit dibanding tetuanya.

Jumlah Kalus Menghasilkan Tanaman

Kalus yang dihasilkan dari kultur antera dapat beregenerasi menjadi tanaman hijau dan tanaman albino (Gambar 4). Kalus yang mampu beregenerasi menjadi tanaman dari total kalus yang terbentuk ternyata hanya sedikit. Sebagian besar kalus tidak beregenerasi atau tidak menghasilkan tanaman.

Gambar 4. Plantlet hasil kultur antera: tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan)

[image:45.595.96.506.0.842.2]
(46)

jumlah banyak ternyata hanya sedikit kalus yang menghasilkan tanaman yaitu berturut-turut 0.70 dan 0.64 persen dari jumlah kalus yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan regenerasi kalus pada genotipe F1. Jumlah kalus yang dapat menghasilkan tanaman pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya lebih banyak dibanding kedua tetuanya, berturut-turut 7.2 (8.88 persen) dan 6.9 (13.77 persen) kalus. Demikian juga untuk genotipe F1 yang berasal dari persilangan yang lain. Kemampuan genotipe F1 dalam meregenerasikan kalus menjadi tanaman lebih tinggi dibanding genotipe tetua (Tabel 4). Penelitian Sasmita (2002) mendapatkan kalus menghasilkan tanaman berkisar 2.4-12.8 kalus (22.85-26.77 persen) pada keempat tetua dan 5.3-18.9 kalus (9.24-34.03 persen) pada F1 hasil persilangannya.

Kemampuan kalus menghasilkan tanaman hijau berbeda-beda antar genotipe. Persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa mampu menghasilkan tanaman hijau paling banyak, tidak berbeda nyata dengan persilangan resiproknya yaitu Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan persilangan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, berturut-turut 3.5 (4.29 persen), 3.0 (5.97 persen) dan 2.8 (2.46 persen) kalus. Kalus menghasilkan tanaman hijau pada ketiga tetua yaitu Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat dan Fatmawati hanya sedikit, masing-masing 0.60 kalus atau kurang dari satu persen dari jumlah kalus total (Tabel 4).

Persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau lebih kecil dibandingkan dengan persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino. Hal ini terjadi pada lima persilangan, sedangkan tiga persilangan yang lain yaitu Fulan Telo Gawa/MR-79-2, MR-79-2/Fulan Telo Gawa dan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat menghasilkan persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau lebih tinggi dibanding persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino.

(47)

Regenerasi Tanaman

Respon genotipe dalam menghasilkan tanaman baik tanaman hijau maupun tanaman albino berbeda sangat nyata (Tabel 5). Hal ini berarti terdapat keragaman antar genotipe dalam menghasilkan tanaman hijau maupun tanaman albino. Persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya mampu menghasilkan total tanaman paling banyak yaitu 23.7 tanaman, sedangkan kedua tetuanya hanya mampu menghasilkan total tanaman berturut-turut 6.2 dan 2.3 tanaman. Rata-rata tanaman yang dihasilkan genotipe F1 lebih banyak dibanding kedua tetua. Hal ini terjadi pada semua persilangan (Tabel 6).

Tabel 5. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman albino dan jumlah tanaman total pada kultur antera padi

Sumber Keragaman

Derajat bebas

Kuadrat Tengah

Tanaman hijau Tanaman albino Total tanaman Genotipe 11 125.0** 873.5** 1571.9**

Galat 288 6.8 62.5 73.7

Keterangan: ** beda sangat nyata

Tanaman Hijau

Tanaman hijau yang dihasilkan berkisar antara 1.5-7.5 tanaman pada F1 dan 0.0 -1.0 tanaman pada tetua. Tanaman hijau paling banyak dihasilkan oleh persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya yaitu berturut-turut 7.5 tanaman (31.53 persen) dan 5.5 tanaman (23.27 persen). Persilangan FTG/BP360E-MR-79-2 juga mampu menghasilkan tanaman hijau cukup banyak, tidak berbeda nyata dengan persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati. Ketiga persilangan yaitu Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, Fulan Telo Mihat/ Fatmawati dan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 menghasilkan tanaman hijau yang tidak berbeda nyata dengan resiproknya (Tabel 6).

(48)

Mihat (Tabel 6). Semua genotipe F1 menghasilkan tanaman hijau lebih banyak dibanding tetuanya. Sasmita (2002) menghasilkan kisaran 4.4-18.3 (15.31-37.06 persen) tanaman hijau pada delapan F1 dan 1.8-13.5 (13.18-25.53 persen) tanaman hijau pada keempat tetua. Hasil ini menguatkan bukti bahwa regenerasi tanaman hijau pada F1 lebih tinggi dibanding tetua yang digunakan dalam persilangannya.

Tabel 6. Hasil regenerasi tanaman beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi

Genotipe Jumlah Tanaman

Total Hijau Albino Hijau*(%) Albino*(%)

FTG/Fatmawati 23.7 a 5.5 b 18.2 a 23.27 76.73

Fatmawati/FTG 23.7 a 7.5 a 16.2 ab 31.53 68.47

FTG/BP360E-MR-79-2 12.0 bc 4.6 bc 7.4 de 38.00 62.00

BP360E-MR-79-2 /FTG 9.1 cde 3.8 cd 5.2 defg 42.29 57.71

FTM/Fatmawati 11.3 bcd 3.3 cd 8.0 cd 29.43 70.57

Fatmawati/FTM 16.0 b 3.7 cd 12.3 bc 23.00 77.00

FTM/ BP360E-MR-79-2 7.2 cdef 1.5 ef 5.7 def 21.11 78.89

BP360E-MR-79-2 /FTM 5.8 efg 2.8 de 2.9 efgh 49.31 50.69

Fulan Telo Gawa 2.3 fgh 0.7 f 1.6 fgh 31.03 68.97

Fulan Telo Mihat 1.4 gh 0.8 f 0.6 gh 58.33 41.67

Fatmawati 6.2 defg 1.0 f 5.1 defg 16.88 83.12

BP360E-MR-79-2 0.0 h 0.0 f 0.0 h 0.00 0.00

Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat, * tidak diuji statistik, angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Tanaman Albino

[image:48.595.113.508.269.486.2]
(49)

tanaman albino paling banyak dibanding ketiga tetua lainnya, yaitu 5.1 (83.12 persen) tanaman albino (Tabel 6).

Efisiensi Pembentukan Kalus dan Tanaman Hijau

[image:49.595.109.515.391.610.2]

Efisiensi pembentukan kalus dari setiap genotipe yang dikulturkan dinyatakan dengan persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera. Efisiensi pembentukan kalus paling tinggi dihasilkan oleh kedua tetua padi gogo lokal yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, berturut-turut sebesar 96.34 persen dan 70.55 persen (Tabel 7), namun tingginya persentase pembentukan kalus tersebut tidak diimbangi dengan persentase kalus yang menghasilkan tanaman. Kedua genotipe tetua tersebut mempunyai persentase kalus menghasilkan tanaman yang sangat rendah (kurang dari satu persen).

Tabel 7. Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru

Genotipe Persen kalus terhadap JA

Persen KMT

Rasio TH/KMT

Persen TH terhadap JA FTG/Fatmawati 34.61 13.76 0.26 3.80

Fatmawati/FTG 54.21 8.88 0.38 5.00

FTG/BP360E-MR-79-2 66.13 4.81 0.45 2.69 BP360E-MR-79-2 /FTG 43.73 4.88 0.55 2.63 FTM/Fatmawati 40.49 6.86 0.35 2.35 Fatmawati/FTM 79.51 5.07 0.26 2.61 FTM/ BP360E-MR-79-2 39.21 4.63 0.22 0.92 BP360E-MR-79-2 /FTM 17.57 7.82 0.66 1.77 Fulan Telo Gawa 96.34 0.69 0.32 0.43 Fulan Telo Mihat 70.55 0.64 0.72 0.50

Fatmawati 44.58 2.54 0.18 0.64

BP360E-MR-79-2 0.00 0.00 0.00 0.00

Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat, JA = jumlah antera yang dikulturkan, KMT = kalus menghasilkan tanaman, TH = tanaman hijau

(50)

tinggi di antara keempat tetua. Efisiensi pembentukan tanaman pada genotipe F1 lebih tinggi dibanding genotipe tetua. Kultur antera hibrida F1 lebih efektif dan lebih cepat dalam memperoleh galur-galur homozigos dari persilangan sehingga akan meningkatkan efisiensi seleksi (Callegarin et al. 1994).

Efisiensi kultur antera yang terkait dengan produksi tanaman hijau dinyatakan dengan rasio tanaman hijau terhadap jumlah kalus yang menghasilkan tanaman (Rasio TH/KMT) dan persentase tanaman hijau yang dihasilkan terhadap jumlah antera yang dikulturkan (Zhang 1992). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Rasio TH/KMT tertinggi pada Fulan Telo Mihat (0.72) diikuti oleh persilangan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat (0.66), sedangkan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang dikulturkan tertinggi diperoleh pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa (5.00 persen) diikuti oleh persilangan resiproknya (3.80 persen). Tetua Fulan Telo Mihat dan persilangan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat meskipun mempunyai rasio TH/KMT yang tinggi, tetapi mempunyai persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang rendah sehingga dianggap kurang efisien dalam menghasilkan tanaman hijau (Tabel 7). Dengan demikian, persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya merupakan genotipe yang paling efisien dalam menghasilkan tanaman hijau pada kultur antera padi atau mempunyai high anther culture ability.

Aklimatisasi dan Tanaman Haploid Ganda

(51)

Gambar 5. Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera: tanaman haploid ganda (kiri) dan tanaman haploid (kanan)

[image:51.595.117.431.94.663.2]
(52)
[image:52.595.99.511.81.806.2]

Tabel 8. Hasil aklimatisasi dan tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru

Genotipe

Jumlah tanaman Total Hidup Haploid

ganda

Hidup (%)

Haploid ganda (%)

FTG/Fatmawati 138 97 20 70.29 20.62

Fatmawati/FTG 187 150 27 80.21 18.00

FTG/BP360E-MR-79-2 114 52 32 45.61 61.54

BP360E-MR-79-2 /FTG 96 27 5 28.13 18.52

FTM/Fatmawati 83 57 25 68.67 43.86

Fatmawati/FTM 92 77 20 83.70 25.97

FTM/ BP360E-MR-79-2 38 11 7 28.95 63.64

BP360E-MR-79-2 /FTM 71 36 16 50.70 44.44

Fatmawati 26 14 2 53.85 14.29

Fulan Telo Gawa 18 7 0 38.89 0.00

Fulan Telo Mihat 21 12 7 57.14 58.33

BP360E-MR-79-2 0 0 0 0 0

Total 884 540 161 61.09 29.81

Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat

(53)

Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi

Sidik Ragam, Komponen Agronomi dan Komponen Hasil

[image:53.595.117.517.262.449.2]

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat keragaman antar genotipe yang diuji untuk semua karakter yang diamati.

Tabel 9. Hasil sidik ragam karakter agronomi genotipe padi persilangan padi gogo dan padi tipe baru

Karakter agronomi Kuadrat tengah

genotipe ulangan Galat Tinggi tanaman 3642.29 ** 146.24 tn 94.97 Jumlah anakan produktif 40.17 ** 26.81 * 8.17 Umur berbunga 70.63 ** 16.31 * 164.08 Umur panen 150.97 ** 5.72 tn 25.84 Panjang malai 21.87 ** 0.19 tn 3.69 Jumlah gabah isi/malai 5454.00 ** 768.93 tn 1177.28 Jumlah gabah hampa/malai 9089.20 ** 10.77 tn 1873.58 Jumlah gabah total/malai 21082.84 ** 809.38 tn 2790.16 Bobot 1000 butir gabah 31.70 ** 5.35 tn 3.16 Hasil gabah/rumpun 323.30 ** 18.11 tn 31.57 Keterangan: ** beda sangat nyata, * beda nyata, tn tidak nyata

Tinggi Tanaman

(54)
[image:54.595.101.517.189.417.2]

mempunyai tinggi tanaman yang tergolong sedang yaitu berturut-turut 121.3 cm dan 112.5 cm.

Tabel 10. Komponen agronomi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta tetuanya Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif (batang) Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Panjang malai (cm)

FTG/Fatmawati 154.0 d 8.5 b 74.3 de 107.8 cde 36.4 a

Fatmawati/FTG 169.5 bc 8.8 b 74.8 de 104.3 e 36.3 a

FTG/BP360E-MR-79-2 158.3 cd 12.3 b 73.8 de 106.0 de 34.9 ab

BP360E-MR-79-2 /FTG 157.8 cd 10.8 b 71.8 e 104.3 e 34.3 abc

FTM/Fatmawati 146.0 d 9.8 b 81.8 ab 114.5 bc 32.5 bc

Fatmawati/FTM 121.3 e 9.8 b 81.3 ab 112.0 bcde 32.8 bc

FTM/BP360E-MR-79-2 142.8 d 19.8 a 84.3 a 114.0 bcd 32.5 bc

BP360E-MR-79-2 /FTM 112.5 ef 8.5 b 76.3 cd 117.3 b 31.8 bc

Fulan Telo Gawa (FTG) 188.8 a 9.8 b 84.0 a 114.5 bc 34.1 abc

Fulan Telo Mihat (FTM) 178.0 ab 12.0 b 79.0 bc 126.0 a 31.3 c

Fatmawati 106.0 f 8.8 b 79.5 bc 113.0 bcd 33.2 bc

BP360E-MR-79-2 91.5 g 13.0 b 81.0 ab 112.5 bcd 27.8 d

Keterangan: angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji DMRT 5%.

Anakan Produktif

Genotipe-genotipe yang diuji rata-rata menghasilkan anakan berkisar 8.5-13.0 batang, kecuali persilangan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 menghasilkan anakan produktif paling banyak yaitu 19.8 batang, berbeda nyata dengan genotipe-genotipe yang lain (Tabel 10). Hal ini berarti genotipe F1 umumnya sudah mempunyai jumlah anakan yang tergolong sedang sehingga diharapkan pada generasi F2 akan dihasilkan cukup banyak genotipe dengan jumlah anakan sedang untuk diseleksi.

Umur Berbunga dan Umur Panen

(55)

Gawa/Fatmawati dan resiproknya yang mempunyai umur berbunga lebih genjah dibanding kedua tetuanya. Kedua persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya justru mempunyai umur berbunga yang lebih lambat dibanding kedua tetuanya, sedangkan persilangan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 dan resiproknya mempunyai umur berbunga yang sama dengan salah satu tetuanya (BP360E-MR-79-2).

Secara umum, umur panen padi dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan dihitung dari hari setelah sebar (HSS), yaitu umur genjah (90-104 HSS), umur sedang (105-120 HSS) da

Gambar

Gambar 1. Bagan alir penelitian
Gambar 2. Malai dan spikelet yang dipakai dalam kultur antera
Gambar 3. Hubungan antara karakter agronomi terhadap hasil (Y)
Tabel 4. Hasil induksi kalus beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam pada percobaan kultur hara menunjukkan bahwa panjang akar, panjang tajuk, berat kering akar dan berat kering tajuk dari galur haploid ganda

Galur-galur ini diharapkan memiliki hasil produksi yang sama dengan varietas padi sawah pada umumnya namun dapat ditanam di lahan kering.. Karakterisasi adalah

Galur-galur haploid ganda hasil kultur antera tersebut dapat digunakan sebagai sumber plasma nutfah baru yang sangat strategis untuk pengembangan varietas padi gogo

Selama ini kebutuhan pangan nasional ditunjang oleh padi sawah, sedangkan padi gogo baru rnenyumbang sekitar 6% dari total produksi nasional karena produktivitas padi gogo

Selama ini kebutuhan pangan nasional ditunjang oleh padi sawah, sedangkan padi gogo baru rnenyumbang sekitar 6% dari total produksi nasional karena produktivitas padi gogo

Percobaan uji daya hasil di daerah endemik penyakit blas diperoleh hasil semua galur padi gogo hasil kultur antera yang diuji memiliki hasil yang lebih rendah dari

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat lima karakter dengan KKG tergolong rendah, yaitu umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot 100

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat lima karakter dengan KKG tergolong rendah, yaitu umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, panjang malai, dan bobot 100