• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN DAN STABILITAS GALUR-GALUR PADI GOGO TIPE BARU HASIL KULTUR ANTERA PURBOKURNIAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN DAN STABILITAS GALUR-GALUR PADI GOGO TIPE BARU HASIL KULTUR ANTERA PURBOKURNIAWAN"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

GOGO TIPE BARU HASIL KULTUR ANTERA

PURBOKURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: KERAGAAN

DAN STABILITAS GALUR-GALUR PADI GOGO TIPE BARU HASIL KULTUR ANTERA adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013 Purbokurniawan NIM A253090031

(4)
(5)

PURBOKURNIAWAN. Performance and Yield Stability of New Plant Type of Upland Rice Lines Obtained from Anther Culture. Under direction of Bambang Sapta Purwoko as chairman, Desta Wirnas, and Iswari Saraswati Dewi as members of the advisory committee.

Breeding of upland rice is now directed towards new plant type (NPT) architecture. NPT rice lines have been obtained from anther culture and need to be evaluated in multilocation trials. The objectives of the research were to obtain information on agronomic characters, genetic parameters, yield potential, adaptability and stability of the lines. Ten lines and two cultivars were planted at seven different location in November 2010 – March 2011. In each location, the experimental design was randomized complete block design with four replications. Observation was done on agronomic characters such as plant height, number of vegetative tiller and productive tiller, panicle length, number of filled grains per panicle, empty grains per panicle, and total grains per panicle, 1000-grain weight, 1000-grain weight per plant and yield per hectar. The results showed FM1R-1-3-1 and Fat-4-1-1 rice lines has grain weight per plant 20.3 and 18.2 grams/plant respectively and other agronomic characters that were better than eight other lines. Genotype x environmental interaction factors contributed to variance by 16.6%. The highest productivity was achieved by FM1R-1-3-1 (4.52 ton/ha). FM1R-1-3-1 showed as genotype specifically adapted to favourable environments.

(6)
(7)

PURBOKURNIAWAN.

Keragaan dan Stabilitas Galur-galur Padi Gogo

Tipe Baru Hasil Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA

PURWOKO, DESTA WIRNAS dan ISWARI SARASWATI DEWI.

Penelitian dan perakitan padi gogo di Indonesia antara lain diarahkan untuk menghasilkan varietas padi gogo tipe baru. Sejumlah galur dihaploid padi gogo tipe baru telah dihasilkan dengan menggunakan metode kultur antera. Galur-galur padi gogo dihaploid yang dihasilkan diharapkan memiliki kemampuan adaptasi dan stabilitas yang baik di berbagai kondisi lingkungan. Untuk mengetahui pola adaptasi dan stabilitas suatu galur perlu dilakukan uji multilokasi. Informasi tentang kemampuan adaptasi dan stabilitas calon varietas merupakan syarat dalam pelepasan suatu varietas di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaan agronomis, nilai parameter genetik, potensi hasil, adaptabilitas dan stabilitas galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 – Juni 2011. Tempat Penelitian ialah Bogor, Sukabumi dan Indramayu (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), Wonosari (DI Yogyakarta), serta Natar dan Taman Bogo (Lampung). Galur padi gogo yang digunakan yaitu 10 galur harapan padi gogo tipe baru yaitu 70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4, 6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-3, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1; dan 2 varietas pembanding yaitu Situ Bagendit dan Towuti. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan genotipe padi gogo, berturut-turut diulang sebanyak 4 (empat) kali yang tersarang dalam tiap lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomis seperti umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah anakan saat vegetatif, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, persen gabah isi dan hampa, bobot 1000 biji, hasil gabah per rumpun dan hasil gabah per hektar. Analisis data yang dilakukan adalah anova tiap lokasi, anova gabungan, analisis genetik dan analisis stabilitas hasil. Stabilitas galur-galur yang diuji diketahui dengan menggunakan empat pendekatan analisis stabilitas yaitu analisis Francis dan Kannenberg, analisis Finlay dan Wilkinson, analisis Eberhart dan Russell dan analisis AMMI.

Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa faktor genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan berpengaruh sangat nyata untuk semua karakter yang diamati pada 7 lokasi. Tanaman tertinggi ditunjukkan oleh genotipe FG1-70-2-1 dengan rata-rata 137,5 cm. Genotipe FG1R-36-1-1 sebagai galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera yang memiliki jumlah

anakan vegetatif mencapai 20,0 anakan, walaupun lebih sedikit dibanding 2 varietas pembanding. Genotipe FG1R-36-1-1 juga menunjukkan persen gabah

isi 76,8%, walaupun lebih rendah dibanding varietas Situ Bagendit dan persen gabah hampa sebesar 23,3%. Genotipe FG1-65-1-2 menunjukkan rata-rata jumlah gabah isi paling banyak dengan jumlah sebanyak 142,7 gabah dan bobot 1000 biji tertinggi dengan bobot 32,1 gram. Genotipe FG1R-30-1-5 menunjukkan jumlah gabah total terbanyak dengan jumlah sebanyak 212,0 gabah. Genotipe

(8)

FM1R-1-3-1 dan Fat-4-1-1 memiliki kriteria karakter padi gogo tipe baru antara lain hasil gabah kering per rumpun yang tinggi, jumlah anakan produktif 8-15 batang, jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir dan bobot 1000 butir lebih dari 24 gram. Karakter tinggi tanaman 100-120 cm dan persen gabah lebih dari 75% dapat dicapai oleh kedua genotipe tersebut, bila kedua genotipe tersebut ditanam dan tumbuh pada lingkungan yang mendukung. Ragam genetik lebih tinggi dari ragam lingkungan dan ragam interaksi genotipe x lingkungan ditunjukkan oleh karakter tinggi tanaman, jumlah anakan vegetatif, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah total, dan bobot 1000 biji.

Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa lingkungan, genotipe serta interaksi genotipe dan lingkungan berpengaruh nyata terhadap hasil pada galur-galur padi gogo yang diuji. Faktor lingkungan, genotipe serta interaksinya berkontribusi terhadap keragaman hasil berturut-turut sebesar 48,5%, 14,9% dan 16,6%. Galur-galur padi gogo yang diuji memperlihatkan jenis interaksi kualitatif yang ditunjukkan oleh perubahan ranking genotipe pada setiap lokasi. Genotipe FG1R-36-1-1 di lokasi Bogor memberikan hasil gabah per hektar tertinggi yaitu 3,39 ton. Di Indramayu hasil gabah per hektar yang tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Situ Bagendit (2,59 ton). Di Natar hasil gabah per hektar tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Towuti (4,04 ton/ha). Genotipe FM1R-1-3-1 menunjukkan produktivitas tertinggi di lokasi Sukabumi, Purworejo dan Wonosari berturut-turut 6,21, 7,61 dan 5,76 ton/ha. Situ Bagendit memberikan hasil gabah per hektar tertinggi di Taman Bogo (5,95 ton/ha). Genotipe FM1R-1-3-1 memberikan rata-rata hasil gabah per hektar tertinggi 4,52 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan semua genotipe yang diuji. Hasil uji adaptasi menunjukkan bahwa genotipe FM1R-1-3-1 merupakan genotipe yang beradaptasi khusus pada lingkungan yang optimal.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

GOGO TIPE BARU HASIL KULTUR ANTERA

PURBOKURNIAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(12)
(13)

NRP : A253090031

Program Studi : Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. Ketua

Dr. Desta Wirnas, SP., M.Si. Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala karunia, hikmat, kuasa dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaan agronomis, nilai parameter genetik, potensi hasil, adaptabilitas dan stabilitas galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera.

Penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Dr. Desta Wirnas, SP., M.Si., dan Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi sebagai anggota Komisi Pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta proses penulisan dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Muhamad Syukur, SP., M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis yang memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. selaku koordinator Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman yang mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada DITJEN DIKTI Departemen dan Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Pertanian dan Teknologi Petanian UNIPA atas izin dan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan Pemda Buru atas pembiayaan pelaksanaan penelitian uji multilokasi melalui hibah kepada tim peneliti (Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. sebagai ketua, Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi dan Heni Safitri, SP., M.Si. sebagai anggota).

Terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Bapak Sutodwihardjo (Alm.) dan Ibu Rismintarti kedua orang tua tercinta yang telah menanamkan dasar pendidikan yang baik dan berguna bagi penulis serta kekuatan doa yang luar biasa

(16)

Alce Ilona Noya dan Ananda terkasih Daniel Setiawan Noya atas cinta dan kasih sayangnya yang memberikan dorongan dan kekuatan bagi penulis. Bapak Frans Noya dan ibu Lily Siwy sebagai mertua, Chali Noya sekeluarga, Nova Noya, Petrus Ten sekeluarga dan Markus Waran sekeluarga, atas dukungan baik dalam bentuk materil dan moril serta doanya selama penulis menempuh studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah ikut membantu dalam penelitian dan proses penyelesaian tesis ini.

Bogor, Februari 2013 Purbokurniawan

(17)

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 Februari 1977 dari pasangan Bapak Sutodwihardjo (Alm.) dan Ibu Rismintarti. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan formal di SD YPPK Padma I Manokwari tahun 1989, SMP Negeri I Manokwari tahun 1992 dan SMA Negeri I Manokwari tahun 1995. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua, lulus tahun 2004. Tahun 2009, penulis diterima pada program magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DITJEN DIKTI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua sejak tahun 2005.

(18)
(19)
(20)
(21)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Hipotesis ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Padi ... 3

Pembentukan Varietas Padi Gogo Tipe Baru melalui Kultur Antera ... 4

Pendugaan Nilai Parameter Genetik ... 8

Interaksi Genotipe x Lingkungan ... 9

Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil ... 10

Pelepasan Varietas Tanaman ... 21

BAHAN DAN METODE ... 25

Waktu dan Tempat ... 25

Bahan dan Alat ... 25

Rancangan Penelitian... 25

Pelaksanaan Penelitian... 26

Pengamatan ... 27

Analisis Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Keadaan Umum ... 37

Keragaan Karakter Hasil dan Komponen Hasil... 38

Analisis Genetik... 53

Analisis Stabilitas Hasil ... 55

SIMPULAN DAN SARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(22)
(23)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pengelompokan dan konsep metode analisis stabilitas hasil. ... 13 2. Jumlah unit dan lama pengamatan uji adaptasi (unit) dari dua Permentan

untuk tanaman pangan ... 23 3. Analisis ragam karakter padi gogo pada masing-masing lokasi uji. ... 29 4. Analisis ragam gabungan menggunakan model acak untuk komponen

agronomi dan komponen parameter genetik. ... 30 5. Analisis ragam gabungan menggunakan model tetap untuk hasil gabah per

hektar. ... 30 6. Sidik ragam analisis stabilitas Eberhart dan Russell (1966). ... 35 7. Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe, lingkungan dan

interaksi genotipe x lingkungan terhadap karakter agronomis genotipe padi gogo tipe baru. ... 38 8. Rata-rata tinggi tanaman (cm) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 39 9. Rata-rata jumlah anakan vegetatif dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 41 10. Rata-rata jumlah anakan produktif dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 42 11. Rata-rata panjang malai (cm) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 43 12. Rata-rata jumlah gabah isi dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 44 13. Rata-rata jumlah gabah hampa dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji ... 45 14. Rata-rata jumlah gabah total dari 12 galur pada 7 lokasi uji. ... 46 15. Rata-rata persen gabah isi (%) dari 12 galur pada 7 lokasi uji... 48 16. Rata-rata persen gabah hampa (%) dari 12 galur pada 7 lokasi uji. ... 49 17. Rata-rata bobot 1000 biji (gram) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 50 18. Rata-rata hasil gabah per rumpun (gram) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. 51 19. Komponen ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi genotipe x

lingkungan, dan ragam fenotipe untuk karakter yang diamati. ... 53 20. Nilai koefisien keragaman genetik, koefisien keragaman fenotipe, dan

(24)

xx

22. Rata-rata hasil gabah (ton/ha) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji. ... 58 23. Rataan hasil gabah per hektar, nilai ragam lingkungan dan koefisien

keragaman. ... 60 24. Rataan hasil, koefisien regresi dan produktivitas pada lingkungan 1 ton/ha

dan 5 ton/ha. ... 61 25. Analisis ragam gabungan untuk menguji stabilitas hasil dengan metode

Eberhart dan Russell (1966). ... 65 26. Rataan hasil gabah per hektar, nilai koefisien regresi dan simpangan

regresi. ... 66 27. Hasil analisis ragam AMMI untuk hasil gabah per hektar. ... 68 28. Kriteria stabil dari 4 metode analisis stabilitas hasil. ... 71

(25)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perkembangan arsitektur tanaman padi (Khush et al. 2001; Vergara et al.

1991). ... 5 2. Respon hasil terhadap lingkungan untuk dua konsep stabilitas hasil pada

grafik bukan regresi (A) dan grafik regresi (B) (Annicchiarico 2002b). ... 12 3. Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat dari plot nilai

koefisien regresi genotipe terhadap nilai rata-rata hasil genotipe (Finlay & Wilkinson 1963). ... 17 4. Interaksi genotipe x lingkungan terhadap hasil. ... 57 5. Hubungan koefisien keragaman (CVi) dengan nilai ragam lingkungan (Si2). 60

6. Hubungan koefisien regresi dengan produktivitas gabah. ... 62 7. Pola populasi genotipe uji melalui hubungan antara produktivitas gabah

dengan indeks lingkungan. ... 62 8. Hubungan nilai koefisien regresi (bi) dan nilai simpangan regresi ( ). ... 66

9. Biplot interaksi IAKU1 dan IAKU2 untuk data hasil gabah/hektar. ... 69

(26)
(27)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Deskripsi varietas pembanding ... 81 2. Lay out pelaksanaan di lapangan ... 83 3. Data iklim beberapa lokasi uji. ... 86 4. Grafik uji kenormalan, uji kehomogenan ragam dan transformasi box-cox. .... 91 5. Analisis ragam gabungan untuk keragaan agronomis dan stabilitas. ... 105 6. Analisis ragam gabungan untuk parameter genetik.Error! Bookmark not defined.

(28)
(29)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah sehingga permintaan beras sebagai pangan utama bagi masyarakat Indonesia terus meningkat. Peningkatan produksi beras dapat dilakukan dengan pengembangan pertanaman padi gogo pada lahan-lahan kering. Lahan kering di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan padi gogo seluas 22,39 juta ha (Badan Litbang Pertanian 2007; BBSDLP 2008). Produktivitas nasional padi gogo sebesar 2,95 ton/ha pada tahun 2008. Produktivitas ini pada tahun yang sama masih lebih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas nasional padi sawah yang mencapai 5,08 ton/ha (Deptan 2011).

Penelitian dan perakitan padi gogo di Indonesia antara lain diarahkan untuk menghasilkan varietas padi gogo tipe baru. Perakitan padi tipe baru telah dimulai sejak tahun 1995 oleh Balai Besar Penelitian Padi. Tahun 2003 Balai Besar Penelitian Padi telah melepas varietas padi sawah tipe baru Fatmawati (PTB) yang memiliki produktivitas sebesar 5,9 – 10,5 ton gabah kering giling/ha (Puslitbangtan 2003).

Perakitan padi gogo tipe baru memerlukan sifat-sifat yang dimodifikasi dari padi sawah tipe baru. Sifat-sifat padi tipe baru yang diadopsi pada padi gogo antara lain tinggi tanaman 100-120 cm, jumlah anakan produktif 8-15 batang, jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir, pengisian gabah lebih dari 75%, tanaman tegak tidak rebah, daun berwarna hijau tua dan perakaran yang dalam (Safitri 2010).

Percepatan pembentukan galur murni padi gogo tipe baru dengan sifat-sifat yang diharapkan dari induknya dapat dilakukan dengan mempergunakan metode kultur antera (Abdullah et al. 2008; Dewi & Purwoko 2011). Sejumlah galur dihaploid padi gogo tipe baru telah dihasilkan dengan menggunakan metode kultur antera pada hasil persilangan antara Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 dengan Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat (Safitri et al. 2010). Galur padi gogo dihaploid yang dihasilkan tersebut diharapkan memiliki kemampuan

(30)

adaptasi dan stabilitas yang baik di berbagai kondisi lingkungan sehingga pengujian stabilitas harus dilakukan.

Adaptasi tanaman pada suatu lingkungan tumbuh merupakan kemampuan tanaman itu untuk menunjukkan daya hasil tinggi pada lingkungan yang sesuai (Annicchiarico 2002b). Kemampuan beradaptasi terdiri atas kemampuan beradaptasi luas dan kemampuan beradaptasi sempit (Soemartono 1988). Tanaman dengan kemampuan beradaptasi luas memiliki daya hasil yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman itu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda. Menurut Becker dan Leon (1988) bahwa suatu genotipe yang memiliki kemampuan yang stabil pada berbagai lingkungan tumbuh menunjukkan stabilitas statis, sedangkan kemampuan yang mengikuti indeks lingkungan menunjukkan stabilitas dinamis.

Informasi kemampuan adaptasi dan stabilitas dari calon varietas merupakan syarat dalam pelepasan suatu varietas di Indonesia (Syukur et al.

2009). Hal ini telah diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2011 tanggal 5 Oktober 2011 tentang pengujian,

penilaian, pelepasan dan penarikan varietas. Untuk mengetahui suatu genotipe memiliki adaptasi dan stabilitas yang luas perlu dilakukan uji multilokasi.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaan agronomis dan stabilitas hasil galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan keragaan karakter agronomis di antara galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera.

2. Terdapat satu atau beberapa galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera yang menunjukkan adaptabilitas dan stabilitas hasil pada berbagai lokasi.

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Padi

Tanaman padi merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumput-rumputan. Tanaman padi termasuk ke dalam famili Gramineae (Poaceae) dengan genus Oryza, ordo Poales atau Glumiflorae, kelas Monocotyledonae, subdivisi Angiospermae, divisi Spermathophyta. Genus Oryza terdapat 23 spesies antara lain Oryza sativa, Oryza glaberrima, Oryza rufipogon, Oryza breviligulata, Oryza barthii, Oryza meyeriana, dan Oryza ridleyi. Spesies Oryza sativa dibudidayakan di daerah tropik, daerah sub tropik dan temperat; sedangkan Oryza glaberrima dibudidayakan di wilayah Afrika. Oryza sativa sebagai spesies yang dibudidayakan secara luas di dunia, bila dibandingkan dengan spesies Oryza glaberrima. Spesies Oryza sativa sendiri terdiri atas 3 kelompok subspesies yaitu Indica, Japonica (Temperate Japonica) dan Javanica (Tropical Japonica). Subspesies Indica dominan di Sri Lanka, Cina Selatan dan Tengah, India, Pakistan, Jawa, Filipina, Taiwan dan negara-negara tropis lainnya. Subspesies Japonica banyak ditanam di Cina Utara dan Timur, Jepang dan Korea. Subspesies Javanica terdapat di Indonesia yang merupakan padi bulu dan gundil (Matsuo & Hoshikawa 1993).

Bagian vegetatif pada tubuh tanaman padi terdiri atas akar, batang, anakan dan daun. Akar terdiri atas akar seminal, akar serabut atau adventif dan akar tajuk. Tanaman padi mempunyai batang yang beruas-ruas. Panjang batang tergantung pada jenis dan kondisi lingkungan tumbuh (Matsuo & Hoshikawa 1993).

Anakan tanaman padi tumbuh pada dasar batang yang tumbuh secara bersusun. Anakan padi terdiri atas anakan primer dan sekunder. Anakan primer adalah anakan yang tumbuh pada kedua ketiak daun pada batang utama. Anakan sekunder adalah anakan yang tumbuh pada ketiak anakan primer dan seterusnya dan biasanya bertambah kecil (Manurung & Ismunadji 1988).

Bagian generatif tanaman padi terdiri atas malai dan bulir padi. Malai adalah sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas. Malai padi terdiri atas cabang-cabang bunga, jumlah cabang mempengaruhi besar

(32)

rendemen tanaman padi suatu varietas. Setiap unit bunga dinamakan spikelet yang terdiri atas tangkai, bakal buah, lemma, palea, putik dan benang sari serta beberapa organ lain yang bersifat inferior. Tiap bunga memiliki enam benang sari yang menopang kepala sari (antera). Pada pangkal bakal buah (ovary) terdapat lodikula yang mengatur pembukaan lemma dan palea pada saat anthesis. Bunga padi merupakan bunga sempurna dan menyerbuk sendiri dengan kemungkinan terjadi menyerbuk silang <1%. Waktu berbunga berkisar antara 70-75 hari setelah tanam tergantung dari varietasnya. Buah padi merupakan benih ortodoks yang ditutupi oleh palea dan lemma (Chang et al. 1965; Manurung & Ismunadji 1988).

Umur tanaman padi gogo berkisar antara 90-140 hari. Pertumbuhan tanaman padi gogo terdiri atas 3 fase yaitu fase vegetatif, fase reproduktif dan fase pemasakan. Fase vegetatif dimulai saat biji berkecambah sampai saat promordia bunga. Fase ini dibedakan ke dalam fase pertumbuhan aktif, yaitu saat perkecambahan benih sampai pembentukan anakan, dan fase pertumbuhan vegetatif lambat atau fase peka terhadap lama penyinaran dimulai pada masa anakan maksimum sampai saat pembentukan bakal primordia bunga. Fase reproduktif adalah masa saat munculnya primordia bunga hingga waktu keluar bunga. Fase ini terdiri atas inisisasi primordia bunga 52-70 hari setelah tanam; pemanjangan ruas dan bunting 62-75 hari setelah tanam; dan awal munculnya malai dan berbunga 75-100 hari setelah tanam yang ditandai dengan keluarnya malai dari kelopak daun bendera. Fase selanjutnya adalah fase pemasakan, yaitu masa dari mulai keluarnya bunga sampai gabah padi masak. Tahapan fase ini terdiri atas masak susu 92-110 hari setelah tanam, masak padat 102-120 hari setelah tanam dan masak penuh 112-130 hari setelah tanam (Basyr et al. 1983).

Pembentukan Varietas Padi Gogo Tipe Baru melalui Kultur Antera

Produktivitas padi tipe ‘revolusi hijau’ sejak terjadinya revolusi hijau tidak mengalami peningkatan. Tipe padi tersebut seperti diperlihatkan Gambar 1 (bagian kedua tengah) tanaman padi dengan produksi tinggi. Puncak perkembangan revolusi hijau ditandai dengan dilepasnya varietas IR8 yang sangat responsif terhadap pemupukan dan perkembangan yang tersebar luas di berbagai negara. Sejak tahun 1980-an produktivitas padi relatif tidak meningkat karena

(33)

keragaman genetik yang sempit. Dengan demikian dituntut adanya terobosan perbaikan sifat genetik melalui kegiatan pemuliaan untuk meningkatkan produktivitasnya. Arah pemuliaan padi dunia saat ini dan masa depan, baik padi sawah maupun padi gogo adalah padi hibrida dan padi tipe baru (PTB) (Abdullah et al. 2008).

Gambar 1. Perkembangan arsitektur tanaman padi (Khush et al. 2001; Vergara et al. 1991).

Upaya terobosan dilakukan untuk membentuk arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan produktivitas tanaman. Padi yang dihasilkan kemudian dikenal dengan padi tipe baru. Arsitektur tanaman padi tipe baru dapat dilihat pada Gambar 1 (bagian ketiga). IRRI mulai mengembangkan padi tipe baru pada tahun 1989 dan pada tahun 2000 hasilnya telah didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih lanjut (Khush et al. 2001).

Padi unggul yang tinggi

Padi unggul berdaya hasil tinggi melalui

masukan tinggi

Padi unggul dengan anakan sedikit (Padi Tipe Baru)

(34)

Menurut Khush (1995), dasar pemikiran dalam pembentukan padi tipe baru adalah peningkatan indeks panen dan produksi biomassa tanaman. Indeks panen adalah perbandingan bobot kering gabah dengan total biomassa tanaman. Indeks panen varietas padi berdaya hasil tinggi berkisar antara 0,45−0,50 diupayakan untuk ditingkatkan menjadi 0,60. Upaya tersebut dilakukan dengan meningkatkan proporsi distribusi hasil fotosintesis ke sink daripada ke source. Peningkatan indeks panen dan produksi biomassa dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu meningkatkan sink size, masa pengisian gabah dan biomassa tanaman. Sink size dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah gabah per malai dan translokasi asimilat ke gabah. Masa pengisian gabah dapat ditingkatkan dengan cara, antara lain melalui penundaan senescence kanopi, memperpanjang masa pengisian biji, dan pembentukan tanaman tahan rebah. Biomassa tanaman ditingkatkan dengan membentuk arsitektur kanopi tanaman yang seimbang dan efisien sehingga pembentukan kanopi dan penyerapan hara berlangsung cepat serta konsumsi karbon berkurang.

Penelitian dan perakitan padi gogo di Indonesia diarahkan antara lain untuk menghasilkan varietas padi gogo tipe baru. Perakitan padi tipe baru telah dimulai sejak tahun 1995 oleh Balai Besar Penelitian Padi (Balitpa). Pada tahun 2003 Balitpa telah melepas varietas padi sawah tipe baru Fatmawati (PTB) yang memiliki produktivitas sebesar 5,9 – 10,5 ton GKG/ha (Puslitbangtan 2003).

Sifat-sifat padi sawah PTB adalah jumlah anakan sedang, tetapi semua produktif (12−18 batang), jumlah gabah per malai 150−250 butir, persentase gabah bernas 85−95%, bobot 1.000 gabah bernas 25−26 g, batang kokoh dan pendek (80−90 cm), umur genjah (110−120 hari), daun tegak, sempit, berbentuk huruf V, hijau sampai hijau tua, 2−3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, tahan terhadap hama dan penyakit utama, gabah langsing, serta mutu beras dan nasi baik (Abdullah et al. 2008). Sifat-sifat PTB di atas yang cocok dan sesuai dengan kondisi di Indonesia yang memiliki iklim tropis serta hama dan penyakit sebagai masalah utamanya.

Perakitan padi gogo tipe baru memerlukan sifat-sifat yang dimodifikasi dari padi sawah tipe baru. Sifat-sifat padi tipe baru yang diadopsi pada padi gogo antara lain tinggi tanaman 100-120 cm, jumlah anakan produktif 8-15 batang,

(35)

jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir, pengisian gabah lebih dari 75%, tanaman tegak tidak rebah, daun berwarna hijau tua dan perakaran yang dalam (Safitri 2010).

Untuk mempercepat pembentukan galur murni padi gogo tipe baru dengan sifat-sifat yang diharapkan dari induknya dapat dilakukan dengan mempergunakan metode kultur antera. Terbentuknya galur murni hasil kultur antera hanya memerlukan waktu kurang dari 30 bulan. Proses ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara konvensional yang membutuhkan waktu yang lama 7-10 tahun atau memerlukan 5-7-10 generasi setelah persilangan. Metode kultur antera akan menghasilkan tanaman dihaploid yang homozigos fertil (Dewi & Purwoko 2001).

Melalui kultur antera didapatkan galur-galur dihaploid padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru. Galur-galur dihaploid tersebut dirakit melalui persilangan antara Fatmawati sebagai padi sawah varietas unggul tipe baru dengan padi gogo varietas Way Rarem, galur padi gogo SGJT-28 dan galur padi gogo SGJT-36. F1 hasil persilangan tersebut dan persilangan resiprokalnya dilakukan kultur antera untuk mendapatkan galur dihaploid homozigos padi gogo tipe baru. Hasil kultur antera tersebut diperoleh 348 galur dihaploid fertile yang siap dievaluasi lebih lanjut (Herawati et al. 2008). Hasil evaluasi lebih lanjut diperoleh 11 galur yang berpotensi sebagai galur padi gogo tipe baru. Untuk karakter jumlah anakan produktif diperoleh 4 galur. Untuk karakter panjang malai, jumlah gabah per malai dan persen gabah hampa diperoleh 3 galur. Untuk karakter bobot gabah/rumpun diperoleh 4 galur (Herawati et al. 2009).

Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yang mempunyai karakter antara lain tanaman tegak, batang kekar dan malai lebat, tetapi pengisian gabah kurang baik. Kelebihan padi sawah tipe baru ini oleh Safitri (2010) dipakai untuk merakit padi gogo tipe baru dengan persilangan menggunakan Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat sebagai padi gogo lokal dari Pulau Buru dengan karakter umur agak genjah, malai panjang dan pengisian gabah baik. Diharapkan dari persilangan tersebut diperoleh padi gogo tipe baru yang memiliki karakter tanaman tegak, batang tegak, malai lebat, malai panjang dan pengisian gabah baik. F1 diperoleh dari hasil persilangan resiprokal

(36)

antara Fatmawati x Fulan Telo Gawa, BP360E-MR-79-2 x Fulan Telo Gawa, Fatmawati x Fulan Telo Mihat dan BP360E-MR-79-2 x Fulan Telo Mihat. F1 selanjutnya dilakukan kultur antera untuk mendapatkan padi gogo tipe baru. Penelitian tersebut menghasilkan 35 genotipe padi gogo dihaploid yang memiliki karakter agronomi dan hasil yang baik. Padi gogo dihaploid yang dihasilkan tersebut belum diuji mengenai adaptasi dan stabilitasnya di berbagai kondisi lingkungan.

Pendugaan Nilai Parameter Genetik

Analisis genetik dilakukan untuk menduga nilai komponen ragam, koefisien keragaman dan heritabilitas. Faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan seleksi adalah keragaman genetik dan heritabilitas. Efektivitas seleksi untuk memperoleh genotipe unggul ditentukan oleh keragaman genetik pada suatu populasi dan seberapa besar sifat unggul yang diinginkan dapat diturunkan pada generasi selanjutnya (Sleper & Poehlman 2006). Keragaman suatu populasi dapat dilihat dari keragaman fenotipe dan keragaman genotipenya. Keragaman fenotipe merupakan keragaman yang dapat diukur atau dilihat langsung pada karakter yang diamati. Keragaman genotipe tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung, melainkan dapat diduga melalui analisis ragam. Suatu populasi yang memiliki keragaman fenotipe yang luas belum tentu memiliki keragaman genotipe yang luas karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Roy 2000).

Nilai heritabilitas menunjukkan besarnya proporsi ragam genetik suatu karakter terhadap ragam fenotipenya (Allard 1960). Heritabilitas merupakan salah satu karakter genetik yang digunakan untuk menduga kemajuan dalam perbaikan suatu karakter tanaman. Heritabilitas dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu heritabilitas dalam arti luas dan heritabilitas dalam arti sempit (Singh & Chaudhary 1979; Falconer & Mackay 1996). Heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) merupakan hubungan ragam genetik total dengan ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability) hanya mempertimbangkan keragaman yang disebabkan oleh peranan gen aditif sebagai bagian dari keragaman genetik total. Heritabilitas arti sempit dapat diartikan bahwa pewarisan sifat dari tetua kepada keturunannya merupakan

(37)

pengaruh aditif dari gen sehingga fenotipe tidak tergantung dari adanya interaksi antar alel.

Nilai duga heritabilitas memiliki beberapa kegunaan, diantaranya adalah untuk mengetahui respon karakter yang diinginkan terhadap tekanan seleksi dan untuk mengetahui prediksi respon seleksi. Semakin tinggi nilai heritabilitas, makin tinggi pula respon seleksi yang menunjukkan semakin efektifnya seleksi. Heritabilitas berguna untuk menentukan besarnya suatu populasi yang dibutuhkan agar dapat dilakukan seleksi dan menentukan alternatif jenis seleksi (Roy 2000). Heritabilitas suatu karakter nilainya tidak tetap karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai heritabilitas, yaitu: populasi yang digunakan, metode estimasi, adanya pautan gen, pelaksanaan percobaan, generasi populasi yang diuji, dan kondisi lingkungan.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan perhitungan ragam turunan, regresi parent-offspring, perhitungan komponen ragam dari analisis ragam dan dengan rancangan hibridisasi (Mangoendidjojo 2007; Syukur et al. 2009). Nilai untuk kriteria heritabilitas dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bila tergolong rendah jika kurang dari 0,20, sedang jika nilai antara 0,20-0,50 dan tinggi jika lebih dari 0,50 (Stanfield 1983). Nilai-nilai tersebut sangat tergantung metode dan populasi yang digunakan (Syukur et al. 2009). Seleksi yang dilakukan terhadap suatu populasi tanaman diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang lebih baik dan stabil.

Interaksi Genotipe x Lingkungan

Keragaman genetik dan interaksi genotipe dan lingkungan digunakan oleh para pemulia tanaman dalam merakit varietas unggul. Perakitan varietas unggul dapat mengacu pada karakter-karakter yang mendukung keunggulan varietas yang dirakit seperti daya hasil yang tinggi, tahan hama dan penyakit, tahan cekaman abiotik serta mempunyai nilai ekonomis tertentu. Karakter tersebut dapat tercermin dari nilai ragam genetik, ragam lingkungan, ragam musim serta ragam interaksinya. Ragam interaksi untuk beberapa lokasi pada satu musim dapat berupa ragam interaksi genotipe x lingkungan. Ragam interaksi untuk beberapa

(38)

musim pada satu lokasi dapat berupa ragam interaksi genotipe x musim. Ragam interaksi untuk beberapa lokasi dan beberapa musim dapat berupa ragam interaksi genotipe x lingkungan, ragam interaksi genotipe x musim, ragam interaksi lingkungan x musim dan ragam interaksi genotipe x lingkungan x musim (Poespodarsono 1988). Pemulia dapat menggunakan ragam interaksi tersebut dalam merakit tanaman unggul yang spesifik lingkungan atau beradaptasi luas (stabil) (Syukur 2008).

Interaksi genotipe dan lingkungan sangat penting dalam seleksi tanaman dan dalam membuat rekomendasi tentang kultivar yang dianjurkan. Interaksi genotipe dan lingkungan terjadi bila keragaan nisbi (relative performance) atau peringkat beberapa genotipe berubah dengan perubahan lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kemampuan kultivar-kultivar berdaya hasil tinggi. Kultivar tersebut bila ditanam pada suatu lingkungan yang memiliki ketersediaan hara dan air rendah akan menghasilkan hasil yang lebih rendah dibanding pada lingkungan yang subur. Perbedaan lingkungan yang spesifik memiliki efek lebih besar untuk suatu genotipe dari genotipe yang lain (Falconer & Mackay 1996). Oleh karena itu, pada lingkungan yang berbeda sering diperlukan penyesuaian penanaman kultivar yang lebih sesuai. Hal ini memperlihatkan pertumbuhan tanaman pada suatu lingkungan ditunjukkan oleh keragaan dari fenotipenya sebagai interaksi genotipe terhadap lingkungan tumbuh (Soemartono 1988; Wricke & Weber 1986).

Ada tidaknya pengaruh interaksi dapat dideteksi dari perilaku respon suatu faktor pada berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu ke kondisi yang lain untuk faktor yang lain maka kedua faktor dikatakan berinteraksi. Jika pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor yang lain dapat dikatakan kedua faktor tersebut tidak berinteraksi (Mattjik & Sumertajaya 2000).

Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil

Adaptabilitas ialah tanggapan atau kemampuan adaptasi dengan cara mempertahankan siklus hidup dari suatu genotipe pada suatu kondisi lingkungan tertentu oleh adanya perubahan bentuk dan fungsi yang ditunjukkan secara

(39)

individu maupun populasi atau spesies. Kemampuan beradaptasi ini disebabkan oleh kombinasi sifat yang dapat mengatasi perubahan lingkungan sehingga genotipe tanaman tersebut tidak terpengaruh oleh adanya perubahan lingkungan tersebut (Poespodarsono 1988). Respon suatu genotipe terhadap perubahan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi homeostatis dan stabilitas perkembangan (Roy 2000). Respon homeostatis adalah kemampuan suatu genotipe yang akan menunjukkan sifat atau karakter yang seragam dan stabil seperti deskripsinya terhadap perubahan lingkungan tumbuh. Respon stabilitas perkembangan (developmental stability) adalah kemampuan suatu genotipe dengan menunjukkan adanya percepatan tahap pertumbuhan baik secara fisiologis maupun morfologis dalam menghadapi perubahan lingkungan dibandingkan dengan genotipe lainnya.

Tanggapan dan kemampuan adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda bagi genotipe tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Kelompok pertama adalah kelompok yang menunjukkan kemampuan beradaptasi luas yang ditunjukkan oleh interaksi genotipe x lingkungan yang kecil. Interaksi genotipe x lingkungan yang kecil menunjukkan kemampuan tanaman memberikan hasil yang hampir sama pada lingkungan yang berbeda. Kelompok kedua adalah kelompok yang kemampuan adaptasinya sempit yaitu berkeragaan baik pada suatu lingkungan, namun berkeragaan jelek pada lingkungan yang berbeda yang ditunjukkan interaksi genotipe x lingkungan yang besar. Interaksi genotipe x lingkungan yang besar menunjukkan kemampuan tanaman memberikan hasil berbeda, karena pengaruh lingkungan yang berbeda (Soemartono 1988; Syukur 2008). Menurut Annicchiarico (2002b), adaptasi luas adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh suatu genotipe untuk mempertahankan daya hasil yang baik pada berbagai kondisi lingkungan yang berbeda, sedangkan adaptasi spesifik adalah kemampuan suatu genotipe yang berdaya hasil baik pada lingkungan tertentu yang mendukung.

Kemampuan beradaptasi yang luas suatu genotipe tanaman menunjukkan kemampuan yang stabil dalam menanggapi kondisi lingkungan yang berbeda. Penampilan stabil dan produktivitas tinggi dari suatu genotipe dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan genotipe unggul baru. Stabilitas dapat dibagi

(40)

menjadi dua kelompok yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis (Becker & Leon 1988). Stabilitas dalam pengertian pemuliaan dikenal dengan istilah stabilitas biologis dan stabilitas agronomis (Romagosa & Fox 1993).

Gambar 2. Respon hasil terhadap lingkungan untuk dua konsep stabilitas hasil pada grafik bukan regresi (A) dan grafik regresi (B) (Annicchiarico 2002b).

Stabilitas statis atau stabilitas biologis sebagai keragaan suatu genotipe yang relatif sama dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dengan respon homeostatis (Jambormias & Riry 2008). Menurut Annicchiarico (2002b), bahwa suatu genotipe dengan stabilitas tersebut memiliki hasil genotipe sama atau stabil pada indeks lingkungan yang berbeda dengan nilai keragaman lingkungan = 0 pada grafik bukan regresi dan pada grafik regresi dengan nilai koefisien regresi (bi) = 0

(Gambar 2). Tabel 1 menunjukkan bahwa stabilitas statis (biologis) suatu genotipe dapat diketahui dengan menggunakan estimasi stabilitas hasil metode Francis dan Kannenberg (1978) dan Finlay dan Wilkinson (1963) dengan nilai koefisien regresi (bi) = 0 (Becker & Leon 1988).

Genotipe dengan stabilitas statis Genotipe dengan stabilitas dinamis

Keragaman lingkungan = 0 Keragaman stabilitas = 0 Garis hitam = rataan hasil di tiap lingkungan Hasil

genotipe

Hasil genotipe

Indeks lingkungan Indeks lingkungan

(41)

Tabel 1. Pengelompokan dan konsep metode analisis stabilitas hasil.

Kelompok Tipe Estimasi analisis stabilitas Penggagas Konsep Stabilitas

A 1 Francis dan Kannenberg (1978) Statis 1 B 2 Plaisted dan Peterson (1959) Dinamis 2 Plaisted (1960) Dinamis 2 Wricke (1962) Dinamis 2 Shukla (1972) Dinamis C 2 Finlay dan Wilkinson (1963) Statis/Dinamis 2 Perkins dan Jinks (1968) Dinamis D 3 Eberhart dan Russell (1966) Dinamis 3 Perkins dan Jinks (1968) Dinamis

Sumber: Becker & Leon 1988; Lin et al. 1986.

(42)

Stabilitas dinamis atau stabilitas agronomis sebagai keragaan suatu genotipe dengan nilai berfluktuatif dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dengan respon developmental stability (Jambormias & Riry 2008). Menurut Annicchiarico (2002b), bahwa suatu genotipe dengan stabilitas tersebut memiliki hasil genotipe yang fluktuatif dengan nilai keragaman stabilitas = 0 pada grafik bukan regresi dan pada grafik regresi suatu genotipe akan memiliki hasil genotipe yang meningkat sejalan dengan peningkatan indeks lingkungan dengan nilai koefisien regresi (bi) = 1 (Gambar 2). Tabel 1 menunjukkan bahwa stabilitas

dinamis (agronomis) suatu genotipe dapat diketahui dengan menggunakan estimasi stabilitas hasil metode Plaisted dan Peterson, Plaisted, Wricke, Shukla, Finlay dan Wilkinson dengan nilai koefisien regresi (bi) = 1, Perkins dan Jinks,

Eberhart dan Russell (Becker & Leon 1988).

Metode estimasi stabilitas hasil di atas oleh Lin et al. (1986) dikelompokkan ke dalam 4 grup (A, B, C dan D) dengan 3 tipe (1, 2 dan 3) (Tabel 1). Keempat grup tersebut didasarkan pada analisis deviasi pengaruh rata-rata genotipe (A), analisis pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan (B), analisis pengaruh gabungan deviasi rata-rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan dengan menggunakan koefisien regresi (C) dan analisis pengaruh gabungan deviasi rata-rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan dengan menggunakan nilai parameter deviasi (D). Konsep ketiga tipe didasarkan pada nilai ragam lingkungan yang kecil (1), respon lingkungan atau nilai indeks lingkungan sebanding dengan rata-rata respon daya hasil untuk semua genotipe (2) dan kecilnya nilai perbandingan antara nilai kuadrat tengah sisa dari model regresi terhadap indeks lingkungannya (3).

Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur stabilitas hasil adalah analisis Francis dan Kannenberg, analisis Wricke, analisis Shukla, analisis Finlay dan Wilkinson, analisis Eberhart dan Russell, analisis Perkins dan Jinks, dan analisis AMMI (Additive Main Effect Multiplicative Interaction).

(43)

1. Analisis Francis dan Kannenberg (1978)

Francis dan Kannenberg (1978) menyatakan bahwa kestabilan suatu genotipe ditentukan oleh nilai ragam lingkungan ( ) dan koefisien ragam (CVi).

Nilai koefisien ragam (CVi) ditentukan dari nilai simpangan baku rata-rata hasil

suatu genotipe yang didasarkan dari rata-rata umumnya. Suatu genotipe dikatakan stabil bila memiliki nilai ragam lingkungan dan koefisien ragam kecil serta memiliki hasil yang optimal.

2. Analisis Wricke (1962)

Wricke (1962) menyatakan bahwa kestabilan setiap genotipe dinyatakan dengan adanya interaksi genotipe x lingkungan yang terukur. Ukuran kestabilan tersebut berupa ecovalence ( ), yang merupakan jumlah kuadrat yang berasal dari sumbangan satu genotipe kepada interaksi genotipe x lingkungan. Ukuran perbedaan kestabilan merupakan nilai konsistensi dari suatu genotipe pada semua lingkungan. Genotipe yang memiliki nilai ecovalence ( ) terkecil merupakan genotipe yang paling stabil.

3. Analisis Shukla (1972)

Shukla (1972) mengemukakan bahwa ragam stabilitas genotipe sebagai ragam seluruh lingkungan setelah pengaruh utama dari nilai lingkungan dihilangkan. Ragam stabilitas didasarkan pada residual matriks interaksi x lingkungan dan galat sebagai klasifikasi dua arah. Suatu genotipe dikatakan stabil bila ragam stabilitas ( ) sama dengan ragam lingkungan ( ) dimana nilai ragam stabilitas ( ) = 0. Nilai ragam stabilitas ( ) semakin mendekati nol mengindikasikan genotipe semakin stabil. Nilai ragam stabilitas ( ) yang besar menunjukkan ketidakstabilan genotipe, karena ragam stabilitas merupakan perbedaan antara dua jumlah kuadrat yang dapat bernilai negatif. Estimasi nilai ragam stabilitas ( ) negatif tidak akan menjadi masalah pada komponen ragam, karena estimasi negatif dari ragam stabilitas ( ) dapat dianggap sebagai nol.

(44)

4. Analisis Finlay dan Wilkinson (1963)

Ukuran pengaruh lingkungan berasal dari rata-rata produksi masing-masing lingkungan dan musim. Regresi didasarkan pada produksi masing-masing-masing-masing varietas di plotkan terhadap rata-rata populasi.

Rata-rata populasi mempunyai koefisien regresi = 1,0 sebagai genotipe yang stabil. Penambahan nilai koefisien terhadap 1,0 berarti meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan, dan bila penurunan nilai koefisien terhadap 1,0 berarti meningkatkan ketahanan terhadap lingkungan. Regresi cukup efektif untuk mengetahui respon produksi varietas dalam kisaran lingkungan alami. Batas kisaran lingkungan yang menurun akan mengurangi proporsi komponen keragaman bagi interaksi genotipe x lingkungan yang ditunjukkan oleh ragam pada koefisien regresi secara individu.

Persamaan garis regresi yang digunakan oleh Finlay dan Wilkinson adalah :

gij = biej + sij

dimana: gij = garis koefisien regresi varietas ke-i terhadap lingkungan ke-j

bi = koefisien regresi varietas ke-i;

ej = lingkungan ke-j

sij = penyimpangan terhadap garis regresi dari varietas ke-i pada

lingkungan ke-j

Gambar 3 menunjukkan suatu gambaran interpretasi secara umum pola populasi yang berasal dari nilai koefisien regresi genotipe yang diplotkan terhadap nilai rata-rata hasil dari suatu genotipe. Berdasarkan gambar tersebut Finlay dan Wilkinson (1963) mengelompokkan kestabilan suatu genotipe menjadi tiga kelompok yang terdiri atas:

a. Jika koefisien regresi mendekati atau sama dengan satu (bi ≈ 1) maka

stabilitasnya adalah rata (average stability). Jika stabilitasnya rata-rata dan hasilnya rata-rata-rata-rata lebih tinggi dari rata-rata-rata-rata semua genotipe pada semua lingkungan maka genotipe tersebut memiliki adaptasi umum yang baik (general adaptability). Sebaliknya jika rata-rata hasil

(45)

lebih rendah dari rata-rata umum maka adaptasinya buruk (poorly adapted) pada semua lingkungan.

Gambar 3. Interpretasi umum dari pola populasi genotipe yang didapat dari plot nilai koefisien regresi genotipe terhadap nilai rata-rata hasil genotipe (Finlay & Wilkinson 1963).

b. Jika koefisien regresi lebih besar dari satu (bi > 1) maka stabilitasnya

berada di bawah rata-rata (below average stability). Genotipe demikian peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable).

c. Jika koefisien regresi lebih kecil dari satu (bi < 1) maka stabilitasnya

berada di atas rata-rata (above average stability). Genotipe beradaptasi pada lingkungan yang marjinal.

5. Analisis Perkins dan Jinks (1968)

Metode stabilitas Perkins dan Jinks (1968) menunjukkan kemiripan model koefisien regresi dengan metode stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963). Metode stabilitas Perkins dan Jinks sebelum estimasi regresi diawali dengan penyesuaian

K o ef is ien R eg re si ( bi ) Di b awa h 1 ,0 1 ,0 Di atas 1 ,0 Adaptasi khusus pada lingkungan optimal Adaptasi khusus pada lingkungan marjinal Adaptasi rendah pada semua lingkungan Adaptasi tinggi pada semua lingkungan Rata-rata stabilitas Produktivitas hasil

(46)

data yang diamati terhadap pengaruh lingkungan. Metode ini menyatakan suatu genotipe stabil apabila memiliki nilai βi = 0 dan genotipe tersebut tidak memiliki

interaksi genotipe x lingkungan. Bila genotipe dengan nilai βi > 0,0 menunjukkan

bahwa tidak terlalu sensitif dengan lingkungan. Genotipe tersebut dapat tumbuh baik pada lingkungan yang optimal. Bila genotipe dengan nilai βi < 0,0 atau

negatif menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang tidak signifikan antar lingkungan. Genotipe ini dapat tumbuh baik pada semua lokasi terutama lingkungan yang kurang baik.

6. Analisis Eberhart dan Russell (1966)

Eberhart dan Russell (1966) menyatakan bahwa untuk menentukan kestabilan tidak hanya nilai koefisien regresi (bi), tetapi juga menggunakan nilai

deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah ( ). Penentuan kestabilan dilakukan dengan penggabungan jumlah kuadrat dari lingkungan (E) dan interaksi genotipe x lingkungan (GE) serta membaginya ke dalam pengaruh linier antar lingkungan (derajat bebas = 1) dan pengaruh linier dari genotipe x lingkungan (derajat bebas E = 2). Pengaruh residual kuadrat tengah dari model regresi antar lingkungan digunakan sebagai indeks stabilitas. Genotipe stabil bila memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1 dan memiliki nilai deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah

( ) = 0 (Eberhart & Russell 1966; Singh & Chaudhary 1979).

Analisis stabilitas untuk hasil dan komponen hasil mengunakan metode menurut Eberhart dan Russell (1966), dengan model regresi yang digunakan adalah :

Yij = μi + βiIj + δij

Dimana:

Yij = hasil/komponen hasil rataan dari genotipe ke-i di lingkungan ke-j

μi = rataan umum untuk hasil/komponen hasil genotipe ke-i dari semua

lingkungan

βi = koefisien regresi, mengukur respon genotipe ke-i pada lingkungan yang

(47)

Ij = indeks lingkungan yaitu rata-rata semua varietas pada lingkungan ke-j

dikurangi rata-rata seluruh percobaan Ij =

δij = simpangan regresi dari genotipe ke-i pada lingkungan ke-j

Karakter stabilitasnya:

1. Koefisien regresi (bi); bi =

2. Simpangan dari regresi ( );

Dimana = galat gabungan, = Galat pada anova gabungan = Simpangan Gabungan, - -

= -

7. Analisis AMMI (Additive Main Effect Multiplicative Interaction).

Analisis Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI) adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Model AMMI dapat digunakan untuk menganalisis percobaan lokasi ganda. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan permodelan bilinear bagi pengaruh interaksi (Mattjik & Sumertajaya 2000). AMMI sangat efektif menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan. Penguraian interaksi dilakukan dengan model bilinear, sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi genotipe akan dapat dipetakan. Selain itu biplot yang digunakan memperjelas pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007).

Model AMMI sebagai berikut:

(48)

Dimana :

Yger = nilai pengamatan genotipe ke-g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r

µ = rataan umum

g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g

βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e

= nilai singular untuk komponen bilinear ke-n

= pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinear ke-n = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinear ke-n = simpangan dari pemodelan linear

εger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r

Mattjik dan Sumertajaya (2000) mengemukakan tiga manfaat dalam penggunaan analisis AMMI yaitu:

1. Analisis AMMI dapat digunakan sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat. Jika tidak ada satupun komponen yang nyata maka pemodelan cukup dengan aditif saja. Sebaliknya jika hanya pengaruh ganda saja yang nyata maka pemodelan sepenuhnya ganda, berarti analisis yang tepat adalah komponen utama saja. Jika semua komponen interaksi nyata berarti pengaruh interaksi benar-benar sangat kompleks, tidak memungkinkan dilakukannya pereduksian tanpa kehilangan informasi penting.

2. Untuk menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan, AMMI dengan biplotnya meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan dan antar interaksi galur dan lingkungan.

3. Meningkatkan keakuratan dugaaan respon interaksi genotipe x lingkungan. Hal ini terlaksana jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata dan tidak mencakup seluruh jumlah kuadrat interaksi. Sedikitnya komponen yang nyata sama artinya dengan menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya galat saja. Galat yang direduksi memiliki arti lebih memperakurat dugaan respon hubungan setiap genotipe x lingkungan.

(49)

Perkembangan metode AMMI sampai saat ini sudah dapat diterapkan untuk model tetap (AMMI) yaitu jika genotipe dan lingkungan ditentukan secara subyektif oleh peneliti dan kesimpulan yang diharapkan hanya terbatas pada genotipe dan lingkungan yang dicobakan saja. Model campuran (M-AMMI: Mixed AMMI) yang salah satu dari genotipe atau lingkungan bersifat acak dan kesimpulan untuk faktor acak berlaku untuk populasi taraf dari faktor acak. Model kategorik (GLM-AMMI/General Linear Model AMMI) yaitu jika respon yang diamati bersifat kategorik seperti tingkat serangan hama (ringan, sedang dan berat). Di samping itu, AMMI juga telah dikembangkan untuk menangani data hilang yaitu dengan EM-AMMI (Expectation Maximitation AMMI) (Sumertajaya 2007).

Pelepasan Varietas Tanaman

Uji multilokasi dilakukan untuk mengetahui pola adaptabilitas dan stabilitas genotipe-genotipe yang akan diusulkan sebagai varietas unggul baru. Hasil dari pengujian tersebut dapat digunakan sebagai prasyarat dalam pengusulan varietas unggul nasional. Usulan pelepasan varietas tanaman diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2011 yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2011 berisikan tentang pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas. Peraturan ini telah menggantikan peraturan Menteri Pertanian sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/8/2006 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2008 yang sudah tidak berlaku lagi. Peraturan Menteri Pertanian sudah tidak berlaku lagi karena sudah tidak sesuai lagi dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi rekayasa genetik. Dengan demikian Permentan baru dapat digunakan dalam mendukung pelaksanaan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, serta memperlancar pelaksanaan pengujian, penilaiaan, pelepasan dan penarikan varietas. Selain Permentan baru tersebut pelepasan varietas tanaman juga didukung dan memperhatikan beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992

(50)

tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37/Permentan/OT.140/7/2011 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Tanaman.

Permentan baru tersebut menjelaskan ketentuan-ketentuan yang lebih terinci bagi unit-unit pelaksana dan Direktorat Jenderal yang bersangkutan. Pelaksanaan uji adaptasi bagi tanaman semusim atau uji observasi bagi tanaman tahunan yang harus dilakukan telah tertuang dalam Permentan tersebut. Ketentuan itu meliputi musim, lokasi dan jumlah unit pengujian, penetapan jenis tanaman yang dibebaskan dari uji adaptasi atau uji observasi, prosedur baku produksi benih penjenis serta petunjuk teknis pelaksanaan pengujian dalam rangka penilaian dan pelepasan varietas tanaman.

Permentan yang baru menambah dan mengurangi beberapa komoditas yang ditetapkan untuk diuji, serta adanya pengurangan unit pengujian dari beberapa komoditas. Komoditas yang baru dimasukkan ke dalam Permentan baru tersebut adalah komoditas tanaman hijauan pakan ternak. Komoditas ini meliputi jenis rumput tegak, rumput menjalar, leguminosa pohon, leguminosa perdu dan leguminosa menjalar. Komoditas yang sudah tidak tercantum lagi di dalam Permentan yang baru adalah komoditas buah dan sayuran semusim, serta empon-empon. Komoditas yang unit pengujiannya berkurang pada komoditas tanaman pangan adalah padi ladang (padi gogo), jagung pulut, sorgum, gandum, kacang-kacangan dan ubi-ubian.

Komoditas padi ladang, kacang-kacangan dan ubi-ubian pada Permentan yang lama unit pengujiannya berjumlah 16 unit dan berkurang sebanyak 8 unit sehingga menjadi 8 unit pengujian pada Permentan yang baru (Tabel 2). Komoditas jagung pulut, sorgum dan gandum pada Permentan yang lama unit pengujiannya berjumlah 10 unit dan berkurang sebanyak 2 unit sehingga menjadi 8 unit pengujian pada permentan yang baru (Tabel 2). Adanya pengurangan unit pengujian diharapkan dapat memacu para pemulia tanaman pada komuditas tanaman pangan untuk merakit varietas unggul baru.

(51)

Tabel 2. Jumlah unit dan lama pengamatan uji adaptasi (unit) dari dua Permentan untuk tanaman pangan

Komoditas

PERATURAN MENTERI PERTANIAN

37/Permentan/OT.140/8/2006 61/Permentan/OT.140/10/2011 Total unit Keterangan Total unit Keterangan Tanaman pangan

Padi Sawah 16 Musim hujan dan musim kemarau

16 Di 16 lokasi dalam satu musim atau 8 lokasi yang sama di 2 musim (MK dan MH) Padi Ladang 16 2 kali tanam 8 8 lokasi dalam 1

tahun/musim atau 4 lokasi dalam 2 tahun/musim Padi rawa/pasang surut 6 Lokasi di rawa/Pasang surut, 2 kali tanam

6 Lokasi di rawa/Pasang surut, 6 lokasi dalam satu musim/tahun atau 3 lokasi dalam 2 musim/tahun

Jagung 16 Lokasi di

ladang/lahan kering dan sawah tadah hujan (MH dan MK)

16 16 lokasi di

ladang/lahan kering dan sawah tadah hujan dalam 1 musim atau 8 lokasi dalam 2 musim (MH dan MK)

Jagung pulut 10 Lokasi di ladang/lahan kering dan sawah tadah hujan (MH dan MK)

8 8 lokasi di

ladang/lahan kering dan sawah tadah hujan dalam 1 musim atau 4 lokasi dalam 2 musim (MH dan MK)

Sorghum 10 Lokasi lahan

sawah dan lahan kering (MH dan MK)

8 8 lokasi dalam 1 musim atau 4 lokasi dalam 2 musim (MH dan MK)

Gandum 10 Lokasi di dataran

tinggi, 2 kali tanam

8 8 lokasi dalam 1 musim atau 4 lokasi dalam 2 musim (MH dan MK) Kacang-kacangan dan Ubi-ubian 16 Di sawah, tadah hujan dan lahan kering

8 8 lokasi dalam 1 musim atau 4 lokasi dalam 2 musim (MH dan MK)

Ubi kayu 8 Dilahan kering, 2 kali tanam

8 Lahan kering, 8 lokasi dalam satu musim tanam

(52)

Padi gogo sebagai komoditas tanaman pangan dalam pelaksanaan pengujian berdasarkan Permentan yang baru dilaksanakan pada 8 unit pengujian. Pelaksanaan pengujian tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan unit pengujian berdasarkan Permentan yang lama. Adanya pengurangan unit pengujian pada permentan yang baru dikarenakan oleh beberapa hal seperti lahan padi gogo masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan lahan padi sawah; potensi lahan untuk pengembangan padi gogo di Indonesia masih luas; kondisi lahan dan agroekologi yang beragam; produktivitas padi gogo masih lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan padi sawah; musim penanaman padi gogo hanya pada musim hujan; jumlah varietas padi gogo yang telah dilepas masih sedikit; mempercepat pengujian dan pelepasan varietas baru; pemanfaatan keragaman padi gogo lokal yang tinggi sebagai sumber plasma nutfah dalam perakitan varietas padi gogo unggul nasional. Diharapkan dengan hanya 8 unit pengujian bagi komuditas padi gogo berdasarkan Permentan yang baru memacu perakitan galur-galur baru yang berpotensial untuk dikembangkan selanjutnya, serta mempercepat pengujian dan pelepasan varietas unggul nasional baru.

(53)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 – Maret 2011, kecuali lokasi Sukabumi pada bulan Maret – Juni 2011. Tempat Penelitian dilaksanakan di 7 lokasi yaitu Bogor, Sukabumi dan Indramayu (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), Wonosari (Daerah Istimewa Yogyakarta), serta Natar dan Taman Bogo (Lampung).

Bahan dan Alat

Galur padi gogo yang digunakan adalah 10 galur harapan padi gogo tipe baru yaitu FG1-70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4, FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-3, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1; dan 2 varietas pembanding yaitu Situ Bagendit dan Towuti. Deskripsi varietas disajikan pada Lampiran 1. Sarana produksi pertanian yang digunakan adalah pupuk kandang (10 ton/ha), Urea (200 kg/ha), SP-36 (100 kg/ha), KCl (100 kg/ha) dan pestisida.

Rancangan Penelitian

Penelitiaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan genotipe padi gogo. Perlakuan genotipe terdiri atas 10 galur padi gogo tipe baru dan 2 varietas nasional padi gogo. Masing-masing genotipe diulang sebanyak 4 (empat) kali yang tersarang dalam tiap lokasi. Setiap lokasi terdapat 48 satuan percobaan. Model linier untuk RAK tiap lokasi sebagai berikut:

Yik = µ + ρk + i + εik

Dimana:

Yik = Hasil pengamatan genotipe ke-i dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

ρk = Pengaruh ulangan ke-k

i = Pengaruh perlakuan ke-i

(54)

Model linear untuk ragam gabungan antara genotipe dan lingkungan sebagai berikut:

Yijk = µ + βj + ρk(j) + i + (β)ij + εijk

Dimana:

Yijk = Hasil pengamatan genotipe ke-i, lokasi ke-j dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

βj = Pengaruh lokasi ke-j

ρk(j) = Pengaruh ulangan ke-k dalam lokasi ke-j

i = Pengaruh genotipe ke-i

(β)ij = Pengaruh interaksi dari genotipe ke-i pada lokasi ke-j

εijk = Pengaruh acak dari genotipe ke-i, lokasi ke-j dan ulangan ke-k yang

menyebar normal (0, )

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan lahan meliputi pengukuran luas lahan yang akan digunakan, pembersihan lahan, pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan. Pembersihan dimulai dengan pembabatan dan pembersihan rumput. Setelah lahan bersih, selanjutnya dilakukan pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan. Petak percobaan dibuat berukuran 4 meter x 5 meter sebanyak 48 petakan tiap lokasi. Jarak atar petak dalam ulangan 0,5 meter. Pengacakan dilakukan sesuai kondisi (Lampiran 2).

Setelah petak percobaan siap kemudian dilakukan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 kg/petak dengan cara disebar dan dicampurkan dengan tanah. Penanaman dilakukan setelah 1 minggu pemberian pupuk kandang. Penanaman menggunakan sistem tugal dengan kedalaman 3-5 cm. Jarak tanam yang digunakan yaitu 30 cm x 15 cm sehingga terdapat 13 baris dan tiap barisnya terdapat 33 lubang tanam. Setiap lubang ditanami sebanyak 3-5 benih padi gogo. Pemberian pupuk sumber NPK dilakukan 3 tahap. Pemupukan pertama diberikan 80 gram/petak Urea, 200 gram/petak SP-36 dan 200 gram/petak KCl, diberikan seminggu setelah penanaman benih padi gogo dengan cara membuat larikan 5 cm dari tanaman. Pemupukan kedua diberikan 160 gram/petak Urea

Gambar

Tabel 2. Jumlah unit dan lama pengamatan uji adaptasi (unit) dari dua Permentan  untuk tanaman pangan
Tabel 6. Sidik ragam analisis stabilitas Eberhart dan Russell (1966).
Tabel 8. Rata-rata tinggi tanaman (cm) dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji.  Genotipe Lokasi Rataan Bgr Skbm Idmy Pwrj Wnsr Ntr Tmbg FG1-70-2-1 153,1 a 136,1 a 105,6 a 147,3 a 140,7 a 125,2 b 154,5 a 137,5 a FG1R-36-1-1   93,7 de   91,7 d   61,3 gf 101,5 d
Tabel 10. Rata-rata jumlah anakan produktif dari 12 genotipe pada 7 lokasi uji.  Genotipe  Lokasi  Rataan  Bgr  Skbm  Idmy  Pwrj  Wnsr  Ntr  Tmbg  FG1-70-2-1    7,4 cde   10,6 de     5,1 de 11,3 de     9,8 de     6,5 cd     6,1 d   8,1 d FG1R-36-1-1  11,8
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: 1) Terjadi interaksi yang nyata pada kombinasi perlakuan pengaruh bahan stek batang dan media tanam pertumbuhan vegetatif

Lebih lanjut, ketika ditanya keinginan masyarakat terhadap SPM, ternyata sebanyak 203 orang (64,65%) responden sangat setuju bila model Standar Pelayanan Minimal yang disusun

Kelompok yang baik adalah kelompok yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif diantara anggota kelompok, serta para anggota The Jakmania bisa menjalin kekompakkan,

Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja keuangan PT Bank Mandiri ( Persero) Tbk yaitu Current ratio menunjukan kinerja perusahaan pada tahun 2008-2013 kurang baik

Kontaminasi bakteri Coliform pada air minum dapat berasal dari berbagai sumber yaitu bahan baku yang digunakan dari air yang sudah tercemar, pendistribusian yang kurang baik

Namun kenyataannya sistem instalasi pengolahan air laut atau sea water reverse osmosis tidak begitu efesian didalam masyarakat, terbukti dengan sedikit atau segelintir

Hal ini menunjukkan bahwa yang dihasilkan oleh supernatan BAL yang berasal dari buah-buahan indigenus Riau adalah bakteriosin karena masih adanya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi kopi arabika (coffea arabica) dengan bakteri asam laktat (BAL) Lactobacillus plantarum B1765 terhadap mutu