• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Protein Dan Falling Number Pada Tepung Terigu Di Balai Riset Dan Standardisasi Industri Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Protein Dan Falling Number Pada Tepung Terigu Di Balai Riset Dan Standardisasi Industri Medan"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN

DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI

RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

KARYA ILMIAH

NOVA MIDAYANTI

102401048

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI RISET DAN

STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

KARYA ILMIAH

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh gelar Ahli Madya

NOVA MIDAYANTI 102401048

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

Kategori : KARYA ILMIAH Nama : NOVA MIDAYANTI Nim : 102401048

Program Studi : DIPLOMA 3 KIMIA Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dra. Emma Zaidar Nasution, MSi Dr. Rumondang Bulan, MS NIP : 195512181987012001 NIP : 195408301985032001

Mengetahui

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS

(4)

PERNYATAAN

ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI RISET DAN

STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

KARYA ILMIAH

Saya mengakui bahwa karya ilmiah ini adalah hasil kerja sendiri, kecuali beberapa kutipan dari ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2013

(5)

PENGHARGAAN

Dengan memanjatkankan Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Analisa Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Protein dan Falling Number pada Tepung Terigu di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Rumondang Bulan, MS selaku dosen pembimbing dan Ketua Departemen Kimia yang telah banyak membantu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. Terimakasih kepada Dra. Emma Zaidar Nasution selaku Ketua Program Studi D-3 Kimia, seluruh Staff dan Dosen Kimia FMIPA-USU Medan, dan rekan-rekan kuliah. Akhirnya tak terlupakan kepada kedua orang tua dan keluarga yang selama ini selalu memberikan dukungan motivasi baik moral maupun material. Semoga Allah SWT akan membalasnya.

(6)

ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI RISET DAN

STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

ABSTRAK

Telah dilakukan analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, dan falling number pada tepung terigu di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Metode yang digunakan untuk kadar air adalah metode gravimetri, sedangkan kadar abu menggunakan metode destruksi kering, kadar protein menggunakan metode semimikro-Kjeldhal, dan falling number dengan menggunakan alat falling number. Dari hasil analisa diperoleh kadar air, kadar abu, kadar protein, dan falling number pada tepung terigu, sesuai dengan standar SNI 3751:2009.

(7)

ANALYSIS OF MOISTURE, ASH, PROTEIN, AND FALLING NUMBER CONTENT FROM WHEAT FLOUR INRESEARCH AND

STANDARDIZATION INDUSTRY MEDAN

ABSTRACT

Having done analysis of moisture, ash, protein, falling number, content in wheat flour in Research and Standardization Industry Medan. Method used in moisture contents determination by gravimetric, method used in ash contents determination by dry ashing, method used in protein contents determination by semi micro-Kjeldhal, method used in falling number determination by instrument falling number. The result obtained moisture contents around, ash contents around, protein content around, falling number around in wheat flour is still to fit with quality standard SNI 3751:2009.

(8)

DAFTAR ISI

Daftar Lampiran ix

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tepung Terigu 4 2.2. Syarat Mutu Tepung Terigu 12

2.2.1. Kadar Air 12

3.3. Prosedur Analisa 24

(9)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Percobaan 28

4.1.1. Data Hasil Analisa Kadar Air 28 4.1.2. Data Hasil Analisa Kadar Abu 29 4.1.3. Data Hasil Analisa Kadar Protein 30 4.1.4. Data Hasil Analisa Falling Number 31

4.2. Pembahasan 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 34

5.2. Saran 34

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai 35 Bahan Makanan

(12)

ANALISA KADAR AIR, KADAR ABU, KADAR PROTEIN DAN FALLING NUMBER PADA TEPUNG TERIGU DI BALAI RISET DAN

STANDARDISASI INDUSTRI MEDAN

ABSTRAK

Telah dilakukan analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, dan falling number pada tepung terigu di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Metode yang digunakan untuk kadar air adalah metode gravimetri, sedangkan kadar abu menggunakan metode destruksi kering, kadar protein menggunakan metode semimikro-Kjeldhal, dan falling number dengan menggunakan alat falling number. Dari hasil analisa diperoleh kadar air, kadar abu, kadar protein, dan falling number pada tepung terigu, sesuai dengan standar SNI 3751:2009.

(13)

ANALYSIS OF MOISTURE, ASH, PROTEIN, AND FALLING NUMBER CONTENT FROM WHEAT FLOUR INRESEARCH AND

STANDARDIZATION INDUSTRY MEDAN

ABSTRACT

Having done analysis of moisture, ash, protein, falling number, content in wheat flour in Research and Standardization Industry Medan. Method used in moisture contents determination by gravimetric, method used in ash contents determination by dry ashing, method used in protein contents determination by semi micro-Kjeldhal, method used in falling number determination by instrument falling number. The result obtained moisture contents around, ash contents around, protein content around, falling number around in wheat flour is still to fit with quality standard SNI 3751:2009.

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selama lebih dari 10.000 tahun, gandum dan produk-produk berbasis gandum

merupakan pelopor kesejahteraan manusia dan keluarganya, membebaskan

mereka dari belenggu kehidupan nomaden, memperkenalkan mereka pada dunia

pertanian dan perdagangan, dan membuat mereka leluasa mempraktekkan

kesenian dan ilmu. Dapat dikatakan bahwa dari satu biji gandum secara harfiah

berkecambahlah bibit peradaban modern. Seberapa pentingnya peran gandum

dewasa ini tidaklah sebanding dengan posisinya dalam sejarah kehidupan

manusia. Terbukti bahwa manusia mulai membudidayakan gandum sebelum ia

belajar menyimpan catatan. Kebudayaan gandum terbentuk sejalan dengan

perkembangan peradaban.

Makanan sehari-hari kita terlalu banyak yang mengandung gandum. Tidak

terhitung jumlahnya hingga terkadang kita terlena dan tidak sadar atau bahkan

mengesampingkan arti kandungan gandum tersebut dalam makanan kita. Seperti

roti, yang merupakan jenis makanan gandum yang paling popular

Maraknya penggunaan tepung terigu yang dijadikan sebagai bahan dasar

dalam pembuatan makanan utama berupa roti ataupun cemilan berupa biskuit dan

(15)

menjadi pilihan konsumen. Karena itu penulis tertarik untuk melakukan analisa

terhadap kadar air, abu, protein, dan falling number pada tepung terigu apakah

tepung terigu tersebut memenuhi syarat mutu SNI 3751:2009 atau tidak.

1.2. Permasalahan

a. Berapakah kadar air, abu, protein, dan falling number pada tepung

terigu.

b. Apakah kadar air, abu, protein, dan falling number pada tepung terigu

memenuhi syarat mutu SNI 3751:2009.

1.3. Tujuan

a. Untuk mengetahui kadar air, abu, protein, dan falling number pada

tepung terigu.

b. Untuk mengetahui kadar air, abu, protein, dan falling number pada

tepung terigu sesuai atau tidak dengan syarat mutu SNI 3751:2009.

1.4. Manfaat

Adapun manfaat penulisan karya ilmiah ini adalah memberikan informasi kepada

pembaca tentang cara analisa kadar air, abu, protein, dan falling number pada

tepung terigu, sehingga dapat diketahui tepung terigu tersebut memenuhi syarat

(16)

1.5. Metodologi

Karya ilmiah ini dilakukan melalui analisis laboratorium, dengan mengambil

sampel tepung terigu sebagai bahan makanan.

1.6. Lokasi

Analisa sampel dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan yang

berlokasi di Jalan Sisingamangaraja No.24 tepat berada di depan Taman Makam

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tepung Terigu

Tepung terigu berasal dari biji gandum. Tepung terigu diolah dengan

menyesuaikan kebutuhan konsumen. Di pasaran dijual tepung terigu cap cakra,

cap segitiga, dan cap kunci. Kegunaannya berbeda dari segi kuliner, misalnya

terigu cap kunci dan cap segitiga, untuk membuat masakan yang tidak perlu

mengembang, seperti kue (cake), bakpao, dan bolu. Bila akan memasak kue

kering, pilihlah tepung terigu cap kunci dan cap segitiga. Kedua macam tepung itu

berbeda dalam kadar “gluten”. Bahan makanan olahan dari tepung terigu, seperti

mie, makaroni, spageti, dan vermiseli. Dengan perkembangan teknologi dalam

segi makanan olahan ini, telah banyak diciptakan bermacam-macam bentuk, rupa,

warna, dan rasa dengan kemasan yang menarik dan higienis. Yang paling baru

adalah makanan instan (Tarwotjo, 2007).

2.1.1. Sejarah Tepung Terigu

Makanan berbasis gandum atau tepung terigu telah menjadi makanan pokok

banyak Negara. Ketersediaannya yang melimpah di pasaran dunia, proteinnya

yang tinggi, harganya yang relatif tidak mahal dan pengolahannya yang praktis

(18)

berbagai Negara. Negara-negara pengekspor gandum juga cukup banyak antara

lain, Australia, Kanada, Amerika, Rusia, Cina, dan masih banyak lagi.

Sejarah asal-muasal tanaman gandum sendiri memiliki refrensi yang amat

beragam. Satu pemahaman kiranya sama adalah seorang arkeolog dari Universitas

Chicago yang menemukan dua jenis gandum di antara puing-puing reruntuhan

sebuah desa kuno di Irak pada tahun 1948. Desa tersebut diperkirakan dibangun

6.700 tahun SM.

Sebagian sejarawan masih berpegang pada anggapan bahwa tanaman ini

mula-mula tumbuh di sekitar kawasan Mediterania, sekitar Turki, Syiria, India,

bahkan Eropa. Catatan sejarah purba menemukan bahwa 4.000 tahun SM relief di

pemakaman kuno Mesir mengindikasikan bahwa gandum digunakan sebagai

makanan manusia, dan gandum dikenal sebagai makanan di China pada tahun

2.700 SM. Sejalan dengan penyebaran hunian manusia, demikian pula gandum

sebagai makanan pokok lalu menyebar ke Eropa Timur, Amerika Selatan, Afrika

Selatan, Amerika Serikat, Canada dan Australia. Hal ini mengakibatkan varietas

dan jenis gandum pun semakin beragam bergantung lokasi dan masa tumbuhnya

2.1.2. Jenis Tepung Terigu

Di pasaran banyak beredar jenis tepung terigu yang masing-masing memiliki

(19)

1. Hard Wheat (Terigu Protein Tinggi)

Di pasaran lebih dikenal dengan terigu Cakra Kembar. Tepung ini diperoleh dari

gandum keras (hard wheat). Kandungan proteinnya 11 - 13%. Tingginya protein

terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap

airnya tinggi, elastis dan mudah digiling. Karakteristik ini menjadikan tepung

terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan baku roti, mie dan pasta karena

sifatnya elastis dan mudah difermentasikan.

2. Medium Wheat (Terigu Protein Sedang)

Jenis terigu medium wheat mengandung 10% - 11%. Sebagian orang

mengenalnya dengan sebutan all-purpose flour atau tepung serba guna, di pasaran

lebih dikenal dengan sebutan tepung Segitiga Biru. Dibuat dari campuran tepung

terigu hard wheat dan soft wheat sehingga karakteristiknya di antara kedua jenis

tepung tersebut. Tepung ini cocok untuk membuat adonan fermentasi dengan

tingkat pengembangan sedang, seperti donat, bakpau, bapel, panada atau aneka

cake dan muffin.

3. Soft Wheat (Terigu Protein Rendah)

Tepung ini dibuat dari gandum lunak dengan kandungan protein gluten 8% - 9%.

Sifatnya, memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan

adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, lengket dan daya pengembangannya

(20)

memerlukan proses fermentasi. Di pasaran tepung ini lebih dikenal dengan nama

terigu Cap Kunci.

4. Self Raising Flour

Jenis tepung terigu yang sudah ditambahkan bahan pengembang dan garam.

Penambahan ini menjadikan sifat tepung lebih stabil dan tidak perlu

menambahkan pengembang lagi ke dalam adonan. Jika sukar didapat, tambahkan

satu sendok teh baking powder ke dalam satu kilo tepung sebagai gantinya. Self

raising flour sangat cocok untuk membuat cake, muffin, dan kue kering.

5. Enriched Flour

Adalah tepung terigu yang disubstitusi dengan beragam vitamin atau mineral

dengan tujuan memperbaiki nilai gizi yang terkandung. Biasanya harganya relatif

lebih mahal. Cocok untuk kue kering dan bolu.

6. Whole Meal Flour

Tepung ini biasanya dibuat dari biji gandum utuh termasuk dedak dan lembaganya

sehingga warna tepung lebih gelap/krem. Terigu whole meal sangat cocok untuk

makanan kesehatan dan menu diet karena kandungan serat (fiber) dan proteinya

sangat tinggi

(21)

2.1.3. Ciri-Ciri Tepung Terigu

Untuk menghasilkan produk tepung yang bermutu tinggi dibutuhkan tepung yang

bermutu tinggi. Tepung ini dapat dikenali dengan melihat warna, kekuatan,

kemudahan dalam menyesuaikan diri, daya serap dan keseragaman. Tepung yang

baik memiliki warna sedikit agak krem. Apabila tidak krem maka remah roti yang

dihasilkan akan berwarna putih. Proses bleaching selama penggilingan gandum

digunakan untuk mengontrol tingkat warna tepung yang dihasilkan. Dalam hal

pembuatan roti warna dapat dikontrol dengan mengubah formula atau resepnya,

mengolah adonan dengan mesin, dan dengan menambahkan bahan yang dapat

mempengaruhi warna tepung.

Masyarakat sering menyebut adanya tepung kuat (strong flour) dan tepung

lemah (soft flour). Istilah ini didasarkan atas kemampuan tepung menghasilkan

roti yang padat besar, yang mengembang dengan baik. Untuk mendapatkan roti

yang padat bermutu, tepung kuat memerlukan masa peragian yang lebih lama dari

tepung lemah. Tepung harus mampu menahan proses peragian dan menghasilkan

roti yang memuaskan di atas waktu yang pada umumnya diperlakukan untuk

mencapai tingkat kematangan yang tepat.

High absorption (daya serap tinggi) pada tepung berkaitan dengan

kemampuan tepung untuk menyerap dan menahan sejumlah air sampai batas

maksimal tanpa pencampuran (mixing) tambahan guna mengembangkan adonan.

Bila adonan tidak mendapat cukup waktu, karena terbatasnya kapasitas

pencampuran oleh sebab-sebab lain, maka volume roti yang dihasilkan akan

berkurang, remahnya kering, rasa dan daya simpannya berkurang

(22)

2.1.4. Komposisi

Komposisi gandum bervariasi tergantung pada jenisnya. Sebagai contoh, gandum

Kanada yang keras banyak mengandung gluten (protein), sedang kadar gluten

pada gandum Inggris yang lunak sangat rendah. Istilah “keras” dan “lunak”

menunjuk pada sifat gandum saat digiling dan tidak boleh dikacaukan dengan

“kuat” dan “lemah” yang mengarah pada sifat tepung saat dipanggang. Kekuatan

tepung lebih tergantung pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat

adalah tepung yang menghasilkan adonan yang sukar meregang dan mempunyai

sifat dapat menahan gas dengan baik. Tepung yang kuat cocok untuk pembuatan

roti, sedang tepung yang lemah baik untuk kue dan biskuit. Secara umum,

gandum keras akan menghasilkan tepung yang kuat dan gandum lunak

menghasilkan tepung yang lemah.

Komposisi Gandum Manitoba dan Inggris

Manitoba Inggris

% %

Protein 13,5 9,0

Lemak 2,5 2,0

Karbohidrat 69,0 74,0

Air 13,5 13,5

Vitamin dan mineral 1,5 1,5

(23)

2.1.5. Pengolahan Tepung Terigu

Dalam perjalanannya, tepung terigu yang diolah dari biji gandum melalui proses

penggilingan kemudian berhasil dikembangkan menjadi beragam makanan. Yang

paling banyak dikenal dan dikonsumsi berbagai negara termasuk Indonesia adalah

roti dan mie. Produk jadi lainnya kue, biskuit, pastry, dan masih banyak lagi.

Terdapat tiga tahap utama dalam pengolahan gandum menjadi tepung

terigu, yaitu:

a. Pembersihan dan Penyiapan

Mula-mula gandum dilewatkan serangkaian mesin untuk menghilangkan kotoran,

dedak dan sebagainya. Gandum kemudian dikondisikan, yaitu dilembabkan ke

tingkat kelembaban yang optimum untuk penggilingan, melalui proses

pembasahan dan pengeringan biji. Proses ini mengeraskan sekam sehingga lebih

mudah dipisahkan selama penggilingan dan membuat endosperma lebih mudah

remuk sehingga lebih mudah pula digiling menjadi tepung.

b. Pemecahan

Gandum bersih yang telah mengalami “conditioning” dilewatkan lima pasang

penggilas baja berombak “corrugated” yang dikenal sebagai rol pemecah. Dari

tiap pasangan, sebuah penggilasnya berputar dua setengah kali lebih cepatnya dari

penggilas satunya, sehingga biji akan terkelupas dan endosperma akan terpisah

dari sekam. Setelah melewati setiap rol, produk diayak dan dipisahkan menjadi

(24)

1. Partikel kasar yang dilekati endosperma. Bagian ini akan diteruskan ke

rol pemecah.

2. Partikel endosperma yang kasar, disebut semolina. Partikel sekam

yang bercampur dengan semolina dipisahkan dengan menggunakan

hembusan udara, sekam lebih ringan daripada semolina.

3. Sejumlah kecil partikel halus endosperma atau tepung.

Secara bertahap, jarak antara rol-rol pemecah dibuat makin sempit

sehingga di setiap tahap lebih banyak endosperma dipisahkan dari sekam.

c. Pengecilan Ukuran

Semolina yang diperoleh dari rol pemecah dilewatkan sepuluh atau lebih rol

pengecil ukuran. Rol ini berupa penggilas yang halus dan dari setiap pasangan,

sebuah penggilasnya berputar satu setengah kali lebih cepat dari lainnya. Partikel

endosperma mengalami pengecilan ukuran secara bertahap oleh gencetan rol

sehingga kerusakan granula pati adalah minimum. Setelah melewati setiap

rangkaian rol, produk diayak dan dipisahkan menjadi partikel halus tepung,

partikel yang lebih besar akan dilewatkan rol pengecil ukuran berikutnya serta

partikel kasar yang nantinya dikembalikan ke rol pertama. Seperti halnya rol

pemecah, rol pengecil ukuran juga diatur saling berdekatan secara bertahap dan

pada akhir proses akan diperoleh tepung putih yang halus. Oleh sistem pengecilan

ukuran tersebut, lembaga akan menjadi pipih, bukannya hancur dan dihilangkan

dengan pengayakan (Gaman & Sherrington, 1981).

(25)

2.2. Syarat Mutu Tepung Terigu

Kualitas tepung terigu dipengaruhi oleh moisture (kadar air), ash (kadar abu),

kadar protein dan lain-lain.

Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1

Falling Number (atas dasar kadar air 14%)

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan

fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan

komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi

penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Bahkan dalam bahan makanan

yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian, terkandung

air dalam jumlah tertentu.

Aktivitas air digunakan sebagai petunjuk akan adanya sejumlah air dalam

bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air

(26)

Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan

lingkungannya, dan hal ini sangat erat hubungan dengan daya awet bahan pangan

tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengelohan dan

pengelolaan pascaolah bahan pangan.

Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability,

kesegaran dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar dari perubahan-perubahan

bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau bersal dari bahan

itu sendiri (Purnomo, 1995).

Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini

tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan

dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105 - 110oC selama 3 jam

atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah

dikeringkan adalah banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan-bahan yang tidak

tahan panas, seperti bahan yang berkadar gula tinggi, minyak, daging, kecap, dan

lain-lain pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang lebih rendah.

Kadang-kadang pengeringan dilakukan tanpa pemanasan, bahan dimasukkan

dalam eksikator dengan H2SO4 pekat sebagai pengering, hingga mencapai berat

yang konstan (Winarno, 2002).

2.2.2. Kadar Abu

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan

(27)

Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam

proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak,

karena itulah disebut abu. Meskipun banyak dari elemen-elemen mineral telah

jelas diketahui fungsinya pada makanan ternak, belum banyak penelitian sejenis

dilakukan pada manusia. Karena itu peranan berbagai unsur mineral bagi manusia

masih belum sepenuhnya diketahui (Winarno, 2002).

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan

pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral

yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam

organik dan garam anorganik.

Penentuan kadar abu digunakan untuk berbagai tujuan yaitu antara lain:

a. Untuk menetukan baik tidaknya suatu proses pengolahan

b. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan

c. Penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan

makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup

tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain.

Penentuan abu total dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering atau

cara langsung dan dapat pula secara basah atau cara tidak langsung.

Penentuan kadar abu cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat

organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 - 600oC dan kemudian melakukan

penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama

(28)

dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya berwarna putih

abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan

terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu maka krus yang berisi

abu harus lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC agar suhunya

turun, baru kemudian dimasukkan ke dalam eksikator sampai dingin.

Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha

penentuan trace elemen dan logam-logam beracun. Pengabuan cara basah ini

prinsipnya adalah memberikan reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum

dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol

ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tinggi.

Sebagaimana cara kering, setelah selesai pengabuan bahan kemudian diambil dan

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC sekitar 15 – 30 menit selanjutnya

dipindahkan ke dalam eksikator sampai dingin kemudian dilakukan penimbangan.

Pengabuan diulangi sampai diperoleh berat abu yang konstan (Sudarmadji, 1989).

2.2.3. Kadar Protein

Kata protein berasal dari protos atau proteos yang berarti pertama atau utama.

Protein merupakan komponen utama sel hewan atau manusia. Oleh karena sel itu

merupakan pembentuk tubuh kita, maka protein yang terdapat dalam makanan

berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh.

Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam protein ialah sebagai

berikut: Karbon 50%, Hidrogen 7%, Oksigen 23%, Nitrogen 16%, Belerang

(29)

Keistimewaan lain dari protein adalah struktur yang mengandung N, di

samping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), S, dan kadang-kadang P,

Fe, dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka

salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein

secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan

makanan atau bahan lain. Apabila unsur N dilepaskan dengan cara destruksi

(perusakan bahan sampai terurai unsur-unsurnya) dan N yang terlepas ditentukan

jumlahnya secara kuantitatif (dengan titrasi atau cara lain) maka jumlah protein

dapat diperhitungkan atas dasar kandungan rata-rata unsur N yang ada dalam

protein. Senyawa-senyawa bukan protein yang mengandung N misalnya

Ammonia, asam amino bebas dan asam nukleat. Oleh karena itu cara penentuan

jumlah protein melalui penentuan jumlah N total hasilnya disebut jumlah protein

kasar atau crude protein.

Penerapan jumlah protein yang umum dilakukan adalah dengan

menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara

penentuan ini dikembang oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada

tahun 1883 (Sudarmadji, 1989).

Prinsip metode Kjeldahl adalah mula-mula bahan didestruksi dengan asam

sulfat pekat menggunakan katalis Selenium oksiklorida atau butiran Zn. Ammonia

yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Metode Kjeldahl

pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimikro.

Cara makro-Kjeldahl digunakan untuk sampel yang sukar dihomogenisasi dan

(30)

protein dengan metode mikro- Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga

tahapan, yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.

a. Proses Destruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan dalm asam sulfat pekat sehingga terjadi

penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya, yaitu unsur-unsur C, H, O, N, S, dan

P. Unsur N dalam protein ini dipakai untuk menentukan kandungan protein dalam

suatu bahan. Sebanyak 100 mg sampel (kedelai, tepung terigu, atau bahan lain)

ditambahkan dengan katalisator N sebanyak 0,5 - 1 g.

Katalisator berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan

menaikkan titik didih asam sulfat saat penambahan H2SO4 pekat, serta

mempercepat kenaikkan suhu asam sulfat, sehingga destruksi berjalan lebih cepat.

Katalisator N terdiri dari campuran K2SO4 dan HgO dengan perbandingan 20 : 1.

Proses destruksi dapat dikatakan selesai apabila larutan berwarna jernih.

Larutan yang jernih menunjukkan bahwa semua partikel bahan padat telah

terdestruksi menjadi bentuk partikel yang larut tanpa ada partikel padat yang

tersisa. Larutan jernih yang telah mengandung senyawa (NH4)2SO4 ini kemudian

didinginkan supaya suhu sampel sama dengan suhu ruang, sehingga penambahan

perlakuan lain pada proses berikutnya dapat memperoleh hasil yang diinginkan,

karena reaksi yang sebelumnya telah usai.

b. Proses Destilasi

Larutan sampel jernih yang telah dingin kemudian ditambahkan dengan aquadest

(31)

dengan sempurna, serta untuk lebih memudahkan proses analisis karena hasil

destruksi melekat pada tabung reaksi besar. Prinsip destilasi adalah memisahkan

cairan atau larutan berdasarkan perbedaan titik didih.

Pada tahap destilasi, Ammonium sulfat dipecah menjadi Ammonia (NH3)

dengan penambahan NaOH sampai alkali dan dipanaskan dengan pemanas.

Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar.

Asam standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam borat 4% dalam

jumlah yang berlebih. Indikator BCG-MR digunakan untuk mengetahui asam

dalam keadaan berlebih.

Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap destilat NH3 yang

berupa gas yang bersifat basa. Supaya Ammonia dapat ditangkap secara

maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini tercelup semua ke dalam larutan

asam standar, sehingga dapat ditentukan jumlah protein yang sesuai dengan kadar

protein yang terkandung dalam bahan. Selama proses destilasi, lama-kelamaan

larutan asam borat akan berubah warna menjadi biru. Hal ini disebabkan karena

larutan menangkap adanya Ammonia dalam bahan yang bersifat basa, sehingga

mengubah warna merah muda menjadi biru.

Reaksi destilasi akan berakhir bila Ammonia yang telah terdestilasi tidak

bereaksi lagi. Setelah destilasi selesai, larutan sampel berwarna keruh dan terdapat

endapan di dasar tabung (endapan HgO), sedangkan larutan asam dalam

Erlenmeyer akan berwarna biru karena berada dalam suasana basa akibat

(32)

c. Tahap Titrasi

Titrasi merupakan tahap akhir dari seluruh metode Kjeldahl pada penentuan kadar

protein dalam bahan pangan yang dianalisis. Dengan melakukan titrasi, dapat

diketahui banyaknya asam borat yang bereaksi dengan Ammonia. Untuk tahap

titrasi, destilat dititrsi dengan HCl yang telah distandarisasi (telah disiapkan

sebelumnya). Selain destilat sampel, destilat blanko juga dititrasi, karena selisih

titrasi sampel dengan titrasi blanko merupakan ekuivalen jumlah nitrogen. Jadi,

banyaknya HCl yang diperlukan untuk menetralkan akan ekuivalen dengan

banyaknya N. Titrasi HCl dilakukan sampai titik ekuivalen yang ditandai dengan

berubahnya warna larutan dari biru menjadi merah muda karena adanya HCl

berlebih yang menyebabkan suasana asam (indikator BCG-MR berwarna merah

muda pada suasana asam). Melalui titrasi ini, dapat diketahui kandungan N dalam

bentuk NH4, sehingga kandungan N dalam protein sampel dapat diketahui.

Kadar Nitrogen (%N) dapat ditentukan dengan rumus berikut ini:

%N = (ts−tb)

mg sampel × N HCl × 14,008 × 100%

ts : Volume titrasi sampel

tb : Volume titrasi blanko

Dengan demikian, %protein adalah sebagai berikut:

%protein = %N �k

(33)

Apabila pada bahan yang telah diketahui komposisinya dengan lebih tepat, maka

faktor konversi yang digunakan dalah faktor konversi yang lebih tepat yang telah

diketahui per bahan seperti yang tercantum di bawah ini.

Faktor Perkalian Beberapa Bahan

Jenis Bahan Faktor Perkalian

Susu 6,38

Bir, sirup, biji-bijian, yeast 6,25

Makanan ternak 6,25

Beras 5,95

Roti, gandum, makaroni, mie 5,70

Kacang tanah 5,46

Kedelai 5,75

Kenari 5,18

Gelatin 5,55

Dasar perhitungan penentuan protein menurut metode ini adalah hasil

penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah

mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Karena pada bahan

belum diketahui komposisi unsur-unsur penyusunnya secara pasti, maka faktor

(34)

2.2.4. Falling Number

Falling number (FN) adalah metode standar internasional (ICC 107/1, ISO

3093-2004, AACC 56-81B) dan paling populer untuk menentukan kerusakan

tunas/kecambah yang disebabkan oleh kondisi cuaca lembab atau hujan selama

tahap akhir pematangan tanaman.

Untuk menganalisis sampel biji-bijian, pertama perlu digiling menjadi

bubuk, sedangkan sampel tepung dapat dianalisis langsung. Sampel dimasukkan

ke dalam tabung reaksi, ditambahkan air suling, dan tabung kemudian dikocok

dengan kuat untuk mencapai campuran yang homogen. Tabung tersebut

kemudian ditempatkan di penangas, dan instrumen mulai mengaduk sampel. Yang

terjadi pada suhu tinggi ini adalah bahwa enzim alpha-amylase mulai memecah

pati dan viskositas akan menurun.

Setelah 60 detik pencampuran, pengaduk dijatuhkan dari atas tabung tes,

dan instrumen mengukur waktu yang dibutuhkan pengaduk untuk mencapai

bagian bawah. Hasil falling number dicatat sebagai indeks aktivitas enzim

alpha-amylase dalam gandum atau tepung dan hasilnya dinyatakan dalam detik. Tingkat

pengukuran aktivitas enzim dengan uji falling number mempengaruhi kualitas

dalam adonan roti

Enzim dalam Pembuatan Roti

Enzim memainkan peranan sangat penting dalam pembuatan roti. Tepung

(35)

maltosa. Enzim maltase yang dikeluarkan oleh khamir meneruskan pemecahan

maltosa menjadi glukosa. Kemudian glukosa difermentasi oleh beberapa enzim

dalam khamir, yang secara keseluruhan dikenal sebagai adonan dengan udara dan

etanol (etil alkohol) yang dikeluarkan dari roti pada waktu pemanggangan

(baking).

Protease, terdapat dalam tepung dan khamir, juga penting dalam

pembuatan roti. Protease bereaksi pada protein tepung, yaitu gluten, membuat

gluten lebih “extensible” dan mampu menahan karbon dioksida yang dihasilkan

(36)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PERCOBAAN

Bahan dan alat yang digunakan dalam analisa tepung terigu adalah:

3.1. Alat

a. Botol timbang Pyrex

b. Spatula

c. Neraca analitik Mettler Toledo

d. Oven

e. Penjepit

f. Bunsen

g. Eksikator

h. Tanur

i. Cawan porselin

j. Labu Kjeldhal 250 mL Pyrex

k. Statif dan klem

l. Gelas ukur 10 mL Pyrex

m. Gelas ukur 20 mL Pyrex

n. Gelas ukur 50 mL Pyrex

o. Labu Erlenmeyer 250 mL Pyrex

(37)

q. Labu destilasi Pyrex

r. Kondensor

s. Selang

t. Bola karet

u. Buret 25 mL Pyrex

v. Falling number Perten

w. Pipet tetes

3.2. Bahan

a. Tepung terigu

b. H2SO4(p) p.a

c. Serbuk selenium

d. Aquadest

e. NaOH 30% p.a

f. HCl 0,05 N p.a

g. Indikator Campuran

3.3. Prosedur Analisa

3.3.1. Analisa Kadar Air

a. Panaskan botol timbang beserta tutupnya dengan oven pada suhu

(38)

b. Timbang 2 g contoh ke dalam botol timbang (W).

c. Panaskan botol timbang dalam keadaan terbuka dalam oven pada suhu

(130 ± 3)oC selama satu jam (satu jam setelah suhu oven 130 oC).

d. Tutup botol timbang ketika masih di dalam oven, kemudian pindahkan

ke dalam eksikator, dinginkan selama 30 menit dan timbang (W1).

e. Lakukan duplo.

f. Hitung kadar air dalam contoh.

3.3.2. Analisa Kadar Abu

a. Pijarkan cawan di dalam tanur listrik pada suhu (550 ± 10)oC, yang

sebelumnya dipanaskan dahulu pada penangas listrik/Bunsen dengan

nyala api kecil selama 1 jam.

b. Dinginkan dalam eksikator selama 1 jam, kemudian timbang (W1).

c. Timbang 3 g sampai dengan 5 g contoh (W).

d. Arangkan di atas penangas listrik/Bunsen dengan nyala api kecil.

e. Abukan dalam tanur pada suhu (550 ± 10)oC sampai putih atau kelabu

selama 5 jam sampai dengan 8 jam.

f. Dinginkan dalam eksikator selama 30 menit dan timbang.

g. Masukkan kembali ke dalam tanur pada suhu yang sama selama 1 jam,

dinginkan dalam eksikator dengan waktu yang sama dan timbang.

h. Ulangi seperti pada butir di atas sampai diperoleh bobot tetap (selisih

penimbangan yang terakhir dan yang sebelumnya maksimum 1 mg

(39)

i. Lakukan duplo.

j. Hitung kadar abu dalam contoh.

3.3.3. Analisa Kadar Protein

a. Timbang 0,5 g sampai dengan 1 g contoh, masukkan ke dalam labu

Kjeldhal.

b. Tambahkan 1 g campuran katalis selen dan 10 mL H2SO4 pekat.

c. Panaskan campuran dalam pemanas listrik sampai mendidih dan

larutan menjadi jernih kehijau-hijauan. Lakukan dalam lemari asam

atau lengkapi alat destruksi dengan unit pengisap asam.

d. Biarkan dingin, kemudian encerkan dengan air suling secukupnya.

e. Tambahkan 15 mL atau lebih larutan NaOH 30% sampai berlebih

(periksa dengan indikator PP di mana campuran diharapkan menjadi

basa).

f. Sulingkan selama 5 menit sampai dengan 10 menit atau saat larutan

destilat telah mencapai kira-kira 150 mL, dengan penampung destilat

adalah 50 mL larutan H3BO3 2% yang telah diberikan beberapa tetes

campuran indikator BCG + MM.

g. Bilas ujung pendingin dengan air suling.

h. Titar larutan campuran destilat dengan larutan HCl 0,05 N.

(40)

3.3.4. Analisa Falling Number

a. Nyalakan alat falling number sesuai petunjuk alat.

b. Tambahkan 25 mL air suling ke dalam dua tabung viskometer.

c. Timbang dua contoh (duplo) masing-masing (7,00 ± 0,01) g, kemudian

masukkan dalam tabung viskometer.

(41)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa kadar air, kadar abu, kadar protein dan falling number

pada tepung terigu yang dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri

Medan, maka diperoleh hasil yang terlihat pada tabel 4.1.1., 4.1.2., 4.1.3., dan

4.1.4.

4.1 Hasil Percobaan

4.1.1. Data Hasil Analisa Kadar Air

(42)

W1 = bobot cuplikan + botol sebelum dikeringkan (g)

W2 = bobot cuplikan + botol setelah dikeringkan (g)

Contoh Perhitungan

Kadar Air = 44,9904 1,9176─ 44,7477× 100%

= 12,65%

4.1.2. Data Hasil Analisa Kadar Abu

(43)

W1 adalah bobot cawan kosong dan abu (g)

Contoh Perhitungan

Kadar Abu = 27,5840 4,2371─ 27,5564 × 100%

= 0,65%

4.1.3. Data Hasil Analisa Kadar Protein

NO KODE V1 (mL) V2 (mL) W (mg) Kadar Protein

V1 adalah volume HCl 0,05 N untuk titrasi contoh (mL)

(44)

N adalah normalitas larutan HCl

W adalah bobot contoh (mg)

14,008 adalah bobot atom nitrogen

5,7 adalah faktor protein untuk tepung terigu

Contoh Perhitungan

Kadar Protein =�12,50─0� × 0,0546 ×14,008 × 5,7

615,75 × 100%

= 8,85%

4.1.4. Data Hasil Analisa Falling Number

(45)

M adalah kadar air dari contoh

Contoh Perhitungan

Falling Number (kadar air 14%) =380 (100 – 14) (100 – 12,65)

= 374,12

4.2. Pembahasan

Dari hasil analisa yang dilakukan pada tepung terigu, maka dapat diketahui kadar

air, abu, protein dan falling number pada tepung terigu tersebut. Untuk analisa

kadar air diperoleh kadar air tepung terigu 12,66% . Hasil analisa ini

menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat pada tepung terigu memenuhi

ketentuan syarat mutu yang ditetapkan oleh SNI 3751:2009 yaitu maksimal

14,5%. Kadar air yang rendah pada tepung terigu menunjukkan bahwa kualitas

tepung terigu baik, dan apabila kadar air tinggi pada tepung terigu dapat menarik

jamur, bakteri, dan serangga, yang semuanya menyebabkan penurunan mutu

selama penyimpanan. Untuk analisa kadar abu diperoleh kadar abu tepung terigu

0,67%. Hasil analisa ini menunjukkan bahwa kadar abu yang terdapat pada tepung

terigu memenuhi ketentuan syarat mutu yang ditetapkan oleh SNI 3751:2009

yaitu maksimal 0,70%. Untuk analisa kadar protein diperoleh kadar protein

tepung terigu 8,83 %. Hasil analisa ini menunjukkan bahwa kadar protein yang

terdapat pada tepung terigu memenuhi ketentuan syarat mutu yang ditetapkan oleh

SNI 3751:2009 yaitu minimal 7,00%. Kadar protein yang tinggi menunjukkan

(46)

tepung terigu 376,75 detik. Hasil analisa ini menunjukkan bahwa falling number

yang terdapat pada tepung terigu memenuhi ketentuan syarat mutu yang

ditetapkan oleh SNI 3751:2009 yaitu minimal 300 detik. Falling number yang

tinggi menunjukkan bahwa kualitas tepung terigu baik.

Reaksi Percobaan

1. Tahap Destruksi

(C,H,O,N,S)n + H2SO4 (NH4)2SO4 + H2O + CO2 + SO2

Larutan bening

2. Tahap destilasi

(NH4)2SO4 + 2NaOH 2NH4OH + Na2SO4

NH4OH NH3(g) + H2O

NH3(g) NH3(l)

2NH3 Indikator campuran

(NH4)2B4O7 + 5H2O

Larutan biru pekat

3. Tahap Titrasi

(NH4)2B4O7 + 2HCl 2NH4Cl + H2B4O7

(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil Analisa Laboratorium yang dilakukan pada tepung terigu dapat

disimpulkan bahwa:

a. Kadar Air yang terkandung pada tepung terigu adalah 12,66%; abu 0,67%;

protein 8,83%; dan falling number 376,75 detik.

b. Semua parameter yang dianalisa ini memenuhi syarat mutu yang

ditetapkan SNI 3751:2009, maka tepung terigu tersebut layak untuk

dikonsumsi oleh masyarakat.

5.2. Saran

Sebaiknya dalam menganalisa kualitas mutu tepung terigu hendaknya dilakukan

analisa terhadap parameter yang lainnya, sehingga dapat diketahui kualitas mutu

tepung terigu secara keseluruhan.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Bintang, M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta: Erlangga.

Gaman, M. dan Sherrington, K.B. 1981. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Ed ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

SNI 3751:2009. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Tarwotjo, C.S. 2007. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Grasindo.

(49)
(50)

Lampiran 1. Syarat Mutu Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan

normal (bebas dari bau asing) putih, khas terigu

Benda asing - tidak ada

Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak

- tidak ada

Kehalusan, lolos ayakan 212 µm (mesh No. 70) (b/b) Falling number (atas dasar

kadar air 14%)

detik min. 300

Besi (Fe) mg/kg min. 50

Seng (Zn) mg/kg min. 30

Vitamin B1 (tiamin) mg/kg min. 2,5

Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

Asam folat mg/kg min. 2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein biskuit tepung terigu dan tepung daun kelor (Moringa oleifera) dengan penambahan jamur tiram

Hasil penelitian dari uji kadar protein dan uji organoleptik biskuit tepung terigu dan tepung daun kelor (Moringa oleifera) dengan penambahan jamur tiram (Pleurotus

Substitusi tepung labu kuning pada tepung terigu memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar, karbohidrat, volume

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perbandingan tepung terigu dengan tepung labu kuning memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar abu, kadar protein,

Perbandingan tepung terigu dan tepung labu kuning memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung terigu dan tepung sukun memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar

Sampel yang digunakan dalam penetapan kadar air dan kadar abu adalah berbagai macam tepung yaitu tepung terigu, tepung sagu, tepung talas, dan tepung beras yang

Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi persentase subsitusi tepung terigu dengan tepung mocaf maka kadar air semakin menurun, sedangkan kadar pati dan kadar abu cenderung semakin